PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Seksualitas berasal dari kata dasar seks, kata serapan dari bahasa Inggris
yaitu sex. Seks adalah suatu mekanisme untuk keberlangsungan evolusi manusia.
Seks juga merupakan hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki yang
berhubungan khusus yang bersifat erotis yaitu relasi seksual. Mekanisme di atas
berjalan dengan relasi hetero-seksual yaitu hubungan antara laki-laki dan
perempuan. Laki-laki dan perempuan mempunyai kebutuhan seks yang sama.
Terdapat perbedaan esensial antara laki-laki dan perempuan adalah: laki-laki lebih
besar nafsu seksnya sedangkan perempuan lebih besar pada tenaga seksnya
(greater sexual capacity). Pernyataan di atas terbukti dalam kasus profesi gigolo
(pekerja seks laki-laki) maupun pelacur (pekerja seks perempuan), gigolo hanya
mampu melayani tiga hingga lima perempuan, sedangkan perempuan mampu
melayani 25150 laki-laki dalam 24 jam (Kartono, 2007:3543). Pernyataan
memberikan bukti bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan kelebihan dan
kekurangan masing-masing agar manusia dapat saling melengkapi. Seksualitas
perempuan lebih dominan yang menjadikan kelebihan dari kodrat sebagai
perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Seks adalah kebutuhan biologis bagi semua orang, namun di Jawa tidak
secara vulgar dalam penggambaran tentang seksualitas. Budaya Jawa lebih
mengedepankan etika, tindak tutur, prinsip kerukunan, keselarasan, agama dan
berpegang teguh pada budaya Kejawen-nya, di sisi lain kebrutalan, penyimpangan
seksual,
bahkan
seksualitas
hanya
digambarkan
samar-samar
dalam
seksual, dan seksualitas dengan tujuan agar kelak anak didiknya dapat
membahagiakan istrinya secara lahir dan batin. Tugas gowok juga memberi
contoh pada anak didiknya teknik persenggamaan (kamasutra) secara langsung
bahkan dengan memberikan tubuhnya sendiri sebagai objek.
Semua mahluk di seluruh dunia adalah sama derajatnya di mata Tuhan.
Tuhan hanya memberikan sedikit perbedaan fisik dan peran agar sesama manusia
dapat saling melengkapi akan tetapi sistem sosial yang menghendaki perspektif
patriarki muncul di dalamnya. Perspektif patriarkal membuat salah satu pihak
menjadi korban konstruksi sosial yang kurang memihak. Korban konstruksi sosial
tersebut terjadi pada perbedaan gender. Perspektif patriarkal muncul karena
adanya ketidak-seimbangan peran gender dalam masyarakat sosial sehingga
terdapat salah satu pihak yang sangat dominan. Dalam hal tersebut perempuan
menjadi korban sedangkan laki-laki sangat dominan. Ratna (2005:414)
mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan gender yaitu male dan female secara
etimologis perbedaan tersebut tampak pada fisik dan biologis, sedangkan
masculine dan feminine yang mengacu pada aspek psikologis dan kultural.
Dalam teori-teori sosiologi kontemporer, feminis merupakan gerakan yang
banyak diserukan di seluruh dunia yang membuat feminisme sebagai isu sosial
yang masih banyak di-perdebatkan di seluruh dunia. Sistem perbedaan gender
dibuat manusia dan diterapkan dalam kehidupan sosial. Menurut Ratna
(2005:416) perspektif patriarki yang berada dalam sistem sosial hingga
melemahkan peran kaum perempuan, sebenarnya merupakan hal yang salah
dalam sistem tersebut. Kaum perempuan dibedakan oleh kebudayaan bukan oleh
hakekat. Perbedaan dalam sistem kebudayaan tersebut tampak jelas dengan
penggunaan bahasa, seperti he (laki-laki sebagai sentral), she (perempuan sebagai
marginal).
Secara historis kritik feminis muncul dalam sejarah sastra Barat pada abad
ke19 tepat secara luas dikenal pada tahun 1960an. Hal tersebut terjadi karena
adanya ketidak-seimbangan peran laki-laki dan perempuan dalam pengaplikasian
karya lukisan sastra. Peran laki-laki (androcentric) lebih dominan dibandingkan
peran perempuan (gynocentric). Di Indonesia isu feminisme mulai diperhatikan
sejak Repelita III, dengan pengangkatan Menteri Urusan Peranan Perempuan.
