Anda di halaman 1dari 16

Hudi Wahyu P 08/268186/SA/14513 Antropologi Budaya

Tugas Ujian Semester Studi Literatur Antropologi Review dan Perbandingan Buku
1.Judul buku ; Uma Politics ; An Ethnography of Democratization in West Sumba, lndonesia 1986-2006 Pengarang ; Jacqueline A.C Vel Penerbit ; KITLV Press 2.Judul Buku; The Gay Archipelago ; Sexuality and Nation in lndonesia Pengarang ; Tom Boellstorff Penerbit ; Prince University Press

Antropologi dan Etnografi


Antropologi dan etnografi sekilas sama dan sebangun namun sebenarnya tidak sama walaupun saling terkait. Antropologi dan etnografi bisa dilihat perbedaannya dari metode penelitian, cara melukiskan obyek, cara mendeskripsikan atau analisa dan yang paling jelas tujuannya. Tujuan dari antropologi adalah mencari pemahaman yang luas secara kritis dan komparatif dari manusia di suatu belahan dunia. Tujuan dari etnografi adalah untuk menggambarkan kehidupan orang lain selain diri kita sendiri, dengan ketelitian dan kepekaan yang diasah oleh pengamatan rinci dan berkepanjangan. Kedua buku tersebut menurut saya memenuhi tujuan kajian etnografi dan antropologi Pada buku uma politics, dari judulnya mengatakan bahwa merupakan sebuah etnografi proses demokrasi di Sumba barat. Dengan definisi dan tujuan

etnografi maka buku itu bisa disebut sebagai etnografi. Motivasi Jac menulis buku adalah mempresentasikan hal yang berbeda tentang sumba dibandingkan literatur lainnya. Buku ini lebih terasa nuansa etnografinya daripada antropologi. Sedangkan pada buku the gay, pada bagian pendahuluan Tom mengatakan

bahwa bukunya memang ditunjukkan kepada para antropolog kebudayaan, namun

untuk pembaca yang tidak tertarik dengan teori antropologi, isu intelektual dan kisah yang ia kemukakan bisa memberikan pemahaman tentang kehidupan gay dan lesbi. Tom juga menggunakan pandangan, konsep, metode penelitian antropologi

kebudayaan. Buku ini lebih terasa nuansa antropologinya daripada nuansa etnografi. Ciri penelitian etnografi adalah penelitian yang mendetail dengan partisipasi observasi dalam waktu yang lama sehingga diharapkan dapat member gambaran yang lengkap. Hal tersebut juga tergambar dari kedua buku tersebut. Pada uma politick Jac tinggal di Sumba dan melakukan penelitian dalam rentan waktu yang lama dalam beberapa periode waktu. Pada the gay, Tom melakukan penelitian yang mendalam pada subyeknya dan dalam waktu yang lama. Kedua buku itu peneliti melakukan pelukisan yang mendalam. Sementara ciri khas antropologi adalah tidak melihat secara general namun melihat peristiwa secara khusus dengan perbedaan di berbagai tempat, juga tercermin dalam kedua buku tersebut. Dari kedua buku itu penulis melakukan penelitian dalam waktu yang relatif lama dan mendalami obyek penelitian. terlihat telah lama bergaul dan berhubungan dengan yang diteliti sehingga sangat mendetail. Hal ini juga terlihat dari banyak buku barat yang meneliti lndonesia.

Permasalahan
Permasalahan yang ingin diungkap Jacqueline A.C Vel (Jac) dalam buku uma politic seperti diungkapkan Jac dalam pendahuluan adalah mendiskripsikan dan

menjawab pertanyaan bagaimana pemimpin lokal memanfaatkan peluang dalam pergantian konteks politik nasional.dan perubahan gaya yang spesifik pada politik lokal. Dengan demikian ia lebih memfokuskan bagaimana politik di Sumba pasca reformasi 1998, dimana runtuhnya pemerintahan orde baru yang otoriter menjadi lebih demokratis, sehingga peran serta masyarakat dalam bidang politik semakin luas. Dalam melihat bagaimana yang terjadi secara nasional mepengaruhi apa yang terjadi dalam konteks lokal, ia melihat apa yang terjadi di Sumba ketika dalam konteks politik nasional terjadi peristiwa yang mengarah pada reformasi dan bagiaman perubuhan politik yang terjadi setelah reformasi mempengaruhi perubahan politik di Sumba. Ia memperbandingan keadaan sebelum reformasi yaitu pada tahun 1980-1990an.

