Anda di halaman 1dari 12

BAB I DIMENSI MAKRO DAN MIKRO DALAM PEMBANGUNAN

Menurut Spicker (1995:3) menggambarkan sekurang-kurangnya ada lima aspek utama yang harus diperhatikan dan dikenal dengan nama big five, yaitu 1. 2. 3. 4. 5. Kesehatan Pendidikan Perumahan Jaminan Sosial Pekerjaan Sosial Aspek fisik yang dimaksud adalah terkait dengan bangunan (buildings) dan infrastruktur (infrastructure). Bangunan yang dimaksud di sini dapat berupa pertokoan, perkantoran, gedung perniagaan, dan sebagainya, sedangkan infrastruktur dapat berupa jalan raya, jembatn, jalankereta api, sarana pembuangan limbah, sarana air bersih, dan lain sebagainya. Sementara itu, sektor perumahan dipisahkan untuk mengaitkan dengan kebutuhan dasar masyarakat, yaitu kebutuhan akan perumahan yang memadai untuk tempat mereka berteduh. Zastrow (1996:4) mengemukakan aspek rekreasional bahwa salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat di luar dari berbagai aspek diatas. Sekurang-kurangnya ada sembilan aspek (indikator besar) yang perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare policy member), yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Aspek Fisik Aspek Perumahan Aspek Pendidikan Aspek Kesehatan Aspek Ketenagakerjaan Aspek Ekonomi Masyarakat Aspek Jaminan Sosial Aspek Rekreasional Aspek Pekerjaan Sosial (terkait di dalamnya adalah pembahasan tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)).

Selain aspek di atas, dalam proses pembangunan baik yang terjadi didunia Internasional maupun di Indonesia, pada dasarnya dipengaruhi oleh sekurang-kurangnya dua dimensi. Dimensi pertama adalah dimensi maro yang mneggambarkan bagaiman institusi negara melalui kebijakan dan peraturan yang dibuatnya memengaruhi proses perubahan di suatu masyarakat. Dimensi yang kedua adalah dimensi mikro, dimana individu, keluarga, dan kelompok kecil dalam masyarakat memengaruhi proses pembangunan itu sendiri. Era awal dari pembahasan mengenai teori pembangunan adalah dikemukakannya, teori pertumbuhan. Pemikiran mengenai teori pertumbuhan ini berasal dari pandangan kaum ekonomi ortodoks yang melihat pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya dasumsikan akan meningkatkan standar kehidupan (Clark, 1991:20). Pada umumnya mereka menggunakan GNP (Gross Nstionsl Product) atau PDB (Pendapatan Domestik Bruto) sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Akan tetapi, bila diperhatikan lebih jauh lagi, ternyata pertumbuhan yang ada ternyata hampir-hampir tidak bermakna bagi mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Tahun 1950-1960 adanya suatu optimisme dan harapan yang besar pada konsep yang disebut pembangunan. Revolusiekonomi dari aliran Keynesian mendorong para ahli ekonomi untuk mengajurkan ditempuhnya strategi industrialisasi dengan kebijaksanaan substitusi impor sebagai resep baru bagi negara agraris yang padat penduduk di dunia ketiga. Rostow (1960:6-16), yang menggambarkan tahapan-tahapan dalam pembangunan yang pada intinya terkait dengan investasi modal besar atau mengenai suntikan investasi yang padat modal untuk mendongkrak sumber daya dan potensi yang ada pada masyarakat. Rostow (1960) memperkenalkan lima tahap pembangunan yang akan dilalui oleh setiap negara, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. Masyarakat Tradisional (Traditional Society) Tahap Transisi (Transitional Stage) Tahap Tinggal Landas (Take Off) Tahap Menuju Kematangan (Drive to Maturity) Tahap Konsumsi Masa yang Tinggi (High Nass Consumption) Secara teoritis, teori Rostow terlihat menarik. Akan tetapi, dalam penerapannya, konsep trickle down effect yang diharapkan dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat justru tidak terjadi. Hal yang terjadi adalah penumpukan kapital pada sekelompo orang yang dekat dengan

kekuasaan, serta terjadinya peningkatan angka pengangguran, kemiskinan serta angka migrasi desa kota pada berbagai negara dunia ketiga. Pada dasawarsa 1970, beberapa ekonom mengajukan suatu strategi pembangunan yang mereka yakini dapat diterpkan pada berbagai negara dunia ketiga. Pada tahun 1973, di Amerika Serikat, Adelman dan Morris menerbitkan Economic Growth and Social Equity in Developing Countries. Adelman dan Morris (1973:12-106) mengembangkan tiga tipe indikator yang da[at digunakan sebagai indikator dasar untuk mengukur perkembangan pembangunan suatu negara. Indikator-indikator utama tersebut, yaitu: 1. 2. 3. Indikator-indikator sosial budaya (sociocultural indicators) Indikator-indikator politik (political indicators) Indikator-indikator ekonomi (economic indikators) Chenery, Ahluwalia, dkk. (1974) menerbitkan Redistribution with Growth. Serupa dengan Adelman dan Morris (1973), buku ini juga memunculkan pembangunan dengan memfokuskan pada pertumbuhan dan pendistribusian pendapatan. Paradigma ketergantungan dalam teori pembangunan berawal dari pengalaman negaranegara Amerika Latin sejak masa depresi tahun 1930-an. Konsep Dependencia (ketergantungan) ini dipelopori oleh Cardoso (dimunculkan sekitar tahun 1970) karena ia melihat kelemahan dari konsep pembangunan yang ada pada saat itu. Kelemahan pertama disebabkan perlunya komponen-komponen dari luar negeri untuk menggerakkan kegiatan industri, hal ini menyebabkan ketergantungan dari segi teknologi dan kapital. Kelemahan kedua disebabkan oleh distribusi pendapatan Amerika Latin menimbulkan pembatasan akan permintaan terhadap barang hasil industri yang hanya mampu dinikmati sekelompok kecil kaum elite dan setelah permintaan terpenuhi, maka proses pertumbuhan terhenti (Hadad, 1980:31). Dalam pendekatan kebutuhan pokok terdapat proposisi bahwa kebutuhan pokok tidak mungkin dapat dipenuhi jika mereka masih dibawah garis kemiskinan serta tidak mempunyai pekerjaan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Karena itu, ada tiga sasaran yang dicobakembangkan secara bersamaan: a. b. c. Membuka lapangan kerja Meningkatkan pertumbuhan ekonomi Memenuhi kebutuhan pokok masyarakat

Hadad (1980:39) menyatakan bahwa pendekatan kemandirian (self reliance) dalam berbagai litelatur juga dikenal dengan nama pendekatan self sustained. Pendekatan ini muncul sebagai konsekuensi logis dari berbagai upaya negara dunia ketiga untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap negara-negara industri. Soedjatmoko (dikutip oleh hadad, 1980) melihat bahwa konsep kemandirian menyajikan dua perspektif, yang pertama adalah penekanan yang lebih diutamakan pada hubungan timbal balik dan saling menguntungkan dalam perdagangan dan kerja sama pembangunan, sedangkan yang kedua adalah lebih mengandalkan kemampuan dan sumber daya sendiri untuk kemudian dipertemukan dengan perdebatan internasional tentang pembangunan. Salah satu disiplin ilmu yang sering dikaitkan dalam upaya memahami manusia adalah displin psikologi, yang kajiannya memfokuskan antara lain pada tingkah laku dan proses mental manusia yang terkait dengan lingkungan sekitarnya. Dalam psikologi, terdapat tiga pendekatan besar yang banyak mempengaruhi perkembangan dunia psikologi secara umum. Maslow dalam Santrock (2000:10) menyatakan bahwa ketiga pendekatan utama tersebut adalah: 1. 2. 3. Pendekatan Perilaku (behaviorism) Pendekatan Psikoanalisis Pendekatan Humanistik Berdasarkan beberapa pendekatan psikologi, bahwa manusia merupakan sumber daya tersendiri dalam pembangunan. Ia merupakan unsur penggerak utama dan mempunyai kemampuan untuk memanipulasi dan mengintervensi sumber daya alam. Kerangka intervensi makro yang akan dikembangkan untuk pembangunan kesejahteraan sosial dalam arti luas guna mengembangkan manusia ke arah yang lebih positif dalam aspek horizontal dan vertikal, tampaknya masih memerlukan adanya modifikasi dalam penerapannya karena beberapa perangkat ilmu dan teknologi yang dimasukan dari negara lain tentunya membawa nilai negara tersebut yang mungkin tidak bernilai universal sehingga tidak dapat diterapkan langsung pada berbagai negara yang ingin mencangkoknya. Begitu pula dalam Intervensi Komunitas (Intervensi Makro) secara menyeluruh, keterpaduan antara pembangunan yang bersifat horizontal dan vertikal sangatlah dibutuhkan, meskipun masih terlalu sulit untuk mencapainya secara tuntas.

BAB II KESEJAHTERAAN SOSIAL, PEMBANGUNAN SOSIAL DAN PEMBANGUNAN YANG BERPUSAT PADA MANUSIA

Kesejahteraan sosial dalam artian yang sangat luas mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik. Taraf kehidupan yang lebih baik ini yidak diukur secara ekonomi dan fisik belaka, tetapi juga ikut memerhatikan aspek sosial, mental dan segi kehidupan spiritual. Suatu keadaan dimana tercipta tatanan atau tat kehidupan yang baik (memadai) dalam masyarakat dan bukan sekadar kemakmuran pada kehidupan materiil tetapi juga dalam kehidupan spiritual masyarakt. Definisi lain tentang kesejahteraan sosial yang melihat kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi tergambar dari definisi yang dikemukakan oleh Midgley (1975:5), yaitu: A state or condition of human well-being that exist when social problem are managed, when human nedds are met and when social opportunities are maximized. (suatu keadaan atau kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik; ketika kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalisasikan). Pendefinisian kesejahteraan sosial berdasarkan sektor pembangunan antara lain terlihat dari apa yang dikemukakan Spicker (1995:3) dimana Spicker melihat bidang kesejahteraan sosial dalam arti sempit itulah yang terkait dengan disiplin pekerjaan sosial (social work) yang menjadi cikal bakal berkembangnya ilmu kesejateraan sosial. Bidang ini pada berbagai negara ditangani oleh Ministry of Health and Welfare atau di Indonesia ditangani oleh Departemen Sosial (DEPSOS). Menurut Friedlander: Social welfare is the organized system of social services and institution, designed to aid individuals and group to attain satisfying standards of life and health. (kesejahteraan sosial merupakan sitem yang terorganisasidari berbagai institusi dan usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dirancang guna membantu individu atau kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan). Definisi yang dapat dikembangkan dalam upaya menggambarkan kesejahteraan sosial sebagai suatu ilmu. Dua diantaranya:

a.

Ilmu Kesejahteraan Sosial adalah suatu ilmu yang mencoba mengembangkan pemikiran,

strategi dan teknik untuk meningkatkan kesejahteraan suatu masyarakat, baik level mikro, mezzo, maupun makro (Adi, 2003:42) b. The study of agencies, programs, personnel and policies which focus on the delivery of Ilmu kesejahteraan sosial adalah ilmu terapan yang mengkaji dan mengembangkan social services to individuals, groups and communities (zastrow, 2004:5) c.

kerangka pemikiran serta metodologi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup (kondisi) masyarakat antara lain melalui pengelolaan masalah sosial, pemenuhan kebutuhan hidup masyarakatdan pemaksimalan kesempatan anggota masyarakt untuk berkembang (Adi, 2005:17) Pembangunan sosial sebagai salah satu pendekatan dalam pembangunan, pada awl perkembangannya, sering kali dipertentangkan dengan pembangunan ekonomi. Hal terkait dengan pemahaman banyak orang yang menggunakan istilah pembangunan yang dikonotasikan sebagaiperubahan ekonomi yang diakibatkan oleh adanya industrialisasi (Midgley, 1995:2). Pembangunan sosial menurut Midgley adalah suatu proses perubahan sosial yang terencana dan dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebgai suatu keutuhan, dimana pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi. Penjelasan definisi Midgley (1995:13; 26-28) mengajukan sekurang-kurangnya delapan aspek yang perlu diperhatikan: 1. 2. Proses pembangunan sosial tidak terlepas dari pembangunan ekonomi. Pembangunan sosial mempunyai fokus yang interdisipliner yang diambil dari berbagai

jenis ilmu sosial. 3. 4. Dalam konsep pembangunan sosial tergambar adanya suatu proses yang dinamis. Proses perubahan yang terdapat dalam pendekataan pembangunan sosial pada dasarnya

bersifat progresif. 5. 6. 7. Proses pembangunan sosial adalah interventionist. Tujuan pembangunan sosial diusahakan untuk dicapai melalui bebrapa strategi. Pembangunan sosial lebih memusatkan pada populasi sebagai suatu kesatuan yang bersifat

inklusif dan universalistik.

8.

Tujuan pembangunan sosial adalah pengembangan dan peningkatan kesejahteraan

masyarakat (promotion of social welfare). Pembangunan ekonomi tidaklah bermakna (meaningless), kecuali diikuti dengan peningkatan kesejahteraan sosial dari populasi sebagai suatu kesatuan. Penafsiran people-centered dan suitainable development tidak jarang ditafsirkan secarra berbeda oleh para pelaksana pembangunan di beberapa negara yang sudah berkembang dan berbagai negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia, aspek lingkungan dalam people centered development seakan-akan ditiadakan. Korten (1984:299), melihat bahwa people centered development adalah untuk meningkatkan pertumbuhan dan kemakmuran manusia, meningkatkan keadilan, serta berkesinambungan. Pemikiran yang mendominasi paradigma ini adalah pembangunan yang memerhatikan keseimbangan ekologi manusia. Pembangunan perumahan dan perkantoran yang menghilangkan paru-paru kota justru dapat menimbulkan biaya kesehatan dan biaya sosial yang tidak sedikit. Goulet (1995:7), People-centered social development is ultimately to provide all humans with the opportunity to live full human lives (pembangunan sosial yang berpusat pada manusia tujuan utamanya adalah menyediakan pada seluruh lapisan masyarakat kesempatan untuk hidup secara utuh). Hal ini juga searah dengan tujuan dasar pembangunan di Indonesia, yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya. Nilai-nilai dasar yang dianggap universal dalam pendekatan value based people centered development (Goulet, 1995:8): 1. 2. 3. 4. Partisipasi (Participation) Kesinambungan (Sustainability) Integritas Sosial (Social Integration) Hak-hak dan kemerdekaan asasi manusia (Human Rights and Fundamental Freedoms)

pembangunan meliputi banyak sisi kehidupan, pembangunan harus didekati dengan beragam bidang ilmu (holistic approach). Pendekatan yang multi disiplin ini perlu ditekankan untuk menghindarkan kesan yang sempit tentang pembangunan, yang menganggap pembangunan semata-mata berada dalam lingkup bidang ekonomi, dan, karena itu hanya menjadi urusan para ahli ekonomi saja. Sempitnya pengertian tentang pembangunan itu telah mengakibatkan pembangunan mengalami banyak kelemahan selama beberapa dekade sesudah Perang Dunia II. Selama masa itu, pembangunan dipandang sebagai persoalan teknis semata yang segala permasalahannya dapat diselesaikan secara ekonomis dan dengan perhitungan kuantitatif. Akibatnya, pembangunan hanya mampu menyentuh permasalahan yang dapat dihitung, yang ada dipermukaan dan yang biasanya hanya berhubungan dengan kelompok ekonomi kuat saja. Permasalahan-permasalahan hidup yang tidak berada dipermukaan dan tidak dapat dihitung yang dihadapi golongan ekonomi kecil, diharapkan teratasi dengan sendirinya melalui rembesan dari hasil kegiatan dipermukaan itu (trickle-down- effects).

Kesadaran tentang keperluan adanya pendekatan yang multi disiplin ini telah mendorong orang untuk melihat pembangunan tidak hanya dalam satu sektor atau bidang saja tetapi juga meliputi berbagai sektor, bidang dan daerah (regional approach). Analisis kebijakan dalam pembangunan tidak lagi sekedar berada dalam wawasan ilmu ekonomi, tetapi juga meliputi ilmu politik, ilmu perwilayahan (regional science), ilmu administrasi dan kebijakan publik. Bahkan akhir-akhir ini pendekatan ilmu jiwa atau psychology telah mulai memasuki wilayah kajian pembangunan. Bersamaan dengan meluasnya bidang kajian pembangunan, penggunaan matematika yang selama ini dipandang sebagai pendekatan yang paling maju, yang mampu menyederhanakan persoalan, mulai dipertanyakan akurasinya terhadap masalah-masalah sosial yang tidak dapat dikalkulasikan secara matematis. Namun matematika tetap dipandang sebagai ilmu alat atau ilmu bantu yang sangat penting, tetapi bukan segala-galanya.

Suatu model perencanaan baru


Storgaard menggambarkan, betapa sejak akhir dasawarsa 1970-an, DANIDA, bersama dengan pejabat-pejabat federal India dan pekerja-pekerja professional di bidang kesehatan,

terlibat dalam suatu model perencanaan yang berorientasi proses dengan suatu pendekatan bottom-up dengan mempergunakan metode partisipatoris, dalam pelaksanaan proyek kesehatan (Mikkelsen). Pendekatan tersebut adalah pendekatan partisipatoris yang diberi nama Participatory Rural Appraisal (PRA) atau Penilaian Partisipatoris Pedesaan. Sebagai sebuah tujuan, partisipasi menghasilkan pemberdayaan, yakni setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Dengan demikian, partisipasi adalah alat dalam memajukan ideology atau tujuan-tujuan pembangunan yang normative seperti keadilan social, persamaan dan demokrasi. Dalam bentuk alternative, partisipasi ditafsirkan sebagai alat untuk mencapai efifiensi dalam proyek sebagai alat dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan. Implikasinya, partisipasi menyangkut pula strategi manajemen, melalui mana Negara mencoba untuk memobilisasi sumber-sumbernya. Untuk melengkapi gambaran strategi-strategi parisipatoris dan mengidentifikasikan parameterparameter yang strategis dan metodologis, maka penting dicermati siapa-siapa anggota masyarakat yang terlibat, bukan hanya dengan menyebut penduduk setempat atau yang bersifat umum seperti itu. Parameter-parameter strategis yang diusulkan meliputi : a. Tingkat local versus tingkat nasional ; b. Negara versus warga masyarakat ; c. . Lapisan masyarakat kalangan atas versus yang lemah dan tergusur. Apabila digabungkan dengan dua strategi partisipatoris utama yang telah disebutkan, Yakni partisipasi sebagai alat dan partisipasi sebagai tujuan pembangunan yang sebenarnya, aspek-aspek kedua strategi itu dapat dihadirkan pada waktu yang bersamaan. Memang, agar partisipasi masyarakat menjadi efisien dan berhasil, dalam banyak hal diprasyaratkan agar para pejabat yang terlibat harus juga berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang diarahkan pada upaya melibatkan masyarakat. Terdapat banyak bukti, bahwa dukungan pejabat sangat diperlukan dalam kegiatan pembangunan partsisipatoris supaya dapat berhasil (Cernea, 1992).

Sementara pengalaman-pengalaman baru dikumpulkan dari pelbagai percobaan partisipatoris yang berorientasi pada proses, pendekatan bottom-up yang dianjurkan oleh kerja sama pembangunan internasional, adalah perlu bagi kita untuk lebih mengenal alat atau sarana perencanaan yang banyak digunakan saat ini, khususnya alat untuk menganalisis masalah. Seperangkat alat analisis masalah yang biasa dipergunakan dalam PRA adalah Logical Framework Approach (LFA) atau Pendekatan Kerangka Logik.

Pergeseran model pembangunan


Bertolak dari beberapa definisi dan pemaparan konsep tentang pendekatan

pemberdayaan, maka dapat ditarik pemaknaan bahwa pemberdayaan masyarakat memiliki fokus pada pengembangan kualitas manusia. Pendekatan ini menyadari bahwa segudang permasalahan sosial yang ada di masyarakat hanya dapat dipecahkan oleh masyarakat itu sendiri sebagai subjek pembangunan. Adapun peneliti berkeyakinan bahwa untuk menjadi manusia yang

berdaya/berkualitas harus melalui tahap penyadaran, peningkatan kapasitas, pendayaan dan dukungan lingkungan. Pertama, penyadaran yaitu upaya untuk menumbuhkan kesadaran individu atau masyarakat untuk membangun dirinya sendiri (konatif). Adapun untuk menggali proses pendayaan dapat digunakan beberapa indikator yaitu (a) sosialisasi program yaitu bagaimana tekhnik penyampaian pesan, sehingga pesan tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat tanpa menyinggung nilai dan norma setempat, (b) Need For Achievement yaitu kebutuhan yang tercermin dari perilaku individu sewaktu seseorang bersemangat tampak berani menantang bahaya sekalipun yang bersangkutan senantiasa mengarah pada suatu keberhasilan. (c) Partisipasi yaitu bentuk keiikutsertaan masyarakat terhadap pemecahan suatu masalah. Kedua, peningkatan kapasitas yaitu upaya mentransfer pengetahuan, keterampilan, manajemen, dan nilai-nilai yang dapat dijadikan acuan menuju kemandirian. Upaya peningkatan kapasitas dapat ditinjau dari beberapa indikator yaitu:

(a) Pelatihan keterampilan yaitu upaya memberikan pengetahuan praktis untuk meingkatkan kecakapan dan keahlian masyarakat, misalnya keterampilan menjahit dan memasak (b) Kelembagaan yaitu upaya untuk memberikan keahlian dalam bidang manajemen (pengelolaan), (c) Rule of the game yaitu menetapkan nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam melangkah. Ketiga, pendayaan yaitu upaya memberikan otoritas, peluang, dan kepercayaan kepada individu atau masyarakat untuk dapat berkembang sesuai dengan kreativitasnya. Tahap ketiga ini meliputi beberapa hal antara lain; (a) Otoritas yaitu seberapa jauh pihak pemberdaya memberikan kepercayaan dan wewenang kepada pihak yang diberdayakan untuk mengelola sendiri keahlian yang sudah didapatkan tanpa ada intervensi dari pihak pemberdaya namun dalam kerangka nilai yang telah dibentuk,Inovasi yaitu upaya untuk mengembangkan hasil-hasil karya individu atau masyarakat sehingga nilai ekonomi dan kegunaannya dapat meningkat. Keempat, dukungan lingkungan yaitu kondisi lingkungan yang mempengaruhi proses pemberdayaan masyarakat. Adapun dukungan lingkungan ini meliputi: (a)Dukungan aktor yaitu bagaimana elit lokal maupun organisasi kemasyarakatan memberikan dukungannya untuk mencapai keberhasilan proses pemberdayaan, (b) Nilai budaya setempat yaitu seberapa jauh nilai-nilai budaya setempat dan lingkungan sosialnya mempengaruhi proses pemberdayaan.

TUGAS REVIEW
MATA KULIAH METODE PERENCANAAN PARTISIPATORIS BERBASIS MASYARAKAT

oleh : SALZA HARIHANDINI NIM. 080910301056

JURUSAN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS JEMBER 2012

Anda mungkin juga menyukai