Anda di halaman 1dari 100

Trisno Susilo, SSTFt

 Sekitar 795.000 orang di Amerika Serikat menderita stroke atau


stroke berulang setiap tahunnya
 Prevalensi stroke kronis di Amerika Serikat diperkirakan
mencapai sekitar 7 juta , 80% nya berusia di atas 65 tahun.
 Prevalensi stroke cenderung meningkat di masa depan karena
populasi yang menua. Meskipun perawatan stroke akut telah
meningkat, misalnya dengan rekombinant tissue plasminogen
aktivator (rtPA) dan terorganisirnya rawat inap pasien stroke
interdisipliner (stroke unit), dan meskipun angka kematian akibat
stroke telah menurun , tetapi sejumlah besar pasien stroke masih
mengalami disabilitas
 Hanya 12% dari pasien stroke yang independen dalam kegiatan
aktivitas hidup sehari-hari (ADL) pada akhir minggu pertama.
Dalam jangka panjang, 25-74% pasien harus bergantung pada
bantuan orang lain untuk ADL dasar seperti makan, perawatan
diri, dan mobilitas.
(From: Heart disease and stroke statistics–2011 update: a report from the American Heart
Association)
Data Riset Kesehatan Dasar 2013

 Prevalensi stroke di Indonesia 12,1 per 1.000


penduduk. Angka itu naik dibandingkan Riskesdas
2007 yang sebesar 8,3. (lebih tinggi dari peny
jantung yg hanya 1,8)
 3 Provinsi tertinggi Sulawesi Selatan (17,9), DIY
(16,9), Sulawesi Tengah (16,6).
 Jateng 12,3
 meningkat seiring dengan bertambahnya umur,
tertinggi pada umur ≥75 tahun
 Prevalensi stroke sama tinggi pada laki-laki dan
perempuan
 Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada
masyarakat dengan pendidikan rendah
 Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di
desa,
 Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang
tidak bekerja
 Menurut American Physical Therapy Association (APTA), ''
fisioterapi adalah tenaga kesehatan profesional yang
memelihara, memulihkan, dan meningkatkan gerak dan
fungsi serta kesehatan, yang memungkinkan seseorang
untuk memiliki fungsi dan kualitas hidup yang optimal,
sambil memastikan keselamatan pasien dan menerapkan
bukti untuk memberikan perawatan yang efisien dan efektif.

 Menurut PMK no 80 2013, Fisioterapi adalah bentuk


pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu
dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan
memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang
kehidupan dengan menggunakan penanganan secara
manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis
dan mekanis) pelatihan fungsi, komunikasi
Patient management outcome

 Pathology/pathophysiology (disease,
disorder or condition)
 impairments, functional limitations and
disabilities
 risk reduction/prevention
 health, wellness and fitness
 social resource
 patient/client satisfaction
(APTA)
Proses Fisioterapi

1. asesmen fisioterapi yang meliputi


pemeriksaan dan evaluasi;
2. diagnosis fisioterapi;
3. perencanaan intervensi fisioterapi;
4. intervensi fisioterapi; dan
5. evaluasi/re-evaluasi/re-assessmen /
revisi.
Kategori problematik
(WHO, 2001)
 Impairment
 Activity limitation
 Participation restriction

APTA menyebut sebagai


impairment, activity limitation dan
disability
Proses
patologi rusak Impairment Activity limitation Participation
anatomi, shg Langsung Tidak Fungsi dasar Fungsi restriction
gg fisiologi langsung aktivitas

Stroke non Motorik Tirah baring Ggn fungsi Gangguan Merupakan


hemorrhage di Lumpuh sisi dengan tangan kanan aktivitas interaksi yang
capsula kanan, spastic, kelumpuhan Ggn fungsi fungsional komplek dari
interna kiri sbg reflek fis dan jalan dalam ADL, kondisi
tempat meningkat, ref pembatasan produksi dan kesehatan,
perlintasan pat muncul, gerak kepala rekreasi impairment,
impulse saraf ada clonus &leher activity
mengatur sisi Sensorik Lumpuh yang limitation dan
tubuh sebelah Kognitif berlangsung konteks
kanan Ggn lama dimana orang
motorik, penglihatan Kombinasi tersebut
sensorik, bisa (hemianopia dari semua tinggal/berak
juga kena homonym impairment tivitas
penglihatan, dextra)
kognitif, bicara Ggn bicara
Integrasi WHO-ICF model, EBP,
The Rehabilitation Cycle and Clinical Reasoning
Sean D Rundell, Todd E Davenport, Tracey Wagner 2009

