Anda di halaman 1dari 11

29

Tinjauan Perspektif Teori Genetika terhadap Grading-up Kuda Lokal Indonesia oleh Kuda Thoroughbred
Abstrak Salah satu upaya yang telah dilakukan PP PORDASI untuk meningkatkan mutu genetik kuda pacu Indonesia adalah dengan melakukan persilangan (grading-up) kuda lokal dengan kuda Thoroughbred, salah satu kuda pacu yang paling cepat di bumi untuk membentuk Kuda Pacu Indonesia. Grading-up yang telah dilakukan selama ini sudah mencapai generasi ke-4 (G4). Secara genetis, ini berarti bahwa kuda hasil persilangan (G4) mempunyai rata-rata gen kuda Thoroughbred sebesar 93.75%, sesuai dengan rumus [1 - (1/2)t], dimana t adalah jumlah generasi grading-up. Dengan proporsi gen Thoroughbred sebesar itu, maka kuda lokal hasil grading-up hampir menyerupai kuda Thoroughbred. Selama ini, kapan grading-up harus dihentikan, selalu menjadi kontroversi. Akan tetapi, apabila kita mengetahui hakikat dan tujuan dari grading-up tersebut, maka kontroversi tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi. Tujuan program grading-up adalah memperoleh proporsi gen Thoroughbred setinggi mungkin dengan tetap mempertahankan proporsi gen kuda lokal yang biasanya mempunyai kemampuan adaptif terhadap lingkungan Indonesia. Apabila grading-up terus dilanjutkan (G4 dan seterusnya), maka semua gen lokal yang sebenarnya sangat adaptif terhadap lingkungan Indonesia akan hilang. Sehingga hasil akhir yang dicapai tidak lebih dari replika kuda Thoroughbred yang hidup 20 sampai 30

Disajikan pada Seminar Perkudaan di Hotel Santika, Jakarta 4 September 2003 dan ditulis bersama Beben Benyamin

tahun yang lalu. Dari sini dapat disimpulkan bahwa grading-up cukup dilakukan sampai G4 dan peningkatan mutu genetik selanjutnya dilakukan dengan melakukan program seleksi terhadap kuda-kuda terbaik hasil grading-up tersebut. Pemilihan kuda-kuda terbaik yang akan digunakan sebagai bibit pada program seleksi dapat dilakukan dengan menggunakan informasi performans kuda-kuda yang akan dijadikan bibit, informasi performans dari orangtuanya maupun kerabat-kerabatnya, ataupun gabungan keduanya. Suatu metode statistik modern, BLUP (Best Linear Unbiased Prediction) bahkan bisa menggabungkan seluruh informasi yang ada, baik performans kuda, maupun informasi-informasi seperti lingkungan dan musim untuk memilih kuda-kuda terbaik yang akan digunakan sebagai bibit. Selain itu, dengan perkembangan biologi molekuler yang menakjubkan dalam dua dasawarsa terakhir, pemilihan kuda-kuda terbaik dapat dilakukan dengan menganalisa DNA-nya saja melalui Marker Assisted Selection (MAS). Pendahuluan Indonesia mempunyai beberapa bangsa kuda lokal yang potensial untuk dikembangkan sebagai kuda pacu. Seperti yang tercantum dalam Encyclopedia Americana, beberapa diantaranya adalah kuda Batak, kuda Jawa, kuda Sandelwood, kuda Sumbawa dan kuda Timor. Kuda lokal tersebut tersebar di berbagai daerah, seperti Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dan daerah-daerah lainnya (Anonymous, 2000). Walaupun secara umum performansnya masih di bawah bangsa-bangsa kuda pacu asing, kuda lokal Indonesia mempunyai kemampuan adaptif terhadap lingkungan Indonesia, seperti tahan terhadap cuaca panas dan keterbatasan pakan. Salah satu upaya yang telah dilakukan PP PORDASI untuk membentuk Kuda Pacu Indonesia adalah dengan melakukan grading-up kuda lokal dengan kuda Thoroughbred (Anonymous, 2000). Ini merupakan salah satu bentuk persilangan (crossing) yang bertujuan untuk mengintroduksikan keunggulan-keunggulan suatu bangsa ternak pada bangsa lainnya (Nicholas, 1996). Kuda Thoroughbred digunakan dalam program grading-up ini dengan pertimbangan bahwa bangsa kuda ini merupakan kuda yang terkenal sebagai kuda pacu tercepat di dunia, sehingga hampir di semua arena balapan kuda, kuda Thoroughbred selalu menjadi juara (Kidd, 1995).

