Manusia Manusia adalah pengertian biologis, merupakan gejala dalam alam, yaitu makhluk hidup yang mempunyai panca indra. Sedangkan orang adalah pengertian yuridis, merupakan gejala dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum, yang menjadi pusat perhatian adalah orang atau persoon. Menurut hukum modern, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi, artinya diakui sebagai orang atau persoon. Oleh karena itu setiap manusia diakui sebagai subyek hukum (rechtspersoonlijkheid), yaitu pendukung hak dan kewajiban. MANUSIA Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban adalah sejak lahir dan baru berakhir apabila meninggal dunia. Pengecualian mulainya mendukung hak dan kewajiban adalah sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu: “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada”. Ketentuan yang termuat dalam pasal 2 Kitab Undang- undang Hukum Perdata sering disebut rechtsfictie. Ketentuan ini sangat penting dalam hal warisan. MANUSIA Berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam perdata adalah apabila ia meninggal dunia. Artinya selama seseorang masih hidup maka selama itu pula ia mempunyai kewenangan berhak. Pasal 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “Tiada suatu hukuman pun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak kewargaan”. Tetapi terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kewenangan berhak seseorang yang sifatnya membatasi kewenangan berhak tersebut, antara lain adalah: 1. Kewarganegaraan, misalnya dalam pasal 21 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik. 2. Tempat tinggal, misalnya dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1960 dan pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 (tambahan pasal 3a s/d 3e) jo. pasal 10 ayat (2) UUPA mengenai larangan pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya. 3. Kedudukan atau jabatan, misalnya hakim dan pejabat hukum lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih dalam perkara. 4. Tingkah laku atau perbuatan, misalnya dalam pasal 49 dan 53 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan keputusan pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan kewajibannya sebagai orang tua/ wali atau berkelakuan buruk sekali.