Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Seksualitas berasal dari kata dasar seks, kata serapan dari bahasa Inggris

yaitu sex. Seks adalah suatu mekanisme untuk keberlangsungan evolusi manusia.
Seks juga merupakan hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki yang
berhubungan khusus yang bersifat erotis yaitu relasi seksual. Mekanisme di atas
berjalan dengan relasi hetero-seksual yaitu hubungan antara laki-laki dan
perempuan. Laki-laki dan perempuan mempunyai kebutuhan seks yang sama.
Terdapat perbedaan esensial antara laki-laki dan perempuan adalah: laki-laki lebih
besar nafsu seksnya sedangkan perempuan lebih besar pada tenaga seksnya
(greater sexual capacity). Pernyataan di atas terbukti dalam kasus profesi gigolo
(pekerja seks laki-laki) maupun pelacur (pekerja seks perempuan), gigolo hanya
mampu melayani tiga hingga lima perempuan, sedangkan perempuan mampu
melayani 25150 laki-laki dalam 24 jam (Kartono, 2007:3543). Pernyataan
memberikan bukti bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan kelebihan dan
kekurangan masing-masing agar manusia dapat saling melengkapi. Seksualitas
perempuan lebih dominan yang menjadikan kelebihan dari kodrat sebagai
perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Seks adalah kebutuhan biologis bagi semua orang, namun di Jawa tidak
secara vulgar dalam penggambaran tentang seksualitas. Budaya Jawa lebih
mengedepankan etika, tindak tutur, prinsip kerukunan, keselarasan, agama dan
berpegang teguh pada budaya Kejawen-nya, di sisi lain kebrutalan, penyimpangan
seksual,

bahkan

seksualitas

hanya

digambarkan

samar-samar

dalam

penyampaiannya yang sangat halus dan mengandung ambiguitas. Pengarang Budi


Sardjono menggambarkan budaya seksualitas Jawa sangat bagus bahkan dalam
novel Nyai Gowok (NG) fenomena seksualitas sangat dominan dan hidup di
tengah-tengah budaya Jawa yang ketimuran. Pengarang juga menggambarkan
sejarah pergowokan berkembang dan hidup di Jawa. Gowok merupakan semacam
guru seksualitas yang mengajarkan pada anak didiknya tentang etika seks,

seksual, dan seksualitas dengan tujuan agar kelak anak didiknya dapat
membahagiakan istrinya secara lahir dan batin. Tugas gowok juga memberi
contoh pada anak didiknya teknik persenggamaan (kamasutra) secara langsung
bahkan dengan memberikan tubuhnya sendiri sebagai objek.
Semua mahluk di seluruh dunia adalah sama derajatnya di mata Tuhan.
Tuhan hanya memberikan sedikit perbedaan fisik dan peran agar sesama manusia
dapat saling melengkapi akan tetapi sistem sosial yang menghendaki perspektif
patriarki muncul di dalamnya. Perspektif patriarkal membuat salah satu pihak
menjadi korban konstruksi sosial yang kurang memihak. Korban konstruksi sosial
tersebut terjadi pada perbedaan gender. Perspektif patriarkal muncul karena
adanya ketidak-seimbangan peran gender dalam masyarakat sosial sehingga
terdapat salah satu pihak yang sangat dominan. Dalam hal tersebut perempuan
menjadi korban sedangkan laki-laki sangat dominan. Ratna (2005:414)
mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan gender yaitu male dan female secara
etimologis perbedaan tersebut tampak pada fisik dan biologis, sedangkan
masculine dan feminine yang mengacu pada aspek psikologis dan kultural.
Dalam teori-teori sosiologi kontemporer, feminis merupakan gerakan yang
banyak diserukan di seluruh dunia yang membuat feminisme sebagai isu sosial
yang masih banyak di-perdebatkan di seluruh dunia. Sistem perbedaan gender
dibuat manusia dan diterapkan dalam kehidupan sosial. Menurut Ratna
(2005:416) perspektif patriarki yang berada dalam sistem sosial hingga
melemahkan peran kaum perempuan, sebenarnya merupakan hal yang salah
dalam sistem tersebut. Kaum perempuan dibedakan oleh kebudayaan bukan oleh
hakekat. Perbedaan dalam sistem kebudayaan tersebut tampak jelas dengan
penggunaan bahasa, seperti he (laki-laki sebagai sentral), she (perempuan sebagai
marginal).
Secara historis kritik feminis muncul dalam sejarah sastra Barat pada abad
ke19 tepat secara luas dikenal pada tahun 1960an. Hal tersebut terjadi karena
adanya ketidak-seimbangan peran laki-laki dan perempuan dalam pengaplikasian
karya lukisan sastra. Peran laki-laki (androcentric) lebih dominan dibandingkan
peran perempuan (gynocentric). Di Indonesia isu feminisme mulai diperhatikan
sejak Repelita III, dengan pengangkatan Menteri Urusan Peranan Perempuan.

Jumlah perempuan ketika itu mulai sebanding dengan jumlah penduduk laki-laki.
Dalam sejarah sastra Indonesia, feminisme sudah dipermasalahkan sejak tahun
1920an, yaitu melalui novel-novel Balai Pustaka, dengan mengemukakan
masalah-masalah kawin paksa, yang kemudian dilanjutkan pada periode 1930an
melalui novel Layar Terkembang karya Sultan Takdir Alisjahbana (Ratna,
2005:417).
Kritik feminis akan selalu berpengaruh selama karya sastra yang
bermunculan masih mengangkat isu-isu kesetaraan gender, sementara hingga saat
ini isu tersebut masih dipermasalahkan dalam kehidupan sosial. Penulis
menggunakan analisis feminisme radikal-libertarian dengan objek novel NG karya
Budi Sardjono. Novel tersebut sangat kental dengan unsur peran perempuan yang
terikat dengan kebudayaan. Penulis memilih novel NG karena tergolong novel
terbitan baru pada tahun 2014 pada cetakan pertama.
1.2

Permasalahan
Pada tahun 1949 pelopor paham feminis Simone de Beauvoir menerbitkan

bukunya tentang the second sex. Ia fokus pada studi tentang penindasan
perempuan dan konstruksi feminitas oleh para laki-laki; bagaimana perempuan
dapat dilihat oleh mata laki-laki. Beauvoir fokus pada fakta dan gambaran mitos
psikologi,

sejarah

dan

biologi.

Hasilnya

mitos-mitos

buatan

manusia

menempatkan perempuan sebagai objek pasif, perempuan diciptakan berbeda


dengan laki-laki. Menurut Beauvoir perbedaan fisik antara laki-laki dengan
perempuan mempunyai arti hanya dari persetujuan masyarakat hingga
karakteristik biologis dapat dijelaskan, tetapi penjelasannya tidak pernah tepat
(Suharto dan Sugihastuti, 2005:12).
Dalam contoh kasus di atas permasalahan yang ditemukan pada novel NG
hampir memiliki persepsi sama di masyarakat yang menganggap perempuan
(gowok) merupakan alat untuk bahan percobaan dengan dalih ketetapan kultur.
Perempuan digambarkan oleh pengarang sebagai profesional dalam bidang
gowok. Pengarang berhasil memaparkan sisi eksploitasi perempuan dan ekspresi
perempuan secara berimbang. Novel NG murni digambarkan oleh pengarang sisi

lain dari perempuan Jawa yang terikat oleh budaya gowok, eksploitasi, ekspresi,
seks, nafsu, cinta, dan profesionalitas dalam pribadi perempuan.
Berdasarkan paparan di atas permasalahan dalam novel NG disusun
sebagai berikut.
1. Bagaimana keterjalinan unsur-unsur yang meliputi: tema, tokoh,
perwatakan, konflik, dan latar dalam memperoleh makna secara
struktural?
2. Bagaimana dialektika seksualitas yang terdapat dalam novel NG?
3. Bagaimana proses migrasi budaya gowok yang berkembang hingga ke
Jawa?
4. Bagaimana representasi gowok dalam novel NG dalam kajian feminisme
radikal-libertarian?
1.3

Tujuan
Adapun tujuan dalam penelitian ilmiah ini untuk mengetahui aspek-aspek

ekspresi tokoh gowok dalam novel NG karya Budi Sardjono. Penulis fokus pada
persoalan keperempuanan dari segi budaya, sejarah, agama, perspektif, dan
profesionalisme. Dari permasalahan di atas penulis mengambil tujuan penelitian
sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan keterjalinan unsur-unsur yang meliputi: tema, tokoh,
perwatakan, konflik, dan latar dalam memperoleh makna secara struktural.
2. Mendeskripsikan dialektika seksualitas yang terdapat dalam novel NG.
3. Memaparkan proses migrasi budaya gowok.
4. Merepresentasikan gowok dalam kajian feminisme radikal-libertarian.

1.4

Tinjauan Pustaka
Dari tinjauan pustaka yang penulis hanya menemukan artikel-artikel

tentang kritik sastra yang membahas novel NG yang diunggah di internet. Dari
sumber Google penulis hanya menemukan lima artikel yang terdiri atas kritik
sastra, struktural, dan sinopsis. Penulis tidak menemukan novel NG yang diteliti
dan dijadikan skripsi.
Kritikan pertama yaitu Dion Yulianto asal Yogyakarta. Ia menulis kritikan
sastra dan diunggah di blognya pada tanggal 26 Mei 2014. Dalam artikelnya
berjudul Nyai Gowok ia memaparkan sinopsis novel NG dengan singkat namun

sudah dapat merefleksikan novel secara padat. Ia menggunakan kutipan langsung


dan kutipan tidak langsung dengan gaya bahasa anak muda. Dalam kritikannya ia
mengkritisi penggunaaan diksi hihihi dan hehehe pada novel NG yang
menurutnya kurang merepresentasikan tokoh Nyai Lindri yang elegan dan sosok
intelektual. http://dionyulianto.blogspot.com/2014/05/nyai-gowok.html [26 Mei
2014].
Artikel kedua dari Misni Parjiati, seorang editor yang bekerja di Diva
Perss. Ia menulis review novel NG di blognya yang berjudul Review Nyai
Gowok yang di posting 23 Juni 2014. Dalam artikelnya ia memaparkan sedikit
sinopsis, unsur intrinsik, dan kritik. Misni lebih menekankan pada kritikan novel
NG yang menurutnya penggunaan diksi yang terlalu modern seperti kelinci
percobaan yang menurutnya tidak merefleksikan bahasa yang digunakan setting
novel tahun 1950an. Ia juga menambahkan kelebihan dari novel NG yang
menarik jika dikaji dari segi feminisme dan sosial budaya. https://misniparjiati.
wordpress.com/ 2014/06/23/review-nyai-gowok/ [23 Juni 2014].
Artikel selanjutnya dari Nikodemus Yudho Sulistyo, seorang dosen Bahasa
Inggris. Dalam artikelnya yang dimuat di blog pribadinya 22 Juli 2014 lalu,
Nikodemus lebih menitikberatkan pada kritik sastra dan kajian resepsi novel NG.
Ia cermat dalam mengkritisi keseluruhan novel mulai dari persentasi segi fisik
novel, unsur intrinsik, sampai pada hal filosofisnya. Nikodemus juga berhasil
membandingkan novel NG dengan perbandingan karya secara singkronis (novel
Memoirs of a Geisha), dan perbandingan secara diakronik (dengan kitab
Kamasutra yang ditulis oleh Vatsyayana) secara kritis. Artikel yang berjudul
Nyai Gowok, Sebuah Novel yang Menggangu berhasil menjadi kritik sastra
yang ilmiah dengan menggunakan bahasa ilmiah popular. https://nikodemusoul.
wordpress.com/2014/07/22/nyai-gowok-sebuah-novel-yang-mengganggu/ [22 Juli
2014].
Artikel ke empat ditulis oleh Okta dalam blog octacintabuku.
wordpress.com. Dalam blognya penulis artikel tidak mencantumkan biodata
secara lengkap, namun artikel yang dimuat sarat akan kritik sastra. Ia juga
memaparkan sinopsis dan kekurangan serta kelebihan novel NG secara subjektif.

https://octacintabuku.wordpress.com/2014/09/28/nyai-gowok/

[28

September

2014].
Adhitya Yoga Pratama juga menuliskan artikel tentang novel NG dengan
judul Nyai Gowok dan Tradisi Seksualitas Jawa yang diunggah pada 19
Desember 2014 lalu. Dalam artikelnya ia lebih menitik-beratkan pada struktur
seks yang terdapat dalam novel NG. Adhitya hanya memaparkan proses
persenggamaan ala Jawa yang diadopsi dari novel NG tanpa menambahkan unsurunsur

ekstrinsiknya.

http://adhityache.blogspot.com/2014/12/nyai-gowok-dan-

tradisi-seksualitas-jawa.html [19 Desember 2014].


Artikel terakhir dari Ken Hanggara pria asal Surabaya yang menulis artikel
tentang novel NG di blog pribadinya dengan judul Review Buku: Ketabuan di
Tengah Penjunjungan Tata Krama 2 Maret 2015 lalu. Dalam artikelnya, Ken
kurang memberikan alasan kuat dalam kritik sastra pada novel NG. Isi yang
terdapat dalam artikel dengan judul juga kurang sinkron. http://kenhanggara.
blogspot.com/2015/03/review-buku-ketabuan-di-tengah.html [2 Maret 2015].
Dari keenam artikel yang penulis temukan, belum ada pembaca yang
mengkaji novel NG menjadi skripsi. Jika ditinjau lebih lanjut artikel milik
Nikodemus sangat berpotensi menjadi skripsi. Penulis berargumen bahwa
Nikodemus berwawasan luas hingga mengetahui keterkaitan data yang sama
dengan novel NG secara umum untuk dikaji resepsi sastra.
Masih banyak isu-isu lain dalam novel NG yang dapat diteliti secara
ilmiah. Tidak adanya karya ilmiah atau skripsi yang mengangkat novel NG secara
absolut karena novel tersebut masih tergolong terbitan baru. Dalam hal ini penulis
tertarik mengambil tema tentang seksualitas yang dikaji dalam perspektif
feminisme radikal-libertarian. Banyaknya kasus akibat konstruksi sosial yang
merugikan perempuan telah mengubah paradigma penulis untuk tergerak
mengkaji permasalahan lebih dalam. Peran perempuan masih dianggap marginal
dalam masyarakat, namun diciptakan secara kodrati yang memiliki kekuatan seks
yang dominan dibandingkan dengan laki-laki, kontradiksi tersebut adalah
persoalan yang menarik bagi penulis untuk dikaji lebih dalam.

1.5

Landasan Teori
Penulis melakukan penelitian berdasarkan dengan teori-teori kesusastraan

yang bonafide. Penulis menjelaskan tentang keterkaitan antarunsur dalam novel


NG yang meliputi tema, tokoh dan perwatakan, konflik, dan latar dalam penelitian
ini. Penulis juga menjelaskan tentang seksualitas dalam kajian feminisme radikallibertarian dalam penelitian ini. Landasan teori yang dapat dijadikan sumber acuan
dalam pembahasan seksualitas dalam kajian feminisme radikal-libertarian novel
NG karya Budi Sardjono, meliputi: teori struktural, teori seksualitas dan
feminisme radikal-libertarian.
1.5.1

Teori Struktural
Pendekatan struktural adalah langkah awal untuk melakukan pengkajian

fiksi. Menurut Nurgiyantoro (2002:36) unsur-unsur karya sastra (intrinsik)


sebaiknya akan saling membangun dan mempengaruhi walaupun setiap unsur satu
dengan yang lain berbeda. Untuk menyatukan setiap unsur pada karya sastra yaitu
menggunakan pendekatan struktural karena dapat menggabungkan hubungan
antarunsur dalam karya sastra. Dalam penelitian ini penulis membahas unsurunsur struktur novel NG sebagai berikut.

A. Tema
Tema adalah makna pokok sebuah karya fiksi. Makna tema bersifat
implisit, maka dari itu pengambilan tema harus disimpulkan ketika karya fiksi
tersebut tuntas dibaca. Karena keberadaan tema terimplisit maka terkadang tema
dapat ditemukan dalam pemahaman cerita secara keseluruhan, ada pula yang
terkandung dalam kalimat-kalimat percakapan yang mengandung tema pokok
dengan makna yang kuat (Nurgiyantoro, 2002:6869).
Nurgiantoro (2002:7779) menggolongkan tema yaitu tema tradisional
dan nontradisional. Tema tradisional adalah tema yang merujuk pada tema klise
atau itu-itu saja maksudnya adalah tema-tema yang berbunyi: kebenaran dan
keadilan mengalahkan kejahatan, sahabat sejati adalah seseorang yang mau
menemani kita dikala suka maupun duka, setelah menderita, seseorang baru

mengingat Tuhan, dsb. Tema tersebut lebih disukai pembaca karena pada dasarnya
setiap orang cinta pada kebenaran dan membenci sesuatu yang sebaliknya. Tema
jenis ini ternyata bersifat universal. Hal tersebut terjadi pada karya fiksi di manca
Negara dan bertahan dari masa ke masa. Terdapat pula tema nontradisional yaitu
tema-tema yang mungkin tidak sesuai harapan pembaca. Tema tersebut
mengangkat cerita tentang kemenangan pihak antagonis. Sebagai contoh misalnya
koruptor kelas kakap yang berhasil bebas dari hukuman.
Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2002:87) menunjukkan kriteria yang dapat
memberikan acuan dalam menemukan tema. Pertama memperhatikan tiap detail
cerita yang menonjol. Pengarang mempertegas tema secara tersirat pada cerita
yang menonjol baik melalui kalimat dialog antartokoh atau konflik utama.
Kedua dalam penafsiran tema hendaklah didukung dengan data-data kuat baik
secara tertulis atau berupa penafsiran terhadap kata-kata yang mengandung
simbol-simbol yang menguatkan.
B. Penokohan dan Perwatakan
Tokoh dan watak dalam karya fiksi tidak dapat dipisahkan. Keduanya
menjadi satu dan saling menyempurnakan untuk membangun sebuah kepribadian
tokoh. Nurgiantoro (2002:167168) memaparkan bahwa keberadaan tokoh
merupakan posisi strategis untuk menentukan amanat, moral, penyampaian pesan,
atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Nurgiyantoro
berpendapat bahwa keberadaan tokoh dapat juga ditampilkan oleh pengarang
seperti robot yang selalu tunduk oleh pengarang. Dalam hal tersebut keberadaan
tokoh hanya sebagai alat penyampaian sesuatu kepada pembaca walaupun tidak
dengan menampilkan kepribadian utuhnya.
Dalam realitas kehidupan memang perlu dipertimbangkan perbedaan
tokoh cerita fiksi dengan tokoh kehidupan nyata. Tokoh dalam kehidupan nyata
memiliki kebebasan yang tidak terbatas, sedangkan tokoh fiksi hanya memiliki
kebebasan dalam cerita tersebut. Perbedaan inilah yang membatasi dan
membedakan tokoh cerita fiksi dengan tokoh di kehidupan nyata (Kenny dalam
Nurgiyantoro 2002:169)
Nurgiyantoro (2002:169) membedakan tokoh rekaan dan tokoh nyata
dalam karya fiksi sebagai suatu aspek yang penting yang nantinya penulis dapat

membedakan tokoh rekaan dan tokoh nyata. Ia membedakan tokoh nyata yaitu
tokoh yang terlibat aktif dalam alur cerita. Tokoh nyata digambarkan sebagai
sosok manusia yang memiliki kepribadian tertentu, berperan dan berinteraksi aktif
dengan tokoh lain hingga membangun alur cerita. Sedangkan tokoh rekaan
digambarkan sebagai tokoh yang pasif yang kehadirannya hanya sebagai robot
bagi pengarang untuk menyampaikan sesuatu pada pembaca. Tokoh rekaan tidak
selalu berupa sosok manusia, namun juga dapat menjadi dewa atau dewi, nenek
moyang, tokoh tokoh sejarah dll.
Nurgiantoro (2002:176194) mempunyai teori dalam membedakan tokoh
dengan kategori sebagai berikut.
1. Tokoh utama dan tokoh tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang paling sering diceritakan. Tokoh tersebut
menjadi tokoh sentral di mana dalam penggambarannya sangat diutamakan dari
awal hingga akhir cerita. Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh dengan peran
pasif yang sifatnya melengkapi karakter tokoh utama yang diceritakan.
2. Tokoh protagonis dan tokoh antagonis
Tokoh protagonis (tokoh hero) adalah tokoh yang menimbulkan
kekaguman bagi pembaca dengan karakter-karakter kepahlawanannya. Tokoh
tersebut menampilkan sesuatu sesuai pandangan atau harapan pembaca.
Sedangkan tokoh antagonis merupakan tokoh kebalikan dari tokoh protagonis.
Tokoh antagonis selalu menampilkan sisi kontra dari pembaca, kebanyakan ia di
identikkan dengan tokoh jahat yang ingin menghancurkan misi tokoh protagonis.
3. Tokoh sederhana dan tokoh bulat
Tokoh sederhana adalah tokoh yang mempunyai watak tertentu yang
memiliki sifat dan tingkah laku yang memiliki naluri kemanusiaan yang normal
pada umumnya. Tokoh tersebut mudah dikenali oleh pembaca karena bersifat
familiar, sudah biasa atau yang stereotip. Tokoh bulat memiliki sifat yang
mengejutkan bagi pembaca. Biasanya tokoh tersebut bertentangan dengan naluri
manusia dan tidak terduga.
4. Tokoh statis dan tokoh berkembang
Tokoh statis secara esensial tidak memiliki perubahan karakter walaupun
berbagai peristiwa yang terjadi. Tokoh tersebut memiliki sifat dan watak yang
relatif tetap di awal hingga akhir cerita. Sedangkan tokoh berkembang adalah

10

tokoh dengan watak yang berkembang seiring berjalannya cerita dengan berbagai
peristiwa yang ada.
5. Tokoh tipikal dan tokoh netral
Tokoh tipikal merupakan tokoh yang sering menggambarkan keadaan
inividualitasnya, dalam artian ia menonjolkan sisi jati dirinya misalnya
kebangsaannya, suku, sikap profesionalitas pekerjaan dan sebagainya. Tokoh
netral adalah tokoh yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar
tokoh imajiner yang hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi.
C. Latar
Kehadiran latar dalam cerita fiksi bersifat esensial. Dengan penggambaran
latar yang tepat, pembaca dapat terbawa dengan situasi dan kondisi tertentu yang
digambarkan pada cerita fiksi. Gambaran latar yang kompleks juga dapat
menjadikan pembaca terpesona pada cerita fiksi, hal tersebut terjadi lantaran latar
belakang dan pengalaman pembaca hingga pembaca dapat hanyut dalam alur
cerita (Nurgiyantoro, 2002:217).
Nurgiyantoro (2002:218240) membedakan latar menjadi dua yaitu.
1. Latar fisik yang mencakup:
a. Latar tempat yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam cerita fiksi.
b. Latar waktu yaitu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
c. Latar sosial yaitu menjurus pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi.
d. Anakronisme yaitu menunjuk pada suatu pengertian lang lebih luas
(waktu) yaitu pada sesuatu yang tidak masuk akal.
2. Latar spiritual adalah latar yang berhubungan dengan magis, religi,
atau budaya yang kental. Kehadiran latar spriritual bersamaan dengan
latar fisik, namun latar spiritual lebih menunjukkan identitas tempat
yang diceritakan pada cerita fiksi.
D. Konflik
Dalam KBBI konflik yaitu pertentangan atau percekcokan. Pada
hakekatnya konflik merupakan peristiwa. Dengan adanya konflik peristiwaperistiwa lain bermunculan sebagai akibatnya (Nurgiyantoro, 2002:123).

11

Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2002:124) membagi konflik sebagai berikut.


1. Konflik eksternal yaitu konflik yang terjadi pada tokoh dengan
lingkungan luar (lingkungan alam atau lingkungan manusia).
2. Konflik internal yaitu konflik yang terjadi pada tokoh dengan
pergulatan batinnya sendiri. Hal tersebut memungkinkan terjadinya
pertentangan dua keinginan pada tokoh.
1.5.2

Seksualitas
Lisa Tuttle, dalam bukunya Encyclopedia of Feminism, mengatakan bahwa

adanya kekaburan dalam bahasa Inggris dari kata seks. Seks yang berarti jenis
kelamin laki-laki atau perermpuan, dan seks yang bermakna seksualitas. Hal
tersebut menjadi perbincangan dan concern dari kalangan feminis karena
penindasan terhadap perempuan seringkali diekspresikan melalui kegiatan
seksualitas. Joanna Russ seorang aktivis feminis dari Amerika yang menggunakan
dua istilah untuk menggambarkan seksualitas yakni Perverts dan Puritans. Di satu
sisi kalangan Perverts merupakan radikal seks yang meyakini bahwa perempuan
pada dasarnya menderita karena adanya represif secara seksual. Di sisi lain
Puritans meyakini bahwa kebebasan seksual berlandasan pada budaya kita, pada
dasarnya hanya perpanjangan dari hak-hak istimewa pada laki-laki dan menjadi
bahaya bagi perempuan (Subono, 2013:137139).
Berbeda dengan pemahaman pada umumnya bahwa seksualitas bersifat
kekuatan alamiah yang sudah hadir sebelumnya dalam struktur masyarakat,
kalangan feminis melihatnya sebagaimana gender yang merupakan konstruksi
sosial. Meskipun banyak ketidaksepakatan antara feminis dalam soal seksualitas,
mereka memiliki hak kekuasaan untuk mendefinisikan dan memberi makna atas
seksualitas mereka sendiri, tidak lagi sebagaimana sebelumnya selalu dikonstruksi
oleh masyarakat (baca: laki-laki).
Jadi penulis berpendapat bahwa seksualitas atau kehidupan seks pada
masyarakat merupakan kebutuhan biologis dan ekspresi proseksual pada pasangan
heteroseksual maupun homoseksual, pasangan jamak maupun individu. Adapun
konstruksi seksual yang mengikat pada budaya merupakan suatu warna dalam
hidup, tidak perlu ditabrak atau berusaha untuk melupakan. Pada dasarnya
deskripsi tentang seksualitas dapat kita nilai masing-masing sesuai dengan

12

pengalaman, ilmu dan ranah budaya yang membiaskan masalah-masalah seksual


di dalamnya.
Dalam penelitian ini penulis mencoba mendeskripsikan ide-ide, motif,
kehendak, dan orientasi tentang seksualitas pada novel NG karya Budi Sardjono.
Sebuah dunia gowok yang sarat dengan hal-hal yang berbau seks dan erotisme,
yang hidup di tengah-tengah budaya Jawa yang menjunjung tinggi etika. Dalam
langkah penelitian ini akan dipaparkan bagaimana sejarah dan latar belakang atau
motif. Pemaparannya tersebut yaitu. (1) Citra seksualitas perempuan Jawa:
representasi dari candi, mitologi dan wayang. (2) Hasrat subjektivitas seksual
perempuan.
A. Citra Seksualitas Perempuan Jawa: Representasi dari Candi, Mitologi dan
Wayang
Dalam penelitian ini penulis akan mendeskripsikan ekspresi seksualitas
dalam novel NG yang syarat akan prokreatif dalam bidang erotisme yang dikemas
dalam budaya marginal Jawa. Sebelumnya penulis akan memaparkan latar
belakang perempuan dalam budaya Jawa dilihat dari sudut pandang seksualitas
dari representasi candi, mitologi dan wayang. Sejak diadakannya Konverensi
Internasional untuk Kajian Seksualitas Perempuan tahun 1982, kajian tersebut
berhasil menonjolkan sisi analisis yang kuat dalam menampilkan seksualitas
sebagai salah satu bidang studi baru dalam ilmu sosial, dalam hal ini seksualitas
perempuan. Faktanya masyarakat Indonesia khususnya budaya Jawa masih
menganggap seksual dan seksualitas adalah tabu (Gayatri, 2005:81; dan MagnisSuseno 2003:177178). Di Indonesia kajian seksualitas masih didominasi dunia
kedokteran, kebidanan maupun psikiatri. Kebanyakan bidang tersebut dipakai
untuk pemahaman tentang penyimpangan kegiatan seksual. Faktanya urusan seks,
seksual, dan seksualitas dalam kajian seksualitas seharusnya tidak mengenal
istilah benar dan salah, atau menyimpang dan normal. Dalam mayoritas
masyarakat Jawa hubungan seksual pada pasangan suami istri bersifat sangat
rahasia. Perbincangan tentang seksual terhadap anak-anak sangat tabu dalam topik
pembicaraan. Hal tersebut terjadi karena orang tua mereka sangat tertutup tentang
pendidikan seksual terhadap putra-putrinya, hingga anak-anak yang baru

