Anda di halaman 1dari 8

Perkembangan Sanitasi Di Indonesia 1607-2011

1607 Penghuni Kota Jayakarta pada tahun 1607 menurut catatan Cornelis Matelief de Jonge berjumlah 15.00020.000 jiwa, rumah-rumah pada waktu itu dari kayu dan gedek atap dari jerami, kota dikelilingi pagar dari kayu yang masih rendah, dan bersihnya Sungai Ciliwung dipuji (Adolf Heuken, halaman 38).

1620 Pada waktu dilaporkan itu telah terjadi upaya pencemaran sungai, dimana pada saat pengepungan kota Surabaya oleh Sultan Agung dari tahun 1620-1625 serta kota-kota sekitarnya dengan membendung dan meracuni air sungai dikota yang berdampak menurunnya jumlah penduduk kota dari 50.000 jiwa lebih tinggal 500 orang yang tinggal dikota, selebihnya meninggal atau meninggalkan kota akibat kemiskinan atau kelaparan (Anthony Reid I, hal 21-22)

1699 Sebagaimana diceriterakan oleh Dampier bahwa kebiasaan mandi untuk membersihkan diri telah ada pada waktu itu dimana di sungai-sungai di Aceh selamanya penuh dengan pria dan wanita dari semua umur, orang sakit sekalipun dibawa ke sungai untuk mandi (Anthony Reid I, hal 59)

Kebiasaan BAB (buang air besar) kesungai atau dipantai didasarkan anggapan bahwa air yang mengalir bisa membersihkan, ini ada benarnya dibandingkan orang Eropa atau India sezaman yang menggunakan jalan-jalan kota atau air tergenang untuk BAB karena tidak ada pilihan lain (Anthony Reid I, hal 60)

1710 Pada tahun ini sudah dilaporkan terjadinya pencemaran akibat adanya 130 buah molen gula, sampah dan bekas kayu pembakaran yang sengaja dibuang ke sungai menyebabkan penyumbatan disana sini.

Akibatnya Sungai Ciliwung yang pada waktu itu sangat vital artinya bagi warga kota menjadi tercemar dan menimbulkan wabah penyakit, yang mengakibatkan kematian sekitar 1.223 orang pegawai kompeni Belanda dari 4.304 yang datang dari Belanda pada tahun yang sama (Tawalinuddion Haris, halaman 148)

1815 Mandi disungai juga telah menjadi kebiasaan penduduk Jakarta tempo dulu, dimana ditepian kanal dipenuhi wanita telanjang dada, mereka tanpa kuatir pria iseng yang mengintipnya (Alwi Shahab, halaman 48)

1892 HCC Clockener Brouson seorang serdadu muda Belanda yang baru datang dari Amsterdam melaporkan dengan terbengong-bengong tentang cara mandi orang Indonesia yang menggunakan bak, lalu cara bagaimana menyabun dan membilas dan mengeringkan badannya, mereka mandi 3 kali yaitu pagi, jam 11 dan jam 3 sore (HCC Clockener Brouson, halaman 21)

1916 Di Bandung telah dibangun IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) yang kemudian dikembangkan melalui Proyek BUDP (Bandung Urban Development Project) I, II dan III, dengan daerah layanan seluruh Bandung sekitar 2.800 Ha atau sekitar 17% dari luas kota; meliputi 90.000 pelanggan atau sekitar 450.000 jiwa (20% penduduk kota), 22.000 pelanggan dilayani oleh sambungan langsung , namun masih adanya industri rumahan dan rumah sakit yang membuang langsung walaupun itu termasuk tindakan illegal.

1920 Di Kota Cirebon pemerintah kolonial Belanda telah membangun IPAL pada tahun 1920 untuk melayani daerah komersial, kemudian pada tahun 1978 dilanjutkan pembangunan IPAL untuk melayani daerah

Perumnas, dan pada tahun 1996 dengan bantuan Pemerintah Swiss dibangun pula IPAL yang baru, sehingga cakupan pelayanannya telah mencapai 384 Ha (9,7 dari luas kota) dan total pelanggan sekitar 19.000 pelanggan atau 90.000 jiwa ( 32 % jumlah penduduk kotanya).

1935 Di Yogyakarta pembangunan IPAL pertama kali dilakukan oleh Belanda pada tahun 1935 dan kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan bantuan Pemerintah Jepang sehingga saat ini pelayanannya telah mencapai 1.250 Ha (sekitar 6% luas wilayah greater Yogyakarta) dan melayani 10.000 pelanggan atau 85.000 jiwa (10% populasi).

1939 Di Balige sebagaimana diceriterakan oleh JJ van de Velde bahwa pada tahun 1935 kondisi rumah disana pada malam hari; ternak yang terdiri dari sapi, kerbau dan babi dikumpulkan dibawah rumah, pada siang hari babi dan anjing-anjing kurus tak terhitung banyaknya, menjaga agar halaman rumah bersih, mereka melahap semua sampah dan kotoran, termasuk kotoran manusia. Bahkan begitu seringnyamereka makan kotoran manusia, sehingga bagi anak-anak berbahaya sekali BAB ditempat yang tidak terjaga, sebab kalau orang tuanya lengah, pernah terjadi bahwa alat vital seorang anak lelaki kecil turut tercaplok, betapa mengerikannya (JJ van de Velde, hal 76-77).

1940 Di Surakarta bagian selatan tahun 1940 Belanda telah mebangun IPAL kemudian dilanjutkan oleh Perumnas yang membangun tahun 1984 kemudian dikembangkan lagi dengan pionjaman IBRD (SSUDP, Semarang Surakarta Urban Development Project) yang dapat melayani 8.000 pelangaan sekitar 70.000 jiwa pada area 1.165 Ha (sekitar 26 % luas kota)

1977 Jakarta mulai menyusun Rencana induk Air Limbah pada tahun 1977, dan mulai membangun tahun 1983 dan pada tahun 1992 pembangunan fisik selesai, kapasitas yang dibangun sebesar 300 liter/detik dimana BOD influent sekitar 200 mg/lt dan effluent yang diharapkan adalah 50 mg/lt atau terjadi removal sebesar 70 % dan pada saat ini dikelolah PDPAL (Perusahaan daerah Air Limbah) yang merupakan satusatunya PD AL di Indonesia. Jumlah pelanggan sekitar 2.300 (220.000 jiwa) sekitar 2,8 % penduduk kota.

1980 Pada tahun 1980 ini dimulai perbaikan Kampung yang kita kenal dengan program KIP (Kampung Improvement Program) dimana prasarana dan sarana lingkungan merupakan salah satu komponen yang masuk dalam program. Kota Medan pada tahun 1980 mulai menyusun Rencana Induk Air Limbahnya dan lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1985 dengan pinjaman dari ADB (Asian Development Bank) melalui MUDP (Medan Urban Development Project) I dan II mulai membangun IPAL UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket) kapasitas 60.000 m3/hari atau 700 lt/dt yang dilanjutkan pengaliran effluentnya ke kolam aerasi (aerobic ponds) dan terakhir ke kolam fakultatif (facultative ponds), untuk melayani sekitar 530 HA (1,9 % luas Kota) untuk 7.400 pelanggan atau 49.000 jiwa (2,25 % penduduk kota)

1982 Di Kota Tangerang pada tahun 1982 mulai dibangun IPAL type carrousel ini merupakan satu -satunya di Indonesia dan diuji coba tahun 1985, serta mulai dioperasikan tahun 1992. Konsultan dari Belanda DHV Cons. Eng. dan Has Koning yang bertindak sebagai perencana.

IPAL Tanah Tinggi yang merupakan bantuan pemerintah Belanda tersebut mempunyai cakupan pelayanan 3.000 sambungan rumah atau ekivalen 15.000 jiwa melayani Kelurahan Sukasari dan babakan.

Selain IPAL Tanah Tinggi Kota Tangerang juga mempunyai prasarana dan sarana pengolahan air limbah domestik lainnya yang terdiri dari; kolam oksidasi sebanyak 8 unit dengan total luas sebesar 44,5 Ha terdapat di Perumnas I melayani 7.932 sambungan rumah atau ekivalen 31.728 jiwa.

Sistem Terpusat ( Offsite System) di IPAL Tanah Tinggi melayani Kelurahan Sukasari dan Babakan; seluruh limbah rumah tangga baik yang berasal dari kamar mandi, kakus maupun dapur diproses menjadi satu secara alamiah terpadu degan sistim Carrousel yang pengalirannya sebagian menggunakan perpompaan yang memerlukan biaya O/M yang tinggi sehingga menyebabkan IPAL ini tidak dioperasikan saat ini.

