Anda di halaman 1dari 37

KELOMPOK 1

1. Chory Rahma Andriani (2107482011128)


2. Riesthy Achri Adha (2107482011129)
3. Agus Rahman Rinaldi (2107482011130)
4. Agung Putra Brani (2107482011131)
UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA

UNDANG-UNDANG & ETIKA KEFARMASIAN


1. UU NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA

Dibuat dengan menimbang :

• Bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain
pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dan
disisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika.
• Bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan
kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat
merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.
BAB I (KETENTUAN UMUM)

Pasal 1
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan.
2. produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas, dan/atau
mengubah bentuk narkotika termasuk mengekstraksi, mengkonversi, atau merakit narkotika untuk memproduksi
obat.
3. Impor adalah kegiatan memasukkan narkotika dari Daerah Pabean.
4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika dari Daerah Pabean.
5. Peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan
melawan hokum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika.
6. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan Menteri Kesehatan untuk mengimpor narkotika.
7. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan Menteri Kesehatan mengekspor narkotika.
BAB II (RUANG LINGKUP DAN TUJUAN)

Pasal 2
1. Ruang lingkup pengaturan narkotika dalam Undang-undang ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan
yang berhubungan dengan narkotika.
2. Narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan menjadi :
a. Narkotika golongan I;
b. Narkotika golongan II; dan
c. Narkotika golongan III.
Pasal 3
Pengaturan narkotika bertujuan untuk :
d. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan;
e. Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan
f. Memberantas peredaran gelap narkotika.
Pasal 4
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 5
Narkotika Golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya.
BAB III (PENGADAAN)

Pasal 6
1. Menteri Kesehatan mengupayakan tersedianya narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 8
2. Menteri kesehatan memberi izin khusus untuk memproduksi narkotika kepada pabrik obat tertentu yang telah
memiliki izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Menteri kesehatan melakukan pengendalian tersendiri dalam pelaksanaan pengawasan terhadap proses produksi,
bahan baku narkotika, dan hasil akhir dari proses produksi narkotika.
Pasal 9
4. Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang
sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan dengan pengawasan yang ketat dari
Menteri Kesehatan.
Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan

Pasal 10
1. Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa Lembaga Pendidikan. Pelatihan, keterampilan dan
penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, yang
secara khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan, penelitian, dan
pengembangan dapat memperoleh, menanam, menyimpan dan menggunakan narkotika dalam
rangka kepentingan ilmu pengetahuan setelah mendapat izin dari Menteri Kesehatan.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk memeperoleh izin diatur
dengan keputusan Menteri Kesehatan.
BAB IV (IMPOR DAN EKSPOR)

Pasal 14
Pelaksanaan impor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut
dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor.
Pasal 16
1. Eksportir narkotika harus memiiki surat persetujuan ekspor untuk setiap kali melakukan ekspor narkotika dari
Menteri Kesehatan.
2. Untuk memperoleh surat persetujuan ekspor narkotika harus dilampiri dengan surat persetujuan dari negara
pengimpor.
Pasal 17
Pelaksanaan ekspor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengimpor dan persetujuan tersebut
dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.
PENGANGKUTAN NARKOTIKA

Pasal 23
1. Eksportir narkotika wajib memberikan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen
persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara
pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
2. Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan surat persetujuan ekspor
narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negara kepada penganggung jawab pengangkutan.
3. Penanggungjawab pengangkut ekspor narkotika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat
persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.
PEMBONGKARAN NARKOTIKA KETIKA SAMPAI DI PELABUHAN

Pasal 24
1. Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau ditempat yang
aman di dalam kapal dengan disegel oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.
2. Nahkoda membuat berita acara tentang muatan narkotika yang diangkut.
3. Nahkoda, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan, wajib melaporkan
narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada Kepala Kantor Pabean setempat.
4. Pembongkaran matan narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh
Pejabat Bea dan Cukai.
5. Nakhoda yang mengetahui adanya narkotika di dalam kapal secara tanpa hak, wajib membuat berita acara
melakukan tindakan-tindakan pengamanan dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan
menyerahkan nakhoda tersebut kepada pihak yang berwenang.
Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.
BAB V (IMPOR DAN EKSPOR)

Pasal 32
Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam
rangka perdagangan, bukan perdagangan, maupun pemindahtanganan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 33
1. Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada Departemen Kesehatan.
2. Narkotika Golongan II dan III yang berupa bahan baku baik alamiah maupun sintetis dapat diedarkan tanpa wajib
daftar pada Departemen Kesehatan.
Pasal 34
Setiap kegiatan dalam rangka peredaran narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.
PENYALURAN NARKOTIKA

Pasal 36
1. Importir hanya dapat menyalurkan narkotika kepada pabrik obat tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu.
2. Pabrik obat tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada :

a. Eksportir;
b. Pedagang besar farmasi tertentu;
c. Apotek;
d. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerinteh tertentu;
e. Rumah sakit; dan
f. Lembaga ilmu pengetahuan tertentu.
3. Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada :
a. Rumah sakit pemerintah;
b. Puskesmas; dan
c. Balai pengobatan pemerintah tertentu.
4. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya
a. Rumah sakit pemerintah;
b. Puskesmas; dan
c. Balai pengobatan pemerintah tertentu.
PENYERAHAN NARKOTIKA