10
Pemulihan pada lesi di otak

 Dikategorikan sbg pemulihan spontan


dan reorganisasi mekanisme neural
(perbaikan neurologis) pada bagian/sel
otak yang memang belum mati
 Kemampuan plastisitas  terus
berlangsung apabila dibutuhkan
(regeneration, collateral sprouting, silent
synapsis recruitment, denervation
supersensitivity)
Jenis Plastisitas Otak

 Plastisitas dari struktur Anatomi


 Regenerasi (regeneration)
 Penyebaran kolateral (collateral sprouting)
 Plastisitas enyesuaian fisiologis
 Peningkatan sensitivitas hubungan saraf (Denervation
supersensitivity)
 Pengefektifan sinapsis laten (Silent synapsis
recruitment)
 Plastisitas merupakan pintu masuk clinical reasoning
bagaimana tindakan fisioterapi dapat memperbaiki dan
melatih otak (struktur dan fungsi)
 Syarat terjadi plastisitas perbaikan motorik otak:
– Latihan dimulai sejak dini
– Latihan sesuai fungsi otak yang ingin diperbaiki/ditingkatkan
– Latihan melibatkan partisipasi aktif pasien
– Latihan dilakukan secara intensif dan progresif
– Latihan dilakukan dalam pola-pola fungsional
– Dalam latihan hindari pola gerak yang salah, hindari kompensasi
– Semakin spesifik jenis latihan semakin baik hasil fungsionalnya
– Perbaiki semua faktor yang mendukung perbaikan struktur dan fungsi
otak
– Pemulihan maksimal terjadi pada masa-masa awal (golden period)
tetapi pemulihan dapat terus berlangsung hingga beberapa tahun
(jangka panjang)
Rehabilitasi

 Semua upaya yang ditujukan untuk mengurangi


dampak dari semua keadaan yang menimbulkan
impairment dan atau activity limitation, serta
memungkinkan penyandangnya untuk berpartisipasi
secara aktif dalam lingkungan keluarga atau masyarakat
 Keberhasilan rehabilitasi tidak berarti harus normal
seperti semula tetapi mandiri seoptimal mungkin sesuai
dengan keadaan patologisnya; bisa dengan atau tanpa
alat bantu
Fase /stadium pasca stroke

1. Fase hiperakut / fase akut (0-24 jam),


2. Fase rehabilitasi awal (24 jam sampai 3
bulan),
3. Fase rehabilitasi akhir (3-6 bulan), dan
4. Fase kronis (> 6 bulan).
 Pendekatan fisioterapi pasca stroke
 Latihan untuk memperbaiki impairment (langsung
atau tidak langsung)
 Latihan penguatan
 Latihan pengurangan spastisitas
 Latihan merangsang reflek keseimbangan
 Latihan daya tahan
 Dll
 Latihan untuk memperbaiki aktivitas fungsional
 Latihan bangun
 Latihan duduk,
 Latihan duduk ke berdiri
 Latihan berdiri,
 Latihan berjalan
 Dll
- Latihan dengan metode pendekatan khusus
 Muskulo skeletal (konvensional, tradisional)
 Neuro fisiologi & Neuro developmental
(Bobath, Brunnstrom, Rood, Johstone, Kabat/ PNF )
 Motor learning (motor relearning programme)
 Stimulasi listrik (Neuro Muscular Electrical Stimulation
/NMES atau functional electrical stimulation/FES)
 Latihan dalam kolam (pool therapy)
 Neuro psikologi
 Neuro behavioral
 Musical biofeedback
 Lokomotor farmakoterapi (injeksi toxin botulinum utk
mengurangi spastisitas)
1. Old but Rejuvenated

 Strength Training

 Self Management (home program)

 Treadmill training
Muscle strengthening,
Spasticity and Function
 progressive resistance strength training
programmes reduce musculoskeletal
impairment post stroke
(Morris et al Clinical Rehabilitation, 2004)

 Loss of strength contributes more to physical


disability after stroke than loss of dexterity
(Canning et al Clinical Rehabilitation, 2004)
Muscle Strengthening

 Strengthening dapat meningkatkan kekuatan


dan memperbaiki aktivitas pasca stroke
 Kekhawatiran bahwa latihan penguatan akan
meningkatkan spastisitas dapat
dikesampingkan
 Program penguatan ini sudah selayaknya
menjadi bagian dari rabilitasi pasca stroke
Self Management of Long
Term Conditions
 Seharusnya lebih dari sekedar “home exercise
programme”
 Dapat dikombinasikan dengan
“telemedicine” lainnya,
2. Been around but not in
mainstream Practice
 Mental Imagery/Practice

 Mirror Therapy

 Constraint Induced Movement Therapy


Mental Practice

 Merupakan suatu proses kognitif dengan cara


membayangkan suatu gerakan yang terjadi
pada tubuh sendiri tanpa menggerakan bagian
tubuh secara aktual
 Membayangkan gerakan ternyata sedikit
banyak mengaktifkan area otak yang sama
seperti saat melakukan gerakan secara
aktual/nyata
Mirror therapy

 Seeing is believing
 Illusion of normal movement may substitute
for reduced proprioception
 Mirror therapy may facilitate enough
movement to allow participation in C.I.T
Mirror Therapy
 Awalnya ditemukan oleh VS Ramachandran untuk terapi
penderita “phantom limb pain”
 Merupakan latihan yang dilakukan dengan cara memasukkan
tangan atau kaki yang sakit ke dalam kotak cermin, sedangkan
tangan/kaki yang sehat ditaruh di depan kotak cermin. Sehingga
yang terlihat oleh pasien adalah 2 sisi yang normal dimana
satunya adalah sisi yang sehat dan yang lainnya adalah gambar
“sisi yang sakit” yang sebetulnya adalah pantulan bayangan sisi
yang sehat dalam cermin (The mirror creates visual feedback of a
successful performance of imagined action)
 Sederhana, murah
 Mandiri (Patient directed)
 Mungkin terkait dengan mental practice atau motor imagery
Evidence based
 40 patients post stroke, 20 x30 mins mirror therapy
vs sham therapy in addition to conventional therapy
Dorsiflexion of non paretic limb. Measures
Brunnstrom /FIM/ functional ambulation, MAS
Statistically difference between control and mirror
group in motor recovery (Brunnstrom) and
functioning (FIM) No difference in MAS or walking
ability
(Sutbeyaz et al Arch Phys Med2007; Yavuzer et al Arch Phys Med 2008)
Pengertian

 Secara harfiah: terapi pengekangan


untuk memacu gerakan
 Teknik terapi utk melatih kembali otak
dengan cara memaksa penggunaan sisi
lesi untuk aktivitas atau latihan aktivitas
dengan mengistirahatkan secara total
sisi yang sehat.
 Filosofi yang mendasari adalah
plastisitas otak
3 Prinsip dasar CIMT

1. Constraint - Mengistirahatkan
ekstremitas yang sehat
2. Forced use - Pemaksaan penggunaan
ekstremitas sisi yang lesi utk aktivitas
fungsional
3. Massive practice - Latihan yang
berulang-ulang dan intensif
Syarat umum untuk bisa
mengikuti program CIMT
 Pasien sekitar setelah 3-6 sampai 2 tahun bulan pasca stroke
atau traumatic brain injury (stadium kronis atau residual)
(makin cepat makin baik? ada batas waktu akhir efektivitas
terapi? cocok utk semua pasien?)
 Pasien mampu mengekstensikan pergelangan tangan dan
menggerakan lengan dan jari-jari
 “Mild to moderate motor impairment” pada ekstremitas atas
 Pasien secara medis & behavioral stabil
 Pasien mempunyai pengasuh/pengawas/care giver
Syarat-syarat khusus agar CIMT dapat dilakukan
dengan efektif pada gerak fungsional lanjut
Keseimbangan:
 Keseimbangan baik dan aman saat memakai alat
pengekang
 Mampu melakukan transfer duduk ke berdiri
(minimal dengan supervisi)
 Mampu berdiri selama 2 menit atau bila berkursi
roda mampu mendorong kursi roda secara
mandiri
 Mampu berjalan setidaknya 100 kaki pada
permukaan datar tanpa alat
Kemampuan motorik lengan & tangan
 Setidaknya ekstensi pergel tangan 20 derajad
secara aktif dari posisi istirahat
 Setidaknya mampu ekstensi ibu jari dan 2 jari
tangan lainnya 10 derajad secara aktif
 Ada gerakan aktif minimal pada shoulder & elbow

