salah satu tarian kreasi baru Bali, tepatnya dari Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Seni tari ini semula diciptakan pada tahun 1915 oleh Pan Wandres dalam bentuk Kebyar Legong, kemudian disempurnakan kembali oleh I Gede Manik.
Tari tunggal ini menggambarkan gerak-gerik
pemuda yang beranjak dewasa, sangat emosional dimana tingkah lakunya yang senantiasa berusaha memikat hati wanita. Sejarah Kemunculan tari trunajaya bersamaan dengan eksistensi tarian kekebyaran pada awal abad ke 20. Pencipta tari ini adalah Pan Wandres kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh I Gede Manik.
Pada saat pertama kali diperkenalkan tari
Trunajaya oleh masyarakat disebut “Bebancihan” . Disebut demikian karena tarian ini dilakukan oleh seorang pria dengan kostum dan riasan menyerupai wanita. Konsep Tari Awalnya, tari ini adalah tari tunggal yang juga termasuk “tari babancihan” karena menghadirkan karakter antara laki-laki dan perempuan. Namun seiring perkembangannya, Tari Trunajaya ada juga yang dibawakan oleh lebih dari satu penari.
Tari trunajaya diiringi dengan alunan gong
kebyar dan menerapkan pola lantai garis melengkung dengan gerakan lembut, lemah gemulai, namun tetap energik. Tata Busana Para penari Trunajaya menggunakan rias wajah putra halus. Menggunakan rias pentas eyeshadow berwarna kuning, merah dan biru serta pemakaian alis yang agak tinggi.
Para penari juga menggunakan Kamen warna
ungu prada, baju panjang seperti tari Legong, Sabuk berwarna kuning prada, Ampok – ampok, Simping Kulit, Tutup dada berwarna hitam, Badong lancip, Gelang Kana, serta hiasan kepala yang meliputi udeng , garuda mungkur (dibagian belakang), satu bunga sandat, bunga kuping , serta rumbing.