Sesuai dengan SK Dirjen Peternakan No. 105/TN 220/Kpts/DJP/Deptan/95, maka grading-up untuk pembentukan Kuda Pacu Indonesia dihentikan sampai pada generasi ke-4 (G4). Secara teoritis, komposisi gen rata-rata yang terkandung pada G4 adalah 93.75% gen kuda Thoroughbred dan 6.25% gen kuda lokal. Dengan komposisi gen seperti ini, berbagai peningkatan dalam performans kuda pacu, seperti tinggi badan, lebar dada, panjang badan dan kecepatan telah hampir menyamai performans kuda Thoroughbred dengan tetap mempertahankan kemampuan adaptif terhadap lingkungan alam Indonesia. Akan tetapi ada kontroversi mengenai langkah selanjutnya yang harus diambil untuk terus meningkatkan performans kuda pacu lokal Indonesia. Satu pihak menginginkan grading-up dilanjutkan ke generasi berikutnya, dengan alasan untuk mendapatkan kuda pacu yang lebih bagus performansnya karena lebih mirip ke kuda Thoroughbred. Sedangkan pihak PP PORDASI sesuai dengan SK Dirjen Peternakan menghentikan program grading-up dengan alasan tidak ada landasan teori yang mendukung kegiatan tersebut. Makalah ini disusun untuk berusaha menjawab kontroversi tersebut dan memberikan alternatif solusi tentang bagaimana program peningkatan mutu genetik Kuda Pacu Indonesia. Makalah ini disusun berdasarkan hasil pemikiran dan studi literatur terhadap teori-teori genetika kuantitatif dan pemuliaan. Pada bagian akhir dari makalah ini, peluang penggunaan teknologi biologi/genetika molekuler yang berkembang sangat pesat dua dasawarsa terakhir ini dalam usaha peningkatan mutu genetik kuda pacu Indonesia juga dibahas. Selain itu, penggunaan penciri teknologi DNA untuk pendeteksian penyakit, silsilah, keturunan, analisa kekerabatan dan keragaman untuk tujuan konservasi juga dibahas secara singkat. Program Grading-Up Grading-up adalah salah satu bentuk persilangan yang dilakukan beberapa kali terhadap salah satu tetuanya sampai pada tahapan yang diinginkan. Sebenarnya ada dua tujuan berbeda dari grading-up. Pertama, grading-up bertujuan untuk memasukkan gen baru ke dalam suatu populasi atau bangsa. Tujuan yang kedua adalah untuk menggantikan suatu bangsa dengan bangsa lain (substitusi) (Nicholas, 1996). Walaupun kedua tujuan tersebut berbeda, prinsip pelaksanaan dan metodologi yang digunakan adalah sama.

Pada kasus pembentukan Kuda Pacu Indonesia, grading-up yang dilakukan dapat dikategorikan ke dalam tujuan yang kedua, yaitu untuk menggantikan kuda lokal dengan kuda Thoroughbred. Kuda Thoroughbred merupakan kuda yang berasal dari Inggris yang telah diseleksi selama 300 tahun untuk kuda pacu. Saat ini, prestasi kuda Thoroughbred sebagai kuda pacu yang pacu tidak ada yang menandingi. Kuda lokal Indonesia, di lain pihak, merupakan kuda yang telah ratusan tahun beradaptasi dengan lingkungan alam Indonesia. Walaupun performans pacunya masih jauh dibawah kuda Thoroughbred, ketahanannya terhadap iklim tropis Indonesia dan pakan yang terbatas, merupakan keunggulan yang tidak didapatkan kuda Thoroughbred bila dipelihara di lingkungan tropis Indonesia. Sehingga untuk mendapatkan keunggulan pacu kuda Thoroughbred yang mempunyai kemampuan adaptasi terhadap lingkungan tropis Indonesia, grading-up kuda lokal Indonesia dengan kuda Thoroughbred untuk mendapatkan Kuda Pacu Indonesia merupakan langkah yang sangat tepat. Untuk lebih memudahkan pemahaman tentang grading-up, Tabel 1 dibawah ini dapat dijadikan sebagai panduan. Tabel 1. Grading-up kuda lokal (L) ke bangsa Thoroughbred (T) Ge ner asi Program perkawinan Penandaan (grade) kuda Proporsi gen Thoroughbred pada kuda hasil grading-up Min.1 0 1 2 3 4 5
1

Rataan.

