Anda di halaman 1dari 28

ADMINISTRASI PEMBANGUNAN KESEHATAN

Oleh

ANTIKA NABILA TOBING


NIM 22. 22. 002

Dosen Pengampu: Reni Aprinawaty Sirait, SKM., M.Kes

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


INSTITUT KESEHATAN MEDISTRA
LUBUK PAKAM
2023
1. Perspektif Administrasi Pembangunan Terhadap Pembangunan
Kualitas Manusia dan Masyarakat

Peran birokrasi dalam pembangunan merupakan bentuk kajian yang


penting. Ada beberapa segi yang penting dalam praktek birokrasi yang berfungsi
untuk menunjang pembangunan, yaitu adanya birokrasi sebagai alat integrasi
nasional, birokrasi sebagai pelopor pembangunan dan birokrasi sebagai agen
sosialisasi politik. Sebagai alat integrasi nasional, praktek birokrasi mempunyai
peran yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang. Selain itu terdapat
beberapa faktor penentu yang dapat mempengaruhi integrasi nasional. Ketiga peran
di atas hanyalah sebagian kecil dari peran birokrasi yang beraneka ragam.
Pelaksanaan birokrasi berhubungan erat dengan perangkat pelaksananya, yaitu para
administrator. Mereka memiliki kewenangan untuk menentukan garis-garis
kebijakan birokrasi yang didasarkan atas pertimbangan rasional dan pengalaman
yang dimilikinya. Hal ini bukan berarti mereka bebas menentukan kebijakan
dengan sebesar-besarnya, tetapi mereka hendaknya berpegang pada segi etika yang
merupakan pedoman bagi administrator untuk menjalankan roda pembangunan
seoptimal mungkin berlandaskan pada nilai-nilai moral yang terkandung dalam
etika pembangunan.

2.1. Birokrasi Untuk Pembangunan Kualitas Manusia


Para ahli seperti Tjokrowinoto (1989), Effendi (1990), Evers (1988), Bintoro
(1987), Mustopadidjaja (1988), Abdullah (1985), Brett (1988) dan Bryant dan
White (1987) sudah sering mensinyalir bahwa salah satu hambatan yang besar
dalam pembangunan di negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah sistem
administrasi negara yang belum memiliki kemampuan yang cukup memadai buat
melaksanakan berbagai tugas pembangunan yang semakin kompleks. Hambatan ini
akan menjadi semakin nyata pada Tahap Pembangunan Jangka Panjang Kedua
(1993/94 - 2018/2019) karena, berbeda dengan Pembangunan Jangka Panjang
Pertama, tujuan pembangunan nasional masa masa tersebut akan lebih menitik
beratkan pada peningkatan kualitas manusia dan kualitas masyarakat sebagai upaya
meningkatkan martabat manusia. Orientasi pembangunan yang telah berubah ini
memerlukan sistem administrasi yang berbeda dari sistem yang ada sekarang ini.
Max Weber, sosiolog Jerman yang merumuskan konsep birokrasi untuk
pertama kali, mempunyai pemikiran yang amat ber-beda dari para sarjana yang
dibicarakan di atas tentang hubungan antara birokrasi dan pembangunan ekonomi.
Menurut Weber, birokratisasi adalah prasyarat bagi pembangunan ekonomi dan
upaya penciptaan industri modern. Tanpa birokrasi tidak mungkin dicapai ekonomi
modern yang berkelanjutan, industrialisasi yang cepat dan "take-off into
selfsustained growth" (Giddens, 1985:195).
Teori birokratisasi Weber tadi menimbulkan satu pertanyaan: "Apakah
birokratisasi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sudah sampai ke
tingkat yang cukup tinggi sebagai prasarana pembangunan ekonomi?" Atau,
sebaliknya, sudahkah birokratisasi yang terlalu berlebihan (overbureaucratization)
justru telah menjadi beban yang menghambat kemajuan ekonomi negara ini?

Evers (1987) dalam analisisnya tentang birokratisasi Asia Tenggara membedakan tiga
pola birokratisasi berikut:
(a) Pola pertama adalah birokratisasi sebagai proses rasionalisasi prosedur
pemerintahan dan aparat administrasi negara. Proses ini menjadi fokus dan dibahas
secara luas da-lam teori Weber dan oleh Evers dinamakan birokratisasi ala Weber
atau Weberisasi atau (Bw).
(b) Pola kedua adalah proses birokratisasi dalam bentuk peningkatan jumlah pegawai
negeri dan pembesaran organisasi pemerintah. Dalam literatur ilmu sosial sering
disebut nama Parkinson, tokoh ilmu sosial dari Universitas Singapura men-jadi
terkenal karena "Parkinson's Law" yang telah diciptakannya. Hukum Parkinson ini
menyatakan: (1) tiap pegawai negeri akan berusaha sekuat tenaga meningkatkan
jumlah pegawai bawahannya, dan (2) tiap pegawai akan selalu menciptakan tugas
baru bagi dirinya sendiri yang sering diragukan manfaat dan artinya. Karena itu laju
birokratisasi akan meningkat dan jumlah pegawai negeri akan naik secara otomatis
tidak tergantung dari beban tugas yang diperlukan. Pola semacam ini disebut Evers
birokratisasi Parkinson
(c) Pola ketiga adalah birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan pemerintah
dengan maksud mengontrol ke-giatan ekonomi, politik dan sosial masyarakat
dengan pera-turan, regulasi, dan bila perlu pemaksaan. Proses ini di-sebut Evers
birokratisasi Orwell atau Orwellisasi sesuai dengan gambaran masyarakat yang
digambarkan oleh penulis George Orwell dalam novelnya yang berjudul "1984".
Agar dapat melaksanakan pembangunan kualitas manusia yang mencakup
dimensi-dimensi kapasitas (capacity), pemerataan (equity), pemberian kewenangan
dan kekuasaan kepada masyarakat (empowerment), keberlanjutan (sustainability) dan
kesadaran akan saling-ketergantungan (interdependency), diperlukan pemberian
kesempatan yang lebih besar kepada partisipasi masyarakat melalui LSM mau pun
lembaga perwakilan rakyat. Dengan kata lain diperlukan peninjauan kembali ten-tang
peranan birokrasi dalam usaha pembangunan nasional. Kesulitan-kesulitan yang
dihadapi selama Repelita III dan IV dan di masa-masa yang akan datang menunjukkan
bahwa pembangunan ekonomi semata-mata tidak lagi memadai untuk meningkatkan
taraf kemakmuran kita serta untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju.
Kapasitas administrasi negara untuk melaksanakan pembangunan relatif masih
rendah dan belum mampu memecahkan masalah-masalah nasional yang besar seperti
pemerataan hasil pembangunan, pening-katan produktivitas nasional, penyediaan
kesempatan kerja dan penyelenggaraan pelayanan publik. Masalah-masalah tersebut
tidak mungkin dapat dipecahkan melalui upaya pemba-ngunan yang unidimensional
atau sektoral seperti yang kita ikuti selama ini dengan semata-mata mengandalkan
kemampuan administrasi negara. Untuk mengatasi masalah-masalah nasio-nal tadi
kualitas manusia dan masyarakat perlu ditingkatkan agar potensi penduduk dapat
diarahkan pada upaya pembangunan nasional. Dalam kerangka pemikiran ini lah,
pembangunan kualitas manusia mendapatkan penekanan pada GBHN 1988.

2.2. Meningkatkan Kualitas Manusia dalam Birokrasi Pembangunan


Secara garis besar hambatan-hambatan pada birokrasi pembangunan dapat
dikelompokkan menjadi dua, yakni: hambatan proses dan hambatan orientasi
(Saxena, 1986:49). Hambatan proses mencakup baik aspek struktur dan prosedur.
Hingga kini struktur organisasi modern tetap dipandang sebagai model birokrasi
yang tepat buat melaksanakan pembangunan.
Birokratisasi dan sentralisasi yang kuat dalam pengelolaan pembangunan
telah menimbulkan struktur birokrasi yang amat hirarkis dan legalistis, sehingga
prosedur lebih bertujuan untuk memenuhi tuntutan struktur daripada manfaat.
Fleksibilitas dan arus komunikasi yang lancar yang amat diperlukan dalam
penyelenggaraan program pembangunan menjadi terhambat, dan dalam birokrasi
pembangunan yang luar biasa besarnya di Indonesia, prosedur menjadi amat
kaku dan lamban. Yang lebih parah adalah prosedur yang mencekik ini ditumpangi
lagi oleh kepentingan pribadi dan dijadikan komoditi yang diperdagangkan untuk
keuntungan pribadi mau pun kelompok.
Dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan sebagai upaya peningkatan
kapasitas, sifat-sifat birokrasi pemerintah yang stabil mekanistis tidak mungkin
dihilangkan secara keseluruhan. Sifat tersebut hanya dapat dikurangi dan diganti
dengan organisasi yang lebih bersifat organis-adaptif (Saxena, Ibid; dan Bennis,
1969), yaitu organisasi yang selalu tumbuh dan menyesuaikan diri dengan tujuan
yang hendak dicapai dan dengan dinamika lingkungannya, yang lebih terbuka
terhadap gagasan peningkatan kapasitas, serta yang mampu melaksanakannya.
Struktur birokrasi yang organis-adaptif ini mempunyai pola hubungan yang lebih
longgar dan terbuka terhadap pengaruh positif dari luar. Partisipasi dalam
perumusan tujuan menjadi lebih lebar sehingga terbuka kesempatan yang luas
untuk keterlibatan dari bawah (bottom-up) mau pun dari atas (top-down).
Selain struktur organisasi yang organis-adaptif, dalam pengembangan
partisipasi ini perlu diadakan distribusi kekuasaan dan sumberdaya. Dengan kata
lain, suatu peringkat desentralisasi yang memadai adalah prasyarat lain yang
diperlukan buat pelaksanaan pembangunan kualitas manusia agarberhasil. Dalam
hal ini ada perbedaan yang jelas antara pem-bangunan dan nation-building. Dalam
nation-building memang diperlukan sentralisasi kekuasaan. Bagi Indonesia, tahap
ini sudah dapat kita lewati dengan berhasil. Dalam tahap pem-bangunan untuk
meningkatkan kualitas manusia dan kualitas masyarakat, sentralisasi yang berlebih-
lebihan ini harus segera ditinggalkan untuk diganti dengan desentralisasi, yakni
pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah dan masyarakat untuk
merencanakan, melaksanakan, dan menga-wasi pembangunan.
Untuk melaksanakan pembangunan seperti ini diperlukan desentralisasi
sebanyak mungkin urusan kepada daerah. Hanya daerah yang tahu secara lebih baik
aspirasi daerah serta dapat menilai apa sumberdaya alam dan sumberdaya manusia
yang mereka miliki serta untuk apa kekayaan tersebut akan digunakan. Karena itu
hambatan paling besar dalam pelaksa-naan kebijaksanaan semacam itu adalah
sentralisasi yang amat besar dalam sistem administrasi kita.
Hambatan yang ketiga adalah karena kelemahan yang ter-kandung dalam
sistem politik kita yang kurang mampu mengem-bangkan pengawasan oleh DPR
dan DPRD. Salah satu sebab utama kekurang berhasilan pembangunan di negara
sosialis dan Dunia Ketiga menurut kajian yang diadakan oleh Institute of Devel-
opment Studies, Universitas Sussex, adalah karena lemahnya sistem pengawasan
demokratis di negara-negara ini. Sampai saat ini DPR dan DPRD, dengan berbagai
cara, masih diperla-kukan sebagai kepanjangan dari lembaga eksekutif. Karena itu
tidak ada kekuatan politik yang berarti yang mengontrol lem-baga eksekutif.
Dominasi birokrasi dalam kehidupan politik, karena amat sukar membedakan
antara birokrasi dengan Golkar sebagai kekuatan politik yang sedang berkuasa,
telah memper-buruk keadaan ini dan telah amat melemahkan efektivitas pe-
ngawasan terhadap lembaga eksekutif.

2.3. Upaya Meningkatkan Kualitas Manusia Organisasi


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan administrasi
pemerintah untuk melaksanakan pembangunan martabat manusia tidak mungkin
dapat ditingkatkan tanpa peningkatan kualitas manusia dalam birokrasi
pembangunan itu sendiri. Kualitas yang diperlukan oleh petugas birokrasi
pembangunan itu antara lain mencakup ketaatan pada prinsip-prinsip moral dan
agama yang tinggi, rasa kesetiakawanan sosial dalam hubungan sebagai pejabat dan
masyarakat, rasionalitas sebagai pejabat yang merupakan individu organisasi dan
institusi yang lebih mementingkan tujuan organisasi daripada tujuan individu serta
tingkat kemandirian yang juga tinggi.
Dalam upaya untuk menghasilkan organisasi yang memiliki effisiensi dan
otonomi yang diperlukan buat melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan
martabat manusia, disadari bahwa hirarki yang terlalu panjang dan
compartmentalized akan menghasilkan kekakuan dan subordinasi yang berlebihan.
Karena itu inti dari upaya untuk meningkatkan kualitas manusia dalam birokrasi
pembangunan meliputi upaya meningkatkan produktivitas mereka melalui sistem
insentif, baik finansial dan non-finansial, yang lebih baik, serta merubah tata nilai
serta lingkungan birokrasi melalui:
1. Pelatihan Tehnis dan Moral
2. Desentralisasi dan Reintegrasi
3. Demokratisasi

