Anda di halaman 1dari 15

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN A. Definisi B.

Definisi Syndrome gawat nafas (respiratory distress syndrome) Sindrom distress pernapasan dapat dibagi menjadi : 1.Sindrom Distres Pernapasan Dewasa ( ARDS ) 2.Sindrom Distres pernapasan Idiopatik Bayi Baru Lahir ( IRDS ) ARDS adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas alveolus dan atau membran kapiler paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu gangguan besar pada sistem paru, kardiovaskuler atau tubuh secara luas. Hyaline Membrane Disease dikenal juga sebagai respiratory distress sydromeyang idiopatik, merupakan keadaan akut yang terutama ditemukan pada bayi prematur saat lahir atau segera setelah lahir, lebih sering pada bayi dengan usia gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat dibawah 1500 gram. Kira-kira 60% bayi yang lahir sebelum gestasi 29 minggu mengalami RDS. Respiratory distres syndrome adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagaiHyaline Membrane Disesae. RDS adalah keadaan hipoksia dan cedera paru yang terjadi akibat atelektasis primer yang luas. Bangunan paru janin dan produksi surfactan penting untuk fungsi respirasinormal. Bangunan paru dari produksi surfaktan bervariasi pada masing-masing bayi. Bayi prematur lahir sebelum produksi surfactan memadai. Surfactan, suatu senyawa lipoprotein yang mengisi alveoli, mencegah alveolar colaps dan menurunkan kerja respirasi dengan menurunkan tegangan permukaan. Pada defisiensi surfactan, tegangan permukaan meningkat, menyebabkan kolapsnya alveolar dan menurunnya komplians paru, yang mana akan mempengaruhi ventilasi alveolar sehingga terjadi hipoksemia dan hiperkapnia dengan acidosis

respiratory. Reduksi pada ventilasi akan menyebabkan ventilasi dan perfusi sirkulasi paru menjadi buruk, menyebabkan keadaan hipoksemia. Hipoksia jaringan dan acidosis metabolik terjadi berhubungan dengan atelektasis dan kegagalan pernafasan yang progresif. Atelektasis primer mengacu kepada keadaan kolapsnya alveolus secara substansial yang dijumpai pada bayi baru lahir. Dengan kolapsya alveolus maka ventilasi berkurang. Timbul hipoksia yang menyebabkan cedera paru dan terpacunya reaksi peradangan. Peradangan menyebabkan edema dan pembengkakkan ruang interstisium yang semakin menurunkan pertukaran gas antara kapiler dan alveolus yang masih berfungsi. Peradangan juga menyebabkan terbentuknya membran-membran hialinyang merupakan akumulasi fibrin putih di alveolus. Pengendapan fibrin tersebut semakin menurunkan pertukaran gas serta compliance paru maka usaha bernapas meningkat. Penurunan ventilasi alveolus menyebabkan penurunan V/Q dan vasokonstriksiarteriol paru. Vasokonstriksi paru dapat menyebabkan peningkatan volume dan tekanan jantung kanan, sehingga terjadi pirau darah dari atrium kanan, melalui foramen ovale bayi baru lahir yang masih paten, langsung ke atrium kiri. Demikian juga, resistensi paru yang tinggi juga dapat menyebabkan darah deoksigenasi melewatkan paru dan langsung di salurkan ke sisi kiri tubuh melalui duktus arteriosus dan menyebabkan paru kanan kekiri. Paru kanan ke kiri memperburuk keadaan hipoksia, sehingga timbul sianosis berat. Untuk setiap usaha melakukan ventilasi pada alveolus yang kolaps, bayi harus mengeluarkan sejumlah besar energi. Pengeluaran energi tersebut akan diiringi oleh peningkatan kebutuhan oksigen yang semakin memperah sianosis. Seiring dengan peningkatan kebutuhan oksigen bayi terperangkap dalam suatu siklus umpan balik positif. Pada awalnya bayi akan memperlihatkan napas yang cepat dan dangkal sebagaiusaha untuk memenuhi kebutuhan oksigennya yang tinggi, sehinga pada analisis gas darah mula-mula terjadi alkalosisi respiratorik

karena karbon dioksida terbuang. Namun, bayi akan segera kelelahan karena kesulitan mengembangkan alveolus dan parunya dan tidak dapat mempertahankan usaha respirasinya. Apabila hal ini terjadi, maka usaha bernapas melambat dan gas darah memperlihatkan asidosis respiratorik dan dimulainya kegagalan pernapasan. C. Etiologi a. IRDS 1.Prematuritas dengan paru-paru yang imatur (gestasi dibawah 32 minggu) dan tidak adanya, gangguan atau defisiensi surfactant 2.Bayi prematur yang lahir dengan operasi Caesar 3.Penurunan suplay oksigen saat janin atau saat kelahiran pada bayi matur atau prematur. b. ARDS Terjadi akibat cedera langsung pada kapiler paru atau alveolus. Namun karenakapiler dan alveolus berhubungan sangat erat maka destruksi yang luas pada salah satunya biasanya menyebabkan destruksi yang lain. Hal ini terjadi akibat pengeluaran enzim-enzim litik oleh sel-sel yang mati,serta reaksi peradangan yang terjadi setelah cedera dan kematian sel.contoh-contoh kondisi yang mempengaruhi kapiler dan alveolus disajikan di bawah ini.
1. Destruksi Kapiler Apabila kerusakan berawal di membran kapiler, maka

akan terjadi pergerakan plasma dan sel darah merah keruangan interstisium. Hal ini meningkatkan jarak yang harus di tempuh oksigen dan karbondioksida untuk berdifusi, sehingga kecepata pertukaran gas menurun. Cairan yang menumpuk di cairan interstisium bergerak ke dalam alveolus, mengencerkan surfaktan dan meningkatkan tegangan permukaan. Gaya yang di perlukan untuk mengembangkan alveolus menjadi sangat meningkat. Peningkatan tegangan permukaan ditambah oleh edema dan pembengkakan ruanginterstisium dapat menyebabkan atelektasis kompresi yang luas, sehinggacompliance paru berkurang. Hal

ini kemudian menyebabkan penurunan ventilasi danhipoksia. Penyebab kerusakan kapiler paru antara lain adalah septicemia, pancreatitisdan uremia. Pneumonia, inhalasi asap, trauma dan tenggelam juga dapat merusak kapiler.
2. Destruksi AlveolusApabila alveolus adalah tempat awal terjadinya

kerusakan, maka luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas berkurang sehingga kecepatan pertukaran gas juga menurun. Penyebab kerusakan alveolus antara lain adalah pneumonia, aspirasi dan inhalasi asap. Toksisitas oksigen yang timbul setelah 24-36 jam terapi oksigen tinggi, juga dapat menjadi penyebab kerusakan membran alveolusmelalui pembentukan radikal-radikal bebas oksigen. Tanpa oksigen, jaringan vaskular dan paru mengalami hipoksia sehinggasemakin memyebabkan cedera dan kematian sel. Apabila alveolus dan kapiler telah rusak, maka reaksi peradangan akan terpacu yang menyebabkan terjadinya edema dan pembengkakan ruang interstisium serta kerusakan kapiler dan alveolus disekitarnya. Dalam 24 jam setelah awitan ARDS, terbentuk membran hialin didalamalveolus. Membran ini adalah pengendapan fibrin putih yang bertambah secara progresif dan semakin mengurangi pertukaran gas.Akhirnya terjadi fibrosismenyebabkan alveolus lenyap. Ventilasi, respirasi dan perfusi semuanya terganggu.Angka kematian akibat ARDS adalah sekitar 50%. D. Faktor Resiko 1. Prematuritas 2. Kelompok bayi baru lahir Semakin prematur bayi semakin tinggi terjadi IRDS, sel-sel alveolus penghasil surfaktan belum matang sampai usia gestasi antara 28 dan 32 minggu

Ada 3 hal berkaitan dengan IRDS :

Bayi yang lahir sebelum surfaktan terbentuk Di alveolus akan menghadapi tegangan permukaan alveolus yang sangat tinggi setiap kali bernapas, ini berperan menyebabkan atelektasis primer yang dijumpai pada IRDS

Alveolus bayi prematur berukuran sangat kecil dan tidak berlipat-lipat ini merupakan faktor yang berperan meningkatkan tekanan yang harus dilakukan untuk mengatasi tegangan permukaan

Bayi prematur memiliki otot dada yang lemah dan belum berkembang mustahil bayi tanpa surfaktan dapat berhasil mengembangkan alveolusnya dari waktu ke waktu,napas demi napas.3. Kelompok lain bayi baru lahir yang beresiko menderita IRDS adalah bayiyang lahir dari ibu Diabetes Melitus Dependeninsulin. Tampaknya insulin yang disuntikkan menghambat pembentukkan surfaktan

E. Gambaran Klinis ( biasanya sejak lahir ) 1. Dispnoe Berat 2. Penurunan Compliance Paru 3. Pernapasan yang dangkal dan cepat pada mulanya yang menyebabkan alkalosis respiratorik karena ( CO2 ) karbondioksida banyak terbang. 4. Peningkatan kecepatan penapasan 5. Kulit kehitaman akibat hipoksia 6. Retraksi antargia atau dada setiap kali bernapas 7. Napas cuping hidung8. Banyak bayi selamat dari IRDS, dimana gejala mereda dan menghilang biasanya dalam 3 hari. 9. Takipnea ( > 60x/mnt) 10. Mendengkur Didapatkan gejala lain seperti : 1.Bradikardi 2.Hipotensi 3.Kardiomegali 4.Edema terutama didaerah dorsal tangan atau kaki 5.Hipotermi 6.Tonus otot yang menurun F. Patofisiologi Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan. Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu

menahan sisa udara fungsional ( kapasitas residu fungsional ) ( Ilmu kesehatan anak, 1985 ). Surfaktan juga menyebabkan ekspansi paru pada tekanan intral veolar yang rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi surfaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi. Tkanpasurfaktan janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu perluusaha yang keras untuk mengembangkan parunya.pada setiap hembusan napas(ekspirasi) sehingga untuk pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang kuat. Akibatnya setiap kali bernapas menjadi sukar seperti saat pertama kali bernapas ( saat kelahiran ). Sebagai akibatnya janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini dari pada yang ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kelelahan bayi akan ktidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelektasis. Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkat pulmonary vascular resistance (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di samping itu peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arterious dn foramen ovale. Kolaps paru ( atelektasis ) akan menyebabkan gangguan ventilasi pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah konstruksi vaskularisasi pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenisasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan metabolisme anaerobic. Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler danepitel duktus alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang

10

nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Membran ialin ini melapis ialveoli dan menghambat pertukaran gas. Atlektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbondioksida darisisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan PH menyebabkan vasokontriksi yang makin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan dan perfusialveolar , PaO2 akan menuru tajam, PH juga akan menurun tajam serta materi yang diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli. Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh PH, suhu, dan perfusi normal. Asfiksia, Hipoksemia, dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan hipovolemia, hipotensi, dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisanepitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanna pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut. RDS adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan mengikuti masa deteriosasi( kurang lebih 48 jam ) dan jika tidak ada komplikasi paru akan membaik dalam 72 jam.Proses perbaikan ini terutama dikaitkan dengan meningkatkan produksi dan ketersediaanmateri surfaktan. G. Pemeriksaan Diagnostik h. Pemeriksaan Diagnostik Penentuan faktor komplikasi perlu dilakukan dengan tes spesifik, seperti
1. Darah

2. Urine dan glukosa darah ( untuk mengetahui hipoglikemia ) 3. 3.Kalsium serum ( untuk meningkatkan hipokalsemia ) 4. Analisis gas darah ( menentukan PH serum ) 5. PaO2 ( tes untuk hipoksia

11

a. Diagnostik Prenatal Untuk menentukan maturitas paru dilakukan pemeriksaan ( tes cairan amnion )yang disebut rasio L/S ( lesitin banding spingomielin ). Rasio L/S ini berguna untuk menentukan maturitas paru. Fosfolipid disintesis di sel alveolar dan kinsentrasi dalamcairan amnion selalau berubah selama masa kehamilan. Pada mulanya spingomielinlebih banyak, tetapi kira-kira pada usia kehamilan 32-33 minggu konsenrasi menjadiseimbang kemudian spingomielin berkurang dan lesitin meningkat secara berarti sampaiusia kehamilan 35 minggu dengan rasio 2:1. : I. Penatalaksanaan b. Keperawatan 1. Pengobatan RDS diarahkan untuk pencegahan pencegahan Penyebab lain dari kematian bayi antara lain adalah perhatian terhadap di mana dan dalam posisi apa bayi ditempatkan dan usaha-usaha untuk mencegah penganiyayaan anak. 2. Pemberian minum per oral tidak diperbolehkan selama fase akut penyakit, karena dapat menyebabkan aspirasi. Pemberian minum dapat diberikan melalui parenteral. 3. Tindakan Pendukung yang Krusial Mempertahankan ventilasi dan oksigenisasi adekuat Mempertahankan keseimbangan asam-basa Mempertahankan suhu lingkungan netral Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat Mencegah hipotermia Mempertahankan cairan dan elektrolit yang adekuat 4. Pertimbangan Keperawatan

12

Dalam merawat bayi RDS perawat harus melakukan observasi cermatdan intensif, masalah kompleks yang berhubungan dengan terapi pernapasan harus diperhatikan terutama pengobatan yang kontinu terhadap hipoksemia dan asidosis. Fungsi keperawatan yang paling penting adalah mengamati respon bayi terhadap terapi, mucus mungkin terkumpul di saluran pernapasan yang akanmeng hambat saluran pernapasan dan srlang endotrakea (ET). Pengisapan hanya dilakukan bila diperlukan dan berdasarkan pertimbangan terhadap bayi tersebut. Pertimbangan terhadap pengisapan termasuk auskultasi dada, pembuktian bahwa oksigenisasi rendah, kelebihan kelembaban paada selang ET dan kepekaan bayi. Pada saat melakukan pengisapan mukus, perawat harus menyadari danwaspada tentang hal berikut. Pengisapan bukan prosedur yang aman karena dapat menyebabkan spasme bronkus, bradikardia karena stimulasi saraf fagal, hipoksia, dan peningkatan tekanan intracranial sehingga mendorong bayi pada keadaan hemoragi intraventrikular. Tindakan ini tidak boleh dilakukan secara rutin, tehnik pengisapan ini dapat menyebabkan infeksi, kerusakan jalan pernapasan bahkan pneumotoraks. Penting diperhatiakn bahwa pengisapan yang terus menerus akan ikut mengeluakan udara bersamaan dengan keluarnya mucus. Oleh karena itu sekali pengisapan tidak boleh lebih dari 5 detik ( pengisapan menyebabkan saluran udara terambat ). Tujuan pengisapan jalan napas buatan adalah menjaga terbukanya jalan napas, bukan bronkus. Pengisapan yang dilakukan di luar ET dapat menyebabkan lesi trauma pada trakea. Awasi oksigenisasi atau oksimeter denyut nadi sebelum, selama dan sesudah pengisapan untuk memberi penilaian yang terus menerus terhadap statusoksigenisasi dan untuk menghindari hipoksemia

13

c. Medis Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah: 1. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
2. Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan

menurunkan cairan paru 3. Fenobarbital 4. Vitamin E untuk menurunkan produksi radikal bebas oksigen 5. Metilksantin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik
6. Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaanya

adalah pemberia surfaktan eksogen . Surfakatan eksogen adalah derivate dari sumber alami misalnya manusia ( didapat dari cairan amnion atau paru sapi,tetapi bisa juga berbentuk surfakatan buatan ) J. Komplikasi Sebagian bayi yang selamat dari RDS kemudian mengidap displasia bronkupulmonaris, yaitu suatu penyakit pernapasan kronik yang ditandai oleh pembentukkan jaringn parut di alveolus, peradangan alveolus dan kapiler, dan hipertensi paru. Tanda-tanda dispnu dan hipoksia dapat berlanjut dan menyebabkan kelelahan, kegagalan pernapasan, dan kematian bayi, biasanya dalam 3 hari.

I.

Pengkajian Keperawatan
a. Riwayat maternal

Menderita penyakit seperti diabetes mellitus 14

Kondisi seperti perdarahan placenta Tipe dan lamanya persalinan Stress fetal atau intrapartus
b. Status infant saat lahir

Prematur, umur kehamilan Apgar score, apakah terjadi aspiksia Bayi prematur yang lahir melalui operasi Caesar
c. Cardiovaskular

Bradikardi (dibawah 100 x per menit) dengan hipoksemia berat Murmur sistolik Denyut jantung dalam batas normal
d. Integumen

Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral Pitting edema pada tangan dan kaki Mottling
e. Neurologis

Immobilitas, kelemahan, flaciditas Penurunan suhu tubuh


f. Pulmonary

Takipnea (pernafasan lebih dari 60 x per menit, mungkin 80 100 x ) Nafas grunting Nasal flaring Retraksi intercostal, suprasternal, atau substernal Cyanosis (sentral kemudian diikuti sirkumoral) berhubungan dengan persentase desaturasi hemoglobin Penurunan suara nafas, crakles, episode apnea
g. Pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda dan gejala RDS, gejala

tersebutdapat terjadi pada saat kelahiran atau antara waktu 2 jam. Perkembangan penyakit terjadi dengan cepat yang dimulai dengan

15

Takipnea Pernapaan mendengkur Retraksi sukostal atau interkostal Sianosis dan pucat Meningkatnya gejala lapar udara Gerakan tubuh berirama Sentakan dagu Awalnya suara napas normal kemudian pernapasan dalam.

Diagnosa Keperawatan Masalah Keperawatan yang muncul pada pasien Syndrome gawat nafas (respiratory distress syndrome) antara lain (Carpenito, 2006:582): 1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan belum terbentuknya zatzat sulfaktan. Intervensi yang harus dilakukan adalah: Tempatkan bayi pada posisi terlentang dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatas dalam posisi mengendus. Hindari hiperekstensi leher Observasi adanya tanda-tanda distress pernafasan, seperti mengorok, sianosis, pernafasan cuping hidung, apnea. Pantau frekuensi irama nafas. Pantau saturasi O2. Pertahankan suhu lingkungan yang netral. Penuhi kebutuhan O2 melalui alat bantu. 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak adekuatan intake (tidak adanya ASI ) Kaji kebutuhan nutrisi bayi 16

Berikan ASI/PASI yang tepat. Timbang berat badan setiap hari. Kaji refleks hisap dan menelan pada bayi Catat pemasukan dan pengeluran. 3. Resiko hipotermi berhubungan dengan paparan suhu lingkungan Rawat bayi dalam infant warmer. Pantau suhu aksila bayi Pantau tanda-tanda hipertermi dan hipotermi Pertahankan suhu lingkungan yang netral Hindari situasi yang dapat menyebabkan bayi kehilangan panas seperti terpapar udara dingin 4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tindakan keperawatan dan pertahanan imunologis yang kurang. Cuci tangan sebelum dan sesudah merawat bayi Pastikan semua alat yang digunakan sudah bersih dan steril. Batasi jumlah pengunjung dan pantau pengunjung yang dapat menularkan infeksi. Gunakan teknik aseptic dan antiseptic dalam setiap melakukan prosedur invasive. 5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan prosedur invasif. Pantau kulit dan perhatikan area kemerahan atau tekanan. Berikan latihan gerak, Perubahan posisi rutin. Berikan perawatan mulut dengan menggunakan salin atau gliserin scrub. Mandikan bayi dengan menggunakan air steril dan sabun diminimalkan karena dapat menipulasi kulit bayi. 17

18

Anda mungkin juga menyukai