Anda di halaman 1dari 37

AKSI NYATA MODUL 1.

4
Budaya Positif
Filsafat Pendidikan
Ki Hajar Dewantara
 Tujuan Pendidikan adalah : menuntun segala
kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka
dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia
maupun sebagai anggota masyarakat.
 Dalam menuntun laku dan pertumbuhan kodrat
anak, KHD mengibaratkan peran pendidik
seperti seorang petani atau tukang kebun. Anak-
anak itu seperti biji tumbuhan/bunga yang
disemai dan ditanam oleh pak tani/pak tukang
kebun di lahan yang telah disediakan.
Sekolah diibaratkan sebagai tanah/lahan tempat
bercocok tanam sehingga seorang guru perlu
mengusahakan agar sekolah menjadi sebuah
lingkungan yang menyenangkan, aman, nyaman
untuk bertumbuh, serta dapat menjaga dan
melindungi setiap murid dari hal-hal yang kurang
bermanfaat, atau bahkan mengganggu
perkembangan potensi murid (berbudaya positif)
o Salah satu tanggung jawab kita sebagai pendidik
adalah bagaimana menciptakan suatu lingkungan positif
yang terdiri dari warga sekolah yang saling mendukung,
saling belajar, saling bekerja sama sehingga tercipta
kebiasaan-kebiasaan baik; dari kebiasaan-kebiasaan baik
akan tumbuh menjadi karakter-karakter baik warga sekolah,
dan pada akhirnya karakter-karakter dari kebiasaan-
kebiasaan baik akan membentuk sebuah budaya positif.
o Dalam rangka menciptakan lingkungan positif, salah
satu strategi yang perlu kita tinjau kembali adalah
penerapan disiplin di sekolah kita karena disiplin
positif merupakan unsur utama dalam terwujudnya
budaya positif yang kita cita-citakan di sekolah-
sekolah kita.
Apa yang ada dibenak Bapak/Ibu ketika
mendengar kata “Disiplin”?
 Kebanyakan orang akan menghubungkan kata
disiplin dengan tata tertib, teratur, dan
kepatuhan pada peraturan.
 Kata ‘disiplin’ juga sering dihubungkan
dengan hukuman/konsekuensi
 Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’
dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan
seseorang pada orang lain untuk mendapatkan
kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan
kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.
Menurut Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline,
2001 :
 Kata disiplin berasal dari bahasa Latin, ‘disciplina’, yang artinya

‘belajar’. Kata ‘discipline’ juga berasal dari akar kata yang sama
dengan ‘disciple’ atau murid/pengikut. Untuk menjadi seorang
murid, atau pengikut, seseorang harus paham betul alasan mengapa
mereka mengikuti suatu aliran atau ajaran tertentu, sehingga
motivasi yang terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan
ekstrinsik.
 Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju

kepada sebuah tujuan mulia, sesuatu yang dihargai dan bermakna.


 Dengan kata lain, disiplin diri juga mempelajari bagaimana cara kita

mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih


tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai agar
tercapai tujuan mulia yang diinginkan.
 Seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa

bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka


mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal.
Ki Hajar Dewatara menyatakan bahwa untuk
mencapai kemerdekaan atau dalam konteks
pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid
yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada
disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah
disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika
kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita
memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita
atau motivasi eksternal yang berasal dari luar,
bukan dari dalam diri kita sendiri.
Tujuan mulia dari penerapan disiplin positif adalah
agar terbentuk murid-murid yang berkarakter,
berdisiplin, santun, jujur, peduli, bertanggung jawab,
dan merupakan pemelajar
sepanjang hayat sesuai dengan standar kompetensi
lulusan yang diharapkan.
Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan
anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga
mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-
nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi
intrinsik, bukan ekstrinsik.
Profil Pelajar Pancasila
Merupakan nilai-nilai kebajikan universal yang
ingin dicapai oleh setiap anak indonesia, seperti :
1. Beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, dan Berakhlak Mulia.
2. Mandiri

3. Bernalar Kritis

4. Berkebinekaan Global

5. Bergotong royong

6. Kreatif
Standar Nasional Pendidikan :
Dalam rangka menciptakan lingkungan yang positif
maka setiap warga sekolah dan pemangku
kepentingan perlu saling mendukung, menghayati,
dan menerapkan nilai-nilai kebajikan yang telah
disepakati bersama. Untuk dapat menerapkan
tujuan mulia tersebut, maka seorang pemimpin
pembelajaran perlu berjiwa kepemimpinan
sehingga dapat mengembangkan sekolah dengan
baik agar terwujud suatu budaya sekolah yang
positif sesuai dengan standar kompetensi
pengelolaan yang telah ditetapkan.
Mari kita tanyakan ke diri kita sendiri,
Bagaimana kita berperilaku?
Mengapa kita melakukan segala sesuatu?
Apakah kita melakukan sesuatu karena adanya
dorongan dari lingkungan, atau ada dorongan
yang lain?
Teori Motivasi
Diane Gossen dalam bukunya Restructuring
School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi
perilaku manusia :
1. Untuk menghindari ketidaknyamanan atau
hukuman
2. Untuk mendapatkan imbalan atau
penghargaan dari orang lain.
3. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan
dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai
yang mereka percaya.
Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan
motivasi yang ketiga pada murid-murid kita yaitu untuk
menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai
diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.
Ketika murid-murid kita memiliki motivasi tersebut,
mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang
berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan
terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah.
Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan
nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang
yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai,
atau mencapai suatu tujuan mulia.
Keyakinan Kelas
Merupakan nilai-nilai kebajikan atau prinsip-
prinsip universal yang disepakati bersama.

Keyakinan/kesepakatan kelas dibuat untuk


menumbuhkan motivasi instrinsik sehingga para
murid bisa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
kebajikan universal. Berprilaku menjalankan
keyakinan kelas akan mewujudkan budaya
positif yang konsisten.
Pembentukan Keyakinan Sekolah/Kelas:
• Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan,
yang lebih rinci dan konkrit.
• Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
• Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk
positif.
• Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga
mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.
• Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di
lingkungan tersebut.
• Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam
pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.
• Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke
waktu
Dalam menjalankan peraturan ataupun
keyakinan kelas/sekolah, bilamana ada suatu
pelanggaran, tentunya sesuatu harus terjadi.
Untuk itu kita perlu meninjau ulang tindakan
penegakan peraturan atau keyakinan
kelas/sekolah kita selama ini. Tindakan terhadap
suatu pelanggaran pada umumnya berbentuk
hukuman atau konsekuensi.
Study Kasus
Iva kurang menguasai pelajaran Matematika, sehingga pada
saat pelajaran tersebut berlangsung, dia lebih banyak berdiam
diri atau menggambar di buku pelajarannya. Pada saat guru
Matematikanya, Pak Seno, menanyakan pertanyaan, Iva
menjadi gugup, dan tak sengaja menjatuhkan tasnya dari kursi,
serta tiba-tiba menjadi gagap pada saat berupaya menjawab.
Seluruh kelas pun tertawa melihat perilaku Iva yang bicara
tergagap dan terkejut tersebut. Pak Seno pada saat itu
membiarkan teman-teman Iva menertawakan Iva yang
tergagap dan malu luar biasa, dan malahan minta Iva untuk
maju ke depan dan berdiri di depankelas sambil menunjuk
hidungnya karena tidak bisa menjawab pertanyaan Pak Seno.
Kelas makin gaduh, dan anak-anak pun tertawa melihat Iva di
depan kelas memegang ujung hidungnya.
Pertanyaannya :
1. Apakah Anda setuju dengan tindakan pak
Seno terhadap Iva? Mengapa?
2. Menurut Anda, tindakan Pak Seno terhadap
Iva adalah sebuah hukuman atau
konsekuensi? Mengapa?
Hukuman, Konsekuensi dan Restitusi

Hukuman Konsekuensi Restitusi


- Bersifat tidak terencana - Sudah terencana atau - Proses menciptakan
atau tiba-tiba. sudah disepakati; sudah kondisi bagi murid untuk
- Anak atau murid tidak dibahas dan disetujui oleh memperbaiki kesalahan
tahu apa yang akan terjadi, murid dan guru. mereka, sehingga mereka
dan tidak dilibatkan. - Umumnya bentuk-bentuk bisa kembali pada
- Hukuman bersifat satu konsekuensi dibuat oleh kelompok mereka, dengan
arah, dari pihak guru yang pihak guru (sekolah), dan karakter yang lebih kuat
memberikan, dan murid murid sudah mengetahui - Ketika murid berbuat
hanya menerima suatu sebelumnya konsekuensi salah, guru akan
hukuman tanpa melalui yang akan diterima bila ada menanggapi dengan
suatu kesepakatan, atau pelanggaran. mengajak murid berefleksi
pengarahan dari pihak - Pada konsekuensi, murid tentang apa yang dapat
guru, baik sebelum atau tetap dibuat tidak nyaman mereka lakukan untuk
sesudahnya. untuk jangka waktu memperbaiki kesalahan
- Hukuman yang diberikan pendek. mereka sehingga mereka
bisa berupa fisik maupun - Konsekuensi biasanya menjadi pribadi yang lebih
psikis, murid/anak disakiti diberikan berdasarkan baik dan menghargai
oleh suatu perbuatan atau suatu data yang umumnya dirinya.
kata-kata. dapat diukur
Kebutuhan Dasar Manusia
Semua perilaku murid memiliki tujuan dalam
rangka memenuhi kebutuhannya untuk :
1. Bertahan hidup (survival)

2. Kasih sayang dan rasa diterima (love and


belonging)
3. Kebebasan (kebutuhan akan pilihan)

4. Kesenangan (keb. untuk merasa senang)

5. Penguasaan (pengakuan atas kemampuan)


5 Posisi Kontrol
Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring
School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru
perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam
ruang-ruang kelas mereka selama ini.
Apakah telah efektif, apakah berpusat, memerdekakan,
dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa?
Melalui serangkaian riset dan berdasarkan pada teori
Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5
posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua
ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi
kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa
Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer.
1. Penghukum
Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman
fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan
posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa
sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih
menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru
yang menerapkan posisi penghukum akan berkata :
 “Patuhi aturan saya, atau awas!”

 “Kamu selalu saja salah!”

 “Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”

Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu


cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia.
2. Pembuat Rasa Bersalah
Pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut.
Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan
yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah,
atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut
akan seperti :
 “Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”

 “Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”

 “Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat

begini?”
Di posisi ini murid dapat memiliki penilaian diri yang
buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga,
dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.
3. Teman
Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap
berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru
bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang
terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan
hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka
akan berkata:
 “Ayo bantulah, demi bapak ya?”
 “Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”
 “Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.
Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut
tidak membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir
bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau
lagi berusaha. Hal lain yang mungkin timbul adalah murid hanya
akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya.
Murid akan tergantung pada guru tersebut.
4. Pemantau
Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan
konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat
memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai
seseorang yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang
diajukan seorang pemantau :
 “Peraturannya apa?”
 “Apa yang telah kamu lakukan?”
 “Sanksi atau konsekuensinya apa?”
Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan,
data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang.
Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi
pemantau sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang
menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid
5. Manager
Diposisi manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya,
maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan
membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid
bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang manajer akan
berkata :
 “Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)

 “Apakah kamu meyakininya?”