Max.1

LT [LT] T [(LT)T] T [((LT)T)T] T [(((LT)T)T)T] T dst. 1/2 T 3/4 T 7/8 T 15/16 T 31/32 T 1/2 1/2 1/2 1/2 1/2 1/2 3/4 7/8 15/16 31/32 1/2 1 1 1 1

Dengan asumsi tidak ada pindah silang (crossing-over) (Dimodifikasi dari Nicholas (1996))

Pada generasi 0 (G0), kuda betina lokal dikawinkan dengan pejantan Thoroughbred. Anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut disebut dengan generasi 1 (G1), yang mempunyai proporsi gen Thoroughbred dan lokal. Ketika G1 betina dikawinkan kembali dengan pejantan Thoroughbred, tentunya kuda yang berbeda dengan bapaknya (untuk menghindari inbreeding/silang dalam), anak yang dihasilkan disebut dengan G2, dengan rataan proporsi gen Thoroughbred dan lokal. Kemudian, ketika G2 betina dikawinkan dengan pejantan Thoroughbred yang berbeda, anak yang dihasilkan adalah G3, dengan rataan proporsi gen 7/8 Thoroughbred dan 1/8 lokal. Dan begitu seterusnya. Untuk menyatakan proporsi gen yang terdapat pada kuda hasil grading-up, biasanya yang kita sebutkan adalah proporsi ratarata. Ini dikarenakan anak-anak kuda hasil grading-up tidak mempunyai proporsi gen yang sama, yang berkisar antara dan 1, kecuali untuk G1 yang mempunyai proporsi gen migran persis . Sebagai contoh, pada G4, yang mempunyai rataan proporsi gen Thoroughbred sebesar 15/16 atau 93.75%, mungkin hanya mempunyai proporsi gen Thoroughbred sebesar . Atau bahkan kuda tersebut memiliki proporsi gen Thoroughbred yang mendekati 1. Hal tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut. Pembentukan gamet dalam half-bred dan pada semua persilangan berikutnya menghasilkan tipe gamet/anak yang berbeda. Ini berkisar dari gamet yang hanya mengandung gen lokal, sampai pada gamet yang semuanya berisi gen migran. Jadi, seperti ditunjukkan pada Tabel 1, proporsi gen migran pada G2 dan semua persilangan berikutnya dapat berkisar dari sampai 1 (Nicholas, 1996). Untuk memaksimalkan program grading-up, maka pemulia kuda harus melakukan seleksi untuk memilih kuda yang menunjukkan penampilan seperti bangsa Thoroughbred selama program grading-upnya. Sehingga proporsi gen dari kuda hasil grading-up tersebut bisa melebihi rataan proporsi gen Thoroughbred. Sebagai contoh, pada saat program grading-up telah mencapai G3, secara teoritis rataan proporsi gen thoroughbrednya telah mencapai 7/8. Akan tetapi, apabila seleksi juga dilakukan selama program grading-up, maka proporsi gen Thoroughbred-nya bisa jauh lebih besar daripada 7/8, dan mungkin lebih tinggi dari 31/32 (Nicholas, 1996). Sehingga dari contoh di atas,