Jumlah perempuan ketika itu mulai sebanding dengan jumlah penduduk laki-laki.
Dalam sejarah sastra Indonesia, feminisme sudah dipermasalahkan sejak tahun
1920an, yaitu melalui novel-novel Balai Pustaka, dengan mengemukakan
masalah-masalah kawin paksa, yang kemudian dilanjutkan pada periode 1930an
melalui novel Layar Terkembang karya Sultan Takdir Alisjahbana (Ratna,
2005:417).
Kritik feminis akan selalu berpengaruh selama karya sastra yang
bermunculan masih mengangkat isu-isu kesetaraan gender, sementara hingga saat
ini isu tersebut masih dipermasalahkan dalam kehidupan sosial. Penulis
menggunakan analisis feminisme radikal-libertarian dengan objek novel NG karya
Budi Sardjono. Novel tersebut sangat kental dengan unsur peran perempuan yang
terikat dengan kebudayaan. Penulis memilih novel NG karena tergolong novel
terbitan baru pada tahun 2014 pada cetakan pertama.
1.2
Permasalahan
Pada tahun 1949 pelopor paham feminis Simone de Beauvoir menerbitkan
bukunya tentang the second sex. Ia fokus pada studi tentang penindasan
perempuan dan konstruksi feminitas oleh para laki-laki; bagaimana perempuan
dapat dilihat oleh mata laki-laki. Beauvoir fokus pada fakta dan gambaran mitos
psikologi,
sejarah
dan
biologi.
Hasilnya
mitos-mitos
buatan
manusia
lain dari perempuan Jawa yang terikat oleh budaya gowok, eksploitasi, ekspresi,
seks, nafsu, cinta, dan profesionalitas dalam pribadi perempuan.
Berdasarkan paparan di atas permasalahan dalam novel NG disusun
sebagai berikut.
1. Bagaimana keterjalinan unsur-unsur yang meliputi: tema, tokoh,
perwatakan, konflik, dan latar dalam memperoleh makna secara
struktural?
2. Bagaimana dialektika seksualitas yang terdapat dalam novel NG?
3. Bagaimana proses migrasi budaya gowok yang berkembang hingga ke
Jawa?
4. Bagaimana representasi gowok dalam novel NG dalam kajian feminisme
radikal-libertarian?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan dalam penelitian ilmiah ini untuk mengetahui aspek-aspek
ekspresi tokoh gowok dalam novel NG karya Budi Sardjono. Penulis fokus pada
persoalan keperempuanan dari segi budaya, sejarah, agama, perspektif, dan
profesionalisme. Dari permasalahan di atas penulis mengambil tujuan penelitian
sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan keterjalinan unsur-unsur yang meliputi: tema, tokoh,
perwatakan, konflik, dan latar dalam memperoleh makna secara struktural.
2. Mendeskripsikan dialektika seksualitas yang terdapat dalam novel NG.
3. Memaparkan proses migrasi budaya gowok.
4. Merepresentasikan gowok dalam kajian feminisme radikal-libertarian.
1.4
Tinjauan Pustaka
Dari tinjauan pustaka yang penulis hanya menemukan artikel-artikel
tentang kritik sastra yang membahas novel NG yang diunggah di internet. Dari
sumber Google penulis hanya menemukan lima artikel yang terdiri atas kritik
sastra, struktural, dan sinopsis. Penulis tidak menemukan novel NG yang diteliti
dan dijadikan skripsi.
Kritikan pertama yaitu Dion Yulianto asal Yogyakarta. Ia menulis kritikan
sastra dan diunggah di blognya pada tanggal 26 Mei 2014. Dalam artikelnya
berjudul Nyai Gowok ia memaparkan sinopsis novel NG dengan singkat namun
https://octacintabuku.wordpress.com/2014/09/28/nyai-gowok/
[28
September
2014].
Adhitya Yoga Pratama juga menuliskan artikel tentang novel NG dengan
judul Nyai Gowok dan Tradisi Seksualitas Jawa yang diunggah pada 19
Desember 2014 lalu. Dalam artikelnya ia lebih menitik-beratkan pada struktur
seks yang terdapat dalam novel NG. Adhitya hanya memaparkan proses
persenggamaan ala Jawa yang diadopsi dari novel NG tanpa menambahkan unsurunsur
ekstrinsiknya.
http://adhityache.blogspot.com/2014/12/nyai-gowok-dan-
1.5
Landasan Teori
Penulis melakukan penelitian berdasarkan dengan teori-teori kesusastraan
Teori Struktural
Pendekatan struktural adalah langkah awal untuk melakukan pengkajian
A. Tema
Tema adalah makna pokok sebuah karya fiksi. Makna tema bersifat
implisit, maka dari itu pengambilan tema harus disimpulkan ketika karya fiksi
tersebut tuntas dibaca. Karena keberadaan tema terimplisit maka terkadang tema
dapat ditemukan dalam pemahaman cerita secara keseluruhan, ada pula yang
terkandung dalam kalimat-kalimat percakapan yang mengandung tema pokok
dengan makna yang kuat (Nurgiyantoro, 2002:6869).
Nurgiantoro (2002:7779) menggolongkan tema yaitu tema tradisional
dan nontradisional. Tema tradisional adalah tema yang merujuk pada tema klise
atau itu-itu saja maksudnya adalah tema-tema yang berbunyi: kebenaran dan
keadilan mengalahkan kejahatan, sahabat sejati adalah seseorang yang mau
menemani kita dikala suka maupun duka, setelah menderita, seseorang baru
mengingat Tuhan, dsb. Tema tersebut lebih disukai pembaca karena pada dasarnya
setiap orang cinta pada kebenaran dan membenci sesuatu yang sebaliknya. Tema
jenis ini ternyata bersifat universal. Hal tersebut terjadi pada karya fiksi di manca
Negara dan bertahan dari masa ke masa. Terdapat pula tema nontradisional yaitu
tema-tema yang mungkin tidak sesuai harapan pembaca. Tema tersebut
mengangkat cerita tentang kemenangan pihak antagonis. Sebagai contoh misalnya
koruptor kelas kakap yang berhasil bebas dari hukuman.
Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2002:87) menunjukkan kriteria yang dapat
memberikan acuan dalam menemukan tema. Pertama memperhatikan tiap detail
cerita yang menonjol. Pengarang mempertegas tema secara tersirat pada cerita
yang menonjol baik melalui kalimat dialog antartokoh atau konflik utama.
Kedua dalam penafsiran tema hendaklah didukung dengan data-data kuat baik
secara tertulis atau berupa penafsiran terhadap kata-kata yang mengandung
simbol-simbol yang menguatkan.
B. Penokohan dan Perwatakan
Tokoh dan watak dalam karya fiksi tidak dapat dipisahkan. Keduanya
menjadi satu dan saling menyempurnakan untuk membangun sebuah kepribadian
tokoh. Nurgiantoro (2002:167168) memaparkan bahwa keberadaan tokoh
merupakan posisi strategis untuk menentukan amanat, moral, penyampaian pesan,
atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Nurgiyantoro
berpendapat bahwa keberadaan tokoh dapat juga ditampilkan oleh pengarang
seperti robot yang selalu tunduk oleh pengarang. Dalam hal tersebut keberadaan
tokoh hanya sebagai alat penyampaian sesuatu kepada pembaca walaupun tidak
dengan menampilkan kepribadian utuhnya.
Dalam realitas kehidupan memang perlu dipertimbangkan perbedaan
tokoh cerita fiksi dengan tokoh kehidupan nyata. Tokoh dalam kehidupan nyata
memiliki kebebasan yang tidak terbatas, sedangkan tokoh fiksi hanya memiliki
kebebasan dalam cerita tersebut. Perbedaan inilah yang membatasi dan
membedakan tokoh cerita fiksi dengan tokoh di kehidupan nyata (Kenny dalam
Nurgiyantoro 2002:169)
Nurgiyantoro (2002:169) membedakan tokoh rekaan dan tokoh nyata
dalam karya fiksi sebagai suatu aspek yang penting yang nantinya penulis dapat
membedakan tokoh rekaan dan tokoh nyata. Ia membedakan tokoh nyata yaitu
tokoh yang terlibat aktif dalam alur cerita. Tokoh nyata digambarkan sebagai
sosok manusia yang memiliki kepribadian tertentu, berperan dan berinteraksi aktif
dengan tokoh lain hingga membangun alur cerita. Sedangkan tokoh rekaan
digambarkan sebagai tokoh yang pasif yang kehadirannya hanya sebagai robot
bagi pengarang untuk menyampaikan sesuatu pada pembaca. Tokoh rekaan tidak
selalu berupa sosok manusia, namun juga dapat menjadi dewa atau dewi, nenek
moyang, tokoh tokoh sejarah dll.
