Anda di halaman 1dari 10

l

PEMATANGAN BIROKRAT MUDA SEBAGAI


FAKTOR DAN AKTOR KUNCI DALAM REFORMASI BIROKRASI
1

Oleh: Tri Widodo W. Utomo, SH., MA
2


The bureaucracy is what we all suffer from.
(Otto von Bismarck, 1891 - from a speech)

What a man actually needs is not a tensionless state but rather the
striving and struggling for some goal worthy of him. What he needs is
not the discharge of tension at any cost, but the call of a potential
meaning waiting to be fulfilled by him.
(Victor Frankl)

He who desires or attempts to reform the government of a state... must
at least retain the semblance of the old forms, so that it may seem to
the people that there has been no change in the institutions, even
though they are in fact entirely different from the old ones
(Nicollo Machiavelli)

Pengantar
Semenjak lebih dari satu abad yang lalu, birokrasi di seluruh belahan dunia
telah memiliki stigma yang negatif. Hal ini nampak dari pernyataan Kanselir Jerman
periode 1870-1890, Otto von Bismarck, pada tahun 1891 bahwa birokrasi adalah apa
yang mendatangkan kesengsaraan bagi kita.
3
Tidak aneh jika kemudian berbagai
negara gencar melakukan program reformasi birokrasi.
4

Reformasi birokrasi sendiri memang sebuah proses dan tuntutan yang tidak
bisa ditunda lagi. Sebab, birokrasi pada hakekatnya adalah mesin negara (the machine of

1
Makalah disampaikan dalam rangka Lomba Karya Tulis Ilmiah memperingati HUT RI Ke-59 dan
HUT LAN Ke-47, dengan Tema Mencari Key Leverage Untuk Menggulirkan Reformasi Birokrasi.
2
Peneliti pada Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I, LAN, Bandung.
3
Otto von Bismarck dalam Conservative Forum. Lihat di
http://www.conservativeforum.org/quotelist.asp?SearchType=5&Interest=18 atau di
http://www.conservativeforum.org/authquot.asp?ID=255
4
Untuk sebuah gambaran yang cukup komprehensif tentang pengalaman dan praktek reformasi
birokrasi di negara-negara yang tergolong sebagai advanced democracy, lihat di Pollitt, Christopher
and Geert Bouckaert, 2000, Public Management Reform: A Comparative Analysis, New York: Oxford
University Press. Lihat juga berbagai paper pada Konferensi Internasional tentang Civil Service
Systems In Comparative Perspective, 1997, Indiana University, Bloomington, Indiana, April 5-8,
tersedia online di http://www.indiana.edu/~csrc/csrc.html
2
the state) yang berfungsi menjalankan seluruh tugas pemerintahan dan pembangunan
dalam rangka merealisasikan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam konstitusi
negara. Selanjutnya, inti dari birokrasi adalah SDM aparatur. Hal ini mengandung
pengertian bahwa peningkatan kompetensi individual pegawai dan kompetensi jabatan
(struktural maupun fungsional), serta pembenahan perilaku dan etika pejabat publik
perlu mendapat perhatian serius sebagai bagian integral dari proses reformasi birokrasi.
Dengan kata lain, profesionalisme birokrasi akan dapat dicerminkan dari kemampuan
dan kualitas SDM aparaturnya.
Sebagai mesin birokrasi (the machine of the bureaucracy), SDM aparatur
semestinya tidak diperlakukan sebagai faktor statis yang hanya menjadi obyek suatu
kebijakan. Justru harus disadari bahwa dalam jiwa setiap manusia (termasuk pegawai di
sektor publik) terdapat semangat perubahan serta motivasi untuk mengaktualisasikan
kapasitasnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Victor Frankl bahwa:
Apa yang diinginkan oleh seseorang bukanlah suatu keadaan yang tenang,
tetapi suatu perjuangan menantang atas tujuan yang dicita-citakannya. Apa
yang dibutuhkan bukanlah hilangnya ketegangan, namun justru sebuah
panggilan dan pengakuan terhadap potensinya untuk mengisi suatu peran
tertentu.
5


