Anda di halaman 1dari 45

EVALUASI PENGGU-

NAAN OBAT (EPO)


DAN MONITORING
EFEK SAMPING OBAT
(MESO)
Definisi :

◦suatu proses jaminan mutu yang


terstruktur,dilaksanakan terus
menerus dan diotorisasi rumah
sakit, ditujukan untuk memas-
tikan bahwa obat-obatan digu-
nakan dengan tepat, aman dan
efektif.
Sasaran EPO :

•Mengadakan pengkajian penggunaan


obat yang efisien dan terus menerus
•Meningkatkan pengembangan standar
penggunaan terapi obat
•Mengidentifikasi bidang yang perlu un-
tuk materi edukasi berkelanjutan
•Meningkatkan kemitraan antar pribadi
profesional pelayan kesehatan
Menyempurnakan pelayanan pasien
yang diberikan
Mengurangi resiko tuntutan hukum
pada rumah sakit
Mengurangi biaya rumah sakit dan
perawatan pasien
STANDAR UNTUK MELAKUKAN EPO

a. Pelaksana Staf medik, sebagai suatu proses


yang terus menerus terencana dan sistematik,
berbasis kriteria untuk memantau dan
mengevaluasi penggunaan obat profilaksis, ter-
api dan empirik untuk membantu memastikan
apakah obat tersebut sudah diberikan dengan
tepat, aman dan efektif.
b. Obat yang dievaluasi berdasarkan alasan :
•pengalaman klinik
obat digunakan dalam pengobatan yang da-
pat menimbulkan berbagai reaksi disebabkan
umur, ketidakmampuan fungsi organ atau pun
karakteristik metabolik yang unik
•Obat yang telah ditetapkan melalui program
pengendalian infeksi RS atau kegiatan jaminan
mutu lain untuk memantau dan mengevaluasi
c. Proses memantau dan mengevaluasi penggu-
naan obat
 Dilakukan oleh staf medik dengan bekerja
sama dengan IFRS, bagian keperawatan, staf
manajemen, administratif, dan bagian
pelayanan
 Didasarkan pada penggunaan kriteria objektif
yang merefleksikan pengetahuan mutakhir,
pengalaman klinik dan pustaka yang relevan
 Dapat mencakup penggunaan mekanisme
mengidentifikasi, dan mengevaluasi suatu
masalah
d. Laporan tertulis dari temuan, kesimpulan,
rekomendasi, tindakan yang diambil dan hasil
tindakan harus dilaporkan secara tertulis

e. Tindak lanjut hasil EPO dapat dipertimbangkan


sebagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan jam-
inan mutu
KERANGKA EPO :

1.Komite Farmasi dan Terapi (KFT) : bertang-


gung jawab mengatur semua aspek dari siklus
obat dalam RS, mulai dari pengadaan sampai
ke evaluasi. Biasanya ditunjuk bertanggung
jawab untuk memimpin EPO
2.Panitia Pengendalian Infeksi (PPI) : bertang-
gung jawab dalam pengendalian infeksi. Bi-
asanya bertanggung jawab untuk mengevalu-
asi penggunaan obat antibiotika.
3. Panitia Staf Medik Fungsional (SMF) SMF
Pediatrik, bedah, penyakit dalam, neuro,
obgyn, dll
4. Panitia EPO Beberapa RS membentuk suatu
panitia khusus dengan tanggung jawab
khusus untuk EPO
5. Panitia Audit Medik (PAM) Suatu panitia
tetap dari staf medik terorganisasi. Diberi
wewenang untuk mengevaluasi pelayanan
medik. Biasanya dilakukan oleh kelompok
ahli yang sama (peer review).
6. Panitia Jaminan Mutu (PJM)
untuk memadukan semua proses jaminan
mutu yang terjadi diseluruh RS. Kebanyakan
RS mempunyai panitia jaminan mutu sentral

Anggota penting dalam melakukan Evaluasi


Penggunaan Obat adalah apoteker.
Jadi sangat diperlukan apoteker yang komu-
nikatif dan bertanggung jawab
MONITORING EFEK
SAMPING OBAT
(MESO)
EFEK SAMPING OBAT

Efek samping adalah setiap efek yang tidak dikehendaki


yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse
reactions) dari suatu pengobatan.

Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan


sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal
mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang
sebagian besar sudah diketahui
Beberapa contoh efek samping misalnya:

a. Reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik),


b. Hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek farmakologik
yang berlebihan),
c. Osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid jangka lama (efek
samping karena penggunaan jangka lama),
d. Hipertensi karena penghentian pemberian klonidin (gejala
penghentian obat - withdrawal syndrome),
e. Fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan talidomid pada
masa awal kehamilan (efek teratogenik)
Obat yang beresiko tinggi menimbulkan efek samping
1. Metoclopramide
• disetujui beredar di Indonesia dengan indikasi diabetik
gastroparesis, mual muntah dan esofagitis refluks.
• Baru-baru ini, mencuat informasi US FDA dan bahwa obat ini
berisiko menyebabkan tardive dyskinesia pada penggunaan
jangka panjang atau dosis tinggi, utamanya pada pasien wanita
usia lanjut.
• Laporan BPOM pada tahun 2009 terdapat 1 laporan, efek
samping berupa pustula, erosi pada dasar kulit dan eritema
• melibatkan penggunaan obat lain pada waktu yang bersamaan
yaitu paracetamol dan siproheptadine.
2. Clopidogrel

• Obat ini disetujui beredar di Indonesia indikasi aterosklerosis


• . studi yang menunjukkan kurang efektif pada pasien yang
mengkonsumsi obat PPI
• Dapat meningkatkan risiko thrombotic events, termasuk acute
myocardial infarction.
• Pada praktik klinik kemungkinan kedua obat ini diresepkan
secara bersama, karena Clopidogrel dapat mengakibatkan efek
samping nyeri lambung dan ulser lambung, dan biasanya untuk
mengatasi hal tersebut diresepkan juga obat golongan PPI
tersebut.
• PPI menghambat konversi Clopidogrel menjadi bentuk aktifnya
dalam tubuh, sehingga mengurangi keefektifan obat tersebut,
dan meningkatkan risiko serangan jantung atau kondisi lain
yang membahayakan seperti stroke.
3. Piroksikam
• Piroxicam tidak lagi diperbolehkan untuk digunakan sebagai
terapi short term pain and inflammation, karena adanya
peningkatan risiko efek samping serius pada kulit.
• Sementara itu efek samping pada saluran cerna atau
gastrointestinal tidak lebih baik dibandingkan dengan obat
AINS lain.
• Apabila piroxicam digunakan pada pasien yang mempunyai
riwayat sensitif terhadap thiosalycilic acid, efek samping pada
kulit biasanya dapat terjadi segera setelah pasien meminum
obat. berupa: rash, urticaria, vasculitis, toxic epidermal
necrolysis, erythema multiforme, pemphigus, dan fixed drug
3. Metformin
• merupakan obat antidiabetes yang banyak diresepkan dan
digunakan oleh pasien, biasanya dalam jangka waktu panjang.
• Pada saat pasien merasa tidak enak badan, perlu diwaspadai
kemungkinan terjadinya lactic acidosis dengan tanda2 mual,
muntah, nyeri perut, lesu, pernapasan abnormal, TD rendah,
irama jantung tidak beraturan. kondisi lactic acidosis yang
dapat mengancam jiwa dapat terjadi karena akumulasi
metformin.
• Metformin dikontra-indikasikan pada pasien dengan kondisi
akut yang dapat berpotensi adanya penyesuaian dosos. fungsi
ginjal dapat mengalami dehidrasi.
4. ketoconazole oral
• pernah dimuat pada Buletin Berita MESO Volume 31
No. 2 Edisi November 2013 lalu, data yang ada oleh
Committee on Medicinal Products for Human Use
(CHMP) disimpulkan bahwa kerusakan hati (liver
injury) lebih tinggi terjadi pada penggunaan keto-
conazole oral dibandingkan dengan anti jamur lain
• European Medicines Agency (EMA)
merekomendasikan pembekuan (suspend) izin edar
ketoconazole oral.
5. Diklofenat
• Reumatik, anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik dengan
mekanisme kerja menghambat biosistesis prostaglandin.
• Diklofenak terdapat dalam bentuk garam natrium dan
kalium. Di Indonesia, diklofenak beredar dalam bentuk
sediaan sistemik dan topikal
• Berdasarkan kajian awal (EMA) dari data (farmakovigilans)
yang diperoleh sejak tahun 2005 peningkatan risiko heart
attack, stroke dan thromboembolic event lain yang lebih
tinggi pada penggunaan diklofenak dibandingkan
penggunaan AINS non-selektif lainnya dan risiko sebanding
dengan AINS selektif COX-2 inhibitor.
6. Agomelatine
• Obat antidepresan yang telah disetujui
beredar di Indonesia sejak tahun 2010 dengan
indikasi pengobatan depresi mayor pada orang
dewasa.
• Yang harus dilakukan untuk meminimalkan
risiko toksisitas liver, sehingga harus
dilakukan tes fungsi liver pada pasien sebelum
memulai pengobatan dan juga secara teratur
selam pengobatan.
7. Ibuprofen
• golongan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)
yang bekerja dengan menghambat enzim
cyclooxygenase
• Ibuprofen mempunyai resiko efek samping yang
besar terhadap kardiovaskuler sehingga ibuprofen
dosis tinggi tdak boleh diberikan pada pasien yang
mengalami kondisi jantung dan peredaran darah
yang serius.
Hal- Hal Penting dalam MESO