2. Perkembangan dan Praktek Administrasi Pembangunan di Negara-

Negara Berkembang

PEMBANGUNAN ADMINISTRASI

1. Keadaan Administrasi di Negara Berkembang

Tingkat perkembangan administrasi di Negara berkembang dipengaruhi oleh

berbagai factor yang disebut lingkungan administrasi di bidang politik, ekonomi,

dan sosial. Di bidang politik mengenai system politik yang dianut keterkaitan antara

administrasi dengan pemegang kedaulatan dan kekuatan politik, partisipasi

masyarakat dalam proses politik dsb, dalam bidang ekonomi pasar atau dominasi

pemerintah. Di bidang sosial indicator yang dikembangkan adalah Pendidikan

(tingkat melek huruf, sekolah yang ditamatkan, dll), di bidang Kesehatan

(kematian, kelahiran bayi, derajat gizi masyarakat dsb) di bidang keagamaan,

bidang kependudukan, dan aspek sosial lainnya.


1. Pembaharuan Administrasi

Menurut Riggs (1966) pembaharuan administrasi merupakan suatu pola

yang menunjukkan peningkatan efektifitas pemanfaatan sumber daya yang

tersedia untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Riggs melihat

pembaharuan dari dua sisi yaitu perubahan structural dan kinerja. Dua aspek

yang menjadi ukuran adalah efektifitas dan efisiensi menunjukan bagaimana

tercapainya, yakni dibanding usaha, biaya atau pengorbanan yang dikeluarkan.

Walls (1989) mengartikan pembaharuan administrasi sebagai induced,

permanent improvement in administration. Sedangkan Esman (1995) dalam

sebuah analisis menunjukkan bahwa Upaya memberikan memperbaiki kinerja

birokrasi negara harus meliputi ketanggapan terhadap pengawasan politik,

efisiensi dalam penggunaan sumber daya, dan efektifitas dalam pemberian

pelayanan.

Pembangunan administrasi di negara berkembang umumnya menikuti pola

yang dikembangkan di negara maju. Di bidang ekonomi peranan pemerintah

bukan hanya dalam pengaturan kebijaksanaan, namun sebagai pelaku aktif.

Kerangka piker pembaharuan administrasi dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Privatisasi dan ko-produksi merupakan pergeseran dari usaha yang

dilakukan atau dimiliki oleh pemerintah ke swasta.

b. Debirokratisasi, merupakan usaha perampingan dan penyederhaan

birokrasi public.

c. Reorganisasi, menata ulang fungsi-fungsi sesuai peran baru pemerintah,

seperti desentralisasi.
d. Perubahan sikap birokrasi, memerlukan perubahan mendasar dari

birokrasi, terutama memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungannya

dengan masyarakat.

e. Etika birokrasi

f. Deregulasi dan Regulasi

2. Hambatan Terhadap Pembaharuan

Walls (1989) menunjukan kesulitan dalam Upaya pembaharuan

administrasi yaitu:

a. Kurangnya kesadaran atau pengetahuan mengenai buruknya kinerja

administrasi dan bagaimana perbaikan harus dilakukan.

b. Perubahan yang dilakukan untuk perbaikan mendapat tantangan dari

birokrat yang sudah mapan dan ingin mempertahnkan kemapanan nya.

c. Saran, rencana atau program penyempurnaan administrasi kadang

terlalu umum, kabur dan tidak jelas serta sulit diterapkan secara konkrit.

d. Terlait hal itu, mereka seharsnya bertanggung jawab atas perubahan.

e. Kegagalan sebelumnya menyebabkan keputusasaan atau sikap acuh tak

acuh, karena menganggap apapun yang diusahakan tidak akan berhasil.

f. Pembahruan harus dilakukan secara sistematis dan terarah, didukung

oleh political will yang kuat, konsisten, dan konsekuen.


2. Pembangunan kelembagaan administrasi pembangunan (Institution

Building) di Indonesia

Lembaga adalah kata yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Di

dalam Kamus Bahasa Indonesia Lembaga biasanya digunakan untuk merujuk pada

organisasi tertentu yang ada di masyarakat. Namun di dalam Ekonomika

Kelembagaan Baru penggunaan kata lembaga lebih dominan untuk merujuk pada

sekumpulan aturan, norma dan harapan yang memandu perilaku kita (Croix, 2005).

Douglas C. North (1991) mendefinisikan lembaga sebagai “Instituutions are the

humanly devised constraints that structure political, economic, and social

interaction. They consist of both informal constraint, and formal rules”. Bank

Dunia (2002) mendefinisikan lembaga sebagai aturan, mekanisme penegakan dan

organisasi.