 “Jika kamu meyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”

 “Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”

 “Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”

Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita


membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer
bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan
murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.
Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-
hari, kita akan kembali ke posisi Teman atau
Pemantau, karena murid yang ditangani belum siap
diajak berdiskusi atau diundang melakukan
restitusi. Namun perlu disadari tujuan akhir dari 5
posisi kontrol seorang guru adalah pencapaian
posisi Manajer, di mana di posisi inilah murid dapat
menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan
bertanggung jawab atas segala perilaku dan
sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan
lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.
Segi Tiga Restitusi
 Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi
murid untuk memperbaiki kesalahan mereka,
sehingga mereka bisa kembali pada kelompok
mereka, dengan karakter yang lebih kuat
(Gossen; 2004)
 Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang
mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk
masalah, dan membantu murid berpikir tentang
orang seperti apa yang mereka inginkan, dan
bagaimana mereka harus memperlakukan orang
lain (Chelsom Gossen, 1996).
 Restitusi membantu murid menjadi lebih
memiliki tujuan, disiplin positif, dan
memulihkan dirinya setelah berbuat salah.
Penekanannya bukanlah pada bagaimana
berperilaku untuk menyenangkan orang lain
atau menghindari ketidaknyamanan, namun
tujuannya adalah menjadi orang yang
menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka
percayai.
Ciri-ciri restitusi :
1. Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk
belajar dari kesalahan
2. Restitusi memperbaiki hubungan
3. Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan
4. Restitusi ‘menuntun’ untuk melihat ke dalam diri
5. Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari
tindakan
6. Restitusi menguatkan
7. Restitusi fokus pada solusi
8. Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah pada
kelompoknya
Diane Gossen dalam bukunya Restitution; Restructuring School Discipline,
(2001) telah merancang sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan
orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk
melakukan restitusi, bernama segitiga restitusi/restitution triangle.

No Langkah Teori Kontrol


1 Menstabilkan Identitas Kita semua akan melakukan hal terbaik yang
Stabilize the Identity bisa kita lakukan

2 Validasi Tindakan yang Salah Semua perilaku memiliki alasan


Validate the Misbehaviour

3 Menanyakan Keyakinan Kita semua memiliki motivasi internal


Seek the Belief
1. Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity)

Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari
orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses.
Anak yang melanggar peraturan karena sedang mencari perhatian adalah anak
yang sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya namun ada benturan. Kalau kita mengkritik dia, maka kita akan
tetap membuatnya dalam posisi gagal. Kalau kita ingin ia menjadi reflektif,
maka kita harus meyakinkan si anak, dengan cara mengatakan kalimat-kalimat
ini:
 
 Berbuat salah itu tidak apa-apa.
 Tidak ada manusia yang sempurna
 Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu.
 Kita bisa menyelesaikan ini.
 Bapak/Ibu tidak tertarik mencari siapa yang salah, tapi Bapak/Ibu ingin mencari
solusi dari permasalahan ini.
 Kamu berhak merasa begitu.
 Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik buat dirimu sendiri?
2. Validasi Tindakan yang Salah (Validate the Misbehavior)

Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi


kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang
mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara
paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk,
pasti memiliki maksud/tujuan tertentu. Kalimat-kalimat di bawah ini
mungkin terdengar asing buat guru, namun bila dikatakan dengan
nada tanpa menghakimi akan memvalidasi kebutuhan mereka :
 “Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?”
 “Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu”
 “Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi
sesuatu yang penting buatmu”.
 “Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan
sikap yang baru.”
3. Menanyakan Keyakinan (Seek the Belief)

Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya


termotivasi secara internal. Ketika identitas sukses telah
tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah
divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk
dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan
berpindah menjadi orang yang dia inginkan.
Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini menghubungkan
keyakinan anak dengan keyakinan kelas atau keluarga.
 Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga?
 Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati?
 Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal?
 Kamu mau jadi orang yang seperti apa?
Contoh Penerapan Restitusi

https://youtu.be/ZY70aXhDI8A
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai