Anda di halaman 1dari 4

Dari Mana Uang Untuk Membuat Film Datang?

Wednesday, 03 June 2009 00:00

| Print | PDF

Dari

Mana

Uang

Untuk

Membuat

Film

Datang?

Merogoh kocek sendiri. Pinjam sana-sini atau, yang mulai trend, mendatangi Investasi Film Indonesia (IFI). Wah, apa lagi, tuh?

Suatu ketika, pada 1978, mendiang Teguh Karya sang sutradara besar itu, pernah bercerita didatangi seorang produser yang menggebugebu ingin membuat film setaraf The Godfather-nya Francis Ford Coppola. Cerita Teguh, produser itu sudah menonton The Godfather sampai 3 kali. Produser itu juga bilang, biar gambar filmnya bagus prosesingnya di Jepang. Lantas, Teguh bertanya berapa jumlah yang disediakan untuk membuat film setaraf The Godfather itu? Sang produser menjawab 50 juta rupiah. Kontan saja, Teguh bilang dengan angka segitu tidak bisa mewujudkannya. Kendati sang produser meyakinkan Teguh kalau setahunya film-film Indonesia (untuk ukuran tahun itu) bisa dibuat tak lebih dengan biaya 48 juta rupiah, Teguh tetap bergeming. Ia beralasan, dengan angka itu cuma akan lahir film yang sampai pada kerangka saja. Atau, dalam bahasa Teguh, film yang, ... pemainnya cuma nongol di jendela dan berbicara tanpa kita tahu apa yang ada dalam rumahnya. De ngan kata lain, untuk membuat film sekelas The Godfather butuh dana tak sedikit. Teguh Karya sudah membuktikannya. Saat membuat November 1828 (1979) yang berlatar Perang Diponegoro (1825-1830), Teguh membangun set semirip zaman itu. Semua pemainnya diberi pakaian sesuai busana yang lazim digunakan kala itubaik yang memerankan serdadu Belanda maupun rakyat jelata. Teguh total memerhatikan segi artistik film itu tak ubahnya Coppola saat membuat The Godfather. Lantaran ambisi Teguh itu, November 1828 menghabiskan ongkos produksi sampai 240 juta rupiah. Konon, angka itu terhitung sangat tinggi buat ukuran waktu itu. November 1828 pun didaulat jadi film paling mahal di zamannya. Kendati menghabiskan banyak uang, jerih payah Teguh terbayar impas. November 1828 meraih 8 Piala Citra, di antaranya buat film terbaik, sutradara terbaik, sinematografi terbaik, penata artistik terbaik, hingga ilustrasi terbaik. Seiring waktu, angka 240 juta rupiah bukan lagi bilangan besar untuk sebuah ongkos produksi film nasional. Kini, pembuatan film Indonesia lazimnya menelan biaya di atas semiliar rupiah. Itu pun kalau yang digunakan kamera digital. Bukan seluloid. Untuk jenis kamera seluloid pun bujetnya beda-beda. Yang 16 mm kira-kira menelan biaya 3-3,5 miliar rupiah. Sedangkan yang 35 mm bisa menghabiskan dana di atas 4 miliar rupiah. Aktor senior Deddy Mizwar yang membawahi rumah produksi Demi Gisela Citra Sinema membuat Kiamat Sudah Dekat (2002) dengan dana 1,5 miliar rupiah. Film itu dibuat dengan kamera digital. Pun demikian dengan filmnya yang lain, Ketika (2004)juga berbujet 1,5 miliar rupiah. Dari mana Deddy mendapatkan uang buat mendanai filmnya? Kata Deddy, semua filmnya kebanyakan diambil dari koceknya sendiri. Selain membuat film layar lebar, Deddy juga memproduksi sejumlah sinetron kayak Lorong Waktu yang sudah dibuat berseri-seri. Nah, keuntungan menjual sinetron pada stasiun teve itu ia pakai buat mendanai film layar lebar. Istilahnya subsidi silang, bilangnya saat dimintai komentar via telepon Kamis (10/11) sore. Rumah produksi lain, SinemArt milik Leo Sutanto, juga mendanai sendiri filmnya. Serupa Demi Gisela Citra Sinema milik Deddy, SinemArt juga membuat sinetron buat tayang di teve. Sinetron yang dibuat SinemArt malah sudah lebih banyak. Sejak berdiri 2003 lalu SinemArt

sudah membuat 43 sinetron. Saat ini 14 sinetronnya tersebar di berbagai stasiun teve. Produksi kami tidak hanya film layar lebar, tapi banyak sinetron yang ditayangkan banyak stasiun teve, kata humas SinemArt Abdul Aziz, Kamis (10/11) malam. Sinetron itu mend atangkan banyak keuntungan buat SinemArt. Jadi perputaran uangnya tidak hanya melalui film layar lebar, tambah Aziz lagi. Aziz berani sesumbar SinemArt tak pernah minta bantuan pihak lain bila ingin mendanai pembuatan film. Justru SinemArt menjadi investor untuk film yang dibuat rumah produksi lain, bebernya. Hal tersebut dilakukan pada film Gie (2005) keluaran Miles Films. Itu terjadi karena hubungan baik antara Pak Leo dengan Mbak Mira (Mira Lesmana, pemilik Miles Filmsred), buka Aziz. Selain Gie, SinemArt juga berinvestasi di film keluaran Miles lain, Garasi yang rencananya rilis awal tahun depan. Gie yang berupa film biografis Soe Hok Gie, tokoh gerakan mahasiswa angkatan 66 itu menguras dana banyak. Tak kurang film itu menelan biaya 7 miliar rupiah buat pembuatannya. Dari setingnya saja Gie mengangkat suasana 1960-an. Untuk mendapat suasana masa itu, pembuat film dituntut menyediakan segala tetek bengek yang ada kala itu. Baju-baju, kursi, perabotan rumah, sampai alat tulis mesti persis dengan yang ada saat itu, bilang Deddy Machdan, publicist di Miles Films, Rabu (9/10) siang. Selain itu, pengambilan gambar Gie dilakukan di Jakarta, Semarang hingga puncak gunung Pangrango segala. Kata Deddy lagi, syuting Gie menghabiskan waktu 80 hari. Tambahan pula, buat adegan demonstrasi di jalanan melibatkan 2 ribu figuran. Untuk membiayai pembuatan Gie, sebut BusinessWeek edisi Indonesia terbitan 14 September, Mira sampai menggadaikan film Ada Apa dengan Cinta? (AAdC?) buatan Miles untuk dibuat versi sinetronnya. Dulu, kondisinya bikin hati lebih miris lagi. Mira pernah bercerita, saking sulitnya cari pemodal dirinya bahkan harus pinjam uang ke rentenir untuk mendanai filmnya. Sejak kemunculannya, Miles sudah merilis sejumlah film. Film pertama keluaran Miles, Petualangan Sherina (2000) dibuat dengan dana 1,5 miliar rupiah. Film itu sukses mengundang 1,6 juta orang datang ke bioskop. Sementara itu, kesuksesan AAdC? malah lebih besar lagi. AAdC? yang berbujet 4,4 miliar rupiah ditonton 2,7 juta orang di bioskop. Dari bioskop saja, tulis BusinessWeek, film itu untung 24 miliar rupiah. Kemudian keuntungan produser bertambah 10 miliar rupiah dari penjualan hak siar dan 2,5 miliar rupiah dari penjualan VCD maupun DVD. Selain AAdC?, Jelangkung keluaran Rexinema juga terhitung untung besar. Kata Erwin Arnada, bos Rexinema, film horor itu dibuat cukup dengan dana 400 juta rupiah. Sementara itu, Jelangkung ditonton 1,6 juta orang di bioskop. Rasanya, dari penghasilan tiket bioskop saja, film itu sudah untung besarbelum lagi dari penjualan hak siar atau VCD-nya. Film lain yang terhitung sukses menyedot penonton yakni Eiffel ... Im in Love (2003). Film keluaran Soraya Intercine Film berbiaya 10 miliar rupiah itu konon ditonton sampai 3 juta orang. Ketiga film sukses di atas didanai sepenuhnya oleh produsernya masing-masing. Hingga keuntungan pun cukup dibagi buat produser saja. Masalahnya, sebelum meraih untung, produser mesti megap-megap mencari dana kesana kemari biar filmnya bisa dibuat. Belum lagi kalau filmnya tak untung besar. Produser mesti menunggu lama biar uang yang dikeluarkannya untuk membuat film bisa balik. Sekarang, masalah itu bisa disiasati. Beberapa pembuat film kayak Salto Films milik Shanty Harmayn, Rexinema, atau Miles menggaet perusahaan Investasi Film Indonesia (IFI) untuk mendanai pembuatan film-film mereka. Salto dibantu saat membuat Banyu Biru (2005); Miles di film Untuk Rena (2005) dan Garasi (rilis awal 2006). Sedangkan Rexinema memakai jasa IFI saat memproduksi Alexandria (rilis 24 November). Untuk Alexandria, Rexinema mencoba tren baru dalam produksi film Indonesia, yaitu bekerjasama dengan IFI, aku Erwin saat diminta bercerita via telepon, Kamis (10/11) malam. Ia bilang, Rexinema menggaet IFI bukan semata-mata karena kekurangan biaya. Kami hanya ingin tahu bagaimana kekurangan maupun kelebihan pola ini, katanya. Lantas, apa sebenarnya IFI itu? Bagaimana pula pola kerjanya? Bintang khusus menemui direktur utamanya, Adiyanto Sumarjono di gedung Bursa Efek Jakarta, Kamis (10/11) pagi lalu buat mencari jawaban. IFI itu bertugas mengatur investasi buat mendanai pembuata n film, terang Adi. Kata Adi, IFI bekerja saat ada produser yang datang menyodorkan proposal pembuatan film. Selain mengamati isi proposal yang ditawarkan, IFI utamanya melihat seperti apa skrip film yang dimaksud. Skrip itu amat menentukan. Sebab, 90 perse n kekuatan film ada pada skrip, ujar Adi. Setelah melihat apa satu film layak buat diinvestasi atau tidak, IFI akan menyebar proposal penawaran ke berbagai investor. Saat ini, bilang Adi, IFI punya 28 investor baik perusahaan maupun perorangan yang siap mendanai pembuatan film. Selanjutnya, tinggal produser, sutradara, atau penulis skenario mempresentasikan isi film yang akan dibuatnya di hadapan investor-investor yangsudah dicari IFI. Kalau dulu produser mesti ketok pintu satu-satu investor, sekarang biar IFI yang lakukan itu. Mereka tinggal presentasi saja di depan investor yang IFI dapat, urai Adi. Jika para investor tertarik pada suatu proyek film, mereka tinggal uang menyetor ke IFI. Yang patut diketahui, IFI tak mencari keseluruhan modal yang dibutuhkan produser buat mendanai film. Kalau seorang poduser yakin filmnya bgus, mestinya ia juga rela berkorban buat keluarkan uang sendiri atau mencarinya dari pihak lain juga, kata Adi. Um umnya, bujet yang diperlukan untuk memproduksi film dibagi rata antara IFI dan produser. Paling tinggi kisarannya hanya sekitar 50 persen dari bujet, buka Erwin. Selain tak mencari modal sepenuhnya, IFI juga membuat kesepakatan khusus saat mencari dana. Adi membaginya dengan sebutan best effort dan full comitment. Lebih jelas, best effort itu menurut Adi berarti, Jika IFI mesti cari dana 50 persen dari bujet, sekitar 2 miliar rupiah, misalnya, tapi hanya dapat 1,5 miliar rupiah sampai tenggat waktu. Maka, produser yang mesti cari sendiri keku rangannya. Sedangkan yang dimaksud full comitment, IFI berarti berkomitmen penuh pada pendanaan 50 persen itu. jadi, walau yang didapat cuma 1,5miliar rupiah dari investor, IFI mesti menutupi kekurangan dari uang IFI sendiri, terang Adi, Di sini, IFI juga jadi investor film itu,

lanjutnya lagi. Apa yang membuat IFI melakukan best effort atau full comitment tergantung penilaian IFI pada sebuah proyek film. Layaknya perusahaan, IFI tentu juga mencari keuntungan. Hal tersebut, kata Adi, didapat dari fee atau upah dari hilir mudik mencari investor. Hitung-hitungannya adalah, ujarnya berahasia. Saat ini, selain Garasi yang siap tayang, di kantor IFI menumpuk proposal proyek pembuatan film menunggu didanai. Prinsipnya, kami terbuka buat siapa saja produser yang ingin membuat film, undang Adi. Dari proposalproposal film yang menumpuk di kantornya, ada beberapa proposal film animasi buatan anak negeri. IFI terbuka buat semua genre film, kata Adi, Apalagi, di Indonesia belum ada film animasi yang benar-benar membuat heboh, lanjutnya. Wah, kalau begitu semoga segera ada film animasi yang disetujui IFI, lalu dicarikan investornya biar kita bisa lekas menontonnya di bioskop. *** Dibantu laporan Guritno Dimuat BINTANG INDONESIA edisi 760.

Penawaran Pembuatan Film-Oxfam EI CAN


Penawaran PembuatanFilm ProfilKegiatan Local Initiative toStrengthening and Empower Women (LISTEN) - OXFAM TENTANG OXFAM OXFAM adalah konfiderasi internasional, terdiri dari 17 organisasi atau afiliasi yang bekerja bersama dalam jaringan gerakan perubahan global di 94 negara untuk mencapai visi menjadikan dunia tanpa kemiskinan dan sebagai mitra yang kuat bagi komunikasi lokal dan global untuk perubahan. PROGRAM LOCAL INITIATIVE TO STRENGTHENING AND EMPOWER WOMEN (LISTEN) Inisiatif Local untuk Penguatan dan Pemberdayaan Perempuan (LISTEN) adalah program uji coba yang dilakukan Oxfam bersama mitranya CIS Timor di wilayah NTT untuk memperkuat kepercayaan diri perempuan dalam mempengaruhi dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di ruang public yang umumnya didominasi oleh kelompok elit dan bias jender. Melalui program ini, kaum perempuan membangun inisiatif melalui pembentukan Sekolah Anggaran Perempuan (SAP) untuk memperkuat kapasitas, mempromosikan persepsi kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam ranah domestik, publik dan tradisi. Kegiatan Women Champion juga bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri perempuan sehingga dapat mempengaruhi dan menginspirasi perempuan dari desa lain untuk melakukan hal serupa, dapat mempengaruhi aparat desa maupun kabupaten sehingga memperoleh dukungan untuk memperkuat akses dan kontrol atas sumber daya pembangunan di desa. TUJUAN Memberikan gambaran mengenai kegiatan LISTEN melalui media film Sebagai sarana informasi dalam kegiatan kampanye/advokasi Menginspirasi perempuan lain untuk mempromosikan kesetaraan antara perempuan dan laki laki dalam ranah domestik, publik dan tradisi. Memberikan pemahaman kepada masyarakat melalui media film mengenai isu gender dalam pembangunan khususnya dalam mempengaruhi pemerintah desa untuk menempatkan anggaran lebih dan prioritas untuk kebutuhan perempuan HASIL YANG DIHARAPKAN Satu film profil kegiatan yang mengangkat kisah kelompok perempuan dampingan, cerita sukses, dan pembelajaran yang didapatkan serta cerita-cerita dari pihak-pihak yang terlibat selama kegiatan LISTEN. Film ini direncanakan berdurasi 10-15 menit. LOKASI Nusa Tenggara Timur (NTT) di 4 lokasi desa di Kabupaten Kupang PELAKSANAAN 24 February 15 Maret 2013

KETENTUAN Membuat film profil kegiatan yang menarik dan inovatif, resolusi yang baik, visualisasi dan tidak menyinggung secara negatif unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Adat Istiadat). KUALIFIKASI Memiliki pengalaman membuat film/iklan/dokumenter Berpengalaman bekerja bersama dengan lembaga donor, NGO atau INGO Memiliki pengalaman bekerja di daerah dan lokasi terpencil Memiliki peralatan yang mendukung pembuatan film serta mempunyai kru yang berpengalaman Memiliki pengalaman dalam proses pra-produksi sampai paska produksi film Mempunyai kecapakan dalam berkomunikasi terutama untuk berdiskusi selama proses pembuatan hingga akhir pembuatan film Memiliki ide-ide yang kreatif dan inovatif PENUTUP Penawaran ini berlaku kepada Production House yang ingin bekerja sama dengan Oxfam dalam jasa pembuatan film profil kegiatan LISTEN. Proposal yang masuk akan diseleksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di OXFAM dengan menyertakan portfolio production house berikut perkiraan anggaran yang diperlukan (sudah termasuk biaya transportasi ke dan dari lokasi, akomodasi, konsumsi, dan biaya-biaya lain yang diperlukan selama pembuatan film) Proposal diterima paling lambat tanggal 19 February 2013 pukul 17.00 WITA Untuk penawaran kerja sama dan proposal pembuatan film dikirimkan ke alamat emailNMarthanti@oxfam.org.uk atau diantar langsung ke : OXFAM Eastern Indonesia Jl. Ketilang no 10 Kec. Mariso Makassar 90125 Telp. +62 411 858468/858469

Anda mungkin juga menyukai