Pasal 39
1. Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh :
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. puskesmas;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
2. Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada :
a. rumah sakit; d. balai pengobatan;
b. puskesmas; e. dokter; dan
c. apotek lainnya; f. pasien.
3. Rumah sakit, apotek, puskesmas, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien
berdasarkan resep dokter.
4. Penyerahan narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan dalam hal :
a. Menjalankan praktek dokter dan diberikan melalui suntikan;
b. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat melalui suntikan; atau
c. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang ada di apotek.
5. Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan dokter sebagaimana dalam ayat (4)
hanya dapat diperoleh dari apotek.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut megenai persyaratan dan tata cata penyerahan narkotika diatur dengan Keputusan Menteri
Kesehatan.
BAB VI (LABEL DAN PUBLIKASI)

Pasal 41
1. Pabrik obat wajib mencantumkan label pada kemasan baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika.

2. Label pada kemasan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi
tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, ditempelkan atau
merupakan bagian dari wadah dan/atau keemasannya.
3. Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label narkotika harus lengkap dan tidak menyesatkan.
Pasal 42
Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.
BAB VI (PENGOBATAN DAN REHABILITASI)

Pasal 44
1. Untuk kepentingan pengobatan dan/atau perawatan, pengguna narkotika dapat memiliki, menyimpan, dan/atau
membawa narkotika.
2. Pengguna narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mempunyai bukti bahwa narkotika yang dimiliki
disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah.
Pasal 45
Pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan.
Pasal 46
3. Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkannya kepada pejabat yang
ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
4. Pecandu narkotika yang telah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pejabat yang
ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
PROSES REHABILITASI

Pasal 49
1. Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
2. Atas dasar persetujuan Menteri Kesehatan, lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat
melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika.
3. Selain pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat
diselenggarakan oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.
Pasal 50
Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika dilakukan pada lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Menteri Sosial.
BAB X (PEMUSNAHAN)

Pasal 60
Pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal :
a. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi;
b. Kadaluarsa;
c. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk perkembangan ilmu pengetahuan;
atau
d. Berkaitan dengan tindak pidana.
Pasal 61
1. Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a, b, dan c dilaksanakan oleh Pemerintah, orang,
atau badan yang bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran narkotika, sarana kesehatan tertentu, serta
lembaga ilmu pengetahuan tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk Menteri Kesehatan.
2. Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang
sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama, jenis, sifat dan jumlah;
b. Keterangan tempat, jam hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan pemusnahan; dan
c. Tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.
3. Pemusnahan narkotika dilakukan dengan pemusnahan berita acara sekurang-kurangnya memuat :
a. Nama, jenis, sifat dan jumlah;
b. Keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan;
c. Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan
d. Tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.
2. PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA KEBUTUHAN
TAHUNAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR.

Undang-undang ini dibuat dengan menimbang :

bahwa untuk melaksanakan Pasal 9 ayat (4) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 35 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Pasal 5 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010
tentang Prekursor, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rencana Kebutuhan Tahunan Narkotika,
Psikotropika dan Prekursor.
BAB I (KETENTUAN UMUM)

Pasal 1
3. Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika dan
Psikotropika.
4. Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan
baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau produk antara, produk ruahan dan produk jadi
yang mengandung efedrin, pseudoefedrin, norefedrin/fenilpropanolamin, ergotamine, ergometrin, atau potassium
permanganat.
5. Prekursor Non Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan untuk keperluan
proses produksi industri non farmasi.
PENYALURAN

Pasal 8
Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib memenuhi Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
1. Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
a. Surat pesanan; atau
b. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk pesanan dari Puskesmas.
2. Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat berlaku untuk masing-masing Narkotika,
Psikotropika, atau Prekursor Farmasi.
3. Surat pesanan hanya dapat berlaku untuk masing-masing Narkotika, Psikotropika, atau Prekursor Farmasi.
4. Surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis
Psikotropika atau Prekursor Farmasi.
PENYALURAN NARKOTIKA GOLONGAN I

Pasal 10
1. Penyaluran Narkotika Golongan I hanya dapat dilakukan oleh perusahaan PBF milik Negara yang memiliki Izin
Khusus Impor Narkotika kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, termasuk untuk kebutuhan laboratorium.
2. Penyaluran Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari
Apoteker penanggung jawab dan/atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 1 terlampir.
PENYALURAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR FARMASI DALAM BENTUK
BAHAN BAKU

Pasal 11
1. Penyaluran Narkotika dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan oleh perusahaan PBF milik Negara yang
memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
2. Penyaluran Narkotika hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker penanggung jawab produksi
dan/atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir
1 terlampir.
Pasal 12
3. Penyaluran Psikotropika dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan oleh PBF yang memiliki izin sebagai IT
Psikotropika kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
4. Penyaluran Psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker penanggung jawab
produksi dan/atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 2 terlampir.
PENYALURAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR FARMASI DALAM BENTUK
OBAT JADI