13

menjalani pubertas berusaha membuang mindset segala hal yang berbau seks
karena dianggapnya pemali.
Gayatri (2005:82) mengatakan dalam penelitiannya yang menampakkan
simbol-simbol seksualitas dalam candi di Indonesia. Ia menemukan gambaran
seksualitas masyarakat Jawa pada ukiran atau prasasti candi Sukuh dan eto dekat
kota Surakarta, diperkirakan dibangun antara tahun 9001000 M oleh raja
Brawijaya yang melarikan diri dari kerajaannya di Jawa Timur. Di candi Sukuh
jelas digambarkan lingga (penis) dan yoni (vagina). Di sana jelas digambarkan
bahwa posisi lingga di atas yoni yang menunjukkan posisi konservatif seksualitas
umumnya bahwa laki-laki di atas perempuan. Setelah ditelusuri lebih jauh
tampilan seksual seperti itu merupakan simbol kesuburan alat reproduksi. Simbol
tersebut sepadan dengan masyarakat Jawa yang memiliki mitos, misalnya dalam
keluarga petani di Jawa menyembah Dewi Sri , Sang Ibu tanaman padi atau
beras, sebagai Dewi Kesuburan. Kenyataannya masyarakat Jawa tidak
menyembah Dewi Sri atau Dewi Kesuburan tersebut, dalam konteks ini
manusiapetanilah yang diterjemahkan sebagai lelaki yang menebarkan benih
padi (sperma) kepada betina yaitu ladang atau sawah yang direpresentasikan pada
sosok Dewi Sri.
Kemudian terdapat jejak seksualitas yang terpatri dalam candi Budha yaitu
candi Borobudur. Pada candi Borobudur, Gayatri (2005:8384) menganggap
kegiatan seksual sebagai rekreasi, berbeda dengan candi yang bernafaskan Hindu
seperti candi Sukuh yang lebih prokreasi. Karena dalam hal ini ditemukan ukiran
yang memasukkan hubungan seksual sesama jenis. Pada fondasi dasar candi yang
dijuluki The Hidden Foot of Candi Borobudur (kaki candi Borobudur yang
hilang). Pada awalnya seorang pegawai pemerintahan kolonial Belanda
mengetahui bahwa candi Borobudur mempunyai dasar fondasi yang masih
tertutup tanah. Pada saat itu didapati bahwa sebagian besar dari ukir-ukiran yang
ada sangat sulit dikenali oleh arkeolog. Pada akhirnya demi untuk alasan teknis
menjaga bangunan maka The Hidden Foot tetap ditutup. Terdapat kisah mengenai
Karmawibhangga terukir di sana, kemudian the hidden foot dibuka kembali dan
menyisakan 4 meter untuk membuktikan adanya bagian tersebut pada sisi selatan
candi. Kemudian terdapat versi lain yang mempermasalahkan mengapa

14

Karmawibhangga di tutup, karena dalam bagian ini berisi ukiran yang


menggambarkan hal-hal jahat dari manusia sehingga kurang layak untuk
ditampilakan. Akibat pendapat tersebut Karmawibhangga menjadi kontroversial.
Karmawibhangga ditutup dengan alasan bahwa setiap tingkat candi Borobudur
adalah cerita atau falsafah tentang perjalanan hidup manusia dari bawah hingga
puncaknya. Tingkat bawah diartikan sebagai perjalanan manusia yang dikandung,
lahir dan dibesarkan, atau dilihat bahwa manusia pada awalnya kurang sadar
hidup ini untuk apa hingga makin ke atas manusia meningkatkan spiritualitasnya
untuk meninggalkan kecenderungan buruk manusiawi-nya, dan yang tertinggi
menjadi manusia suci dan moksa. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa
tingkat paling bawah yaitu di kaki candi Borobudur adalah segala macam
kehidupan yang buruk digambarkan.
Sumber lain yang dapat digunakan adalah dari cerita lakon wayang yang
sarat dengan feminitas atau keperempuanan. Gambaran citra perempuan Jawa
yang ditokohkan dalam lakon wayang, Srikandhi sesungguhnya tokoh yang sering
dipermasalahkan atau diangkat menjadi jenis perempuan yang berbeda dari
umumnya kebanyakan perempuan Jawa. Srikandhi dianggap tokoh perempuan
yang kompleks untuk ukuran stereotip perempuan Jawa. Srikandhi satu-satunya
tokoh perempuan dalam pewayangan yang pandai memanah hingga maju ke
medan perang Kurusetra, mengalahkan gurunya sendiri, bahkan menyebrang
mengganti jenis kelaminnya sendiri. Wright dalam Gayatri (2005:85) menemukan
bahwa dalam Mahabharata versi India, Srikandhi sesungguhnya seorang laki-laki
bernama pangeran Sikandhi. Sementara itu masih dari sumber yang sama Ben
Aderson dan Mas Purnadi seorang professor Fakultas Hukum Universitas
Indonesia telah menginterpretasikan Srikandhi sebagai laki-laki yang gemar
berdandan seperti perempuan dan mempunyai hubungan homoseks dengan
Arjuna.
Dari historis di atas sesunggungnya dapat dilihat simbol-simbol
kebudayaan yang ditinggalkan dalam budaya Jawa dalam ranah seksualitas
perempuan Jawa. Gayatri (2005:8687) memaparkan tiga simbol kebudayaan
Jawa yang ditinggalkan dari bukti sejarah yang disebutkan sebelumnya.

15

1. Pertama, seksualitas dilihat sebagai polarisasi seks (genetalia), baik secara


seksual maupun secara apa yang kemudian kita kenal sebagai segregasi
gender, yaitu seksualitas jantan (male-sexulity) dan seksualitas betina
(female-sexuality).
2. Kedua, seksualitas betina (female-sexuality) atau yoni selalu dilekatkan
pada seksualitas jantan (male-sexulity) atau lingga, bahwa lingga bisa
hadir tanpa yoni, sementara yoni tidak mungkin tanpa lingga.
3. Ketiga, bentuk seksualitas jantan (male-sexulity), baik sebagai kelamin
(seks) maupun gender, adalah tampil tunggal secara publik, sedangkan
seksualitas betina sama sekali tidak memiliki penggambaran tunggal di
depan umum.
Dari paparan di atas dapat dijelaskan bahwa konsep seksualitas budaya
Jawa dari bukti-bukti sejarah menjelaskan tentang: Pertama, budaya Jawa hanya
membedakan dua jenis seksualitas yaitu jantan dan betina. Dengan demikian
pemahaman seksualitas pada saat itu terbagi secara eksklusif menjadi polarisasi
gender, bahwa masing-masing anggota harus sesuai dengan masing-masing aturan
gendernya supaya mempunyai kecocokan satu sama lain; Kedua, terdapat mitos
Dewi Sri: jika seksualitas betina hanya dilihat semata-mata proses produktif
manusia, maka perempuan sebagai mesin penghasil manusia; Ketiga, seksualitas
jantan adalah penampil tunggal secara publik, kemungkinan hal tersebut
menunjukkan bahwa semua kegiatan yang dilakukan laki-laki secara publik
adalah kebalikan dari kegiatan perempuan. Dengan demikian, hal tersebut menjadi
bukti bahwa seksualitas jantan lebih terbuka dan diterima daripada seksualitas
betina dalam budaya Jawa. Meski kenyataannya masa lalu seksualitas ditampilkan
begitu vulgar dibandingkan saat ini, tetapi bahwa seksualitas perempuan masih
saja dipendam atau dihilangkan keberadaannya.
B. Hasrat Subjektivitas Seksual Perempuan
Desire atau hasrat pada dasarnya merujuk pada kebutuhan yang hakiki
yang secara konstruksi sosial adalah seksualitas. Teori feminis juga memahami
dan mendefinisikan ulang hasrat seksual pada perempuan dan ekspresi mereka
secara publik. Hal tersebut pernah diteliti oleh kaum feminis pada tahun 1980an
yang hasilnya merujuk pada penjelasan sejarah dan psikoanalisanya. Teori

16

psikoanalisa misalnya bagaimana hasrat tersebut distrukturkan. Sementara itu


kalangan feminis juga mencoba mencari tahu tentang perbedaan kebutuhan
dengan hasrat. Menurut Juliet Mitchell (dalam Priyatna, 2013:139), kebutuhan
selalu berubah menjadi tuntutan atau artikulasi, dan apabila kemudian tidak
memuaskan atau tidak terbalaskan, maka akan berubah menjadi hasrat.
Karenanya, menurut Juliet, hasrat selalu mempertanyakan signifikasi dari suatu
hubungan. Hasrat merupakan hasrat dari yang lainnya.
Menurut Attwood (dalam Priyatna, 2013:11) di dalam dunia dengan
kemajuan teknologi saat ini, seks tidak semata-mata meliputi persoalan mengenai
hubungan ragawi antara dua orang mengenai juga melingkupi berbagai
pengalaman di luar tubuh yang dilakukan secara intim pada ruang dan waktu
tertentu. Seks juga dapat berupa tindak komunikasi antara dua orang yang tidak
saling mengenal, dapat juga merupakan pertemuan antara dua orang yang tidak
saling mengenal, dapat juga merupakan pertemuan antara tubuh (flesh) dan
teknologi; suatu tindak presentasi dan representasi yang dikonsumsi dan
direproduksi dengan cara yang sama cepatnya. Seks juga merupakan cara untuk
mengartikulasi atau mendisartikulasi identitas, yang sebelumnya tidak ada di
dalam sejarah manusia. Dengan definisi tersebut jelas bahwa konstruksi seks,
seksualitas dan hasrat tidak lagi dapat dilihat secara eksklusif sebagai bentuk
manifestasi dorongan untuk melakukan persetubuhan secara literal.
Subjektivitas seksual perempuan lebih mengacu pada pengalaman, hasrat,
pilihan dan identitas dirinya sebagai mahluk seksual. Subjektivitas seksual
perempuan

bukanlah

semata-mata

persoalan

pemenuhan

hasrat

seksual

perempuan melainkan juga persoalan sebagaimana hasrat seksual tersebut


terwujud di dalam hubungan seksualnya dengan bentuk agensi seksualnya dan
pada saat yang sama terbangun dalam konteks struktural sosial dan budaya.
Tolman (dalam Priyatna, 2013:12) subjektivitas seksual adalah pengalaman
seseorang atas dirinya sendiri sebagai mahluk seksual, yang merasa berhak untuk
mendapatkan kenikmatan seksual dan keamanan seksual, yang mengambil pilihan
aktif, dan yang mempunyai identitas sebagai mahluk seksual.
Dengan demikian, subjektivitas seksual perempuan dapat dikatakan juga
sebagai kapasitas memainkan berbagai peran yang berbeda secara simultan.

17

Priyatna (2013:19), menyimpulkan bahwa hubungan romantik dan hasrat seksual,


adalah jalinan dan kelindan yang kompleks yang tidak dapat dipisahkan sebagai
dua bagian yang sama sekali berbeda. Jadi seks, seksualitas, dan hasrat seksual
merupakan jalinan dan kelindan yang kompleks yang tidak selalu dapat diurai
sebagai entitas yang terpisah, tidak juga dapat dilihat sebagai hitam putih.
Menurut Diamond (dalam Priyatna, 2013:2021) membedakan
ketertarikan terhadap objek seksual dengan kegiatan atau dorongan untuk
mendapatkan objek dan kegiatan seksual adalah sesuatu yang berbeda yang
biasanya lebih sering disamakan yang sering dinamai dengan hasrat seksual
padahal keduanya berbeda. Hal tersebut kemudian berhubungan dengan
konstruksi mengenai bagaimana pendapat hasrat atau ketertarikan seksual dapat
diekspresikan ke publik atau dalam relasi personal. Pemahaman terhadap hal
tersebut juga dapat menjelaskan mengapa ekspresi seksual perempuan
dikonstruksi sebagai penerima tindak seksual dan bukan orang yang memang
secara esensial seksual, seperti laki-laki. Inisiatif untuk mendapat tindak seksual
pada laki-laki dianggap normal sementara pada perempuan kemudian dimaknai
sebagai bentuk disrupsi atau bahkan subversi. Dengan demikian, perempuan
digiring untuk menjadi pihak yang menerima tindak seksual, dengan demikian
sangat bergantung pada faktor mendapatkan dalam relasi seksualnya. Hal
tersebut yang menyebabkan fluiditas seksual.
Fenomena kedua yang juga menyebabkan fluiditas seksual perempuan
adalah fakta bahwa cinta romantis tidak ada hubungannya dengan hasrat
seksual. Cinta romantis juga tidak mempunyai orientasi dengan demikian
perempuan dapat jatuh cinta pada orang yang gendernya tidak sesuai dengan
orientasi seksualnya. Jadi misalnya seorang lesbian dapat jatuh cinta pada seorang
laki-laki dan seorang perempuan heteroseksual dapat jatuh cinta pada perempuan.
Fenomena ketiga yang ditawarkan Diamond untuk menjelaskan fluiditas
seksual perempuan adalah hubungan antara cinta romantis dan hasrat seksual yang
walaupun merupakan proses yang terpisah, keduanya mempunyai keterkaitan
kultural, psikologis dan neurobiologis yang sangat erat. Hal tersebut menjelaskan
dan membuktikan dengan fakta bahwa hasrat seksual dapat berkembang menjadi
cinta romantis (yang tidak seksual) dapat membawa kepada hasrat seksual. Ini

18

semakin menegaskan kemungkinan terjadinya situasi ketika kita mengembangkan


hasrat seksual terhadap orang yang salah gendernya. Ini yang kemudian disebut
Diamond sebagai fenomena ketika seseorang mempunyai kemampuan untuk jatuh
cinta kepada orangnya dan bukan gendernya.
Konteks sosial budaya membatasi ekspresi seksual perempuan akan lebih
menahan diri terhadap hasrat seksualnya sedemikian sehingga ekspresi perempuan
lebih merupakan respons terhadap stimuli yang diterimanya. Laki-laki disisi lain,
lebih mempunyai kebebasan dalam mengekspresikan hasrat seksualnya karena
secara konteks sosial budaya diposisikan sebagai mahluk seksual sedemikian
sehingga seksualitasnya adalah bagian dari dirinya, termasuk hasrat seksualnya,
yang seringkali dimaknai atau menjadi representasi dari maskulinitasnya.
Diamond (dalam Priyatna, 2013:23), bukan berarti bahwa seksualitas laki-laki
tidak dipenuhi oleh faktor dan petunjuk situasional melainkan peran yang lebih
besar pada perempuan, dan ini harus dimaknai sebagai kapasitas lebih
perempuan dibandingkan laki-laki. Dengan perkataan lain, berlawanan dengan
anggpan umum mengenai seksualitas, perempuan sebenarnya mempunyai
kapasitas seksual yang lebih luas bentangannya dibandingkan dengan laki-laki.
Priyatna (2013:23), menyimpulkan bahwa kebebasan untuk
mengekspresikan seksualitas perempuan, bagaimanapun tidak pernah sungguhsungguh merupakan pilihan bebas yang bebas dari pengaruh bentukan dan
konteks sosial kultural beserta konteks sosial kultural serta konteks diri
perempuan masing-masing. Meskipun demikian, setiap pembicaraan mengenai
seksualitas dan hasrat perempuan selayaknya mempertimbangkan speech act
yang dilakukan perempuan bukan sekedar dalam konteks heteroseksualsebagai
upaya memperoleh perhatian laki-lakimelainkan juga harus dipahami sebagai
bagian dari ekspresi dirinya. Pada saat yang sama, konteks sosial budaya yang
melingkupi seksualitas perempuan menurut kecerdasan dan kemauan untuk
bermanuver di antara jalinan dan kelindan yang melingkupi konstruksi seksualitas
perempuan sebagai subjek, sebagai objek dan sebagai agen bagi dirinya sendiri.
1.5.3