Sistem Setempat (Onsite system) melayani rumah tangga yang masih belum terjangkau oleh sistem terpusat, yaitu dengan menyedot lumpur tinja dari septik tank disetiap rumah yang selanjutnya diolah di IPLT Karawaci.Dari kedua system tersebut dapat melayani 9.800 pelanggan atau 46.000 jiwa (4% penduduk kota)

1985 Di Tlogomas Kota Malang masyarakat secara mandiri dengan dimotori oleh Agus Gunarto membangun IPAL skala komunitas akibat merasakan ketidak nyamanan akibat ulah masyarakat sekitar yang BAB sembarangan, dan upaya ini sangat diapresiasi oleh semua pihak bahkan oleh pihak internasional dengan berbagai undangan untuk presentasi keluar negri yang diperolehnya.

1992 Pada tahun 1992 mulailah disusun Rencana Induk Air Limbah Kota Denpasar (DSDP= Denpasar Sewerage Development Project), lima tahun kemudia disusunlah detail engineering design dan pada tahun 2004 dimulailah pembangunan fisiknya. IPAL Denpasar mempunyai kapasitas 51.000 m3/hari, dengan

total panjang jaringan pipa 130 km (dia 200-1.200 mm) untuk melayani sekitar 10.000 pelanggan atau 103.200 jiwa (1.145 HA luas pelayannya).

Berdasarkan Peraturan Bersama antara Gubernur Bali, Walikota Denpasar dan Bupati Badung dengan nomor 37 A tahun 2006, nomor 1 tahun 2006 dean nomor 36A tahun 2006 ditetapkanlah BLU PAL yang mengelola IPAL tersebut.

1995 Dimulailah pembangunan IPLT (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja) disebagian besar kota-kota di Indonesia, namun keberadaan IPLT ini banyak yang tidak berfungsi dengan baik, akibat lemahnya lembaga pengelola yang ada disamping faktor lainnya.

2002 Di Propinsi Bali tepatnya di Kantor Gubernur Renon, di Kecamatan Kuta, dan Sunrise School Krobokan Denpasar telah dibangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan menggunakan media tanaman alias Fythoremediasi, teknologi sederhana hasilnya cukup memuaskan namun memerlukan lahan yang cukup luas, teknonolgi ini cocok diterapkan di skala komunal.

2003

Telah disusun Pekerjaan Studi National Action Plan Bidang Air Limbah, bulan Desember 2003 Telah disusun pula Pedoman Pengelolaan Air Limbah Perkotaan, untuk eksekutif dan legislative Pemerintah Kabupaten/Kota, Ditjen Kotdes, Depkimpraswil, Desember 2003

Telah terbit pula Pedoman Pengelolaan Air Limbah Perkotaan, untuk untuk Pelaksana Lapangan di Pemerintah Kabupaten/Kota, Ditjen Kotdes, Depkimpraswil, Desember 2003

Telah disusun Perumusan Rencana Tindak National Bidang Air Limbah 2005-2015. Ditjen Kotdes, Depkimpraswil, Desember 2003

Mulai dilakukan uji coba program SANIMAS (Sanitasi Berbasis Masyarakat) di propinsi Bali, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta.

2004

Terbit Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Tim interdep (Bappenas,Depkes, Depdagri dan Dep PU) ditugaskan untuk belajar CLTS (Community Lead Total Sanitation atau STBM = Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) ke India dan Bangladesh dengan sponsor IBRD.

2005

Terbit Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

Di Kabupaten Lumajang, tepatnya di Kecamatan Guci Alit pada tahun 2005 telah memproklamirkan sebagai daerah bebas BAB dengan menerapkan CLTS alias STBM

2006

Dilakukan replikasi program SANIMAS di 20 propinsi (69 lokasi). Dimulai program ISSDP (Indonesia Sanitation Development Program)

2007

Dilaksanakan Konferensi Sanitasi Nasional I. Kembali dilakukan replikasi program SANIMAS di 22 propinsi (128 lokasi)

2008

Telah terbit Permen PU Nomor 16/PRT/M/2008 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman, Departemen Pekerjaan Umum

Buku Pedoman SANIMAS, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Dep. PU, Telah disusun National Strategy for Community Lead Total Sanitation (CLTS), Ministry of Health

2009 Dilaksanakan Konferensi Sanitasi Nasional II

2010 Mulai disusun Rencana Induk dan Studi Kelayakan untuk kota-kota; Surabaya, Bogor, Cimahi, Bandar Lampung, Pekanbaru, Batam, Batam, Palembang dan Makasar atas bantuan Ausaid.

Sumber : Edy Purnomo,M.Si , 2011

Anda mungkin juga menyukai