Dalam konteks organisasi, potensi untuk maju dari setiap inidividu inilah yang
harus dimaksimalkan untuk membangun kinerja. Secara analogis dapat dikatakan pula
bahwa upaya mereformasi birokrasi harus pula berbasis pada pemantapan potensi,
kapasitas, dan peran para birokratnya. Dengan demikian, para birokrat inilah yang harus
difungsikan sebagai faktor pengungkit utama (key leverage) untuk menggulirkan
reformasi birokrasi.
Persoalannya kemudian adalah, level birokrat manakah yang semestinya diberi
kesempatan dan peranan terbesar sebagai agent of reform? Disini, penulis mengajukan
birokrat muda (the middle class of the bureaucrats) sebagai aktor utama yang harus
maju kedepan dan memelopori pembenahan birokrasi secara menyeluruh. Tentu saja,
pemberian peran yang lebih besar kepada birokrat muda ini, tidak berarti menafikan
para birokrat senior dan tatanan organisasi yang telah eksis. Sebab, reformasi birokrasi

5
Lihat di http://wisdom1.jjnet.com/cgi-bin/mt/mt-search.cgi?IncludeBlogs=4&search=Victor%20Frankl atau di
http://www.wisdomquotes.com/cat_changegrowth.html
3
bagaimanapun harus dilakukan secara evolusioner, bukan reaksioner apalagi
revolusioner. Hal ini sesuai dengan anjuran ilmuwan politik Italia pada abad 16, Nicollo
Machiavelli, tentang metode melakukan reformasi birokrasi, sebagai berikut:
Siapa yang berkehendak atau berupaya mereformasi birokrasi sebuah
negara haruslah mempertahankan bentuk-bentuk lama, sehingga rakyat
akan menilai bahwa tidak terjadi perubahan institusional, walaupun
sesungguhnya terdapat perbedaan mendasar dari pola birokrasi yang lama.
6


Selanjutnya, tulisan ini akan mencoba me-review proses reformasi dan kondisi
birokrasi Indonesia dewasa ini, kemudian membangun rekomendasi tentang strategi
memperkuat peranan birokrat muda untuk membangun sosok birokrasi yang lebih baik.

Reformasi Birokrasi Indonesia, Mengapa Gagal?
Di Indonesia, selama ini sudah banyak sekali upaya mereformasi birokrasi
dengan berbagai pendekatan teoretis / konseptual seperti privatisasi dan perubahan
ekonomi perencanaan menjadi ekonomi pasar (Savas, 1987; World Bank, 1996);
reinventing government (David Osborne dan Ted Gaebler, 1992); knowlegde-creating
organization (Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi, 1995); learning organization
sebagai disiplin ke-5 (Peter Senge, 1995); banishing bureaucracy (David Osborne dan
Peter Plastrik, 1996); dan lain-lain. Namun nampaknya, kondisi dan kinerja birokrasi
masih belum menampakkan hasil positif. Ini mengisyaratkkan pada kita untuk mencari
metode reformasi yang benar-benar efektif dan mujarab untuk membangun sosok
birokrasi yang benar-benar sehat, bersih, profesional, sekaligus demokratis dan
berkinerja tinggi.
Kelemahan utama yang ada dalam proses reformasi birokrasi selama ini adalah
sifatnya yang terlalu makro. Artinya, reformasi selalu diasosiasikan sebagai perubahan
kesisteman dan/atau organisasional, dan bukan pembenahan komponen-komponen
birokrasi yang lebih mikro. Disamping itu, reformasi yang ada selama ini juga lebih
banyak berasal dari luar, serta dilakukan oleh aktor diluar birokrasi itu sendiri.
Akibatnya, proses reformasi kurang sesuai dengan kebutuhan riil dan kurang dapat
diimplementasikan secara optimal pula.

6
Lihat di http://www.conservativeforum.org/quotelist.asp?SearchType=5&Interest=58 atau di
http://www.conservativeforum.org/authquot.asp?ID=329
4
Meminjam analisis Spencer and Spencer (1993), birokrasi dapat diumpamakan
sebagai sebuah bangunan gunung es, dan reformasi birokrasi baru menyentuh dimensi
permukaan saja, yakni yang menyangkut upaya meningkatkan keterampilan (skill) dan
pengetahuan (knowledge) semata. Sedangkan karakteristik lainnya yang lebih bersifat
hidden (tersembunyi), deeper (berada di dalam), serta merupakan dimensi inti dari
kepribadian (central to personality) seperti perilaku dan nilai-nilai individual (attitudes
and values), semangat atau dorongan (motives), sifat (traits), serta konsep diri
(self-concept), kurang tergarap secara sistematis dan berkesinambungan.
Strategi diklat aparatur dewasa ini agaknya juga lebih memfokuskan pada
agenda membangun kemampuan kepemimpinan (managerial agenda) dan kemampuan
intelektual (intellectual agenda), dengan sedikit perhatian pada kemampuan perilaku
(behavioral agenda). Padahal, potensi-potensi sentral yang terdapat pada jiwa dan
kepribadian seseorang inilah yang lebih menentukan kapasitas seseorang untuk
mengaktualisasikan potensi dan perannya secara optimal.
Meskipun demikian, sebagaimana dikatakan oleh Spencer and Spencer,
memang disadari bahwa membangun dimensi permukaan jauh lebih mudah dibanding
membangkitkan potensi yang tersembunyi. Adapun model gunung es dalam proses
reformasi birokrasi dapat digambarkan sebagai berikut:












Gambar 1
Model Gunung Es dari Komponen Reformasi SDM Birokrasi
Skill
Knowledge
Self-concept
Surface /
permukaan
Traits
Motives
Attitudes, Values
5
Disamping model Spencer and Spencer, model UNDP (1998) serta analisis
Grindle (t.t) tentang tiga tingkatan kapasitas, dapat pula menjelaskan faktor kegagalan
reformasi birokrasi. Menurut kajian keduanya, capacity building dapat ditempuh
melalui tiga tingkatan dengan fokus dan program yang berbeda-beda, sebagaimana
nampak pada Tabel 1 dibawah ini.
Table 1
Tingkatan dan Fokus Pengembangan Kapasitas Birokrasi

Level of
Leverage
Focus Types of Program / Activities
Individual
level
Supply of
professional &
technical personnel
Job requirements & skill levels; training &
retraining; learning and on-the-job training;
career progression; accountability / ethics;
access to information; personal / professional
networking; performance / conduct;
incentives / security; values, integrity and
attitudes; morale and motivation; work
redeployment and job sharing;
interrelationship, interdependencies and
teamwork; communication skill, attitudes,
motives, traits, self-concept.
Organization
level
Management system
to improve
performance and
specific tasks &
functions;
microstructures
Incentive systems, utilization of personnel,
leadership, organizational culture,
communication, managerial structures,
mission and strategy; culture / structure and
competencies.
System level Institutions and
systems;
macrostructures
Rules of the game for economic and political
regimes, policy and legal change,
constitutional reform, policy and regulatory
dimension; management / accountability
dimension; resources dimension; process
dimension, decentralized governance.
Sumber: UNDP (1998), Grindle (t.t.), Spencer and Spencer (1993)
Dari ketiga level diatas, sekali lagi dapat dicermati bahwa pembenahan
birokrasi selama ini masih lebih terkonsentrasi pada tingkatan organisasi dan sistem.
Desentralisasi yang luas (UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999), Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas KKN (UU Nomor 28 Tahun 1999), serta pengajuan berbagai
RUU seperti Kementerian Negara, Pelayanan Publik, dan sebagainya, adalah
contoh-contoh betapa para pengambil kebijakan kita masih lebih banyak berpikir global
6
(think globally) namun kurang disertai dengan bertindak konkrit (act concretely).
Sayangnya lagi, proses pembenahan pada dua tataran inipun masih belum menunjukkan
hasil yang nyata.
Mengingat hal tersebut diatas, upaya reformasi mestinya dilakukan secara
komprehensif, baik tataran makro maupun mikro. Dalam hubungan ini, pengembangan
kompetensi SDM dapat dipahami sebagai salah satu upaya kebijakan pada level mikro
untuk membentuk sebuah sistem birokrasi yang efektif dan efisien (effective and
efficient), tanggap dan cekatan (quick and responsive), terbuka dan bertanggungjawab
(transparent and accountable), membuka seluas mungkin partisipasi publik (inclusive
and democratic), serta berkinerja tinggi dalam bidang pembangunan dan pelayanan
(developmental).

Pemantapan Birokrat Muda Sebagai Key-leverage Proses Reformasi
Reformasi birokrasi pada dasarnya adalah sebuah upaya yang sangat rumit
(odyssey of problems), dan sulit sekali ditentukan pijakan awal untuk memulainya. Dan
karena adanya faktor kesulitan inilah, justru harus ditentukan starting point untuk
memulai program reformasi. Dalam hubungan ini, penulis menyarankan agar reformasi
birokrasi dimulai dengan pematangan SDM terdidik pada level menengah (para birokrat
muda usia 30-50, berpendidikan Sarjana keatas, pangkat minimal Penata, serta memiliki
pemikiran cukup matang strategis). Pada saat yang bersamaan, reformasi juga harus
dilakukan oleh para birokrat muda tersebut. Disini, paling tidak terdapat tiga alasan
yang mendorong perlunya memperlakukan birokrat muda sebagai faktor dan aktor
utama dalam reformasi birokrasi.
Pertama, birokrat muda diasumsikan memiliki energi dan potensi perubahan
yang signifikan untuk menuju pada suatu tatanan organisasi yang lebih dinamis.
Pengalaman bangsa kita semenjak revolusi kemerdekaan hingga masa reformasi pasca
Orde Baru membuktikan begitu kuatnya peranan pemuda dalam menginisiasi dan
mengakselerasi perubahan. Mengharapkan pegawai pada low level (golongan I dan II
atau yang berpendidikan SLTA kebawah) untuk menggulirkan reformasi, jelas suatu hal
yang mustahil. Sementara pegawai yang sudah menduduki posisi mapan dan memegang
fungsi penting dalam pengambilan keputusan, seringkali alergi dan kurang peka
terhadap tuntutan reformasi. Sebab, reformasi sering dipersepsi secara salah sebagai
?
upaya mengganti tokoh-tokoh lama dan sistem lama dalam birokrasi. Itulah sebabnya,
kelas menengah dalam birokrasi harus memposiikan diri sebagai pelopor reformasi,
tanpa harus menunggu inisiatif dari atas atau desakan dari bawah. Gagasan seperti ini
antara lain didukung oleh Sadu Wasistiono (2003) yang mengatakan bahwa hanya
birokrasi kelas menengah-lah yang dapat menggulirkan reformasi birokrasi secara
sukses.
Kedua, SDM dengan kompetensi unggul adalah inti dari birokrasi dan menjadi
motor penggerak roda organisasi. SDM yang unggul akan dapat mengelola
sumber-sumber daya aparatur secara efektif dan efisien; merumuskan kebijakan publik
yang tepat dan berkualitas prima; menegakkan peraturan secara adil, jujur dan
konsisten; menjalankan fungsi-fungsi manajemen secara taat azas, sekaligus mengawal
organisasi untuk selalu berada pada jalur yang tepat untuk mencapai visi dan misinya.
Dan harus diakui bahwa SDM yang memenuhi karakteristik tersebut, sebagian besar
terdapat pada jenjang menengah (young bureaucrats). Dalam konteks ini, perubahan
sebesar apapun pada tataran institusional dan kesisteman tidak akan membawa efek
positif yang optimal tanpa disertai dengan pembenahan aspek SDM. Sebaliknya,
kondisi institusional dan kesisteman yang kurang baik akan dapat tertutupi oleh human
resources yang telah terbangkitkan seluruh potensinya.
Ketiga, birokrat muda relatif memiliki visi dan idealisme yang tinggi, dan
belum banyak terpengaruh oleh patologi birokrasi seperti KKN, pemborosan sumber
daya, arogansi jabatan, dan sebagainya. Keadaan para birokrat muda yang masih
bersih ini perlu dijaga agar tidak terkontaminasi oleh lingkungan kerjanya yang sudah
kotor. Jika generasi muda ini dapat dijamin kemurnian pemikiran dan perilakunya,
maka dapat dipastikan bahwa pada saat mereka menempati posisi-posisi kunci, birokrasi
akan terbebas sama sekali dari penyakit-penyakit kronisnya. Namun sekali saja mereka
tercemar oleh penyakit-penyakit tadi, maka reformasi tidak akan pernah mencapai
sasaran. Disinilah perlunya strategi sterilisasi atau bahkan isolasi para calon
birokrat masa depan dari perilaku dan lingkungan birokrasi yang korup dan tercela. Jika
diperlukan, upaya menjaga kemurnian dan idealisme birokrat muda tadi dapat dilakukan
dengan cara memotong satu generasi (cut one generation). Membuang sekelompok
birokrat busuk demi menyelamatkan nyawa birokrasi secara umum kiranya dapat
8
dikategorikan sebagai langkah yang tepat dan baik.
7

Pertanyaannya kemudian adalah, peran seperti apa yang dapat diserahkan
kepada birokrat muda tadi?
Salah satu kebijakan yang perlu segera dilakukan dalam hal ini adalah
memberikan kesempatan kepada para birokrat muda tadi untuk mengekspresikan ide-ide,
cita-cita dan harapannya seluas dan sebebas mungkin. Dengan kata lain, perlu
disosialisasikan adanya budaya menggali ide dari bawah. Di Jepang, misalnya,
mekanisme seperti itu sudah lama diterapkan di perusahaan-perusahaan multi nasional
(MNCs) seperti Toyota dan NipponExpress. Disini, upaya untuk memberdayakan staf
dari level terbawah itu disebut Teian Seido. Bahkan NipponExpress sudah menerapkan
Teian Seido sejak tahun th 1963, dan diperbaharui pada tahun 1990.
8
Sementara di
Toyota, setiap tahun ada sekitar 60.000-an "teian" (ide/gagasan) dari pegawai untuk
perbaikan dari setiap unit kerja seperti produksi dan sebagainya. Setiap "teian" yang
diterima akan dihargai dengan reward antara 500 yen hingga 200.000 yen, tergantung
dari nilai gagasan tersebut.
Dengan model seperti ini, kebijakan manajer berfungsi sebagai motivator yang
akan mendorong lahirnya iklim kerja yang sangat kompetitif antar staf, sehingga dapat
memacu produktivitas organisasi secara menyeluruh. Disamping itu, setiap pegawai
akan terbiasa berpikir analitis dan inovatif untuk menggali dan menemukan
strategi-strategi terbaru dan terbaik yang harus dilakukan unit kerja atau organisasinya.
Disini ada hubungan yang saling menguntungkan antara perusahaan / organisasi dengan
SDM pendukungnya.
Sementara itu, kondisi di Indonesia pada umumnya masih dicirikan oleh
pola-pola patron klien, atasan bawahan, ataupun elite massa yang cukup
menonjol. Akibatnya, banyak staf yang kurang berani berdebat dengan atasannya, dan
banyak atasan yang merasa lebih pintar dan lebih baik dibanding bawahannya. Banyak

7
Sekedar ilustrasi, 4.000 orang di Cina telah dihukum mati sejak 2001 karena terbukti melakukan
kejahatan, termasuk korupsi. Sedangkan selama 4 bulan pada 2003 lalu, 33.761 polisi dipecat. Mereka
dipecat tidak hanya karena menerima suap, tapi juga berjudi, mabuk-mabukan, membawa senjata di
luar tugas, dan kualitas di bawah standar. Bagi Perdana Menteri Zhu Rongji, inilah jalan
menyelamatkan Cina dari kehancuran. Baca berita selengkapnya di Republika, Rabu, 21 Juli 2004.
Dapat diakses online di http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=167107&kat_id=19
8
Periksa website resmi NipponExpress di
http://www.nipponexpress.net/Europe/about/history/history.html
9
staf yang nampaknya masih suka diam dan manut terhadap apapun yg dimaui dan
ditetapkan pimpinannya. Disisi lain, karakter-karakter ortodoks dari gaya bossy atau
showbiz hingga gaya manajemen yang determinatif dan interventif, masih banyak
melekat di jajaran petinggi birokrasi. Akibatnya, ide-ide masih mengalir dari atas
(top-down) dan menumpulkan pemikiran dari bawah dan dari tengah (bottom-up).
Kondisi seperti inilah yang harus segera dikikis dan dihilangkan dalam
mekanisme kerja birokrasi publik di masa-masa mendatang. Terlebih lagi, dalam satu
dekade kedepan, alih generasi tidak mungkin bisa dihindari apalagi diabaikan begitu
saja. Pengabaian terhadap proses alami tentang regenerasi, akan berdampak secara
langsung terhadap figur organisasi yang loyo dan tidak produktif (osteoporosis akut).
Meskipun demikian, perlu disadari bahwa pemantapan peran birokrat muda ini
hanyalah salah satu strategi pengungkit untuk menggulirkan reformasi birokrasi. Untuk
berhasilnya strategi ini, jelas diperlukan strategi-strategi lain sebagai pendukungnya.
Dengan demikian, reformasi birokrasi dapat berjalan terarah namun tidak parsial.

Catatan Penutup
Esensi reformasi birokrasi pada hakekatnya adalah upaya mengembalikan
birokrasi kepada fungsi aslinya, yakni melayani dan mengayomi (to serve and to
preserve).
9
Dan untuk bisa mengembalikan fungsi aslinya tadi, memang diperlukan
sebuah strategi inti pengungkit (key leverage). Sesuai dengan namanya, strategi
pengungkit hanya berfungsi untuk merangsang dan memulai berlangsungnya proses
reformasi birokrasi, namun bukan merupakan strategi besaran (grand strategy) dari
reformasi itu sendiri.
Dalam kaitan ini, penulis meyakini bahwa keberadaan SDM aparatur yang
bermutu, khususnya dari kalangan menengah, memiliki potensi besar untuk memainkan
peran sebagai faktor pengungkit tadi. Kalaupun saat ini masih terkesan tidak
terberdayakan, hal itu menunjukkan belum adanya upaya konkrit dan sistematis untuk
mereformasi birokrasi. Dan fakta inilah yang justru mendorong kita untuk memulai
proses reformasi birokrasi, SEKARANG !!!

9
Tentang trend administrasi publik di abad ke-21 dan reformasi fungsi-fungsi pelayanan dan
pengayoman, baca: Asian Development Bank, 2000, To Serve and To Preserve: Improving Public
Administration In A Competitive World.
l0
Daftar Pustaka
Asian Development Bank, 2000, To Serve And To Preserve: Improving Public
Administration In A Competitive World, ADB Publication series. Tersedia
online di http://www.adb.org/Documents/Manuals/Serve_and_Preserve/default.asp
Grindle, Merilee S., no year, The Good Government Imperatives: Human Resources,
Organizations and Institutions in Merilee S. Grindle (ed.), Getting Good
Governance: Capacity Building in the Public Sector of Developing
Countries, Harvard University Press.
Nonaka, Ikujiro dan Hirotaka Takeuchi, 1995, The Knowlegde-creating Company, How
Japanese Companies Create the Dynamics of Innovation, Oxford University
Press.
Osborne, David dan Peter Plastrik, 1996, Banishing Bureaucracy, The Five Strategies
for Reinventing Government, Addison Wesley.
Osborne, David dan Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government, How the
Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector, Addison Wesley.
Pollitt, Christopher and Geert Bouckaert, 2000, Public Management Reform: A
Comparative Analysis, New York: Oxford University Press.
Savas, E. S., 1987, Privatization: The Key to Better Government. Chatham, NJ:
Chatham House.
Senge, Peter M., 1995, The Fifth Discipline, Bantam Doubleday Dell Publishing Group,
Inc.
Spencer, Lyle M. and Signe M. Spencer, Competence at Work, Models for Superior
Performance, John Wiley & Sons, Inc., New York, 1993
UNDP, January 1998, Capacity Assesment and Development In a System and Strategic
Management Context, Technical Advisory Paper No. 3, Management
Development and Governance Division, Bureau for Development Policy.
Wasistiono, Sadu, 2003, Analisis Sistem Kepegawaian Dalam Rangka Otonomi Daerah
Berdasarkan Perspektif Kebijakan dan Sistem Pemerintahan Daerah,
makalah disampaikan pada Workshop Pemberdayaan Aparatur di Era
Otonomi, PKP2A I LAN, Bandung, 2 Oktober.
World Bank, 1996, World Development Report: From Plan to Market, Oxford
University Press.

Anda mungkin juga menyukai