Anda di halaman 1dari 24

Rekayasa Jalan Rel

TS. 704

Bab I
Pendahuluan
Historical dan Komparatif serta Teknologi kereta api sebagai
Motivasi pengembangan Pekeretaapian di Indonesia
FENOMENA

• Panjang Jalan Kereta


Tahun 1939 panjang jalan KA 6811 km
Tahun 1956 panjang jalan menyusut menjadi 6096 km
Tahun 2000 tersisa 4185 km
Selama kurun waktu 61 tahun penurunan 41%

• Jumlah stasiun
Tahun 1955 berjumlah 1516 buah
Tahun 2000 berjumlah 571 buah
Selama kurun waktu 45 tahun penurunan 62 %
Lanjutan....
• Jumlah lokomotif
Tahun 1939 berjumlah 1314 buah
Tahun 2000 berjumlah 530 buah
Selama kurun waktu 61 tahun penurunan 60%

• Jumlah penumpang
Tahun 1955 berjumlah 146,9 juta
ketika penduduk Jawa-Madura 54,5 juta, berarti setiap
penduduk ~ 3 X naik kereta dlm setahun
Tahun 2000 berjumlah 69,2 juta ,
Ketika penduduk Jawa-madura 114,9 juta, berarti dlm
setahun kurang dari 1 X setahun naik kereta
Kondisi perkerata apian saat ini :
a. Di Pulau Jawa untuk jalan kereta
Type Rel R.25 = 0,66 %
R.33/R.34 = 14,57 %
R. 41/R.42 = 53,66 %
R.50 = 6,7 %
R.54 = 24,39 %
Sepanjang 367 km sudah jalur ganda ( 8,77 % )

b. Persinyalan ; semua perlintasan belum menggunakan elektric sistem,


sistem persinyalan listrik diwarnai dengan ragam type, yaitu 6 type,
sehingga berakibat pada sulitnya standarisasi komponen serta
perawatan.

c. Pintu perlintasan terdapat 7.545 perlintasan yang sebidang, terdiri


dari 943 unit yang dijaga (12,4%)
6.602 unit tidak dijaga (87,6 %)
Lanjutan....

• Sarana, Lokomotif yang dimiliki 519 unit


185 unit berusia > 30 tahun
66 unit berusia 5 – 10 tahun
• Kereta penumpang yang dimiliki 1643
603 buah berusia > 30 tahun
426 buah berusia 5 – 10 tahun
• Gerbong angkutan barang yang dimiliki 4628 gerb.
3000 buah berusia > 30 tahun
120 buah berusia 5 – 10 tahun
• Tingkat keandalan sarana yang masih rendah, sehingga
beberapa kali terjadi KA anjlok.
Riwayat Jalan Rel

6
Keunggulan Moda Transportasi Jalan Rel ;
( simposium IX FSTPT Indonesia di Malang 16, 17, 18 Nov. 2006 )
Pasal 10 UU no. 13 tahun 1992

1. Mampu mengangkut dalam jumlah besar dan masal dalam


satuan waktu
2. Hemat energi
3. Hemat pengunaan lahan
4. Ramah lingkungan
5. Tingkat keselamatan tinggi
6. Adaptif terhadap perkembangan teknologi
7. Mampu menembus jantung kota
Faktor penyebab kecelakaan :
• Faktor force major/majeur
• Faktor human error
• Faktor technical error
MANAJEMEN
• Belum ada unit organisasi yang khusus untuk mengelola
masalah keselamatan
• Perencanaan keselamatan mulai dari level corporate plan,
safety plan belum ada atau belum konvergen
• Belum memiliki metode baku untuk mengukur efektivitas
biaya terhadap pengurangan resiko keselamatan
• Kultur perusahaan kurang terkait dengan strategi dan
implementasi sistem manajemen keselamatan
• Belum adanya kesamaan persepsi atas standar keselamatan
mulai dari top management sampai tingkat operasional
KINERJA
• Belum ditetapkannya KPI (Key Performance Indicator)
keselamatan
• Metode pengukuran kinerja keselamatan belum mengacu pada
standar
• Manajemen belum memiliki komitmen yang kuat untuk
menempatkan masalah keselamatan pada posisi yang bersifat
sangat utama (ultimate)

ORGANISASI
• Pengelolaan keselamatan belum mendapatkan peran dan
fungsinya yang semestinya sehingga secara organisasi belum
dilembagakan di tingkat perusahaan
• Sistem dan prosedur belum dikelola dengan baik yang berakibat
rendahnya konsistensi dan akuntabilitas karyawan terhadap
masalah keselamatan
• Pada semua level manajemen tidak tegas dalam menangani
PRASARANA & SARANA
• Keterbatasan dana pemeliharaan prasarana mengakibatkan
kondsi prasarana tidak sepenuhnya layak guna yang akan sangat
rawan terhadap keselamatan
• Belum adanya standar dan metode untuk mendeteksi kondisi
kondisi prasarana dan sarana yang bisa menimbulkan potensi
rawan kecelakaan
• Asset managemen plan pemeliharaan prasarana belum
terintegrasi secara memadai
• Belum adanya mekanisme yang sistematis dalam mengatasi
masalah backlog dalam pemeliharaan prasarna

OPERASI
• Laporan kejadian kecelakaan kurang akurat, data kinerja
keselamatan belum tertata dengan baik dalam kualitas maupun
akurasi, sehingga menyulitkan manajemen dalam pengambilan
keputusan
• Kecenderungan masyarakat untuk memandang masalah
REGULASI
• UU, PP, Kep men serta peraturan perkeretaapian belum menempatkan
aspek keselamatan pada posisi sangat utama
• Belum jelasnya pembagian peran, wewenang, tanggung jawab dan
akuntabilitas aspek keselamatan antara pemerintah (owner, regulator)
dan KAI (operator).
• Sebagian prosedur operasional dan perawatan sudah usang
• Penegakan hukum atas pelanggaran peraturan yang dapat
membahayakan keselamatan belum/kurang memadai dan belum
diterapkan secara konsisten

MASYARAKAT
• Tingkat kepedulian masyarakat terhadap resiko bahaya masih rendah,
baik di pintu pintu perlintasan maupun di daerah jalur KA (green area)
• Masih banyak penumpang di atap KA di lokomotif dan dibagian
belakang kereta
• Perlunya pembelajaran kepada masyarakat untuk menanamkan kultur
tentang keselamatan, baik melalui sosialisasi maupun lewat
Pembagian jalan Rel menurut ;
• Lebar sepur
• Kecepatan tertinggi yang diizinkan di jalan dan banyaknya lalu lintas
• Tanjakan yang ada di jalan itu

• Ad.1. Lebar sepur


Yang dimaksud dengan lebar sepur adalah jarak terpendek antara kedua rel,
yang diukur dari sisi dalam kepala rel sampai sisi dalam kepala rel lainnya.
Dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
Broad Gauge (sepur lebar) dengan lebar sepur lebih dari 1435 mm
Standard Gauge (sepur normal) dengan lebar sepur 1435 mm
Narrow Gauge (sepur sempit) dengan lebar kurang dari 1435 mm
Sedangkan Negara kita menggunakan lebar sepur 1067 mm dengan toleransi
penyimpangan yang diizinkan adalah -2 mm sampai dengan +5 mm dari 1067
mm.

Di bawah ini beberapa lebar sepur dan Negara-negara yang memakainya :


1067 mm = Indonesia, Jepang, Australia, Afrika selatan
1435 mm = Eropa, Amerika, Australia, Jepang
1672 mm = Argentina, Spanyol, Portugal
• Narrow gauge
1067 mm
• Standar gauge
1435 mm
• Broad gauge
1524 mm

13
• Ad.2. Kecepatan tertinggi dan banyaknya lalu
lintas atau kelas jalan rel
Kecepatan tertinggi yang diizinkan dan banyaknya lalu lintas
berhubungan erat dengan konstruksi jalan dan system pengamanan.
Semakin tinggi kecepatan yang diizinkan semakin berat konstruksi
jalan dan semakin berat pula syarat-syarat pengamanannya.
Untuk pembagian kelas pada jalan rel didasarkan tingkatan
kecepatan yang diizinkan,
menurut Reglemen R.10 PJKA sbb :

Kelas I tingkat 1 (I/1), kecepatan tertinggi = 120 km/jam


Kelas I tingkat 2 (I/2), kecepatan tertinggi = 100 km/jam
Kelas II tingkat 1 (II/1), kecepatan tertinggi = 59 km/jam
Kelas II tingkat 2 (II/2), kecepatan tertinggi = 45 km/jam
Kelas II tingkat 3 (II/3), kecepatan tertinggi = 40 km/jam
Kelas III , kecepatan tertinggi = 20 km/jam
Lanjutan.... Ad.2 kecepatan tertinggi

Menurut Reglemen R.19 sbb :


Kelas I/1 sampai dengan II/1, termasuk lintas raya
Kelas II/2 sampai dengan II/3, termasuk lintas cabang
Kelas III, termasuk jalan tram.
Pembagian kelas memperhatikan banyaknya lalu lintas di Jepang sbb :

Kelas Passing Tonnage tiap tahun Kecepatan tertinggi


1 20 juta ton atau lebih 110 km/jam

2 10 – 20 juta ton 100 km/jam

3 3 – 10 juta ton 95 km/jam

4 3 juta ton atau kurang 85/jam


• Ad.3. Tanjakan/kelandaian
Jalan Dataran, tanjakannya tidak lebih dari 10 permil
Jalan Pegunungan, tanjakannya lebih dari 10 permil

Traksi uap terbatas maksimum pada 40 permil


Traksi listrik 45 permil

Jika lebih curam maka diperlukan jalan bergigi, tanjakan ini sampai
250 permil, ada yang menggunakan kereta listrik (electric railcars)
ditarik kabel baja, untuk pengangkutan melintasi jurang-jurang
digunakan rope ways atau kereta gantung.
SEAT FORMATION
• Pokok bahasan
• Daftar pustaka :
1. Perencanaan Konstruksi Jalan Rel (Peraturan Dinas no 10), Perusahaan
Jawatan Kereta api, 2 April 1986
2. PM no 60 tahun 2012 tentang, Persyaratan Teknis Jalur Kereta api
3. Jalan Rel, Suryo Hapsoro Trie Utomo Ir., Phd. Beta Offset, UGM
Yogyakarta

4. Jalan Rel Kereta Api, Iman Subarkah, Idea dharma Bandung, 1981
5. Rekayasa Jalan Rel, Alik Ansyori Alamsyah, Bayumedia Malang, 2003
6. Perencanaan perkeretaapian, Soedjono Kramadibrata, penerbit ITB, 2006.
7. Undang-undang Perkeretaapian 23 tahun 2007

Anda mungkin juga menyukai