Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners


Departemen Anak di Ruang PICU RST Dr. Soepraoen Kota Malang

Pembimbing Akademik: Ns. Sholihatul Amaliya, M.Kep.Sp.Kep.An


Pembimbing Klinik: Ns. Fatma Y, S.Kep

“By. Ny. V dg Respiratory Distress Syndrome”


Disusun Oleh :
Marcella Dea Natasha
220170100111036
Kelompok 4B

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2022
1. KONSEP PENYAKIT
A. DEFINISI
Sindrom gawat napas pada neonatus (SGNN), dalam bahasa Inggris

disebut neonatal respiratory distress syndrome (RDS) merupakan

kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperpnea dengan

frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali per menit; sianosis; merintih

waktu ekspirasi (expiratory grunting); dan retraksi di daerah

epigastrium, suprasternal, intekostal pada saat inspirasi. Bila di dengar

dengan stetoskop akan terdengar penurunan masukan udara dalam

paru. Istilah SGNN merupakan istilah umum yang menunjukkan

terdapatnya kumpulan gejala tersebut pada neonatus. Sindrom ini

dapat terjadi karena adanya kelainan di dalam atau di luar paru.

Beberapa kelainan paru yang menunjukkan sindrom ini adalah

pneumotoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH),

pneumonia aspirasi, dan sindrom Wilson-mikity. Syndrome distress

pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernapasan

atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan

sebagai hyaline membrane disease (HMD). RDS adalah penyakit paru

yang akut dan berat, terutama menyerang bayi-bayi preterm, hal ini

dapat terlihat pada 3% sampai 5% bayi-bayi cukup bulan.

B. ETIOLOGI
RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding

terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin

muda usia kehamilan ibu. Semakin tinggi kejadian RDS pada bayi

tersebut. Sebaliknya semakin tua usia kehamilan, semakin rendah


kejadian RDS. PMH ini 60-80% terjadi pada bayi yang umur

kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32 dan

36 minggu, sekitar 5% pada bayi yang lebih dari 37 minggu dan jarang

pada bayi cukup bulan. Kenaikan frekuensi dihubungkan dengan bayi

dari ibu diabetes, persalinan sebelum umur kehamilan 37 minggu,

kehamilan multi janin, persalinan seksio sesaria, persalinan cepat,

asfiksia, stress dingin dan adanya riwayat bahwa bayi sebelumnya

terkena, insidens tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau kulit putih

(Nelson, 1999).

C. PATOFISIOLOGI
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya

untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini

merupakan faktor kritis dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru

menjalankan fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan

atau tidak adanya surfaktan. Surfaktan adalah substansi yang

merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi

kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu memohon sisa udara

fungsional (kapasitas residu fungsional ) (Ilmu Kesehatan Anak,

1985). Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan jarang

ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan

atau ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan

ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat

ekspirasi tanpa surfaktan, janin tidak dapat menjaga parunya tetap

mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk

mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi),


sehingga untuk bernapas berikutnya dibutuhkan tekanan negatif

intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih

kuat. Akibatnya, setiap kali perapasan menjadi sukar seperti saat

pertama kali pernapasan (saat kelahiran). Sebagai akibatnya, janin

lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini

daripada ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan

meningkatnya kekelahan, bayi akan semakin sedikit membuka

alveolinya, ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini

dapat menyebabkan atelektasis. Tidak adanya stabilitas dan atelektasis

akan meningkatkan pulmonary vaskular resistem (PVR) yang nilainya

menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya, terjadi hipoperfusi

jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di

samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial

sirkulasi, darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui

duktus arteriosus dan foramen ovale. Kolaps paru (atelektasis) akan

menyebabkan gangguan vektilisasi pulmonal yang menimbulkan

hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi vaskularisasi pulmonal

yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya

menyebabkan metabolisme anaerobik. Metabolisme anaerobik

menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis

metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan

perfusi ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler

dan epitel duktus alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke

dalam alveoli dan terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama dengan


jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut

membran hialin. Membran hialin ini melapisi alveoli dan menghambat

pertukaran gas. Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu

mengeluarkan karbon dioksida dari sisa pernapasan sehingga terjadi

asidosis respiratorik. Penurunan pH menyebabkan vasokonstriksi yang

semakin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan perfusi alveolar,

PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan menurun tajam, serta materi

yang diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam

alveoli.

Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi

normal, asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam

hubungannya dengan hipovolemia, hipotensi dan stress dingin dapat

menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena

trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanaan

pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut.

Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi

lingkaran setan yang terdiri dari : atelektasis  hipoksia  asidosis 

transudasi  penurunan aliran darah paru  hambatan pembentukan

substansi surfaktan  atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus

sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi (Staf Pengajar IKA,

FKUI, 1985).
D. MANIFESTASI KLINIS
Penyakit membran hialin ini mungkin terjadi pada bayi prematur

dengan berat badan 100-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu.

Jarang ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram.

Sering disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda

gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda gangguan pernapasan mulai

tampak dalam 6-8 jam pertama. Setelah lahir dan gejala yang

karakteristik mulai terlihat pada umur 24-72 jam. Bila keadaan

membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama.

Gangguan pernapasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis

dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan

gambaran klinis seperti dispnea atau hiperpneu, sianosis karena

saturasi O2 yang menurun dan karena pirau vena-arteri dalam paru atau

jantung, retraksi suprasternal, epigastrium, interkostal dan respiratory

grunting. Selain tanda gangguan pernapasan, ditemukan gejala lain

misalnya bradikardia (sering ditemukan pada penderita penyakit

membran hialin berat), hipotensi, kardiomegali, pitting oedema

terutama di daerah dorsal tangan/kaki, hipotermia, tonus otot yang

menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi (Staf

Pengajar IKA, FKUI, 1985).


E. PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN DIAGNOSTIK
1. Gambaran radiologis
Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto
rontgen toraks. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang diobati dan
mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin, misalnya
pneumotoraks, hernia diafragmatika dan lain-lain. Gambaran klasik
yang ditemukan pada foto rontgen paru ialah adanya bercak difus
berupa infiltrate retikulogranuler ini, makin buruk prognosis bayi.
Beberapa sarjana berpendapat bahwa pemeriksaan radiologis ini
dapat dipakai untuk mendiagnosis dini penyakit membran hialin,
walaupun manifestasi klinis belum jelas.
2. Gambaran laboratorium
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium
diantaranya adalah :
a. Pemeriksaan darah
Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya
lebih dari 45 mg%, prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih
tinggi bila dibandingkan dengan bayi normal dengan berat
badan yang sama. Kadar PaO2 menurun disebabkan kurangnya
oksigenasi di dalam paru dan karena adanya pirau arteri-vena.
Kadar PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan
pengeluaran CO2 sebagai akibat atelektasis paru. pH darah
menurun dan defisit biasa meningkat akibat adanya asidosis
respiratorik dan metabolik dalam tubuh.
b. Pemeriksaan fungsi paru
Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik,
frekuensi pernapasan yang meninggi pada penyakit ini akan
memperhatikan pula perubahan pada fungsi paru lainnya
seperti ‘tidal volume’ menurun, ‘lung compliance’ berkurang,
functional residual capacity’ merendah disertai ‘vital capacity’
yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru
akan terganggu
c. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler
Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperhatikan
beberapa perubahan dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus
arteriosus paten, pirau dari kiri ke kanan atau pirau kanan ke
kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan
arteri paru dan sistemik.
3. Gambaran patologi/histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis
dan membran hialin di dalam alveolus dan duktus alveolaris. Di
samping itu terdapat pula bagian paru yang mengalami enfisema.
Membran hialin yang ditemukan yang terdiri dari fibrin dan sel
eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel ductus
yang nekrotik.
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan medik tindakan yang perlu dilakukan
a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu

diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara

meletakkan bayi dalam inkubator. Kelembaban ruangan juga harus

adekuat (70-80%).

b. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-

hati karena berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur.

Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi

seperti : fibrosis paru, kerusakan retina (fibroplasias retrolental), dll.

c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlut untuk mempertahankan

homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan

glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan

berat badan ialah 60-125 ml/kg BB/hari. asidosis metabolik yang


selalu dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO3

secara intravena.

d. Pemberian antibiotik. Bayi dengan PMH perlu mendapatkan

antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan

penisilin dengan dosis 50.000-100.000 u/kg BB/hari atau ampisilin

100 mg/kg BB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kg

BB/hari.

e. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian

surfaktan eksogen (surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun

harganya amat mahal.

Penatalaksanaan keperawatan

Bayi dengan PMH adalah bayi prematur kecil, pada umumnya dengan

berat badan lahir 1000-2000 gram dan masa kehamilan kurang dari 36

minggu. Oleh karena itu, bayi ini tergolong bayi berisiko tinggi. Apabila

menerima bayi baru lahir yang demikian harus selalu waspada bahaya

yang dapat timbul. Masalah yang perlu diperhatikan ialah bahaya

kedinginan (dapat terjadi cold injury), risiko terjadi gangguan

pernapasna, kesuakran dalam pemberian makanan, risiko terjadi infeksi,

kebutuhan rasa aman dan nyaman (kebutuhan psikologik).

G. KOMPLIKASI
- Pneumotoraks / pneumomediastinum
- Pulmonary interstitial dysplasia
- Patent ductus arteriosus (PDA)
- Hipotensi
- Asidosis
- Hiponatermi / hipernatremi
- Hipokalemi
- Hipoglikemi
- Intraventricular hemorrhage
- Retinopathy pada prematur
- Infeksi sekunder

2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN UMUM PADA RDS
1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama,
tanggal pengkajian.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat maternal
Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti
perdarahan plasenta, tipe dan lamanya persalinan, stress fetal atau
intrapartus.
b. Status infant saat lahir
Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia), bayi
lahir melalui operasi caesar.
3. Data dasar pengkajian
a. Cardiovaskuler
 Bradikardia (< 100 x/i) dengan hipoksemia berat
 Murmur sistolik
 Denyut jantung DBN
b. Integumen
 Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
 Pitting edema pada tangan dan kaki
 Mottling
c. Neurologis
 Immobilitas, kelemahan
 Penurunan suhu tubuh
d. Pulmonary
 Takipnea (> 60 x/i, mungkin 30-100 x/i)
 Nafas grunting
 Pernapasan cuping hidung
 Pernapasan dangkal
 Retraksi suprasternal dan substernal
 Sianosis
 Penurunan suara napas, crakles, episode apnea
e. Status behavioral
 Letargi
4. Pemeriksaan Doagnostik
a. Sert rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi
diafragma dengan over distensi duktus alveolar
b. Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas
c. Data laboratorium :
 Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan
cairan amnion (untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS)
 Lesitin/spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan
maturitas paru
 Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
 Tingkat phospatydylinositol
 AGD : PaO2< 50 mmHg, PaCO2> 50 mmHg, saturasi oksigen
92%-94%, pH 7,3-7,45.
 Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium
dari sel alveolar yang rusak.
B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakadekuatan
kadar surfaktan, ketidakseimbangan perfusi ventilasi (D.0003)
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
energi/kelelahan, keterbatasan pengembangan otot (D.0005)
3. Resiko termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan penurunan
lemak subkutan, peningkatan upaya pernapasan sekunder akibat RDS
(D.0148)
4. Penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan ventilasi
pulmonal (D.0008)

C. KRITERIA HASIL PERAWATAN


D. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
Setelah dilakukan SLKI: SIKI: Manajemen Cairan (I.03098)
tindakan Observasi
keperawatan selama Terapeutik
3 x 8 jam (3 shift) Kolaborasi
resiko
ketidakseimbangan
cairan menurun.
2 Setelah dilakukan SLKI: SIKI:
tindakan Observasi
keperawatan selama Terapeutik
3 x 8 jam (3 shift) Edukasi
resiko 1.
ketidakefektifan Kolaborasi
perfusi 2.
gastrointestinal
menurun.
3 Setelah dilakukan SLKI: SIKI: Manajemen Nyeri (I.08238)
tindakan Observasi
keperawatan selama Terapeutik
3 x 8 jam (3 shift) Kolaborasi
diharapkan nyeri 1.
akut menurun.
4 Setelah dilakukan SLKI: SIKI:
tindakan  1.
keperawatan selama
3 x 8 jam (3 shift)
diharapkan nyeri
akut menurun.
5 Setelah dilakukan SLKI: SIKI:
tindakan Edukasi
keperawatan selama
3 x 8 jam (3 shift)
diharapkan defisit
pengetahuan
berkurang
DAFTAR PUSTAKA

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik : Edisi 1. Jakarta: Dewan
Pengurus PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia Definisi dan Tindakan Keperawatan : Edisi 1. Jakarta: Dewan
Pengurus PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Luaran Keperawatan
Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan : Edisi 1. Jakarta:
Dewan Pengurus PPNI

Anda mungkin juga menyukai