Kemudian ia melihat perubahan di Sumba setelah adanya otonomi daerah, yang lebih memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dirinya, dari masa orde baru yang lebih sentralisasi menjadi desentralisasi. Hal lain yang dilihat Jac

adalah setelah adanya otonomi daerah dan pemekaran daerah baru di lndonesia yang marak setelah reformasi ternyata di Sumba juga ada keinginan membentuk kabupaten baru. Menurut Jac, penerapan demokrasi di suatu daerah berbeda dan berartikulasi dengan yang terjadi secara global. Pada bagian awal diterangkan bahwa demokrasi merupakan fenomena global, tapi di Sumba terlihat khas dengan masih adanya

elemen-elemen lokal. Sumba merupakan daerah dengan masyarakat tradisional, dimana pengaruh kepemimpinan lokal, ikatan adat, tradisi masih kuat. Elemen lokal tersebut masih berpengaruh dalam kehidupan demokrasi yang terlihat dari pemilihan umum, dimana digunakannya atribut dan simbol-simbol kepemimpinan lokal oleh para kandidat, namun ikatan kandidat dengan elemen lokal bukan satu-satunya faktor

pemilih memilih kandidat. Pada peristiwa pemilu setelah reformasi, yakni pemilu legislatif 1999, pemilu legislative 2004, pemilihan bupati langsung 2005, di Sumba masih terlihat ikatan tradisional dan kemimpinan warisan masa lalu menjadikan proses perpolitikan di Sumba menarik untuk dilihat, karena para kandidat masih menggunakan atribut tersebut. Permasalahan yang ingin diungkap dalam the gay archipelago adalah bagaimana pembentukan kaum gay, pengaruh global, unsur lokal dan hubungan dengan nusantara. Bagaimana subyek gay terbentuk dengan konteks global, namun memiliki pengaruh lokal yang kuat. Tom ingin membantah pandangan umum yang sering beredar bahwa adanya fenomena gay dan lesbi merupakan pengaruh budaya barat yang masuk dan tidak sesuai dengan budaya lndonesia dan adanya kaum gay dan lesbi merupakan kontaminasi budaya barat pada budaya lndonesia. Karena Tom adalah seorang

antropolog, maka buku ini ditujukkan terutama untuk para pembaca yang tertarik pada antropologi. Hal lain yang ingin diungkapkan Tom dalam bukunya adalah informasi tentang sejarah dan konteks kontemporer kehidupan gay di Indonesia. Di mana orang gay berkumpul, bagaimana orang gay memaknai ke-gay-annya, mengapa ada orang gay

kawin dengan perempuan. Informasi itu menurut Tom penting karena selama ini kita hanya mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti ini dari surat kabar dan majalah. Kehidupan orang-orang gay yang sebenarnya biasanya tidak sesensasional seperti yang digambarkan, tetapi kehidupannya tetap menarik. Dari kehidupan orang gay dapat melihat pengertian lebih mendalam tentang hubungan antara seksualitas dan penerimaan. Perbandingannya antara uma politic dan the gay archipelago adalah dalam

obyek kajian dimana pada uma pilitic ialah suatu tempat dengan deskripsi sifat dan perilaku orang-orangnya, sedangkan dalam the gay adalah perilaku dan sifat pelaku yang terjadi di berbagai tempat. Tapi dalam kedua buku tersebut terdapat perbedaan dalam hubungan lokal, nasional, global. Jika dalam buku uma politic, lokal mengacu pada wilayah, sementara dalam the gay lokal mengacu pada bagian perilaku warganya, yang terjadi di berbagai wilayah namun memiliki ikatan kesamaan sifat, walaupun juga dibentuk organisasinya, yaitu Gaya Nusantara di berbagai wilayah. Kesamaan sifatnya adalah dari kedua buku tersebut terlihat hubungan lokal,

national, dan global. Dari kedua buku tersebut terlihat bahwa apa yang terjadi dalam konteks global, berusaha diadopsi secara nasional, namun dalam pelaksanaannya

tanpa menghilangkan nilai kelokalan. Apa yang terjadi secara nasional, juga mampengaruhi apa yang terjadi di tingkat lokal, hal itu terlihat ketika secara nasional terjadi demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi yang menentang presiden soeharto, di sumba juga ada demonstrasi yang menjadi insiden dengan memakan korban jiwa, namun bukan berarti bahwa apa yang terjadi di tingkat nasional ditransformasi begitu saja ke tingkat lokal. Dari kedua buku itu juga terlihat bagaimana identitas yang membentuk subyek, pada buku uma politic bagaimana orang Sumba merasa sebagai orang Sumba sekaligus, sementara pada buku the gay, orang gay dan lesbi merasa sebagai orang lndonesia. Dalam uma politic, apa yang berlaku secara nasional diadopsi, dengan tetap ditempel atribut lokal. Sementara dalam the gay apa yang berlaku secara khusus pada diri mereka ditempel atribut yang berlaku secara khas (lokal), misalnya walaupun sesame jenis tapi ada yang memerankan sebagai suami dan istri.

Terlihat

dari kedua buku bahwa negara

juga mengatur dan menganjurkan

warganya, jika dalam uma politic, pemilihan kepemimpinan, dilakukan secara demokratis, diundangkan dan dilakukan sesuai aturan dari negara melalui pemilu, sedangkan dalam the gay negara juga menganjurkan perilaku warganya bahwa hubungan sexual yang normal adalah heterosexual, pernikahan yang diakui adalah antara laki-laki dengan perempuan, hal itu diakui dalam undang-undang, dan dianggap sebagai perilaku normal sementara gay dan lesbi merupakan abnormal yang bertentangan dengan keumuman. Kedua buku tersebut juga ingin melihat hubungan global dan nasional, jika dalam uma politic, sistem demokrasi merupakan sistem yang berlaku secara global dalam konteks modern lalu diadopsi menjadi sisrtem pemerintahan yang berlaku di lndonesia secara nasional. Dalam the gay archipelago, gay dan lesbi merupakan fenomena global, namun orang gay dan Dari kedua buku tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat bukan sekedar penerima yang pasif dari globalisasi, dan bukan juga menerima begitu saja apa yang diharapkan secara nasional, namun tetap mempertahankan identitas asla mereka. Masyarakat menyikapi fenomena yang terjadi secara global dalam hubungan nasional sesuai keadaan lokal

-Konsep dan Kerangka Teori

Konsep yang dipakai dalam uma politic adalah state yang berarti negara yang digunakan pada bab dua, Jack menggunakan konsep state dari Weber. Pada bab satu ia menggunakan konsep neo-patrimonalism, yang dijelaskan sebagai karateritik pemimpin yang kuat, yang memiliki atribut cultural, termasuk konsep kekuasan lokal, kepercayaan tradisional, dan berhubungan dengan masa lalu. Pertanyaannya yang ingin dijawab Jac adalah bagaimana institusi demokrasi melihat hal tersebut. Jack dalam hal ini membagi kelas sosial kedalam tiga kelompok yaitu klas politisi, kelas politisi public dan kelas tani. Menurutnya di Sumba setelah tahun 1998 terjadi kelas sosial seperti itu. Elit lokal yang tergolong klas politisi, termasuk pegawai kantor pemerintah, pensiunan pns, bisnisman, ketua partai, pemimpin klan. Kelas ini memiliki

akses informasi, peluang ekonomi, kebijakan Negara, termasuk birokrasi. Klas ini mampu menggerakkan sumber daya uang, aturan, dan kekerasan. Kelas tani mengontrol makanan dan lahan, tenaga kerja, peternakan, sumber alam di Sumba, kelas ini cenderung kurang begitu peduli dengan politik, namun mereka bisa dimanfaatkan oleh para pelaku politik. Konsep penting yang digunakan yaitu artikulasi, konsep artikulasi secara mudah dipahami sebagai pengulangan yang teratur namun sesuai dengan keadaan dan kondis. Dengan konsep ini Jack mengatakan bahwa ia juga menulis buku uma economi, yang menggunakan artikulasi moda produksi pada ekonomi sejenis dengan artikulasi pada struktur politik. Ia menggunakan teori Bourdiu bahwa modal terdiri atas ekonomi, sosial dan

budaya. Ia menceritakan bagaimana Umbu Djima beserta kehidupan politiknya untuk menggambarkan bahwa ia memiliki modal sosial, budaya, juga modal ekonomi yang ditunjukkan kemampuan untuk bersekolah di jawa Pada buku The gay archipelago konsep yang digunakan Tom ialah dubbing

culture yang ia jelaskan dalam bab tiga. Dari penjelasan Tom, konsep dubbing culture secara mudah diartikan sebagai sulih suara. Dengan konsep dubbing culture, Tom menyangkal ide bahwa kaum gay lndonesia terjadi karena budaya lndonesia tercemar budaya luar. Jadi tidak bisa dilihat bahwa orang Indonesia cuma korban globalisasi

saja. Dalam realitasnya, orang Indonesia sudah berabad-abad terbiasa mengambil ideide dari luar Indonesia, dan mengubahnya sehingga di Indonesiakan. Tom juga menjelaskan bagaimana orang gay lndonesia menyatukan statusnya sebagai orang gay dan orang lndonesia. Orang Indonesia yang gay dan lesbi tetap bisa dianggap sebagi orang lndonesia asli tidak bisa dianggap sebagai orang lndonesia yang meninggalkan budaya sendiri dengan lebih mengadopsi budaya barat atau orang lndonesia yang sakit dimana berperilaku tidak sesuai dengan kelndonesiannya. Dengan konsep dubbing culture pula, ia menjelaskan bagaimana gay dan lesbi Indonesia dalam istilah sangat mirip dengan kaum gay dan lesbi di Barat, tetapi punya makna sendiri di Indonesia. Dari buku tersebut, Tom berusaha mengkaitkan konsep nation dan gay.