Kemampuan kognitif
 Mampu berkomunikasi dan memahami instruksi
 Mampu mengikuti perintah beberapa tingkat dan
mampu memberikan umpan balik yang reliabel
 Memiliki kognitif lain (spt memori) dan motivasi
yang utuh
Pasien tidak boleh diberikan CIMT
 Memiliki nyeri kronik yang bisa saja kambuh
dengan program latihan yang padat
 Memiliki penyakit-penyakit penyulit
(komplikasi) yang dapat menghambat
keikutsertaan pasien selama program latihan
yang padat dan panjang
 Stroke bilateral
 Dan keadaan penyulit lainnya yang
menyebabkan terapi tidak efektif
Berbagai bentuk
“constraint”
 Mitella
 Sling (arm sling, closed arm sling)
 Mitten
 Glove (half glove)
 Hand splint (resting hand splint)
 Polistyrene fill mitt with velcro strap around
the wrist
 Resting position without constraint
BERBAGAI ALAT PENGEKANG CIMT
Jenis aktivitas atau latihan

 Aktivitas/latihan (task) intensif dibawah pengawasan yang


dilakukan bervariasi seperti: makan siang, melemparkan
bola, bermain domino, chinese checker, menulis,
menyapu, dan menggunakan Purdue Dexterity board dan
lain-lain tergantung pada kebutuhan (sesuai konteksnya),
alat yang tersedia, kreatifitas, terapis dan pasien
 Media latihan : peg boards, cards, puzzles, stackong
blocks, jigsaws & dominos, bola berbagai ukuran, dll
 Diselingi waktu-waktu tertentu untuk istirahat
Metode SHAPING
• Merupakan interaksi one on one antara pasien
dan fisioterapis (Fts sebagai pelatih, motivator,
teman)
• Seleksi tugas yang disesuaikan pada setiap
pasien sesuai defisit motor (individual’s ability
level and goals)
• Membantu pasien untuk menunjukkan urut-
urutan gerakan apabila mereka tidak mampu
menyelesaikan gerakan mereka pertama kali
• Memberikan umpan balik verbal saat dapat
menyelesaikan suatu tugas
Dosis

 Dosis dari beberapa penelitian


bervariasi
 Dosis yang paling umum adalah:
 Dalam posisi “constraint” seterusnya,
kecuali waktu tidur atau dipakai dalam
90% waktu terjaganya.
 Latihan aktivitas 4-6 jam sehari, 4-5 hari
seminggu dalam 2-3 minggu
3. Main stream

 Neuro developmental & neuro physiological


based concept
 Motor learning based concept
1. Neurofisiologi / Neurodevelopmental

 Menggunakan rangsangan sensoris 


memfasilitasi / menginhibisi fungsi motor
 Menggunakan prinsip urutan normal
perkembangan fungsi motor pada manusia
 Memfasilitasi /menginhibisi fungsi motor melalui
refleks-refleks primitive
 Menggunakan prinsip memperbanyak repetisi
dari gerakan-gerakan motoris
 Mengintegrasikan tubuh dan segmen-segmennya
dalam satu kesatuan fungsi
 Penekanan pentingnya interaksi antara penderita
dan terapis
 Metode melatih secara optimal sisi yang sakit 
Didukung konsep neuroplastisitas + refleks motorik
tumbuh kembang
 Adaptasi prinsip-prinsip neuroplastisitas
Berbagai metode pendekatan yang berdasarkan
pada pendekatan neurofisiologik atau
neurodevelopmental
 Teknik Brunnstrom
 Teknik Rood
 Teknik Bobath
 Teknik Johstone
 Teknik Kabat, Knott, Voss
(Propriocetive Neuromuscular Facilitation /
PNF )
Metode Brunnstrom

 Dikembangkan oleh Signe Brunnstrom,


seorang fisioterapis di sekitar tahun 1970-
an, khusus untuk penderita hemiplegia
 Premis bahwa:
Pada manusia normal, perkembangan
motorik diawali oleh kontrol spinal dan
batang otak berupa gerakan reflek yang
kemudian berkembang menjadi gerakan
yang disadari dan bertujuan yang dikontrol
oleh otak
Oleh karena gerakan reflek tersebut
merupakan tahap perkembangan normal,
reflek ini menjadi sesuatu yang “normal” pula
apabila ada kelainan atau gangguan pada
pengontrol yang lebih tinggi (otak), misalnya
akibat stroke dengan hemiplegianya.
 Sehingga reflek ini dapat dan seharusnya
digunakan untuk merangsang timbulnya
gerakan yang hilang, seperti tahap
perkembangan normal, dengan pemberian
berbagai stimulasi sensorik.
Metode Rood
 Dikembangkan oleh Margaret Rood, seorang
fisioterapis dan okupasiterapis sejak tahun
1960-an. Sebenarnya metode ini dikembangkan
untuk penderita cerebral palsy tetapi dapat
diterapkan untuk semua kelainan kontrol
motorik akibat gangguan otak
 Premis dari pendekatan Rood:
Bahwa kontrol motorik berkembang dari
reflek-reflek dasar pada saat bayi yang
secara bertahap dimodifikasi melalui stimulasi
sensorik hingga dicapai kontrol yang lebih
tinggi dengan gerakan yang disadari dan
fungsional.
 Prinsip dari pendekatan metode Rood ini
adalah:
 Proses perbaikan tonus dan gerakan fungsional
dicapai dengan stimulasi sensorik yang benar,
melalui teknik-teknik fasilitasi dan inhibisi.
 Kontrol sensomotorik berdasarkan prinsip-
prinsip tumbuh kembang
 Gerakan haruslah bertujuan
 Pengulangan respon sensomotorik diperlukan
untuk proses latihan
Metode Bobath

 Dikembangkan oleh K. Bobath (neurology) dan


Bertha Bobath (fisioterapis) di sekitar tahun
1960-an, khusus untuk penderita cerebral palsy,
tetapi kemudian diadaptasi dan dikembangkan
juga untuk kondisi hemiplegia
 Pendekatan ini mengembangkan reaksi-
reaksi otomatis (reflek postural normal)
yang normal berdasarkan analisa gerakan
normal dan perkembangan gerakan normal
yang terjadi pada proses tumbuh kembang
anak.
 Prinsip-prinsip neurofisiologis yang dianut:
 Gerakan normal meliputi bagian yang bergerak
dan bagian yang diam (fiksasi gerakan)
 Gerakan normal ditandai dengan adanya gerakan
rotasi yang merupakan komponen utama gerak
normal (fungsional)
 Gerakan normal dimulai dari proksimal ke distal,
dari central ke perifer, dari cranial ke kaudal
 Gerakan normal menganut pada proses tumbuh
kembang anak normal
 Prinsip pendekatan Bobath untuk kondisi
hemiplegia adalah normalitas dari tonus
postural yang bisa dicapai dengan cara:
 Stimulasi proprioceptive dan taktil
 Inhibisi terhadap pola abnormal
 Fasilitasi
 Key point of control
 Pemahaman prinsip-prinsip neurofisiologi,
biomekanika, gerakan normal dan abnormal.
Metode Johnstone
 Dikembangkan oleh Margaret Johnstone,
seorang fisioterapis di sekitar tahun 1970-an,
khusus untuk penderita hemiplegia
 Dikembangkan berdasarkan premis bahwa
gerakan normal tergantung pada:
 Tonus yang normal, sehingga diperlukan untuk
menaikkan tonus yang rendah (hipotonus) dengan
fasilitasi dan menurunkan tonus yang meninggi
(hipertonus) dengan cara inhibisi
 Pola gerakan yang normal, dimana latihan
mengadaptasi dasar pola tumbuh kembang bayi yang
normal (terlentang, berguling, tengkurap,
menegakkan kepala, merayap, merangkak, duduk,
berdiri pada lutut, berdiri, berjalan, naik trap,
berlari, melompat) serta mengembangkan kontrol
spinal – tonik – basal – kortikal.
 Mekanisme reflek postural yang normal,
dengan mengembangkan kontrol postural
 Sensorik yang normal, dengan mengembangkan
berbagai stimulasi-stimulasi sensorik
 Johnstone ini juga memperkenalkan suatu
splint udara (air splint) untuk penderita
stroke untuk tujuan menormalkan tonus,
memberikan input sensorik, latihan kontrol
postural (stabilisasi – menumpu berat
badan) dan mencegah reaksi asosiasi dan
pola sinergis
Metode PNF
 Dikembangkan pertama kali oleh dr. Herman
Kabat (neurology/psikolog) dari Amerika
Serikat pada tahun 1950-an yang kemudian
dikembangkan oleh Margaret Knott
(fisioterapis) dan Dorothy Voss (okupasi
terapis) hingga tahun 1970-an
 Prinsip umumnya adalah dengan pemberian
stimulasi tertentu untuk membangkitkan
kembali mekanisme yang latent dan cadangan-
cadangannya maka akan dicapai suatu gerak
fungsional yang normal dan terkoordinasi.
 Prinsip-prinsip yang mendasari adalah:
 Proses tumbuh kembang
 Prinsip-prinsip neurofisiologis
 Ilmu gerak (biomekanika)
 Tujuan PNF pada kasus hemiplegia adalah:
 Menimbulkan, menaikkan, memperbaiki tonus
postural
 Memperbaiki koordinasi gerak
 Mengajarkan pola gerak yang benar
 MRP dikembangkan oleh Janet H. Carr dan
Roberta Shepherd, dua orang fisioterapis
Australia pada sekitar tahun 1980-an.
 MRP menjadi teknik pendekatan stroke
yang terpopuler di Australia pada saat ini,
disamping pendekatan Bobath.
 MRP memberikan alternatif metode
pendekatan/terapi pada penderita stroke
Prinsip-prinsip MRP
 Pelatihan kembali kontrol motorik yang
berdasarkan pemahaman tentang kinematika dan
kinetika gerakan normal (biomekanika), kontrol
dan latihan motorik (motor learning & motor
control)
 Melibatkan proses kognitif
 Ilmu perilaku & psikologi
 Latihan dalam olahraga
 Pemahaman anatomi dan fisiologi saraf
 Tidak berdasarkan pada teori perkembangan
normal (neurodevelopmental)
Asumsi
 Proses belajar, bahwa orang dengan
disabilitas memiliki kebutuhan belajar yang
sama dengan orang normal
 Kontrol motorik: antisipasi, persiapan dan
kelangsungan gerak
 Latihan spesifk yang semakin meningkat,
lingkungan bervariasi
 Input sensorik mempengaruhi gerak
 Plastisitas otak dipengaruhi oleh kejadian di
alat gerak
Komponen Latihan motorik
 Kognitif
 Atensi dan konsentrasi
 Instruksi (aba-aba)
 Demonstrasi (pemberian contoh)
 Motivasi
 Penentuan tujuan
 Penilaian yang obyektif
 Latihan yang konsisten
 Arahan/petunjuk/pegangan manual (manual
guidance)
 Catatan kemajuan
 Latihan dengan aktivitas spesifik
 Manipulasi lingkungan
 MRP menuntut partisipasi aktif dari pasien
 MRP melibatkan re-learning aktifitas fungsional (aktivitas
hidup sehari-hari), yang sangat bermanfaat pada pasien
 MRP menggunakan premis dasar bahwa kapasitas otak
mampu untuk reorganisasi dan beradaptasi (kemampuan
plastisitas otak), dan dengan latihan yang terarah dapat saja
menjadi sembuh atau membaik.
 Program ini berdasarkan pada 4 faktor penting untuk belajar
keterampilan motorik dan re-learning kontrol motorik yaitu
eliminasi aktifitas otot yang tidak diperlukan, feedback,
latihan dan hubungan antara pengaturan postural dan
gerakan
 Re-learning yang ada pada program ini merupakan latihan
keterampilan yang sudah dimiliki pasien sebelum stroke,
yang akan dibantu oleh fisioterapis. Para terapis akan
mengarahkan dan menjelaskan (lebih kearah pelatih
daripada terapis) latihan-latihan yang akan dilakukan oleh
pasien stroke
Ada 4 hal penting dalam menggunakan program ini:
 Analisa aktivitas dan observasi untuk menentukan
problem
 Tugas motorik dilatih secara komponen atau secara
keseluruhan
Pada umunya pasien-pasien pada tahap awal tidak
dapat latihan secara keseluruhan sehingga perlu
dilakukan latihan gerakan yang terpisah (latihan
komponen terlebih dahulu)
 Teknik
Penjelasan, demonstrasi dan arahan manual akan
membantu pasien untuk mengerti alasan latihan
yang akan dijalaninya
 Metode Progression
Ketika pasien sudah menguasainya, pasien dilatih
keterampilan yang sama tapi dengan kondisi
lingkungan yang berbeda sehingga pasien terbiasa
dan beradaptasi dengan semua kondisi
 Efektifitas dari MRP tergantung dari kemampuan fisioterapis:
- Mengetahui perkembangan dari ilmu gerak
- Menganalisa kemampuan motorik pasien
- Menjelaskan kpd pasien secara jelas dan mudah
dimengerti
- Mengawasi kemampuan pasien & memberikan data yg
akurat
- Melakukan re-evaluasi pd tiap sesi kemampuan pasien
& efektifitas terapi yg telah dilakukannya
- Mengetahui kemajuan tingkat kemampuan pasien
- Menyediakan lingkungan yang positif bagi pasien
Empat langkah MRP
Langkah 1 Analisis
Pengamatan
Membandingkan
Analisis untuk menentukan kesenjangan/masalah
Langkah 2 Latihan komponen yang hilang
Penjelasan + identifikasi tujuan
Petunjuk/instruksi
Latihan + verbal dan visual feedback + petunjuk manual
(manual guidance)
Langkah 3 Latihan keseluruhan aktivitas
Penjelasan + identifikasi tujuan
Petunjuk/instruksi
Latihan + verbal dan visual feedback + petunjuk manual
Re-evaluasi
Melatih kelenturan/fleksibilitas
Langkah 4 Pemindahan latihan ke aktivitas nyata
Kesempatan latihan sesuai konteks
Konsisten latihan
Monitoring latihan
Belajar terstruktur di lingkungan
Keterlibatan keluarga dan staff
MOTOR RELEARNING PROGRAMME (MRP)
 MRP terdiri dari 7 sesi yang mewakili fungsi penting (tugas
motorik) dari kehidupan sehari-hari, yang dikelompokkan
menjadi
1. Fungsi ekstremitas atas
2. Fungsi orofasial
3. Tidur ke duduk di tepi tempat tidur
4. Posisi duduk yang seimbang
5. Duduk ke berdiri
6. Posisi berdiri yang seimbang
7. Berjalan
 MRP dilakukan sesegera mungkin stlh pasien dinyatakan
stabil.
 1,5 jam 2x perhari pada hari-hari pertama dan juga perlu
dilakukan terapi diluar jadwal dengan terapis sehingga
hasilnya lebih optimal
4. New Concepts

