Anda di halaman 1dari 42

SPONDILITIS

TUBERKULOSIS
Angela T Manurung

PEMBIMBING :
Dr. Chairuddin Lubis, Sp.OT, Subsp.OTB

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah Subdivisi Orthopedi


Fakultas Kedokteran Universitas Riau
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru 2023
PENDAHULUAN
▪ Spondilitis TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
▪ Kasus TB : >8 juta/tahun (WHO)
▪ Indonesia : No. 3 setelah India dan China
▪ Tahun 2017 : 420.994 kasus.
▪ Spondilitis : 5% dari total kasus TB di Indonesia.

2
PENDAHULUAN

Pada spondilitis TB umumnya melibatkan

• Vertebra torakal (40-50%)

• Vertebra Lumbosacral (35-45%)

3
Terdiri dari 33 tulang :

• 7 buah tulang cervical,

• 12 buah tulang thoracal,

• 5 buah tulang lumbal,

• 5 buah tulang sacrum,

• 4 tulang cogcygis.

4
SPONDILITIS TB
(Pott’s Disease of the Spine)

Peradangan granulomatosa pada tulang vertebrae yang bersifat kronis

destruktif disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa.

5
ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis

• Aerob

• Bakteri tahan asam

• Tempat yang lembab dan pada suhu kamar.

• Di dalam tubuh, dapat dorman selama beberapa tahun.

6
PATOFISIOLOGI
M. tuberkulosis masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan yang berlangsung
dalam 4 fase :

(1) Fase primer


Basil masuk melalui saluran pernapasan sampai ke alveoli. Di dalam
jaringan paru timbul reaksi radang yang melibatkan sistem imun tubuh dan
membentuk afek primer. Bila basil terbawa ke kelenjar limfe di hilus akan timbul
limfadenitis primer, suatu granuloma sel epiteloid dan nekrosis perkejuan. Afek
primer dan limfadenitis ini disebut kompleks primer.

(2) Fase Miliar


Kompleks primer mengalami penyebaran miliar, yaitu sebuah penyebaran
hematogen yang menimbulkan infeksi di seluruh paru dan organ lain. Fase ini dapat
berlangsung terus menerus atau dorman di dalam tubuh.
7
PATOFISIOLOGI
3) Fase Laten
Kompleks primer ataupun reaksi radang dapat dorman atau mengalami
reaktivasi. Fase ini terjadi pada beberapa organ selama bertahun-tahun. Bila terjadi
penurunan pertahanan tubuh maka kuman dapat mengalami reaktivasi.

(4) Fase Reaktivasi;


Fase ini dapat terjadi di paru atau diluar paru. Reaktivasi dapat menyerang
berbagai organ selain paru yaitu ginjal, kelenjar limfe, tulang, otak, kelenjar adrenal
dan saluran cerna.

8
• Basil M. tuberculosis secara hematogen🡪pleksus
venosus vertebralis internus (Vena Batson).
• Proses infeksi M. tuberculosis akan mengaktifkan
chaperonin 10 yang merupakan stimulator poten dari
proses resorpsi tulang sehingga akan terjadi destruksi
korpus vertebra di anterior.
• Proses perkejuan yang terjadi akan menghalangi proses
pembentukan tulang reaktif dan mengakibatkan segmen
tulang yang terinfeksi relatif avaskular sehingga
terbentuklah sekuester tuberkulosis.
• Destruksi progresif di anterior akan mengakibatkan
kolapsnya corpus vertebra yang terinfeksi dan
terbentuklah deformitas kifosis yang sering disebut
sebagai gibbus. Bila sudah timbul deformitas ini, maka
hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah
meluas.

9
Sementara itu proses ini dapat menimbulkan gejala-gejala lain, diantaranya dapat
terkumpulnya nanah yang semakin lama semakin banyak, nanah ini dapat menjalar
menuju ke beberapa tempat diantaranya dapat berupa :

1. Abscess paravertebra, abscess terlihat dengan bentuk spoel di kiri kanan columna
vertebralis.
2. Abscess dingin (Cold abscess) yang dapat menembus ke belakang dan berada di bawah
fascia dan kulit di sebelah belakang dan di luar columna vertebralis. Cold abscess ini
terbentuk jika infeksi telah menyebar ke otot atau jaringan ikat sekitarnya. Sebagian
besar cold abscess berisi serum, leukosit, material kaseosa, debris tulang dan basil
tuberkel. Cold abscess ini dinamakan juga sebagai abscess tuberculose.