Kewarganegaraan seseorang menurut Tom juga mempunyai dimensi kebudayaan,

pemerintah negara-negara juga menggunakan seksualitas sebagai alat kontrol, di lndonesia bagaimana gambaran contoh keluarga terdiri dari pasangan suami-istri dan anak-anaknya, gambaran pakaian adat sepasang laki-laki dan perempuan. Jadi Negara menganggap bahwa hubungan seksual yang normal adalah heterosexual. Menurut Tom, istilah-istilah gay dan lesbi bersifat nasional, itu sebabnya mengapa penerimaan nasional muncul bersama globalisasi sebagai fokus dari analisisnya. Orang Indonesia yang gay dan lesbian memahami dunia sosial mereka sebagai sesuatu yang nasional, bukan global, hal itu sesuai, dengan konsep pemerintah wawasan nusantara, yang merepresentasikan Indonesia sebagai nusantara bhinneka tunggal ika. Ada konsep yang sama-sama digunakan yaitu nation. Dari kedua buku ini bisa dilihat konsep yang digunakan penulis yaitu artikulasi dan dubbing culture, kedua

konsep ini memiliki persamaan dan perbedaan.

-Personality
Pada uma politic, posisi Jacqueline A.C Vel sebagai penulis adalah terlihat netral dengan paparan yang deskriptif, namun untuk menyatakan Jack sepenuhnya netral tidak mungkin karena ia tinggal disana dengan memiliki kepentingan. Seperti diceritakannya sendiri, ia pertama datang ke Sumba sebagai anggota misi Kristen. Dalam bukunya ia juga mengungkapkan bagaimana kentalnya pengaruh Kristen termasuk dalam bidang hubungan politik, hal itu wajar memang karena mayoritas penduduk menganut agama Kristen. Dalam melihat proses demokrasi yang masih

mengandung unsure lokal, ia sepertinya terlihat netral dengan paparan ceritanya, namun secara eksplisit dapat dilihat ia menyampaikan lama-lama atribut kepemimpinan lokal akan hilang dan diganti dengan kepemimpinan demokratis. Pada buku the gay archipelago, Tom secara gamblang menjelaskan tentang gay dan lesbi di daerah, tempat, perilaku dan sifat khas dari para gay. Padahal

komunitas gay adalah tertutup. Hal tersebut bisa dilakukan tom karena ia juga seorang gay yang telah lama bergaul dengan informan, juga memiliki hubungan yang luas, seperti diketahui tom adalah dewan Pembina GAYa Nusantara, yaitu organisasi kaum gay.

Sudut pandang yang digunakan Tom, ia cenderung mensuarakan pengalaman dan pemaknaan subjeknya (gay dan lesbi), walau ada sedikit kecenderungan ia menganjurkan untuk lebih menghargai gay dan lesbi, namun untuk hal demikian ia tidak mengungkapkan secara gamblang. Dalam bagian pendahuluan Tom juga mengatakan bahwa bukunya mungkin ditangkap secara berbeda oleh para

pembacanya, karena sulit menyenangkan semua orang, dan ia merefleksikan cara berfikir yang menjadi kehidupannya.

-Metode
Metode yang digunakan penulis dalam uma politic adalah ia mendiskripsikan data berdasarkan pengalamannya hidup di Sumba dalam rentan waktu yang berbeda, penelitian di lapangan. Jac mengatakan bahwa bukunya dibuat lebih dari duapuluh tahun. Jack pertama kali datang ke Sumba pada tahun 1984, dari bulan juli 1984 sampai maret 1990, ia bekerja di Greja Kristen Sumba (GKS). Dapat dikatakan ia pada awalnya tinggal di Sumba bukan sebagai peneliti, namun bekerja di gereja, jadi tidak fokus mencari data politik. Dari 1998 ia tinggal di Sumba sampai tahun 2007. Pada tahun 1998 dimana kejatuhan orde baru, ia tinggal di Sumba sehingga bisa merasakan perubahan di Sumba. Pada tahun 1999 dilakukannya otonomi daerah, sebagai akibat tuntutan reformasi, sehingga ia bisa mengamati dan menulis perubahan yang terjadi di Sumba. Jac juga berhubungan dengan para peneliti dan aktivis NGO di Sumba dengan berdiskusi dengan mereka. Ia juga berhubungan dengan beberapa informan. Jack menulis bukunya dalam sepuluh bab, pada bab pertama pendahuluan yang berisi semacam pengantar, namun menurut saya pada bab satu, bisa sebagai

pengantar yang bisa menarik pembaca untuk mengetahui lebih jauh jauh. Bab ini juga memperkenalkan apa itu Sumba. Ada satu hal yang menarik bagaimana Lukas

Kaborang menyatakan bahwa pdk(partai demokrasi kebangsaan) disebut sebagai partai dengan kristus, demi menarik massa, dimana juga menjadi fenomena nasional dimana pdk memperoleh suara yang signifikan. Hal tersebut seperti tarikan agar

membaca bukunya lebihg lanjut dan membuat penasaran.