Pembangunan lembaga bisa terdiri dari pemerintah, pelaku usaha, dan anggota

komunitas. Hukum atau undang-undang, agensi penegakannya adalah lembaga

publik yang dibangun pemerintah. Lembaga keuangan, norma warisan tanah,

hubungan antar anggota komunitas adalah lembaga swasta yang dibangun pelaku

usaha, dan anggota komunitas .

Peran penting kelembagaan dalam ekonomi adalah sebagai sarana untuk

menurunkan ketidak pastian atau mengubahnya menjadi resiko. Turunnya ketidak-

pastian membuat biaya transaksi menjadi lebih rendah, sehingga transaksi pasar

atau perdagangan akan meningkat. Sebagaimana telah dipahami bersama bahwa

perdagangan memberikan keuntungan bagi pelakunya, karena memungkinkan


mereka untuk spesialisasi. Spesialisasi akan meningkatkan produktivitas, dan pada

akhirnya akan meningkatkan kemakmuran masyarakat dan aktivitas ekonomi.

Peran lembaga terhadap perekonomian tersebut terkait dengan kondisi pasar

yang ada. Jika kondisi pasar sudah terbuka dan terintegrasi, maka peran

kelembagaan dalam mendorong perekonomian menjadi lebih besar. Jadi perlu

diperhatikan mengenai pembangunan lembaga yang dapat mendukung

berkembangnya pasar.

Perubahan dalam kondisi dan lingkungan masyakat yang terus terjadi,

mengakibatkan kelembagaannya yang mengatur interaksi masyarakat juga berubah.

Perubahan ini bisa terjadi secara alami ataupun melalui intervensi pemerintah.

Menurut North (2005) perubahan lembaga terjadi karena interaksi antara organisasi

dan lembaga. Individu dan organisasi bersaing untuk mengambil keuntungan dari

kesempatan yang disajikan dalam struktur kelembagaan yang ada. Jika organisasi

menganggap bahwa mereka dapat mempunyai kesempatan yang lebih baik dalam

susunan aturan yang berbeda, maka mereka akan mencurahkan sumber daya untuk

merubah aturan tersebut, jika mereka pikir pilihan tersebut mempunyai peluang

untuk berhasil.

Pembangunan lembaga yang mendukung pasar sangat penting untuk

mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Karena akses

terhadap pasar merupakan kunci untuk masyarakat dapat bertransaksi dengan

murah, sehingga meningkatkan spesialisasi. Spesialisasi meningkatkan

produktivitas dan kegiatan ekonomi.


Pembangunan kelembagaan di Indonesia masih sangat lemah, berdasarkan

salah satu indikator yang lazim digunakan untuk menggambarkan pembangunan

kelembagaan yakni IPK nilai Indonesia pada tahun 2010 hanya 2,8 dari skala nilai

0-10. Namun demikian perkembangan pembangunan kelembagaan Indonesia

relatif baik, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.

Pembangunan lembaga yang efektif adalah hal yang rumit, namun demikian ada

empat hal utama yang dapat dijadikan panduan untuk membangun lembaga yang

efektif. Pertama melengkapi lembaga yang ada, walaupun mengubah secara

keseluruhan itu lebih baik, namun ada kendala-kendala. Misal sosial, budaya dan

politik yang tidak memungkin perubahan secara keseluruhan. Dengan melengkapi

lembaga yang ada, menjadi dasar untuk perubahan lembaga yang lebih besar

nantinya.

Kedua melakukan inovasi untuk mengidentifikasi mana lembaga yang bisa

digunakan mana yang tidak. Perlu eksperimen untuk melihat lembaga mana yang

paling efektif untuk kondisi masyarakat tertentu. Dua hal pertama tadi adalah faktor

yang terkait dengan penawaran lembaga yang efektif. Sedangkan dua faktor berikut

adalah faktor yang terkait dengan permintaan terhadap permintaan lembaga yang

efektif. Pertama, menghubungkan masyarakat atau komunitas dari pelaku pasar,

melalui penyaluran informasi yang terbuka dan perdagangan terbuka. Dengan

adanya informasi yang baik memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk

membandingkan kondisi mereka dengan daerah dan negara lain. Dan jika mereka

melihat ada lembaga yang mungkin dapat memberikan perbaikan untuk mereka,

maka mereka akan meminta lembaga tersebut untuk diterapkan di daerahnya.

Perdagangan terbuka demikian juga effeknya, karena perdagangan semakin luas


dan komplek membuat masyarakat atau negara merasa perlu untuk membuat

lembaga yang dapat menghadapi lingkungan yang lebih komplek tersebut. Kedua

mendorong persaingan antar yuridiksi, perusahaan dan individu. Persaingan ini

akan membuat kualitas lembaga meningkat. Persaingan antar yuridiksi misalnya

akan menonjolkan lembaga yang sukses, sehingga menciptakan permintaan untuk

lembaga tersebut.

Pada saat akan memutuskan apakah membangun lembaga baru ataukah

memodifikasi yang ada, faktor kuncinya adalah apakah lembaga yang dibangun

memerlukan lembaga pelengkap atau tidak? Jika tidak maka membangun lembaga

baru adalah efektif. Tetapi jika ya maka lembaga pelengkap yang harus dibangun

dulu, atau memodifikasi lembaga yang ada supaya lebih efektif, dengan merancang

supaya dapat bekerja tanpa lembaga pendukung. Selain itu, faktor penting lainnya

adalah modal manusia, tingkat korupsi, dan biaya relatif terhadap pendapatan per

kapita. Jika tingkat modal manusianya rendah, sebaiknya membangun lembaga

yang sederhana saja, karena kemampuan penegakkannya juga rendah. Biaya yang

lebih tinggi relatif terhadap pendapatan per kapita untuk mengakses lembaga formal

akan berarti ketidak untungan. Dan anggota masyarakat yang lebih miskin tidak

bisa mengakses lembaga ini. Korupsi yang difasilitasi oleh aturan yang rumit dalam

pasar yang tidak terbuka dan dimana insentif lain untuk efisiensi birokrasi rendah.

Dalam negara ini, untuk melengkapi kondisi yang ada, regulasi perlu diringkas.

Perbedaan teknologi juga relevan. Untuk mengakomodasi perbedaan khusus negara

dalam budaya, endowment, inovasi harus didorong dan diterima.


3. Perbandingan Praktek Administrasi Pembangunan di Indonesia (Studi
Kasus Orla, Orba, Orde Reformasi) dalam Rangka Reformasi
Administrasi
A. Sejarah Perencanaan Pembangunan Indonesia
1. Orde Lama

Pada era Orde Lama, masa pemerintahan presiden Soekarno antara tahun 1959-

1967, pembangunan dicanangkan oleh MPR Sementara (MPRS) yang

menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan

nasional:

▪ TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik

Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara

▪ TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola

Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969,

▪ Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman

Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan

Pembangunan.

Dengan dasar perencanaan tersebut membuka peluang dalam melakukan

pembangunan Indonesia yang diawali dengan babak baru dalam mencipatakan

iklim Indonesia yang lebih kondusip, damai, dan sejahtera. Proses mengrehablitasi

dan merekontruksi yang di amanatkan oleh MPRS ini diutamakan dalam

melakukan perubahan perekonomian untuk mendorong pembangunan nasional

yang telah didera oleh kemiskinan dan kerugian pasca penjajahan Belanda.

Pada tahun 1947 Perencanaan pembangunan di Indonesia diawali dengan

lahirnya “Panitia Pemikir Siasat Ekonomi”. Perencanaan pembangunan 1947 ini

masih mengutamakan bidang ekonomi mengingat urgensi yang ada pada waktu itu
(meskipun di dalamnya tidak mengabaikan sama sekali masalah-masalah

nonekonomi khususnya masalah sosial-ekonomi, masalah perburuhan, aset Hindia

Belanda, prasarana dan lain lain yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial). Tanpa

perencanaan semacam itu maka cita-cita utama untuk “merubah ekonomi kolonial

menjadi ekonomi nasional” tidak akan dengan sendirinya dapat terwujud. Apalagi

jika tidak diperkuat oleh Undang-Undang yang baku pada masa itu.

Sekitar tahun 1960 sampai 1965 proses sistem perencanaan pembangunan mulai

tersndat-sendat dengan kondisi politik yang masih sangat labil telah menyebabkan

tidak cukupnya perhatian diberikan pada upaya pembangunan untuk memperbaiki

kesejahtraan rakyat.

Pada masa ini perekonomian Indonesia berada pada titik yang paling suram.

Persediaan beras menipis sementara pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk

mengimpor beras serta memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Harga barang

membubung tinggi, yang tercermin dari laju inflasi yang samapai 650 persen

ditahun 1966. keadaan plitik tidak menentu dan terus menerus bergejolak sehingga

proses pembangunan Indonesia kembali terabaikan sampai akhirnya muncul

gerakan pemberontak G-30-S/PKI, dan berakir dengan tumbangnya kekuasaan

presiden Soekarno.

2.Orde Baru

Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis

Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru.

Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani

sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala

tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai
Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas

Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada

Soeharto secara penuh.

Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional

dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu

diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional.

Pada era Orde Baru ini, pemerintahan Soeharto menegaskan bahwa

kerdaulatan dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian

dalam bidang sosial budaya. Tekad ini tidak akan bisa terwujud tanpa melakukan

upaya-upaya restrukturisasi di bidang politik (menegakkan kedaulatan rakyat,

menghapus feodalisme, menjaga keutuhan teritorial Indonesia serta melaksanakan

politik bebas aktif), restrukturisasi di bidang ekonomi (menghilangkan

ketimpangan ekonomi peninggalan sistem ekonomi kolonial, menghindarkan

neokapitalisme dan neokolonialisme dalam wujudnya yang canggih, menegakkan

sistem ekonomi berdikari tanpa mengingkari interdependensi global) dan

restrukturisasi sosial budaya (nation and character building, berdasar Bhinneka

Tunggal Ika dan Pancasila serta menghapuskan budaya inlander).

Pada masa ini juga proses pembangunan nasional terus digarap untuk dapat

meningkatkan kapasitas masyarakat dan menciptakan lapangan kerja. Pendapatan

perkapita juga meningkata dibandingkan dengan masa orde lama.

Kesemuanya ini dicapai dalam blueprint nasional atau rencana

pembangunan nasional. Itulah sebabnya di jaman orde lama kita memiliki rencana-

rencana pembangunan lima tahun (Depernas) dan kemudian memiliki pula

Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan-Tahun (Bappenas). Di jaman


orde baru kita mempunyai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I,

Repelita II, Repelita III, Repelita IV, Repelita V,dan Repelita VII (Bappenas).

Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis

moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk

seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN

semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya

ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan

sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama

kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi

besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi

peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti.

Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan

Reformasi”.

Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan

mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga

akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU

Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU

Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk

karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya

penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.

3. Reformasi
Setelah terjadi berbagai goncangan ditanah air dan berbagai tekanan rakyat

kepada presiden Soeharto, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto

mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan


jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya

kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.

Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor

perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional

(BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Selain itu pada masa ini juga memberi kebebasan dalam menyampaikan

pendapat, partisipasi masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari

munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat

bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping

kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers.

Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat

Izin Usaha Penerbitan (SIUP).

Dengan hadirnya reformasi pembangunan dapat di kontrol langsung oleh

rakyat, dan kebijakan pembangunanpun didasari demokrasi yang bebunyi dari, oleh

dan untuk rakyat, sehingga dengan dasar ini partisipasi rakyat tidak terkekang

seperti pada masa orde baru,kehidupan perekonomian Indonesia dapat didorong

oleh siap saja.

Selain pemabangunan nasional pada masa ini juga ditekankan kepada hak

daerah dan masyarakatnya dalam menentukan daerahnya masing-masing, sehingga

pembangunan daerah sangat diutamakan sebagaimana dicantumkan dalam

Undang-Undang no 32/2004,Undang-Undang 33/2004, Undang-Undang 18/2001

Untuk pemerintahan Aceh, Undang-Undang 21/2001 Untuk Papua. Keempat


undang-undang ini mencerminkan keseriusan pusat dalam melimpahkan

wewenangnya kepada pemerintah dan rakyat di daerah agar daerah dapat

menentukan pembangunan yang sesuai ratyatnya inginkan.

B. Kebijakan Ekonomi Dalam Pembangunan


1. Orde Lama

Masa pemerintahan Soekarno kebijakan ekonomi pembangunan masih

sangat labil, yang didera oleh berbagai persoalan antaranya pergejolakankan politik

yang belum kondusif dan juga system pemerintahan yang belum baik, sehingga

berdampak pada proses pengambilan kebijakan.

a. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)

Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain

disebabkan oleh :

1. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu

mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu

pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu

mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan

mata uang pendudukan Jepang.

2. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk

menutup pintu perdagangan luar negeri RI.

• Kas negara kosong.

• Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.


Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara

lain :

1. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir.

Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.

2. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan

kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade

Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.

3. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947

4. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan

tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.

5. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan

beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan,

diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat :

sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).

b. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)

Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem

ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada

pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :

1. Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret

1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.

Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember


1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank

sirkulasi.

2. Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk

pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda

yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi

belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.

c. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)

Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia

menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus

pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini,

diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam

sosial, politik,dan ekonomi. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang

diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi

Indonesia, antara lain :

1. Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang

sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas

pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang

melebihi 25.000 dibekukan.

2. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi

sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru

mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-

1962 harga barang-baranga naik 400%. Devaluasi yang dilakukan pada 13

Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000.


3. Tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan

angka inflasi. Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu

diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-

pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang

dilaksanakan pemerintah dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan

Malaysia dan negara-negara Barat.

2. Orde Baru

Pada masa Orde Baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak

mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa

itu pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung

terjadinya stabilitas ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali

melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan ekonominya berorientasi

kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh

kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke

dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu

stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan.

Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami

stabilitas politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan

ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi APBN.

APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-

asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga
ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika.

Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi

nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan

pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-

ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang

tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh

karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa

penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.

Format APBN pada masa Orde Baru dibedakan dalam penerimaan dan

pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan

pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran

pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret

tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini diterapkan seseuai dengan

masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi

nasional memperhatikan petani.

APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang,

yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran

sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal

perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu

pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang

digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit.

Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada

anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah

utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang
akan datang. Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena

anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang

benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam

negeri.

Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang.

Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat

menutup defisit anggaran.

3. Reformasi

Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde

Baru kemudian disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan

Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami

perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil

dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan

dengan keadaan.

Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum

melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi.

Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada

masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang

cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada

berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain

masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja

BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden

terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat.

Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.


Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah

yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan

hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan

ekonomi antara lain :

1. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada

pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar

negeri sebesar Rp 116.3 triliun.

2. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara

di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari

intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil

penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi

4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN

yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.

Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan

Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal

keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan

modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.

Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan

kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan

harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia.

Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta

bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.


Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial

kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan

BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan

berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan

perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk

mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji

memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian

Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para

investor dengan kepala-kepala daerah.

Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang

pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak

lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri.

Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah

keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin

menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari

2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.

Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit

perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan

dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya

investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan

kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan

anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar

negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
Pada masa Reformasi ini proses pembangunan nasional memang sudah

demokratis dan sudah memerankan fungsi pemerintah daerah dalam menjalankan

pasipartisi rakyat daerahnya. Dengan peluang otonomi daerah telah memberikan

sumbangsi yang besar terhadap proses percepatan pembangunan nasional dan juga

menjaminnya sistem demokrasi yang merakyat.

C. Sistem Pemerintahan

1. Orde lama

kebijakan pada pemerintah, berorientasi pada politik,semua proyek

diserahkan kepada pemerintah, sentralistik,demokrasi Terpimpin, sekularisme.

2. Orde Baru

Kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi sudah diserahkan

ke swasta/asing, fokus pada pembangunan ekonomi, sentralistik, demokrasi

Pancasila, kapitalisme.

Soeharto dan Orde Baru tidak bisa dipisahkan. Sebab, Soeharto melahirkan

Orde Baru dan Orde Baru merupakan sistem kekuasaan yang menopang

pemerintahan Soeharto selama lebih dari tiga dekade. Betulkah Orde Baru telah

berakhir? Kita masih menyaksikan praktik-praktik nilai Orde Baru hari ini masih

menjadi karakter dan tabiat politik di negeri ini. Kita masih menyaksikan koruptor

masih bercokol di negeri ini. Perbedaan Orde Baru dan Orde Reformasi secara

kultural dan substansi semakin kabur. Mengapa semua ini terjadi? Salah satu

jawabannya, bangsa ini tidak pernah membuat garis demarkasi yang jelas terhadap

Orde Baru.
Tonggak awal reformasi 11 tahun lalu yang diharapkan bisa menarik garis

demarkasi kekuatan lama yang korup dan otoriter dengan kekuatan baru yang ingin

melakukan perubahan justru “terbelenggu” oleh faktor kekuasaan.Sistem politik

otoriter (partisipasi masyarakat sangat minimal) pada masa orba terdapat

instrumen-instrumen pengendali seperti pembatasan ruang gerak pers,

pewadahunggalan organisasi profesi, pembatasan partai poltik, kekuasaan militer

untuk memasuki wilayah-wilayah sipil, dll.

3. Reformasi

Pemerintahan tidak punya kebijakan (menuruti alur parpol di DPR),

pemerintahan lemah, dan muncul otonomi daerah yang kebablasan, demokrasi

Liberal (neoliberaliseme), tidak jelas apa orientasinya dan mau dibawa kemana

bangsa ini.

Anda mungkin juga menyukai