10
Tuberkulosis pada vertebrae dapat pula menyebabkan paraplegia (Pott's
paraplegia). Kondisi ini disebabkan karena adanya tekanan pada medulla spinalis. Tekanan
dapat berasal dari proses yang terletak di dalam canalis spinalis. Jika di dalam canalis spinalis
terdapat proses tuberkulosis yang terletak pada corpus bagian belakang yang merupakan
dasar dari canalis spinalis, maka proses tadi menimbulkan pengumpulan nanah/jaringan
granulasi langsung menekan medulla spinalis. Dalam hal ini meskipun nanah hanya sedikit,
akan tetapi cukup untuk memberikan tekanan yang hebat pada medulla spinalis.

Sorrel-Dejerine mengklasifikasikan Pott's paraplegia menjadi :


1. Early onset paresis (terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit)
2. Late onset paresis (terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit)

11
Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi sorrel menjadi tiga tipe:
1. Type I (paraplegia of active disease) : Berjalan akut, onset dini, terjadi dalam dua tahun
pertama sejak onset penyakit, dan dihubungkan dengan penyakit yang aktif dan dapat
membaik (tidak permanen).
2. Type II : Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat
permanen. Penyebab timbulnya paraplegia pada tipe I dan II oleh karena tekanan
eksternal pada korda spinalis dan duramater yang disebabkan adanya granuloma di
kanalis spinalis, adanya abses, material perkejuan, sekuestra tulang dan diskus atau
dislokasi patologis vertebra. Secara klinis pasien akan menampakkan kelemahan alat
gerak bawah dengan spastisitas yang bervariasi.
3. Type III : Berjalan kronis, onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Terjadi karena
tekanan corda spinalis, peningkatan deformitas kifotik ke anterior atau insufisiensi
vaskuler (trombosis pembuluh darah yang mensuplai corda spinalis).

12
13
GEJALA KLINIS
Penyakit ini berkembang lambat, tanda dan gejala dapat berupa :
◉ Nyeri lokal tidak spesifik pada daerah vertebra yang terinfeksi
◉ Bengkak pada daerah paravertebral
◉ Tanda dan gejala sistemik dari TB
◉ Gibbus
◉ Tanda defisit neurologis : gangguan motoris, sensoris maupun
autonom sesuai dengan beratnya destruksi tulang belakang.

14
DIAGNOSIS
◉ Anamnesis
▪ KU : Nyeri/kaku pada leher/punggung/pinggang
▪ Gejala sistemik (demam, malaise, BB turun, keringat malam)
▪ Riwayat batuk lama >3 minggu
▪ Riwayat minum obat TB
▪ Kelemahan anggota gerak
▪ Kebas anggota gerak
▪ Faktor usia (jika >55 tahun curiga kemungkinan neoplasma, jika usia
muda yaitu >20 tahun curiga kemungkinan infeksi)
15
Pemeriksaan Fisik :

◉ Inspeksi : pasien terlihat lemah, pucat, dan tulang


belakang terlihat kifosis dan gibbus

◉ Palpasi : gibus pada area tulang yang mengalami infeksi.


Bila terdapat abses paravertebra maka akan teraba
massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya teraba
hangat dan adanya nyeri tekan pada daerah yang infeksi.

◉ Auskultasi : terdengar ronki di paru dengan predileksi di


paru.

16
DIAGNOSIS
Tanda defisit neurologis atau disebut dengan Pott paraplegia. Terdiri dari
beberapa stage :

❖ Stage 1 : gambaran defisit jelas. Pada pemeriksaan fisik ditemukan klonus


tungkai, peningkatan refleks tendon dan babinski sign (+).
❖ Stage 2 : pasien memiliki defisit UMN dan spasme.
❖ Stage 3 : pasien hanya bisa berbaring dan badan kaku. Defisit sensori di
columna vetebralis
❖ Stage 4 : pasien hanya bisa berbaring dengan defisit sensori berat. Defisit
terjadi di columna posterior dan lateral.
❖ Stage 5 : stage 4 disertai gangguan berkemih atau pencernaan, spasme
fleksor/ tetraplegia flaksid/ paraplegia.

17
PEMERIKSAAN PENUNJANG
● Uji Mantoux positif
0-4 mm : Negatif
Pemeriksaan Laboratorium 3-9 mm : Meragukan
● Peningkatan LED yang disertai leukositosis ≥ 10 mm : positif
● Peningkatan nilai CRP (Nilai Normal: <0,3
mg/L)
● Kultur/pewarnaan: ditemukan Mycobacterium
TB

Kultur Pewarnaan
Radiologi

Foto Thorax

Paru Normal Tuberculosis Paru TB Miliar

19
Radiologi
Radiologi
Foto Polos Vertebra : dapat ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus
vertebra, disertai penyempitan discus intervertebralis yang berada diantara korpus
tersebut atau pun massa abses paravertebral.

Osteolitik & destruksi korpus


Osteoporosis vertebra, disertai penyempitan discus Abses para vertebra
intervertebralis
21
● Pada foto AP : abses paravertebral di • Pada stadium lanjut terjadi
daerah servikal berbentuk sarang burung destruksi vertebra yang hebat
(Bird’s nest abcess), di daerah torakal sehingga timbul kifosis
berbentuk bulbus dan dan pada daerah
lumbal abses terlihat berebentuk fusiform.

22
● CT scan : lesi diskus
intervertrabralis dan
abses paravertebral.
Gold Standard :

CT scan-guided needle biopsy


merupakan modalitas gold
standard untuk diagnosis
histopatologis
awal dari spondylitis TB

24
● Pemeriksaan MRI : mengevaluasi infeksi diskus intervertebral dan osteomielitis tulang
belakang, menunjukkan adanya penekanan syaraf
[Apley]
MRI Spondilitis TB

26
DIAGNOSIS BANDING

Spondilitis TB Spondilodiscitis Spondilitis Pyogenik Spondilitis Brucellar

Etiologi Mycobacterium Staphylococus Staphylococus aureus, Brucella


tuberculosis aureus, Streptococcus
Mycobacterium
tuberculosis, E. coli

Durasi 3-6 bulan 3-6 bulan 2-3 bulan 2-6 bulan


Lokasi Thorako-lumbal Lumbal (55%), Lumbar Lumbar
Thoracal (34%)
Faktor Paparan TB Paparan TB, DM, Diabetes melitus atau Makanan yang
predisposisi hipertensi, penyakit sistemik lainnya terkontaminasi
obesitas, kronik
steroid intake,

27
DIAGNOSIS BANDING

Spondilitis TB Spondilodiscitis Spondilitis Pyogenik Spondilitis Brucellar

Gejala Demam, malaise, Nyeri pinggang, Demam, nyeri pinggang Demam, malaise,
klinis penurunan BB, memberat pada spesifik penurunan BB, nyeri
nyeri pinggang malam hari, pinggang
demam, defisist
neurologis,
Lab Darah Peningkatan LED, Peningkatan CRP, Leukositosis, peningkatan Leukositosis dan
CRP dapat leukositosis LED dan CRP peningkatan LED.
meningkat CRP dapat meingkat

28
DIAGNOSIS BANDING

Spondilitis Spondilodisci
TB tis

29
DIAGNOSIS BANDING

Spondilitis Spondilitis
Pyogenik Brucellar

30
TATALAKSANA FARMAKOLOGI

Prinsip Pengobatan TB
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip
❖ Diberikan paduan OAT yang mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi
❖ Diberikan dalam dosis yang tepat
❖ Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh Pengawas Menelan Obat
(PMO) sampai selesai pengobatan
❖ Diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam tahap awal untuk menjamin
konversi serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

31
TATALAKSANA FARMAKOLOGI

KATEGORI 1 (2HRZE/4H3R3)

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 2 bulan Tahap Lanjutan 3x seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
>70 kg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT

Tahap Lama Tab Kap Tab Tab Jumlah hari/kali


Pengobatan pengobatan Isoniazid Rifampisin Pirazinamid etambutol menelan obat
@300 mg @450 mg @500 mg @250 mg
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Lama pengobatan Spondilitis TB : 9-18 bulan *KDT : Kombinasi Dosis Tetap


32
TATALAKSANA FARMAKOLOGI

KATEGORI 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S Tahap Lanjutan 3x seminggu RH
(150/150) + E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari

30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg Streptomisin Inj. 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg Streptomisin Inj. 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin Inj. 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol
>70 kg 5 tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin Inj. 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol

Tahap Lama Tab Kap Rifam- Tab Tab etam- Tab etam- Strepto Jumlah
Pengobatan pengobatan Isonia-zid pisin @450 Pirazi- butol butol misin Inj hari/kali
@300 mg mg namid @250 mg @400 mg menelan
@500 mg obat

Intensif *dosis 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56


harian 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
Lanjutan*dosis 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
3x seminggu
33
EFEK SAMPING
OAT

34
TATALAKSANA
NONFARMAKOLOGI
Indikasi operasi secara umum apabila didapatkan defisit neurologis akut
seperti paraplegia atau paraparesis, deformitas tulang belakang yang
tidak stabil atau dengan disertai nyeri seperti adanya kifosis (30° untuk
dewasa, 15° untuk anak).

35
INDIKASI
PEMBEDAHAN
◼ Defisit neurologis (perburukan neurologis akut, paraparesis,
paraplegia)
◼ Deformitas spinal dengan instabilitas atau nyeri
◼ Tidak menunjukkan respon terhadap terapi medis (kifosis atau
instabilitas yang terus berlanjut)
◼ Abses paraspinal yang besar.

36
TATALAKSANA
NONFARMAKOLOGI
❖ Terdapat panduan penatalaksanaan spondilitis TB yang diperkenalkan oleh Prof.
Subroto Sapardan dari Universitas Indonesia dengan membagi 10 alternatif
pengobatan yang memudahkan seorang ahli bedah memilih jenis tindakan yang
sesuai dengan perkembangan penyakitnya.

❖ Tatalaksana Total Prof. Subroto Sapardan bertujuan menyembuhkan infeksi,


mencapai tulang belakang yang stabil dan bebas dari rasa sakit, tanpa
deformitas serta mengembalikan fungsi tulang belakang dan organ yang terlibat
sehingga memungkinkan penderitanya dapat kembali ke kehidupan sosial,
keluarga dan lingkungan kerjanya.

37
Tahapan Tatalaksana Total Prof. Subroto Sapardan

38
10 Alternatif Tata Laksana Total Prof. Subroto Sapardan

Alternatif Tindakan
1 Metode konservatif dengan obat-obatan dan penyangga tubuh dari luar untuk keadaan infeksi
stadium dini, keadaan umum baik, keluhan minimal dan pasien atau keluarga yang tidak bersedia
dilakukan operasi.

2 Operasi untuk evakuasi abses, dilakukan pada kasus infeksi dengan abses dingin yang besar tetapi
dengan lesi tulang yang minimal dengan atau tanpa nyeri.
3 Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi anterior, debridemen dan fusi untuk kasus infeksi di
daerah torakolumbal dengan kifosis minimal (< 10 derajat) dengan atau tanpa nyeri.

4 Operasi dengan pendekatan anterior dan posterior satu tahap, debridemen dan fusi untuk kasus
infeksi dengan tulang belakang yang tidak stabil dan nyeri hebat.
5 Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi anterior, atau pendekatan anterior dan posterior satu
tahap, debridemen dan fusi spontan untuk kasus infeksi dengan kifosis yang kaku, dengan atau tanpa
nyeri.

39
10 Alternatif Tata Laksana Total Prof. Subroto Sapardan

Alternatif Tindakan
6 Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridemen dan fusi untuk kasus infeksi
di daerah torakal.
7 Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridemen dan fusi untuk kasus infeksi
di daerah lumbal disertai kifosis sedang (< 75 derajat).
8 Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridemen dan fusi untuk kasus
infeksi di daerah lumbal disertai kifosis moderate (75-89 derajat).
9 Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridemen, distraksi dan fusi untuk
kasus infeksi dengan defisit neurologi disertai kifosis berat (> 90 derajat).
10 Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridemen, distraksi dan fusi untuk
kasus infeksi tanpa kelainan neurologis disertai kifosis berat (> 90 derajat).

40
PROGNOSIS
❖ Prognosis meningkat sejalan dengan diagnosis dini dan
intervensi cepat.
❖ Kecurigaan klinis spondilitis TB diperlukan jika pasien datang
dengan nyeri punggung kronis, bahkan tanpa adanya gejala
neurologis.
❖ Intervensi bedah diperlukan dalam kasus lanjut dengan
keterlibatan tulang, pembentukan abses, atau paraplegia.

41
TERIMAKASIH
MOHON ARAHAN DAN BIMBINGAN DOKTER

42

Anda mungkin juga menyukai