Bab kedua

ia lebih menjelaskan hubungan

Sumba dengan Negara. Bab ini

menjelaskan keadaan geografis dan matapencaharian, penduduk, sejarah, dan Umbu Djima. Ia juga menyatakan bahwa negara dan Kristiani saling berkaitan di Sumba. Pada bab ini, ia menggunakan data bahwa Kristen merupakan mayoritas diikuti katolik dan kepercayaan marapu, sementara penduduk muslim, hindu, budha, memiliki jumlah yang sangant kecil. Ia juga menceritakan sejarah sumba. Dalam menceritakan politik di Sumba, Jac juga menggunakan life history Umbu Djima, dia merupakan keturunan raja anakalang, bersekolah di fisipol UGM dan aktif di GKMI(Gerakan Mahasiswa Kristen lndonesia), Umbu Djima lalu menjadi direktur

APMD di kupang, pada tahun 1968-1971 ia menjadi anggota DPRD tingkat l, tahun 1974 menjadi kepala departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ia menjadi bupati Sumba barat dari tahun 1985-1995, tahun 1997 ia menjadi anggota dpr-ri fraksi golkar, tahun 1999 kembali ke rumahnya di Waikabubak di desa Anakalang. Ia menikah

dengan wanita sumba dari sub etnik lain, sehingga menghasilkan jaringan kekerabatan. Umbu Djima mempunyai jaringan yang baik. Akumulasi dari modal sosial, ekonomi, kultural menghasilkan kekuasaan baginya. Selain itu Umbu Djima juga memiliki kemampuan yang sesuai. Bab tiga yang menjelaskan tradisi, kepemimpinan dan kekuasaan. Pada bab

tiga ia menceritakan pentingnya tradisi dalam politik kontemporer di Sumba. Jack menceritakan kepemimpinan dan kekuasaan Sumba pada masa lalu. Di sumba,

bagaimana cultural, simbolik dan modal sosial berpengaruh dalam mendapatkan kekuasaan. Hal tersebut terlihat pada pemilihan parlemen 2004. Para kandidat

menyebut sebagi orang anakalang, orang kodi, dll. Pada akhir bab ini jack menyatakan bahwa tradisi merupakan modal yang masih bisa digunakan dalam politik kontemporer di Sumba. Pada bab empat, yang membahas pluralism hukum pada politik di pedesaan, ia awali dengan penjelasan bagaimana demokrasi berpengaruh pada kepemimpinan lokal. Pada bab ini berisi cerita ketika ia tinggal di Lawonda pada tahun 1984-1990 pada masa orde baru, ketika itu ada proyek propelnas (proyek pelayanan masyarakat),

dimana suami Jac sebagai pemimpin proyek, sedangkan jac sebagai staf dan peneliti.

Ia menceritakan kepemimpinan Umbu Hapi sebagai kepala desa dan pak Vincent, kepala proyek pembangunan. Kakek buyut laki-laki Umbu Hapi pada masa kolonial adalah adalah raja Lawonda. Umbu Hapi adalah keluarga bangsawan, dengan demikian ia memiliki modal cultural. Kepemimpinan Umbu sewibawa ayah dan kakeknya. Pada tahun 1986, Hapi di desa tidak

ia mempunyai saingan dalam baik, cerdas dan

kepemimpinan desa, yaitu sekretaris desa, yang berpendidikan memiliki ide dalam

pembangunan desa. Dilihat dari modal ekonomi, umbu hapi

termasuk orang kaya dengan standar desa. Sedangkan pak Vincent, yang jauh lebih muda dari umbu hapi tidak memiliki modal cultural. Namun ia berpendidikan, sebagai tehnisi. Jac kemudian menceritakan adat di Lawonda. Pada akhirnya ia mengisahkan perbedaan umbu hapi dan pak Vincent dalam propelnas. Pak Vincent menggunakan modal sosialnya untuk menggerakkan petani dan kelompok perempuan dalam propelnas Pada bab lima, yang berjudul pergantian rezim dan demokrasi ia menjelaskan perubahan dalam politik di tingkat nasional dimana pada 21 mei 1998 orang sumba menyaksikan di televisi bahwa presiden soeharto telah mengakhiri masa jabatannya dan pereubahan yang terjadi di Sumba. Ia melihat pengaruh yang terjadi di Sumba, sebagai akibat adanya reformasi pada tingkat nasional. Salah satu tuntutan reformasi adalah agar berjalannya demokrasi, dengan tuntutan pemilihan umum yang bersih, kebebasan bicara dan berpendapat. Sejauh manakah hal itu berlaku di Sumba. Pada bab enam yang ia beri judul kekerasan di Waikabubuk, merupakan cerita yang terjadi Waikabubuk, ketika di tingkat nasional berlangsung proses reformasi. Di Waikabubuk terjadi insiden yang memakan korban jiwa yang disebut kamis berdarah. Ketika di tingkat nasioanal marak demo anti KKN dan menetang presiden Soeharto, di Sumba pada oktober 1998 terjadi protes terhadap bupati Rodolf Malo, yang merupakan colonel angkatan udara. Bab ini juga menceritakan, pemilu pada tahun 1999 ketika di tingkat nasional pemilu dimenangkan PDI-P, di sumba barat PDI-P dan partai Kristen baru yakni PDKB, menjadi saingan bagi golkar yang telah mapan pada masa orde baru. PDI-P meraih suara terbanyak dikuti golkar dan PDKB. Bab tujuh yang membahas tumbuhnya politik publik, bercerita tentang perubahan yang terjadi di Sumba setelah reformasi. Ketika sebagian besar diskusi politik lokal di

Indonesia pasca-Soeharto difokuskan pada efek desentralisasi dan pemilihan umum, ada perubahan lain yang terjadi di Sumba. Misalnya, meningkatnya penduduk yang menerima akses listrik, dan naiknya minat orang menonto televisi.

Komunikasi menjadi lebih mudah karena meningkatnya ketersediaan ponsel di Sumba. Banyak anak muda pergi untuk belajar di Jawa atau di Kupang, dan karena tidak semua dari mereka berhasil menemukan pekerjaan di tempat lain, kelompok yang cukup besar kembali ke Sumba. Banyak orang berpikiran tidak ingin menjadi petani, mereka lebih ambisius, dalam pikiran ada impian menduduki posisi sebagai pejabat negara. Otonomi daerah dan pemilihan langsung merangsang bahwa keadaan pikiran orang Sumba ke dalam wacan nasionaldan wacana global. Bab delapan yang membahas pemekaran daerah baru, membahas keinginan membuat daerah baru, seperti diketahui, adanya desentralisasi yang diikuti dengan pemekaran daerah menimbulkan banyaknya daerah baru di lndonesia. Birokrat dan politisi di lndonesia melihat peluang dengan adanya wilayah baru kemungkinan mendapatkan jabatan. Pun demikian di Sumba dengan alasan adanya potensi wilayah, efek kesejarahan, para pelaku yang melihat celah politik, menginginkan adanya pemekaran daerah dengan merencanakan kabupaten baru di Sumba, yakni kabupaten Sumba Jaya. Bab Sembilan pemilihan, yang dibahas dalam bagian ini adalah proses pemilihan umum tahun 1999 dan 2004 beserta hasilnya. Pada 2004 di sumba barat PDI-P memperoleh suara terbanyak diikuti Golkar dan PDK serta PKPI.Jac juga menceritakan bagaimana tokoh partai politik lokal, masih menggunakan pengaruh adat, dimana sebagian dari masih merupakan bangsawan. Sayangnya tidak dijelaskan bagaimana PKPI yang merupakan partai kecil, di Sumba memperoleh suara yang cukup, tidak dijelaskan juga bagaimana partai partai lain bisa memperoleh suara. Jack kemudian membahas pemilihan kepala daerah/bupati di Sumba barat pada tahun 2005, beserta latar belakang kandidatnya dan hasil suaranya. Pada bab sepuluh, jac memberikan kesimpulan bahwa demokrasi dalam pelaksanaannya politik. Bab ini merupakan kesimpulan dari seluruh bab. Metode penelitian yang digunakan penulis dalam the gay archipelago adalah partisipasi observasi yang dilakukan di beberapa tempat, juga digunakan data sejarah, berartikulasi dengan budaya

dengan konsep dan teori antropologi. Tom detail sekali menceritakan tempat-tempat yang berhubungan dengan perilaku. Menerut Tom bukunya itu bukan novel, cerita perjalanan, atau juga bukan expos tentang kehidupan malam gila orang elit. Buku the gay archipelago menggunakan studi antropologis tentang kebudayaan untuk tempat

menggambarkan kehidupan sehari-hari orang gay Indonesia, dengan fokus

penelitian di Surabaya, Makassar, dan Bali, dan juga termasuk cara hidup orang gay di Indonesia secara umum. Dalam bukunya yang terdiri dari delapan bab, pada bab satu berisi pendahuluan yang berisi alasan mengapa ia menulis buku tersebut dan apa tujuannya. Tujuan yang diungkapkan Tom adalah bukan untuk memperoleh fokus kepada kesamaan atau halhal yang dianggap universal, namun meneliti binarisme kesamaan atau perbedaan dan mendapatkan alternatif pengetahuan yang menghindarkan binarisme ini, dengan menggunakan wawasan metodologi dan teoritis antropologi kebudayaan untuk melakukan sesuatu yang lebih dari cuma melihat konteks. Analisis Tom menguji kembali binarisme yang sering muncul dalam penelitian tentang globalisasi, seksualitas dan gender yang tidak normatif di luar dunia Barat. Karena selama ini menurut Tom selama ini kosep yang digunakan dalam antropologi adalah realitas yang terjadi di barat dan berusaha diterapkan pada masyarakat non barat. Pada bab ini Tom juga memberikan perkenalan dasar tentang kaum gay dan lesbi di lndonesia. Penjelasan Tom pada bab-bab selanjutnya, berisi narasi etnografis, teori, dan uraiannya. Tom pada bab dua adalah menjelasan posisi subyek, di mana seseorang hidup pada suatu waktu, belum tentu memiliki skala yang sama, perasaan seseorang atas diri sendiri sebagai anak muda global, sebagai seorang laki-laki lokal, dan sebagai seorang pekerja nasional, semua itu terjadi pada saat yang bersamaan. Atau menjadi orang muda bisa berarti keduanya, yakni lokal dan global pada saat yang sama.. Bab tersebut berfokus pada isu-isu tersebut, serta kesejarahan kaum gay dan dan lesbi di lndonesia. lndonesia. Pada bagian ini juga berisi sejarah kaum gay dan lesbi di yang sudah ada di