 Virtual Reality

 Robotics

 Telerehabilitation
New approaches ?
 Functional approach
 Fun (tidak lagi rehab yg formal, membosankan,
melelahkan)
 Direct feedback (pasien terlibat langsung dalam
memonitor dirinya, langsung tahu benar tidak, bisa
berapa kali, berapa lama)
 Techno trend (lebih modern, mengikuti kemajuan
teknologi)
 Competitiveness (dapat dikompetisikan sesama
pasien)
 Fisioterapi tidak lagi diperlukan????
 Berfungsi untuk meningkatkan feedback,
motivasi, semangat dan mungkin sugesti
 Selain itu sebagai variasi latihan

Inti latihan tetaplah ada pada diri pasien


dengan didampingi oleh fisioterapi yang
kompeten dan pemillihan metode intervensi
yang tepat
Mirror Feedback
Mass Scale Feedback
PFT by modern virtual reality techniques
(VR-PFT) for stroke

Postural feedback
training (PFT) is a
common rehabilitative
therapy to improve
standing balance control
in patients with stroke,
but does not offer
additional benefit to
usual care. 

PFT by modern virtual


reality techniques (VR-
PFT) may improve
balance in patients with
stroke to a level
unattained by PFT alone..
 VR merupakan teknologi berbasis komputer yang
memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan
berbagai input multi sensorik dengan cara simulasi “yang
seolah-olah nyata” dan mendapatkan feedback tentang
performance secara “real time”.
 Aplikasi latihan dengan VR mungkin atau memiliki potensi
yang relevan dalam konsep neuroplastisitas (misalnya dalam
hal: repetition, intensity, and meaningful task-oriented
training of the paretic extremity); lebih menarik;
memungkinkan “self direction” yang kondusif
 Aplikasi VR dapat bervariasi mulai dari yang sederhana
(nonimmersive) dimana pengguna tidak terlalu terlibat dalam
simulasi (misalnya bermain game) hingga yang komplek atau
fully immersive, dimana pengguna benar-benar terlibat
dalam simulasi (misalnya simulasi pilot)
 The overhead suspension
device: Biodex Unweighing
System
The inertial orientation
tracking device: Intersense
InertiaCube2
The mounted television
display: 51 inch Sharp Aquos
HDTV
 The programmable
treadmill: Biodex Gait Trainer
2
The desktop computer:
Windows™ Vista PC (Not shown
in photo)
Robotics

