Pendekatan lain dalah pendekatan politis, yaitu administrasi negara yang menekankan fungsi-fungsi politik dalam bernegara. Fungsi-fungsi politik yang dimaksudkan adalah: 1. Memberi pengetahuan ke arah penguasaan negara 2. Mempertahankan kekuasaan atau kedudukan atas negara; 3. Mengatur hubungan antar individu dan individu dengan negara, hubungan antar kelompok dan antara kelompok dan negara, dan mengatur hubungan antar negara. Bahwa fungsi mempertahankan kekuasaan atas negara sebagai fungsi administrasi negara, memiliki perbedaan dalam cara, metode, dan prosedurnya bergantung pada bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahannya. Dalam negara yang berbentuk republik diterapkan sistem demokrasi, artinya kekuasaan atas negara dilakukan melalui sistem pemilu yang bebas dan rahasia serta mengusahakan kesejahteraan rakyat yang menyeluruh. Apabila masyarakat merasa puas terhadap pelayanan dari administrasi negara yang sedang berjalan itu, pada pemilu berikutnya rakyat akan memilih kembali kelompok atau golongan yang menjadi top administrator. Adapun negara-negara sosialis- komunis, untuk mempertahankan kekuasaan atas negara, mereka mengusahakan kedudukan dalam partai politik melalui kongres partai, disebabkan antara kedudukan dalam partai politik dengan kedudukan dalam negara atau pemerintah terdapat kesesuaian. Sekretaris jenderal partai komunis biasanya merangkap jabatannya dengan perdana menteri, sedangkan ketua partai menjadi presidennya. Jadi, walaupun ada pemilu dalam kerangka mempertahankan kekuasaan negara, sifat pemilihan itu sudah terarah dan tidak lagi bebas dan rahasia. Negara yang berbentuk monarki absolut, seperti Saudi Arabia, mempertahankan kekuasaan atas negaranya dengan sistem keturunan sehingga yang menjadi raja adalah “putra mahkota” dan perdana menteri yang didukung oleh kekuatan militer. Oleh karena itu, monarki absolut menganut sistem diktator. Di Saudi Arabia tidak dilaksanakan pemilu karena negara tersebut tidak memiliki parlemen dan partai politik (Hand Book of Political World: 1976). Adapun pada negara yang berbentuk monarki demokrasi, seperti Inggris, Nederland, dan Jepang, cara mempertahankan kekuasaan atas negara melalui pemilu, karena dalam negara tersebut terdapat parlemen dan partai politik yang jumlahnya lebih dari satu, kecuali kepala negara, ia harus putra atau putri mahkota. Adapun Administrasi negara yang demokratis selalu membangun hubungan antarindividu atau antara individu dan kelompok dan individu dengan negara secara demokratis, persamaan sosial (social equality), dan equality before the law (persamaan di muka hukum) serta partisipasi sosial, tanggung jawab sosial, pengawasan, dan pengendalian sosial. Dalam negara yang sistem pemerintahannya atau sistem administrasi negaranya diktator, dalam hubungan pengaturan individu dengan negara atau individu dengan kelompok tidak akan terdapat social equality (persamaan sosial) ataupun equality before the law (persamaan di depan hukum), dan tidak akan lahir open management (manajemen terbuka). Paham liberalisme menempatkan individu pada posisi utama yang harus diperhatikan oleh negara dengan alasan bahwa masyarakat tidak akan lahir tanpa individu dan pada akhirnya negara tidak akan lahir tanpa adanya masyarakat. Oleh karena itu, dalam pengaturan hubungan antarindividu, harkat, martabat, dan derajat individu sangat dijunjung tinggi. Administrasi negara komunistis menegaskan bahwa setiap individu tidak mempunyai arti yang lepas dari masyarakatnya. Oleh karena itu, yang terpenting bukanlah individu melainkan masyarakat, mengingat masyarakatlah yang membuat negara dan bukan individu. Pandangan itu melahirkan paham kolektivisme (pemilikan bersama). Paham tersebut menyatakan bahwa kegiatan administrasi negara dalam mengatur hubungan antar individu dengan kelompok memprioritaskan kekuatan kelompok, yaitu hak dan kewajiban kelompok. Demikian terjadi karena adanya penyelewengan terhadap kolektivisme. Dalam paham ini, hak-hak individu dan human dignity atau derajat manusia secara perseorangan (bagi anggota masyarakat biasa) tidak memperoleh pengakuan, kecuali bagi top public administration. Adapun negara-negara yang berpaham Islam, pengaturan hubungan antar individu dan masyarakat dengan negara didasarkan pada Al-Quran dan As- Sunnah. Fungsi pengaturan hubungan antar kelompok dan antara kelompok dan negara dalam setiap aktivitas administrasi negara berbeda-beda, bergantung pada sistem yang digunakan. Akan tetapi, kekuasaan partai akan menjelma menjadi pemerintahan. Misalnya,pada sebelum kemenangan Partai PDI Perjuangan, pernah Partai Demokrat yang menjadi pemenang pemilu di Indonesia, hubungan antara parpol dengan negara sangat erat sehingga sulit untuk dibedakan antara pimpinan partai politik dan pimpinan administrasi negara karena orang- orangnya itu juga. Itulah sebabnya, sangat sulit membedakan pendapat pimpinan negara dan pendapat pimpinan partai politik. Misalnya, pendapat SBY sebagai presiden dan Hubungan antara organisasi politik dan negara dalam negara- negara yang menggunakan sistem demokrasi terdapat hal-hal