Nurgiantoro (2002:176194) mempunyai teori dalam membedakan tokoh
dengan kategori sebagai berikut.
1. Tokoh utama dan tokoh tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang paling sering diceritakan. Tokoh tersebut
menjadi tokoh sentral di mana dalam penggambarannya sangat diutamakan dari
awal hingga akhir cerita. Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh dengan peran
pasif yang sifatnya melengkapi karakter tokoh utama yang diceritakan.
2. Tokoh protagonis dan tokoh antagonis
Tokoh protagonis (tokoh hero) adalah tokoh yang menimbulkan
kekaguman bagi pembaca dengan karakter-karakter kepahlawanannya. Tokoh
tersebut menampilkan sesuatu sesuai pandangan atau harapan pembaca.
Sedangkan tokoh antagonis merupakan tokoh kebalikan dari tokoh protagonis.
Tokoh antagonis selalu menampilkan sisi kontra dari pembaca, kebanyakan ia di
identikkan dengan tokoh jahat yang ingin menghancurkan misi tokoh protagonis.
3. Tokoh sederhana dan tokoh bulat
Tokoh sederhana adalah tokoh yang mempunyai watak tertentu yang
memiliki sifat dan tingkah laku yang memiliki naluri kemanusiaan yang normal
pada umumnya. Tokoh tersebut mudah dikenali oleh pembaca karena bersifat
familiar, sudah biasa atau yang stereotip. Tokoh bulat memiliki sifat yang
mengejutkan bagi pembaca. Biasanya tokoh tersebut bertentangan dengan naluri
manusia dan tidak terduga.
4. Tokoh statis dan tokoh berkembang
Tokoh statis secara esensial tidak memiliki perubahan karakter walaupun
berbagai peristiwa yang terjadi. Tokoh tersebut memiliki sifat dan watak yang
relatif tetap di awal hingga akhir cerita. Sedangkan tokoh berkembang adalah
10
tokoh dengan watak yang berkembang seiring berjalannya cerita dengan berbagai
peristiwa yang ada.
5. Tokoh tipikal dan tokoh netral
Tokoh tipikal merupakan tokoh yang sering menggambarkan keadaan
inividualitasnya, dalam artian ia menonjolkan sisi jati dirinya misalnya
kebangsaannya, suku, sikap profesionalitas pekerjaan dan sebagainya. Tokoh
netral adalah tokoh yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar
tokoh imajiner yang hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi.
C. Latar
Kehadiran latar dalam cerita fiksi bersifat esensial. Dengan penggambaran
latar yang tepat, pembaca dapat terbawa dengan situasi dan kondisi tertentu yang
digambarkan pada cerita fiksi. Gambaran latar yang kompleks juga dapat
menjadikan pembaca terpesona pada cerita fiksi, hal tersebut terjadi lantaran latar
belakang dan pengalaman pembaca hingga pembaca dapat hanyut dalam alur
cerita (Nurgiyantoro, 2002:217).
Nurgiyantoro (2002:218240) membedakan latar menjadi dua yaitu.
1. Latar fisik yang mencakup:
a. Latar tempat yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam cerita fiksi.
b. Latar waktu yaitu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
c. Latar sosial yaitu menjurus pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi.
d. Anakronisme yaitu menunjuk pada suatu pengertian lang lebih luas
(waktu) yaitu pada sesuatu yang tidak masuk akal.
2. Latar spiritual adalah latar yang berhubungan dengan magis, religi,
atau budaya yang kental. Kehadiran latar spriritual bersamaan dengan
latar fisik, namun latar spiritual lebih menunjukkan identitas tempat
yang diceritakan pada cerita fiksi.
D. Konflik
Dalam KBBI konflik yaitu pertentangan atau percekcokan. Pada
hakekatnya konflik merupakan peristiwa. Dengan adanya konflik peristiwaperistiwa lain bermunculan sebagai akibatnya (Nurgiyantoro, 2002:123).
11
Seksualitas
Lisa Tuttle, dalam bukunya Encyclopedia of Feminism, mengatakan bahwa
adanya kekaburan dalam bahasa Inggris dari kata seks. Seks yang berarti jenis
kelamin laki-laki atau perermpuan, dan seks yang bermakna seksualitas. Hal
tersebut menjadi perbincangan dan concern dari kalangan feminis karena
penindasan terhadap perempuan seringkali diekspresikan melalui kegiatan
seksualitas. Joanna Russ seorang aktivis feminis dari Amerika yang menggunakan
dua istilah untuk menggambarkan seksualitas yakni Perverts dan Puritans. Di satu
sisi kalangan Perverts merupakan radikal seks yang meyakini bahwa perempuan
pada dasarnya menderita karena adanya represif secara seksual. Di sisi lain
Puritans meyakini bahwa kebebasan seksual berlandasan pada budaya kita, pada
dasarnya hanya perpanjangan dari hak-hak istimewa pada laki-laki dan menjadi
bahaya bagi perempuan (Subono, 2013:137139).
Berbeda dengan pemahaman pada umumnya bahwa seksualitas bersifat
kekuatan alamiah yang sudah hadir sebelumnya dalam struktur masyarakat,
kalangan feminis melihatnya sebagaimana gender yang merupakan konstruksi
sosial. Meskipun banyak ketidaksepakatan antara feminis dalam soal seksualitas,
mereka memiliki hak kekuasaan untuk mendefinisikan dan memberi makna atas
seksualitas mereka sendiri, tidak lagi sebagaimana sebelumnya selalu dikonstruksi
oleh masyarakat (baca: laki-laki).
Jadi penulis berpendapat bahwa seksualitas atau kehidupan seks pada
masyarakat merupakan kebutuhan biologis dan ekspresi proseksual pada pasangan
heteroseksual maupun homoseksual, pasangan jamak maupun individu. Adapun
konstruksi seksual yang mengikat pada budaya merupakan suatu warna dalam
hidup, tidak perlu ditabrak atau berusaha untuk melupakan. Pada dasarnya
deskripsi tentang seksualitas dapat kita nilai masing-masing sesuai dengan
12
13
menjalani pubertas berusaha membuang mindset segala hal yang berbau seks
karena dianggapnya pemali.
Gayatri (2005:82) mengatakan dalam penelitiannya yang menampakkan
simbol-simbol seksualitas dalam candi di Indonesia. Ia menemukan gambaran
seksualitas masyarakat Jawa pada ukiran atau prasasti candi Sukuh dan eto dekat
kota Surakarta, diperkirakan dibangun antara tahun 9001000 M oleh raja
Brawijaya yang melarikan diri dari kerajaannya di Jawa Timur. Di candi Sukuh
jelas digambarkan lingga (penis) dan yoni (vagina). Di sana jelas digambarkan
bahwa posisi lingga di atas yoni yang menunjukkan posisi konservatif seksualitas
umumnya bahwa laki-laki di atas perempuan. Setelah ditelusuri lebih jauh
tampilan seksual seperti itu merupakan simbol kesuburan alat reproduksi. Simbol
tersebut sepadan dengan masyarakat Jawa yang memiliki mitos, misalnya dalam
keluarga petani di Jawa menyembah Dewi Sri , Sang Ibu tanaman padi atau
beras, sebagai Dewi Kesuburan. Kenyataannya masyarakat Jawa tidak
menyembah Dewi Sri atau Dewi Kesuburan tersebut, dalam konteks ini
manusiapetanilah yang diterjemahkan sebagai lelaki yang menebarkan benih
padi (sperma) kepada betina yaitu ladang atau sawah yang direpresentasikan pada
sosok Dewi Sri.
Kemudian terdapat jejak seksualitas yang terpatri dalam candi Budha yaitu
candi Borobudur. Pada candi Borobudur, Gayatri (2005:8384) menganggap
kegiatan seksual sebagai rekreasi, berbeda dengan candi yang bernafaskan Hindu
seperti candi Sukuh yang lebih prokreasi. Karena dalam hal ini ditemukan ukiran
yang memasukkan hubungan seksual sesama jenis. Pada fondasi dasar candi yang
dijuluki The Hidden Foot of Candi Borobudur (kaki candi Borobudur yang
hilang). Pada awalnya seorang pegawai pemerintahan kolonial Belanda
mengetahui bahwa candi Borobudur mempunyai dasar fondasi yang masih
tertutup tanah. Pada saat itu didapati bahwa sebagian besar dari ukir-ukiran yang
ada sangat sulit dikenali oleh arkeolog. Pada akhirnya demi untuk alasan teknis
menjaga bangunan maka The Hidden Foot tetap ditutup. Terdapat kisah mengenai
Karmawibhangga terukir di sana, kemudian the hidden foot dibuka kembali dan
menyisakan 4 meter untuk membuktikan adanya bagian tersebut pada sisi selatan
candi. Kemudian terdapat versi lain yang mempermasalahkan mengapa
14
15
16
bukanlah
semata-mata
persoalan
pemenuhan
hasrat
seksual
17
18
Etnologi
19
Antropologi merupakan satu-satunya ilmu yang menekankan dua sisi sifathakikat manusia sekaligus. Sisi sifat-hakikat manusia tersebut yaitu sisi biologis
(antropologi ragawi) dan kultural (antropologi budaya). Tujuan utama dalam
antropologi adalah menjelaskan kesamaan dan perbedaan budaya, pemeliharaan
budaya serta perubahan budaya dari masa ke masa (Endraswara, 2015:7277).
Etnologi merupakan salah satu cabang ilmu antropologi yang mempelajari
berbagai suku bangsa dan aspek kebudayaannya serta hubungan antara satu
bangsa dengan bangsa yang lain. Havilan (dalam Endraswara, 2005:1)
menyatakan bahwa etnologi merupakan cabang antropologi yang mempelajari
kebudayaan suatu etnis dan sudut pandang komparatif atau historis. Jadi etnologi
adalah ilmu tentang etnis (bangsa).
Haviland (dalam Endraswara, 2015:2) etnologi harus bersifat holistik
artinya perlu memahami budaya etnis yang luas sebagai dasar menghubungkan
keterkaitan unsur budaya. Etnologi mengkaji budaya secara komparatif dengan
tujuan agar memahami sejarah serta proses evolusi penyebaran kebudayaan
manusia di dunia. Jadi dalam pengkajian etnologi diperlukan bekal tentang
pengertian sejarah unsur-unsur budaya agar dapat didialektikakan secara
kompleks.
Etnologi bersifat membandingkan etnis secara positif. Bandingan budaya
harus didasari studi etnografi yang kuat karena keterkaitan etnologi dan etnografi
tidak dapat dipisahkan. Etnologi dan etnografi memiliki perbedaan kajian
walaupun sama-sama memiliki fokus kajian etnis. Etnologi lebih fokus pada
perbandingan budaya, sedangkan etnografi cenderung mendeskripsikan uraian
kebudayaan dan tidak bersifat membandingkan (Endraswara, 2015:2 4).
Etnologi sebuah studi budaya etnik yang kompleks. Etnologi memiliki dua
perspektif yaitu etnologi mikro dan etnologi makro. Etnologi mikro adalah suatu
kajian yang membandingkan makna budaya lokal misalnya budaya Jawa etnis
Yogyakarta
dengan
Solo.
Etnografi
makro
adalah
suatu
kajian
yang
membandingkan makna budaya etnis lokal dengan etnis lain misalnya etnis Jawa
dengan Tiongkok (Endraswara, 2015:56).
Menurut Endraswara (2015:89) penelitian etnologi bersifat deskriptif,
cenderung memaparkan apa adanya tentang suatu etnis. Aspek historis menjadi
20
hal penting dalam penelitian. Selain deskriptif, metode penelitian etnologi dapat
berupa:
A. Survai. Survai mencari keterangan faktual tentang kebudayaan melalui
wawancara dari sejumlah orang yang dianggap menguasai serta dapat
mewakili keseluruhan masyarakat. Deskriptif kesinambungan dapat
dilakukan dengan metode survai untuk mengetahui perkembangan budaya
dari satu periode ke periode selanjutnya.
B. Studi kasus. Studi kasus mempelajari kebudayaan masyarakat secara rinci.
Dalam kajian tersebut peneliti membuka wawasan seluas-luasnya agar
dapat mengkaitkan budaya dengan unsur lain seperti agama, ekonomi,
pariwisata, sejarah, bahkan dengan budaya lainnya.
1.5.4
Feminisme Radikal-Libertarian
Feminisme dalam pengertian luas adalah suatu gerakan kaum wanita untuk
menolak
segala
sesuatu
yang
memarginalkan,
mensubordinasikan,
dan
21
laki-laki.
keperempuanan
Perempuan
sebagai
sudah
kekuatan
yang
seharusnya
tidak
menjadikan
dimiliki
sifat-sifat
laki-laki
(Tong,
1998:7071).
Dalam analisis ini penulis lebih menitik beratkan pada kajian feminisme
radikal-libertarian dimana kajiannya sarat akan tema-tema yang diusung dalam
data novel NG. Tema besar dalam novel NG yang diceritakan bahwa seoarang
anak yang menjelang dewasa akan diangkat menjadi anak asuh gowok yang
nantinya juga diajarkan tentang tata cara memuaskan wanita dengan gambaran
erotis. Dengan cerminan tersebut dikuatkan dengan teori Firestone dalam (Tong,
98:78) dalam pandangannya terhadap feminisme radikal-libertarian.
Firestone (dalam Tong, 1998:103) menyetujui perkawinan antaranggota
keluarga karena hal ini kembali kepada kebahagiaan dengan segala jenis perilaku
seksual. Walaupun pengalaman seksual tersebut kepentingannya relatif, tetapi ia
mengategorikan inbreending (perkawinan antaranggota keluarga) menjadi vital
untuk keperluan hubungan seksual biologis. Ia berpedoman pada prokreasi
22
manusia yang dinamis bahkan sulit ditebak dan berwarna. Jadi bisa saja
kebebasan mausia untuk menyalurkan kebutuhan seksual baik berjenis kelamin
sama maupun berlawanan jenis kelamin, bahkan dengan anggota keluarganya
sekalipun. Ia mengeklaim bahwa laki-laki dan perempuan benar-benar bebas
melibatkan diri dalam hubungan seksual yang poliformus atau menyimpang, maka
tidaklah penting bagi laki-laki yang memamerkan kemaskulinannya dengan
identitasnya yang melambangkan kejantanan, ketegasan, ketangguhan dsb. Begitu
pula perempuan dengan perilaku kefemininannya. Karena pada dasarnya
manusia dibebaskan dari peran gender pada tingkat biologis. Jadi perempuan tidak
perlu lagi menjadi pasif, reseptif, dan rentan dalam mengirimkan tanda kepada
laki-laki untuk mendominasi, memiliki, dan memasuki tubuh mereka. Hal tersebut
dikarenakan untuk menjaga agar roda prokreasi manusia agar terus berputar.
Sebaliknya, laki-laki dan perempuan akan terus didorong untuk memadupadankan
sifat dan perilaku feminin dan maskulin dalam kombinasi apapun yang
diinginkan. Sebagai hasilnya tidak saja manusia yang mempunyai sifat androgin
bahkan semua budaya di dunia akan menjadi androgin pula.
Feminis radikal-libertarian menafsirkan bahwa Koedt yang memberikan
alasan kuat bagi perempuan untuk hanya melibatkan diri di dalam apa yang
disebut sebagai heteroseksualitas yang bukan merupakan keharusan. Bahwa
perempuan tidak membutuhkan tubuh laki-laki untuk mencapai kenikmatan
seksual. Perempuan tidak seharusnya terlibat di dalam hubungan seksual dengan
seorang laki-laki, kecuali jika ia menginginkannya. Kecenderungan atau paradigm
seksualitas tersebut dapat dikategorikan dalam lesbianism, karena kecenderungan
kegiatan seksualitas mereka (perempuan) yang dikendalikan oleh dirinya sendiri
(Tong, 1998:103).
Pandangan reproduksi perempuan kaum feminis radikal-libertarian
menyetujui pendapat Firestone dalam karyanya The Dialectic of Sex. Firestone
berpendapat bahwa tidak ada perubahan fundamental bagi perempuan walaupun
banyaknya kesetaraan pendidikan, hukum, politik yang dicapai oleh seorang
perempuan, selama kemenangan tersebut masih dibungkus oleh masalah
reproduksi alamiah tetap menjadi keharusan, sementara reproduksi buatan atau
reproduksi yang dibantu merupakan pengecualian. Reproduksi alamiah bukanlah
23
ibu
yang
melahirkan
(perempuan
yang
pelayanan
genetasinya
dikontrakkan) dapat merupakan ibu biologis penuh dari anak yang dikandungnya
(baik secara genetik dan genetasi) tetapi bukan ibu genetik dari sang bayi, dalam
hal tersebut melibatkan pihak ketiga. Feminis radikal-libertarian berargumentasi
bahwa ibu pinjaman, jika ditangani secara benar, dapat mendekatkan perempuan
satu sama lain dan bukannya menjauhkan satu sama lain. Feminis radikallibertarian menunjukkan bahwa ibu pinjaman dari pasangan yang mengontraknya
idup dengan secara dekat satu sama lain, sehingga semua dapat berbagi dalam
pengasuhan anak, yang mereka hasilkan secara berkolaborasi. Menurut feminis
radikal-libertarian, selama perempuan mengendalikan pengaturan reproduksi
kolaboratif, ibu sewaan lebih potensial untuk meningkatkan kebebasan reproduksi
daripada menurunkannya (Tong, 1998:128-129).
1.6
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan diskriptif kualitatif
yaitu suatu penelitian mendalam yang dikuatkan oleh teori-teori kesusastraan yang
dikemas dengan gaya bahasa penulis. Dalam menganalisis teori ini, penulis
menggunakan kajian pustaka dengan mengumpulkan data-data yang berkaitan
dengan novel NG baik dalam wujud cetak maupun elektronik. Penulis dapat
melihat artikel-artikel ilmiah yang berkaitan dengan objek penelitian yang sudah
dipublikasikan sebelumnya, agar penelitian ini lebih bermanfaat dan teruji
24
keasliannya. Penggunaan data pada penelitian ini untuk mencari referensi dan
teori-teori yang dapat memudahkan penulis dalam menganalisis objek. Artikelartikel yang sudah terbit sebelumnya juga dapat dijadikan sebagai pedoman
resepsi baik sinkronis maupun diakronis jika diperlukan dalam penelitian.
Dalam pendekatan ini penulis tidak menemukan objek novel NG karya
Budi Sardjono dalam bentuk skripsi maupun artikel ilmiah lainnya yang sudah
diterbitkan. Penulis menemukan enam artikel elektronik yang hampir keseluruhan
berupa analisis kritik sastra pada objek tersebut, maka novel NG diputuskan untuk
menjadi objek penelitian.
Penulis menganalisis feminisme radikal-libertarian dengan langkahlangkah sebagai berikut.
a. Menentukan teks yang dipakai sebagai objek.
b. Mengarahkan fokus teks analisis, yang mencakup struktur teks, eksistensi
dan peran tokoh perempuan sebagai individu, anggota keluarga, dan
anggota masyarakat, serta pandangan dan perlakuan dunia di sekitar tokoh
perempuan.
c. Mengumpulkan data-data dari sumber kepustakaan yang terdapat kaitan
dengan objek analisis. Data tersebut dapat berupa karya fiksi maupun
nonfiksi;
d. Menganalisis yang menjadi objek dengan analisis struktural dan kritik
sastra feminis.
1.7
Sistematika Penulisan
Sistematika laporan penelitian untuk skripsi ini menggunakan langkah-
pendahuluan
yang
meliputi:
latar
belakang,
25
Bab III menyajikan analisis struktural yang meliputi tema, tokoh dan
perwatakan, latar, dan konflik.
Bab IV menyajikan paparan tentang dialektika
seksualitas untuk