kita dapat menyimpulkan bahwa grading-up yang dilakukan setelah G4 tidak akan banyak bermakna. Selain itu, grading-up yang dilakukan secara terus menerus akan menghilangkan semua gen lokal, yang sebenarnya sangat penting untuk kemampuan adaptif terhadap lingkungan lokal Indonesia, karena grading-up yang dilakukan setelah G4 akan menghasilkan kuda yang hampir sama persis dengan kuda Thoroughbred. Sehingga, tidak akan ada bedanya dengan mengimpor kuda Thoroughbred saja. Padahal performans kuda Thoroughbred yang nantinya kita hasilkan tidak lebih dari performans kuda Thoroughbred yang kita impor 25 tahun yang lalu. Sungguh suatu pemborosan waktu dan biaya yang tidak sedikit ! Program Seleksi/Pemuliaan Setelah Grading-Up Terus, pertanyaannya kemudian adalah apa yang harus dilakukan untuk terus meningkatkan mutu genetik kuda pacu Indonesia, setelah program grading-up dihentikan? Jawabannya adalah program seleksi atau pemuliaan G4. Dimana kuda-kuda G4 betina terbaik dikawinkan dengan pejantan-pejantan G4 terbaik untuk menghasilkan kuda-kuda pacu terbaik. Program seleksi dilakukan terhadap sifat-sifat yang diinginkan dari seekor kuda pacu, seperti tinggi gumba, kecepatan, panjang dan berat badan. Dengan memilih kuda-kuda G4 terbaik sebagai tetua, sesuai dengan kriteria sifat-sifat yang diinginkan, maka keturunan yang dihasilkan dapat lebih baik dari tetuanya, dan begitu seterusnya. Pemilihan kuda terbaik untuk dijadikan tetua dapat didasarkan pada performans kuda-kuda yang akan diseleksi ataupun informasi penampilan dari kerabat ataupun orangtuanya. Informasiinformasi tersebut dapat digunakan secara terpisah ataupun merupakan gabungan dari semua informasi yang tersedia melalui pembentukan indeks seleksi. Kuda-kuda yang mempunyai nilai pemuliaan tertinggi berdasarkan indeks seleksi yang dihasilkan itulah yang kemudian dijadikan sebagai tetua dalam program seleksi. Sebuah metode statistik mutakhir, BLUP (Best Linear Unbiased Prediction) sangat populer digunakan dalam program seleksi ternak di beberapa negara maju. BLUP merupakan sebuah teknik untuk menduga nilai pemulian seekor ternak yang mengkombinasikan semua informasi yang tersedia, baik informasi genetik maupun nongenetik, seperti musim dan kelompok ternak. BLUP juga dapat

meng-handle kerumitan pendugaan karena perkawinan tidak random, pejantan yang berasal dari kelompok yang berbeda, dan lain sebagainya (Nicholas, 1996). Penggunaan Teknologi DNA (Penciri DNA/DNA Marker) Perkembangan ilmu dan teknologi yang berbasiskan DNA sebagai bahan kajian utamanya terus saja berlangsung dengan kecepatan yang sangat menakjubkan. Perkembangan tersebut membawa implikasi yang tidak sedikit, termasuk pada bidang pemuliaan ternak kuda. Salah satu teknologi DNA yang pengaruhnya sangat signifikan terhadap perkembangan teknik pemuliaan ternak adalah penemuan berbagai segmen DNA yang dapat dijadikan sebagai penanda genetik, yang kemudian disebut sebagai DNA marker. Segmen DNA tersebut bisa terdapat di dalam gen atau diluar gen yang letaknya terdistribusi diseluruh genom. Selain dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas pemuliaan ternak, DNA marker juga dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti studi populasi, pemetaan gen, deteksi penyakit, studi filogeni, dan banyak lagi aplikasi-aplikasi lainnya. Yang menjadikan DNA marker dapat digunakan sebagai penanda genetik adalah terdapatnya variasi antar individu di dalam segmen DNA tersebut. Variasi itu dapat berupa perbedaan urutan basa, ataupun ukuran sekuens berulang, yang dapat dideteksi melalui berbagai teknik dasar teknologi DNA, seperti pemotongan dengan enzym restriksi, polymerase chain reaction (PCR), atau sekuensing. Generasi awal dari DNA marker adalah RFLP (Restriction Fragments Lengths Polymorphisms), dimana variasi panjang pendeknya fragmen DNA ternak yang telah dipotong dengan enzym restriksi, menjadikannya sebagai penanda genetik. Beberapa tahun kemudian, mikrosatelit, yaitu segmen DNA yang mempunyai motif berulang (tandem repeats) antara 2 sampai 5 pasang basa, dikukuhkan sebagai DNA marker. Ini terjadi karena tiap individu (mungkin) mempunyai jumlah sekuens berulang yang berbeda, dan perbedaan tersebut dapat dideteksi dengan memanfaatkan teknologi PCR. Baik RFLP maupun mikrosatelit telah berjasa banyak dalam pembentukan peta genetik ternak. Hampir semua ternak domestik, seperti sapi, domba, babi dan ayam, telah mempunyai peta genetik yang cukup lengkap dan detail, yang sebagian besar berkat jasa RFLP dan mikrosatelit. Beberapa tahun belakangan ini, sebuah generasi baru DNA marker telah ditemukan, yakni Single Nucleotide Polymorphisms (SNP).

Perbedaan satu nukleotida pada SNP dapat dideteksi dengan cara mensekuens-nya ataupun dengan menggunakan DNA chip technology yang berdasarkan teknologi hibridisasi. Saat ini, SNP diharapkan menjadi DNA marker andalan, karena beberapa keunggulannya dibandingkan dengan generasi pendahulunya. Salah satunya adalah jumlahnya yang sangat banyak dan tersebar diseluruh genom. Selain itu, pendeteksian SNP dapat dilakukan dalam skala besar. Sehingga pembuatan peta genetik ternak yang sangat rapat dan detail sangat dimungkinkan. Marker Assited Selection (MAS)/Seleksi dengan Bantuan Marker Selama berpuluh-puluh tahun, pemuliaan konvensional telah berhasil meningkatkan performans kuda. Berbagai peningkatan, mulai dari tinggi dan panjang badan, efesiensi pakan, resistensi terhadap penyakit, sampai pada kecepatan kuda yang makin tinggi, telah berhasil dilakukan. Seleksi kuda unggul yang dilakukan selama ini, hanya berdasarkan pada penampilan luar atau fenotipenya saja. Terlepas dari fakta bahwa sistem seleksi ini telah berhasil meningkatkan performans kuda, beberapa asumsi dan teori yang mendasarinya sudah tidak realistis lagi. Salah satunya adalah model infinitesimal yang mengatakan bahwa sifat-sifat kuantitatif (berat badan, panjang badan, tinggi badan, resisten terhadap penyakit, kecepatan, dll) dipengaruhi oleh jumlah gen/lokus yang tidak terbatas. Teori ini terbukti tidak sepenuhnya benar dalam menjelaskan arsitektur genetik sifat-sifat kuantitatif. Perkembangan teknologi biologi molekuler pada dua dasawarsa belakangan ini, telah membuktikan bahwa jumlah gen/loci tersebut jumlahnya banyak, tapi terbatas. Ilmuan, kemudian menyebutnya sebagai Quantitative Trait Loci (QTL), yaitu lokus-lokus/segmen DNA yang mempengaruhi sifat-sifat quantitatif. Sekarang ini, dengan bantuan berbagai DNA marker, seperti yang telah disebutkan di atas, QTL untuk berbagai sifat kuantitatif yang menguntungkan sedang diidentifikasi dan dipetakan oleh berbagai laboratorium genetika di berbagai belahan dunia. QTL diidentifikasi dengan memanfaatkan fenomena bahwa jika suatu QTL terpaut pada suatu DNA marker, maka akan terdapat perbedaan pada nilai fenotipe antar kelas genotype marker tersebut. Sehingga, keberadaan QTL yang menguntungkan pada suatu individu dapat dideteksi dengan bantuan DNA marker tadi. Ketika QTL tersebut sudah teridentifikasi (jumlah, lokasi, aksi gen dan efeknya), maka

informasi tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas pemuliaan konvensional. Sistem pemuliaan yang menggabungkan informasi QTL dalam pemuliaan konvensional tersebut disebut dengan Marker Assisted Selection (MAS). Hasil berbagai penelitian dan simulasi, menunjukkan bahwa MAS menghasilkan respon seleksi per tahun yang lebih tinggi daripada pemuliaan konvensional. Hal ini disebabkan karena MAS tidak hanya menggunakan informasi fenotipe tapi juga informasi genotipe (QTL/gen utama). Bagaimana MAS meningkatkan efesiensi pemuliaan ternak dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, karena DNA marker menyediakan informasi tambahan mengenai genotipe seekor ternak, maka ia dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi seleksi. Dengan meningkatnya akurasi seleksi, maka respon seleksipun menjadi meningkat. Kedua, DNA marker dapat digunakan untuk menurunkan interval generasi dengan cara menseleksi ternak pada umur yang lebih muda. Penurunan interval generasi tersebut menyebabkan respons seleksi per tahun menjadi semakin meningkat. Ketiga, DNA marker dapat digunakan untuk meningkatkan intensitas seleksi, karena DNA marker dapat digunakan untuk menseleksi lebih banyak ternak daripada menggunakan informasi fenotipe saja. Karena intensitas seleksi berbanding lurus dengan respon seleksi, maka peningkatan intensitas seleksi akan diikuti dengan peningkatan respons seleksi. Maka secara umum, dengan memanfaatkan informasi DNA marker, maka MAS menghasilkan respon seleksi yang lebih cepat dibandingkan dengan pemuliaan konvensional yang hanya mengandalkan informasi fenotipe saja. Sebagai gambaran, sebuah hasil simulasi komputer menunjukkan bahwa peningkatan respon seleksi sampai 30%, dapat dihasilkan dari pelaksanaan MAS pada pemuliaan ternak. Aplikasi Lain dari DNA Marker Selain dapat digunakan untuk meningkatkan efesiensi pemulian/seleksi seperti yang telah disebutkan di atas, DNA marker juga dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti identifikasi kuda, identifikasi pedigree, analisa keragaman genetik dan kekerabatan kuda lokal untuk keperluan konservasi, dan lain-lain. Informasi pedigree pada kuda pacu merupakan informasi yang sangat penting. Kuda yang mempunyai orang tua yang terkenal akan sangat mahal sekali harganya. Akan tetapi, kadangkala, terjadi

manipulasi atau kesalahan dalam penentuan pedigree seekor kuda, untuk itu, suatu metode yang dapat mendeteksi kebenaran pedigree seekor kuda sangat dibutuhkan. Selama ini metode yang digunakan adalah test golongan darah. Walaupun telah berjasa untuk mengidentifikasi pedigree selama 30 tahun terakhir, metode ini mempunyai banyak kelemahan, seperti ketergantungan test terhadap darah segar dan terbatasnya variasi dalam golongan darah (Bowling, 2001). Untungnya, kelemahan metode golongan darah dapat diatasi oleh perkembangan penciri DNA seperti yang telah dibahas di atas. Saat ini, penanda mikrosetelit merupakan salah penciri DNA yang telah digunakan untuk identifikasi pedigree. Dengan menggunakan satu set mikrosatelit marker khusus untuk kuda, laboratorium genetika di seluruh dunia sudah mampu membuktikan hasil yang konsisten. Dan hasil ini jauh lebih akurat dari hanya sekedar test golongan darah (Bowling, 2001). Kesimpulan dan Rekomendasi Beberapa point penting yang dapat disimpulkan dari pembahasan di atas adalah: 1. Langkah yang telah di ambil PB PORDASI untuk menciptakan Kuda Pacu Indonesia dengan melakukan grading-up kuda lokal Indonesia dengan kuda Throughbred merupakan keputusan yang sangat tepat dan patut dihargai. 2. Grading-up lanjutan setelah mencapai G4 tidak mempunyai nilai tambah, bahkan merugikan ditinjau dari segi teori genetika maupun waktu dan biaya yang dikeluarkan. 3. Langkah peningkatan mutu genetik kuda pacu Indonesia setelah tercapainya G4 adalah melakukan program seleksi/pemuliaan dengan cara memilih kuda-kuda jantan dan betina terbaik sesuai dengan kriteria kuda pacu untuk digunakan sebagai tetua/induk pada program perkawinan. 4. Perkembangan teknologi DNA dewasa ini (penciri DNA/DNA marker) memberikan harapan untuk peningkatan efisiensi seleksi melalui Marker Assisted Selection (MAS). 5. DNA marker juga dapat digunakan untuk keperluankeperluan genetika kuda lainnya, seperti identifikasi individu, identifikasi pedigree, dan analisa kekerabatan dan keragaman kuda lokal untuk keperluan konservasi.

Daftar Pustaka Anonymous. 2000. Kumpulan dokumen PORDASI (Komisi Peternakan dan Kesehatan Veteriner PP. PORDASI 1966 2000). Jakarta. Bowling, A. T. 2001. Historical development and application of moleculer genetic tests for horse identification and parentage control. Liv. Prod. Sci. 72: 111-116. Kidd, J. 1995. Horses and ponies of the world. Ward Lock, Wellington House. London. Nicholas, F. W. 1996. Introductory to veterinary genetics. Oxford University Press.

11

Anda mungkin juga menyukai