Tom juga menceritakan adanya bissu dan warok

lndonesia dalam waktu yang lama. Pada bab tiga Tom menjelaskan konsep dubbing culture. Dari judulnya

Dubing Culture dapat diartikan sebagai sulih suara. Bab ini berfokus pada saat asal

bagi posisi-posisi subyek gay dan lesbi: (1) di tingkat sosial-konteks bersejarah di mana mereka pertama muncul; (2) di tingkat personal-bagaimana terjadi bahwa orang-orang Indonesia tertentu melihat diri mereka sendiri sebagai gay dan lesbi. Tom juga menjelaskan tentang peran media massa. Berkenaan dengan orang-orang Indonesia yang gay dan lesbi, tujuan Tom adalah membangun teori yang bisa menjelaskan

tentang hubungan yang tergantung, retak, sebentar-sebentar, namun berpengaruh kuat antara globalisasi dan subyektivitas. Bab ini menceritakan bagaimana pemunculan posisi subyek gay dan lesbi di majalah liberty, tentang perkawinan sejenis antara jossie dan bonnie. Kemudian ada cerita tentang gay dan klesbi di media. Teori sulih suara budaya yang digunakan dalam bab ini merupakan dasar analisis paradoks seksualitas dan bangsa di Indonesia pascakolonial. Tujuannya adalah

membicarakan tentang teori budaya secara luas. Mungkin, sulih suara budaya muncul dalam konteks pengglobalisasian proses-proses yang tidak secara langsung

berhubungan dengan media massa, seksualitas, atau Asia Tenggara, misalnya hubungan antara orang Inggris yang gay dan orang Indonesia yang gay, seperti hubungan antara cantik dalam bahasa Inggris (beauty) dan konsep biyuti yang digunakan oleh laki-laki gay Filipina (Manalansan 2003:15). Kerangka kerja sulih suara budaya sangat peduli dengan agensi, kerangka kerja tersebut mempertanyakan tentang teori-teori yang menentukan, yang menganggap pemanggilan orang-orang oleh ideologi, dan juga teori-teori voluntaristis yang berasumsi bahwa orang-orang menegosiasi subyektivitas mereka terhadap struktur kekuasaan. Akibatnya, kerangka kerja tersebut bertujuan untuk memberikan

pemahaman proses tentang subyektivitas yang memberikan cara baru untuk berpikir tentang logika kebudayaan yang hegemoni. Mendubbing suatu wacana tidak berarti membebeknya secara harafiah, namun tidak pula menyusun keseluruhan. Pada akhir bab ini, Tom mempertanyakan skenario baru secara

sulih suara budaya yang

dilakukan orang Indonesia ketika mereka menduduki posisi subyek gay dan lesbi begitu berbeda dari proyek etnografis di dunia yang telah terglobalisasikan. Oleh sebab itu, bab ini memiliki dimensi yang refleksif. Penjelasan Tom pada bab keempat adalah Tom lebih banyak cerita kehidupan gay dan lesbi. Bab ini juga mengeksplorasi tentang seks, nafsu, cinta, dan hubungan antar

para pelaku gay dan lesbi termasuk perkawinan. Pada bagian awalnya dikatakan bahwa banyak orang Indonesia yang gay atau lesbi menganggap kehidupan dan dunia gay atau lesbi berbeda dengan dunia luar, seksualitas gay dan lesbi tidak memiliki tempat di dunia normal. Kaum gay dan lesbi Indonesia biasanya tidak tertarik pada politik gaya Barat, dunia-dunia gay dan lesbi lebih mirip nusantara-nusantara daripada ruang-ruang tanpa batasan. Orang-orang Indonesia yang gay dan lesbi sering mengatakan bahwa mereka sama di seluruh Indonesia. Mereka juga sering menganggap diri sama seperti orang barat yang gay dan lesbian, seperti yang tercermin oleh istilah gay dan lesbi sendiri. Posisi- posisi subyek gay dan lesbi menghadapkan pada pertanyaan tentang kesamaan skala dan nafsu keduanya. Nafsu orang gay dan lesbi di Indonesia unik karena mengandung erotis didalamnya, baik laki-laki gay maupun perempuan lesbi menjelaskan seksualitas mereka sebagai suka untuk yang sama. Bahkan erotika gay atau lesbi dilakukan pembagian yang diheterogenderkan seperti, di antara lelaki gay yang feminin dan maskulin, atau di antara perempuan lesbi yang tomboi dan cewek, erotika tersebut terlihat seperti dalam nafsu homoseksua. Pada bab lima, Tom menjelaskan, waria, geografi dunia gay, termasuk tempattempat yang digunakan untuk berkumpul kaum gay, tempat kaum gay berkomunikasi dan mencari pasangan, tempat umum namun menjadi ruang aktivitas kaum gay. Tom kemudian mednjelaskan organisasi kaum gay. Begitu juga terhadap kaum lesbi. Kemudian persimpangan dan hubungan sosial kaum gay dan lesbi, juga dijelaskan Pada bab enam, Bab ini menguji tentang apa arti menjadi gay atau lesbi bagi gaya nusantara, yaitu organisasi bagi kaum homoseksual di lndonesia. Bab ini melihat pada praktik-praktik nonseksual pada orang Indonesia yang gay atau lesbi melalaui sifat diri baik yang ditunjukkan maupun yang tidak. Pada bab tujuh yang secara umum membahas subjektifitas gay dan lesbi di

lndonesia pasca kolonial. Bab ini lebih meneorikan hubungan antara seksualitas dan bangsa di Indonesia pascakolonial pada tahun 1970an sampai 1990an, ketika posisiposisi subyek gay dan lesbi terwujud, rezim Orde Baru yang otoriter memiliki sumberdaya menentukan agendanya menuju tingkat yang lebih tinggi dibandingkan

rezim Orde lama Sukarno (1945-1969) yang digantikannya, atau rezim kolonial Jepang dan Belanda. Ketika itu orang-orang Indonesia melakukan perlawanan, dan masih terus berlanjut, yang menarik adalah bahwa perlawanan itu sering mengambil bentuk transformasi, bukan penolakan. Istilah-istilah gay dan lesbi mungkin disalahpahami sebagai bukti bahwa kaum gay dan lesbi Indonesia diidentifikasikan dengan sebuah pergerakan global gay dan lesbian, yang berdiri di luar wacana nasional. Namun nampaknya cukup jelas bahwa tidak bisa dipandang demikian. Mereka membayangkan hubungan global, walaupun ada fakta bahwa kaum gay dan lesbi Indonesia jarang pergi ke luar Indonesia atau bertemu kaum gay dan lesbian Barat. Pada bab delapan, Tom Saya menekankan tentang bagaimana karakter nasional, bukan yang dietnolokalisasikan, dari posisi-posisi subyek (gay dan lesbi)berakibat pbagi kehidupan gay dan lesbi, dan menunjukkan bagaimana suatu antropologi bisa

memberikan kontribusi terhadap pemahaman tentang persimpangan antara globalisasi dan pascakolonialitas. Konsep-konsep gay dan lesbi jelas dipengaruhi oleh prosesproses pengglobalan, tetapi mposisi-posisi subyek gay dan lesbi dialami merupakan fakta- fakta sosial.

Kesimpulan Buku ini dapat dikatakan sebagai etnografi Sumba tentang politik, yang

menceritakan proses demokratisasi di Sumba Barat. Penulis mampu menceritakan keadaan di Sumba yang diamatinya. Buku itu menceritakan apa yang terjadi secara nasional ketika masa orde baru, reformasi, sekitar reformasi, setelah reformasi dengan pengaruh dan efek perubahannya yang terjadi di Sumba. Dari buku tersebut dapat diketahui bahwa kepemimpinan lokal di sumba masih berpengaruh. Dalam demokrasi identitas kepemimpinan lokal ini menjadi modal dalam meraih kekuasaan. Buku ini juga melihat hubungan nasional dan lokal, dimana sesuatu yang diharapkan terjadi secara nasional diartikulasikan sesuai konteks lokal. Buku tersebut menarik untuk dibaca, apalagi bila diterjemahkan kedalam bahasa lndonesia. Kesimpulan dari buku the gay archipelago adalah, buku the gay archipelago merupakan buku yang lengkap mengupas tentang kaum gay dan lesbi. Buku itu bukan

merupakan buku biasa namun bernilai etnografis. Ia menggunakan konsep dan metode antropologi. Apa yang diungkapkan Tom dapat menggambarkan kehidupan kaum gay dan lesbi secara mendalam. Hal yang menjadi berat dan menjadikan pegetahuan yang baru ialah ia membangun teori sendiri yang menghubungkan gay dengan nation. Namun, menurut saya ia kurang mengungkapkan hubungan anatara gay dan nation, sehingga hubungan keduanya cenderung dipaksakan. Buku the gay juga bagus dibaca oleh para antropolog, masyarakat umum yang tertarik dengan fenomena gay dan juga kalangan gay. Bagi kaum gay barangkali buku ini dapat menambah pengetahuan kegay-an mereka, tapi buku tidak bisa dilihat sebagai buku bagi kaum, gay.

Anda mungkin juga menyukai