yang “renggang”, sebab dalam negara tersebut terdapat banyak organisasi politik (lebih dari satu), sehingga aktivitas administrasi negara banyak bergantung pada “organisasi politik”. Adapun dalam fungsi mengatur hubungan negara dengan negara, walaupun sudah diatur oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, setiap negara mempunyai kebebasan untuk mengatur hubungan sendiri dengan negaranegara lainnya atau memutuskan hubungan sesuai dengan kepentingan negara masing-masing. Falsafah negara akan memengaruhi hubungan antarnegara. Terhadap negara-negara yang mempunyai falsafah negara yang berbeda, hubungannya sekadar untuk mewujudkan hubungan yang biasa berlaku dalam masyarakat bangsa- bangsa. Akan tetapi, untuk membangun hubungan dengan negara yang memiliki paham berbeda dibutuhkan kajian lebih mendalam, misalnya harus memahami kebijakan- kebijakan negara yang berbeda, seperti pada ranah politik Indonesia pernah melahirkan kebijakan Super Semar (Surat Perintah Sebelas Maret), yang kebijakan tersebut tidak dimiliki oleh negara-negara lainnya. Di Amerika Serikat, pembuat public policy (kebijakan publik) adalah kongres yang terdiri atas senat dan DPR (House of representatives). Di Inggris, pembuat kebijakan publik adalah Parlemen yang terdiri atas House of Lords dan House of Commons. House of Lords merupakan wakil-wakil para pangeran yang jumlah seluruhnya 11.000 orang, sedangkan yang aktif hanya berkisar 300 orang. House of Commons adalah wakil- wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu dengan sistem distrik. Masing-masing Badan Perwakilan Politik terdiri atas dua kamar. Senat merupakan wakil-wakil negara bagian yang jumlahnya masing-masing dua orang bagi setiap negara bagian untuk jangka waktu dua tahun. Adapun anggota-anggota House of Lords tidak terbatas waktunya sehingga public policy yang dibuat oleh Parlemen Inggris tidak akan banyak mengalami perubahan walaupun anggota House of Commons berubah. Akan tetapi, setiap public policy yang dibuat memerlukan persetujuan dari anggota House of Lords. Berbeda dengan Saudi Arabia yang tidak memiliki Badan Perwakilan Politik, pada negara ini, tidak ada partai politik dan tidak ada pemilihan umum. Public policy dibuat oleh raja bersama para menterinya yang dinasihati oleh alim ulama, karena public policy yang menyangkut politik, ekonomi, sosial, dan budaya, secara garis besar telah diatur Al- Quran dan As-Sunnah. Sistem pemerintahan yang berlaku di Saudi Arabia sebenarnya tidak mutlak sebagai sistem yang sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah, karena dengan sistem kerajaan, peluang masyarakat sangat tertutup untuk meraih kekuasaan tertinggi. Bahkan, sistem kerajaan dipandang sebagai sistem yang tidak demokratis. Akan tetapi, Saudi Arabia tetap mempertahankannya. Adapun kebijakan publik di Prancis dibuat oleh Parlemen, di Jepang dibuat oleh Dewan Negara, dan di Indonesia dibuat oleh MPR, DPR bersama-sama dengan Presiden. Presiden selaku administrator negara dan kepala pemerintahan menurut UUD 1945 ikut serta membuat undang- undang. Kebijakan publik di Indonesia dan di Amerika Serikat dibuat dan dibahas secara demokratis. Dengan demikian, dalam proses pembuatannya memiliki persamaan, hanya tahapan- tahapannya berbeda. Pendekatan sistem dalam administrasi negara melihat seluruh komponen administrasi sebagai totalitas yang berhubungan satu sama lain dan saling memengaruhi, sehingga apabila salah satu komponen terganggu, komponen lainnya akan terganggu pula. Di Indonesia, misalnya Dewan Perwakilan Rakyat berhubungan erat dengan presiden, presiden berhubungan erat dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat, MPR berhubungan dengan Dewan Perwakilan Daerah, demikian seterusnya. Lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif merupakan satu kesatuan yang utuh bagaikan satu bangunan yang berdiri kukuh dan saling menguatkan. Apabila lembaga yudikatif menyimpang dari amanat rakyat, negara akan hancur karena dipenuhi oleh para koruptor. Demikian pula, apabila legislatif tidak peduli dengan aspirasi rakyat, negara ini seperti tidak mempunyai telinga yang mampu mendengar. Apabila lembaga eksekutifnya menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya, masyarakat jugalah yang menjadi korbannya. Lembaga eksekutif akan mengalami hambatan apabila lembaga legislatif dalam kerangka membuat UU yang akan menjadi pedoman pelaksanaan badan eksekutif kurang lancar, disebabkan dalam badan perwakilan politik tidak terdapat mayoritas suara untuk suatu keputusan. Badan eksekutif kurang lancar disebabkan badan yudikatif sebagai badan pengawas yudisial yang berfungsi untuk mengawasi pemerintah supaya pemerintahan berjalan sesuai dengan konstitusi dan tidak melanggar hak-hak asasi manusia tidak berjalan efektif. Di sini, terlihat bahwa antara ketiga badan itu saling memengaruhi. Pada masyarakat paternalistik, feodalistik, dan otokratis akan sulit melahirkan suatu sistem administrasi negara yang demokratis karena sistem sosial yang demikian akan menjadi kekuatan pendukung bagi sistem administrasi negara yang diktatoris. .