Anda di halaman 1dari 17

DIAGNOSIS PRENATAL

PENDAHULUAN Diagnosis prenatal adalah ilmu dan seni untuk mengidentifikasi kelainan struktur dan fungsi pada perkembangan janin. Sekitar 2-3% bayi baru lahir mempunyai masalah dengan kelainan kongenital mayor yang ditemukan pada saat lahir. Kelainan kongenital mayor merupakan salah satu penyebab utama kematian neonatus, dan kelainan genetik merupakan empat besar kasus rawat inap di bagian anak.1 Banyak kelainan pada janin dapat diidentifikasi saat prenatal dan kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan telah memungkinkan untuk melakukan pengobatan prenatal, sehingga saat ini diagnosis prenatal merupakan jembatan penting antara obstetri dan pediatrik. Terapi prenatal saat ini meliputi optimalisasi lingkungan intrauteri dan kondisi pada saat persalinan, transfusi darah, pemberian obat-obatan, amnioreduksi, pemasangan shunt dan operasi. Utuk masa yang akan datang akan memungkinkan untuk melakukan transplantasi hematopeitic stem cell dan metode transfer gen yang lain. 1-3 Diagnosis prenatal meliputi evaluasi terhadap tiga kategori pasien berupa yaitu :1 1. Janin dengan risiko tinggi untuk kelainan genetik dan kongenital 2. Mereka dengan risiko yang tidak diketahui untuk kelainan kongenital umum. 3. Janin yang pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan mempunyai kelainan struktur dan perkembangan Kualitas USG mempengaruhi kemampuannya untuk diagnostik prenatal dalam mendeteksi kelainan-kelainan kongenital yang secara klinis sudah jelas tampak, dan juga peningkatan kemampuannya mendeteksi kelainan kongenital yang masih belum tampak jelas secara klinik, selain itu dapat membantu atau sebagai pembimbing yang sangat akurat untuk berbagai prosedur seperti :

pemeriksaan amniosintesis, pemeriksaan villi khorialis, pemeriksaan darah janin dan pemeriksaan biopsi Janin. Upaya pencegahan cacat bawaan dapat dibedakan atas pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer ditujukan pada upaya pencegahan terjadinya kehamilan dengan cacat bawaan, kegiatan utamanya adalah penyaringan atau deteksi dini golongan yang mempunyai risiko untuk mendapat keturunan dengan cacat bawaan, yang meliputi kegiatan skrining, konseling prakonsepsi / pranikah dan tindakan supportifnya berupa keluarga berencana, adopsi atau inseminasi donor. 2, 3 Pencegahan sekunder ditujukan pada upaya pencegahan kelahiran bayi dengan cacat bawaan dengan melakukan kegiatan pranatal antara lain: skrining genetika dalam kehamilan, konseling prenatal, diagnosis prenatal dan tindakan suportif lainnya berupa terminasi kehamilan, terapi gen maupun terapi janin in utero.2, 3 INDIKASI DIAGNOSIS PRENATAL Alasan utama untuk melakukan diagnosis prenatal adalah faktor usia maternal (>35 tahun), abnormalitas maternal serum alfa fetoprotein (MSAFP) dan hasil skrining test lain yang positif. Secara singkat indikasi untuk diagnosis prenatal adalah sebagai berikut :1-3 1. Usia maternal 35 tahun atau lebih 2. Riwayat keluarga dengan anomali kromosom 3. Orang tua dengan karier translokasi 4. Abnormalitas MSAFP atau multiple markers screen 5. Riwayat keluarga dengan neural tube defect (NTD) 6. Kelainan gen tunggal riwayat keluarga atau karier yang didapat dari skrining populasi. 7. Malformasi kongenital yang didiagnosis dengan USG 8. Kecemasan.

Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun perlu ditawarkan untuk menjalani pemeriksaan diagnosis prenatal karena pada usia 35 tahun insidens trisomi mulai meningkat dengan cepat. Hal ini berhubungan dengan non-disjunction pada miosis. Pada usia 35 tahun kemungkinan untuk mendapat bayi lahir hidup dengan kelainan kromosom adalah 1:192, sehingga ada beberapa ahli yang menawarkan diagnosis prenatal pada usia 33 tahun namun hal ini belum menjadi konsensus.1, 2 RIWAYAT KELUARGA Pasangan yang pernah mempunyai anak trisomi mempunyai kemungkinan rekurens sebesar 1% sehingga perlu ditawari untuk diagnosis prenatal. Saudara kandung dan keluarga dekat (tingkat kedua) dari penderita sindroma Down juga mempunyai sedikit peningkatan risiko untuk mendapat keturunan yang menderita sindroma Down, namun banyak penelitian yang tidak menemukan peningkatan insiden sindroma Down dalam keluarga pada tingkat kedua dan ketiga.2 Translokasi dan rearrangement struktur kromosom yang lain merupakan predisposisi untuk mendapat keturunan dengan kelainan kromosom. Pasangan yang salah satu partnernya adalak karier translokasi berimbang resiprocal mempunyai risiko tinggi untuk mendapat abortus berulang. Diagnosis prenatal pada keturunannya menemukan hampir 10-12% dengan translokasi kromosom yang tidak berimbang. Turunan dari penderita karier translokasi Robertsonian berisiko untuk mendapat turunan dengan trisomi dan monosomi, bahkan pada karier translokasi robertsonian 21-21 seluruh keturunannya diprediksi akan menjadi trisomi atau monosomi (lethal) kromosom 21. 1, 2 Riwayat keluarga dengan defek gen tunggal, yang memerlukan diagnosis prenatal tergantung dari banyak faktor, seperti berapa jauh hubungan kekerabatan antara anggota keluarga yang sakit dengan individu yang meminta konseling, demikian juga halnya frekuensi dari penyakit tersebut dalam populasi. Pasangan keluarga yang mempunyai anak dengan kelanan gen, akan mempunyai risiko berulang, tetapi risiko ini akan menurun dengan bertambah

jauhnya jarak dengan individu yang berisiko. Sebagai contoh orang tua dengan anak kelainan autosomal resesif mempunyai risiko kelainan berulang 25% setiap kehamilannya, sebaliknya keturunan dari saudara kandungnya mempunyai risiko 2/3 x risiko bila partnernya karier (frekuensi karier dalam populasi bila tidak ada riwayat dalam keluarga) x risiko untuk mendapat keturunan yang sakit bila kedua orang tuanya karier( 1/4). Untuk penyakit kistik fibrosis dengan frekuensi karier dikalangan kaukasian Amerika adalah 1 dari 25, maka risiko untuk saudara kandung yang tidak sakit dari penderita kistik fibrosis adalah: 2/3 X 25 X = 1/150. Skrining karier saat ini telah digunakan secara luas terhadap beberapa penyakit resesif, seperti sickle cell anemia, penyakit Tay-Sachs dan terakhir penyakit Canavan. 2 PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI Sejak Donald memperkenalkan ultrasonografi (USG) dalam bidang obstetri pada akhir tahun 1950an telah terjadi banyak kemajuan dalam teknologi USG ini. Dengan semakin baiknya resolusi dan sensitifitas pemeriksaan dengan USG, maka telah terjadi peningkatan penggunaan USG untuk diagnosis prenatal dalam mememukan abnormalitas morfologi janin terutama setelah 18 minggu, dengan penggunaan transduser transvaginal memungkinkan deteksi abnormalitas morfologi janin mulai kehamilan 13 minggu. 1, 4 Informasi yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ultrasonografi antenatal meliputi :4 Konfirmasi kehidupan janin Penentuan umur kehamilan yang akurat Diagnosis kehamilan ganda dan penentuan korionisitas Deteksi anomali pada janin Pemantauan pertubuhan janin Penilaian kesejahteraan janin Penentuan lokasi plasenta dan tepinya Pemantauan real time untuk prosedur invasif Deteksi kelainan uterus dan adneksa

RCOG pada tahun 1997 membuat rekomendasi untuk pemakaian USG sebagai berikut :4 1. Skrining universal lebih dapat dipercaya untuk menentukan kelainan pada janin dibanding dengan pemeriksaan scanning selektif. 2. Skrining kelainan pada janin menurunkan angka kematian perinatal karena mampu mengidentifikasi kelainan dan melakukan terminasi kehamilan. 3. Berdasarkan bukti terkini, scanning pada usia kehamilan 18-20 minggu merupakan metode yang paling efektif untuk mendeteksi kelainan pada janin. 4. Walaupun tidak memerlukan persetujuan tertulis sebelum pemeriksaan namun wanita perlu diberi kesempatan untuk memilih apakah mau diperiksa. Harus tersedia informasi tertulis dan lisan sebelum pemeriksaan. Ketetapan mengenai konseling dan informasi yang

memadai harus merupakan bagian dari program skrining. 5. Bila terdeteksi adannya suatu kelainan maka harus diskusi mengenai dampaknya. Orang tua mendapat manfaat dari diskusi yang melibatkan ahli lain selain ultrasonografer dan spesialis kebidanan seperti ahli anak, ahli genetik dan ahli bedah anak. 6. Pemeriksaan ultrasonografi hanya dilakukan oleh tenaga yang sudah terlatih. Pemeriksaan skrining rutin harus dilakukan dengan dengan menggunakan protokol atau daftar tilik yang telah disetujui. Diagnosis kelainan janin dilakukan dengan tiga cara yaitu : 1. Dengan visualisasi langsung dari defek struktural, misalnya tidak adanya tulang tengkorak pada anencephali. 2. Dengan menunjukkan disproporsi ukuran atau pertumbuhan dari bagian tubuh tertentu pada janin misalnya, anggota gerak yang pendek pada dwarfism. 3. Dengan mengenali dampak dari anomali terhadap organ yang berdekatan, misalnya adanya katup pada uretra posterior terdiagnosis dengan adanya dilatasi pada saluran ginjal.

RCOG merekomendasikan program pemeriksaan dua tahap; pertama pada saat ibu mendaftar dan pemeriksaan kedua pada sekitar atau saat kehamilan 20 minggu, minimal pada kehamilan 20 minggu. Bila ditemukan adanya kelainan maka harus dirujuk untuk diperiksa oleh tenaga yang terampil untuk pemeriksaan yang lebih rinci dan menentukan penanganan selanjutnya yang sesuai. Keputusan penanganan harus dilakukan dengan mendapat masukan dari tim dengan keahlian yang multidisplin. Orang tua harus terlibat langsung dan mendapat informasi yang memadai untuk mengambil keputusan. 4 Beberapa anomali yang banyak ditemukan antara lain : defek pada jantung, defek dinding perut, kelainan SSP, kelainan gastro intestinal, kelainan ginjal dan nuchal translucency. Kelainan ini dapat tersendiri atau berhubungan dengan anomali kromosom atau bagian dari sindroma mendelian. Dengan demikian pemeriksan dengan USG akan memberikan manfaat yang besar. 2 Standar RCOG untuk pemeriksaan USG pada kehamilan 20 minggu adalah sebagai berikut :4 Umur kehamilan : dengan mengukur diameter biparietal (BPD), lingkar kepala (HC) dan panjang femur (FL) Nomalitas janin Bentuk kepala dan struktur di dalamnya : midline echo, kavum pellucidum, cerebellum, ukuran ventrikel dan atrium (< 10 mm) Spina : longitudinal dan transversal Bentuk abdomen dan isinya ( setinggi lambung) Bentuk abdomen dan isinya (setinggi umbilikus) Pelvis ginjal (jarak anterior-posterior < 5 mm) Aksis longitudinal : tampak toraks abdominal (diafragma / buli-buli) Toraks (setinggi 4 chamber view) Lengan 3 tulang dan tangan (tidak termasuk jari-jari) Tungkai 3 tulang dan kaki (tidak termasuk jari-jari) Optional : pembuluh darah yang keluar dari jantung, muka dan bibir

DIAGNOSIS PRENATAL INVASIF Dengan makin meluasnya indikasi untuk melakukan diagnosis prenatal maka metode yang tersedia untuk mendeteksi kelainan-kelainan genetik juga meningkat dengan cepat. Selain amniosintesis, metode diagnostik invasif yang lain meliputi pemeriksaan villi korialis (CVS), pemeriksaan darah janin (FBS) dan biopsi janin untuk indikasi yang spesifik. Sampel yang diperoleh dengan metode ini digunakan untuk analisis sitogenetik (karyotipe dan FISH), diagnosis DNA molekuker (deteksi mutasi langsung, lingkage analysis) dan atau evalusi biokimia, tergantung pada apa yang diinginkan. Tiap prosedur invasif ini mempunyai keuntungan dan kerugian yang perlu dipertimbangkan saat menawarkan pemeriksaan diagnosis prenatal. 2, 3 AMNIOSINTESIS MIDTRIMESTER Amniosintesis adalah tindakan mengeluarkan cairan amnion yang mengandung sel-sel janin dan unsur biokimia dari rongga amnion. Pertama kali dilakukan pada tahun 1880 untuk dekompresi polihidramnion. Pada tahun 1950 amniosintesis menjadi alat diagnostik ketika mulai dilakukan pengukuran kadar bilirubin dalam cairan amnion untuk memantau isoimunisasi rhesus. Amniosintesis untuk deteksi kelainan kromosom prenatal pertama kali dilaporkan pada tahun 1967. Sejak itu amniosintesis diterima secara luas menjadi metode untuk diagnosis prenatal untuk kelainan kromosom, penyakit-penyakit yang diturunkan, dan beberapa infeksi kongenital. 2, 3 Indikasi utama untuk tindakan amniosintesis adalah pemeriksaan karyotype janin. Sel-sel dalam cairan amnion berasal dari kulit janin yang mengalami deskuamasi dan dikeluarkan dari saluran gastrointestinal, urogenital, saluran pernafasan dan amnion. Sel-sel ini dipersiapkan untuk analisis pada tahap metafase maupun untuk pemeriksaan FISH. Namun laboratorium lebih senang bila mendapat sampel dari darah atau villi korialis karena banyak mengandung DNA yang diperlukan untuk kultur. 5 Dahulu cairan amnion juga dipakai untuk pemeriksaan kadar enzym untuk menentukan adanya gangguan metabolisme dan analisis metabolit untuk

mendeteksi penyakit kistik fibrosis, namun saat ini telah digantikan dengan pemeriksaan yang lebih akurat yaitu dengan pemeriksaan mutasi DNA yang bertanggung jawab tehadap kondisi ini.5 Amniosintesis midtrimester untuk pemeriksaan genetik umumnya dilakukan pada usia kehamilan antara 15-18 minggu. Pada saat itu jumlah air ketuban sudah memadai (sekitar 150 ml) dan perbandingan antara sel yang viable dan non viable mencapai rasio terbesar. 3, 5 Sebelum amniosintesis terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan USG untuk menentukan jumlah janin, konfirmasi usia kehamilan, memastikan viabilitas janin, deteksi anomali pada janin dan menentukan lokasi plasenta dan insersi tali pusat serta memperkirakan jumlah air ketuban. Dilakukan tindakan antisepsis pada kulit perut ibu dan operator memakai sarung tangan steril. Dengan tuntunan USG, tusukkan jarum ukuran 20-22 pada kantong amnion yang tidak berisi bagian kecil janin atau tali pusat. Sebaiknya dilakukan pada daerah fundus untuk mengurangi risiko robekan selaput ketuban, dan sedapat mungkin menghindari daerah plasenta. Bila terpaksa harus melakukan tusukan pada daerah plasenta sebaiknya dibantu dengan color doppler untuk mengidentifikasi pembuluh darah dan lakukan tusukan pada daerah yang paling tipis jauh dari tepi plasenta. Prosedur ini biasanya tidak memerlukan anestesi lokal. 3, 5 Dapat dilakukan dengan teknik free hand dimana tangan operator yang satu memegang tranduser dan tangan lainnya memegang jarum, atau dapat dipasang pengantar jarum pada tranduser. Cara ini mempunyai keuntungan karena dapat menghindari gerakan jarum ke arah lateral yang dapat meningkatkan ukuran tusukan jarum. Cairan amnion yang pertama diaspirasi dibuang sebanyak 1-2 ml untuk menghindari kontaminasi dengan sel-sel maternal. Dilakukan aspirasi cairan amnion sebanyak 15 ml ke dalam tabung untuk analisa sitogenetika.3, 5 Bila pada kesempatan pertama gagal untuk mengaspirasi cairan maka dapat dilakukan pada lokasi lain setelah terlbih dahulu menilai kembali keadaan janin dan letak plasenta. Tenting pada selaput ketuban atau kontraksi uterus sering menjadi penyebab kegagalan. Bila tindakan kedua gagal maka tunda

tindakan amniosintesis untuk beberapa hari kemudian, jangan melakukan dua kali tindakan pada satu kesempatan yang sama.3, 5 Walaupun dengan pengalaman selama kurang lebih tiga dekade dengan amniosintesis midtrimester namun masih sulit untuk menentukan risiko prosedur ini yang berhubungan dengan abortus. Pada penelitian prospektif, multisenter yang luas diperkirakan risiko abortus berkisar 0,5 1%. Selain abortus risiko lain pada janin dan ibu juga perlu untuk dipertimbangkan. Sudah ada laporan mengenai terjadinya scar pada tubuh janin akibat tusukan jarum namun jarang terjadi. Amniosintesis yang dilakukan dengan tuntunan USG dapat mengurangi risiko tersebut dan juga risiko perlukaan yang lain. Komplikasi lain dari amniosintesis midtrimester meliputi korioamnionitis, robekan selaput ketuban dan perdarahan pervaginam. Insidens korioamnionitis < 1 per 1000 prosedur, robekan selaput ketuban terjadi pada 1-2% penderita, namun biasanya sembuh sendiri dan terjadi reakumulasi cairan dan pada umumnya luaran kehamilan normal. Insiden perdarahan pervaginam juga sekitar 1% dan berhubungan dengan ukuran jarum yang dipakai. 2, 5 Sudah pernah dilaporkan kasus sensitasi pada wanita dengan rhesus negatif setelah amniosintesis, risikonya sekitar 1%. Risiko ini dapat dikurangi dengan menghindari pendekatan transplasenta, memakai jarum berukuran kecil dan pemberian anti-D immunoglobulin intramuskuler sesudah tindakan amniosintesis terhadap pasien Rh-negatif yang belum tersensitasi. 5 AMNIOSITESIS DINI Amniosintesis dini adalah amniosintesis yang dilakukan pada usia kehamilan sebelum 15 minggu (11-14 minggu). Kesulitan teknisnya lebih besar karena jumlah air ketuban belum banyak dan fusi antara amnion dan korion belum sempurna sehinngga sering menyebabkan tenting pada selaput ketuban. Selain itu targetnya lebih kecil, uterus belum berbatasan dengan dinding perut sehingga meningkatkan kemungkinan perlukaan pada usus atau masuknya kuman dari usus ke uterus.2, 3

Tindakan amniosintesis dini dilakukan dengan maksud untuk melakukan diagnosis prenatal yang lebih dini dan menjadi tindakan alternatif untuk pemeriksaan villi korialis yang tekniknya relatif lebih sulit dan mempunyai lebih banyak komplikasi. Dengan tuntunan USG dilakukan pengambilan cairan amnion sebanyak 10-12 ml. Walaupun jumlah sel yang terambil lebih sedikit namun persentasi sel yang viable lebih besar dibanding dengan pada usia kehamilan yang lebih lanjut. Keberhasilan kultur pada kehamilan 12-14 minggu lebih dari 95% dengan waktu panen rata-rata 12 hari (1-2 lebih lama ) daripada kehamilan 16 minggu. Dibanding dengan CVS, amniosintesis dini mempunyai frekuensi kontaminasi sel maternal dan mosaicsm yang lebih rendah. 5 Beberapa penelitian melaporkan peningkatan risiko abortus pada tindakan amniosintesis dini dibanding dengan amniosintesis midtrimester dan CVS, namun Johnson dkk tidak menemukan adanya perbedaan kejadian abortus antara kelompok amniosintesis dini dan midtrimester. Penelitian lain di Kanada menemukan perbedaan yang bermakna pada kejadian abortus (7,6% vs 5,9%), robekan selaput ketuban (3,5% vs 1,7%) dan deformitas tulang, khususnya talipes equinovarus (1,4% vs 0,4%) antara kelompok amniosintesis dini dan midtrimester, sehingga peneliti ini menganjurkan untuk tidak melakukan amniosisntesis dini kecuali tidak ada alternatif lain. 3, 5 PEMERIKSAAN VILLI KORIALIS Diagnosis prenatal yang dikerjakan pada trimester kedua mempunyai beberapa kekurangan antara lain, diagnosis baru dapat diketahui pada usia kehamilan yang lebih lanjut sehingga risiko untuk terminasi kehamilan lebih besar dan terminasi pada saat janin sudah mulai bergerak menimbulkan beban emosional yang berat bagi pasien, sehingga diusahakan untuk melakukan diagnosis prenatal pada trimester pertama. Teknik pemeriksaan villi korialis pertama kali diperkenalkan di Cina pada tahun 1975 yang bertujuan untuk menentukan jenins kelamin janin dengan cara memasukkan kateter halus ke dalam uterus dengan hanya dituntun perasaan

10

taktil. Bila terasa ada hambatan, kemudian pengisap dipasang dan dilakukan aspirasi potongan villi.3 Pemeriksaan villi korialis biasanya dilakukan pada usia kehamilan antara 10-12 minggu, untuk pemeriksaan sitogenetik, molekuler (analisis DNA) dan atau metode biokimia yang dapat diaplikasikan pada jaringan villii. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi anomali kromosom, defek gen spesifik dan aktivitas enzym yang abnormal dalam kehamilan terutama pada penyakit turunan. 2, 3 Jaringan transabdominal. villi dapat diambil tindakan, dengan dilakukan teknik transervikal maupun untuk Sebelum pemeriksaan USG

konfirmasi denyut jantung janin dan letak plasenta. Tentukan posisi uterus dan serviks, bila uterus anteversi maka tambahan pengisian kandung kemih dapat membantu untuk meluruskan posisi uterus, namun hindari pengisian kandung kemih yang berlebihan karena dapat mendorong uterus keluar dari rongga pelvis sehingga memperpanjang jarak untuk mencapai tempat pengambilan sampel yang dapat mengurangi kelenturan yang diperlukan untuk manipulasi kateter. 3, 6 Pasien dibaringkan dalam posisis litotomi, antisepsis vulva dan vagina kemudian masukkan spekulum dan lakukan hal yang sama pada serviks. Ujung distal kateter (3-5 cm) sedikit ditekuk untuk membentuk lengkungan dan kateter dimasukkan kedalam uterus dengan tuntunan USG sampai terasa menvisualisasi ujung tahanan menghilang pada endoserviks. Operator menunggu sampai sonographer kateter, kemudian kateter dimasukkan sejajar dengan selaput korion ke tepi distal plasenta. Keluarkan stylet dan pasang tabung pengisap 20 ml yang mengandung medium nutrien. Jaringan villi yang terisap ke dalam tabung dapat dilihat dengan mata telanjang sebagai struktur putih yang terapung dalam media. Kadang kala diperlukan pemeriksaan mikroskop untuk mengkonfirmasi jaringan villi. Sering jaringan desidua ibu ikut terambil namun mudah dikenali sebagai stuktur yang amorf (tak berbentuk). Bila tidak berhasil mendapat jaringan villi yang cukup maka dapat dilakukan insersi kedua. 3, 6 Teknik transabdominal pertama kali diperkenalkan oleh Smid Jensen dan Hahnemann dari Denmark. Dengan tuntunan USG masukkan jarum spinal ukuran 19 atau 20 ke dalam sumbu panjang plasenta. Setelah stylet dikeluarkan,

11

aspirasi villi ke dalam tabung

20 ml

yang berisi media kultur jaringan.

Berhubung karena jarum yang dipakai lebih kecil dari kateter servikal maka perlu dilakukan tiga sampai empat kali gerakan maju mundur pada ujung jarum terhadap jaringan plasenta agar jaringan villi dapat terambil. Berbeda dengan teknik transervikal yang dilakukan sebelum usia kehamilan 14 minggu, teknik ini dapat dilakukan sepanjang kehamilan sehingga dapat menjadi alternatif untuk amniosintesis dan pemeriksaan darah janin.3, 6 Komplikasi yang dapat terjadi pada pemeriksaan villi korialis adalah abortus dan yang ditakuti akhi-akhir ini adalah hubungan antara tindakan ini dengan kejadian reduksi anggota gerak. CVS yang dilakukan pada kehamilan < 9 minggu mempunyai risiko untuk reduksi anggota gerak 10-20 kali lebih besar dibandingkan dengan CVS yang dilakukan setelah usia > 11 minggu. 3 Kontaminasi jaringan desidua ibu pada sampel yang dikultur dapat memberikan hasil negatif palsu, dan hal ini sering terjadi bila hanya sedikit sampel yang terambil, namun di senter yang telah berpengalaman kejadian ini tidak ditemukan lagi.6 PEMERIKSAAN DARAH JANIN Pada tahun 1983, Daffos dkk memperkenalkan metode pengambilan darah janin dengan tuntunan USG menggunakan jarum spinal ukuran 20-22 melalui perut ibu ke dalam tali pusat. Teknik ini disebut juga kordosentesis, PUBS (percutaneous umbilical blood sampling ), fetal blood sampling atau furnipuncture. Kordosintesis adalah istilah yang sering digunakan. 7 Indikasi pemeriksaan ini dapat dibagi atas indikasi diagnostik dan terapeutik. Umumnya, pemeriksaan darah janin diindikasikan bila keuntungannya lebih banyak dari kerugiannya. Sebelumnya pemeriksaan darah janin dilakukan untuk karyotype cepat namun dengan teknik sitogenetik yang baru memakai metode FISH sampel dari villi korialis dan amniosit juga dapat diperiksa dengan cepat. Indikasi lain untuk pemeriksaan ini adalah bila ditemukan mosaik atau kegagalan kultur pada amniosintesis dan biopsi plasenta. Pemeriksaan darah janin juga dilakukan pada wanita yang datang terlambat (usia kehamilan lanjut)

12

pada kunjungan antenatal dan menginginkan pemeriksaan karyotype atau untuk diagnosis prenatal retardasi mental fragile-X. 3, 7 Indikasi diagnostik yang lain adalah pemeriksaan hemoglobinopathi, koagulaopathi, penyakit granulomatous kronik dan beberapa kelainan metabolisme serta penentuan anemia dan trombositopenia pada janin. Untuk indikasi terapeutik adalah : terapi anemia pada janin melalui transfusi darah dan pemberian obat antiaritmia pada janin dengan hidrops. 7 Dengan tuntunan USG tusukkan jarum melalui dinding perut ibu dan arahkan ke tempat insersi tali pusat di plasenta, tusukan pada bagian tali pusat yang melayang lebih sulit dilakukan. Bila menggunakan pengantar jarum pada tranduser USG maka ukuran jarumnya lebih kecil (22-26) sedang bila menggunakan teknik free hand jarum yang dipakai berukuran 20-22. Bila ujung jarum telah mencapai tali pusat, pasang tabung pengisap dan isap darah kurang lebih 5 ml. Penting untuk menentukan apakah sampel darah ini berasal dari janin atau terkontaminasi darah ibu, walaupun dengan teknik yang baik hal ini jarang terjadi namun lebih bijaksana bila dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya. Sel darah janin akan tampak lebih besar dengan MCV yang lebih besar. Pengambilan sampel darah janin juga dapat dilakukan pada vena intrahepatik maupun jantung janin3, 7 Komplikasi yang dapat terjadi pada janin pasca kordosintesis adalah : terjadinya hematoma atau perdarahan pada tempat tusukan jarum, bradikardi, infeksi. Kemungkinan untuk terjadinya kematian janin berkisar 1% untuk itu perlu dilakukan pemantauan denyut jantung janin dengan kardiotokografi selama paling sedikit 30 menit. Pada ibu komplikasi yang dapat terjadi adalah isoimunisasi rhesus, sehingga harus diberikan anti-D immunoglobulin pada ibu dengan rhesus negatif.7

13

BIOPSI JANIN Indikasi pemeriksaan jaringan janin sampai saat ini masih terus berkembang. Teknik yang invasif ini digunakan hanya untuk kelainan dengan morbiditas tinggi, dimana diagnosis dengan pemeriksaan amniosintesis, villi khorialis atau darah janin tidak memuaskan. Jaringan yang diambil dari janin untuk prenatal diagnosis antara lain : kulit, otot, liver, ginjal dan otak. 2, 3 Indikasi yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan jaringan janin adalah untuk diagnosis genodermatosis, yang merupakan penyakit berat turunan pada kulit dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi. Pada awalnya biopsi janin dilakukan dengan fetoskopi, tetapi saat ini telah diganti dengan memakai USG. Prosedur ini dilakukan pada kehamilan 17-20 minggu dengan memakai forsep biopsi yang dimasukkan melalui jarum angiocath no 14. Biopsi jaringan janin untuk diagnosis genodermatosis hanya dapat dilakukan dengan biopsi kulit, hasil biopsi ini dapat diperiksa dengan teknik morfologi, immunohistokimia, dan biokimia. 2, 3 Biopsi jaringan otot janin, jarang dilakukan tetapi pernah dilakukan untuk diagnosis prenatal mucular dystrophy yang disebabkan mutasi gen pada kromosom X, gen untuk distrofin. Sejak karakteristik gen distrofin diketahui diagnosis prenatal untuk janin yang berisiko dapat dilakukan dengan metode molekuler (polymerase chain reaction) yang diambil dari ekstrak DNA dari cairan ketuban atau vili korialis.2 Seperti halnya biopsi otot, maka biopsi hati juga hanya dilakukan pada penyakit yang diturunkan yang tidak dapat didiagnosis dengan pemeriksaan amniosit atau villi korialis. Sejumlah kecil penyakit gangguan metabolisme termasuk dalam kategori ini dan dapat didiagnosis dengan pemeriksaan enzym yang diproduksi di hati, seperti ornitrin transcarbamilase (OTC) deficiency, carbamoyl phospstase synthetase (CPS) deficiency, glucosa 6 phospatase deficiency (G6PD).2

14

DIAGNOSIS PRENATAL NONINVASIF DIAGNOSIS PRAIMPLANTASI Perkembangan polymerase chain reaction (PCR) telah membawa revolusi dalam molekuler genetik, teknik ini dapat menggandakan / mengkopi jutaan target segmen DNA. Dimasa mendatang teknik ini bila dikombinasi dengan teknik fertilisasi invitro akan membantu diagnosis prenatal terhadap pasangan dengan risiko penyakit keturunan, dimana dengan pemeriksaan amniosintesis atau villi korialis saja masih sulit untuk menetapkan keputusan diteruskan atau tidaknya suatu kehamilannya. Kebanyakan wanita hamil akan mengharapkan janinnya tumbuh lengkap dan tidak mempunyai karier, tetapi memerlukan beberapa embrio sebelum terjadinya implantasi.2 Teknologi untuk diagnosis genetik preimplantasi ini dimungkinkan karena adanya perkembangan didalam fertilisasi invitro, sebelum dilakukan transfer embryo kedalam kandungan sebagian sel zygot dibiopsi untuk analisa kromosom atau DNA. Sel-sel embrio ini dapat berasal dari polar body, blastomere atau trophectoderm, dengan demikian hanya embrio dengan material genetik yang diprediksi tidak terdapat kelainan akan dilakukan implantasi. 1, 2 Setiap metode ini mempunyei keuntungan dan kerugian tergantung derajat kesulitan dan kejadian kelainan tersebut dalam kehamilan. Kesalahan dalam diagnosis akan membahayakan terutama karena hanya satu sel yang dianalisa. Biopsi seperempat dari embrio pada hari ke 3 setelah fertilisasi (sekitar stadium 12 sel) merupakan teknik diagnosis praimplantasi yang paling memungkinkan untuk dilakukan.2 SEL JANIN DALAM SIRKULASI MATERNAL Sejak tahun 1950 berbagai jenis sel janin telah ditemukan dalam dalam sirkulasi maternal. Dengan teknologi PCR, sekarang telah diketahui bahwa hampir semua wanita mempunyai sedikit sel sel janin dalam aliran darahnya. Bila sel-sel janin ini dapat dianalisa untuk diagnosis prenatal maka prosedur yang invasif sudah tidak diperlukan lagi.
1

untuk itu

teknologi yang dapat melakukan skrining terhadap

15

Untuk mengidentifikasi sel-sel janin, telah dikembangkan antibodi monoclonal terhadap berbagai antigen sel janin meliputi antibodi terhadap trofoblas, antigen permukaan sel eritrosit janin dan antigen HLA paternal. 2 Teknik analisa genetik yang juga dipakai untuk isolasi sel janin dari maternal sirkulasi adalah PCR dan insitu hibridisasi. Terhadap sel-sel janin yang diisolasi telah dilakukan pemeriksaan untuk penyakit autosom resesif seperti thalasemia. Juga telah dilakukan karyotype sel janin dengan teknik FISH. Bianchii dkk (1997) melaporkan bahwa pada janin dengan aneuploidy ditemukan peningkatan jumlah sel-sel janin dalam sirkulasi maternal sebesar 6 kali. Penelitian multisenter yang disponsori oleh National Institutes of Health diharapkan dapat menyempurnakan teknik untuk aplikasi yang lebih luas. 1, 2 Ringkasan Telah dibicarakan secara singkat mengenai beberapa teknik pemeriksaan untuk diagnosis prenatal yang dapat dipakai untuk mendeteksi kelainan pada janin sejak dalam rahim bahkan pada masa sebelum implantasi.

16

DAFTAR PUSTAKA 1. Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea. Prenatal diagnosis and therapy. In: Williams Obstetrics. 21 st ed. New York: McGraw Hill; 2001. p. 973-1003. 2. Rossiter J, Blakemore K. Fetal genetic disorders. In: Winn H, Hobbins J, editors. Clinical maternal-fetal medicine. 1 st ed. New York: Parthenon Publishing Group; 2000. p. 783-98. 3. Jenkins T, Wapner R. Prenatal diagnosis of congenital disorders. In: Creasy R, Resnik R, Iams J, editors. Maternal fetal medicine. 5 th ed. Philadelphia: WB. Saunders; 2004. p. 235-73. 4. Rodeck C, Pandya P. Prenatal diagnosis of fetal abnormalities. In: Chamberlain G, Steer P, Breat G, Chang A, Johnson M, Neilson J, editors. Turnbull's obstetrics. 3 rd ed. London: Churchill Livingstone; 2001. p. 169 96. 5. Overton T, Fisk N. Amniocentesis. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; 2000. p. 215-23. 6. Holzgreve W, Miny P. Chorionic villus sampling and placental biopsy. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; 2000. p. 207-13. 7. Soothill P. Fetal blood sampling before labor. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; 2000. p. 225-33.

17

Anda mungkin juga menyukai