Kisah Keteladanan Wali Songo Pernahkah kamu mendengar kata wali? Wali adalah sebutan untuk orang yang dicintai Allah Swt. Mereka memiliki ilmu agama yang tinggi. Di Indonesia ada Wali Songo. Mereka adalah para penyebar agama Islam di Indonesia. Banyak hal yang bisa kita teladani dari mereka.
Jasa Wali Songo di Indonesia sangat besar dalam penyebaran dakwah
Islam, terutama di Pulau Jawa. Mereka memiliki ilmu agama yang tinggi dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, dakwah mereka pun dapat diterima oleh masyarakat di mana mereka berada. Isi Materi A. Kisah Para Wali Songo
B. Keteladanan Para Wali Songo
A. Kisah Para Wali Songo
Wali Songo adalah sebutan yang diberikan kepada para
penyebar agama Islam di Indonesia. Mereka adalah para ulama yang luar biasa. Ilmu pengetahuan agamanya sangat tinggi. Ketaatannya kepada Allah Swt. juga sangat dalam. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Allah Swt. Oleh karena itu, Allah memberikan mereka karamah. Karamah adalah kekuatan atau keajaiban yang diberikan Allah Swt. kepada para wali. Para ulama yang termasuk ke dalam Wali Songo adalah 1. Syekh Maulana Malik Ibrahim alias Sunan Gresik 2. Raden Rakhmat alias Sunan Ampel 3. Raden Paku alias Sunan Giri 4. Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati 5. Maulana Makdum Ibrahim alias Sunan Bonang 6. Raden Qosim alias Sunan Drajat 7. Ja’far Shadiq alias Sunan Kudus 8. Raden Syahid alias Sunan Kalijaga 9. Raden Umar Said alias Sunan Muria. 1. Syekh Maulana Malik Ibrahim alias Sunan Gresik Sunan Gresik adalah tokoh tertua di kalangan Wali Songo. Nama Syekh Maulana menunjukkan bahwa dia adalah seorang ulama besar dan berpengaruh. Dia menjadi guru bagi para wali dan penasihat bagi sultan. Ketika dewasa, dia diperintahkan ayahnya untuk menyebar-kan Islam ke wilayah selatan. Bersama dengan 40 orang rombongan, mereka tiba di Gresik pada tahun 1380 M. Pada masa itu, Nusantara dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Maulana Malik Ibrahim dan rombongan kemudian menetap di Desa Leran, arah barat Kota Gresik. Perlahan-lahan, Maulana Malik Ibrahim menyebarkan ajaran Islam. Mula-mula membuka warung yang menjual keperluan penduduk. Lama-kelamaan, warungnya ramai dikunjungi pembeli. Setelah itu, dia menjadi tabib. Dia mengobati penyakit dengan doadoa yang diambil dari Al-Qur’an. Masyarakat pun mulai tertarik dan menjadi pengikutnya. Setelah pengikutnya banyak, Maulana Malik Ibrahim mendirikan masjid dan pesantren. Banyak murid yang datang ke pesantrennya untuk memperdalam ilmu agama. Dalam kesehariannya, Maulana Malik Ibrahim dikenal sebagai pribadi yang santun. Di samping itu, dia juga murah hati kepada fakir miskin. Maulana Malik Ibrahim wafat pada tahun 1419 M dan dikenal dengan nama Sunan Gresik. 2. Raden Rakhmat alias Sunan Ampel Nama aslinya adalah Ali Rahmatullah. Dia adalah putra Syekh Ibrahim Asmarakandi dengan Dewi Candrawulan. Ayahnya adalah seorang ulama dari Samarkand di Asia Tengah. Dari silsilahnya, dia adalah keturunan Nabi Muhammad saw. yang ke-23. Menurut catatan sejarah, dia lahir pada tahun 1410 M. Sunan Ampel datang pertama kali ke Nusantara pada tahun 1443 M. Bersama keluarganya, dia mendarat di Pantai Tuban. Di Tuban, dia mengajarkan agama Islam kepada masyarakat. Kepribadiannya yang santun membuat masya- rakat tertarik dan mengikuti ajarannya. Akhirnya, dia menikah dengan putri Bupati Tuban yang bernama Nyi Ageng Manila. Sejak menikah, dia dikenal dengan nama Raden Rakhmat. Dari pernikahan ini, Raden Rakhmat dikaruniai enam anak. Dua di antara putra-putrinya juga menjadi wali, yaitu Makdum Ibrahim alias Sunan Bonang dan Raden Qosim alias Sunan Drajat. Setelah menikah, Raden Rakhmat menyebarkan Islam ke wilayah Ampel Denta, dekat Surabaya. Di sini, Raden Rakhmat membangun masjid sebagai pusat dakwah. Selain masjid, dia juga mendirikan pesantren untuk mendidik masyarakat belajar agama Islam. Banyak masyarakat yang datang dan tinggal di pesantren. Sejak itu, Kota Ampel menjadi kota yang ramai dikunjungi. Ajaran Raden Rakhmat yang terkenal adalah Moh Limo. Moh artinya tidak mau, Limo artinya lima perkara. Artinya, tidak mau melakukan lima hal yang tercela. Lima perbuatan tercela tersebut adalah tidak mau berjudi (moh main), tidak mau mabuk (moh ngombe), tidak mau mencuri (moh maling), tidak mau mengonsumsi narkoba (moh madat), dan tidak mau berzina (moh madon). Dengan ajaran Moh Limo ini, masya- rakat terhindar dari perbuatan maksiat sehingga mereka menjadi orang yang taat beribadah. Di kalangan para wali, Raden Rakhmat dikenal sebagai orang yang toleran. Dia menghormati perbedaan pendapat. Meskipun tidak setuju dengan pendapat orang lain, Raden Rakhmat tetap bersikap baik. Pada tahun 1478 M Raden Rakhmat meninggal dunia. Dia dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel Surabaya dan dikenal dengan nama Sunan Ampel. Sampai sekarang, banyak umat Islam yang berziarah ke makamnya. 3. Raden Paku alias Sunan Giri Nama kecil Sunan Giri adalah Raden Paku atau Jaka Samudra. Dia adalah putra dari Syekh Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu. Ayahnya adalah seorang ulama dari Gujarat India. Ibunya adalah putri Bupati Blambangan, Jawa Timur. Dia lahir sekitar tahun 1443 M di Blambangan. Karena ada suatu urusan, Syekh Maulana Ishaq meninggal-kan Dewi Sekardadu dan putranya pergi ke Pasai. Raden Paku pertama kali mendapatkan pendidikan agama dari Pesantren Ampel, pimpinan Sunan Ampel. Karena kecer- dasannya, dia mendapatkan gelar Maulana Ainul Yaqin. Setelah bertahun-tahun belajar kepada Sunan Ampel, Maulana Ainul Yaqin dan Raden Maulana Makhdum Ibrahim dipanggil menghadap Sunan Ampel. Mereka berdua diutus oleh Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekah. Akan tetapi, sebelum menuju Mekah, mereka berdua diminta agar singgah terlebih dulu di Pasai untuk menemui Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Maulana Ainul Yaqin dengan ayah kandungnya. Lalu mereka berdua pun berguru kepada Syekh Maulana Ishak. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat hendak pulang, Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan segenggam tanah. Beliau memintanya agar men- dirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya. Sepulangnya ke Jawa, Maulana Ainul Yaqin segera mencari tanah yang dimaksud Ayahandanya. Ternyata tanah itu cocok dengan tanah di daerah Giri, Gresik. Kemudian, dia mulai berdakwah dengan mendirikan pesantren di daerah Giri sehingga mendapat julukan Sunan Giri. Pesantrennya menjadi pusat kajian ilmu tauhid dan fikih. Dalam menyebar- kan Islam, Sunan Giri menjaga kemurnian akidah. Dia tidak mau menerima adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Di kalangan Wali Songo, Sunan Giri dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Dia menyusun peraturan ketata- prajaan dan pedoman tata cara di keraton. Karyanya inilah yang kemudian digunakan di kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram. Sunan Giri wafat pada tahun 1506 M. Makamnya terletak di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. 4. Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah lahir pada tahun 1448. Ayahnya adalah seorang Sultan Mesir bernama Syarif Abdullah. Ibunya adalah putri Raja Siliwangi yang bernama Nyai Lara Santang. Pada saat berusia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk memperdalam ilmu agama. Setelah itu, dia pergi ke Baghdad untuk belajar tasawuf. Pada tahun 1475 M, Syarif Hidayatullah dan ibunya tiba di Nagari Caruban Larang atau Cirebon. Pada masa itu, penguasa Nagari Caruban adalah pamannya sendiri, Prabu Cakrabuana. Syarif Hidayatullah kemudian dinikahkan dengan putri paman- nya, Ratu Pakungwati. Setelah Prabu Cakrabuana meninggal, Syarif Hidayatullah diangkat menjadi raja di Nagari Caruban.
Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568 M dan dimakamkan di
Pasir Jati, bagian tertinggi kompleks makam Gunung Sembung. Salah satu putranya adalah Pangeran Sabang-kingking. Pangeran Sabangkingking adalah penguasa kerajaan Banten yang dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin. 5. Maulana Makdum Ibrahim alias Sunan Bonang Maulana Makdum Ibrahim adalah putra dari Sunan Ampel. Dia lahir di Tuban pada tahun 1465 M. Sepulang dari Pasai, Maulana Makdum Ibrahim diutus ayahnya untuk berdakwah di Tuban. Selain itu, dia juga menyebarkan Islam di daerah Pati dan Pulau Bawean. Untuk memperlancar dakwahnya, Maulana Makdum Ibrahim mendirikan pesantren di Tuban. Ketika berdakwah, dia meng- gunakan gamelan, yaitu kesenian rakyat Bonang. Peng- gunaan gamelan tersebut adalah untuk menarik masyarakat agar datang ke masjid. Gamelan yang ditabuh itu lalu dinama- kan Bonang.
Ketika Sunan Bonang menabuh gamelan, masyarakat
berbondong-bondong ke masjid. Setelah itu, Sunan Bonang menjelaskan makna tembang yang dinyanyikannya. Salah satu tembang ciptaan Sunan Bonang yang terkenal adalah Tombo Ati, artinya obat penawar hati. Menurut tembang atau lagu tersebut, obat hati ada lima, yaitu: a. membaca Al-Qur’an dan memahami maknanya; b. rajin melaksanakan salat malam atau salat tahajud; c. berkumpul dengan orang-orang saleh untuk belajar kesa- lehannya; d. rajin berpuasa; e. banyak berzikir di waktu malam. Ajaran Sunan Bonang meliputi tasawuf, ushuluddin, dan fikih. Dia mengajarkan masyarakat agar bersungguh-sungguh dalam ibadah dan mencintai Allah Swt. Orang harus salat, puasa, dan membayar zakat. Dalam hidup sehari-hari, orang harus bersikap rendah hati, tidak putus asa, dan selalu bersyukur atas nikmat Allah. Perbuatan yang harus dijauhi adalah dengki, sombong, serakah, dan gila jabatan. Demikianlah ajaran-ajaran penting dari Sunan Bonang. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. 6. Raden Qosim alias Sunan Drajat Raden Qosim adalah saudara Sunan Bonang. Dia diutus ayahnya untuk berdakwah ke wilayah Gresik. Raden Qosim kemudian menetap di Kampung Jelak, Banjarwati. Di tempat ini, dia mendirikan surau yang kemudian menjadi pesantren. Kampung ini kemudian berganti nama menjadi Banjaranyar. Beberapa tahun kemudian, Raden Qosim pindah ke dataran yang lebih tinggi. Bersama para muridnya, Raden Qosim membangun perkampungan baru, dinamakan Desa Drajat. Sejak itulah, Raden Qosim dikenal dengan panggilan Sunan Drajat. Salah satu nasihat Sunan Drajat kepada muridnya adalah bapang den simpangi, ono catur mungkur. Artinya, jangan mendengarkan perkataan yang menjelek-jelekkan orang lain. Sunan Drajat wafat pada tahun 1522 M. Untuk mengenang jasanya, dibangunlah museum dekat makamnya. Di museum tersebut kita dapat melihat barang-barang peninggalan Sunan Drajat. 7. Ja’far Shadiq alias Sunan Kudus Ayahnya bernama Sunan Ngudung dan ibunya bernama Syarifah, cucu Sunan Ampel. Sunan Ngudung adalah panglima kerajaan Demak yang terkenal. Ketika ayahnya wafat, Ja’far Shadiq menggantikan posisinya sebagai pang- lima perang.
Setelah tidak menjadi panglima perang, Ja’far Shadiq memu-
tuskan untuk berdakwah ke daerah Tajug, utara Demak. Di Tajug, Ja’far Shadiq hidup bersama dengan santrinya yang dibawa dari Demak. Dia kemudian mendirikan masjid dan menara pada tahun 1549 M. Kota Tajug diubah namanya menjadi Quds, yang artinya suci. Masyarakat kemudian mengenalnya sebagai Kota Kudus. Ja’far Shadiq kemudian dikenal dengan nama Sunan Kudus. 8. Raden Syahid alias Sunan Kalijaga Nama aslinya adalah Raden Said atau Raden Syahid. Dia adalah putra bupati Tuban, Arya Wilwatikta. Sunan Kalijaga disebut juga dengan Syekh Malaya. Raden Said adalah murid Sunan Bonang. Setelah ilmunya cukup, Sunan Bonang mengutusnya untuk mendakwahkan ajaran Islam. Pada mulanya, Sunan Kalijaga pergi ke Cirebon. Setelah itu, dia berdakwah ke Kadilangu, Demak dan sekitarnya. Di tempat inilah, Sunan Kalijaga tinggal hingga akhir hayatnya. Dalam menyebarkan Islam, Sunan Kalijaga memadukan dakwah dengan seni budaya masyarakat. Dia menciptakan wayang kulit, gamelan, tembang Jawa, ukir-ukiran, dan batik. Di antara tembang yag diciptakannya adalah Ilir-ilir dan Dandanggula Semarangan. Adapun gamelan yang dibuat oleh Sunan Kalijaga adalah Kyai Nagawilaga dan Kyai Guntur Madu. Kedua gamelan tersebut saat ini disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Kedua gamelan ini disebut dengan gamelan Sekaten. Karya Sunan Kalijaga lainnya yang hingga kini masih digemari oleh orang Jawa adalah wayang kulit. Setiap tokoh wayang dibuat gambarnya, lalu diukir di atas kulit lembu.
9. Raden Umar Said alias Sunan Muria
Raden Umar said adalah putra dari Sunan Kalijaga. Dia menyebarkan ajaran Islam di wilayah lereng Gunung Muria, Jawa Tengah. Oleh karena itu, dia dikenal dengan nama Sunan Muria. Selain di Muria, dia juga mengembangkan dakwah ke pelosok Pati, Kudus, Juwana, hingga ke pesisir utara Pulau Jawa. Sunan Muria berusaha mengislamkan tradisi kebudayaan masyarakat. Sedikit demi sedikit, tradisi tersebut diubah dan disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam bidang kesenian, Sunan Muria juga menciptakan tembang, yaitu Sinom dan Kinanthi. Lewat tembang-tembang itulah, Sunan Muria mengajak orang-orang mengamalkan ajaran Islam. Sunan Muria dikenal lebih suka berdakwah pada rakyat jelata di banding kaum bangsawan. Oleh karena itu, daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar, mulai lereng Gunung Muria hingga daerah pesisir utara. Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah topo ngeli, yaitu dengan mengikuti kegemaran masyarakat.
Setelah bertahun-tahun berdakwah, Sunan Muria wafat dan
dimakamkan di Desa Colo, sekitar 19 km dari pusat Kota Kudus. Hingga sekarang, banyak umat Islam yang berziarah ke makamnya untuk meneladani kealiman dan perjuangan- nya dalam berdakwah menyebarkan ajaran Islam. B. Keteladanan Para Wali Songo
1. Berdakwah dengan Cara Damai
Dalam menyebarkan ajaran Islam, para Wali Songo tidak memaksakan Islam kepada masyarakat. Pada masa itu, masyarakat Indonesia beragama Hindu. Dengan sabar, mereka mengajarkan Islam. Sedikit demi sedikit, masyarakat pun mampu menerimanya. Bagi masyarakat yang tidak menerima Islam, mereka tidak dipaksa masuk Islam.
Wali Songo berdakwah dengan cara yang bijaksana. Peng-
ajaran Islam dilakukan dengan bahasa yang santun. Mereka mengajarkan ketaatan kepada Allah Swt. sebagai satu- satunya Tuhan yang wajib disembah. Mereka mengajak masyarakat untuk rajin beribadah. 2. Toleransi terhadap Kebudayaan Masyarakat Para wali sangat peduli dengan kebudayaan masyarakat. Mereka mengislamkan tradisi-tradisi yang sudah ada. Tradisi yang tidak bertentangan dengan Islam tetap dipelihara. Akan tetapi, tradisi yang bertentangan dengan Islam diubah dan disesuaikan dengan Islam. Masyarakat Jawa pada waktu itu sangat menyukai kese- nian. Mereka biasa menonton wayang dan menabuh gamelan. Mereka juga gemar menggubah tembang. Para wali menjadikan kesenian sebagai sarana berdakwah. Mereka menciptakan tembang-tembang yang berisi ajaran Islam, seperti Tombo Ati, Lir Ilir, Sinom, dan Kinanthi. Melalui tembang tersebut, para wali mengajar- kan Islam kepada masyarakat. 3. Menyantuni Fakir Miskin Sasaran dakwah Wali Songo adalah rakyat jelata. Mereka kebanyakan hidup dalam kemiskinan. Wali Songo mengajar- kan orang-orang untuk menjadi dermawan. Mereka mendidik masyarakat agar suka bersedekah kepada fakir miskin dan anak-anak telantar. Masyarakat yang miskin mendapatkan santunan. Mereka diberi tanah garapan untuk pertanian. Anak-anak mereka dididik di pesantren yang didirikan para wali. Mereka belajar tanpa dipungut bayaran. Para wali menunjukkan bahwa Islam menyayangi fakir miskin. Menyantuni fakir miskin adalah perintah Allah. Barang siapa yang mencintai Allah harus mencintai fakir miskin. Harta kekayaan adalah amanah dari Allah. Di dalamnya ada hak yang dimiliki fakir miskin. Oleh karena itu, rajinlah berse- dekah sebagai bukti kecintaan kita kepada Allah. Terima Kasih ... Semoga Ilmunya Bermanfaat, Aamiin.