Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

HYALINE MEMRANE DISEASE (HMD)

Nama : Muhammad Ibdaul Azmi


Nim : 5023031099

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS FALETEHAN
SERANG BANTEN
2023/2024
A. Definisi

Sindrom Gawat Nafas Neonatus (SGNN) atau Hyaline Membrane

Disease (HMD) atau bisa disebut juga respiratory distress syndrome (RDS)

merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperpnea dengan

frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali per menit; sianosis; merintih waktu

ekspirasi (expiratory grunting); dan retraksi di daerah epigastrium, suprasternal,

intekostal pada saat inspirasi. Bila di dengar dengan stetoskop akan terdengar

penurunan masukan udara dalam paru.

Istilah SGNN merupakan istilah umum yang menunjukkan terdapatnya

kumpulan gejala tersebut pada neonatus. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya

kelainan di dalam atau di luar paru. Beberapa kelainan paru yang menunjukkan

sindrom ini adalah pneumotoraks/pneumomediastinum, penyakit membran

hialin (PMH), pneumonia aspirasi, dan sindrom Wilson-mikity (Ngastiyah,

2019).

Syndrome distress pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada

sistem pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS

dikatakan sebagai hyaline membrane disease (HMD) (Suriadierita Yulianni,

2018).

B. Etiologi

HMD sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik

dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan
ibu. Semakin tinggi kejadian HMD pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua

usia kehamilan, semakin rendah kejadian HMD (Asrining Surasmi, dkk, 2022).

PMH ini 60-80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari

28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32 dan 36 minggu, sekitar 5% pada bayi

yang lebih dari 37 minggu dan jarang pada bayi cukup bulan. Kenaikan

frekuensi dihubungkan dengan bayi dari ibu diabetes, persalinan sebelum umur

kehamilan 37 minggu, kehamilan multi janin, persalinan seksio sesaria,

persalinan cepat, asfiksia, stress dingin dan adanya riwayat bahwa bayi

sebelumnya terkena, insidens tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau kulit

putih (Nelson, 2018).

C. Patofisiologi

Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya

untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan

faktor kritis dalam terjadinya HMD. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya

tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan.

Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan

alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu

memohon sisa udara fungsional (kapasitas residu fungsional ) (Ilmu Kesehatan

Anak, 2018). Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan jarang

ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau

ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat

inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi tanpa surfaktan, janin tidak dapat
menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras

untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi),

sehingga untuk bernapas berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang

lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap

kali perapasan menjadi sukar seperti saat pertama kali pernapasan (saat

kelahiran). Sebagai akibatnya, janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk

menghasilkan energi ini daripada ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan.

Dengan meningkatnya kekelahan, bayi akan semakin sedikit membuka

alveolinya, ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat

menyebabkan atelektasis.

Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary

vaskular resistem (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal.

Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran

darah pulmonal. Di samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan

pembalikan parsial sirkulasi, darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri

melalui duktus arteriosus dan foramen ovale.

Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan vektilisasi

pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi

vaskularisasi pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan

selanjutnya menyebabkan metabolisme anaerobik. Metabolisme anaerobik

menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis metabolik pada

bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi ke organ vital.

Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolus yang
menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin.

Fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu

lapisan yang disebut membran hialin. Membran hialin ini melapisi alveoli dan

menghambat pertukaran gas.

Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon

dioksida dari sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan

pH menyebabkan vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan

sirkulasi paru dan perfusi alveolar, PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan

menurun tajam, serta materi yang diperlukan untuk produksi surfaktan tidak

mengalir ke dalam alveoli.

Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi

normal, asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya

dengan hipovolemia, hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis

surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen

yang tinggi dan pengaruh penatalaksanaan pernapasan yang mengakibatkan

penurunan surfaktan lebih lanjut (Asrining Surasmi, dkk, 2022).

Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran

yang terdiri dari : atelektasis  hipoksia  asidosis  transudasi  penurunan

aliran darah paru  hambatan pembentukan substansi surfaktan  atelektasis.

Hal ini akan berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi

(Staf Pengajar IKA, FKUI, 2018).


PATHWAY
D. Manifestasi Klinis

Penyakit membran hialin ini mungkin terjadi pada bayi prematur dengan

berat badan 100-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang ditemukan

pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram. Sering disertai dengan

riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan.

Tanda gangguan pernapasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama. Setelah lahir

dan gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 24-72 jam. Bila keadaan

membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama.

Gangguan pernapasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis

dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran

klinis seperti dispnea atau hiperpneu, sianosis karena saturasi O 2 yang menurun

dan karena pirau vena-arteri dalam paru atau jantung, retraksi suprasternal,

epigastrium, interkostal dan respiratory grunting. Selain tanda gangguan

pernapasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia (sering ditemukan pada

penderita penyakit membran hialin berat), hipotensi, kardiomegali, pitting

oedema terutama di daerah dorsal tangan/kaki, hipotermia, tonus otot yang

menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi (Staf Pengajar IKA,

FKUI, 2018).

E. Pemeriksaan Diagnostik

1. Gambaran radiologis

Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto

rontgen toraks. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan

kemungkinan penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip
penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika dan

lain-lain. Gambaran klasik yang ditemukan pada foto rontgen paru ialah

adanya bercak difus berupa infiltrate retikulogranuler ini, makin buruk

prognosis bayi. Beberapa sarjana berpendapat bahwa pemeriksaan radiologis

ini dapat dipakai untuk mendiagnosis dini penyakit membran hialin, walaupun

manifestasi klinis belum jelas.

2. Gambaran laboratorium

Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium diantaranya

adalah :

a. Pemeriksaan darah

Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45

mg%, prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih tinggi bila

dibandingkan dengan bayi normal dengan berat badan yang sama. Kadar

PaO2 menurun disebabkan kurangnya oksigenasi di dalam paru dan karena

adanya pirau arteri-vena. Kadar PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi

dan pengeluaran CO2 sebagai akibat atelektasis paru. pH darah menurun

dan defisit biasa meningkat akibat adanya asidosis respiratorik dan

metabolik dalam tubuh.

b. Pemeriksaan fungsi paru

Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik, frekuensi

pernapasan yang meninggi pada penyakit ini akan memperhatikan pula

perubahan pada fungsi paru lainnya seperti ‘tidal volume’ menurun, ‘lung

compliance’ berkurang, functional residual capacity’ merendah disertai


‘vital capacity’ yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi

paru akan terganggu.

c. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler

Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperhatikan beberapa

perubahan dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten,

pirau dari kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada

lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik.

3. Gambaran patologi/histopatologi

Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan

membran hialin di dalam alveolus dan duktus alveolaris. Di samping itu

terdapat pula bagian paru yang mengalami enfisema. Membran hialin yang

ditemukan yang terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin berasal

dari darah atau sel epitel ductus yang nekrotik.

F. Penatalaksanaan medis

1. Penatalaksanaan medik tindakan yang perlu dilakukan

a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu

diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara

meletakkan bayi dalam inkubator. Kelembaban ruangan juga harus

adekuat (70-80%).

b. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati

karena berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Pemberian O 2


yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti : fibrosis

paru, kerusakan retina (fibroplasias retrolental), dll.

c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlut untuk mempertahankan

homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan

glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat

badan ialah 60-125 ml/kg BB/hari. asidosis metabolik yang selalu

dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO 3 secara

intravena.

d. Pemberian antibiotik. Bayi dengan PMH perlu mendapatkan antibiotik

untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis

50.000-100.000 u/kg BB/hari atau ampisilin 100 mg/kg BB/hari, dengan

atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari.

e. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian

surfaktan eksogen (surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun

harganya amat mahal.

2. Penatalaksanaan keperawatan

Bayi dengan PMH adalah bayi prematur kecil, pada umumnya dengan berat

badan lahir 1000-2000 gram dan masa kehamilan kurang dari 36 minggu.

Oleh karena itu, bayi ini tergolong bayi berisiko tinggi. Apabila menerima

bayi baru lahir yang demikian harus selalu waspada bahaya yang dapat

timbul. Masalah yang perlu diperhatikan ialah bahaya kedinginan (dapat

terjadi cold injury), risiko terjadi gangguan pernapasna, kesuakran dalam


pemberian makanan, risiko terjadi infeksi, kebutuhan rasa aman dan nyaman

(kebutuhan psikologik) (Ngastiyah, 2019).


ASUHAN KEPERAWATAN
HYALINE MEMRANE DISEASE (HMD)

A. Pengkajian

1. Identitas klien

Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama,

tanggal pengkajian.

2. Riwayat kesehatan

a. Riwayat maternal

Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti perdarahan

plasenta, tipe dan lamanya persalinan, stress fetal atau intrapartus.

b. Status infant saat lahir

Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia), bayi lahir

melalui operasi caesar.

3. Data dasar pengkajian

a. Cardiovaskuler

 Bradikardia (< 100 x/i) dengan hipoksemia berat

 Murmur sistolik

 Denyut jantung DBN

b. Integumen

 Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral

 Pitting edema pada tangan dan kaki

 Mottling

c. Neurologis
 Immobilitas, kelemahan

 Penurunan suhu tubuh

d. Pulmonary

 Takipnea (> 60 x/i, mungkin 30-100 x/i)

 Nafas grunting

 Pernapasan cuping hidung

 Pernapasan dangkal

 Retraksi suprasternal dan substernal

 Sianosis

 Penurunan suara napas, crakles, episode apnea

e. Status behavioral

 Letargi

4. Pemeriksaan Doagnostik

a. Sert rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi

diafragma dengan over distensi duktus alveolar

b. Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas

c. Data laboratorium :

 Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan

amnion (untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS)

 Lesitin/spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan

maturitas paru

 Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu

 Tingkat phospatydylinositol
 AGD : PaO2< 50 mmHg, PaCO2> 50 mmHg, saturasi oksigen 92%-

94%, pH 7,3-7,45.

 Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium dari

sel alveolar yang rusak.

B. Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


1 DO : Surfaktan ↓ Gangguan
- Hiperkapnea  pertukaran gas
- Hipoksia Tegangan permukaan alveolus ↑
- Takipnea 
- Sianosis Ketidakseimbangan infasi saat inspirasi
- Letargi 
- Dispnea Kolaps alveoli
- GDA abnormal 
- Pucat Gangguan ventilasi pulmonal

Hipoksia Retensio CO2 Peningkatan


  pulmonary
Kerusakan endotel Asidosis vaskular resistance
dan epitel duktus respiratorik 
arteriousus  Hipoperfusi
 Vasokonstriksi jaringan paru
Transudasi alveoli  
 Penurunan Menurunkan aliran
Pembentukan darah pulmonal
sirkulasi paru dan
fibrin
perfusi alveolar

Membran hialin Gangguan
melapisi alveoli pertukaran gas

2 DO : Surfaktan menurun Pola napas tidak


- Dispnea; takipnea  efektif
- Periode apnea Janin tidak dapat menjaga rongga paru tetap
- Pernapasan cuping Mengembang
hidung 
- Retraksi dinding Usaha inspirasi lebih kuat
dada 
- Sianosis - Sukar bernapas
- Mendengkur - Dispnea
- Napas grunting - Retraksi dinding dada
- Kelelahan - Kelelahan
- Pernapasan cuping hidung

MK : pola nafas tidak efektif


3 DO : Kolaps paru Penurunan curah
- Bradikardia  jantung
- Sianosis umum Gangguan ventilasi pulmonal
- Pucat 
- Hipotensi Hipoksia Peningkatan PVR
- Dispnea  
- Edema perifer Kontriksi Pembalikan parsial
- Lelah vaskularisasi sirkulasi darah
- Murmur sistolik pulmonal
janin

Penurunan
oksigenasi
jaringan
 MK : Penurunan
Penurunan curah curah jantung
jantung

C. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakadekuatan kadar

surfaktan, ketidakseimbangan perfusi ventilasi.

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energi/kelelahan,

keterbatasan pengembangan otot.

3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan ventilasi pulmonal


No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1 Gangguan pertukaran gas b.d Setelah dilakukan tindakan Pemantauan respirasi


ketidakseimbangan ventilasi perfusi keperawatan selama 3x24 jam Observasi
DS diharapkan pertukaran gas  Monitor frekuensi, irama k
meningkat dengan kriteria hasil : upaya napas
 Tingkat kesadaran meningkat  Monitor pola
DO  Dyspnea menurun bradipnea,takipnea,hiperventilas
 Bunyi napas tambahan eyine-stokes,biot,ataksik)
menurun  Monitor adanya produksi sputum
 PCO2 membaik  Auskultasi bunyi napas
 PO2 membaik  Monitor saturasi oksigen
 Pola napas membaik  Monitor nilai AGD

2 Pola napas tidak efektip b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas
kelemahan otot pernapasan keperawatan selama 3x24 jam Observasi
DS diharapkan hasil pola napas  Monitor pola napas
membaik dengan kriteria hasil : kedalaman,usaha napas)
 Dispnea menurun  Monitor bunyi napas
DO  Penggunaan otot bantu (missal,gurgling,mengi,wheezin
napas menurun kering)
 Frekuensi napas membaik  Monitor sputum(warna,jumlah,a
 Kedalaman napas membaik Terapeutik
 Lakukan penghisapan lender k
detik
 Anjurkan asupan cairan 2000
toleransi jantung
 Berikan oksigen jika diperlukan
Kolaborasi
 Kolaborasi
bronkodilator,eksepektoran,muk
3 Penurunan curah jantung b.d irama Setelah dilakukan asuhan Perawatan jantung
jantung keperawatan selama 3x24 jam, Observasi
diharapkan curah jantung meningkat  Identifikasi tanda/gejala prim
DS dengan kriteria hasil. curah jantung
 Kekuatan nadi perifer dyspnea,kelelahan,edema,ortopn
meningkat al noctrumal dyspnea,peningkat
 Bradikardia menurun  Identifikasi tanda/gejala skund
DO  Takikardia menurun curah jantung (meliputi,penin
 Dispnea menurun badan,hepatomegali,distensi
 Suara jantung S3 menurun jugularis,palpitasi,ronkhi
DAFTAR PUSTAKA

Doenges dan Moorhouse. 2020. Rencana Perawatan Maternal/Bayi : Pedoman untuk


Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Klien. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Nelson. 2018. Ilmu Kesehatan Anak. Volume I. Edisi 15. Jakarta : EGC.

Ngastiyah. 2019. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2018. Buku Kuliah 3. Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.

Surasmi, A, dkk. 2019. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta : EGC.

Suriadi & Yuliani. 2018. Buku Pegangan Praktik Klinik. Asuhan keperawatan pada
Anak Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto.

Wong L. Donna. 2019. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai