Anda di halaman 1dari 26

Berikan pendapat saudara terkait keterkaitan antara kelompok strategis dengan

birokrasi!

Jawab :

Keterkaitan antara kelompok strategis dengan birokrasi merupakan hal yang penting
dalam konteks pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan dalam sebuah
organisasi atau pemerintahan. Pendapat saya adalah sebagai berikut:

1. Pengaruh Kelompok Strategis terhadap Birokrasi: Kelompok strategis dalam


sebuah organisasi, seperti dewan direksi atau manajemen eksekutif, memiliki peran
penting dalam menentukan arah strategis dan tujuan organisasi. Mereka biasanya
bertanggung jawab atas pengambilan keputusan tingkat tinggi. Keterkaitan antara
kelompok strategis dan birokrasi adalah dalam hal kelompok strategis mengarahkan
visi, misi, dan tujuan organisasi. Birokrasi, sebagai sistem administrasi dan
pelaksanaan, akan berusaha untuk mencapai tujuan-tujuan ini sesuai dengan arahan
dari kelompok strategis.
2. Pelaksanaan Kebijakan: Birokrasi memiliki peran penting dalam melaksanakan
kebijakan yang ditetapkan oleh kelompok strategis. Mereka mengubah kebijakan
menjadi tindakan konkret, mengawasi pelaksanaannya, dan mengukur pencapaian
tujuan. Keterkaitan yang baik antara kelompok strategis dan birokrasi penting untuk
memastikan bahwa kebijakan yang dibuat pada tingkat strategis dapat dijalankan
secara efisien dan efektif di tingkat operasional.
3. Birokrasi sebagai Penyedia Informasi: Birokrasi berperan sebagai sumber informasi
yang penting bagi kelompok strategis. Mereka menyediakan data, analisis, dan
laporan yang diperlukan untuk mendukung pengambilan keputusan strategis. Kualitas
dan akurasi informasi yang diberikan oleh birokrasi memiliki dampak besar terhadap
kemampuan kelompok strategis dalam membuat keputusan yang tepat.
4. Pengaruh Kelompok Strategis terhadap Kultur Organisasi: Kelompok strategis juga
memiliki pengaruh dalam membentuk budaya organisasi. Nilai-nilai, norma, dan
prioritas yang mereka promosikan akan mempengaruhi cara birokrasi beroperasi.
Keterkaitan yang kuat antara kelompok strategis dan birokrasi dapat membantu
memastikan bahwa budaya organisasi mendukung visi dan tujuan strategis.
5. Pengawasan dan Pertanggungjawaban: Kelompok strategis juga memiliki peran
dalam pengawasan dan pertanggungjawaban birokrasi. Mereka harus memastikan
bahwa birokrasi menjalankan tugasnya dengan baik dan sesuai dengan kebijakan yang
telah ditetapkan. Transparansi dan akuntabilitas penting dalam memastikan kinerja
birokrasi yang efektif.

Dalam kesimpulan, keterkaitan antara kelompok strategis dan birokrasi sangat penting
dalam mencapai tujuan organisasi atau pemerintahan. Kerjasama yang baik antara
keduanya dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas dalam
pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.

Referensi:
- BMP IPEM4317
- Materi Inisiasi
- https://birokrasiindonesia.quora.com/Apakah-forum-seperti-Quora-dapat-turut-
mempengaruhi-birokrasi-di-Indonesia-https-id-quora-com-Apa-contoh-kegiatan-ke
5

Perubahan sosial merupakan suatu fenomena kehidupan yang dialami oleh semua
masyarakat karena masyarakat tidak pernah tetap, tetapi selalu berubah dalam aspek
kehidupannya. Perubahan –perubahan yang terjadi, baik yang disebabkan oleh
perubahan internal maupun eksternal selalu memberikan pengaruh terhadap sistem
penyelenggaraan pemerintahan, tidak terkecuali birokrasi. Contoh perubahan sosial
yang mempengaruhi proses birokrasi Indonesia salah satunya adalah perkembangan
teknologi.

Perkembangan teknologi informasi telah mengubah paradigma proses birokrasi di


Indonesia. Penggunaan sistem komputerisasi dan aplikasi perangkat lunak khusus
mempercepat penyimpanan dan pengelolaan data, menggantikan metode tradisional
yang memakan waktu dan membutuhkan banyak tenaga kerja. Dampak positifnya
adalah peningkatan efisiensi administrasi, mengurangi waktu yang diperlukan untuk
proses-proses birokrasi, seperti pendaftaran perizinan usaha dan pengolahan data
kependudukan. Selain itu, teknologi memungkinkan pemerintah untuk memberikan
layanan publik secara online, memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi
dan melakukan transaksi tanpa harus datang ke kantor pemerintah, meningkatkan
kenyamanan dan kepuasan masyarakat.

Namun, terdapat juga dampak negatif dari perkembangan teknologi dalam proses
birokrasi. Salah satunya adalah tantangan keamanan data. Dengan banyaknya data
sensitif yang disimpan dalam sistem komputer, risiko kebocoran atau peretasan data
meningkat, mengancam privasi dan keamanan informasi masyarakat. Selain itu, tidak
semua lapisan masyarakat memiliki akses yang sama terhadap teknologi. Kesenjangan
digital antara mereka yang memiliki akses internet dan yang tidak dapat
meningkatkan ketidaksetaraan dalam pelayanan publik, membatasi aksesibilitas
layanan online bagi sebagian warga.

Sebagai solusi, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah untuk memastikan


keamanan data, meningkatkan aksesibilitas teknologi di seluruh wilayah, dan
memberikan pelatihan kepada pegawai birokrasi agar dapat memanfaatkan teknologi
secara efektif. Dengan mengatasi tantangan ini, perkembangan teknologi dapat
menjadi daya dorong positif dalam meningkatkan kualitas pelayanan birokrasi di
Indonesia.

Sumber Referensi :
Birokrasi Indonesia / BMP IPEMBMP IPEM 4317

4
good governance diartikan sebagai perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik.
Wujud dari tata kelola pemerintahan yang baik adalah dengan ditandai adanya
pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan yang demokratis merupakan
pemerintahan yang bersifat terbuka terhadap kritik dan kontrol sepenuhnya ada pada
rakyat.
good govermance baru dikenal di Indonesia sekitar dekade 1990-an terutama setelah
berbagai lembaga pembiayaan internasional misalnya Bank Dunia, Asian
Development Bank, dan IMF menetapkan "good governance" sebagai persyaratan
utama untuk setiap program bantuan mereka.

Menurut Bank Dunia good governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen


pembangunan yang bertanggung jawab, sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar
yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik
secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan
legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
suatu bangsa dalam melaksanakan good governance, yakni: pemerintah (the state),
civil society (masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan pasar atau
dunia usaha.

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila
dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut
memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan bersinergi.

Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada
kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti.
Sofian juga menyatakan good governance yang sehat juga akan berkembang sehat di
bawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.

prinsip prinsip good governance


1. Partisipasi (participation), artinya setiap warga negara memiliki kesetaraan suara
dalam pembuatan kebijakan.

2. Ketanggapan atas kebutuhan stakeholder (responsiveness) dalam pengelolaan


lembaga, terhadap prinsip yang sehat dan peraturan perundangan yang berlaku.

3. Kemampuan untuk menjembatani perbedaan kepentingan diantara masyarakat, agar


terciptanya konsensus bersama.

4. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan mengenai fungsi, struktur, sistem,


dan pertanggungjawaban perangkat lembaga kepada stakeholder secara efektif.

5. Transparansi (transparency), yaitu adanya keterbukaan dalam melaksanakan proses


pengambilan keputusan dan mengemukakan informasi yang relevan dalam
pengambilan kebijakan.

referensi : BMP IPEM4319

5
Upaya pengembangan sumber daya aparatur yang perlu dilakukan untuk
mendukung e-government, sebagai berikut.
1. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya informasi serta
pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi (e-literacy), baik di kalangan
pemerintah dan pemerintah daerah otonom, maupun di kalangan masyarakat dalam
rangka pengembangan budaya informasi ke arah terwujudnya masyarakat
informasi (information society).
2. Pemanfaatan sumber daya pendidikan dan pelatihan termasuk perangkat
teknologi informasi dan komunikasi secara sinergis, baik yang dimiliki oleh
lembaga pemerintah, maupun nonpemerintah/masyarakat.
3. Pengembangan pedoman penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi lembaga
pemerintah agar hasil pendidikan dan pelatihan tersebut sesuai dengan kebetuhan
pengembangan dan pelaksanaan e-government.
4. Penyelenggaran pendidikan dan pelatihan teknologi informasi dan komunikasi dan
aparat yang bertugas dalam memberikan pelayanan publik, maupun pimpinan
unit/lembaga, serta fasilitas pendidikan dan pelatihan bagi calon pendidik dan pelatih,
maupun tenaga potensial di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang
diharapkan dapat mentrasfer pengetahuan/keterampilan yang dimiliki kepada
masyarakat di lingkungannya.
5. Meningkatkan kapasitas penyelenggaran pendidikan dan pelatihan jarak jauh
(distance learning) dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara
optimal, untuk pemerataan atau mengurangi kesenjangan SDM di bidang teknologi
informasi dan komunikasi antar daerah.
6. Perubahan pola pikir, sikap, dan budaya kerja aparat pemerintah yang mendukung
pelaksanaan e-government melalui sosialisasi/penjelasan mengenai konsep dan
program e-government, serta contoh keberhasilan (best practice) pelaksanaan e-
government.
7. Peningkatan motivasi melalui pemberian penghargaan/apresiasi kepada
aparatur yang berprestasi di bidang informasi dan komunikasi, mulai aparatur
pemerintah pusat sampai ke tingkat daerah serta masyarakat yang secara aktif
mengembangkan inovasi menjadi karya yang bermanfaat bagi pengembangan dan
pelaksanaan e-government.

Sumber Referensi: BMP IPEM4319


Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah lembaga negara di Indonesia yang
merupakan bagian dari sistem ketatanegaraan dan politik Indonesia. DPD adalah
lembaga perwakilan rakyat yang mewakili kepentingan daerah-daerah di tingkat
nasional. DPD didirikan berdasarkan Pasal 22C sampai dengan Pasal 22E Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Fungsi utama DPD adalah mewakili kepentingan daerah, memberikan pertimbangan


terhadap RUU (Rancangan Undang-Undang) yang berkaitan dengan otonomi daerah,
pembangunan daerah, serta kebijakan lain yang berdampak langsung pada daerah.
DPD juga memiliki hak untuk ikut serta dalam pembahasan RUU tertentu yang
berhubungan dengan otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah.

Jika merujuk pada pasal 41 UU No.22/2003 dan Pasal Tatib DPD, secara sederhana,
tugas dan fungsi DPD adalah sebagai berikut:
1. Fungsi Perundang-undangan (LEGISLASI)
• Dapat mengajukan RUU kepada DPR.
• Ikut membahas RUU
2. Fungsi Pertimbangan (KONSULTASI)
• Memberikan pertimbangan DPR terkait RUU tertentu
• Memberi pertimbangan kepada DPR mengenai pemilihan BPK
3. Fungsi Pengawasan (KONTROL)
• Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan menyampaikan
hasil pengawasan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti
• Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK
4. Fungsi Anggaran
• Sebagau fungsi khusus merangkum tiga fungsi terkait masalah keuangan dan
anggaran
• Dapat mengajukan RUU tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah (legislasi)
• Memberukan pertimbangan terhadap RUU APBN
• Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan APBN.

Meskipun DPD memiliki fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi daerah,


kewenangan pengawasan ini terbatas dibandingkan dengan DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat). Anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum yang dilakukan secara
langsung oleh rakyat. DPD memiliki peran penting dalam memastikan bahwa suara
daerah-daerah di Indonesia didengar dan dipertimbangkan dalam proses pembuatan
kebijakan di tingkat nasional.

Lalu apakah fungsi dan tugas DPD sudah dijalankan secara optimal?
Menurut beberapa sumber yang saya baca, fungsi dan tugas DPD masih belum
optimal. Dapat dikatakan demikian karena beberapa alasan, diantaranya:
1. Tumpang Tindih dengan DPR: DPD dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) sering
kali memiliki fungsi yang tumpang tindih, terutama dalam proses legislasi. Kedua
lembaga ini memiliki kewenangan untuk membahas dan memberikan pertimbangan
terhadap RUU, yang menyebabkan kebingungan dalam pembagian tugas dan
tanggung jawab di antara mereka.
2. Kurangnya Kewenangan Nyata: Meskipun DPD memiliki hak untuk memberikan
pertimbangan terhadap RUU, pertimbangan ini tidak selalu diikutsertakan dalam
keputusan akhir. Dalam beberapa kasus, saran dari DPD diabaikan, sehingga
kewenangan dan pengaruhnya menjadi terbatas.
3. Kurangnya Pengaruh terhadap Keputusan Pusat: DPD seharusnya mewakili
kepentingan daerah-daerah di tingkat nasional. Namun, dalam prakteknya, keputusan-
keputusan pusat sering kali tidak selaras dengan kebutuhan dan keinginan daerah-
daerah yang diwakili oleh DPD.
4. Kurangnya Keterlibatan Publik: Publik sering kali kurang terlibat dalam proses-
proses yang melibatkan DPD. Kurangnya pemahaman publik mengenai peran dan
fungsi DPD dapat mengurangi tekanan masyarakat untuk memastikan bahwa DPD
memenuhi tugasnya dengan baik.
5. Keterbatasan Dalam Mewakili Daerah Kecil: DPD cenderung mewakili daerah-
daerah besar yang memiliki populasi dan sumber daya ekonomi yang lebih besar.
Daerah-daerah kecil atau terpencil mungkin tidak memiliki representasi yang
memadai dalam DPD, sehingga suara mereka tidak selalu didengar.
6. Pengaruh Politik Partai: Keanggotaan DPD sering kali dipengaruhi oleh
pertimbangan politik partai, yang dapat mengarah pada prioritas politik yang tidak
selalu sejalan dengan kebutuhan riil daerah yang diwakili.
7. Ketidakjelasan Fungsi Pengawasan: Meskipun DPD memiliki fungsi pengawasan
terhadap pelaksanaan otonomi daerah, kewenangannya dalam hal ini masih kurang
jelas dan terbatas.

Ketidak optimalan tugas dan fungsi DPD telah disampaikan pada poin-poin di atas.
Sampai sekarang, belum ada solusi yang tepat untuk menangani masalah ini secara
efektif dan memenuhi kebutuhan rakyat dan masyarakat dengan baik. DPD perlu
meningkatkan efisiensi dalam memberikan pertimbangan dan pengawasan sehingga
peran dan kewenangannya dapat dimanfaatkan sepenuhnya. Selain itu, DPD juga
harus memperkuat hubungan dengan pihak-pihak berwenang di daerah agar
kontribusinya dapat dirasakan dengan maksimal oleh masyarakat. Reformasi dalam
sistem perwakilan mungkin perlu dipertimbangkan untuk memperjelas peran DPD,
meningkatkan keterlibatan publik, dan memastikan representasi yang lebih baik bagi
semua daerah di Indonesia.

Sumber referensi:
1. BMP IPEM4323/Legislatif Indonesia
2. Samyo, Muhammad Fauzan, Riris Ardhanariswari. IMPLEMENTASI FUNGSI
PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.
S.L.R, Vol. 3, No. 2, Hlm. 253 – 270.
3. Nisa, Khoirotin. (2017). DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK
INDONESIA SISTEM PERWAKILAN RAKYAT BIKAMERAL YANG
MANDUL. Wahana Akademika, Volume 4, Nomor 1, Halaman 133 – 143.
4. Marbun, Robinsar & Muhammad Helmi Fahrozi. (2021). OPTIMALISASI
FUNGSI PERTIMBANGAN DAN PENGAWASAN DPD RI BERDASARKAN
UUD NRI TAHUN 1945. Yure Humano, Volume 5, Nomor 1, Halaman 40 – 56.
5. Fahrazi, Muhammad Helmi. (2019). OPTIMALISASI FUNGSI
PERTIMBANGAN DAN PENGAWASAN DPD RI BERDASARKAN UUD NRI
TAHUN 1945. Jurnal Penelitian Hukum, Volume 1, Nomor 1, Halaman 14 – 23
5
Terjadinya konflik dikarenakan tidak adanya transparan dana Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) yang ada antara Kepala Daerah dan DPRD sehingga saling
menyalahkan satu dengan yang lainnya, dan tidak adanya salah satu pihak dari kedua
belah pihak yang bertikai untuk mengalah hal ini terjadi dikarenakan adanya indikasi
tindakan korupsi pada kelompok-kelompok tertentu atau individu dengan sewenang-
wenang memanfaatkan wewenang yang ada untuk memperkaya masing-masing pihak
dengan proses yang tidak sesuai dengan peraturan, Sehingga penyelesaian yang dapat
dilakukan dalam mengatasi permasalahan Penyelesaian Konflik Antara Kepala
Daerah dan DPRD Dalam Penetapan APBD adalah dengan cara Pemerintah Pusat
harus membuat tim khusus penyelidikan agar permasalahan konflik Antara Kepala
Daerah dan DPRD dalam Penetapan APBD dapat terselesaiakan dengan baik. cara
apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir terjadinya konflik konflik antara Kepala
Daerah dan DPRD dalam Penetapan APBD sulit untuk dapat terselesaikan
dikarenakan kedua belah pihak baik Kepala Daerah dan DPRD ingin di anggap benar
tetapi apa bila adanya kerjasama yang baik dapat di lakukan beberapa hal untuk
mengakhirinya antara lain sebagai berikut :
1. Adanya pengakuan dari individu tertentu yang melakukan tindakan korupsi.
2. Harus di lakukan penyelidikan khusus antara DPRD
3. Harus adanya sikap pemimpin yang bekerja tanpa harus memperkaya diri dengan
jabatan yang ada.
4. Badan hukum yang berwenang harus netral/tidak berpihak pada DPRD
5. Pemerintah harus membuat tim khusus penyelidikan agar segera dapat terselesaikan
mengenai permasalahan konflik antara Kepala Daerah dan DPRD dalam Penetapan
APBD .
Secara umum permasalahan yang terjadi diantara Kepala Daerah dan DPRD dalam
Penetapan APBD semestinya tidak terjadi lagi dan hubungan kerjasama diantara
kedua belah pihak dapat meningkat antara lembaga eksekutif dan legislatif tersebut
karena merupakan
mitra sejajar dalam tatanan proses pemerintahan. Kepala Daerah dan DPRD harus
selalu jalan beriringan dalam membangun daerah dan bangsa ini agar lebih baik
kedepannya.

Sumber referensi:
BMP IPEM4323
1. Penyelesaian penyebab konflik faktor manusia
Kehidupan manusia sebagai makhluk bio-sosial dalam
kehidupan yang aktif dinamis dalam bernegosiasi antar pribadi tak
jarang muncul konflik, konflik antar pribadi ini disebabkan karena
seseorang ingin menghalangi, menghambat, atau berseberangan dengan
orang lain. Konflik dapat muncul dalam berbagai bentuk: konflik
kepentingan, konflik atas harapan yang tak sama, konflik mengenai
percapaian tujuan, secara khusus terdapat beberapa orang yang
tergolong sebagai orang yang “conflict prone”.
Secara umum, konflik tak dapat dihindari, namun perlu diselesaikan.
Strategi tertentu untuk menghadapi konflik yang melalui dua
pertimbangan: Pertimbangan tujuan dan pertimbangan hubungan baik
antar pribadi. Beberapa strategi yang perlu diambil dalam penyelesaian
suatu konflik adalah: Menarik diri untuk menghindari konflik; Ingin
diterima dan disukai orang lain; Berusaha mengalahkan lawan-lawannya
dengan memaksakan kehendaknya; Memelihara hubungan baik dengan
berlindung pada peraturan; dan Mementingkan tujuan dirinya dan juga
orang lain.
Contoh dari faktor manusia: Contoh konflik yang seringkali kita temukan di dalam
kehidupan sehari-hari adalah konflik tentang anak-anak yang putus sekolah. Dimana
hal itu telah berakibat terhadap kesehatan mental, emosional, dan fisik mereka.
Awalnya mungkin mereka hanya berniat membantu orang tuanya. Tapi seiring
berjalannya waktu, mereka kemudian terjebak menjadi seorang pekerja permanen.
Akhirnya mereka sering bolos sekolah dan memutuskan untuk berhenti sekolah.
Untuk anak-anak miskin, Bantuan Operasional Sekolah atau BOS saja tidak cukup.

2. Penyelesaian penyebab konflik faktor organisasi


1. Fokus pada Problem, Bukan Hal Pribadi
2. Berkomunikasi Secara Terbuka
3. Kembangkan Metode Spesifik untuk Setiap Problem
4. Minta Pendapat Pihak Netral
5. Konsisten dan Komitmen dalam Penyelesaian Konflik
6. Evaluasi dan Kompromi
7. Bersikap Adil terhadap Semua Anggota Tim

Contohnya: Jenis konflik tugas/kerja sangat umum terjadi dan biasanya merupakan
masalah yang konkret, misalnya soal pembagian sumber daya, metode pelaksanaan
tugas, hingga perbedaan opini soal cara terbaik mencapai tujuan program atau tugas.
Konflik ini biasanya termasuk yang paling mudah diselesaikan, tetapi bisa lebih rumit
jika ada penyebab yang lebih mendalam dan tidak terlihat di permukaan. Konflik
tugas merupakan sesuatu yang paling umum ditemukan dalam organisasi. Kamu bisa
melihatnya dalam keseharian, misalnya pertentangan terkait penyelesaian masalah
yang muncul mendadak atau penyelesaian tugas dengan jangka waktu terbatas. Walau
termasuk sesuatu yang umum, konflik tugas bisa menjadi masalah besar jika terlalu
sering terjadi dan bahkan memengaruhi atmosfer kerja secara permanen.

Referensi:IPEM4309
5
Ada beberapa pendekatan yang umum digunakan dalam penyelesaian konflik, di
antaranya:

1. Pendekatan Kompromi: Pendekatan ini melibatkan negosiasi dan mencari solusi


yang dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat dalam konflik. Misalnya, dalam
konflik perbatasan antara dua negara, kedua negara dapat mencapai kesepakatan
dengan membagi wilayah yang terlibat secara adil.

2. Pendekatan Kolaboratif: Pendekatan ini melibatkan kerja sama aktif dari semua
pihak yang terlibat dalam konflik untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan.
Misalnya, dalam konflik perburuhan antara serikat pekerja dan majikan, pihak-pihak
tersebut dapat bekerja sama untuk mencapai kesepakatan mengenai kondisi kerja dan
gaji yang adil.

3. Pendekatan Mediasi: Pendekatan ini melibatkan pihak ketiga yang netral untuk
membantu pihak-pihak yang terlibat dalam konflik mencapai kesepakatan. Mediator
bertindak sebagai fasilitator dalam proses negosiasi. Contohnya adalah mediasi yang
dilakukan oleh PBB dalam penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina.

4. Pendekatan Transformasional: Pendekatan ini bertujuan untuk mengubah akar dari


konflik yang ada dengan mengatasi ketidakadilan struktural dan ketidaksetaraan yang
mendasarinya. Pendekatan ini melibatkan perubahan sosial dan politik yang lebih
luas. Contohnya adalah gerakan hak sipil di Amerika Serikat yang bertujuan untuk
mengatasi diskriminasi rasial dan mengubah sistem yang mendasarinya.

5. Pendekatan Kekuatan: Pendekatan ini melibatkan penggunaan kekuatan untuk


memaksakan kehendak pada pihak lain melalui upaya militer atau ancaman
kekerasan. Contohnya adalah konflik antara negara-negara yang terlibat dalam
perang.

Pendekatan yang digunakan dalam penyelesaian konflik akan tergantung pada


konteks dan karakteristik konflik tersebut. Dalam beberapa kasus, kombinasi dari
beberapa pendekatan juga dapat digunakan untuk mencapai penyelesaian yang efektif.

Referensi:
1. Fisher, R., Ury, W., & Patton, B. (2011). Getting to Yes: Negotiating Agreement
Without Giving In. Random House.
2. Pruitt, D. G., & Kim, S. H. (2004). Social Conflict: Escalation, Stalemate, and
Settlement. McGraw-Hill.
3. Lederach, J. P. (2015). The Moral Imagination: The Art and Soul of Building
Peace. Oxford University Press.
4. Kolb, D. M. (2006). The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving
Conflict. Jossey-Bass.
5. Bar-Tal, D. (2013). Intractable Conflicts: Socio-psychological Foundations and
Dynamics. Cambridge University Press.
6. Deutsch, M., Coleman, P. T., & Marcus, E. C. (Eds.). (2011). The Handbook of
Conflict Resolution: Theory and Practice. Jossey-Bass.
7. Bercovitch, J., & Jackson, R. (2009). Conflict Resolution in the Twenty-first
Century: Principles, Methods, and Approaches. University of Michigan Press.
8. Ramsbotham, O., Woodhouse, T., & Miall, H. (2016). Contemporary Conflict
Resolution. Polity Press.

4
Apakah kompensasi yang tinggi, akan selalu meningkatkan kinerja karyawan dalam
suatu perusahaan?

Ya karena, Menurut Mondy (2008), kompensasi adalah total dari keseluruhan


penghargaan yang diberikan oleh organisasi kepada karyawan sebagai ganti dari jasa-
jasa karyawan yang diberikan kepada organisasi. Sedangkan tujuan dari keseluruhan
pemberian kompensasi adalah untuk menarik, mempertahankan, dan memotivasi
karyawan.
Fungsi kompensasi adalah menciptakan sistem penghargaan yang adil baik terhadap
organisasi maupun karyawan. Bagi perusahaan sistem pengupahan tersebut tidak
menghasilkan upah yang berlebihan, namun dapat efektif, sebaliknya, bagi karyawan
sistem pengupahan tersebut tidak pelit, tetapi dapat memuaskan, minimal kebutuhan
dasar mereka. Patton (dalam Ivancevich, 1992) mengemukakan tujuh kriteria agar
suatu kompensasi efektif, yaitu kompensasi harus:
a. Layak
Kompensasi harus memenuhi persyaratan minimum menurut pemerintah, serikat
pekerja, dan manajer.
b. Adil
Setiap orang harus dibayar secara adil sesuai dengan usaha, kemampuan, dan keahlian
mereka.
c. Seimbang
Upah, tunjangan, dan penghargaan lain harus memberikan suatu paket penghargaan
total yang masuk akal.
d. Efektif
Upah tidak boleh berlebihan, sesuai dengan kesanggupan organisasi untuk
membayarnya.
e. Aman
Upah harus cukup membantu karyawan merasa aman dan membantunya untuk
memuaskan kebutuhan dasarnya.
f. Memberikan Insentif
Upah harus dapat memotivasi keefektifan dan produktivitas kerja.
g. Mudah Dipahami oleh Karyawan
Karyawan harus paham terhadap sistem pengupahan dan menganggap sistem tersebut
masuk akal baik bagi perusahaan maupun bagi diri mereka sendiri.
Dengan memberikan kompensasi yang tinggi akan meningkatkan kinerja karyawan
dalam suatu perusahaan maka kompensasi dapat dipandang sebagai sistem
penghargaan yang memotivasi karyawan agar melaksanakan pekerjaannya, cara
berkomunikasi penting yang digunakan organisasi untuk menyampaikan dan
menguatkan nilai, budaya, dan perilaku yang diinginkan, dan mekanisme penting
yang memungkinkan organisasi untuk mencapai sasaran bisnisnya.

SUMBER : BMP EKMA4214 MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA


MODUL 6/6.4-6.7
5
Penilaian kinerja adalah suatu proses membandingkan kinerja karyawan dengan
standar yang telah ditetapkan oleh organisasi. Saudara diminta untuk menyebutkan
dan menjelaskan pertanyaan dibawah ini :

1. Pihak-pihak yang dapat melakukan penilaian kinerja karyawan


Biasanya, penilaian kinerja karyawan dilakukan oleh supervisor, tetapi demikian
banyak juga perusahaan yang menggunakan penilai lain untuk melengkapi hasil
penilaian kinerja yang dilakukan oleh supervisor. Beberapa pihak yang dapat
dijadikan sebagai penilai dalam menilai kinerja karyawan antara lain :
a. Dinilai oleh suatu Komite dari Beberapa Atasan
Atasan yang dipilih untuk menilai adalah mereka yang memiliki hubungan kerja
langsung dengan karyawan. Pendekatan ini memiliki keuntungan dapat mengurangi
bias pada penilaian yang dilakukan oleh satu orang atasan.
b. Dinilai oleh teman kerja (Peer)
Dalam sistem penilaian seperti ini, teman kerja yang melakukan penilaian harus
mengetahui tingkat kinerja karyawan yang sedang dinilai. Agar sistem ini dapat
bekerja, perlu dipastikan bahwa diantara karyawan tidak ada kompetisi. Pendekatan
ini bermanfaat jika tugas dari unit kerja memerlukan kontak kerja yang sering diantara
teman kerja.
c. Dinilai oleh Bawahan
Pendekatan ini lebih bermanfaat untuk aspek-aspek penilaian kinerja yang bersifat
pengembangan. Para manajer biasanya mau untuk dinilai oleh bawahan jika hasil
penilaian tersebut digunakan untuk pengembangan. Sebaliknya mereka enggan dinilai
oleh bawahan jika hasil penilaian tersebut digunakan untuk tujuan administratif.
d. Dinilai oleh Orang dari Luar (Teknik Reviu Lapangan)
Pendekatan semacam ini memerlukan biaya yang banyak, sehingga biasanya
digunakan untuk menilai pekerjaan yang penting-penting saja. Satu hal yang perlu
diperhatikan ketika Anda ingin menggunakan metode ini adalah penilai dari luar tidak
cukup banyak memiliki data seperti yang dimiliki oleh penilai dari dalam. Disamping
itu, menggunakan penilai dari luar menunjukkan suatu pendekatan yang sedikit tidak
normal untuk penilaian kinerja.
e. Dinilai oleh Diri Sendiri (Self-Evaluation)
Pada pendekatan ini, karyawan menilai dirinya sendiri dengan menggunakan teknik
yang digunakan oleh penilai lain. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk aspek
penilaian kinerja yang bersifat pengembangan. Biasanya teknik ini juga digunakan
untuk menilai karyawan yang bekerja dalam tempat yang terisolasi. Hasil riset
menunjukkan bahwa penilaian terhadap diri sendiri dapat berkorelasi cukup bagus
dengan penilai dan supervisor.
f. Dinilai dengan Kombinasi Pendekatan
Kombinasi berbagai pendekatan juga dapat digunakan untuk penilaian kinerja.
Biasanya dalam melakukan penilaian dengan pendekatan ini, dipakai dua macam
metode atau lebih, gunanya adalah untuk memberikan hasil penilaian kinerja yang
lebih akurat.
g. Penilaian Kinerja 360°
Upaya terakhir untuk meningkatkan penilaian kinerja adalah dengan menggunakan
penilaian dengan banyak sumber, atau penilaian kinerja 360°. Penilaian kinerja 360°
menggunakan umpan balik dari ”sekeliling” orang yang dinilai
2. Metode yang dapat digunakan dalam penilaian kinerja
Noe, et al. (2000), mengemukakan sejumlah pendekatan untuk mengukur kinerja yang
didasarkan pada atribut, perilaku dan hasil kerja karyawan serta perbandingan secara
menyeluruh diantara kinerja karyawan sebagai berikut.
a. Pendekatan Komparatif
Pendekatan komparatif untuk mengukur kinerja berisikan teknik-teknik yang
menuntut penilai untuk membandingkan kinerja individu dengan individu lain.
Pendekatan ini biasanya menggunakan suatu penilaian secara menyeluruh terhadap
kinerja atau nilai dari individu, dan berusaha membuat ranking dari individu-individu
dalam suatu kelompok tertentu. Setidaknya terdapat tiga teknik yang masuk kedalam
pendekatan ini, yaitu ranking, forced distribution, dan paired comparison.
1) Ranking
Ranking adalah teknik sederhana yang dapat digunakan oleh para manajer untuk
mengurutkan peringkat karyawan dalam departemen mereka dari yang memiliki
kinerja tertinggi hingga yang memiliki kinerja terendah. Cara melakukan teknik ini
adalah menuliskan daftar nama-nama karyawan untuk dinilai pada sisi kiri lembar
kertas penilaian. Pilih karyawan yang memiliki kinerja paling tinggi dari daftar
tersebut, dan beri tanda silang. Kemudian pindahkan nama karyawan tersebut pada
daftar paling atas di sisi sebelah kanan kertas penilaian. Selanjutnya pilih dan beri
tanda silang pada nama karyawan yang memiliki kinerja paling buruk dari daftar pada
kolom sebelah kiri, dan pindahkan pada daftar terbawah pada kolom sebelah kanan.
Ulangi proses ini untuk seluruh nama karyawan pada daftar sebelah kiri lembar kertas
penilaian. Daftar nama-nama yang telah dihasilkan pada kolom sebelah kanan akan
menunjukkan suatu ranking karyawan dari yang memiliki kinerja paling tinggi hingga
yang memiliki kinerja paling rendah.
2) Forced Distribution
Teknik ini juga menggunakan format ranking, tetapi karyawan yang diranking
dimasukkan ke dalam sebuah kelompok. Teknik ini menuntut penilai untuk
membandingkan kinerja karyawan dan menempatkan suatu presentase karyawan
tertentu pada berbagai level kinerja. Teknik ini beranggapan level kinerja dalam suatu
kelompok karyawan akan didistribusikan sesuai dengan bentuk kurva normal. Sebagai
contoh, 60% karyawan memenuhi harapan, 20% melampaui harapan dan 20% tidak
memenuhi harapan.
3) Paired Comparison (Pembandingan Berpasangan)
Metode ini menuntut penilai untuk membandingkan seluruh pasangan yang mungkin
dari karyawan yang dinilai pada ”keseluruhan atau beberapa kinerja”. Rumus untuk
menghitung jumlah pasangan yang mungkin dari karyawan yang dinilai adalah n(n-
1)/2, dimana n = jumlah karyawan. Sebagai contoh, seorang penilai akan menilai
enam orang karyawan. Nama-nama karyawan yang dinilai didaftarkan pada sisi
sebelah kiri dari lembar penilaian. Penilai kemudian membandingkan karyawan
pertama dengan karyawan kedua pada kriteria kinerja yang telah dipilih, seperti
kuantitas kinerja. Jika penilai beranggapan bahwa karyawan pertama telah
menghasilkan kerja lebih banyak daripada karyawan kedua, maka tanda centang ( √ )
ditempatkan pada nama karyawan pertama. Penilai selanjutnya membandingkan
karyawan pertama dengan karyawan ketiga, keempat, kelima dan keenam pada
kriteria kinerja yang sama, dan menempatkan tanda centang pada nama karyawan
yang menghasilkan kerja yang paling banyak dalam setiap pasangan pembandingan.
Proses diulang hingga setiap karyawan telah dibandingkan dengan karyawan lain pada
semua kriteria kinerja yang dipilih. Karyawan dengan tanda centang paling banyak
dapat disimpulkan memiliki kinerja yang paling tinggi, sebaliknya karyawan yang
tanda centangnya paling sedikit dinyatakan memiliki kinerja paling rendah. Akan
tetapi, teknik ini akan menghadapi masalah jika karyawan yang dibandingkan
berjumlah banyak.

b. Pendekatan Atribut
Pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada sejauh mana individu memiliki atribut
tertentu (ciri atau sifat) yang diyakini diperlukan untuk keberhasilan perusahaan.
Teknik yang digunakan dalam pendekatan ini cenderung untuk menetapkan
seperangkat sifat (seperti inisiatif, kepemimpinan, kemampuan bersaing, dsb.) dan
menilai individu pada sifat-sifat tersebut.
Bentuk paling umum dari pendekatan atribut adalah skala penilaian grafik. Dalam
teknik ini penilai dihadapkan pada seperangkat sifat yang telah ditentukan dan menilai
setiap karyawan pada setiap karakteristik yang telah didaftarkan. Penilai
mempertimbangkan seorang karyawan pada satu waktu dan melingkari atau memberi
tanda silang ( X ) pada nomor atau atribut yang menyatakan berapa banyak sifat yang
dimiliki oleh seorang individu.

c. Pendekatan Keperilakuan
Pendekatan ini berusaha untuk mendefinisikan perilaku karyawan yang harus efektif
dalam pekerjaan (Noe, et. al., 2000). Berbagai macam teknik mendefinisikan perilaku
tersebut, selanjutnya meminta manajer untuk menilai sejauh mana karyawan bekerja.
Berikut ini akan dibahas tiga teknik yang termasuk ke dalam pendekatan keperilakuan
(Noe, et. al., 2000).
1) Insiden Kritis (Critical Incidents)
Teknik ini menuntut penilai untuk membuat catatan-catatan tertulis dari suatu
peristiwa/insiden sebagaimana peristiwa itu terjadi (Byars & Rue, 1997). Insiden yang
dicatat harus mencakup perilaku kerja yang menggambarkan baik kinerja yang
memuaskan maupun kinerja yang tidak memuaskan dari karyawan yang dinilai.
Sebagaimana yang berhasil dicatat sepanjang waktu, insiden tersebut memberikan
suatu basis bagi penilaian kinerja dan memberikan umpan balik kepada karyawan.
Kelemahan utama dari pendekatan ini adalah penilai dituntut untuk mencatat
peristiwa secara teratur dan terus-menerus hingga membuat perasaan menjadi bosan
dan memakan banyak waktu. Selain itu, definisi peristiwa kritis merupakan hal yang
tidak jelas yang dapat diinterpretasikan secara berbeda oleh orang yang berbeda.
Teknik ini juga dapat menimbulkan friksi antara manajer dengan karyawan apabila
karyawan menganggap manajer menyembunyikan catatan untuk mereka.
2) Skala Penilaian Berdasarkan Perilaku (Behaviorally Anchored Rating
Scales/BARS)
Teknik ini dirancang untuk menilai perilaku yang diperlukan untuk melaksanakan
pekerjaan secara berhasil (Byars & Rue, 1997). Fokus teknik ini bukan pada hasil
kinerja, tetapi pada perilaku fungsional yang ditunjukkan pada pekerjaan. Asumsinya
adalah bahwa perilaku tersebut akan dihasilkan dalam kinerja pekerjaan yang efektif.
Kebanyakan BARS menggunakan istilah dimensi pekerjaan, yang dimaksudkan
sebagai kategori tugas dan tanggung jawab yang luas yang memperbaiki pekerjaan.
Tiap-tiap pekerjaan dimungkinkan untuk memiliki beberapa dimensi pekerjaan, dan
sebaiknya digunakan skala secara terpisah untuk masing-masing pekerjaan tersebut.
Penilaian kinerja dengan menggunakan BARS menuntut penilai membaca daftar
anchor pada setiap skala, untuk menemukan kelompok anchor yang paling baik dalam
mendeskripsikan perilaku pekerjaan karyawan selama periode reviu. Nilai skala lawan
kelompok anchor kemudian dicek. Proses ini diikuti oleh semua dimensi yang
teridentifikasi.
Pada umumnya, BARS dikembangkan melalui serangkaian pertemuan yang dihadiri
oleh manajer dan pemegang jabatan yang mencakup tiga tahap sebagai berikut :
1. Manajer dan pemegang jabatan mengidentifikasi dimensi pekerjaa yang relevan.
2. Manajer dan pemegang jabatan menulis dasar perilaku untuk masing-masing
dimensi pekerjaan. Sebanyak mungkin anchor harus ditulis untuk masing-masing
dimensi.
3. Manajer dan pemegang jabatan meraih suatu konsensus berkaitan dengan nilai
skala untuk digunakan dan pengelompokan pernyataan dasar (anchor) bagi setiap nilai
skala.
3) Skala Observasi Berhubungan dengan Perilaku (Behavioral Observation
Scales/BOS)
Teknik ini merupakan variasi dari BARS dan sebagaimana BARS, BOS juga
dikembangkan dari kejadian kritis untuk mengidentifikasi serangkaian perilaku yang
menutupi ranah pekerjaan. Untuk mengembangkan BOS, pertama adalah dengan
mengidentifikasi kelompok kejadian yang berkaitan dengan perilaku yang memiliki
kemiripan antara yang satu dengan yang lain, dan membentuknya dalam suatu
dimensi kerja. Masing-masing perusahaan yang menggunakan BOS harus
menentukan arti dan pentingnya skor total bagi karyawan yang dinilai.
Sebagaimana teknik BARS, teknik BOS juga tidak jelas keunggulannya atas format
skala penilaian alternatif. Salah satu keterbatasan yang sangat signifikan dari
pendekatan BOS adalah dari segi waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk
pengembangannya, khususnya penggunaannya secara aktual dalam penilaian.

d. Manajemen Berdasarkan Sasaran (Management By Objectives/MBO)