 Robotic devices provide high intensity repetitive


task specific interactive treatment
 Provide force feedback for sensorimotor type
rehabilitation training
 Measure speed,duration and strength of residual
voluntary activity
 Interactively evaluates patients movements
 Robotic therapy sebagai tambahan pada
tindakan conventional therapy menunjukkan
penurunan yang nyata pada motor impairment
dan peningkatan kemampuan fungsional
(sebagai complement therapy). (Masiero et al Arch
Phys Med 2007)
 Pasien dapat menerima dan bahkan merasa
puas diberikan tindakan berbasis teknologi
komputer
(Treger et al Eu J of physical and rehabil med 2009)
Telerehabilitation

 Pemanfaatan teknologi informasi dan


komunikasi untuk pelayanan program
rehabilitasi jarak jauh

 Positive outcomes for Physical functional and


Psychological measures
 Awalnya dikenal NMES (neuromuscular electrical
stimulation), dimana memiliki keterbatasan:
 Menggunakan elektrode, elektrode terbatas, lepas
pasang
 single kontraksi, lebih sulit diatur untuk gerak
fungsional bergantian
 Tidak memiliki semacam penyangga atau pembantu
anggota gerak tubuh (misalnya lengan dan tangan)
yang masih lemah
 Neuroprosthesis dapat memiliki hingga 5 elektrode aktif dengan
ukuran yang bervariasi, yang memungkinkan fisioterapis mengatur
posisi elektrode dan menghasilkan gerak sesuai kebutuhan pasien.
 Misalnya ditempatkan di otot extensor digitorum, extensor pollicis
brevis, flexor digitorum superficialis, flexor pollicis longus, dan
otot-otot thenar.
 Alat ini kemudian diprogram untuk gerak bergantian antara
finger/wrist extension dan finger/wrist flexion.
 Ketika pasien sudah terpasang alat ini dengan baik dan sudah
sedikit familiar, maka fisioterapis dapat mendesain latihan dengan
tugas spesifik (latihan fungsional, seperti,
 grasping, holding, and releasing large objects;
 picking up and moving small objects on a table;
 pinch grips to stack or lift, or performing overhead activities; and
 dressing, grooming, eating, opening bottles, and self-feeding
Terapi Kombinasi FES dan BWSTT dan VR

Jangan lupa kombinasi dengan:


• mental practice?
• CIMT?
• task specifik training?
• kombinasi lainnya?? Clinical reasoning!!
Summary
 Program rehabilitasi harus “meaningful” dan
berdasar pada fungsi yang dibutuhkan
 Program fisioterapi yang terbaik adalah yangg
paling sesuai dengan keadaan pasien sendiri
 Latihan dan pengulannan (intensif) sangat
dibutuhkan baik lat fisik (actual) maupun mental
(hanya di pikiran)
 Fisioterapis perlu untuk inovatif dan tidak
membatasi diri/intervensi
 Pasien perlu diberdayakan dan diberikan tanggung
jawab dalam merehabilitasi dirinya sendiri
DAFTAR PUSTAKA

Carr JH., Shepherd RB, 1998., Neurological Rehabilitation: Optimizing Motor Performance,
Butterworth-Heinemann, Oxford. 

Edwards, S., 2002, Neurological Physiotherapy: A Problem Solving Approach, Churchill Livingstone,
Edinburgh  

Langhammer, B., Stanghelle JK, 2000, Bobath or Motor Relearning Programme? A Comparison of two
different approaches of physiotherapy in stroke rehab: a RCT; Clin Rehab, 14: 361-369

Langhammer, B., Stanghelle JK, 2003, Bobath or Motor Relearning Programme? A follow-up one and
four years post stroke; Clinical Rehabilitation, 17: 731-734

School of Physiotherapy, 2001, Physiotherapy Studies 1: Neurological Physiotherapy, School of


Physiotherapy The University of Melbourne.

Hakkennes, S and Keating, JL., 2005; Constraint-induced movement therapy following stroke: A
systematic review of randomised controlled trials; Australian Journal of Phys 51: 221-231.

Balitbangkes Kemenkes RI, 2013; Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2013

Roger V, Go A, Lloyd-Jones D, Adams R, Berry J, et al. (2011) Heart disease and stroke statistics – 2011
update: a report from the American Heart Association. Circulation 123: e18–e209.

Veerbeek, et al, 2014; What Is the Evidence for Physical Therapy Poststroke? ASystematic Review and
Meta-Analysis; PLOS ONE, Vol 9: 2-e87987

Anda mungkin juga menyukai