Anda di halaman 1dari 8

Perbedaan Pasar Modal Syariah

dan Konvensional
Ali
Ellia Feliks
Indra Pratama
Lydia
Rismahdalena
Aprilianto
Apa Itu Pasar
Modal
Perlu diketahui, kegiatan pasar modal di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (“UUPM”) di mana di dalamnya tidak
dibedakan apakah kegiatan pasar modal dilakukan dengan prinsip-prinsip syariah atau
tidak.
Dengan demikian, berdasarkan UUPM, kegiatan pasar modal di Indonesia dapat
dilakukan sesuai dengan prinsip syariah dan dapat juga dilakukan tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah. Adapun definisi pasar modal adalah:
Kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek,
Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga
dan profesi yang berkaitan dengan Efek.
Apabila dilihat dari sudut pandang syariah, pasar modal diartikan sebagai
salah satu sarana, media atau produk muamalah, di mana menurut
prinsip hukum Islam hal tersebut tidak dilarang atau dengan kata lain,
dibolehkan sepanjang tidak terdapat transaksi yang bertentangan dengan
ketentuan yang telah digariskan oleh syariah, di antaranya transaksi yang
mengandung riba dan bunga, spekulatif dan gharar (ketidakjelasan) dan
potensi adanya penipuan.
Perbedaan Pasar Modal
Konvensional dan Syariah Adrian menambahkan, jika
membandingkan nilai indeks saham
syariah dengan nilai indeks saham
Adrian Sutedi dalam bukunya Pasar
konvensional, dapat diketahui
Modal Syariah; Sarana Investasi
perbedaan keduanya terletak pada
Keuangan Berdasarkan Prinsip
kriteria saham emiten. Dalam pasar
Syariah menerangkan perbedaan
modal syariah, kriteria saham
secara umum antara pasar modal
emiten harus memenuhi prinsip-
konvensional dengan pasar modal
prinsip dasar syariah. Sedangkan
syariah yaitu terletak pada
dalam pasar modal konvensional,
instrumen dan mekanisme
hal ini tidak berlaku sepanjang
transaksinya
tunduk dan memenuhi ketentuan
UUPM
Selain itu, instrumen investasi memenuhi prinsip syariah bila
kegiatan perusahaan dan anak perusahaan tidak bergerak pada
produk alkohol, perjudian, produksi yang bahan bakunya dari
babi, pornografi, jasa keuangan konvensional dan asuransi
konvensional
Perlu dipahami, pasar modal syariah merupakan salah satu
implementasi konkret dari ekonomi syariah. Ibarat bangunan
rumah ekonomi syariah, maka pasar modal syariah adalah salah
satu ruangan di antara beberapa ruangan lainnya di rumah itu, di
mana ruangan lainnya dapat berupa bank syariah, akuntansi
syariah, asuransi syariah, dan lain-lain. Oleh karena itu, pasar
modal syariah tidak bisa dilepaskan dari ekonomi syariah
Sistematika pasar modal
syariah

meliputi: Penawaran Umum Efek syariah; Perdagangan Efek syariah; Pengelolaan


Investasi syariah; Emiten dan Perusahaan Efek yang berkaitan dengan Efek yang
diterbitkannya; Perusahaan Efek yang sebagian atau seluruh usahanya berdasar prinsip
syariah; serta lembaga dan profesi penunjang Efek syariah.

Kata syariah ini berimplikasi baik pada produk pasar modal syariah, maupun cara
transaksinya harus sesuai prinsip syariah. Batasan prinsip syariah tersebut bisa
mengacu salah satunya dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Nomor 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme
Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek (“Fatwa DSN MUI”).
Fatwa DSN MUI tersebut menjelaskan kegiatan muamalah yang dilarang dalam transaksi pasar modal syariah,
antara lain yang mengandung:
1. Tadlis: tindakan menyembunyikan kecacatan objek akad yang dilakukan oleh penjual untuk mengelabui
pembeli seolah-olah objek akad tersebut tidak cacat;
2. Taghrir: upaya mempengaruhi orang lain, baik dengan ucapan maupun tindakan yang mengandung
kebohongan, agar terdorong untuk melakukan transaksi;
3. Gharar: ketidakpastian dalam suatu akad, baik mengenai kualitas atau kuantitas objek akad maupun mengenai
penyerahannya;
4. Tanajusy/Najsy: tindakan menawar barang dengan harga lebih tinggi oleh pihak yang tidak bermaksud
membelinya, untuk menimbulkan kesan banyak pihak yang berminat membelinya;
5. Ikhtikar: membeli suatu barang yang sangat diperlukan masyarakat pada saat harga mahal dan menimbunnya
dengan tujuan untuk menjualnya kembali pada saat harganya lebih mahal;
6. Ghisysy: salah satu bentuk tadlis, yaitu penjual menjelaskan/memaparkan keunggulan/keistimewaan barang
yang dijual serta menyembunyikan kecacatannya;
7. Ghabn: ketidakseimbangan antara dua barang (objek) yang dipertukarkan dalam suatu akad, baik segi kualitas
maupun kuantitasnya;
8. Bai’al-Ma’dum: jual beli yang objek (mabi’)-nya tidak ada pada saat akad, atau jual beli atas barang (efek)
padahal penjual tidak memiliki barang (efek) yang dijualnya; dan
9. Riba: tambahan yang diberikan dalam pertukaran barang-barang ribawi (al-amwal al-ribawiyah) dan tambahan
yang diberikan atas pokok utang dengan imbalan penangguhan pembayaran secara mutlak.
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai