Anda di halaman 1dari 17

Laporan Pendahuluan

HYALINE MEMBRANE DISEASE


( Respiratory Distress Syndrome )

Lahan praktek diruangan : Neonatal Intensive Care Unit ( NICU ) level III
Nama mahasiswa : Mervin Christy Letlora
NIM : 106021910019
Nama pembimbing : Nova Gerungan, S.Kep., Ns., M.Kep

A. KONSEP DASAR
1. Definisi
Hyaline membrane disease (HMD) atau disebut juga Respiratory Distress
Syndrome (RDS) merupakan hasil dari ketidakmaturan dari paru-paru dimana terjadi
gangguan pertukaran gas. Hyaline membrane disease merupakan keadaan akut yang
terutama ditemukan pada bayi prematur saat lahir atau segera setelah lahir, lebih sering
pada bayi dengan usia gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat badan
dibawah 1500 gram.
Pada HMD dapat menyebabkan hipoksia yang menimbulkan kerusakan endotel
kapiler dan epitel duktus alveolus. Kerusakan ini menyebabkan terjadinya transudasi
ke dalam alveolus dan terbentuk fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel
yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membrane hialin.
Secara klinis bayi dengan HMD menunjukkan takipnea >60 kali/menit, pernapasan
cuping hidung, retraksi interkosta dan subkosta, expiratory grunting (merintih dalam
beberapa jam pertama kehidupan. Tanda-tanda klinis lain seperti, hipoksemia dan
polisitema, hiperkabia dan asidosis respiratory.
Jadi, hyaline membrane disease merupakan hal yang paling sering terjadi pada bayi
premature yang disebabkan karena defisiensi surfaktan akibat perkembangan imatur
pada system pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru.

2. Etiologi
Penyebab dari HMD diantaranya adalah sebagai berikut:
- Prematuritas dengan paru-paru yang imatur (gestasi dibawah 32 minggu)
- Gangguan atau defisiensi surfaktan
- Bayi premature yang lahir dengan operasi caesarea
- Penurunan suplay oksigen saat janin atau saat kelahiran pada bayi matur atau
premature

Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi. Asfiksia,


hipoksemia dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hypovolemia, hipotensi dan stress
dingin; menghambat pembentukan surfaktan. Epitel yang melapisi paru-paru juga dapat
rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi mengakibatkan
semakin berkurangnya surfaktan.
Kelainan dianggap terjadi karena faktor pertumbuhan atau pematangan paru yang
belum sempurna antara lain: bayi premature, terutama bila ibu menderita gangguan perfusi
darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu dengan:
- Diabetes
- Toxemia
- Hipotensi
- Sectio caesarea
- Perdarahan antepartum
- Sebelumnya melahirkan bayi dengan HMD
Penyakit membrane hialin diperberat dengan:
- Asfiksia pada perinatal
- Hipotensi
- Infeksi
- Bayi kembar

3. Tanda gejala dan klasifikasi


Bayi penderita HMD biasanya bayi kurang bulan yang lahir dengan berat badan
antara 1200-2000 gram dengan masa gestasi antara 30-36 minggu. Jarang ditemukan
pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram dan masa gestasi lebih dari 38
minggu. Gejala klinis biasanya mulai terlihat pada beberapa jam pertama setelah lahir
terutama pada umur 6-8 jam. Gejala karakteristik mulai timbul pada usia 24-72 jam
dan setelah itu keadaan bayi mungkin memburuk atau mengalami perbaikan. Apabila
membaik gejala biasanya menghilang pada akhir minggu pertama.
Gangguan pernapasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelectasis dan perforasi
paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan keadaan klinis seperti:
- Dyspnea atau hiperpnea
- Sianosis
- Retraksi suprasternal, epigastrum, intercostais
- Rintihan saat ekspirasi (grunting)
- Takipnea
- Melemahnya udara napas yang masuk ke dalam paru
- Mungkin pula terdengan bising jantung yang menandakan adanya duktus arteriosus
yang paten
- Kardiomegali
- Bradikardi (pada HMD berat)
- Hipotensi
- Tonus otot menurun
- Edem
Gejala HMD biasanya mencapai puncaknya pada hari ke-3. Sesudahnya terjadi
perbaikan perlahan-lahan. Perbaikan sering ditunjukkan dengan diuresis spontan dan
kemampuan oksigenasi bayi dengan kadar oksigenasi bayi yang lebih rendah.
Kelemahan jarang pada hari pertama sakit, biasanya terjadi antara hari ke-2 dan ke-
3 dan disertai dengan kebocoran udara alveolar (emfisema interstisial, pneumotoraks),
perdarahan paru atau interventrikuler.
Pada bayi extremely premature (berat badan lahir sangan rendah) mungkin dapat
berlanjut dengan apnea, dan atau hipotertmi. Pada HMD yang tanpa komplikasi maka
surfaktan akan tampak kembali dalam paru pada umur 36-48 jam. Gejala dapat
memburuk secara bertahap pada 24-36 jam pertama. Selanjutnya bila kondisi stabil
dalam 24 jam maka akan membaik dalam 60-72 jam, dan sembuh pada akhir minggu
pertama.

Respiratory distress syndrome (RDS) atau hyaline membrane disease (HMD)


diklasifikasikan sebagai berikut:
- RDS klasik
Thoraks atau dada berbentuk seperti bel yang disebabkan karena kekurangan aerasi
(underation). Volume paru-paru menurun, parenkim paru-paru memiliki pila
retikulogranuler difusi, dan terdapat gambaran broncho gram udara yang meluas ke
perifer.
- RDS sedang sampai berat
Pola retikolugranuler lebih menonjol dan terdistribusi lebih merata. Paru-paru
hypoaerated. Dapat dilihat pada bronkhogram udara meningkat.
- RDS berat
Terdapat retikulogranuler yang berbentuk opaque pada kedua paru-paru, area cystic
pada paru-paru kanan bisa menunjukkan alveoli yang berdilatasi atau empisema
interstisial pulmonal dini.

4. Patofisiologi
Berbagai teori telah dikemukakan sebagai penyebab kelainan ini. Pembentukan
substansi surfaktan paru yang tidak sempurna dalam paru, merupakan salah satu tori
yang banyak dianut. Surfaktan ialah zat yang memegang peranan dalam pengembangan
paru dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak.
Senyawa utama zat tersebut ialah lesitin. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24
minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke-35.
Surfaktan merupakan gabungan kompleks fosfolipid. Surfaktan membuat stabil
alveoli dan mencegahnya dari kolaps pada saat ekspirasi dengan mengurangi tegangan.
Dipalmitoylphophatidyl choline (DPPC) merupakan komposisi utama dalam surfaktan
yang mengurangi surface tension. Surfaktan disintesis oleh sel elveolar tipe II dengan
proses multi-step dan mensekresi lamellar bodies, yang memiliki kandungan fosfolipid
yang tinggi. Lamellar bodies ini berikutnya diubah menjadi lattice structur yang
dinamakan tubular myelin. Penyebaran dan adsorpi dari surfaktan merupakan
karakteristik yang penting dalam pembentukan monolayer yang stabil dalam alveolus.
Peranan surfaktan ialan untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga
tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsional pada akhir
ekspirasi. Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada penyakit membrane
hialin menyebabkan kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu.
Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk pernapasan
berikutnya dibutuhkan tekanan negative intratoraks yang lebih besar yang disertai
usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya
ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan
menimbulkan:
- Oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan terjadi metabolism anaerobic dengan
penimbunan asam laktat dan asam organic lain yang menyebabkan terjadinya
asidosis metabolik pada bayi.
- Kerusakan endotel kepiler dan epitel duktus alveolaris yang menyebabkan
terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya
fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang tidak nekrotik membentuk suatu
lapisan yang disebut membrane hialin. Asidosis dan atelectasis juga menyebabkan
terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru
akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan
substasni surfaktan.

Bayi Prematur

Alveoli masih kecil, dinding thorak masih lemah

Pengembangan paru kurang sempurna

Produksi surfaktan kurang sempurna


(penurunan produksi surfaktan)

Ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi, dan


Kolaps alveoli saat ekspirasi

Paru-paru kaku
Perubahan fisiologis paru

Daya pengembangan paru (compliance) menurun

Ventilasi pulmonal terganggu

Metabolisme anaerob dengan penimbunan


Asam Laktat dan Asam Organik

Lebih banyak oksigen Asidosis Metabolik Pernafasan berat


digunakan untuk
menghasilkan energi Kurang cadangan Shunting intrapulmonal
glikogen dan lemak meningkat
Bayi kelelahan
Respon menggigil bayi Gangguan Pertukaran
Atelektasis berkurang Gas

Paru tidak mampu Bayi kehilangan


Mengeluarkan CO2 panas tubuh

Ventilasi menurun Thermoregulasi tidak efektif

Pola Nafas
Tidak Efektif
5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit membrane hialin, diantaranya (Staf
Pengajar IKA, FKUI, 2005) :
a. Perdarahan intrakranial oleh karena belum berkembangnya sistem saraf pusat terutama
sistem vaskularisasinya, adanya hipoksia dan hipotensi yang kadang-kadang disertai
renjatan. Faktor tersebut dapat membuka nekrosis iskemik, terutama pada pembuluh
darah kapiler di daerah periventrikular dan dapat juga di ganglia basalis dan jaringan otak.
b. Gejala neurologik yang tampak berupa kesadaran yang menurun, apneu, gerakan bola
mata yang aneh, kekakuan extremitas dan bentuk kejang neonatus lainnya.
c. Komplikasi pneumotoraks atau pneuma mediastinum mungkin timbul pada bayi yang
mendapatkan bantuan ventilasi mekanis. Pemberian O2 dengan tekanan yang tidak
terkontrol baik, mungkin menyebabkan pecahnya alveolus sehingga udara pernafasan
yang memasuki rongga-ronga toraks atau rongga mediastinum.

6. Pemeriksaan penunjang
- Gambaran Radiologis
 Foto Rontgen
Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain
yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin, misalnya
pneumotoraks, hernia diafragmatika dan lain-lain. Gambaran klasik yang ditemukan
pada foto rontgen paru ialah adanya bercak difus berupa infiltrate retikulogranuler ini,
makin buruk prognosis bayi.
Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium HMD yaitu :
a. Stadium 1: Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram
udara
b. Stadium 2: Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan
paru dangambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas
sampai ke perifermenutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru
c. Stadium 3: Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua
lapanganparu terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat,
bronchogramudara lebih luas
d. Stadium 4: Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak
dapatdiliha

- Gambaran Laboratorium
 Pemeriksaan Darah
Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg%,
prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi
normal dengan berat badan yang sama. Kadar PaO2 menurun disebabkan kurangnya
oksigenasi di dalam paru dan karena adanya pirau arteri-vena. Kadar PaO2 meninggi,
karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat atelektasis paru. pH
darah menurun dan defisit biasa meningkat akibat adanya asidosis respiratorik dan
metabolik dalam tubuh.
 Pemeriksaan Fungsi Paru
Perhatikan pula perubahan pada fungsi paru lainnya seperti, volume tidal yang
menurun, lung compliance berkurang, fungsi residu merendah disertai kapasitas vital
yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.
 Pemeriksaan Fungsi Kardiovaskuler
Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperhatikan beberapa perubahan dalam
fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten, pirau dari kiri ke kanan atau
pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri
paru dan sistemik.
 Gambaran Patologi atau Histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran
hialin di dalam alveolus dan duktus alveolaris. Di samping itu terdapat pula bagian
paru yang mengalami enfisema. Membran hialin yang ditemukan yang terdiri dari
fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel ductus yang
nekrotik.
(Staf Pengajar IKA, FKUI, 2005).

7. Penatalaksanaan
Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis
sebaik-baiknya,agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru dan organ lain
sehinggadapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnyaTindakan yang perlu
dikerjakan ialah:
- Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan
agartetap dalam batas normal (36,5 – 37C) dengan meletakkan bayi di dalam
inkubator.Humiditas ruangan juga harus adekuat (70 – 80%).
- Pemberian oksigen harus berhati-hati. Prinsip:
Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi yang baru
lahir.Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi
yang tidakdiinginkan seperti fibrosis paru (bronchopulmonary dysplasia (BPD)),
kerusakan retina(fibroplasi retrolental / retinopathy of prematurity (ROP))
dan lain-lain.1Untukmencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian O2
sebaiknya diikuti denganpemeriksaan saturasi oksigen, sebaiknya diantara 85 –
93% dan tidak melebihi 95%untuk mengurangi terjadinya ROP dan BPD.Terapi
Oksigen sesuai dengan kondisi:
a. Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan konsentrasi yang cukup
untukmempertahankan tekanan oksigen arteri antara 50 – 70 mmHg
untuk distrespernafasan ringan.
b. Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada konsentrasi
oksigeninspirasi 60% atau lebih, penggunaan NCPAP (Nasal Continuous
Positive AirwayPressure) terindikasi. NCPAP merupakan metode ventilasi
yang non-invasif.Penggunaan NCPAP sedini mungkin (early NCPAP) untuk
stabilisasi bayi denganberat lahir sangat rendah (1000 – 1500gram) di
ruang persalinan jugadirekomendasikan untuk mencegah kolaps
alveoli.Penggunaan humidified high flow nasal cannula therapy
(HHFNC) sebagai pengganti NCPAP sedangdigalakkan di beberapa negara
karena memiliki keefektivitasan yang sama denganNCPAP serta dapat
digunakan untuk bayi dengan semua usia gestasi.
c. Ventilator mekanik digunakan pada bayi dengan HMD berat atau komplikasi
yangmenimbulkan apneu persisten. Ventilator mekanik dihubungkan
erat denganterjadinya bronchopulmonary dysplasia (BPD) dan juga
meningkatkan risikoterjadinya trauma dan infeksi. Indikasi rasional untuk
penggunaan ventilator adalah
 pH darah arteri <7,2
 pCO2 darah arteri 60mmHg atau lebih
 pO2 darah arteri 50mmHg atau kurang pada konsentrasi oksigen 70 –
100% dantekanan CPAP 6 – 10 cm H2O
 Apneu persisten
- Pemberian cairan, glukosa dan elektrolit sangan berguna pada bayi yang
menderitapenyakit membrane hialin. Prinsip:
Pada fase akut, harus diberikan melalui intravena. Cairan yang diberikan
haruscukup untuk menghindarkan dehidrasi dan mempertahankan homeostasis
tubuh yangadekuat. Pada hari-hari pertama diberiksan glukosa 5 – 10 % dengan
jumlah yangdisesuaikan dengan umur dan berat badan (60 – 125 ml/kgbb/
hari). Asidosismetabolik yang selalu terdapat pada penderita, harus segera
diperbaiki denganpemberian NaHCO3 secara intravena. Pemeriksaan
keseimbangan asam-basa tubuhharus diperiksa secara teratur agar pemberian
NaHCO3 dapat disesuaikan denganmempergunakan rumus : kebutuhan
NaHCO3 (mEq) = deficit basa x 0,3 x berat badanbayi. Kebutuhan basa ini
sebagian dapat langsung diberikan secara intravena dansisanya diberikan secara
tetesan. Pada pemberian NaHCO3 ini bertujuan untukmempertahankan pH
darah antara 7,35 – 7,45. Bila fasilitas untuk pemeriksaankeseimbangan
asam-basa tidak ada, NaHCO3 dapat diberikan dengan tetesan. Cairanyang
dipergunakan berupa campuran larutan glukosa 5- 10% dengan NaHCO3
1,5%dalam perbandingan 4:1. Pada asidosis yang berat, penilaian klinis yang teliti
harusdikerjakan untuk menilai apakah basa yang diberikan sudah cukup adekuat.
Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi.
Tekananparsial O2 diharapkan antara 50 – 70 mmHg. PaCO2 diperbolehkan
antara 45 – 60mmHg (permissive hypercapnia). pH diharapkan tetap diatas
7,25 dengan saturasioksigen antara 88 – 92%.
- Pemberian antibiotika.
Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat antibiotika untuk
mencegahterjadinya infeksi sekunder. Pemberian antibiotik dimulai dengan
spektrum luas,biasanya dimulai dengan ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12
jam dan gentamisin3mg/kgBB untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2
kilogram. Jika tak terbukti adainfeksi, pemberian antibiotika dihentikan.
- Surfaktan
Surfaktan diberikan dalam 24 jam pertama jika bayi terbukti mengalami
penyakitmembran hialin, diberikan dalam bentuk dosis berulang melalui pipa
endotrakea setiap6 – 12 jam untuk total 2 - 4 dosis, tergantung jenis preparat yang
dipergunakan

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
- Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal
pengkajian.
- Riwayat Kesehatan
 Riwayat Maternal
Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti perdarahan plasenta,
tipe dan lamanya persalinan, stress fetal atau intrapartus.
 Status Infant Saat Lahir
Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia), bayi lahir melalui
operasi caesar.
- Data dasar pengkajian
 Cardiovaskuler
- Bradikardia (<100 kali/menit) dengan hipoksemia berat
- Murmur sistolik
- Denyut jantung normal
 Integumen
- Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
- Pitting edema pada tangan dan kaki
- Mottling (bintik-bintik seperti cat yang ada pada kulit bayi)
 Neurologis
- Immobilitas, kelemahan
- Penurunan suhu tubuh
 Pulmonary
- Takipnea ( >60 kali/menit)
- Nafas grunting
- Pernapasan cuping hidung
- Pernapasan dangkal
- Retraksi suprasternal dan substernal
- Sianosis
- Penurunan suara napas, crakles, episode apnea
 Status Behavioral
- Letargi
- Pemeriksaan Diagnostik
a. Set rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi diafragma dengan
over distensi duktus alveolar
b. Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas
c. Data laboratorium :
- Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion
(untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS)
- Lesitin/Spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas paru
- Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
- GDA : PaO2 80-100 mmHg, PaCO2 >50 mmHg, saturasi oksigen 92%-94%, pH
7,3-7,45.
- Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel
alveolar yang rusak.

2. Analisa Data
Masalah
No. Data Etiologi Keperawatan

1. Data Obyektif : Surfaktan menurun Kerusakan


- Hiperkapnea ↓ Pertukaran Gas
- Hipoksia Tegangan permukaan alveolus
- Takipnea meningkat
- Sianosis ↓
- Letargi Ketidakseimbangan infasi saat
- Dyspnea inspirasi
- GDA Abnormal ↓
- Pucat Kolaps alveoli

Gangguan ventilasi pulmonal

Kerusakan Pertukaran Gas
2. Data Objektif : Surfaktan menurun Pola Nafas
- Dispnea, ↓ Tidak Efektif
takipnea Janin tidak dapat menjaga rongga
- Periode apnea paru tetap mengembang
- Pernafasan ↓
cuping hidung Usaha inspirasi lebih kuat
- Retraksi dinding ↓
dada Sukar bernafas, dyspnea, retraksi
- Sianosis dinding dada, kelelahan,
- Kelelahan pernafasan cuping hidung

Pola nafas tidak efektif
3. Data Objektif : Metabolism anaerob Termoregulasi
- Hipotermia ↓ tidak efektif
- Letargi Timbunan asam laktat
- Aterosianosis ↓
- Takipnea, apnea Asidosis metabolic
- Tugor kulit ↓
menurun Kurangnya cadangan glikogen
- Hipoglikemia dan lemak

Respons menggigil pada bayi
kurang

Bayi kehilangan panas tubuh atau
tidak dapat meningkatkan panas
tubuh

3. Prioritas Diagnosa Keperawatan


1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakadekuatan kadar surfaktan,
ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energi atau kelelahan,
keterbatasan, dan pengembangan otot.
3. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan lemak subkutan, dan peningkatan
upaya pernapasan sekunder akibat HMD.

4. Intervensi Keperawatan
1. Dx : Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakadekuatan kadar surfaktan,
ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
- Tujuan :
Setelah dilakukan intervensi 3x24 jam pertukaran gas adekuat
- Kriteria Hasil :
 Sianosis (-)
 Bayi tampak tenang
 Ronchi (-)
 RR : 30-60 kali/menit
 GDA dalam batas normal : PaO2 80-100 mmHg, PaCO2 35-45 mmHg, pH 7,35-
7,45.
 Nadi : 120-140 kali/menit
Intervensi Rasional
Mandiri Mandiri
1. Kaji status pernafasan, perhatikan 1. Takipnea menandakan distress
adanya tanda-tanda distres pernafasan, mengorok menunjukkan
pernafasan, misalnya takipnea, upaya mempertahankan ekspansi
pernafasan cuping hidung, alveolar, pernafasan cuping hidung
mengorok, retraksi, ronkhi) untuk meningkatkan masukan
oksigen, ronkhi menandakan
vasokonstriksi pulmonal b.d
hipoksemia sebagai respon
peningkatan kadar oksigen.
2. Penurunan berat badan dan
2. Pantau masukan dan saluran cairan, peningkatan saluran urin dapat
timbang BB sesuai indikasi. menandakan fase diuretic dari RDS
biasanya mulai pada 72-96 jam dan
mendahului resolusi kondisi.
3. Menurunkan laju metabolik dan
3. Tingkatkan istirahat dengan konsumsi oksigen
minimalkan rangsangan dan
penggunaan energi. 4. Sianosis merupakan tanda lanjut
4. Observasi terhadap tanda dan lokasi dari PaO2 rendah
sianosis
Kolaborasi
5. Hipoksemia dan asidemia dapat
Kolaborasi : berlanjut menurunkan produksi
5. Berikan oksigen sesuai kebutuhan surfaktan, meningkatkan tahanan
dengan masker kap selang vascular pulmonal.
endotrakeal, pantau jumlah
pemberian oksigen dan durasi
pemberian

2. Dx : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energi atau kelelahan,
keterbatasan, dan pengembangan otot.
- Tujuan :
Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam pola nafas efektif.
- Kriteria Hasil :
 Bayi tampak tenang
 Apnea (-)
 Pernafasan efektif
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Kaji frekuensi pernapasan dan pola 1. Membantu dalam membedakan
pernapasan, perhatikan adanya apena perputaran pernafasan normal
dan perubahan frekuensi jantung, dari serangan apneic sejati,
tonus otot dan warna kulit berkenaan terutama sebelum gestasi minggu
dengan prosedur atau perawatan, ke-30.
lakukan pemantauan jantung
pernapasan atau/dan pernapasan yang
kontinu.
2. Posisikan bayi pada abdomen atau 2. Posisi ini dapat memudahkan
telentang dengan gulungan popok di pernafasan dan menurunkan
bawah baku untuk menghasilkan episode apnein, khususnya
sedikit hiperekstensi. hipoksia, asidosis metabolic atau,
hiperkapnea.
3. Berikan rangsang taktil segera 3. Merangsang SSP untuk
(misalnya : gosokkan punggung bayi meningkatkan gerakan tubuh dan
bila terjadi apnea, perhatikan adanya kembali pernapasan spontan.
sianosis, bradikardia, atau hipotania, Kadang bayi mengalami
anjurkan kontak orangtua. kejadian apnea lebih sedikit atau
tidak ada atau bradikardia bila
orang tua menyentuh dan bicara
pada mereka.
4. Hipokalsemia
mempredisposisikan bayi pada
4. Berikan oksigen sesuai indikasi apnea

3. Dx : Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan lemak subkutan, dan peningkatan


upaya pernapasan sekunder akibat HMD.
- Tujuan :
Setelah dilakukan intervensi 2x24 jam termoregulasi adekuat
- Kriteria hasil :
 Suhu tubuh normal (36,5-37,70C)
 Sianosis (-)
 Bradikardia (-)
 Hipoglikemia (-)
 Apnea (-)
Intervensi Rasional
Mandiri Mandiri
1. Kaji suhu dengan menggunakan 1. Hipotermia cenderung membuat
thermostat. Ulangi setiap 15 bayi pada stres, penggunaan
menit selama penghangatan lemak tidak dapat diperbarui
ulang. apabila ada penurunan.

2. Tempatkan bayi pada penghangat, 2. Mempertahankan lingkungan


isolette, inkubator, tempat tidur termonetral, dan membantu
terbuka dengan penyebar hangat mencegah stres dingin
3. Pantau sistem pengatur suhu
inkubator (pertahankan batas 3. Hipertermia dengan akibat
o
akan pada 98,6 F, tergantung peningkatan laju metabolisme
pada ukuran atau usia bayi) kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terjadi apabila suhu
lingkungan yang dikontrol
4. Perhatikan adanya takipnea atau terlalu tinggi
apnea, sianosis umum, 4. Tanda-tanda ini menandakan
akrosianosis atau kulit belang, stres dingin yang dapat
bradikardia, menangis buruk atau meningkatkan konsumsi oksigen
letargi, evaluasi derajat dan lokasi dan kalori serta membuat bayi
ikterik cenderung pada asidosis
berkenaan dengan metabolisme
Kolaborasi : anaerobic
5. Pantau pemeriksaan laboratorium Kolaborasi :
sesuai indikasi, misalnya GDA, 5. Stress dingin dapat
glukosa serum, elektrolit, dan meningkatkan kebutuhan
kadar bilirubin terhadap glukosa dan oksigen
serta dapat mengakibatkan
masalah asam basa bila bayi
mengalami metabolism, apabila
kadar oksigen kurang terjadi
peningkatan kadar bilirubin
indirek karena pelepasan asam
lemak dari metabolism lemak
coklat bersaing dengan bilirubin
pada ikatan albumin.

DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Lowdermik. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta: EGC.
Leifer, Gloria. 2007. Introduction to Maternity and Pediatric Nursing. Saunders Elsevier: St. Louis
Missouri.
Doenges dan Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal Pedoman untuk Perencanaan dan
Dokumentasi Perawatan Klien Edisi 2. Jakarta: EGC.
Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Volume I. Edisi 15. Jakarta : EGC.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2005. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.
Surasmi, A, dkk. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta: EGC.
Suriadi S.Kp, dan Rita Yuliani S.Kp. 2001. Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi 1. Jakarta: PT.
Fajar Interpratama.
INTEPRETASI HASIL LABORATORIUM

1. Leukosit : Nilai krisis leukositosis: 30.000/mm3. Lekositosis hingga 50.000/mm3


mengindikasikan gangguan di luar sumsum tulang (bone marrow). Nilai leukosit yang
sangat tinggi (di atas 20.000/mm3) dapat disebabkan oleh leukemia. Penderita kanker
post-operasi (setelah menjalani operasi) menunjukkan pula peningkatan leukosit
walaupun tidak dapat dikatakan infeksi. Bila tidak ditemukan anemia dapat digunakan
untuk membedakan antara infeksi dengan leukemia
2. MCH : Penurunan MCH mengindikasikan anemia mikrositik
3. Trombosit : Obat seperti heparin, kinin, antineoplastik, penisilin, asam valproat dapat
menyebabkan trombositopenia
4. Basofil : Basopenia adalah penurunan basofi l berkaitan dengan infeksi akut, reaksi
stres, terapi steroid jangka panjang
5. Monosit : Monositosis berkaitan dengan infeksi virus, bakteri dan parasite tertentu
serta kolagen, kerusakan jantung dan hematologi
6. MCV : Penurunan nilai MCV terlihat pada pasien anemia kekurangan besi, anemia
pernisiosa dan talasemia, disebut juga anemia mikrositik
7. Natrium darah : Hiponatremia dapat terjadi pada kondisi hipovolemia (kekurangan
cairan tubuh), euvolemia atau hipervolemia (kelebihan cairan tubuh). Hipovolemia
terjadi pada penggunaan diuretik, defi siensi mineralokortikoid, hipoaldosteronism,
luka bakar, muntah, diare, pankreatitis. Euvolemia terjadi pada defi siensi
glukokortikoid, SIADH, hipotirodism, dan penggunaan manitol. Sedangkan
hypervolemia merupakan kondisi yang sering terjadi pada gagal jantung, penurunan
fungsi ginjal, sirosis, sindrom nefrotik.
8. Kalium darah : Hiperkalemia. Faktor yang mempengaruhi penurunan ekskresi kalium
yaitu: gagal ginjal, kerusakan sel (luka bakar, operasi), asidosis, penyakit Addison,
diabetes yang tidak terkontrol dan transfusi sel darah merah.
9. Chlorida darah : Penurunan konsentrasi klorida dalam serum dapat disebabkan oleh
muntah, gastritis, diuresis yang agresif, luka bakar, kelelahan, diabetik asidosis, infeksi
akut. Penurunan konsentrasi klorida sering terjadi bersamaan dengan alkalosis
metabolik.
10. Kalsium : Hiperkalsemia terutama terjadi akibat hiperparatiroidisme atau neoplasma
(kanker). Penyebab lain meliputi paratiroid adenoma atau hiperplasia (terkait dengan
hipofosfatemia), penyakit hodgkin, multiple mieloma, leukemia, penyakit addison,
penyakit paget, respiratori asidosis, metastase tulang, imobilisasi dan terapi dengan
diuretik tiazid.
11. SGOT : Peningkatan kadar AST dapat terjadi pada MI, penyakit hati, pankreatitis akut,
trauma, anemia hemolitik akut, penyakit ginjal akut, luka bakar parah dan penggunaan
berbagai obat, misalnya: isoniazid, eritromisin, kontrasepsi oral.
12. Bilirubin : Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dapat terjadi pada anemia
hemolitik, trauma disertai dengan pembesaran hematoma dan infark pulmonal.
13. CRP : Bila sampel pasien diuji dengan PCR dan tidak mengandung virus maka tidak
akan terbentuk kopi DNA dan tes dinyatakan negatif. Bila seseorang dinyatakan
terinfeksi, kopi DNA akan terbentuk dan dapat dideteksi. Adanya DNA virus HIV
menunjukkan seseorang terinfeksi, dan beban virus menunjukkan perkembangan
penyakit. Kegunaan utama PCR pada HIV adalah untuk memonitor terapi pada awal
penggunaan ART dalam 2-4 minggu. Jika hasilnya ≥1 log beban virus atau HIV RNA
>10.000 kopi maka terapi dapat dilanjutkan. Jika hasilnya 100.000 kopi, maka perlu
dilakukan penyesuaian dosis atau penambahan/penggantian ARV. Kegunaan PCR
pada monitoring HIV selanjutnya dilakukan setiap 4-6 bulan. Jika beban virus 0,3-0,5
log maka terapi ARV tidak efektif dan harus diganti dengan tipe ARV yang lain.

Anda mungkin juga menyukai