• MESO merupakan program pemantauan kea-


manan obat sesudah beredar (pasca pe-
masaran)
• ESO : rx yg merugikan atau tidak diingginikan
terjadi pd penggunaan obat dg dosis yg biasa
• Tujuan  untuk mendukung upaya jaminan
atas keamanan obat sejalan keamanan obat se-
jalan pelaksanaan evaluasi aspek efikasi, kea-
manan dan mutu sebelum obat diberi izin edar
(pra pemasaran)
• Program ini dilakukan secara berkesinam-
bungan untuk mendukung upaya jaminan
atas keamanan obat, sejalan pelaksanaan
evaluasi aspek efikasi.
• MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia
masih bersifat sukarela (voluntary report-
ing ) dengan menggunakan formulir pelapo-
ran ESO berwarna kuning, yang dikenal
sebagai Form Kuning
• Monitoring tersebut dilakukan terhadap
seluruh obat yang beredar dan digunakan
dalam pelayanan kesehatan di Indonesia
• Aktifitas monitoring ESO dan juga pelapo-
rannya oleh sejawat tenaga kesehatan se-
bagai healthcare  provider merupakan su-
atu tool yang dapat digunakan untuk mende-
teksi kemungkinan terjadinya ESO yang
serius dan jarang terjadi (rare) keamanan
dan mutu sebelum suatu obat diberikan ijin
edar (pra-pemasaran
Merupakan salah satu tugas PFT Tim Meso dalam
PFT adalah :
•Para Klinisi Terkait
•Ahli Farmakologi
•Apoteker
•Perawat
SIAPA YANG MELAPORKAN MESO
Tenaga kesehatan
1.Dokter
2.dokter spesialis
3.dokter gigi
4.Apoteker
5.Bidan
6.Perawat
7.tenaga kesehatan lain.
Masalah ESO
• Mengapa Persentase terus   obat yg
beredar  tanpa disertai informasi yg propo-
sional  promosi   penggunaan 

• Berapa sering?
rawat inap  obat < 6 : 5% ;
obat > 15 : 40%
 kematian 45%
• berobat jalan : 20%
• Px masuk RS : 2 – 5% akibat ESO
• Case / fatality ratio akibat ESO pasien
rawat nginap : bervariasi 2–12%
•  2–3%bayi lahir dg abnormalitas  akibat obat

yg digunakan ibu masa kehamilan


• Cost  negara berkembang  US$ 30–130
billion u/ ESO pasien yg berobat jalan
Klasifikasi  hebatnya rx
• Mild  rash kulit yg ringan
• Moderate  nausea
• Severe  tekanan 
• Serius  perlu dirawat, mengancam
jiwa, menyebabkan kecacatan
Klasifikasi  Jenis
1. dose-dependent (type A) makin > dosis
makin kemungkinan ESO
2. dose-independent (type B) tidak tergantung
dosis  hipersensitivity
3. penggunaan jangka lama (type C) makin lama
 ESO makin
4. delayed effect (type D) obat sudah lama di-
hentikan ESO baru +
5. type E, tx jangka lama  dihentikan tiba-tiba
Dose-dependent (type A)
> sering terjadi (70 – 85%)
 makin > dosis  kemungkinan > ESO
 jenis ESO  lanjutan efek farmakologi
 dapat diprediksi  dapat diusahakan
agar teradinya seminimal mungkin
 > banyak pd px dg gangguan fungsi or-
gan, variasi genetik
 insulin, ADO  hipoglikemia
 NSAID  ulserasi saluran cerna
 antihipertensi  hipotensi
dose-independent (type B)

• tidak tergantung dosis, tidak berhub dg


efek farmakologik
• > jarang terjadi
• tidak dapat diprediksi
• > sukar dicegah
• reaksi alergi (imunologik)
• reaksinya lebih severe / serius
Immunologically mediated reaction

Tipe Reaksi Jenis reaksi Obat

I IgE-dependent reac- Urtikaria, an- NSAID, penisilin,


tions gioedema, anafi-
laksis, hay fever

II Cytotoxic reactions, Ig Hemolisis, purpura Penisilin, sefalosporin, sulfonamid,


G rifampisin

III Immune complex re- Vasculitis, serum Quinidin, salisilat, chlorpromazine,


actions sickness sulfonamid

IV Delayed-type reaction/ Dermatitis contact, Mekanisme tersering


Cell mediated hyper- reaksi exanthema- Banyak obat (topikal & sistemik)
sensitivity tous, reaksi pho-
toallergic
Penggunaan jangka lama (type C)

• Kontrasepsi hormonal deep vein throm-


bosis
• NSAID  gangguan fungsi ginjal
• Glukokortikoid  osteoporosis
delayed effect (type D)

• obat telah lama dihentikan  ESO baru


timbul
• primaquin  katarak
• teratogenisitas: tetrasiklin, kortikosteroid
( tergantung masa kehamilan pd waktu
obat digunakan)
• sulfasalazin infertilitas pria
type E, tx jangka lama

withdrawal synrome
•setelah penggunaan jangka panjang 
tiba2 dihentikan
•Kortikosteroid, narkotik, antihipertensi
Mengapa dilakukan MESO?
• Pemantauan keamanan obat sesudah beredar
masih perlu dilakukan karena penelitian atau izin
yang dilakukan sebelum obat diedarkan, baik uji
preklinik maupun uji klinik belum sepenuhnya
dapat mengungkapkan efek samping obat
(ESO)
• utamanya efek samping yang jarang terjadi
ataupun yang timbul setelah penggunaan obat
untuk jangka lama.
• Pada uji klinik  tidak melibatkan pengguna
obat yang termasuk kelompok anak-anak,
wanita hamil, wanita menyusui, usia lanjut
Cara Melakukan MESO

• Beberapa cara melakukan MESO


(spontaneous reporting, voluntary , Inten-
sive Hospital Monitoring , Record linkage,
Limited Record, dll)
Pelaksanaan MESO

• Badan POM RI menggunakan metode


pelaporan secara sukarela (voluntary re-
porting) dari tenaga kesehatan dengan
formulir pelaporan yang dirancang
sesederhana mungkin sehingga memu-
dahkan pengisiannya
Kegunaan

• Hasil pengkajian aspek keamanan berdasarkan


laporan ESO di Indonesia maupun informasi
ESO Internasional  digunakan untuk pertim-
bangan suatu tindak lanjut regulatori, berupa
pembatasan indikasi, pembatasan dosis, pem-
bekuan atau penarikan izin edar dan penarikan
obat dari peredaran untuk menjamin perlindun-
gan keamanan masyarakat
Tindak Lanjut Setelah Dilakukan Monitoring Efek Samping Obat

• Setelah melakukan monitoring efek samping obat, data


tersebut akan dikirmkan ke pada pusat meso di Jakarta
(BPOM)
• kemudian semua informasi yang terkumpul akan
digunakan sebagai bahan untuk melakukan penilaian
kembali terhadap obat yang beredar serta melakukan
tindakan pengamanan atau penyesuaian yang di
perlukan.
• Selanjutnya data tersebut akan dikirimkan kembali
kepada pelapor. Dan menyusun rekomendasi untuk
tindak lanjut regulatori
Tindak lanjut regulatori berupa :
•Pembatasan dosis
•Pembatasan indikasi
•Pembatasan besar kemasan
•Pembekuan izin edar
•Penarikan dari peredaran.

Anda mungkin juga menyukai