Etnologi

19

Antropologi merupakan satu-satunya ilmu yang menekankan dua sisi sifathakikat manusia sekaligus. Sisi sifat-hakikat manusia tersebut yaitu sisi biologis
(antropologi ragawi) dan kultural (antropologi budaya). Tujuan utama dalam
antropologi adalah menjelaskan kesamaan dan perbedaan budaya, pemeliharaan
budaya serta perubahan budaya dari masa ke masa (Endraswara, 2015:7277).
Etnologi merupakan salah satu cabang ilmu antropologi yang mempelajari
berbagai suku bangsa dan aspek kebudayaannya serta hubungan antara satu
bangsa dengan bangsa yang lain. Havilan (dalam Endraswara, 2005:1)
menyatakan bahwa etnologi merupakan cabang antropologi yang mempelajari
kebudayaan suatu etnis dan sudut pandang komparatif atau historis. Jadi etnologi
adalah ilmu tentang etnis (bangsa).
Haviland (dalam Endraswara, 2015:2) etnologi harus bersifat holistik
artinya perlu memahami budaya etnis yang luas sebagai dasar menghubungkan
keterkaitan unsur budaya. Etnologi mengkaji budaya secara komparatif dengan
tujuan agar memahami sejarah serta proses evolusi penyebaran kebudayaan
manusia di dunia. Jadi dalam pengkajian etnologi diperlukan bekal tentang
pengertian sejarah unsur-unsur budaya agar dapat didialektikakan secara
kompleks.
Etnologi bersifat membandingkan etnis secara positif. Bandingan budaya
harus didasari studi etnografi yang kuat karena keterkaitan etnologi dan etnografi
tidak dapat dipisahkan. Etnologi dan etnografi memiliki perbedaan kajian
walaupun sama-sama memiliki fokus kajian etnis. Etnologi lebih fokus pada
perbandingan budaya, sedangkan etnografi cenderung mendeskripsikan uraian
kebudayaan dan tidak bersifat membandingkan (Endraswara, 2015:2 4).
Etnologi sebuah studi budaya etnik yang kompleks. Etnologi memiliki dua
perspektif yaitu etnologi mikro dan etnologi makro. Etnologi mikro adalah suatu
kajian yang membandingkan makna budaya lokal misalnya budaya Jawa etnis
Yogyakarta

dengan

Solo.

Etnografi

makro

adalah

suatu

kajian

yang

membandingkan makna budaya etnis lokal dengan etnis lain misalnya etnis Jawa
dengan Tiongkok (Endraswara, 2015:56).
Menurut Endraswara (2015:89) penelitian etnologi bersifat deskriptif,
cenderung memaparkan apa adanya tentang suatu etnis. Aspek historis menjadi

20

hal penting dalam penelitian. Selain deskriptif, metode penelitian etnologi dapat
berupa:
A. Survai. Survai mencari keterangan faktual tentang kebudayaan melalui
wawancara dari sejumlah orang yang dianggap menguasai serta dapat
mewakili keseluruhan masyarakat. Deskriptif kesinambungan dapat
dilakukan dengan metode survai untuk mengetahui perkembangan budaya
dari satu periode ke periode selanjutnya.
B. Studi kasus. Studi kasus mempelajari kebudayaan masyarakat secara rinci.
Dalam kajian tersebut peneliti membuka wawasan seluas-luasnya agar
dapat mengkaitkan budaya dengan unsur lain seperti agama, ekonomi,
pariwisata, sejarah, bahkan dengan budaya lainnya.
1.5.4

Feminisme Radikal-Libertarian
Feminisme dalam pengertian luas adalah suatu gerakan kaum wanita untuk

menolak

segala

sesuatu

yang

memarginalkan,

mensubordinasikan,

dan

direndahkan kebudayaan dominan baik pada politik, ekonomi, maupun kehidupan


sosial pada umumnya. Dalam pengertian sempit yaitu (dalam sastra) feminis
dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik kaitannya dengan proses
produksi maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan demikian merupakan suatu
proses dalam persamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer juga disebut sebagai
kesetaraan gender (Ratna, 2004:184).
Dari segi historis feminisme radikal lahir setelah munculnya feminisme
kultural yang banyak memperjuangkan hak-hak perempuan yang kemudian
diangkat dalam ranah politik. Kelompok feminis radikal lahir karena adanya
akibat dari perjuangan feminisme liberal. Mereka kelompok feminis radikal
menganggap bahwa: penegakan hukum dan pembuatan undang-undang yang
memihak perempuan yang diperjuangkan kelompok feminis liberal tidak akan
berguna jika masih ada sistem patriarki yang masih memboikot budaya. Istilah
lainnya adalah kaum feminis radikal bukan untuk memperjuangkan (hak
perempuan) tetapi untuk melawan (kaum patriarki). Kelompok-kelompok
berdasarkan feminisme radikal antara lain The Redstockings, The Feminist, dan
The New York Radical Feminist yang menganggap kelompoknya sebagai

21

revolusioner daripada sebagai revormis, karena mereka melawan sistem patriarki


yang dianggap musuh besar bagi perempuan.
Gagasan feminisme radikal-libertarian muncul dari Boston dan New York
pada tahun 1960an dan 1970an. Gerakan tersebut memberi perhatian lebih pada
reproduksi dan seksual yang membatasi dalam pengembangan diri perempuan
sebagai manusia utuh. Dalam gagasannya menginginkan dan pro atas konsep
androgini. Androgini atau biasa disebut bitch sebuah istilah yang digunakan
untuk memaki perempuan dalam konteks seksual, bitch juga berarti anjing betina
yang juga dimaknai perempuan jalang adalah suatu aliran memadukan antara
maskulin dengan feminin. Menurut Joreen J seorang bitch bersifat ganas, tidak
bertele-tele, arogan dan egoistik. Ia tidak menyukai hidup yang penuh kepurapuraan yang dianggap alamiah bagi perempuan, karena bitch menginginkan
kehidupannya sendiri. Berbeda dengan Alice Echols yang mengomentari pendapat
Joreen J terhadap bitch disefinisikan bahwa bitch bukanlah manusia yang utuh
melainkan seorang perempuan yang telah merangkul segala sifat yang paling
buruk dari maskulinitas. Ia lebih menyetujui citra keperempuanan dilekatkan pada
esensial perempuan itu sendiri, bukan direpresentasikan sebagai bitch atau
menjadi

laki-laki.

keperempuanan

Perempuan

sebagai

sudah

kekuatan

yang

seharusnya
tidak

menjadikan

dimiliki

sifat-sifat

laki-laki

(Tong,

1998:7071).
Dalam analisis ini penulis lebih menitik beratkan pada kajian feminisme
radikal-libertarian dimana kajiannya sarat akan tema-tema yang diusung dalam
data novel NG. Tema besar dalam novel NG yang diceritakan bahwa seoarang
anak yang menjelang dewasa akan diangkat menjadi anak asuh gowok yang
nantinya juga diajarkan tentang tata cara memuaskan wanita dengan gambaran
erotis. Dengan cerminan tersebut dikuatkan dengan teori Firestone dalam (Tong,
98:78) dalam pandangannya terhadap feminisme radikal-libertarian.
Firestone (dalam Tong, 1998:103) menyetujui perkawinan antaranggota
keluarga karena hal ini kembali kepada kebahagiaan dengan segala jenis perilaku
seksual. Walaupun pengalaman seksual tersebut kepentingannya relatif, tetapi ia
mengategorikan inbreending (perkawinan antaranggota keluarga) menjadi vital
untuk keperluan hubungan seksual biologis. Ia berpedoman pada prokreasi

22

manusia yang dinamis bahkan sulit ditebak dan berwarna. Jadi bisa saja
kebebasan mausia untuk menyalurkan kebutuhan seksual baik berjenis kelamin
sama maupun berlawanan jenis kelamin, bahkan dengan anggota keluarganya
sekalipun. Ia mengeklaim bahwa laki-laki dan perempuan benar-benar bebas
melibatkan diri dalam hubungan seksual yang poliformus atau menyimpang, maka
tidaklah penting bagi laki-laki yang memamerkan kemaskulinannya dengan
identitasnya yang melambangkan kejantanan, ketegasan, ketangguhan dsb. Begitu
pula perempuan dengan perilaku kefemininannya. Karena pada dasarnya
manusia dibebaskan dari peran gender pada tingkat biologis. Jadi perempuan tidak
perlu lagi menjadi pasif, reseptif, dan rentan dalam mengirimkan tanda kepada
laki-laki untuk mendominasi, memiliki, dan memasuki tubuh mereka. Hal tersebut
dikarenakan untuk menjaga agar roda prokreasi manusia agar terus berputar.
Sebaliknya, laki-laki dan perempuan akan terus didorong untuk memadupadankan
sifat dan perilaku feminin dan maskulin dalam kombinasi apapun yang
diinginkan. Sebagai hasilnya tidak saja manusia yang mempunyai sifat androgin
bahkan semua budaya di dunia akan menjadi androgin pula.
Feminis radikal-libertarian menafsirkan bahwa Koedt yang memberikan
alasan kuat bagi perempuan untuk hanya melibatkan diri di dalam apa yang
disebut sebagai heteroseksualitas yang bukan merupakan keharusan. Bahwa
perempuan tidak membutuhkan tubuh laki-laki untuk mencapai kenikmatan
seksual. Perempuan tidak seharusnya terlibat di dalam hubungan seksual dengan
seorang laki-laki, kecuali jika ia menginginkannya. Kecenderungan atau paradigm
seksualitas tersebut dapat dikategorikan dalam lesbianism, karena kecenderungan
kegiatan seksualitas mereka (perempuan) yang dikendalikan oleh dirinya sendiri
(Tong, 1998:103).
Pandangan reproduksi perempuan kaum feminis radikal-libertarian
menyetujui pendapat Firestone dalam karyanya The Dialectic of Sex. Firestone
berpendapat bahwa tidak ada perubahan fundamental bagi perempuan walaupun
banyaknya kesetaraan pendidikan, hukum, politik yang dicapai oleh seorang
perempuan, selama kemenangan tersebut masih dibungkus oleh masalah
reproduksi alamiah tetap menjadi keharusan, sementara reproduksi buatan atau
reproduksi yang dibantu merupakan pengecualian. Reproduksi alamiah bukanlah

23

kepentingan perempuan dan bukan kepentingan anak hasil reproduksi.


Kesukacitaan sewaktu melahirkan yang terus-menerus diingatkan di dalam
masyarakat ini adalah mitos patriarkal. Sesungguhnya kehamilan adalah
barbar, dan proses melahirkan alamiah merupakan yang terbaik dari suatu hal
yang penting dan dapat ditoleransi dan yang terburuk adalah seperti berak buah
(labu besar. Lebih dari itu menurut Firestone, reproduksi alamiah adalah akar
dari kejahatan lebih lanjut, terutama kejahatan yang muncul dari rasa memiliki,
yang menghasilkan rasa kebencian dan kecemburuan di antara manusia (Firestone
dalam Tong, 1998:108).
Pendapat feminis radikal-libertarian tentang ibu pinjaman lebih terbuka
dan membebaskan dalam aturan tersebut. Ibu kontrak baik ibu asuh kontrak
atau

ibu

yang

melahirkan

(perempuan

yang

pelayanan

genetasinya

dikontrakkan) dapat merupakan ibu biologis penuh dari anak yang dikandungnya
(baik secara genetik dan genetasi) tetapi bukan ibu genetik dari sang bayi, dalam
hal tersebut melibatkan pihak ketiga. Feminis radikal-libertarian berargumentasi
bahwa ibu pinjaman, jika ditangani secara benar, dapat mendekatkan perempuan
satu sama lain dan bukannya menjauhkan satu sama lain. Feminis radikallibertarian menunjukkan bahwa ibu pinjaman dari pasangan yang mengontraknya
idup dengan secara dekat satu sama lain, sehingga semua dapat berbagi dalam
pengasuhan anak, yang mereka hasilkan secara berkolaborasi. Menurut feminis
radikal-libertarian, selama perempuan mengendalikan pengaturan reproduksi
kolaboratif, ibu sewaan lebih potensial untuk meningkatkan kebebasan reproduksi
daripada menurunkannya (Tong, 1998:128-129).
1.6

Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan diskriptif kualitatif

yaitu suatu penelitian mendalam yang dikuatkan oleh teori-teori kesusastraan yang
dikemas dengan gaya bahasa penulis. Dalam menganalisis teori ini, penulis
menggunakan kajian pustaka dengan mengumpulkan data-data yang berkaitan
dengan novel NG baik dalam wujud cetak maupun elektronik. Penulis dapat
melihat artikel-artikel ilmiah yang berkaitan dengan objek penelitian yang sudah
dipublikasikan sebelumnya, agar penelitian ini lebih bermanfaat dan teruji

24

keasliannya. Penggunaan data pada penelitian ini untuk mencari referensi dan
teori-teori yang dapat memudahkan penulis dalam menganalisis objek. Artikelartikel yang sudah terbit sebelumnya juga dapat dijadikan sebagai pedoman
resepsi baik sinkronis maupun diakronis jika diperlukan dalam penelitian.
Dalam pendekatan ini penulis tidak menemukan objek novel NG karya
Budi Sardjono dalam bentuk skripsi maupun artikel ilmiah lainnya yang sudah
diterbitkan. Penulis menemukan enam artikel elektronik yang hampir keseluruhan
berupa analisis kritik sastra pada objek tersebut, maka novel NG diputuskan untuk
menjadi objek penelitian.
Penulis menganalisis feminisme radikal-libertarian dengan langkahlangkah sebagai berikut.
a. Menentukan teks yang dipakai sebagai objek.
b. Mengarahkan fokus teks analisis, yang mencakup struktur teks, eksistensi
dan peran tokoh perempuan sebagai individu, anggota keluarga, dan
anggota masyarakat, serta pandangan dan perlakuan dunia di sekitar tokoh
perempuan.
c. Mengumpulkan data-data dari sumber kepustakaan yang terdapat kaitan
dengan objek analisis. Data tersebut dapat berupa karya fiksi maupun
nonfiksi;
d. Menganalisis yang menjadi objek dengan analisis struktural dan kritik
sastra feminis.
1.7

Sistematika Penulisan
Sistematika laporan penelitian untuk skripsi ini menggunakan langkah-

langkah sebagai berikut:


Bab I menyajikan

pendahuluan

yang

meliputi:

latar

belakang,

permasalahan, tujuan, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan


sistematika penulisan.
Bab II menyajikan seksualitas: dalam sejarah dan realitas budaya, yang
terdiri atas: Taoisme dan filsafat Barat tentang seksualitas, realitas pergowokan
dalam budaya dan karya sastra, etika seksual Jawa, perempuan Jawa, kamasutra
dan jima, dan pendidikan seksual tradisi Jawa. Dalam penjelasan tersebut
merupakan landasan awal untuk mengetahui latar belakang permasalahan
seksualitas.

25

Bab III menyajikan analisis struktural yang meliputi tema, tokoh dan
perwatakan, latar, dan konflik.
Bab IV menyajikan paparan tentang dialektika

seksualitas untuk

mengetahui permasalahan seksualitas ditinjau dari berbagai unsur. Menyajikan


paparan tentang etnologi untuk mengetahui sejarah berkembangnya budaya
gowok. Menyajikan pemaparan seksualitas budaya gowok ditinjau dari sudut
pandang feminisme radikal-libertarian.
Bab V menyajikan kesimpulan yang mencerminkan hasil keseluruhan
analisis.
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran

Anda mungkin juga menyukai