Pendekatan goal setting untuk penilaian kinerja atau manajemen berdasarkan sasaran
(MBO) lebih umum digunakan untuk profesional dan karyawan manajerial.
Proses MBO secara khusus berisi langkah-langkah sebagai berikut :
1) Tinjauan pekerjaan dan kesepakatan.
Karyawan dan atasan meninjau deskripsi pekerjaan dan kegiatan kunci dari pekerjaan
yang akan dilakukan oleh karyawan. Dasar pemikirannya adalah untuk mencapai
kesepakatan dalam bentuk pekerjaan yang pasti.
2) Pengembangan standar kinerja.
Standar kinerja yang spesifik harus dibangun secara bersama-sama. Dalam tahap ini,
tingkatan kinerja yang yang memuaskan haruslah ditetapkan secara spesifik dan
terukur.
3) Penetapan tujuan yang terarah.
Tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh karyawan haruslah sejalan dan diarahkan oleh
pihak atasan. Yang perlu saudara mahasiswa catat adalah bahwa penetapan tujuan itu
mungkin berbeda dengan standar kinerja. Tujuan-tujuan tersebut haruslah dapat
dicapai secara realistis.
4) Diskusi kinerja yang berkelanjutan.
Karyawan dan atasannya menggunakan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebagai
dasar dari suatu diskusi yang berkelanjutan mengenai kinerja karyawan. Meskipun
tinjauan formal telah ditetapkan, tetapi hendaknya karyawan dan manajernya tidak
harus menunggu waktu yang telah ditetapkan untuk mendiskusikan kinerja karyawan.
Hasil dari diskusi ini adalah dimodifikasinya tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan
proses perkembangannya didiskusikan agar tujuan tersebut dapat tercapai.
SUMBER : BMP EKMA4214 MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
MODUL 7/7.10 - 7.15
4
Pemisahan kekuasaan di Amerika Serikat adalah upaya Amerika dalam
menerjemahkan konsep trias politika dari montesquieu. Setiap lembaga negara
menjadi penyeimbang dan pengujian atas kekuasaan lembaga yang lain.

Amerika Serikat atau di Indonesia biasanya disebut dengan Amerika saja adalah salah
satu negara demokrasi terbesar di dunia yang banyak dibahas oleh para sarjana ilmu
pemerintahan. Banyaknya literatur dalam bahasa Inggris yang membahas tentang
sistem pemerintahan di Amerika. Bahkan Amerika termasuk sebagai negara yang
dijadikan referensi oleh banyak kalangan di negara-negara yang sedang berkembang
(termasuk Indonesia) dalam mendesain sistem pemerintahan presidensial. Hal ini
tidak terlepas dari anggapan bahwa Amerika merupakan negara besar di dunia yang
dianggap pertama kali sukses menerapkan sistem pemerintahan presidensial dan
membangun sistem politik yang demokratis. Selain itu, Amerika juga berhasil
menempatkan dirinya sebagai negara yang memiliki pengaruh besar dan penting
dalam peraturan politik dan ekonomi dunia.

Pasal 2 dari konstitusi Amerika menjelaskan bahwa sistem pemerintahan Amerika


menganut sistem presidensial dengan masa kekuasaan eksekutif yang tetap. Dalam
sistem ini, presiden berperan sebagai kepala negara dan sekaligus sebagai kepala
pemerintahan.profil sistem presidensial yang ada di Amerika setidaknya dapat
dijelaskan dari cara kerjanya 3 lembaga negara yang didefinisikan oleh konstitusi
Amerika, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Keberadaan tiga lembaga negara ini
sebagai bentuk perpecahan kekuasaan dalam rangka menciptakan check and balances.
Pemisahan kekuasaan di Amerika sebagaimana diilustrasikan pada gambar 5.1 di atas
oleh banyak kalangan disebut sebagai upaya Amerika dalam menerjemahkan konsep
trias politika dari montesquieu. Setiap lembaga negara menjadi penyeimbang dan
pengujian atas kekuasaan lembaga yang lain. Pembahasan lebih detail terkait
pembagian kekuasaan di antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam
sistem pemerintahan Amerika dijabarkan sebagai berikut:

- Lembaga eksekutif. Lembaga eksekutif di Amerika terdiri atas presiden dan menteri-
menteri yang merupakan pembantu kerja presiden. Oleh karena itu, selain sebagai
kepala negara dan pemerintahan, presiden juga disebut sebagai pimpinan eksekutif
(kepala eksekutif). Kelangsungan nasib lembaga eksekutif yang dipimpin oleh
presiden tidak tergantung pada lembaga legislatif (Budiardjo, 2008). Presiden
mempunyai kekuasaan besar terhadap lembaga eksekutif, namun pada saat yang
sama, presiden mempunyai peran untuk menjaga keseimbangan. Namun demikian,
kekuasaan presiden dibatasi oleh waktu tertentu (Lowi dkk., 2010: 225). Dalam
konteks ini, sesuai asas trias politika klasik, kekuasaan presiden sama sekali terpisah
dari lembaga legislatif dan tidak diperkenankan untuk ikut campur dan mempengaruhi
penyelenggaraan pekerjaan lembaga legislatif. Presiden dan wakil presiden memiliki
masa jabatan empat tahun dan dapat diperpanjang menjadi 8 tahun berikutnya. Dalam
rangka menerapkan check and balance, di satu sisi presiden memiliki kewenangan
untuk memilih sendiri anggota kabinet atau menterinya. Para menteri yang duduk di
kabinet biasanya ditunjuk dan dipilih berdasarkan kebijaksanaan presiden sendiri
dengan mempertimbangkan keahlian serta faktor-faktor lain yang dianggap penting
tanpa harus menghiraukan tuntutan dari parpol. Tetapi di sisi lain, dalam menunjuk
pejabat tinggi seperti hakim agung dan duta besar, presiden harus mendapat
persetujuan dari senat. Begitu juga dalam membuat perjanjian internasional, presiden
juga harus mendapat persetujuan dari senat. Jika tidak mendapat persetujuan dari
senar maka otomatis perjanjian tersebut juga akan dibatalkan.

- Lembaga legislatif. Lembaga legislatif di Amerika menganut sistem bikameral yang


terbagi ke dalam dua kamar, yaitu dewan perwakilan rakyat dan senat. Kongres yang
merupakan majelis bersama yang terdiri dari dua gambar ini memiliki peran sentral
dalam pemerintahan federal (nasional), khususnya dalam pembuatan peraturan-
undangan. Hal ini dijelaskan dalam pasal 1 konstitusi Amerika sebagaimana dikutip
Jillson (2008: 220): “Semua kekuasaan legislatif yang ada di sini akan diberikan
kepada kongres Amerika Serikat, yang terdiri dari senat dan dewan perwakilan.”

- Lembaga Yudikatif. Lembaga yudikatif adalah lembaga hukum yang independen


dengan tugas memeriksa dan menginterpretasi produk hukum yang dihasilkan oleh
kongres dan eksekutif. Independensi ini juga sebagai wujud dari praktik demokrasi
liberal dan menjaga prinsip check and balances. Konstitusi Amerika mengamanatkan
bahwa independensi lembaga yudikatif adalah terpisah dari lembaga legislatif dan
lembaga eksekutif serta dilindungi dari politik elektoral (Lowi, dkk., 2010: 310).
Satu-satunya lembaga yudikatif yang diamanatkan dan dibentuk oleh konstitusi
Amerika dengan wewenang tersebut di atas adalah mahkamah agung. Karenanya kau
mamahkamah agung menjadi peradilan tertinggi di Amerika yang dibawahi badan
peradilan banding tingkat federal dan tingkat lebih bawah, yaitu badan peradilan yang
ada di setiap distrik sehingga keputusan mahkamah agung juga tidak dapat ditandingi
atau diserahkan banding ke pengadilan.

Sumber referensi BMP IPEM4541 MODUL 5


5
Perbedaan dan persamaan lembaga eksekutif di Prancis dan Belgia:

Perbedaannya adalah di Negara Prancis, kekuasaan eksekutif dijalankan oleh presiden


dan perdana menteri. Presiden memiliki jabatan resmi sebagai kepala Negara dan
merupakan komandan tertinggi Angkatan Bersenjata Nasional. Presiden dipilih
langsung oleh rakyat dengan masa jabatan 5 Tahun. Sedangkan perdana menteri
memiliki kedudukan sebatas kepala pemerintahan/kabinet membawahi para menteri
yang dipilih oleh presiden atas rekomendasi perdana menteri. Para menteri tidak
memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat karena perdana menteri dipilih dan diangkat
oleh presiden.

Sedangkan di Negara Belgia, menerapkan dua pemimpin eksekutif (dual-executif ).


Pada satu sisi terdapat raja sebagai kepala Negara yang memiliki sejumlah
kewenangan serta kekuasaan eksekutif penting dan disisi lain terdapat perdana
menteri yang berfungsi sebagai kepala eksekutif. Raja sebagai kepala Negara
memiliki kekuasaan eksekutif lebih luas dan penting yang diatur dalam konstitusi
Negara federal dan undang-undang dibuat untuk menerjemahkan prinsip-prinsip dasar
dalam konstitusi. Raja juga memiliki kekuasaan menentukan bahwa Negara dalam
kondisi darurat militer (dalam kondisi terancam) dan mengumumkan perang dengan
persetujuan parlemen. Selain itu kekuasaan raja belgia adalah membentuk parlemen
dan cabinet setelah pemilu usai, membubarkan parlemen jika disetujui oleh suara
mayoritas anggotanya, memberikan gelar kebangsawanan pada orang yang bukan dari
keturunan kerajaan dan memberikan pengampunan atau grasi pada narapidana.
Sedangkan perdana menteri sebagai kepala eksekutif bertugas menjalankan fungsi-
fungsi pemerintahan dan menyediakan pelayanan publik. Perdana menteri dibantu
oleh deputi perdana menteri, dewan menteri, dan sektretaris Negara. Seperti halnya
perdana menteri, keberadaan dewan menteri dan sekretaris Negara dipilih dan
diangkat oleh raja. Umumnya mereka dipilih dari orang-orang dalam partai politik
yang bergabung dalam koalisi.

Persamaan lembaga eksekutif di Negara Prancis dan Belgia adalah keduanya memiliki
dualism eksekutif yaitu kepala Negara dan perdana menteri serta keduanya termasuk
pimpinan eksekutif. Kemudian kepala Negara memiliki fungsi dan kedudukan yang
lebih tinggi daripada perdana menteri.

Sumber referensi: BMP IPEM/4541 Modul 6


Terimakasih.
4
Sumber-sumber Keuangan Daerah: Sumber-sumber keuangan daerah adalah beragam
sumber pendapatan yang digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai
kegiatan pelayanan publik dan pembangunan. Sumber-sumber keuangan daerah dapat
dibagi menjadi dua kategori utama: Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Non-PAD.
• Pendapatan Asli Daerah (PAD): Pendapatan yang berasal langsung dari sumber-
sumber di dalam daerah tersebut, seperti pajak daerah, retribusi, hasil usaha milik
daerah, dan lainnya.
• Pendapatan Non-PAD: Pendapatan yang bersumber dari pemerintah pusat dan
sumber-sumber lain di luar daerah yang diberikan kepada pemerintah daerah. Ini
mencakup Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), hibah, dan
lainnya.

2. Sumber-sumber Keuangan Non-PAD: Sumber-sumber keuangan non-PAD yang


diberikan kepada daerah didasarkan pada prinsip desentralisasi dan pembagian
kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Prinsip-prinsip yang
mendasari pemberian sumber-sumber keuangan non-PAD kepada daerah adalah
sebagai berikut:
• Prinsip Otonomi: Prinsip ini menekankan kewenangan pemerintah daerah dalam
mengelola sumber daya dan keuangan lokal mereka. Pemerintah pusat memberikan
sumber daya kepada daerah untuk memungkinkan mereka mengambil keputusan
sendiri dalam penggunaan dana tersebut.
• Prinsip Kesetaraan dan Keadilan: Sumber-sumber keuangan non-PAD harus
diberikan dengan adil dan merata kepada semua daerah, sehingga daerah yang lebih
miskin mendapatkan dukungan yang lebih besar untuk mengurangi kesenjangan
regional.
• Prinsip Pertanggungjawaban: Daerah harus menggunakan
sumber-sumber keuangan non-PAD secara efisien dan efektif, serta memberikan
pertanggungjawaban yang baik terhadap penggunaan dana tersebut. Ini berarti harus
ada mekanisme pengawasan dan pelaporan yang baik.
• Prinsip Desentralisasi Fiskal: Pemberian sumber-sumber keuangan non-PAD harus
sejalan dengan tujuan desentralisasi fiskal, di mana daerah memiliki kewenangan
untuk mengelola pendapatan dan anggaran mereka sendiri, termasuk kemampuan
untuk memperoleh sumber-sumber keuangan tambahan melalui pajak dan retribusi
lokal.

3. Pemerintah daerah dituntut agar dapat mengelola kewenangaannya dalam


meningkatkan Pendapatan Asli Daerah atau yang dapat disebut PAD. Pendapatan Asli
Daerah atau PAD merupakan penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber
dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Undang-Undang.

PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai


pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan
desentralisasi.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, Pendapatan Asli Daerah (PAD)
adalah Pendapatan daerah yang diperoleh dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil
Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah
yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

Pajak daerah, yaitu kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Retribusi daerah, yaitu pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian
izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah
untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, yang ditetapkan dengan Perda
dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lain-lain PAD yang sah, yang terdiri dari;
(a) hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
(b) hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
(c) jasa giro;
(d) pendapatan bunga;
(e) tuntutan ganti rugi;
(f) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan
(g) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau
pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
Referensi:
Sistem Pemerintahan Daerah, Modul IPEM 4214.4

1).Fungsi DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu :


#Legislatif Salah satu fungsi utama DPRD dalam membuat peraturan-peraturan
daerah, yang disebut Peraturan Daerah (Perda) . DPRD membahas, mengevaluasi, dan
mengesahkan Perda yang mengatur berbagai aspek kehidupan di daerah, termasuk
tata ruang, pajak daerah, dan aturan-aturan lainnya.
#Anggaran : DPRD memiliki wewenang dalam penyusunan, pembahasan, dan
persetujuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota.
Mereka mengawasi penggunaan dana publik dan memastikan bahwa dana tersebut
dialokasikan sesuai dengan prioritas pembangunan daerah.
# Pengawasan : DPRD memiliki peran pengawasan terhadap pelaksanaan program-
program pemerintah daerah. Mereka melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintah
daerah dan lembaga-lembaga di bawahnya untuk memastikan akuntabilitas dan
transparansi dalam menggunakan APBD Daerah.
#Pendapat dan Saran : DPRD memberikan pendapat dan saran kepada pemerintah
daerah terkait berbagai isu, termasuk pembangunan, program sosial, dan kebijakan-
kebijakan yang akan diimplementasikan. Pendapat dan saran ini dapat menjadi dasar
bagi pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan.
# Perwakilan Rakyat : DPRD adalah wakil rakyat yang terpilih untuk mewakili
kepentingan warga di tingkat daerah. Mereka mendengarkan aspirasi, keluhan, dan
kebutuhan masyarakat serta memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang memadai.
#Pengawasan Kinerja Pemerintah Daerah : DPRD mengawasi kinerja pemerintah
daerah untuk memastikan bahwa program-program dan kebijakan yang dijalankan
sesuai dengan kepentingan masyarakat dan berjalan dengan baik.
Dengan fungsi-fungsi tersebut, DPRD memiliki peran yang sangat penting dalam
menjalankan tugas legislasi, pengawasan, dan representasi di tingkat daerah. Hal ini
bertujuan untuk memastikan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis,
akuntabel, dan sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat.
2).Evaluasi terhadap efektivitas dan efisiensi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di
Indonesia bisa berbeda tergantung pada berbagai faktor, termasuk wilayah geografis,
tingkat pemerintahan daerah (provinsi atau kabupaten/kota), dan dinamika politik
setempat. ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan ketika menilai apakah
fungsi DPRD tersebut sudah berjalan secara efektif dan efisien :
#Kualitas Anggota DPRD : Komposisi dan kualitas anggota DPRD memiliki dampak
besar terhadap kinerja lembaga tersebut. Anggota DPRD yang kompeten,
berintegritas, dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang tugas mereka lebih
cenderung menjalankan tugas dan fungsi DPRD secara efektif.
#Keterbukaan dan Transparansi : Keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan
dan transparansi dalam anggaran dan pelaksanaan program adalah faktor kunci utama.
Semakin terbuka dan transparan DPRD, semakin efektif mereka dalam menjalankan
tugass dan fungsi pengawasan.
#Kapasitas Penyusunan Anggaran : Kemampuan DPRD dalam memahami dan
mengevaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sangat penting.
Kemampuan ini memungkinkan mereka untuk memastikan alokasi dana yang efisien
dan efektif.
#Ketidakberpihakan: DPRD yang independen dan tidak terlalu berpihak pada
kekuasaan eksekutif memiliki kemampuan lebih besar untuk menjalankan fungsi
pengawasan dengan baik.
#Pengawasan Kinerja : DPRD yang aktif dalam mengawasi pelaksanaan program-
program pemerintah dan kinerja pemerintah daerah memiliki peran penting dalam
memastikan akuntabilitas dan efektivitas.
Evaluasi sejauh mana DPRD telah menjalankan fungsi mereka secara efektif dan
efisien perlu mempertimbangkan faktor-faktor di atas. Namun, kondisi dan kinerja
DPRD dapat bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya di Indonesia. Dalam hal
ini, peran masyarakat dan media massa dalam memantau dan mengevaluasi kinerja
DPRD juga sangat penting untuk memastikan akuntabilitas dan perbaikan yang
berkelanjutan.
3).Cara Mengoptimalkan fungsi DPRD sehingga memberikan kontribusi yang
maksimal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah :
#Peningkatan Kualitas Anggota DPRD : Memastikan bahwa anggota DPRD terpilih
memiliki kualitas, kompetensi, dan etika yang tinggi.
#Pengawasan dan Transparansi : Mendorong DPRD untuk melakukan pengawasan
yang ketat terhadap pelaksanaan program-program pemerintah dan penggunaan
anggaran daerah.
#Partisipasi Masyarakat : Mendorong kerja sama dengan LSM dan kelompok
advokasi masyarakat dalam hal pengawasan dan pengambilan keputusan.
# Komitmen Terhadap Kepentingan Masyarakat : Menekankan pentingnya komitmen
DPRD terhadap kepentingan masyarakat dan keadilan sosial dalam setiap keputusan
yang diambil.
#Kerja Sama dengan Pemerintah Daerah : Mendorong kerja sama yang konstruktif
antara DPRD dan pemerintah daerah dalam mengambil keputusan yang berkaitan
dengan kebijakan dan pembangunan.
#Evaluasi Berkelanjutan : Melakukan evaluasi berkelanjutan terhadap kinerja DPRD
dan memperbaiki masalah yang teridentifikasi.
Peningkatan efektivitas DPRD memerlukan komitmen dan kolaborasi dari semua
pihak, termasuk anggota DPRD, pemerintah daerah, masyarakat, dan pemangku
kepentingan lainnya. Dengan langkah tersebut, DPRD dapat memberikan kontribusi
yang maksimal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pengawasan
terhadap pelaksanaan program-program publik sesuai dengan tugas dan fungsi DPRD.

Referensi : BMP IPEM4214 Sistem Pemerintahan Daerah Modul 6. 6.3 s.d. 6.41
4

partisipasi pasif adalah kegiatan warga negara yang mendukung jalannya


pemerintahan negara dalam rangka menciptakan kehidupan negara yang sesuai
tujuan.Partisipasi pasif dapat di bagi atas :
a. sikap dan
b. perilaku.

Contohnya menjadi Golput :


Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu
berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos
sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.
Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih
karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu).
Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang
tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan
perbaikan.
Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme
demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan
fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.
Patisipasi aktif adalah kegiatan warga negara dalam ikut serta menentukan kebijakan
dan pemilihan pejabat pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi
kepentingan bersama.Partisipasi aktif dapat dibagi dalam bentuk :
a. turut memikirkan nasib sendiri dengan pemanfaatan lembaga sosial politik.
b. Menunjukkan adanya kesadaran bermasyarakat dan bernegara yang tinggi.
c. Memeuhi kewajiban sebagai warga negara yang bertanggungjawab.
d. Kerelaan melakukan pengorbanan yang dituntut oleh pembangunan demi
kepentingan bersama.

Berikut contoh partisipasi Aktif :

1. Lingkungan sekolah
Manfaat dari partisipasi dalam sistem politik di lingkungan sekolah adalah memupuk
rasa persatuan dan kesatuan serta mempelajari ilmu politik demokrasi sejak dini
sesuai Pancasila. Berikut contoh kegiatannya.
• Pemilihan pengurus OSIS dan pemilihan pengurus organisasi ekstrakurikuler.
• Pemilihan pengurus kelas.
• Penyusunan anggaran kelas atau anggaran sekolah yang berkaitan dengan
tujuan atau kegiatan tertentu.
• Rapat atau musyawarah berkaitan dengan isu sekolah dan kegiatan sekolah.
• Pelaksanaan studi banding dua sekolah
• Pembentukan perhimpunan pelajar dan pemilihan pengurus perhimpunan
antarpelajar.

2. Lingkungan keluarga
Manfaat partisipasi dalam sistem politik di lingkungan keluarga adalah menciptakan
suasana rumah dan keluarga yang damai, rukun, dan menjalankan sistem politik
kekeluargaan dengan baik. Berikut contohnya.
• Penentuan anggaran dasar keluarga yang diputuskan bersama-sama.
• Penyelesaian masalah keluarga dengan demokratis dan kekeluargaan.
• Musyawarah mufakat antarkeluarga.
• Diskusi politik antaranggota keluarga.
• Pembagian tugas secara adil di rumah.

3. Lingkungan masyarakat
Manfaat dari partisipasi dalam sistem politik di lingkungan masyarakat adalah
menciptakan masyarakat yang harmonis, demokratis, dan terjaga persatuan dan
kesatuannya. Berikut contohnya :
• Pemilihan ketua RT, RW, hingga Kepala Desa.
• Musyawarah mufakat untuk menyelesaikan masalah di masyarakat.
• Menyampaikan pendapat dengan baik dan santun serta tidak memaksakan
pendapat.
• Ikut dalam kegiatan Pemilihan Umum bagi yang sudah cukup usia.
• Menyelesaikan masalah secara demokratis sesuai hukum negara yang
berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.

Sumber Referensi :
IPEM4427/M4/4.35-4.46

*. Piramida Kekuasaan Oligarki:


Piramida kekuasaan oligarki adalah struktur politik di mana kekuasaan terpusat pada
sejumlah kecil individu atau kelompok yang memiliki kekayaan, kekuasaan politik,
atau pengaruh yang signifikan. Dalam sistem ini, hanya sedikit orang yang memiliki
kendali atas kebijakan dan keputusan penting yang mempengaruhi masyarakat.
Orang-orang di puncak piramida memiliki kontrol yang luas terhadap sumber daya
ekonomi dan politik, sementara mayoritas rakyat memiliki sedikit atau tidak ada
pengaruh dalam proses pengambilan keputusan.

*. Piramida Demokrasi:
Piramida demokrasi adalah struktur politik di mana kekuasaan terdistribusi secara
lebih merata di antara warga negara. Dalam sistem ini, keputusan politik dibuat
melalui mekanisme demokratis, seperti pemilihan umum atau proses konsultasi dan
partisipasi publik. Warga negara memiliki hak dan kesempatan untuk berpartisipasi
dalam proses pengambilan keputusan politik. Mereka dapat memilih perwakilan
mereka, memberikan suara dalam pemilihan, dan berpartisipasi dalam inisiatif rakyat
atau referendum. Piramida demokrasi mendorong keadilan, kesetaraan, dan
perlindungan hak asasi manusia, serta akuntabilitas dan transparansi dalam proses
pengambilan keputusan politik.
Perbedaan utama antara kedua sistem ini terletak pada distribusi kekuasaan,
partisipasi politik, akuntabilitas, dan perlindungan hak asasi manusia. Piramida
kekuasaan oligarki memiliki kekuasaan terpusat pada sejumlah kecil individu atau
kelompok yang mengontrol sumber daya ekonomi dan politik, sedangkan piramida
demokrasi menekankan distribusi kekuasaan yang lebih merata di antara warga
negara. Dalam piramida oligarki, partisipasi politik terbatas, sedangkan dalam
piramida demokrasi, partisipasi politik ditekankan. Akuntabilitas dan transparansi
cenderung rendah dalam piramida kekuasaan oligarki, sementara dalam piramida
demokrasi, akuntabilitas dan transparansi menjadi penting. Selain itu, perlindungan
hak asasi manusia juga dapat berbeda antara kedua sistem tersebut, dengan piramida
demokrasi cenderung lebih mementingkan perlindungan hak-hak individu dan
kebebasan sipil.

Referensi: IPEM4427 (Sosiologi Pemerintahan.

Anda mungkin juga menyukai