Anda di halaman 1dari 8

Komunikator dalam Perubahan Sosial

dan Pembangunan 
Pendahuluan
• Dalam perspektif komunikasi aktor atau agen perubahan jamak
disebut komunikator, karena perannya antara lain
mengkomunikasikan agenda perubahan atau pembangunan kepada
parapihak yang berkepentingan.
• Ia berfungsi sebagai matarantai komunikasi antara dua atau lebih
sistem sosial.
• Yakni menghubungkan antara suatu sistem sosial yang memelopori
perubahan tadi dengan sistem sosial yang menjadi klien dalam usaha
perubahan tersebut.
Peran Komunikator
• Sebagai katalisator, yang menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan.
• Sebagai pemberi solusi atau pemecah masalah.
• Membantu dalam proses perubahan dan penyebaran inovasi, dan memberi petunjuk
mengenai bagaimana:
1. Mengenali dan merumuskan kebutuhan;
2. Mendiagnosis permasalahan dan menemukan tujuan.
3. Mendapatkan sumber-sumber yang relevan.
4. Memilih atau menciptakan pemecahan masalah.
5. Menyesuaikan dan merencanakan pentahapan pemecahan masalah.
• Sebagai penghubung (linker) dengan sumber-sumber yang diperlukan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.
Komunikator dan Kemampuan Komunikasi
• Agar agenda perubahan/pembangunan membawa hasil positif, maka para aktor atau agen
perubahan dituntut memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik.
• Tidak sedikit agenda perubahan ataupun rencana-rencana pembangunan yang dilakukan
berujung kegagalan akibat tidak dikomunikasikan dengan baik.
• Di antara kegagalan mengkomunikasikan itu terletak pada kemampuan dan cara
berkomunikasi para aktor atau agen perubahan.
• Kemampuan berkomunikasi harus ditunjang oleh karakter atau kepribadian yang melekat
pada diri aktor/ agen perubahan. Keterampilan itu harus melekat dan menjadi karakter utuh
dalam dirinya menyatu bersama sikap kepribadian dan keahlian yang ia miliki.
• Aristoteles (Rahmat dalam Zubair, 2011: 299) menyebut karakter komunikator yang
demikian sebagai etos. Ia terdiri dari pikiran baik, akhlak yang baik, dan maksud yang baik
(good sense, good moral character, good will). Ethos berwujud dalam bentuk credibility yang
terdiri dari expertise (keahlian) dan thrusworthiness (dapat dipercaya).
Aktor Kultural sebagai Komunikator
• Komunikasi memegang peranan penting dalam setiap usaha melakukan perubahan ke
arah yang lebih. Tapi, komunikasi saja tidaklah cukup. Ia harus ditunjang oleh sosok atau
tokoh yang mengkomunikasikannya.
• Seseorang bisa saja menyampaikan atau bahkan mengajak masyarakat untuk berubah.
Misalnya, tidak membuang sampah sembarangan. Namun karena yang mengajak adalah
orang yang dianggap biasa atau tidak memiliki kapasitas (keahlian/kepakaran),
kedudukan sosial lebih tinggi, atau secara kultural tidak memiliki ketokohan, maka
jangankan dituruti, ajakan tersebut bisa tidak didengar sama sekali.
• Dalam struktur masyarakat Indonesia pada umumnya, sosok yang dinilai memiliki
kapasitas, status sosial, atau memiliki ketokohan, akan jauh didengar dan diikuti nasihat
maupun pandangannya oleh masyarakat di bandingkan orang-orang biasa. Terlebih
dalam upaya melakukan perubahan sosial maupun dalam menyukseskan berbagai
agenda pembangunan.
• Khusus untuk masyarakat yang secara geografis tinggal di pedesaan, pelibatan
para aktor kultural sebagai upaya dalam melakukan perubahan sosial dan
pembangunan menjadi mutlak dibutuhkan.
• Selain karena aksesibilitas masyarakatnya terhadap berbagai informasi yang
relatif masih terbatas dibanding masyarakat di perkotaan, pengaruh dan
legitimasi kultural terhadap tokoh-tokoh masyarakat tersebut menjadikan apa
yang mereka sampaikan begitu didengar dan dipatuhi.
• Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika pemerintah dan pihak-pihak
terkait lainnya senantiasa melibatkan para aktor kultural tersebut dalam setiap
agenda pembangunan maupun perubahan sosial, utamanya menjadi
mataarantai komunikasi (penghubung/komunikator) antara
pemerintah/lembaga lain dengan masyarakat.
• Mereka bisa terdiri dari tokoh agama, tetua adat, dan tokoh-tokoh kultural
lainnya.
Aktor Kultural dan Opinion Leader
• Dalam perspektif komunikasi, para tokoh atau elit kultural tersebut biasa disebut sebagai opinion
leader atau pemimpin pendapat.
• Istilah opinion leader muncul di Amerika Serikat pada sekitar 1940-an. Peneliti bernama Paul
Lazarfeld meneliti tentang perilaku pemilih dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat. Hasilnya,
ditemukan fakta bahwa media massa memiliki pengaruh sangat kecil dan terbatas dalam terhadap
perilaku pemilih. Sebaliknya, perilaku mereka dalam pemilihan presiden lebih banyak dipengaruhi
oleh para opinion leader.
• Dari situ istilah opinion leader menjadi populer, termasuk diadopsi di Indonesia dan banyak
dikaitkan dengan kondisi masyarakat di pedesaan, di mana tingkat media exposure maupun
tingkat pendidikan masyarakatnya yang relatif rendah dibanding di perkotaan, sehingga secara
alamiah menjadikan para tokoh kultural mereka sebagai tempat bertanya dan meminta pendapat.
• Hal ini bisa dipahami karena kedudukan dan kekuasaan kulturalnya itulah yang memungkinkan
para elit kultural tersebut memiliki aksesibilitas informasi dari berbagai media, dan oleh karenanya
memiliki tingkat pemahaman dan pengetahuan terhadap berbagai informasi yang didapat secara
lebih baik pula.
• Mengingat pengaruhnya yang begitu besar, maka akan sangat sulit perubahan
sosial dan pembangunan dapat membawa hasil positif sebagaimana
diharapkan apabila tidak melibatkan mereka.
• Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa keberhasilan perubahan sosial dan
pembangunan di sebuah wilayah bergantung pada keberhasilan dalam
pelibatan para tokoh kultural tersebut.
• Pelibatan bisa dimulai dengan menyampaikan informasi awal tentang rencana
dan agenda perubahan atau pembangunan yang hendak dilakukan, yang
dalam praktiknya kemudian merekalah yang justru akan tampil sebagai
mataarantai komunikasi dengan masyarakatnya.
•  Melalui merekalah informasi dan ilmu pengetahuan itu diperoleh masyarakat,
termasuk tafsir atas segala informasi dimaksud yang mewujud dalam sikap,
pendapat dan nasihat yang dipinta ataupun tidak tetapi diikuti dan dipatuhi.

Anda mungkin juga menyukai