Pasal 14
1. Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi hanya dapat
dilakukan oleh:
a. Industri Farmasi kepada PBF dan Instalasi Farmasi Pemerintah;
b. PBF kepada PBF lainnya, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi
Pemerintah dan Lembaga Ilmu Pengetahuan;
c. PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada Industri Farmasi, untuk penyaluran
Narkotika;
d. Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat kepada Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Rumah Sakit
milik Pemerintah, dan Instalasi Farmasi Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian; dan
e. Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah kepada Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah, Instalasi
Farmasi Klinik milik Pemerintah Daerah, dan Puskesmas.
PENYERAHAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

Pasal 21
1. Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh dokter kepada pasien hanya dapat dilakukan dalam hal :
a. Dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan Narkotika dan Psikotropika melalui suntikan;
b. Dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
c. Dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Psikotropika; atau
d. Dokter menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada Apotek berdasarkan surat penugasan dari pejabat yang
berwenang.
2. Surat penugasan termasuk sebagai izin penyimpanan Narkotika dan Psikotropika untuk keperluan pengobatan.
PENYERAHAN PREKURSOR FARMASI

Pasal 22
4. Penyerahan precursor farmasi golongan obat keras hanya dapat dilakukan untuk memnuhi kekurangan jumlah
Prekursor Farmasi golongan obat keras berdasarkan resep yang diterima.
5. Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas oleh Apotek kepada Apotek lainnya, Puskesmas,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, dan Toko Obat hanya dapat dilakukan untuk memenuhi
kekurangan kebutuhan harian Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas yang diperlukan untuk pengobatan.
6. Penyerahan Prekursor Farmasi oleh Apotek kepada dokter hanya dapat dilakukan apabila diperlukan untuk
menjalankan tugas/praktik di daerah terpencil yang tidak ada Apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB III (PENYIMPANAN)

Pasal 24
Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di fasilitas produksi, fasilitas distribusi, dan
fasilitas pelayanan kefarmasian harus mampu menjaga keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi.
Pasal 25
1. Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dapat berupa gudang, ruangan, atau lemari
khusus.
2. Tempat penyimpanan Narkotika dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Narkotika.
3. Tempat penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Psikotropika.
4. Tempat penyimpanan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku dilarang digunakan untuk menyimpan barang
selain Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku.
SYARAT GUDANG PENYIMPANAN

Pasal 26
1. Gudang khusus harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Dinding terbuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang dilengkapi dengan pintu jeruji besi dengan 2 buah
kunci yang berbeda;
b. Langit-langit terbuat dari tembok beton atau jeruji besi;
c. Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi;
d. Gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggung jawab; dan
e. Kunci gudang dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab dan pegawai lain yang dikuasakan.
2. Ruang khusus harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat;
b. Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi;
c. Mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
d. Kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain
yang dikuasakan; dan
e. Tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggung jawab/Apoteker yang ditunjuk.
3. Lemari khusus harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Terbuat dari bahan yang kuat;
b. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
c. Harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk Instalasi Farmasi Pemerintah;
d. Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum, untuk Apotek, Instalasi Farmasi Rumah
Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan ; dan
e. Kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain
yang dikuasakan.
BAB IV (PEMUSNAHAN)

Pasal 39
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus dilakukan dengan :
a. Tidak mencemari lingkungan; dan
b. Tidak membahayakan kesehatan masyarakat.
Pasal 40
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
c. penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter
praktik perorangan menyampaikan surat pemberitahuan dan permohonan saksi.
d. Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas Kesehatan Provinsi, Balai Besar/Balai
Pengawas Obat dan Makanan setempat, dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan petugas di
lingkungannya menjadi saksi pemusnahan sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.
c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan.
d. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku, produk antara, dan produk
antara, dan produk ruahan harus dilakukan sampling untuk kepentingan pengujian oleh petugas yang
berwenang sebelum dilakukan pemusnahan.
e. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus dilakukan kebenaran secara
organoleptis oleh saksi sebelum dilakukan pemusnahan.
Pasal 41
Dalam hal pemusnahan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dilakukan oleh pihak ketiga, wajib
disaksikan oleh pemilik Narkotika, Psikotropika, dan
BAB V (PECATATAN DAN PELAPORAN)

Pasal 43 (pencatatan)
3. Pencatatan paling sedikit terdiri atas :
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi;
b. Jumlah persediaan;
c. Tanggal nomor dokumen dan sumber penerimaan;
d. Jumlah yang diterima;
e. Tanggal nomor dokkumen dan tujuan penyaluran / penyerahan;
f. Jumlah yang disalurkan / diserahkan;
g. Nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran/penyerahan; dan.
h. Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
PELAPORAN

Pasal 45
5. Pelaporan paling sedikit terdiri atas :
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi;
b. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c. Tanggal nomor dokumen dan sumber penerimaan;
d. Jumlah yang diterima;
e. Tanggal nomor dokumen dan tujuan penyaluran;
f. Jumlah yang disalurkan; dan
g. Nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran dan persediaan awal dan akhir.
6. Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik
perorangan wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan
Narkotika dan Psikotropika, setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan
Kepala Balai setempat.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai