Anda di halaman 1dari 6

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Cerebral Palsy


Cerebral Palsy (CP) merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan sekelompok gangguan gerakan, postur tubuh, dan tonus
yang bersifat non-progresif, berbeda-beda, kronis, dan akibat cedera pada
sistem saraf pusat yang selama awal masa perkembangan (Berker & Yalcin,
2010). Waktu timbulnya cidera dapat sebelum, pada saat proses lahir, atau
setelah lahir. Sementara istilah Cerebral Palsy megacu secara tersendiri pada
defisit motorik, dapat juga disertai gambaran serangan kejang, retardasi
mental, dan ketidakmampuan belajar. Gejalagejala gangguan motorik harus
ada untuk diagnosis, walaupun defisit neurologis lain juga dapat ditemukan.
Pada penelitianpenelitian menggunakan MRI, abnormalitas pada CP
merupakan akibat lesi lapisan putih periventrikuler, iskemi/hemoragi fokal,
ensefalopati difus, cedera basal ganglia, dan malformasi otak.
CP merupakan gangguan disabilitas fisik yang paling sering terjadi
pada masa kanak-kanak. Prevalensi CP hingga 2,5 per 1000 kelahiran hidup
dan insidensnya akan meningkat sehubungan dengan peningkatan layanan
Neonatal Intensive Care Unit (NICU) dan peningkatan bayi berat badan lahir
rendah yang bertahan hidup. Risiko CP meningkat 20-30 kali pada neonatus
berat badan lahir rendah; insidensnya 1,4% pada neonatus berat badan lahir
(BBL) 2500 gram dan 78% pada neonatus BBL di bawah 1000 gram. Di
Indonesia, prevalensi CP mencapai 1 – 5 per 1000 kelahiran hidup, lebih
banyak pada anak laki-laki dan anak pertama (Sitorus et al., 2016). Gangguan
maternal seperti gestosis, kehamilan ganda, keterlambatan intelektif,
keguguran, anomali plasenta dan prematuritas, perkembangan intrauterin
lambat, dan ensefalopati neonatus merupakan faktor-faktor predisposisi CP.
Beberapa gejala yang paling umum dari Cerebral Palsy yaitu
hipertonus, hipotonus, kemampuan koordinasi yang buruk dan kontrol otot
yang involunteer, kelemahan otot yang amat sangat, gerakan yang tidak
beraturan, kejang, gangguan pendengaran dan penglihatan, dan kontraktur
otot. Sekitar setengah dari jumlah pasien Cerebral Palsy diyakini biasanya
disertai dengan retardasi mental dan banyak diantaranya tidak bisa
berkomunikasi secara verbal. Klasifikasi CP berdasarkan: (1) tipe dan
keparahan abnormalitas motorik; (2) distribusi anatomi ekstremitas; (3)
karakteristik disfungsi terkait neurologi; (4) perkiraan saat terjadinya
penyebab. Spastisitas merupakan subtipe CP berdasarkan abnormalitas
motorik yang paling banyak ditemukan (85%-91%), lebih banyak dari
diskinesia (4%-7%), ataksia(4%-6%), dan hipotonia (2%). Pasien CP yang
telah didiagnosis harus mendapat intervensi dan pergerakan aktif yang dini;
spesifik berdasarkan subtipenya (Bearden et al., 2016)

2.2 Cerebral Palsy Type Spastik


Spastisitas dapat diartikan kekakuan abnormal otot-otot tubuh
tergantung kecepatan gerakan yang berhubungan dengan paralisis upper
motor neuron (UMN) (Octavia, 2019). Spastisitas dapat menyebabkan
gangguan aktivitas sehari-hari (ADL) yang meliputi berjalan, makan, mandi,
berpakaian. Spastisitas juga menimbulkan nyeri atau spasme otot, gangguan
pergerakan saat tidur, gangguan ambulasi, posisi buruk, tidak dapat berdiri
dan berjalan, otot distonia, kontraktur, deformitas tulang, subluksasi sendi,
dan hilangnya kemandirian fungsional. Spastisitas pada CP dapat disebabkan
oleh beberapa proses UMN. Jejas UMN menurunkan input kortikal ke
retikulospinal desenden dan traktus kortikospinalis, sehingga menyebabkan
kelemahan, hilangnya kontrol motorik, dan berkurangnya unit motorik
volunter aktif.
Penurunan input traktus desenden juga menghilangkan inhibisi normal
dari lengkung refleks di area abu-abu (grey matter) medula spinalis yang
menyebabkan hiperaktivitas lengkung refleks dan spastisitas. Spastisitas
terkadang berguna untuk pasien CP. Peningkatan tonus dapat membantu
ekstremitas bawah tetap lurus, dan mendukung berat badan pasien melawan
gravitasi. Peningkatan tonus ekstensor batang tubuh memungkinkan mereka
berdiri dan berjalan beberapa langkah. Diagnosis spastisitas pada pasien CP
memerlukan pemeriksaan fisik lengkap dan pemeriksaan penunjang sesuai
kebutuhan. Pemeriksaan fisik difokuskan pada kekuatan motorik, tonus otot,
ROM aktif ataupun pasif, sensorik, refleks tendon, alignment tubuh,
deformitas ekstremitas atas dan bawah. Salah satu cara pemeriksaan penting
adalah dengan skala Ashworth (Ferrari & Cioni, 2010).
Kerusakan Sistem Saraf Pusat (SSP) menyebabkan perubahan akut dan
kronis. Perubahan akut antara lain berupa paresis dan imobilisasi jangka
pendek, sedangkan efek kronis menyebabkan penyusunan ulang SSP akibat
cedera SSP, lama tidak digunakan, atau keduanya (Van Sant, 2010).
Perubahan-perubahan ini mempengaruhi persarafan otot dan lengkung
refleks, menimbulkan spastisitas, distonia spastis, dan ko-kontraksi spastis.
Hasil akhirnya adalah pemendekan otot dan kontraktur karena spastisitas
kronis dan otot yang tidak digunakan. Ada bukti bahwa berkurangnya motor
neuron reciprocal Ia inhibition of alpha (α) dan tendon Golgi nonreciprocal
Ib inhibition berhubungan dengan spastisitas.

2.3 Tendon Guard


Neuro senso motor reflex development and synchronization adalah
stimulasi pada anak usia dini yang bertujuan untuk merangsang tumbuhnya
hubungan antar sel neuron di otak (JL, 2016). Konsep neuro senso motor
reflex development and synchronization adalah suatu pendekatan untuk kasus
atau kondisi neurologi untuk menghubungkan otak dengan tubuh,
berdasarkan perkembangan biologi, psikologi, neuro, sosio dan kognitif
pasien. Pada konsep ini stimulasi diberikan melalui input sensori meliputi :
stimulasi taktil, facial release, tendon guard dan somato-sensory release.
Metode pendekatan ini memfokuskan pada mekanisme perkembangan dan
pembelajaran gerakan secara natural. Neuro senso motor reflex development
and synchronization berdasarkan pada konsep dan teori reflek integrasi, hal
ini sangat penting memahami perkembangan gerak dasar sebagai pendukung
utama Neuro senso motor reflex development and synchronization yang akan
mempengaruhi pembentukan pola belajar gerak yang bermakna dan
fungsional serta perkembangan pribadi individu.
Reflek-reflek yang mengikuti kita seumur hidup (lifelong reflexes)
yaitu: reflek gravitasi, grounding, stabilitas, balancing, centering, head
righting, tendon guard, abdominal, amphibi, matured gait, sequential side
rotation dan spinning reflex. Refleks-refleks tersebut mengiringi individu
seumur hidup dan memberikan pengaruh besar pada perkembangan struktur
dan fungsi tubuh yaitu: kontrol postur, koordinasi gerakan, sensory
integration dan senso-motor integration. Kematangan refleks juga
mempengaruhi perkembangan dan fungsi otak. Refleks-refleks yang
mengikuti kita akan mempengaruhi perkembangan emosi dan kepribadian
serta mempengaruhi cara belajar (learning style) dan perkembangan
kepribadian (Amanati et al., 2018). Pada pasien dengan cerebral palsy,
reflek-reflek primitif masih terbawa sehingga mengganggu proses tumbuh
kembangdari anak tersebut.
Tendon guard sendiri merupakan bagian dari Neuro senso motor reflex
development and synchronization, yaitu teknik merealise pada Golgi Tendon
Otot (GTO). Golgi Tendon Organ (GTO) adalah receptor regang yang
terletak di dalam tendon otot, tepat di luar perlekatannya pada serabut otot
tersebut. Refleks GTO terjadi akibat tegangan otot yang berlebihan, dimana
sinyal dari GTO merambat ke spinal cord yang menyebabkan terjadinya
hambatan respon (negative feed-back) terhadap kontraksi otot yang terjadi
sehingga dapat mencegah terjadinya sobekan otot sebagai akibat tegangan
yang berlebihan. GTO juga bekerjasama dengan muscle spindle untuk
mengontrol seluruh kontraksi otot dalam pergerakan tubuh. Sinyal dari golgi
tendon organ dihantarkan ke medula spinalis untuk menimbulkan efek
inhibisi dari golgi tendon organ yang menyebabkan relaksasi seluruh otot
secara tiba-tiba ketika terjadi kontraksi atau regangan yang kuat pada suatu
tendon. Keadaan ini menyebabkan suatu refleks seketika yang menghambat
kontraksi otot sehingga tegangan dengan cepat berkurang sehingga nilai
spastisitaspun dapat menurun (Syatibi & Suhardi, 2016).
Daftar Pustaka

Amanati, S., Purnomo, D., & Abidin, Z. (2018). Pengaruh Terapi Latihan Pada
Development Delay Exercise Therapy Effect on Development Delay. 2(1),
61–69.
Bearden, D. R., Monokwane, B., Khurana, E., Baier, J., Baranov, E.,
Westmoreland, K., Mazhani, L., & Steenhoff, A. P. (2016). Pediatric
Cerebral Palsy in Botswana: Etiology, Outcomes, and Comorbidities.
Pediatric Neurology, 59, 23–29.
https://doi.org/10.1016/j.pediatrneurol.2016.03.002
Berker, N., & Yalcin, S. (2010). The Help Guide to Cerebral palsy. In Handbook
of Clinical Neurology. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-444-
52901-5.00038-1
Ferrari, A., & Cioni, G. (2010). The Spastic forms of cerebral palsy: A guide to
the assessment of adaptive functions. In The Spastic Forms of Cerebral
Palsy: A Guide to the Assessment of Adaptive Functions.
https://doi.org/10.1007/978-88-470-1478-7
JL, K. (2016). Masgutova Neurosensorimotor Reflex Integration (MNRI)
Neuromodulation Technique induces Positive Brain Maps (QEEG) Changes.
Journal of Neurology and Neurobiology, 2(5). https://doi.org/10.16966/2379-
7150.130
Octavia, M. (2019). Peran Toksin Botulinum Tipe A ( BoNT-A ) pada Spastisitas
Pasien Cerebral Palsy. 46(4), 291–294.
Sitorus, F. S. S. A. B., Mogi, T. I., & Gessal, J. (2016). Prevalensi Anak Cerebral
Palsy Di Instalasi Rehabilitasi Medik Rsup Prof.Dr.R.D.Kandou Manado
Periode 2015. Jurnal Kedokteran Klinik, 1(1), 14–19.
Syatibi, M. M., & Suhardi, S. (2016). Manipulasi Organ Golgi Tendon Untuk
Mengurangi Tingkat Spastisitas Otot-Otot Penggerak Lengan Pasca Stroke
Infark. Jurnal Keterapian Fisik, 1(1), 15–20.
https://doi.org/10.37341/jkf.v1i1.63
Van Sant, A. F. (2010). Pediatric Physical Therapy. In Pediatric Physical
Therapy (Vol. 22, Issue 2). https://doi.org/10.1097/PEP.0b013e3181dce4dd

Anda mungkin juga menyukai