Anda di halaman 1dari 51

Merusak Pendidikan Agama Rabu, 09 Juli 2008

Penyesatan pemikiran juga digencarkan melalui buku-buku pendidikan agama di perguruan tinggi. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-239 Oleh: Adian Husaini Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Itulah judul sebuah buku yang ditulis seorang dosen di salah satu Perguruan Tinggi Islam di Jawa Tengah. Dalam kata pengantarnya untuk buku ini, Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, menyatakan, bahwa buku ini memiliki arti penting bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama. Azra mendefinisikan Pendidikan Multukultural sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Buku ini penting untuk kita cermati, karena menyuguhkan satu wacana tentang Pendidikan Agama di Indonesia. Ajaibnya, buku ini bukan memberikan suatu pemahaman tentang Pendidikan Agama yang benar, tetapi justru menyuguhkan suatu pemahaman yang merusak aqidah Islam itu sendiri. Maka, seharusnya, seorang profesor kenamaan tidak sampai terjebak untuk memuji-muji buku seperti ini. Apalagi, si profesor juga dikenal sebagai pimpinan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Mungkin Sang Profesor tidak membaca isinya dengan teliti, atau mungkin memang dia sendiri setuju dengan isi buku tersebut. Sebenarnya, istilah yang digunakan, yakni Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, itu sendiri sudah bermasalah. Istilah itu mengesankan, seolah-olah selama ini, umat Islam tidak mengembangkan pendidikan agama yang menghormati keragaman budaya masyarakat. Bahkan, seperti pernah kita bahas dalam sejumlah CAP, istilah dan makna multikulturalisme itu sendiri seperti dijelaskan oleh para pendukungnya -- sudah sangat bermasalah. Tetapi, kita sangat memahami, karena paham ini sedang menjadi proyek global yang tentu saja ada kucuran dana yang sangat besar maka wacana multikulturalisme terus dijejalkan kepada kaum Muslim Indonesia. Badan Litbang Departemen Agama telah meluncurkan program pembinaan dai-dai multikultural dan menyebarkan buku-buku tentang multikulturalisme. Para santri dan kyai di berbagai pesantren, khususnya di Jawa Barat, juga telah dijejali paham ini oleh agen liberal, seperti International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Berbagai seminar tentang multikulturalisme pun digelar, seolah-olah, inilah agenda penting yang harus ditelan umat Islam Indonesia saat ini. Seolah-olah, umat Islam selama ini tidak memahami keragaman budaya dan agama. Seolah-olah umat Islam selama ini tidak toleran dengan agama lain, dan sebagainya. Kita pernah membahas apa makna Multikulturalisme dalam pandangan Litbang Departemen Agama, yang merupakan hasil penelitian Litbang Depag tentang Pemahaman Nilai-nilai Multikultural Para Dai. Dijelaskan, bahwa selain dapat menjadi faktor integrasi, agama juga dapat menjadi faktor dis-integrasi. Konflik antar-

umat beragama dapat terjadi karena -- salah satunya -- disebabkan oleh adanya pemahaman keberagamaan masyarakat yang masih eksklusif. Pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang antipati terhadap pemeluk agama lain. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran lainnya adalah salah dan dianggap sesat. Jadi, dalam wacana multikulturalisme, klaim kebenaran (truth claim) terhadap agamanya sendiri dipandang sebagai sesuatu yang menjadi sebab terjadinya konflik antar-umat beragama. Logika selanjutnya adalah, agar umat beragama menghilangkan klaim kebenaran terhadap agamanya sendiri. Umat beragama diajak untuk mengakui kebenaran semua agama. Minimal, jangan menyalahkan agama dan kepercayaan di luar agamanya. Tentu saja kesimpulan semacam ini sangat keliru. Sebab, setiap orang yang beragama jika masih berpegang pada keyakinan agamanya pasti meyakini kebenaran agamanya sendiri. Jika dia meyakini kebenaran semua agama, maka dia sejatinya sudah tidak beragama. Kita ingat jargon populer kaum Pluralis Agama, yakni All paths lead to the same summit (semua jalan akan menuju puncak yang sama). Maksudnya, agama apa pun sebenarnya menuju pada Tuhan yang sama. Tokoh pluralis lain menggambarkan agama-agama laksana jari-jari sebuah roda yang semua menuju pada poros yang sama. Poros itulah, menurut dia, adalah Tuhan. Semangat humanisme sekular tanpa diskriminasi agama inilah yang juga ditekankan dalam buku Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Misinya adalah membangun persaudaraan universal tanpa membedakan lagi faktor agama, sebagaimana misi yang digelorakan oleh Free Masonry, Theosofie, dan sebagainya. Misalnya ditulis dalam buku ini: Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia, termasuk mereka para pengikut agama-agama, menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan, dan agama... Pesan kesatuan ini secara tegas disinyalir alQuran: Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun sawa) antara kami dan kami... Dengan demikian, kalimatun sawa bukan hanya mengakui pluralitas kehidupan. Ia adalah sebentuk manifesto dan gerakan yang mendorong kemajemukan (plurality) dan keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok multikultural diperlakukan setara (equality) dan sama martabatnya (dignity). (hal. 45-46). Bagi yang memahami tafsir Al-Quran, pemaknaan terhadap QS 3:64 tentang kalimatun sawa semacam itu tentulah dan ngawur. Sebab, ayat itu sendiri sangat jelas maknanya, yakni perintah kepada Nabi Muhammad saw agar mengajak kaum Ahlul Kitab untuk kembali kepada ajaran Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Disebutkan dalam ayat tersebut (yang artinya): Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuat upun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan

sebagian yang lain sebagai Tuhan selain daripada Allah. Jadi, QS 3:64 tersebut jelas-jelas seruan kepada tauhid, bukan kepada paham Multikulturalisme. Meskipun maknanya sudah begitu jelas, tapi para pendukung paham Multikulturalisme ini dengan sangat berani dan gegabah membuat makna sendiri. Karena menjadikan paham Multikulturalisme sebagai dasar keimanannya, maka Tauhid pun dimaknai secara keliru dan diselewengkan maknanya. Padahal, Tauhid jelas berlawanan dengan syirik. Musuh utama Tauhid adalah syirik. Karena itu, Allah sangat murka dengan tindakan syirik, dan disebut sebagai kezaliman yang besar (zhulmun azhimun). Karena itu, di dalam Al-Quran disebutkan, bahwa Allah SWT sangat murka, karena dituduh mempunyai anak (QS 19:88-91). Tetapi, dalam paham Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, justru keyakinan akan kebenaran agamanya sendiri dilarang: Klaim berlebihan tentang kebenaran absolut kelompok keagamaan sendiri, dan klaim kesesatan kelompok-kelompok agama lain, bisa membangkitkan sentimen permusuhan antarumat beragama dan antarkelompok. Penganjur-penganjur agama yang mempunyai corak pemahaman teologi dogmatis semacam itu dapat dengan mudah membawa dan memicu konflik dan kekerasan pada level pengikut. Dan anehnya semua mengatasnamakan Tuhan. (hal. 48) Tidak sulit untuk menyimpulkan, bahwa sadar atau tidak, misi buku Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural ini memang jelas-jelas merusak aqidah Islam. Agar memiliki daya rusak yang tinggi, maka digunakanlah salah satu aspek strategis, yakni Pendidikan Agama. Daya rusak itu tentu saja semakin tinggi dengan dukungan profesor kenamaan yang memiliki kekuasaan tinggi di Perguruan Tinggi dan organisasi cendekiawan Muslim. Buku Pendidikan Agama jenis ini memang jelas-jelas menyebarkan paham syirik Pluralisme Agama. Sebab, buku ini membenarkan semua paham syirik yang dengan tegas telah dikecam dalam Al-Quran. Ditulis, misalnya: Jadi, semua agama adalah sebuah totalitas sosio-kultural yang merupakan jalan-jalan yang berbeda dalam mengalami dan hidup dalam relasi dengan Yang Ilahi. Yang menyebabkan perbedaan itu adalah bukan sesuatu yang mutlak sifatnya, namun hanya faktor-faktor partikular yang berhubungan dengan sejarah dan kebudayaan. (hal. 50). Lebih jauh dijabarkan bahwa: Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural mengandaikan suatu pengajaran efektif (effective teaching) dan belajar aktif (active learning) dengan memperhatikan keragaman agama-agama siswa. Dalam hal ini, proses mengajar lebih menekankan pada bagaimana mengajarkan tentang agama (teaching about religion), bukan mengajarkan agama (teaching of religion), karena yang pertama melibatkan pendekatan kesejarahan (historical approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach), sedangkan yang kedua melibatkan indoktrinasi dogmatik pada siswa sehingga secara praktis ia tidak memberikan sarana yang memadai untuk menentukan palajaran/kuliah mana yang dapat diterima dan mana yang perlu ditolak. (hal. 102).

Untuk menjalankan misi Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural tersebut, maka juga diperlukan guru-guru yang memiliki pemahaman yang sama. Guru penganut suatu agama yang meyakini hanya ada satu kebenaran dan satu keselamatan, tertutup kemungkinan untuk menerima validitas kepercayaan-kepercayaan alternatif dan gagal mengajarkan toleransi dan saling menghargai antar sesama penganut agama. (hal. 103). Jadi, jelaslah, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural memang berusaha menggerus keyakinan ekslusif tiap agama, khususnya aqidah umat Islam. Untuk itu, penulis buku yang sudah sangat populer keliberalannya ini memang tidak takut-takut untuk merusak tafsir Al-Quran, sebagaimana contoh terdahulu. Sejumlah ayat Al-Quran lainnya juga dia tafsirkan dengan semena-mena. Misalnya, dengan seenak perutnya sendiri, ia mengubah makna taqwa dalam QS 49:13. Kaum Muslim memahami bahwa makna taqwa adalah taat kepada perintah Allah dan menjauhi larang-larangan-Nya. Tapi, oleh penganut paham multikulturalisme, istilah taqwa diartikan sebagai yang paling dapat memahami dan menghargai perbedaan pendapat. Buku Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural ini menerjemahkan ayat tersebut sebagai berikut: Hai manusia, sesungguhnya Kami jadikan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling memahami dan saling menghargai. Sesungguhnya orang yang paling bermartabat di sisi Allah adalah mereka yang paling dapat memahami dan menghargai perbedaan di antara kamu. (hal. 49). Sebagai kaum Muslim, kita diperintahkan untuk sangat berhati-hati dalam menafsirkan Al-Quran. Dalam acara Kolokium Nasional Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Malang, 11-13 Februari 2008, tokoh Muhammadiyah Ustad Muammal Hamidy mengingatkan, bahwa para sahabat Rasulullah saw dan para ulama ahli tafsir senantiasa sangat berhati-hati menafsirkan Al-Quran. Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dengan tawadhunya pernah menyatakan: Bumi manakah yang akan menyanggaku dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu yang tidak aku ketahui tentang Kitabullah? Ibn Katsir juga mengutip hadits Rasulullah saw: Barangsiapa yang mengucapkan (sesuatu) tentang AlQuran berdasarkan rayunya atau berdasarkan apa yang tidak dipahaminya, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. (HR Tirmidzi, Abu Daud, Nasai). Abu Ubaid pernah juga memperingatkan: Hati-hatilah dalam penafsiran, sebab ia merupakan pemaparan tentang Allah. Mencermati isi buku ini tidaklah sulit bagi kita untuk menilai, bahwa buku Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural ini memang merusak aqidah Islam dan Tafsir AlQuran. Namun, Professor sekaliber Azyumardi Azra justru memberikan pujiannya. Penulis buku ini, menurut sang Professor UIN Jakarta ini,telah membuka pintu masa depan kajian pendidikan agama bercorak multikulturalisme di Indonesia. Jadi, pintu untuk merusak Pendidikan Agama di Indonesia sudah resmi dibuka! Lalu, apa tindakan kita? [Depok, 7 Juli 2008/www.hidayatullah.com]

Demi Kebebasan, Membela Kebathilan! Minggu, 15 Juni 2008


Atas nama kebebasan, ajaran Islam boleh dipalsukan, Al-Quran boleh diacakacak. Dan untuk semua itu, umat Islam diminta toleran dan tidak emosi. Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-238 Oleh: Adian Husaini Masih ingat Lia Eden? Dia mendakwahkan dirinya sebagai Jibril Ruhul Kudus. Lia, yang mengaku mendapat wahyu dari Allah, pada 25 November 2007, berkirim surat kepada sejumlah pejabat negara. Kepada Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan, Lia berkirim surat yang bernada amarah. Akulah Malaikat Jibril sendiri yang akan mencabut nyawamu. Atas Penunjukan Tuhan, kekuatan Kerajaan Tuhan dan kewenangan Mahkamah Agung Tuhan berada di tanganku, tulis Lia dalam surat berkop Gods Kingdom: Tahta Suci Kerajaan Eden. Jadi, mungkin hanya ada di Indonesia, Malaikat Jibril berkirim surat lengkap dengan kop surat dan tanda tangannya, serta berganti tugas sebagai pencabut nyawa. Maka, saat ditanya tentang status aliran semacam ini, MUI dengan tegas menyatakan, Itu sesat. Mengaku dan menyebarkan ajaran yang menyatakan bahwa seseorang telah mendapat wahyu dari Malaikat Jibril, apalagi menjadi jelmaan Jibril adalah tindakan munkar yang wajib dicegah dan ditanggulangi. (Kata Nabi saw: Barangsiapa diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubah dengan lisan. Jika tidak mampu, dengan hati. Dan itulah selemah-lemah iman). Ada sejumlah fatwa yang telah dikeluarkan MUI tentang aliran sesat ini. Ahmadiyah dinyatakan sesat sejak tahun 1980. Pada tahun 2005, keluar juga fatwa MUI yang menyatakan bahwa paham Sekularisme, Pluralisme Agama dan Liberalisme, bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam memeluknya. Tugas ulama, sejak dulu, memang memberikan fatwa. Tugas ulama adalah menunjukkan mana yang sesat dan mana yang tidak; mana yang haq dan mana yang bathil. Tapi, gara-gara menjalankan tugas kenabian, mengelarkan fatwa sesat terhadap kelompok-kelompok seperti Lia Eden, Ahmadiyah, dan sejenisnya, MUI dihujani cacian. Ada yang bilang MUI tolol. Sebuah jurnal keagamaan yang terbit di IAIN Semarang menurunkan laporan utama: Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan. Ada praktisi hukum angkat bicara di sini, MUI bisa dijerat KUHP Provokator. Seorang staf dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), dalam wawancaranya dengan jurnal keagamaan ini menyatakan, bahwa: MUI kan hanya semacam menjual nama Tuhan saja. Dia seakan-akan mendapatkan legitimasi Tuhan untuk menyatakan sesuatu ini mudharat, sesuatu ini sesat. Padahal, dia sendiri tidak mempunyai kewenangan seperti itu. Kalau persoalan agama, biarkan Tuhan yang menentukan. Ketika ia ditanya, Menurut Anda, Sekarang MUI mau diapakan? dia jawab: Ya paling ideal dibubarkan. (Jurnal Justisia, edisi 28 Th.XIII,

2005) Majalah ADIL (edisi 29/II/24 Januari-20 Februari 2008 ), memuat wawancara dengan Abdurrahman Wahid (AW): Adil: Apa alasan Gus Dur menyatakan MUI harus dibubarkan? AW: Karena MUI itu melanggar UUD 1945. Padahal, di dalam UUD itu menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat dan kemerdekaan berbicara.. Adil: Mengapa MUI tidak melakukan peninjauan atas konstitusi yang isinya begitu gamblang itu? AW: Karena mereka itu goblok. Itu saja. Mestinya mereka mengerti. Mereka hanya melihat Islam itu sebatas institusi saja. Padahal Islam itu adalah ajaran. Adil: Apa seharusnya sikap MUI terhadap kelompok-kelompok Islam sempalan itu? AW: Dibiarkan saja. Karena itu sudah jaminan UUD. Harus ingat itu. Perlu dicatat, bahwa Ketua Umum MUI saat ini adalah K.H. Sahal Mahfudz yang juga Rais Am PBNU. Wakil Ketua Umumnya adalah Din Syamsuddin, yang juga ketua PP Muhammadiyah. Hingga kini, salah satu ketua MUI yang sangat vokal dalam menyuarakan kesesatan Ahmadiyah dan sebagainya adalah KH Maruf Amin yang juga salah satu ulama NU terkemuka. Sejak keluarnya fatwa MUI tentang Ahmadiyah dan paham Sepilis tahun 2005, berbagai kelompok juga telah datang ke Komnas HAM, menuntut pembubaran MUI. Salah satunya adalah Kontras, yang kini dikomandani oleh Asmara Nababan. Kelompokkelompok ini selalu mengusung paham kebebasan beragama. Puncak aksi mereka dalam aksi dukungan terhadap Ahmadiyah dilakukan pada 1 Juni 2008 di kawasan Monas Jakarta, yang kemudian berujung bentrokan dengan massa Islam yang berdemonstrasi di tempat yang sama. Dasar kaum pemuja kebebasan untuk menghujat MUI adalah HAM dan paham kebebasan. Bagi kaum liberal ini, pasal-pasal dalam HAM dipandang sebagai hal yang suci dan harus diimani dan diaplikasikan. Dalam soal kebebasan beragama, mereka biasanya mengacu pada pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang menyatakan: Setiap orang mempunyai hak kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama; hak ini termasuk kebebasan untuk mengubah agamanya atau keyakinan, dan kebebasan baik sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan yang lain dan dalam ruang publik atau privat untuk memanifestasikan agama dan keyakinannya dalam menghargai, memperingati, mempraktekkan dan mengajarkan. Deklarasi ini sudah ditetapkan sejak tahun 1948. Para pendiri negara Indonesia juga paham akan hal ini. Tetapi, sangatlah naif jika pasal itu kemudian dijadikan dasar pijakan untuk membebaskan seseorang/sekelompok orang membuat tafsir agama tertentu seenaknya sendiri. Khususnya Islam. Sebab, Islam adalah agama wahyu

(revealed religion) yang telah sempurna sejak awal (QS 5:3). Umat Islam bersepakat dalam banyak hal, termasuk dalam soal kenabian Muhammad saw sebagai nabi terakhir. Karena itu, sehebat apa pun seorang Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu anhum, mereka tidak terpikir sama sekali untuk mengaku menerima wahyu dari Allah. Bahkan, Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq telah bertindak tegas terhadap para nabi palsu dan para pengikutnya. Ada batas Masalah semacam ini sudah sangat jelas, sebagaimana jelasnya ketentuan Islam, bahwa shalat subuh adalah dua rakaat, zuhur empat rakaat, haji harus dilakukan di Tanah Suci, dan sebagainya. Karena itulah, dunia Islam tidak pernah berbeda dalam soal kenabian. Begitu juga umat Islam di Indonesia. Karena itulah, setiap penafsiran yang menyimpang dari ajaran pokok Islam, bisa dikatakan sebagai bentuk kesesatan. Meskipun bukan negara Islam, tetapi Indonesia adalah negara dengan mayoritas pemeluk Islam. Keberadaan dan kehormatan agama Islam dijamin oleh negara. Sejak lama pendiri negara ini paham akan hal ini. Bahkan, KUHP pun masih memuat pasal-pasal tentang penodaan agama. UU No 1/PNPS/1965 yang sebelumnya merupakan Penpres No 1/1965 juga ditetapkan untuk menjaga agama-agama yang diakui di Indonesia. Bangsa mana pun paham, bahwa kebebasan dalam hal apa pun tidak dapat diterapkan tanpa batas. Ada peraturan yang harus ditaati dalam menjalankan kebebasan. Seorang pengendara motor kaum liberal atau tidak -- tidak bisa berkata kepada polisi, Bapak melanggar HAM, karena memaksa saya mengenakan helm. Soal kepala saya mau pecah atau tidak, itu urusan saya. Yang penting saya tidak mengganggu orang lain. Namun, simaklah, betapa ributnya sebagian kalangan ketika Pemda Sumbar mewajibkan siswi-siswi muslimah mengenakan kerudung di sekolah. Kalangan non-Muslim juga ikut meributkan masalah ini. Ketika ada pemaksaan untuk mengenakan helm oleh polisi mereka tidak protes. Tapi, ketika ada pemaksaan oleh pemeritah untuk mengenakan pakaian yang baik, seperti mengenakan kerudung, maka mereka protes. Padahal, itu sama-sama menyangkut hak pribadinya. Dalam 1 Korintus 11:5-6 dikatakan: Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. Orang-orang Barat, meskipun beragama Kristen, tidak mau mewajibkan kerudung. Bahkan, karena pengaruh paham sekularisme, banyak sekolah di Barat termasuk di Turki yang melarang siswanya mengenakan kerudung. Untuk itulah mereka kemudian membuat berbagai penafsiran yang ujung-ujungnya menghilangkan kewajiban megenakan kerudung bagi wanita. Jadi, karena ingin menerapkan paham kebebasan, maka mereka menolak aturan-aturan agama. Konsep kebebasan antara Barat dan Islam sangatlah berbeda. Islam memiliki konsep ikhtiyar yakni, memilih diantara yang baik. Umat Islam tidak bebas memilih

yang jahat. Sedangkan Barat tidak punya batasan yang pasti untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Semua diserahkan kepada dinamika sosial. Perbedaan yang mendasar ini akan terus menyebabkan terjadinya clash of worldview dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dua konsep yang kontradiktif ini tidak bisa dipertemukan. Maka seorang harus menentukan, ia memilih konsep yang mana. Kaum Muslim yang masih memegang teguh aqidahnya, pasti akan marah membaca novel The Satanic Verses-nya Salman Rushdie. Novel ini sangat biadab; misalnya menggambarkan sebuah komplek pelacuran di zaman jahiliyah yang dihuni para pelacur yang diberi nama istri-istri Nabi Muhammad saw. Bagi Islam, ini penghinaan. Bagi kaum liberal, itu kebebasan berekspresi. Bagi Islam, pemretelan ayat-ayat al-Quran dalam Tadzkirah-nya kaum Ahmadiyah, adalah penghinaan, tapi bagi kaum liberal, itu kebebasan beragama. Berbagai ucapan Mirza Ghulam Ahmad juga bisa dikategorikan sebagai penghinaan dan penodaan terhadap Islam. Sebaliknya, bagi kaum liberal, Ahmadiyah adalah bagian dari kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bagi Islam, beraksi porno dalam dunia seni adalah tercela dan dosa. Bagi kaum liberal, itu bagian dari seni dan kebebasan berekspresi, yang harus bebas dari campur tangan agama. Kaum liberal, sebagaimana orang Barat pada umumnya, menjadikan faktor mengganggu orang lain sebagai batas kebebasan. Seseorang beragama apa pun, berkeyakinan apa pun, berperilaku dan berorientasi seksual apa pun, selama tidak mengganggu orang lain, maka perilaku itu harus dibiarkan, dan negara tidak boleh campur tangan. Bagi kaum liberal, tidak ada bedanya seorang menjadi ateis atau beriman, orang boleh menjadi pelacur, pemabok, menikahi kaum sejenis (homo/lesbi), kawin dengan binatang, dan sebagainya. Yang penting tidak mengganggu orang lain. Maka, dalam sistem politik mereka, suara ulama dengan penjahat sama nilainya. Bagi kaum pemuja paham kebebasan, pelacur yang taat hukum (tidak berkeliaran di jalan dan ada ijin praktik) bisa dikatakan berjasa bagi kemanusiaan, karena tidak mengganggu orang lain. Bahkan ada yang menganggap berjasa karena menyenangkan orang lain. Tidak heran, jika sejumlah aktivis AKKBB, kini sibuk berkampanye perlunya perkawinan sesama jenis dilegalkan di Indonesia. Dalihnya, juga kebebasan melaksanakan perkawinan tanpa memandang orientasi seksual. Mereka sering merujuk pada Resolusi Majelis Umum 2200A (XXI) tentang Kovenan Internasional tentang Hakhak Sipil dan Politik. Maka, tidak heran, jika seorang aktivis liberal seperti Musdah Mulia membuat pernyataan: Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini. Juga, ia katakan, bahwa Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya. (Jurnal Perempuan, Maret 2008). Apakah kaum liberal juga memberi kebebasan kepada orang lain? Tentu tidak! Mereka juga memaksa orang lain untuk menjadi liberal, sekular. Mereka marah ketika ada daerah yang menerapkan syariah. Mungkin, mereka akan sangat tersinggung jika lagu Indonesia Raya dicampur aduk dengan lagu Gundhul-gundhul Pacul. Mereka juga akan marah jika lambang negara RI burung garuda diganti dengan burung emprit. Tapi, anehnya, mereka tidak mau terima jika umat Islam tersinggung karena Nabinya diperhinakan, Al-Quran diacak-acak, dan ajaran Islam dipalsukan. Untuk semua itu, mereka menuntut umat Islam agar toleran,dewasa, dan tidak emosi. Demi

kebebasan!, kata mereka. Logika kelompok liberal seperti Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dalam membela habis-habisan kelompok Ahmadiyah dengan alasan kebebasan beragama dan berkeyakinan sangatlah absurd dan naif. Mereka tidak mau memahami, bahwa soal Ahmadiyah adalah persoalan aqidah. Sebab, Ahmadiyah sendiri juga berdiri atas dasar aqidah Ahmadiyah yang bertumpu pada soal klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Karena memandang semua agama sama posisinya, maka mereka tidak bisa atau tidak mau membedakan mana yang sesat dan mana yang benar. Semuanya, menurut mereka, harus diperlakukan sama. Cara pandang kaum pemuja kebebasan semacam itulah yang secara diametral bertentangan dengan cara pandang Islam. Islam jelas membedakan antara Mumin dan kafir, antara yang adil dan fasiq. Masing-masing ada tempatnya sendiri-sendiri. Orang kafir kuburannya dibedakan dari orang Islam. Kaum Muslim diperintahkan, jangan mudah percaya pada berita yang dibawa orang fasiq, seperti orang yang kacau shalat lima waktunya, para pemabok, pezina, pendusta, dan sebagainya. Jadi, dalam pandangan Islam, manusia memang dibedakan berdasarkan takwa nya. Jadi, itulah cara pandang para pemuja kebebasan. Jika ditelaah, misi mereka sebenarnya adalah ingin mengecilkan arti agama dan menghapus agama dari kehidupan manusia. Mereka maunya manusia bebas dari agama dalam kehidupan. Untuk memahami misi kelompok semacam AKKBB ini, cobalah simak misi dan tujuan kelompok-kelompok persaudaraan lintas-agama seperti Free Mason yang berslogan liberty, fraternity, dan egality, atau kaum Theosofie yang bersemboyan: There is no religion higher than Truth. Jadi, kaum seperti ini punya sandar kebenaran sendiri yang mereka klaim berada di atas agama-agama yang ada. [Depok, 13 Juni 2008/www.hidayatullah.com]

Kampanye Lesbi Profesor AKKBB Minggu, 08 Juni 2008


Profesor tidak jaminan pasti bener (benar, red). Banyak banyak pula profesor yang keblinger. Contohnya profesor dari kelompok AKKBB ini. Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-237 Oleh: Adian Husaini

Namanya sudah sangat masyhur. Media massa juga rajin menyiarkan pendapat-pendapatnya. Wajahnya sering muncul di layar kaca. Biasanya menyuarakan aspirasi tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dia memang salah satu aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Beberapa buku sudah ditulisnya. Gelar doktor diraihnya dari UIN (dulu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Gelar Profesor pun diraihnya. Biasanya, dia dikenal sebagai feminis pejuang paham kesetaraan gender. Umat Islam sempat dihebohkan ketika Prof. Musdah dan tim-nya meluncurkan Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam. Banyak ide-ide aneh yang tercantum dalam CLD-KHI tersebut. Misalnya, ide untuk mengharamkan poligami, memberi masa iddah bagi lakilaki; menghilangkan peran wali nikah bagi mempelai wanita, dan sebagainya. Sejumlah Profesor syariah di UIN Jakarta sudah menjawab secara tuntas gagasan Musdah dan kawan-kawan. Puluhan bahkan mungkin ratusan -- diskusi, debat, seminar, dan sebagainya sudah digelar di berbagai tempat. Toh, semua itu dianggap bagai angin lalu. Prof. Musdah tetap bertahan dengan pendapatnya. Biar orang ngomong apa saja, tak perlu dipedulikan. Jalan terus! Bahkan, makin banyak ide-ide barunya yang membuat orang terbengong-bengong. Pendapatnya terakhir yang menyengat telinga banyak orang adalah dukungannya secara terbuka terhadap perkawinan sesama jenis (homoseksual dan lesbian). Pada CAP-230 lalu, kita sudah membahas masalah ini. Ketika itu, banyak yang bereaksi negatif, seolah-olah kita membuat fitnah terhadap Prof. Musdah. Ada yang menuduh saya salah paham terhadap pemikiran Musdah. Untuk memperjelas pandangan Musdah Mulia tentang hubungan/perkawinan sejenis (homoseksual dan lesbian), ada baiknya kita simak beb erapa tulisan dan wawancaranya di sejumlah media massa. Dalam sebuah makalah ringkasnya yang berjudul Islam Agama Rahmat bagi Alam Semesta, dosen pasca sarjana UIN Jakarta ini menulis: Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang given atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara perilaku seksual bersifat konstruksi manusia Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima. (Uraian lebih jauh, lihat, Majalah Tabligh MTDK PP Muhammadiyah, Mei 2008)

Musdah memang sangat berani dalam menyuarakan pendapatnya, meskipun sangat kontroversial dan mengejutkan banyak orang. Dia tentu paham bahwa isu homoseksual dan lesbian adalah hal yang sangat kontroversial, bahkan di lingkungan aktivis lieral sendiri. Banyak yang berpendapat agenda pengesahan perkawinan sejenis ini ditunda dulu, karena waktunya masih belum tepat. Tapi, Musdah tampaknya berpendapat lain. Dia maju tak gentar, bersuara tentang kehalalan dan keabsahan perkawinan sesama jenis. Tidak heran jika pada 7 Maret 2007 pemerintah Amerika Serikat menganugerahinya sebuah penghargaan International Women of Courage Award. Sebenarnya, sudah sejak cukup lama Musdah memiliki pandangan tersendiri tentang homoseks dan lesbi. Pandangannya bisa disimak di Jurnal Perempuan edisi Maret 2008 yang menurunkan edisi khusus tentang seksualitas lesbian. Di sini, Prof. Musdah mendapat julukan sebagai tokoh feminis muslimah yang progresif. Dalam wawancaranya, ia secara jelas dan gamblang menyetujui perkawinan sesama jenis. Judul wawancaranya pun sangat provokatif: Allah hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia. Menurut Profesor Musdah, definisi perkawinan adalah: Akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh dua orang untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak. Definisi semacam ini biasa kita dengar. Tetapi, bedanya, menurut Musdah Mulia, pasangan dalam perkawinan tidak harus berlainan jenis kelaminnya. Boleh saja sesama jenis. Simaklah kata-kata dia berikutnya, setelah mendefinisikan makna perkawinan menurut Aal-Quran: Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat Al-Quran soal hidup berpasangan (ArRum, 21; Az-Zariyat 49 dan Yasin 36) di sana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan orientasi seksual yang beragam. Selanjutnya, dia katakan: Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya. Prof. Dr. Siti Musdah Mulia pun merasa geram dengan masyarakat yang hanya mengakui perkawinan berlainan jenis kelamin (heteroseksual). Menurutnya, agama yang hidup di masyarakat sama sekali tidak memberikan pilihan kepada manusia. Dalam hal orientasi seksual misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual. Homoseksual, lesbian, biseksual dan orientasi seksual lainnya dinilai menyimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sejenis. Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, eksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang dan kebahagiaan,

gerutu sang Profesor yang (menurut Jurnal Perempuan) pernah dinobatkan oleh UIN Jakarta sebagai Doktor Terbaik IAIN Syarif Hidayatullah 1996/1997. Kita tidak tahu, apakah yang dimaksud dengan orientasi seksual lainnya termasuk juga orientasi seksual dengan binatang. Yang jelas, bagi kaum lesbian, dukungan dan legalisasi perkawinan sesama jenis dari seorang Profesor dan dosen di sebuah perguruan Tinggi Islam tekenal ini tentu merupakan sebuah dukungan yang sangat berarti. Karena itulah, Jurnal Perempuan secara khusus memampang biodata Prof. Musdah. Wanita kelahiran 3 Maret 1958 ini lulus pendidikan S-1 dari IAIN Alaudin Makasar. S-2 ditempuhnya di bidang Sejarah Pemikiran Islam di IAIN Jakarta. Begitu juga dengan jenjang S-3 diselesaikan di IAIN Jakarta dalam bidang pemikiran politik Islam. Aktivitasnya sangat banyak. Sejak tahun 1997-sekarang masih menjadi dosen Pasca Sarjana UIN Jakarta. Tahun 1999-2000 menjabat sebagai Kepala Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Depag RI. Masih menurut birodata di Jurnal Perempuan, sejak tahun 2001-sekarang, Musdah Mulia juga menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Agama bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional. Tapi, data ini ternyata tidak benar. Saya sempat mengkonirmasi ke seorang pejabat di Departemen Agama tentang posisi Musdah Mulia ini, dijawab, bahwa dia sudah dikembalikan posisinya sebagai peneliti di Litbang Depag. Banyak yang bertanya, apa yang salah dengan pendidikan Prof. Musdah? Mengapa dia menjadi pendukung lesbian? Jawabnya: Wallahu Alam. Yang jelas, Musdah Mulia memang seorang pemberani. Amerika tidak keliru memberi gelar itu. Dia berani mengubah-ubah hukum Islam dengan semena-mena. Dia memposisikan dirinya sebagai mujtahid. Dia berani menyatakan dalam wawancaranya bahwa: Sepanjang bacaan saya terhadap kisah Nabi Luth yang dikisahkan dalam Al-Quran ( alAraf 80-84 dan Hud 77-82) ini, tidak ada larangan secara eksplisit baik untuk homo maupun lesbian. Yang dilarang adalah perilaku seksual dalam bentuk sodomi atau liwath. Para pakar syariah tentu akan geli membaca hasil ijtihad Musdah ini. Seorang Profesor yang juga dosen UIN Jakarta pernah berargumen, di dalam Al-Quran tidak ada larangan secara eksplisit bahwa Muslimah haram menikah dengan laki-laki non-Muslim. Ketika itu, saya jawab, bahwa di dalam Al-Quran juga tidak ada larangan secara eksplisit manusia kawin dengan anjing. Tidak ada larangan kencing di masjid, dan sebagainya. Apakah seperti ini cara menetapkan hukum di dalam Islam? Tentu saja tidak. Melihat logika-logika seperti itu, memang tidak mudah untuk mengajak dialog, karena dialog dan debat akan ada gunanya, jika ada metodologi yang jelas. Sementara metode yang dipakai kaum liberal dalam pengambilan hukum memang sangat sesuka hatinya, alias amburadul. Yang jelas, selama 1400 tahun, tidak ada ulama yang berpikir seperti Musdah Mulia, padahal selama itu pula kaum homo dan lesbi selalu ada. Karena itu, kita bisa memahami, betapa hebatnya Musdah Mulia ini, sehingga bisa menyalahkan ijtihad ribuan ulama dari seluruh dunia Islam. Jika pemahaman Musdah ini benar, berarti selama ini ulama-ulama Islam tolol semua, tidak paham makna Al-Quran tentang kisah

kaum Luth. Padahal, dalam Al-Quran dan hadits begitu jelas gambaran tentang kisah Luth. Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpurapura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu. (QS Al-Araf:80-84). Di dalam surat Hud ayat 82 dikisahkan (artinya): Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah-tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi. Kebejatan perilaku seksual kaum Luth ini juga ditegaskan oleh Rasulullah saw: Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth. (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah). Dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka menjelaskan, bagaimana sangat merusaknya penyakit kaum Luth, sehingga mereka diazab dengan sangat keras oleh Allah SWT. Hamka sampai menyebut bahwa perilaku seksual antar sesama jenis ini lebih rendah martabatnya dibandingkan binatang. Binatang saja, kata Hamka, masih tahu mana lawan jenisnya. Hamka mengutip sebuah hadits Rasulullah saw: dan apabila telah banyak kejadian laki-laki mendatangi laki-laki, maka Allah akan mencabut tangan-Nya dari makhluk, sehingga Allah tidak mempedulikan di lembah mana mereka akan binasa. (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, dan at-Tabhrani). Hamka menulis dalam Tafsirnya tentang pasangan homoseksual yang tertangkap tangan: Sahabat-sahabat Rasulullah saw yang diminta pertimbangannya oleh Sayyidina Abu Bakar seketika beliau jadi Khalifah, apa hukuman bagi kedua orang yang mendatangi dan didatangi itu, karena pernah ada yang tertangkap basah, semuanya memutuskan wajib kedua orang itu dibunuh. (Lihat, Tafsir al-Azhar, Juzu 8). Tapi, berbeda dengan pemahaman umat Islam yang normal, justru di akhir wawancaranya, Prof. Musdah pun menegaskan: Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang salah atau taqwa selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik), meyakini kerasulan Muhammad Saw serta menjalankan ibadah yang diperintahkan. Dia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk dan peduli pada

lingkungannya. Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini. Camkanlah pendirian Ibu Professor AKKBB ini. Saya yakin ini! katanya. Itulah pendiriannya. Demi kebebasan, orang bisa berbuat apa saja, dan berpendapat apa saja. Ketika seorang sudah merasa pintar dan berhak mengatur dirinya sendiri, akhirnya dia bisa juga berpikir: Tuhan pun bisa diatur. Kita pun tidak perlu merasa aneh dengan pendirian dan sikap aktivis AKKBB seperti Mudah Mulia. Jika yang bathil dalam soal aqidah seperti kelompok Ahmadiyah saja didukung, apalagi soal lesbian. Meskipun sering mengecam pihak lain yang memutlakkan pendapatnya, Ibu Profesor yang satu ini mengaku yakin dengan pendapatnya, bahwa praktik perkawinan homo dan lesbi adalah halalan thayyiban. Jika sudah begitu, apa yang bisa kita perbuat? Kita hanya bisa mengelus dada, sembari mengingatkan, agar Ibu Profesor memperbaiki berpikirnya. Profesor tidak jaminan benar. Banyak profesor yang keblinger. Jika tidak paham syariat, baiknya mengakui kadar keilmuannya, dan tidak perlu memposisikan dirinya sebagai mujtahid agung. Pujian dan penghargaan dari Amerika tidak akan berarti sama sekali di hadapan Allah SWT. Kasihan dirinya, kasihan suaminya, kasihan mahasiswa yang diajarnya, dan kasihan juga institusi yang menaunginya. Tapi, terutama kasihan guru-guru yang mendidiknya sejak kecil, yang berharap akan mewariskan ilmu yang bermanfaat, ilmu jariyah. Mudah-mudahan, Ibu Profesor aktivis AKKBB ini tidak ketularan watak kaum Luth, yang ketika diingatkan, justru membangkang, dan malah balik mengancam. Mengapa kalian mendatangi kaum laki-laki di antara manusia, dan kalian tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu; bahkan kalian adalah orang-orang yang melampaui batas. Mereka menjawab: Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, maka pasti kamu akan termasuk orang-orang yang diusir. (QS asy-Syuara: 165-167). [Depok, 6 Juni 2008/www.hidayatullah.com]

Islam Menjawab Ahmadiyah Senin, 02 Juni 2008


Di zaman yang penuh dengan fitnah saat ini, permainan media sangat canggih bisa menjadi fitnah bagi umat Islam. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-236 Oleh: Adian Husaini Harian Republika (23 Mei 2008) menurunkan artikel berjudul Ahmadiyah Menjawab, karya MB Shamsir Ali SH SHD, Plt. Sekretaris Media dan Informasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Isinya berupa penegasan bahwa Ahmadiyah adalah satu Jamaah Islam. Sejak keluarnya artikel tersebut, saya menerima sejumlah SMS yang meminta agar artikel tersebut dijawab. Syukurlah, pada 26 Mei 2008, Republika menurunkan artikel Dr. Syamsuddin Arif yang

berjudul Solusi Masalah Ahmadiyah. Artikel ini dengan sangat gamblang menjelaskan apa dan bagaimana Ahmadiyah dan mengapa para cendekiawan dan ulama besar di dunia Islam sudah menegaskan bahwa Ahmadiyah adalah aliran di luar Islam. Catatan berikut ini akan lebih memperjelas bagaimana sebenarnya posisi Ahmadiyah dan Islam, khsusunya dari sisi pandang Ahmadiyah sendiri. Dalam berbagai artikel dan dialog di media massa Indonesia, para tokoh Ahmadiyah dan pendukungnya yang biasanya mengaku bukan pengikut Ahmadiyah sering mengangkat logika persamaan. Bahwa, Ahmadiyah adalah bagian dari Islam, karena banyak persamaannya. Al-Quran-nya sama, syahadatnya sama, shalatnya sama, dan halhal yang sama lainnya. Maka, kata mereka, demi keharmonisan hidup dan kerukunan masyarakat, mengapa Ahmadiyah tidak diakui saja sebagai bagian dari Islam. Benarkah logika semacam ini? Penyair dan cendekiawan Muslim terkenal asal Pakistan, Dr. Muhammad Iqbal (18731938), pernah menulis sebuah buku berjudul Islam and Ahmadism (Tahun 1991 diIndonesiakan oleh Makhnun Husein dengan judul Islam dan Ahmadiyah. Terhadap klaim Mirza Ghulam Ahmad bahwa dia adalah nabi dan penerima wahyu, Iqbal mencatat: Orang yang mengakui mendapatkan wahyu seperti itu adalah orang yang tidak patuh kepada Islam. Karena kelompok Qadiani mempercayai pendiri gerakan Ahmadiyah sebagai penerima wahyu semacam itu, berarti mereka menyatakan bahwa seluruh dunia Islam adalah kafir. Lebih jauh Iqbal menyatakan: Setiap kelompok masyarakat keagamaan yang secara historik timbul dari Islam, yang mengakui kenabian baru sebagai landasannya dan menyatakan semua ummat Muslim yang tidak mengakui kebenaran wahyunya itu sebagai orang-orang kafir, sudah semestinya dianggap oleh setiap Muslim sebagai bahaya besar terhadap solidaritas Islam. Hal itu memang sudah semestinya, karena integritas ummat Islam dijamin oleh Gagasan Kenabian Terakhir (Khatamun Nabiyyin) itu sendiri. Dalam menilai Ahmadiyah, Iqbal tidak terjebak kepada retorika logika persamaan. Iqbal mengacu pada inti persoalan, bahwa Ahmadiyah berbeda dengan Islam, sehingga dengan tegas ia menulis judul bukunya, Islam and Ahmadism. Titik pokok perbedaan utama antara Islam dan Ahmadiyah adalah pada status kenabian Mirza Ghulam Ahmad; apakah dia nabi atau bukan? Itulah pokok persoalannya. Umat Islam yakin, setelah nabi Muhammad saw, tidak ada lagi manusia yang diangkat oleh Allah sebagai nabi dan mendapatkan wahyu. Tidak ada! Secara tegas, utusan Allah itu sendiri (Muhamamd saw) yang menegaskan: Sesungguhnya akan ada pada umatku tiga puluh orang pendusta. Masing-masing mengaku sebagai nabi. Padahal, akulah penutup para nabi, tidak ada lagi nabi sesudahku. (HR Abu Dawud). Jadi, umat Islam yakin, siapa pun yang mengaku sebagai nabi dan mendapat wahyu setelah nabi Muhammad saw apakah Musailamah al-Kazzab, Lia Eden, atau Mirza Ghulam Ahmad pasti bohong. Itu pasti! Inilah keyakinan Islam. Karena itu, pada 7 September 1974, Majelis Nasional Pakistan menetapkan dalam Konstitusi Pakistan, bahwa semua orang yang tidak percaya kepada Nabi Terakhir Muhammad secara mutlak

dan tanpa syarat telah keluar dari kelompok umat Islam. Sikap umat Islam terhadap Ahmadiyah sebenarnya juga dilakukan berbagai agama lain. Protestan harus menjadi agama baru karena menolak otoritas Gereja Katolik dalam penafsiran Bibel, meskipun antara kedua agama ini banyak sekali persamaannya. Tahun 2007, sebagian umat Hindu di Bali membentuk agama baru bernama agama Hindu Bali, yang berbeda dengan Hindu lainnya. Agama Kristen dan Yahudi mempunyai banyak persamaan. Bibel Yahudi juga dipakai oleh kaum Kristen sebagai kitab suci mereka (Perjanjian Lama). Tapi, karena Yahudi menolak posisi Yesus sebagai juru selamat, maka keduanya menjadi agama yang berbeda. Logika persamaan harus diikuti dengan logika perbedaan, sebab sesuatu menjadi dirinya justru karena adanya perbedaan dengan yang lain. Meskipun banyak persamaannya, manusia dan monyet tetap dua spesies yang berbeda. Akal-lah yang menjadi pembeda utama antara manusia dengan monyet. Setampan apa pun seekor monyet, dia tidak akan pernah bisa menjadi seorang manusia. Jika umat Islam bersikap tegas dalam soal kenabian Mirza Ghulam Ahmad, pihak Ahmadiyah juga bersikap senada. Siapa pun yang tidak beriman kepada kenabian Ghulam Ahmad, dicap sebagai sesat, kafir, atau belum beriman. Itu bisa dilihat dalam berbagai literatur yang diterbitkan Ahmadiyah. Pada tahun 1989, Yayasan Wisma Damai sebuah penerbit buku Ahmadiyah menerjemahkan buku berjudul Dawatul Amir: Surat Kepada Kebenaran, karya Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. Oleh pengikut Ahmadiyah, penulis buku ini diimani sebagai Khalifah Masih II/Imam Jemaat Ahmadiyah (1914-1965). Buku ini aslinya ditulis dalam bahasa Urdu, dan pada tahun 1961, terbit edisi Inggrisnya dengan judul Invitation to Ahmadiyyat. Para pendukung Ahmadiyah dari kalangan non-Ahmadiyah baiknya membaca buku ini, sebelum bicara kepada masyarakat tentang Ahmadiyah. Ditegaskan di sini: Kami dengan bersungguh-sungguh mengatakan bahwa orang tidak dapat menjumpai Allah Taala di luar Ahmadiyah. (hal. 377). Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai Masih al-Mauud mewajibkan umat Islam untuk mengimaninya. Kata Bashiruddin Mahmud Ahmad: Kami sungguh mengharapkan kepada Anda agar tidak menangguh-nangguh waktu lagi untuk menyongsong dengan baik utusan Allah Taala yang datang guna menzahirkan kebenaran Rasulullah saw. Sebab, menyambut baik kehendak Allah Taala dan beramal sesuai dengan rencana-Nya merupakan wahana untuk memperoleh banyak keberkatan. Kebalikannya, menentang kehendak-Nya sekali-kali tidak akan mendatangkan keberkatan. (hal. 372). Menurut Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad yang oleh kaum Ahmadiyah juga diberi gelar r.a. (radhiyallahu anhu), setingkat para nabi -- bukti-bukti kenabian Mirza Ghulam Ahmad lebih kuat daripada dalil-dalil kenabian semua nabi selain Nabi Muhammad saw. Sehingga, kata dia: Apabila iman bukan semata-mata karena mengikuti dengaran dari tuturan ibu-bapak, melainkan hasil penyelidikan dan pengamatan, niscaya kita mengambil salah satu dari kedua hal yaitu mengingkari semua nabi atau menerima

pengakuan Hadhrat Masih Mauud a.s. (hal. 372). Jadi, oleh kaum Ahmadiyah, umat Islam diultimatum: iman kepada Ghulam Ahmad atau ingkar kepada semua nabi? Bandingkan logika kaum Ahmadiyah ini dengan ultimatum Presiden George W. Bush: You are with us or with the terrorists. Oleh Ahmadiyah, umat Islam dipojokkan pada posisi yang tidak ada pilihan lain kecuali memilih beriman kepada para nabi dan menolak klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Masih belum puas! Umat Islam diultimatum lagi oleh pemimpin Ahmadiyah ini: Jadi, sesudah Masih Mauud turun, orang yang tidak beriman kepada beliau akan berada di luar pengayoman Allah Taala. Barangsiapa yang menjadi penghalang di jalan Masih Mauud a.s, ia sebenarnya musuh Islam dan ia tidak menginginkan adanya Islam. (hal. 374). Jadi, begitulah pandangan dan sikap resmi Ahmadiyah terhadap Islam dan umat Islam. Dan itu tidak aneh, sebab Mirza Ghulam Ahmad sendiri mengaku pernah mendapat wahyu seperti ini: Anta imaamun mubaarakun, lanatullahi alalladzii kafara (Kamu Mirza Ghulam Ahmad adalah imam yang diberkahi dan laknat Allah atas orang yang ingkar/Tadzkirah hal. 749). Ada lagi wahyu versi dia: Anta minniy bimanzilati waladiy, anta minniy bimanzilatin laa yalamuha al-khalqu. (Kamu bagiku berkedudukan seperti anak-Ku, dan kamu bagiku berada dalam kedudukan yang tidak diketahui semua makhluk/Tadzkirah, hal. 236). Itulah Ahmadiyah, yang katanya bersemboyan: Love for all. Hatred for None. Namanya juga slogan! Zionis Israel pun juga mengusung slogan menebar perdamaian, memerangi terorisme. Kaum Ahmadiyah pun terus-menerus menteror kaum Muslim dengan penyebaran pahamnya. Dalam Surat Edaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia tanggal 25 Ihsan 1362/25 Juni 1983 M, No. 583/DP83, perihal Petunjuk-petunjuk Huzur tentang Tabligh dan Tarbiyah Jamaah, dinyatakan: Harus dicari pendekatan langsung dalam pertablighan. Hendaknya diberitahukan dengan tegas dan jelas bahwa sekarang dunia tidak dapat selamat tanpa menerima Ahmadiyah. Dunia akan terpaksa menerima Pimpinan Ahmadiyah. Tanpa Ahmadiyah dunia akan dihimpit oleh musibah dan kesusahan dan jika tidak mau juga menerima Ahmadiyah, tentu akan mengalami kehancuran. Umat Islam sangat cinta damai. Tetapi, umat Islam tentunya lebih cinta kepada kebenaran. Demi cintanya kepada kebenaran dan juga pada ayahnya, maka Nabi Ibrahim a.s. berkata kepada ayahnya, Aku melihatmu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata! Nabi Ibrahim a.s. dan semua Nabi adalah para pecinta perdamaian. Rasulullah saw juga pecinta damai. Tetapi, dalam masalah aqidah, kebenaran lebih diutamakan. Nabi Ibrahim harus mengorbankan kehidupannya yang harmonis dengan keluarga dan kaumnya, karena beliau menegakkan kalimah tauhid. Beliau menentang praktik penyembahan berhala oleh kaumnya, meskipun beliau harus dihukum dan diusir dari

negerinya. Dalam kasus Nabi palsu, misalnya, Nabi Muhammad saw dan juga sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq lebih memilih mengambil sikap yang tegas, sebab ini sudah menyangkut soal aqidah, soal keimanan. Jangankan dalam soal kenabian. Dalam masalah kenegaraan saja, orang yang membuat gerakan separatis atau merusak dasar negara juga dikenai tuntutan hukum. Kaum separatis, meskipun melakukan aksi damai, berkampanye secara damai untuk mendukung aksi separatisme, tetap tidak dapat dibenarkan. Jadi, kalau orang berkampanye merusak Islam, seperti yang dilakukan oleh Ahmadiyah dan para pendukungnya, tetap tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Islam. Masalah aqidah, masalah iman, inilah yang jarang dipahami, atau sengaja diketepikan dalam berbagai diskusi tentang Ahmadiyah. Padahal, Ahmadiyah eksis adalah karena iman. Berbagai kelompok yang mendukung Ahmadiyah di Indonesia sebenarnya sudah sangat keterlaluan, karena mencoba untuk menafikan masalah iman ini. Bahkan tindakan-tindakan mereka apalagi yang mengatasnamakan Islam dan menggunakan dalil-dalil Al-Quran -- lebih merusak Islam ketimbang Ahmadiyah itu sendiri. Umat Islam Indonesia memang sedang menghadapi ujian berat. Hal-hal yang jelas-jelas bathil malah dipromosikan. Lihatlah TV-TV kita saat ini, begitu gencarnya menyiarkan aksi-aksi kaum homo dan lesbi, seolah-olah mereka tidak takut pada azab Allah yang telah ditimpakan kepada kaum Luth. Bahkan, para aktivis Liberal seperti Guntur Romli, pada salah satu tulisannya di Jurnal Perempuan, dengan sangat beraninya memutarbalikkan penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga akhirnya menghalalkan perkawinan sesama jenis. Aktivis liberal yang satu ini juga sudah sangat keterlaluan dalam menghina Al-Quran. Dia menulis dalam salah satu artikelnya (Koran Tempo, 4 Mei 2007), yang berjudul Pewahyuan Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah bahwa: Al-Quran adalah suntingan dari kitab-kitab sebelumnya, yang disesuaikan dengan kepentingan penyuntingnya. Al-Quran tidak bisa melintasi konteks dan sejarah, karena ia adalah wahyu budaya dan sejarah. Kita juga tidak mudah memahami pemikiran dan kiprah tokoh liberal lain seperti Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, dosen UIN Jakarta, yang begitu beraninya membuat-buat hukum baru yang menghalalkan perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim dan perkawinan manusia sesama jenis. Meskipun sudah mendapat kritikan dari berbagai pihak, tetap saja dia tidak peduli. Bahkan, di Jurnal Perempuan edisi khusus tentang Seksualitas Lesbian, dia memberikan wawancara yang sangat panjang. Judul wawancara itu pun sangat provokatif: Allah Hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia. Di zaman yang penuh dengan fitnah saat ini, karena permainan media yang yang sangat canggih, berbagai fitnah dapat menimpa umat Islam. Orang-orang yang jelas-jelas merusak Islam ditampilkan sebagai pahlawan kemanusiaan. Sedangkan yang membela Islam tidak jarang justru dicitrakan sebagai penjahat kemanusiaan. Dalam situasi seperti ini, disamping terus-menerus berusaha menjelaskan, mana yang haq dan mana yang bathil, kita juga diwajibkan untuk berserah diri kepada Allah SWT. Kita yakin, dan

tidak pernah berputus asa, bahwa Allah adalah hakim Yang Maha Adil. [Depok, 25 Mei 2008/www.hidayatullah.com]

Sekali Lagi, Tentang Perkawinan Antar Agama Jumat, 16 Mei 2008


Para dosen penganjur perkawinan antar-agama berusaha meruntuhkan bangunan hukum Islam dalam soal perkawinan. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-235 Oleh: Adian Husaini

Beberapa hari lalu, saya mendapat hadiah buku kecil yang menarik dari seorang tokoh Islam di Bekasi. Judulnya, Perkawinan Antar Pemeluk Agama Yang Berbeda. Penulisnya seorang guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Muhammad Daud Ali (alm.). Buku setebal 32 halaman ini ditulis tahun 1992. Setelah menguraikan pandangannya berdasarkan hukum Islam dan sejumlah peraturan hukum di Indonesia, Prof. Daud Ali menarik beberapa kesimpulan, diantaranya: (1) Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama dengan berbagai cara pengungkapannya, sesungguhnya tidaklah sah menurut agama yang diakui keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia. Dan, karena sahnya perkawinan didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama, tidak sah pula menurut Undang-undang Perkawinan Indonesia. (2) Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini, kendatipun merupakan kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan tersendiri, tidak perlu dilindungi oleh negara. Memberi perlindungan hukum pada warga negara yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai cita hukum bangsa

dan kaidah fundamental negara serta hukum agama yang berlaku di Indonesia, pada pendapat saya selain tidak konstitusional, juga tidak legal. Demikianlah kesimpulan Prof. Daud Ali tentang perkawinan antar agama di Indonesia. Penegasan guru besar UI itu perlu kita renungkan, mengingat saat ini sejumlah guru besar liberal yang mengajar di sejumlah kampus Islam, seperti Prof. Musdah Mulia dan Prof. Zainun Kamal, justru aktif membongkar dasar-dasar hukum Islam dalam soal perkawinan, dan menciptakan hukum baru. Buku Fiqih Lintas Agama yang ditulis oleh sejumlah profesor di UIN Jakarta dan aktivis liberal juga terus-menerus disebarkan di tengah masyarakat Indonesia. Seperti kita tulis dalam CAP-234 lalu, buku Fiqih Lintas Agama ini bukan hanya membolehkan perkawinan antar agama, tetapi melangkah lebih jauh lagi dengan menganjurkan masyarakat Indonesia agar melakukan perkawinan antaragama. Kata buku terbitan Paramadina dan (edisi Inggrisnya oleh) International Center for Islam and Pluralism (ICIP) ini: Di tengah rentannya hubungan antar agama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian. Sebagai umat beragama, kita tentu sulit memahami logika macam apakah yang bercokol di otak para guru besar bidang agama ini, sampai tega-teganya menganjurkan umat Islam melakukan perkawinan antar-agama, demi membangun kerukunan umat beragama. Lagi pula apakah mereka juga melakukan hal itu pada keluarga mereka sendiri; pada anak-anak mereka sendiri? Lihatlah, apakah nama-nama yang tercantum sebagai penulis Buku Fiqih Lintas Agama dan penyebar buku ini -- seperti Zainun Kamal, Nurcholish Madjid, Kautsar Azhary Noer, Syafii Anwar, dan sebagainya -- juga bersedia menikahkan anak-anaknya sendiri dengan orang yang beragama lain? Kita patut bertanya-tanya, mengapa sebagian mereka aktif menikahkan orang lain dengan pasangan beda agama, tetapi justru mereka sendiri tidak menerapkannya. Ketika putrinya, Nadia Madjid, akan menikah dengan seorang Yahudi Amerika, Nurcholish Madjid mengirimkan surat keberatannya. Diantara isinya ialah mensyaratkan calon mantunya itu harus masuk Islam. Kalau memang jadi, dia mutlak harus masuk agama kita, tulis Nurcholish Madjid dalam surat bertanggal 13 Agustus 2001. Bahkan, lebih jauh lagi, Nurcholish memberi syarat yang lebih berat untuk calon mantunya waktu itu: Dan yang lebih penting, bahwa pengislaman itu tercatat, dengan surat keterangan/tanda bukti yang mencantumkan nama-nama para saksi resmi (biasanya dua orang, lebih banyak lebih baik) dan tanda tangan mereka. Karena itu, acara pengislaman tersebut harus dilaksanakan di sebuah lembaga yang diakui, seperti Islamic Center setempat, dan dibimbing oleh yang berwenang di situ.

Kita tahu, apa yang kemudian terjadi pada kasus perkawinan antara Nadia Madjid dengan David, seorang Yahudi Amerika. Kita tidak pernah tahu, bagaimana sebenarnya sikap Nurcholish Madjid terhadap buku Fiqih Lintas Agama ini. Yang jelas buku ini diterbitkan sebelum dia meninggal dunia. Namanya tercantum sebagai salah satu Tim Penulis di buku ini. Yang kita tahu kemudian, tahun 2006, ICIP yang dipimpin Dr. Syafii Anwar sahabat dekat dan pengikut setia Nurcholish Madjid malah menerbitkan edisi bahasa Inggris dari buku yang jelas-jelas merusak aqidah dan syariat Islam ini. Dalam edisi bahasa Inggris yang diberi judul Interfaith Theology ini, nama Nurcholish Madjid tetap dicantumkan dalam jajaran penulis, setelah nama Zainun Kamal, seorang guru besar UIN Jakarta yang juga berprofesi sebagai penghulu swasta dalam perkawinan antar-agama. Kita perlu benar-benar memperhatikan pemikiran dan perilaku para penganjur perkawinan antar-agama dari kalangan dosen-dosen UIN dan aktivis liberal ini. Sebab, sadar atau tidak, melalui pemikiran dan tindakan tersebut, mereka sebenarnya sudah melakukan sebuah tindakan yang merobohkan bangunan masyarakat Islam dari dasarnya, yaitu merusak institusi keluarga Muslim. Padahal, dari keluarga inilah diharapkan akan lahir generasi masa depan yang tangguh, yang tentu saja harus didasari dengan keimanan yang kokoh. Jika di tengah keluarga ini kedua orang tuanya berbeda keimanan, bagaimana mungkin akan terbangun generasi anak yang shalih menurut Islam? Karena itulah, perkawinan antar-agama bukan hanya menjadi masalah bagi Islam, tetapi juga bagi agama-agama lain. Dalam bukunya, Prof. Daud Ali mengutip ketentuan perkawinan antar-agama pada sejumlah agama di Indonesia. Agama Katolik dengan tegas menyatakan bahwa Perkawinan antara seorang Katolik dengan penganut agama lain tidak sah (Kanon 1086). Namun demikian, bagi mereka yang sudah tidak mungkin dipisahkan lagi karena cintanya sudah terlanjur mendalam, pejabat gereja yang berwenang, yakni uskup, dapat memberi dispensasi (pengacualian dari aturan umum untuk suatu keadaan yang khusus) dengan jalan mengawinkan pemeluk agama Katolik dengan pemeluk agama lain itu, asal saja kedua-duanya memenuhi syarat yang ditentukan dalam kanon 1125 yakni: 1. yang beragama Katolik berjanji (a) akan tetap setia pada iman Katolik, dan (b) bersedia mempermandikan dan mendidik semua anak-anak mereka secara Katolik. 2. Sedangkan yang tidak beragama Katolik berjanji antara lain (a) menerima perkawinan secara Katolik (b) tidak akan menceraikan pihak yang beragama Katolik, (c) tidak akan menghalangi pihak yang Katolik melaksanakannya imannya dan (d) bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik. Karena akan menimbulkan berbagai konflik dalam keluarga, maka menurut agama Katolik, perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama hendaklah dihindari.

Demikian kutipan dari buku Prof. Daud Ali. Dr. Al. Purwohadiwardoyo MSF, dalam bukunya yang berjudul Perkawinan Menurut Islam dan Katolik, Implikasinya dalam Kawin Campur, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), menulis sebagai berikut: Menurut hukum gereja katolik, perkawinan mereka (kawin campur.pen) itu bukanlah sebuah sakramen, sebab salah satu tidak beriman kristen. Hukum gereja katolik memang dapat mengakui sahnya perkawinan mereka, asal diteguhkan secara sah, namun tidak mengakui perkawinan mereka sebagai sebuah sakramen (sebuah perayaan iman gereja yang membuahkan rahmat berlimpah. Pen). (hal. 18-19). Lebih jauh dikatakan dalam buku ini: Kesulitan lain muncul dalam hal memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka. Pihak Katolik mempunyai kewajiban untuk mendidik anak-anak dalam semangat katolik, bahkan ia harus berusaha sekuat tenaga untuk membaptis mereka secara katolik. Padahal kewajiban yang sama juga ada pada pihak yang beragama Islam.(hal. 77). Karena memandang penting dan strategisnya soal perkawinan ini, maka pada awal tahun 1970-an, umat Islam Indonesia telah mengerahkan segala daya upaya untuk menggagalkan RUU Perkawinan sekular yang diajukan pemerintah ke DPR ketika itu. Prof. HM Rasjidi, menteri agama pertama RI, dalam artikelnya di Harian Abadi edisi 20 Agustus 1973, menyorot secara tajam RUU Perkawinan yang dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan: Perbedaan karena kebangsaan, suku, bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan. Pasal dalam RUU tersebut jelas ingin mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 16 yang menyatakan: Lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk kawin dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dengan hubungan dengan perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal perceraian. Dalam tulisannya tentang Perbandingan Hak-hak Asasi Manusia Deklarasi PBB dengan Islam, khusus tentang pasal 16 tersebut, Hamka menulis kesimpulan yang sangat tajam: Oleh sebab itu dianggap kafir, fasiq, dan zalim, orang-orang Islam yang meninggalkan hukum syariat Islam yang jelas nyata itu, lalu pindah bergantung kepada Hak-hak Asasi Manusia yang disahkan di Muktamar San Francisco, oleh sebagian anggota yang membuat Hak-hak Asasi sendiri karena jaminan itu tidak ada dalam agama yang mereka peluk. (Hamka, Studi Islam, (1985:233). Jika kaum sekular di awal 1970-an berusaha meluluskan sebuah RUU Perkawinan sekular yang meninggalkan agama, maka kini sejumlah dosen UIN Jakarta, seperti Prof. Zainun Kamal dan Musdah Mulia, justru berusaha membuat hukum syariat baru, bahwa perkawinan antar agama adalah halal. Lebih jauh, Prof. Zainun Kamal bahkan sering bertindak sebagai penghulu swasta dalam perkawinan antar-agama.

Dengan sokongan lembaga-lembaga donor Barat seperti The Asia Foundation, apa yang dikerjakan oleh para ilmuwan agama dalam merusak hukum Islam ini adalah jauh lebih besar kadar kejahatan dan daya rusaknya. Sebab, yang mereka lakukan adalah merusak konsep kebenaran itu sendiri. Mereka berusaha menciptakan kebingungan dan ketidakpastian dalam hukum Islam. Seperti kita ketahui, pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tahun 1974 menyatakan: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan pasal demi pasal menyatakan dengan tegas, bahwa: Dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan legitimasinya sebagai guru besar bidang keagamaan di kampus berlabel Islam, maka para dosen penganjur perkawinan antar-agama itu berusaha meruntuhkan bangunan hukum Islam dalam soal perkawinan. Dengan posisinya itu, seolah-olah mereka memiliki otoritas di bidang hukum Islam, sehingga pendapatnya juga dianggap mewakili Islam. Toh selama ini, pimpinan kampus dan pihak pemerintah juga membiarkan saja perilaku para dosen tersebut. Sesuai dengan doktrin liberal, tidak ada penafsiran yang tunggal dalam soal hukum Islam. Mereka menyebarkan paham, perbedaan pendapat dalam soal apa saja adalah sah dan harus dihormati. Tidak heran, setelah dikawinkan dengan Kalina (Muslimah) oleh Prof. Zainun Kamal, pesulap nyentrik Deddy Corbuzier (Katolik) merasa perkawinannya telah sah menurut agama. Ia berujar, Yang penting, kami sah dulu secara agama. (Tabloid C&R edisi 28 Februari-06 Maret 2005). Memang, banyak cara merusak Islam. Tapi, kita tidak pernah risau dengan semua tindakan mereka tersebut. Toh, Islam adalah milik Allah. Masing-masing tindakan sudah disediakan balasan yang setimpal. Tindakan merusak Islam pasti akan berdampak kepada pelakunya sendiri. Jika tidak di dunia, pasti di akhirat. Wallahu Alam. [Depok, 10 Jumadilawwal 1429 H/16 Mei 2008/www.hidayatullah.com

Pluralisme Agama Model ICIP Sabtu, 10 Mei 2008


Mau shalat cara Islam gaya Lia Eden atau Gatholoco, semuanya dipandang menuju kepada Tuhan yang sama. Inilah defenisi pluralismenya ICIP. Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-234 Oleh: Adian Husaini Pada Kamis (8/5/2008), seseorang datang ke rumah saya membawa sejumlah buku dan majalah terbitan International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Majalah terbitan ICIP adalah AL-WASATHIYYAH. Pada edisi No 11/2008, majalah ini masih membawa moto: Meneguhkan Persaudaraan, Menghormati Keragaman. AL-WASATHIYYAH

menyatakan dirinya sebagai media yang diterbitkan untuk pencerahan dan peningkatan wawasan mengenai agama, budaya, dan sosial di kalangan pesantren. ICIP memang salah satu LSM yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama di pondok-pondok pesantren. Selain paham Pluralisme Agama, sebagaimana LSM-LSM pengecer paham liberal di Indonesia, ICIP juga aktif menyebarkan paham kesetaraan gender. Pada edisi No.02/2006, AL-WASATHIYYAH membantah bahwa pihaknya menyebarkan paham Pluralisme Agama, seperti yang diharamkan MUI. Katanya, yang disebarkan ICIP adalah Pluralisme muamalah, yakni pluralisme yang mengakui keragaman agama, yang berhubungan dengan tata pergaulan kemasyarakatan. Di majalah ini juga dikutip ucapan seorang Kyai di Jawa Barat yang diwawancara ALWASATHIYYAH dan menyatakan: Makanya, ICIP di sini ada Islam dan pluralisme, saya yakin pluralisme di sini adalah pluralisme yang muamalah atau mengakui keragaman agama. Bahkan, sang kyai menasehati Direktur ICIP, Dr. Syafii Anwar, agar tidak menanggapi tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada ICIP. Dalam artikelnya di majalah ini, Dr. Syafii Anwar menulis: Karenanya, saya berpendapat bahwa pluralisme agama bukan sinkretisme agama yang punya tendensi ke arah relativisme yang mengarah pada penyamaan dan pembenaran semua agama. Juga dikatakannya, Mereka yang concern dengan pluralisme yang benar tidak pernah merelatifkan ajaran agama masingmasing. Mereka tentu mempercayai kebenaran agamanya sendiri. Dari definisi Pluralisme Agama versi Syafii Anwar tersebut, tampak tidak ada masalah dengan urusan aqidah. Tetapi, benarkah ICIP konsisten menganut paham pluralisme versi tersebut? Jika kita telaah sejumlah artikel di AL-WASATHIYYAH dan buku-buku terbitan ICIP, tampak bahwa definisi Pluralisme Agama versi Syafii Anwar tersebut merupakan klaim yang tidak berdasar. Bahkan, di dalam artikel itu sendiri, sejumlah argumentasi yang disajikan juga tidak benar. Misalnya, disebutkan bahwa: Dalam AlQuran tidak ada satu ayat pun yang menyatakan akan menghapuskan kitab-kitab umat lain yang pernah diwahyukan sebelumnya, tetapi hanya mengafirmasi validitasnya. Tentu saja, pernyataan itu sangat tidak berdasar. Begitu banyak ayat Al-Quran yang menyebutkan bahwa kaum Yahudi sudah mengubah-ubah kitab mereka. (mis: QS 2:59, 75, 79, dsb.). Jadi, Al-Quran bukan hanya mengafirmasi (menegaskan) keabsahan kitabkitab terdahulu, tetapi Al-Quran juga menjelaskan bahwa kitab-kitab sebelum Al-Quran sudah diubah-ubah oleh para pemuka agama mereka, sehingga tidak jelas lagi mana yang asli dan mana yang tambahan. Gagasan Pluralisme ala ICIP juga bisa dilihat dalam salah satu buku terbitannya yang berjudul Modul Islam dan Multikulturalisme (cetakan I, Maret 2008). Ditulis dalam buku ini: Sebagai sebuah gagasan, multikulturalisme dan juga pluralisme bukan hanya toleransi moral ataupun kebersamaan yang pasif semata, melainkan sebuah kesediaan untuk melindungi dan mengakui kesetaraan dan rasa persaudaraan di antara sesama manusia, terlepas dari adanya perbedaan asal usul etnis, keyakinan, kepercayaan dan agama yang dianut. Pluralisme ala ICIP seperti itu jelas tidak benar. Sebab, seorang Muslim tidak mungkin membangun persaudaraan dengan manusia lain tanpa memandang faktor agama. Kerancuan pemikiran keagamaan ICIP bisa dilihat juga dalam mendefinisikan sejumlah

istilah kunci dalam Islam, seperti Islam, kafir, dan musyrik. Ditulis dalam buku ini, misalnya: Tradisi Yahudi, Nasrani, dan ahli kitab yang lain, seluruhnya memiliki kelompok kafir dan musyrik tersendiri. Sering terjadi kesalahpahaman di antara kita bahwa kekafiran dan kemusyrikan hanya terjadi pada umat Muhammad saja. Sebenarnya kekafiran dan kemusyrikan ada dalam seluruh tradisi Ibrahim dan agama-agama yang merupakan derivasi dari tradisi tersebut. Hal ini perlu ditandaskan di sini agar tidak terjadi penyempitan makna atas kedua istilah tersebut yang selama ini disempitkan untuk konteks Islam saja. Dari gambaran di atas, maka kesimpulan yang bisa diambil di sini adalah Islam merupakan sistem keyakinan yang terbuka. (hal. 8). Dalam sejumlah diskusi, pemahaman Islam seperti ICIP ini beberapa kali terungkap. Menurut mereka, Yahudi dan Nasrani bukanlah kafir, tetapi pada masing-masing agama ada yang beriman dan ada yang kafir. Jadi, di kalangan Muslim, ada yang beriman dan ada yang kafir. Begitu juga dalam Yahudi dan Kristen, ada yang beriman dan ada yang kafir. Logika seperti ini tentu menggelikan, sebab begitu banyak ayat-ayat Al-Quran yang secara tegas menyebut, bahwa kaum Ahlul Kitab adalah termasuk kategori kafir. (QS 98). Sebagaimana berbagai kelompok liberal lainnya, ICIP juga menyebarkan gagasan untuk membongkar ajaran-ajaran Islam, termasuk hal-hal yang sudah qathiy. Ditulis dalam buku ini: Terkesan dari sini bahwa semua ajaran Islam pada dasarnya adalah bisa dijtihadkan kembali tak terkecuali ajaran-ajaran yang bersifat qathiy tersebut di atas. (hal. 24). Pandangan dan sikap ICIP terhadap Pluralisme Agama bisa dilihat jelas pada buku yang diterbitkannya, yaitu Interfaith Theology: Responses of Progressive Indonesian Muslims (Diterbitkan atas dukungan dari The Asia Foundation, 2006). Tim penulis buku ini adalah: Zainun Kamal, Nurcholish Madjid, Masdar F. Masudi, Komaruddin Hidayat, Budhy Munawar Rachman, Kautsar Azhary Noer, Zuhairy Misrawi, dan Ahmad Gaus AF. Buku ini merupakan edisi Bahasa Inggris dari buku Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004). Melihat isinya, buku Fiqih Lintas Agama adalah buku yang secara mendasar membongkar konsep Islam di bidang aqidah dan syariah, khususnya yang berkaitan dengan hubungan Islam dengan pemeluk agama lain. Membaca buku ini, kita menemukan banyak kesalahan, kerancuan epistemologis, dan logika-logika yang rancu. Bisa jadi, itu tidak disengaja (karena ketidaktahuan) atau mungkin karena memang disengaja untuk menutupi jalan kebenaran. Misalnya, ditulis: Segi persamaan yang sangat asasi antara semua kitab suci adalah ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. (hal. 55). Kita bertanya, benarkah semua kitab suci mengandung ajaran seperti itu? Berapa kitab suci yang sudah diteliti? Lebih kacau lagi, pernyataan berikut ini: Sekalipun kaum Ahli Kitab kecuali yang berbahasa Arab tidak menggunakan perkataan Allah: untuk objek sesembahan mereka, Al-Quran menyebutkan bahwa konsep Ketuhanan dalam kitab suci mereka sama dengan yang ada dalam Al-Quran. Hal itu menunjukkan bahwa dalam pengertian yang benar tentang Tuhan, masalah nama bukanlah hal yang asasi; yang asasi ialah pengertiannya. (Edisi Bahasa Indonesia, hal. 56).

Tentu saja pernyataan dalam buku tersebut asbun, alias tidak berdasar sama sekali. Konsep ketuhanan dalam Al-Quran jelas berbeda dengan konsep ketuhanan dalam Bibel Yahudi atau Kristen. Juga berbeda dengan konsep ketuhanan dalam kitab agama-agama lain. Al-Quran banyak mengritik konsep ketuhanan kaum Kristen (Lihat, misalnya, QS 5:72-75, 19:88-91). Di sinilah, kita melihat kacaunya logika ICIP yang terlalu memaksakan diri untuk menyama-nyamakan konsep ketuhanan agama-agama, yang jelas-jelas berbeda. Buku ini juga menulis: Bagi orang-orang Muslim pluralis sejati, (yang percaya bahwa semua agama, meskipun dengan jalan masing-masing yang berbeda, menuju satu tujuan yang sama, Yang Absolut, Yang Terakhir, Yang Riil), meminta doa kepada orang-orang non-Muslim adalah mungkin dan, karena itu, tidak terlarang. (Ibid, hal. 103). Jadi, tampaknya, itulah definisi Pluralis sejati, seperti disebarkan ICIP. Yakni, semua agama, agama apa pun tentunya dengan konsep Tuhannya yang sangat beragam dan tata cara ibadah yang beragam pula adalah menuju Tuhan yang sama. Inilah sebuah konsep Pluralisme yang disebut sebagai Kesatuan Transenden Agama-agama. Dalam konsep ini tidak ada agama yang dianggap sesat atau salah. Mau shalat cara Islam, atau sembahyang gaya Lia Eden atau agama Gatholoco, semuanya dipandang sama-sama akan menuju kepada Tuhan yang sama. Karena itulah, kaum Pluralis ini tidak mempersoalkan nama Tuhan (Ibid, hal. 56). Padahal, nama Tuhan, bagi kaum Muslim adalah berdasarkan wahyu, bukan berdasar konsensus, tradisi budaya, atau spekulasi akal. Hingga kini, umat Islam tidak berselisih paham soal nama Tuhan. Di mana pun juga dan kapan pun juga, umat Islam mengucapkan nama Tuhan mereka, dengan lafaz yang sama. Walhasil, jika kita telaah buku-buku terbitan ICIP, kita akan melihat konsep keimanan, keislaman, dan juga konsep ketuhanan yang amburadul. Dalam hal ini, jelas konsep Pluralisme yang disebarkan oleh ICIP tidak berbeda dengan para pengecer ide liberal lainnya di Indonesia. Jadi, jelas tidak benar, jika konsep Pluralisme ICIP adalah sekedar Pluralisme muamalah. Bacalan buku-buku penerbitan ICIP, akan tampak bagaimana konsep lembaga ini tentang Pluralisme. Melalui buku Fiqih Lintas Agama (Interfaith Theology) ini pula, kita bisa melihat semangat ICIP untuk membongkar bangunan konsep ushul fiqih yang dibangun oleh Imam Syafii. Seperti beberapa kali kita kutip dalam CAP, buku ini menulis: Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafii. Kita lupa, Imam Syafii memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafiilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. (Ibid, hal. 5). Tentu saja, Imam Syafii dan kaum Muslim pada umumnya, tidak ingin membongkar ajaran Islam, seperti yang dilakukan ICIP dan kaum liberal lainnya. Kelompok-kelompok ini sama sekali tidak memiliki bangunan epistemologi keilmuan yang kokoh dalam bidang fiqih, tetapi dengan angkuhnya sudah melecehkan ulama besar seperti Imam Syafii. Jika konsep dasar Ilmu Fiqih dibongkar, maka langkah berikutnya adalah membongkar hukum-hukum Islam dalam masalah hubungan antar-agama. Misalnya,

hukum tentang perkawinan wanita Muslimah dengan lelaki non-Muslim. Ditulis dalam buku ini: Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. (Ibid, hal. 164). Lebih jauh, soal nikah beda agama dikatakan dalam buku ini: Dan pernikahan beda agama dapat dijadikan salah satu ruang, yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat. Kedua, bahwa tujuan dari diberlangsungkannya pernikahan adalah untuk membangun tali kasih (al-mawaddah) dan tali sayang (alrahmah). Di tengah rentannya hubungan antar agama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian. (Ibid, hal. 164). Setiap muslim yang masih memegang nilai-nilai tauhid, tentu dengan mudah menolak ide-ide jahat dari buku Fiqih Lintas Agama yang kemudian diterbitkan oleh ICIP dalam versi bahasa Inggrisnya dengan judul menawan: Interfaith Theology. Kita bertanya, inikah yang dimaksud sebagai pluralisme muamalah oleh ICIP? Selama ini, sudah banyak yang mengingatkan, bahwa buku Fiqih Lintas Agama adalah buku yang sangat merusak Islam. Tetapi, mereka bukannya mau mendengar semua nasehat dan kritik. Justru kemudian, ICIP menyebarluaskan buku ini dalam edisi bahasa Inggrisnya. Penerbitan buku Fiqih Lintas Agama edisi bahasa Inggris kabarnya juga sedang dipersiapkan edisi bahasa Arabnya oleh ICIP, perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius bagi umat Islam. Mengapa? Sebab, ICIP adalah lembaga yang aktif memasukkan ajaran-ajaran Pluralisme Agama ke pondok-pondok pesantren. Dengan sokongan dana puluhan milyar rupiah dari lembaga-lembaga asing seperti Ford Foundation, The Asia Foundation, dan sebagainya, ICIP sering membuat acara-acara dan program pembinaan Pondok Pesantren. Selama ini, ICIP aktif berkampanye di pesantren-pesantren, bahwa paham Pluralisme Agama yang mereka sebarkan adalah berbeda dengan yang diharamkan oleh MUI. Bahkan, kata mereka, MUI telah keliru mendefinisikan Pluralisme. Menurut klaim majalah AL-WASATHIYYAH, sebagian besar pengasuh pesantren yang menjadi peserta pelatihan-pelatihan ICIP justru mendukung program ICIP dan tidak mempersoalkan paham Pluralisme Agama gaya ICIP. Jika menengok jajaran Board of Directors ICIP, memang terpampang nama-nama yang sudah dikenal sebagai penyebar paham liberal dan Pluralisme Agama, seperti Moeslim Abdurrahman, PhD (Director Syafii Maarif Institute), Prof. Dr. Musdah Mulia (Prof. of Islamic Studies, Post-Graduate of Syarif Hidayatullah State Islamic University), dan Ulil Abshar Abdalla. Fenomena ICIP dan pondok pesantren ini menunjukkan bahwa setelah 3 tahun Fatwa MUI tentang Pluralisme Agama dikeluarkan (2005), ternyata penyebaran paham Pluralisme Agama masih terus dilakukan dengan gencar di kalangan umat Islam.

Bahkan, paham ini secara sistematis terus disebarkan ke jantung-jantung pertahanan umat Islam, seperti Pondok Pesantren. Sebagai penutup catatan ini, marilah kita renungkan firman Allah yang maknanya: Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS 6:112). (Depok, 2 Jumadilawwal 1429 H/8 Mei 2008/www.hidayatullah.com]

Catatan dari 11 Kota Selasa, 06 Mei 2008


Catatan perjalanan 11 hari Dr. Syamsuddin Arif di seluruh Jawa menunjukkan, paham liberal menjadi masalah terbesar yang dihadapi umat Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-233 Oleh: Adian Husaini Mulai hari Sabtu, 19 April 2008 lalu, saya menemani Dr. Syamsuddin Arif untuk sebuah perjalanan panjang mengunjungi sejumlah kota di Pulau Jawa. Program utama kami ialah rangkaian acara bedah buku Dr. Syamsuddin Arif yang berjudul Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Acara dimulai dari Gedung Gema Insani Press di Depok. Hadir juga sebagai pembicara di sini Adnin Armas MA, direktur eksekutif INSISTS. Esoknya, Ahad, 20 April, acara bedah buku digelar di Masjid Salman ITB. Berturut-turut, selama 9 hari berikutnya, acara bedah buku dan diskusi seputar tantangan pemikiran Islam diadakan di Masjid Agung Cirebon, Al-Irsyad Tegal, Al-Irsyad Pekalongan, Universitas Diponegoro Semarang, Masjid Kampus UGM Yogya, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Institut Studi Islam Darussalam Gontor Ponorogo, Masjid Kampus Universitas Brawijaya Malang, FISIP Universitas Airlangga, dan Masjid Kampus ITS Surabaya. Banyak yang menarik dan tak terduga dalam perjalanan di 11 kota ini. Di Cirebon, misalnya, kami diberi kabar, bahwa kaum Muslim di sana sedang menghadapi serbuan secara masif ide-ide liberal dari sejumlah agen penyebar liberalisme. Dengan dukungan dana yang sangat besar dari negara dan LSM-LSM Barat, para pengecer ide liberal di kota ini terus-menerus menjejali umat Islam dengan gagasan-gagasan yang merusak aqidah dan syariah Islam. Berbagai media, seperti radio, buku, bulletin Jumat, dan sebagainya, digunakan sebagai sarana. Alhamdulillah, di kota ini ada sebagian kalangan

umat Islam yang aktif menghadang penyebaran paham liberal. Di kota Tegal, kami diminta menjelaskan tentang paham sekularisme, Pluralisme, dan Pluralisme Agama. Sekitar 300 orang memenuhi aula SMP al-Irsyad Tegal. Di Pekalongan, sekitar 400 kaum Muslim juga hadir dalam acara dengan tema yang sama. Sejalan dengan pesatnya perkembangan media informasi, isu liberalisasi Islam memang bukan lagi merupakan konsumen masyarakat Jakarta dan kota besar lainnya. Kaum Muslimin di pelosok-pelosok pun kini harus bersentuhan langsung dengan ide-ide liberal yang dijajakan melalui berbagai kemasan. Kita sudah paham, bahwa liberalisasi agama adalah masalah terbesar yang dihadapi umat beragama di era modern ini. Bukan hanya umat Islam, tetapi juga umat-umat agama lain mendapatkan pekerjaan rumah yang sama. Apalagi, proyek penghancuran Islam ini telah menjadi program politik global yang mendapat prioritas dalam pengucuran anggaran sejumlah negara Barat. Tak heran, jika berbagai lembaga Islam menjadi target serangan paham ini. Banyak agen-agen liberalisasi Islam yang terus menjajakan dan menjejalkan idenya kepada umat Islam, dengan berbagai motif yang melatarinya. Dalam sejumlah forum, beberapa kali muncul pertanyaan bernada pesimis: apakah kita mampu menghadapi penyebaran paham yang didukung oleh kekuatan global yang sedang berkuasa saat ini. Kami menjawab, Di sinilah menariknya pergulatan pemikiran ini. Kita yang miskin, kecil, harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan besar. Jika yang kita hadapi singa, maka kita dipaksa untuk berpikir dan bekerja keras. Beda halnya jika yang kita hadapi hanya tikus. Memang, perjuangan melawan liberalisme ini menjadi menarik, karena tidak sedikit diantara penyebar paham liberal adalah para profesor dan cendekiawan yang memiliki kemampuan intelektual lumayan. Banyak diantara mereka yang menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan baik. Banyak yang pintar bicara dan menulis. Kita maklum, mengapa terget utama liberalisasi Islam adalah lembaga-lembaga pendidikan Tinggi Islam. Mereka tentu paham, bahwa lembaga Pendidikan Tinggi Islam akan menghasilkan orang-orang yang memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Otoritas itulah yang dirusak. Gelar resminya, misalnya, adalah doktor bidang Al-Quran, tetapi ia justru aktif merusak AlQuran dan tafsirnya. Lama-lama, umat Islam dibuat bingung, sebab yang memiliki otoritas mengajar AlQuran justru berusaha merusak Al-Quran. Tentu aneh, jika yang belajar ilmu ushuluddin, justru menjadi pembela aliran sesat. Padahal, harusnya merekalah yang berada dalam garis terdepan dalam penegakan aqidah Islam dan pemberantasan paham syirik. Kita berpikir, normalnya, para pakar dan sarjana syariah-lah yang berada di garis terdepan dalam upaya penegakan aqidah dan syariah Islam. Kata Dr. Syamsuddin, jika ada sarjana agama Islam yang menyebarkan paham-paham yang merusak Islam, tentu hal itu sangat memalukan dan memilukan. Namun, di tengah-tengah merebaknya paham liberalisme di berbagai Perguruan Tinggi Islam, kami merasa sangat bersyukur, bahwa ternyata masih ada sejumlah cendekiawan dan lembaga Islam yang kokoh bertahan dalam mengajarkan ilmu-ilmu Islam yang benar. Di sejumlah kota, kami bertemu dengan para para ustad dan cendekiawan yang

juga gigih membela ajaran Islam dari serangan paham-paham yang destruktif. Kadangkala kami terharu, saat berjumpa dengan tokoh-tokoh yang hebat dalam membela Islam, meskipun mereka harus bertahan dengan kondisi seadanya. Salah satu tokoh hebat yang kami jumpai adalah Ibu Aisyah al-Kalali. Di usianya yang ke84 tahun, beliau masih gigih memimpin Pondok Tahfidz Al-Quran di Kota Pekalongan. Pondok ini dikhususkan untuk putri. Sejak berdirinya, tahun 1989, selama 19 tahun, Pondok pesantren ini sudah meluluskan hafidzah sebanyak 150 orang. Sementara sepanjang usianya itu, sudah lebih dari 700 mahasiswi yang Droup Out. Pendidikan di pesantren ini sangat ketat dan berdisiplin tinggi. Untuk mendapat ijazah kelulusan sebagai hafizhah, para mahasiswi harus melalui serangkaian ujian yang sangat ketat. Terakhir, mereka harus mampu menghafal Al-Quran, 30 Juz, dalam waktu satu hari, disaksikan oleh penguji dan masyarakat. Ironisnya, di tengah serbuan gelombang materialisme di dunia pendidikan, Lembaga Pendidikan Tahfidz seperti ini justru tidak mudah mendapatkan murid. Padahal, biaya pendidikan total dalam satu bulan dibawah Rp 400.000 (empat ratus ribu rupiah). Lebih dari itu, pimpinan lembaga pendidikan ini harus berkeliling mencari murid, dan menawarkan beasiswa bagi banyak murid-muridnya. Kita sangat salut dengan perjuangan para pengasuh Pondok Tahfidz Al-Quran di Pekalongan ini, dan berharap dari sini akan lahir para hafizhah yang menjadi palang pintu dalam menjaga kemurnian Al-Quran. Acara bedah buku yang cukup menarik terjadi di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Acara dibuka oleh Dekan Fakultas Ekonomi Undip, Dr. H. Muhammad Chabachib dan dihadiri sejumlah dosen. Ruang seminar FE-Undip dipenuhi peserta. Banyak yang terpaksa berdiri. Fenomena ini menunjukkan, problem pemikiran Islam di Indonesia telah menjadi perhatian banyak kalangan akademisi, bukan hanya yang berlatarbelakang studi Islam, tetapi juga yang berlatarbelakang studi umum. Disamping menjelaskan metodologi dan dampak studi Islam ala orientalis, Dr. Syamsuddin juga secara khusus memaparkan dampak penggunaan metode hermeneutika dalam penafsiran Al-Quran. Di Yogyakarta, acara bedah buku digelar di Masjid Kampus UGM. Di luar acara utama, ada sejumlah diskusi dengan para mahasiswa dan aktivis Islam di Yogya yang kami hadiri. Meskipun tema pokok diskusi adalah seputar tantangan orientalisme dan pemikiran liberal, tetapi ada tujuan yang lebih penting yang perlu diwujudkan, yaitu upaya membangun tradisi pemikiran Islam yang sehat. Pemikiran Islam bukanlah monopoli kampus-kampus agama atau sarjana agama. Sebab, memahami pemikiran Islam yang benar adalah hal yang fardhu ain, yang wajib dimiliki oleh setiap Muslim. Bisa dikatakan, di era globalisasi, tantangan utama dalam pemikiran Islam adalah dekonstruksi pemikiran Islam melalui penyebaran paham liberalisme agama. Lagipula, para akademisi Muslim UGM kini menghadapi tantangan serius dalam bidang studi dan pemikiran Islam dengan hadirnya program studi Lintas Agama oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) dan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS). Karena itu, kita berharap, para cendekiawan Muslim UGM mampu menjawab tantangan intelektual ini secara ilmiah. Jika ditelaah dari mata kuliah yang ditawarkan dan dosen-dosen yang mengajar di program ini, maka bisa dikatakan studi agama di UGM ini telah menggunakan perspektif netral dalam studi agama; bukan dari

perspektif Islam. Di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), kami berkesempatan mengisi diskusi dengan tema Islam Mazhab Orientalis. Selain para dosen dan mahasiswa pasca sarjana Studi Islam UMS, hadir juga sejumlah akademisi Muslim dan tokoh Muslim di kota Solo. Acara dibuka oleh Ketua Magister Studi Islam UMS, Dr. Muinuddin. Di sini, Syamsuddin Arif menekankan sifat-sifat studi Islam gaya orientalis yang biasanya berawal dari keraguan dan berakhir dengan keraguan. Orang belajar Islam bukan untuk menambah keyakinan terhadap Islam, tetapi untuk menanamkan sikap kritis dan skeptis terhadap Islam. Di Pesantren Gontor, kami sempat mengisi diskusi dan bedah buku di kampus Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor. ISID merupakan salah satu Perguruan Tinggi Islam yang baik yang berada di bawah naungan Pondok Gontor Ponorogo. Kajian-kajian tentang Islam dan Barat di kampus ini semakin berkembang setelah dibentuknya Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) yang dipimpin Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi. Karena itu, kajian tentang orientalisme bukan hal yang asing di kampus ini. Tentunya kehadiran Dr. Syamsuddin Arif, yang juga alumnus Pesantren Gontor, diharapkan semakin menambah tajamnya kajian-kajian tentang Islam dan Barat di pesantren Gontor ini. Dari kota Ponorogo, perjalanan kami lanjutkan ke Kota Malang. Ada sejumlah acara yang sudah terjadwal di kota ini: dialog dengan guru-guru pesantren Hidayatullah, diskusi terbatas dengan satu komunitas dosen-dosen di Malang, jumpa penulis di Gedung Gema Insani Press Malang, dan acara puncaknya adalah bedah buku di Masjid Raden Patah Universitas Brawijaya Malang. Acara dibuka oleh Pembantu Rektor III Universitas Brawijaya dan dimoderatori Dr. Suryadi, dosen di kampus yang sama. Rangkaian acara bedah buku Dr. Syamsuddin Arif berakhir di kota Surabaya pada 26 April 2008. Di kota Pahlawan ini, acara digelar di dua kampus utama, yaitu di Universitas Airlangga (Unair) dan Institut 10 November Surabaya (ITS). Esoknya, pada 27 April, setelah mengisi kuliah di program Magister Studi Islam UMS, Dr. Syamsuddin Arif kembali ke Kuala Lumpur, melanjutkan tugas rutinnya sebagai dosen di Universitas Islam Internasional Malaysia. Perjalanan panjang selama 10 hari mengunjungi berbagai kota di Jawa kali ini membawa kesan yang cukup mendalam bagi kami. Satu pemikiran yang banyak disebarkan kaum liberal adalah paham relativisme kebenaran. Di berbagai kota, kami berusaha mengobati korban-korban penyakit relativisme ini. Tidak mudah memang, karena yang terkena penyakit ini adalah para sarjana. Padahal, dampak penyakit ini sungguh nyata. Korbannya tidak lagi meyakini adanya satu kebenaran yang mutlak. Jika orang tidak tahu kebenaran, bagaimana dia akan memperjuangkan kebenaran? Ada fenomena menarik yang bisa kita lihat di masyarakat kampus saat ini. Sebagian kalangan sudah meyakini dan aktif memperjuangkan kebenaran yang diyakininya. Sementara sebagian lainnya, masih terus mendiskusikan dan mempertanyakan, di mana letaknya kebenaran, dan apakah manusia bisa memahami kebenaran. Terhadap orangorang yang masih bingung dalam soal kebenaran ini, kita persilakan saja mereka terus mencari dan tidak banyak bicara dulu. Sebab, kata mereka, mereka belum tahu yang

benar. Kita, yang sudah tahu dan sudah menemukan kebenaran, tentu merasa berkewajiban memperjuangkannya. Di samping banyaknya masalah yang dihadapi, di berbagai kota, kami menjumpai potensi-potensi umat yang sangat besar, yang memiliki ghirah yang tinggi untuk memperjuangkan Islam. Besarnya tantangan orientalisme dan liberalisme pada satu sisi telah menyadarkan kita, bahwa Islam dan umatnya kini menjadi sasaran utama dalam proyek westernisasi. Islam adalah potensi besar yang menggiurkan dan mungkin menakutkan bagi banyak kalangan. Karena itu, wajar, jika berbagai upaya untuk melemahkan potensi Islam akan selalu dilakukan. Sepanjang zaman, Islam selalu dihadapkan dengan berbagai tantangan. Kini saatnya umat Islam menyadari potensinya sendiri dan kemudian membangun dirinya sendiri, dengan keyakinan, dengan jalan, dan dengan metodenya sendiri. Insyaallah, jika disertai dengan kerja keras dan istiqamah, di tengah berbagai kesulitan, jalan kebangkitan Islam justru terbentang di hadapan kita. (Depok, 25 Rabiulakhir 1429 H/2 Mei 2008/www.hidayatullah.com]

Pemikiran Modern Ala Barat: Paradigma Baru Pendidikan Islam di Indonesia Senin, 21 April 2008
Studi Islam di Perguruan Tinggi saat ini semakin banyak dijejali dengan pendekatan historis ala Barat. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-323 Oleh: Adian Husaini Harian Suara Karya, Jumat 11 Oktober 1985, memuat tulisan Prof. Dr. Harun Nasution yang menekankan perlunya umat Islam mengubah pola pikirnya mengikuti pola pikir Barat modern. Artikel itu berjudul Ajaran Islam tentang Akal dan Akhlak. Harun menulis, bahwa ia pernah mendapat pertanyaan dari Madame Haydar, istri seorang koleganya dari Kedubes Libanon di Brussel, Belgia: Mengapa orang-orang Nasrani umumnya berkelakuan baik, berpengetahuan tinggi dan menghargai kebersihan, sedang kita orang Islam umumnya kurang dapat dipercayai bodoh-bodoh dan tidak tahu kebersihan? Harun bertanya kepada Madame Haidar: Yang Anda maksud barangkali orang-orang Eropa dan bukan orang-orang Nasrani. Eropa memang sedang berada dalam zaman kemajuannya, sedang Timur masih dalam zaman kemunduran. Ekonomi Eropa yang maju mmebuat orang-orangnya mempunyai kesempatan untuk memperoleh pendidikan baik lebih tinggi sedang Timur yang miskin, orang-orangnya kebanyakan tinggal dalam ketidaktahuan.

Lalu, Madame Haidar melanjutkan lagi: Yang saya maksud bukan orang Eropa, tapi orang Nasrani. Apa yang saya sebut adalah kenyataan di negeri saya sendiri, Libanon. Kalau kita perhatikan orang Islam yang pergi ke mesjid, kita lihat wajah mereka tidak berseri dan pakaiannya kotor-kotor. Tetapi sebaliknya orang-orang Nasrani yang pergi ke gereja bersih wajah dan pakaiannya. Ekonomi mereka lebih baik dari ekonomi orang Islam. Demikian juga pendidikan mereka lebih tinggi. Orang orang Islam ketinggalan. Terhadap pernyataan Madame Haidar itu, Harun Nasution menyatakan persetujuannya. Dia menulis dalam artikelnya tersebut: Keadaan umat Islam sebagai digambarkan Madame Haidar itu bukan hanya terbatas bagi umat Islam di Libanon. Hal serupa juga kita alami di Indonesia. Umat Islam di negeri kita lebih rendah ekonomi dan pendidikannya dari umat lain. Masalah kita di Indonesia ialah umat Islam yang berjumlah besar, tetapi ekonominya lemah dan pendidikannya tidak tinggi. Sedang umat lain sungguhpun minoritas mempunyai kekuatan ekonomi dan pendidikan yang baik. Di pusat lahirnya Islam, di Mekah dan Medinah, kita jumpai juga umat Islam tidak mempunyai kemajuan dan dari segi budi pekerti juga tidak menggembirakan. Di Mesir hal yang sama kita jumpai. Umatnya diperbandingkan dengan umat lain yang ada di sana, yaitu sebelum orang-orang Yahudi, Yunani dan lain-lain meninggalkan negeri itu, jauh ketinggalan dalam soal ekonomi, pendidikan dan budi pekerti. Di Turki, Suria, Yordan, Aljazair, India dan Pakistan hal yang sama dijumpai. Maka pengamatan Madame Haidar dalam pertanyaan yang dimajukannya adalah benar untuk dunia Islam pada umumnya. Dialog itu menyadarkan saya bahwa persoalannya bukanlah semata-mata persoalan kebudayaan, tetapi adalah pula masalah agama. Demikianlah dialog Harun Nasution dan Madame Haidar yang diungkapkan Harun Nasution dalam artikelnya di Harian Suara Karya. Setelah menunggu selama tiga minggu dan tidak ada seorang pun yang mengkritik artikel Prof. Harun tersebut, Prof. HM Rasjidi akhirnya memaksakan diri mengangkat pena dan memberikan kritiknya. Saat menjadi Associate Professor di McGill University, Rasjidi adalah orang yang mengusahakan agar Harun dapat melanjutkan studinya di McGill. Tapi, seperti pernah kita bahas dalam beberapa tulisan, belakangan, Rasjidi banyak mengkritik pemikiran Harun Nasution yang dinilainya terlalu berorientasi ke Barat. Dalam tanggapannya, Prof. Rasjidi menulis: Membaca tulisan Prof. Harun tersebut, saya menjadi sesak nafas, dan bertanya-tanya: Mengapa dengan mudah menerima segala cacian dan penghinaan kepada umat Islam. Kalau dari permulaan kita sudah bersikap: menyerah, tidak percaya diri sendiri, maka tak mungkin kita dapat mempertahankan diri kita. Kalau seorang petinju, sebelum memasuki gelanggang pertarungan, sudah menggambarkan bahwa musuhnya kuat, tak dapat dikalahkan, bahwa pukulannya sangat jitu dan berbahaya, maka mustahillah ia akan memenangkan pertandingan. Rasa kesal saya bertambah ketika membaca paragraf selanjutnya, karena paragraf itu berbunyi: Dialog itu menyadarkan bahwa persoalan

bukan semata-mata persoalan kebudayaan, tetapi adalah pula masalah agama. Rasjidi yang menyelesikan disertasi doktornya dalam studi Islam di Sorbone University, Paris, lalu memaparkan bahwa soal kebodohan dan kekotoran adalah masalah yang dihadapi oleh tiap-tiap umat beragama, bukan hanya persoalan umat Islam. Tapi, kata Rasjidi, ... hal pertama yang sangat penting adalah: Kita harus mempunyai harga diri. Dialog antara Harun dengan Madame Haidar, kata Rasjidi, Adalah dialog antara dua jiwa yang banyak persamaannya, yani jiwa yang kena cekokan dari Barat bahwa Kristen itu bersih, pandai dan mempunyai sifat-sifat yang baik, sedang Islam adalah kotor, bodoh, perangai jahat dan seterusnya. Kritik Prof. Rasjidi terhadap artikel Harun Nasution tersebut sangat penting kita telaah, sebab membuka mata kita, bahwa dalam soal pemikiran Islam, persoalannya bukan semata-mata logika, tetapi ada faktor lain yang juga perlu ditelaah, yaitu soal mental, aspek kejiwaan. Mental minder, mental rendah diri dalam melihat peradaban Barat itulah yang menjadi faktor penting, sehingga seringkali menutup seluruh logika yang sehat. Dengan posisinya sebagai Rektor IAIN Jakarta dan kemudian sebagai Direktur Program Pasca Sarjana IAIN Jakarta, Harun senantiasa dianggap sebagai peletak dasar pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, yang dilakukan melalui IAIN Jakarta. Tahun 1973, bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya dijadikan sebagai buku rujukan wajib di seluruh Perguruan Tinggi Islam. Dengan dukungan Menteri Agama Mukti Ali yang juga alumnus McGill University -- proyek pembaratan (Westernisasi) IAIN kemudian dilakukan secara sistematis. Pelan tapi pasti, sejak 35 tahun lalu (tahun 1973), kiblat studi Islam di IAIN diarahkan ke Barat. Dalam kaitan inilah, peran pusat Studi Islam McGill Kanada yang didirikan oleh Prof. Wlfred Cantwell Smith sangat signifikan. Peran besar McGill dalam pembaratan studi Islam di Indonesia dijelaskan dalam buku Paradigma Baru Pendidikan Islam, yang diterbitkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI tahun 2008. Ditulis dalam buku ini: Melalui pengiriman para dosen IAIN ke McGill dalam jumlah yang sangat masif dari seluruh Indonesia, berarti juga perubahan yang luar biasa dari titik pandang tradisional studi Islam ke arah pemikiran modern ala Barat. Perubahan yang paling menyolok terjadi pada tingkat elit. Tingkat elit inilah yang selalu menggerakkan tingkat grass root. (hal. 6, cetak tebal dan miring dari saya, Adian). Tentang peran Harun Nasution dalam pembaratan IAIN ditulis dalam buku ini: Harun Nasution mengusung pembaruan pemikiran keislaman. Dia mengenalkan multi pendekatan dan memperjuangkannya dengan sangat konsisten. Pengaruh pemikirannya sangat kuat di kalangan IAIN dan STAIN seluruh Indonesia dan masih dirasakan sampai sekarang. (hal. 7) Ditulis dalam buku ini, bahwa pembaruan Islam perlu dilakukan, karena yang menjadi masalah umat Islam Indonesia adalah bahwa sampai saat ini adalah kurang berkembangnya pandangan pluralistik atau penghargaan atas perbedaan di kalangan

umat. Pada zaman Harun, tulis buku ini, pengajaran keagamaan sangat normatif dan terpaku pada salah satu paham atau aliran pemikiran, atau bahkan kelompok atau pemikiran orang tertentu dan sangat fiqih oriented. Model pendidikan yang seperti itu dapat dipastikan akan menghasilkan lulusan yang mempunyai pemahaman dan pemaknaan agama yang sempit. Dampak negatifnya adalah kemungkinan munculnya pemahaman yang melihat segala hal yang berbeda dengan paham tersebut sebagai salah, menyimpang dan bahkan sesat. (hal. 8). Untuk melakukan pembaruan pemikiran Islam di IAIN, Harun Nasution mencari akar pembenarannya dalam teologi rasional ala Mutazilah dan mengenalkannya kepada masyarakat lewat buku dan pengajarannya di IAIN dan program pascasarjana IAIN Jakarta. Selama menjadi rektor (1973-1984) dan setelahnya sampai tahun 1990-an sebagai Direktur pada program studi lanjutan pertama yang dibuka di IAIN Jakarta, Nasution mengembangkan pemikiran Islam rasional dan menjadikan program S1 dan pasca sarjana IAIN Jakarta sebagai agen pembaharuan pemikiran dalam Islam dan tempat penyemaian gagasan-gagasan keislaman yang baru. (hal. 8). Membaca buku Paradigma Baru Pendidikan Islam yang diterbitkan Departemen Agama ini kita menjadi paham, bagaimana proyek pembaratan IAIN ini secara sistematis dijalankan selama lebih dari 30 tahun. Pemuktazilahan IAIN seperti digambarkan dalam pemikiran Harun hanyalah slogan, karena faktanya adalah pembaratan, seperti yang dibanggakan sebagai bentuk kemajuan dalam pendidikan Islam. Inilah yang dikatakan sebagai Paradigma Baru Pendidikan Islam. Jika kita membaca buku yang disusun para alumni Studi Islam McGill ini, yang dikatakan sebagai Paradigma Baru dalam pendekatan studi Islam tidak lain adalah mengikuti pendekatan studi Islam yang menekankan pada pendekatan sejarah (historis) dan bukan pendekatan normatif. Metode pendekatan sejarah ini digunakan antara lain karena kekaguman Mukti Ali terhadap gurunya di McGill, yaitu Prof. Wilfred Cantwell Smith, seperti ditulis dalam buku ini: Smith adalah sosok yang kemudian selalu dikagumi Mukti Ali karena sikap ramahnya terhadap Islam dan metodologi yang dipakainya dalam mempelajari Islam. Menurut Mukti Ali, Smith tidak hanya menarik dari sisi simpatiknya terhadap Islam tetapi juga dari pendekatan holistik yang digunakannya. Bahwa Islam tidak semata fenomena normatif, tetapi harus dipandang dari sudut lain, sebagai fakta sejarah dan sebagaimana agama-agama lain di dunia, Islam muncul dalam peradaban manusia. Maka pendekatan yang digunakan pun pendekatan kemanusiaan. Empiris kemanusiaan menjadi pendekatan yang dipilih untuk mendekati ajaran Islam dan fenomena umatnya. (hal. 10). Buku ini sebenarnya menceritakan kesuksesan proyek kerjasama McGill dengan UIN Jakarta dan UIN Yogya. Karenanya proyek ini akan diteruskan. Ada dua hal penting yang dikembangkan dalam kerjasama ini. Yaitu penyelenggaraan proram Kajian Antar Bidang dalam studi Islam (Interdisciplinary Islamic Studies/IIS) dan pengembangan kurikulum berbasis gender. Dalam IIS, yang ditekankan adalah kajian Islam yang menekankan pada konteks sosial dan historis. Oleh karena itu, kajian Islam yang memperhatikan konteks sosial dan historis serta menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu sosial sangatlah

dibutuhkan. (hal. 168). Marilah kita simak betapa naifnya alasan dan tujuan penggunaan metode studi Islam model Barat ini: Terlebih selama ini pendekatan yang digunakan dalam dunia pendidikan secara dominan masih bersifat normatif dan kurang historis. Dengan demikian, program ini akan menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki paradigma historis dalam kajian Islam. Pendekatan historis dan empirik dalam kajian agama akan dipandang penting untuk meningkatkan tradisi keilmuan dan menciptakan model pemahaman keagamaan yang bijak, demokratis dan toleran. Membaca buku ini kita menjadi lebih paham, mengapa buku-buku Studi Islam di Perguruan Tinggi saat ini semakin banyak dijejali dengan pendekatan historis ala Barat. Ternyata, memang semua ini adalah proyek pembaratan secara sistematis. Metode ini telah mengubah cara pikir begitu banyak cendekiawan yang terjebak kepada penyamaan Islam dengan agama-agama lain, dengan menempatkan Islam sebagai bagian dari produk sejarah. Padahal, Islam adalah agama wahyu yang memiliki karakter yang khas, yang berbeda dengan agama-agama lain. Al-Quran juga merupakan teks wahyu yang tidak sama dengan kitab-kitab lain yang merupakan teks manusia dan teks sejarah. Karena itu, metode pemahamannya juga tidak bisa begitu saja menggunakan pendekatan pemahaman historisitas yang serba relatif. Kita sudah beberapa kali disuguhi pemikiran yang menggelikan dari sejumlah dosen UIN/IAIN yang menggunakan metode pendekatan historis kontekstual dalam studi Islam. Misalnya, mereka menghalalkan perkawinan antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim dengan alasan hal itu tergantung konteks sejarah dan budaya Arab yang patriarki. Ada juga dosen syariah IAIN Semarang yang menggunakan pendekatan sejarah yang kemudian berpendapat bahwa mahar dalam perkawinan bisa juga diberikan oleh mempelai wanita, tergantung situasi sosial dan budayanya. Keharusan memberikan mahar bagi laki-laki, menurut dia, adalah kaena ayat Al-Quran turun di Arab yang budayanya patriarki. Menyimak semua ini tidak sulit bagi kita untuk melihat sebuah bentuk penjajahan intelektual yang sangat sistematis dalam merusak pemikiran Islam. Dengan pendekatan historis kontekstual ini, tidaklah sulit bagi kita untuk memahami, kemana arah tujuan studi Islam ala Barat ini dikembangkan. Yaitu, tirulah cara berpikir Barat yang serba relatif. Kebenaran tergantung pada situasi sosial dan budaya. Tidak ada kebenaran yang tetap. Dalam kasus aurat wanita, misalnya, akan dikatakan bahwa aurat itu fleksibel tergantung situasi sosial dan budaya. Begitu juga dalam soal-soal ajaran dan hukum Islam lainnya. Ujung-ujungnya, para mahasiswa dan sarjana digiring untuk berpikir ala Barat yang bersikap netral terhadap al-Haq dan al-Bathil; yang tidak bicara lagi soal Iman dan kufur, tauhid dan syirik, dan sebagainya. Semua itu dianggap sebagai hal normatif. Kita mengimbau kiranya pejabat dan para cendekiawan kita sadar akan kekeliruan dan bahaya besar dalam pengembangan studi Islam model Barat di perguruan Tinggi Islam. Sangat memprihatinkan jika ternyata yang disebut sebagai Paradigma Baru Studi Islam adalah Paradigma Pemikiran Modern Ala Barat seperti yang dipaparkan

dalam buku ini. Kita melihat hal yang sangat ironis. Begitu mudahnya para cendekiawan itu dicekoki pemahaman yang sangat naif dan tidak realistis bahwa masalah utama umat Islam Indonesia adalah kurangnya pemahaman Islam yang pluralis, pemahaman yang historis; bahwa kajian Islam yang normatif adalah sumber masalah, sumber intoleransi umat beragama, dan sebagainya. Karena itu, perlu digunakan ilmu-ilmu sosial Barat dalam studi Islam, agar menghasilkan pemahaman yang tidak mutlak, yang toleran, dan seterusnya! Bukankah ini logika yang naif! Bukankan Barat sendiri terbukti sangat tidak toleran, karena terus-menerus memaksakan sekularisme, liberalisme, pluralisme dan paham Barat lain kepada seluruh umat manusia. Mereka yang ingin menerapkan ajaran Islam dalam kehidupannya, yang menolak pandangan hidup Barat, secara serampangan lalu diberi cap fundamentalis, radikal, konservatif, dan seabrek julukan miring lainnya. Yang mau ikut Barat dipuji-puji sebagai kaum intelektual yang toleran, progresif, dan sebagainya. Jangan heran, jika di antara mereka, lahir orang-orang seperti Geert Wilders, sutradara film Fitna, yang menyampaikan pesan di akhir film-nya: Stop Islamization. Defend our freedom!. Peradaban seperti inikah yang disebut toleran? Dalam artikelnya di Majalah ISLAMIA (edisi 1/2004), Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, guru besar bidang pendidikan dan pemikiran Islam di Universitas Islam Internasional Malaysia, mengingatkan dampak besar penggunaan metode Barat dalam pemahaman Islam, seperti hermeneutika: Jika kita mengadopsi satu kaedah ilmiah tanpa mempertimbangkan latar-belakang sejarahnya, maka kita akan mengalami kerugian besar. Sebab kita akan meninggalkan metode kita sendiri yang telah begitu sukses membantu kita memahami sumber-sumber agama kita dan juga telah membantu kita menciptakan peradaban internasional yang unggul dan lama. Seabrek argumentasi bisa kita berikan tentang perlunya umat Islam tidak tunduk kepada metode Barat dalam memahami Islam. Tapi, seperti disampaikan Prof. HM Rasjidi saat mengkritik Prof. Harun Nasution, bahwa masalahnya bukan hanya terletak pada soal logika, tapi ada aspek kejiwaan yang terlibat di dalamnya. Ada baiknya kita hayati nasehat Pak Rasjidi, Kita harus mempunyai harga diri! [Jakarta, 11 Rabiulakhir 1429 H/18 April 2008/www.hidayatullah.com].

Virus Liberal di UIN Malang Senin, 14 April 2008


Banyak mahasiwa di kampus-kampus IAIN/UIN begitu resah melihat perkembangan pemikiran dosen-dosennya. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-231

Oleh: Adian Husaini Pada hari Ahad, 6 April 2008, dalam sebuah acara Lembaga Dakwah Kampus di Malang, Jawa Timur, sejumlah mahasiswa UIN dan STAIN dari beberapa kampus mengajukan pertanyaan kepada saya, bagaimana cara menghadapi dosen-dosen yang mengajarkan paham liberalisme. Ada yang menyatakan, bahwa di kampusnya, posisinya terjepit, karena tidak mudah untuk mengkritik dosen-dosen yang dalam mengajar jutsru menanamkan keragu-raguan terhadap Islam. Pertanyaan semacam itu sudah berulangkali dilontarkan para mahasiswa dalam berbagai kesempatan. Dan itu tidaklah aneh. Sebab, kampus-kampus saat ini memegang prinsip kebebasan berpendapat. Di kampus itu dijamin kebebasan berpendapat. Dosen berpikiran sesat atau tidak, itu bukan urusan pimpinan kampus. Tapi, dianggap urusan individu masing-masing. Ada yang beralasan, bahwa keragaman pemikiran dalam kampus adalah bagian dari kekayaan dan kebebasan akademis. Dalam pandangan Islam, tentu saja, pola pikir semacam itu tidak benar. Sebab, dalam Islam ada kewajiban melakukan amar maruf nahi munkar. Kemunkaran yang berat dalam Islam adalah kemunkaran ilmu. Dosen yang mengajarkan paham Pluralisme Agama, misalnya, jelas-jelas telah melakukan tindakan munkar, yang tidak kalah destruktifnya dibandingkan dengan dosen yang menilep uang kampus. Akibat diterapkannya asas kebebasan itulah, maka banyak mahasiswa menjadi korban. Mereka harus berjuang sendiri menyaring, mana pemikiran dosen yang keliru dan mana pemikiran yang benar. Biasanya, karena kebingungan dan tidak dapat menemukan jawaban, yang terjadi adalah sikap bingung dan apatis. Setiap hari belajar Islam, tetapi dirinya tidak kunjung mendapatkan ilmu yang meyakinkan dan menenangkan hati. Yang seringkali terjadi justru keragu-raguan, skeptis, kebingungan, dan keresahan. Kebingunan dan skeptisisme adalah buah dari penanaman paham relativisme kebenaran yang diajarkan kepada para mahasiswa. Virus ini sudah begitu luas menyebar. Seringkali orang yang mengidapnya tidak sadar. Bahkan, banyak yang bangga mengidapnya; bangga karena tidak lagi meyakini Islam sebagai suatu kebenaran. Virus ini memang tidak menyerang tubuh manusia, yang diserang adalah pikiran. Pengidap virus liberal ini biasanya sangat membanggakan akalnya dan mengecam orang Islam yang menjadikan wahyu sebagai pegangan kebenaran. Akal, kata mereka, lebih penting daripada wahyu. Mereka berpikir secara dikotomis, bahwa akal dan wahyu adalah dua entitas yang bertentangan. Jika akal bertentangan dengan wahyu, kata mereka, maka tinggalkan wahyu, dan gunakan akal. Karena mereka merelatifkan semua pemikiran yang merupakan produk akal manusia, maka jadilah mereka manusiamanusia relativis, yang tidak mengakui bahwa manusia bisa mencapai kebenaran yang hakiki yang meyakinkan (ilm). Paham yang mendewakan akal semacam ini sudah lama ditanamkan di Perguruan Tinggi Islam. Pelopornya adalah Prof. Harun Nasution. Seperti dikatakan sendiri oleh Harun Nasution, bahwa misi dia dalam melakukan pembaruan pemikiran dan kurikulum di IAIN adalah mengembangkan paham Mutazilah di IAIN. Dalam buku Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution , Harun Nasution

mengatakan: Sejak awal di McGill, aku sudah melihat pemikiran Muktazilah maju sekali. Kaum Muktazilah-lah yang bisa mengadakan satu gerakan pemikiran dan peradaban Islam. Selanjutnya malah mendirikan universitas di Eropa. Ini yang membuatku berfikir: kalau Islam zaman dulu begitu, mengapa Islam sekarang tidak. Sebaiknya Islam zaman sekarang lebih didorong lagi ke sana. Sejak itu harapanku cuma satu: pemikiran Asyariyah mesti diganti dengan pemikiranpemikiran Muktazilah, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional. Atau dalam istilah sekarang, metodologi rasional Muktazilah. Sebaliknya, metodologi tradisional Asyariyah harus diganti. Sejak awal tahun 1970-an sebenarnya sudah banyak yang memberikan kritik terhadap pemikiran Harun Nasution. Salah satu kritik yang serius diberikan oleh senior Harun Nasution di McGill, yaitu Prof. Dr. HM Rasjidi. Tetapi, kritik Rasjidi dianggap angin lalu. Proyek Muktazilahisasi IAIN pun sebenarnya hanya batu pijakan untuk melakukan Westernisasi IAIN, sebab pemikiran yang dikembangkan kemudian, bukanlah benarbenar pemikiran Muktazilah, tetapi pemikiran Islam ala Barat. Karena itulah, kini, dengan mudah kita bisa mengamati, luasnya peredaran virus lieral ini. Virus! Sekecil apa pun dia, tetaplah virus. Dia mempunyai daya yang merusak seluruh jasad. Virus pemikiran ini pun tidak berbeda hakekatnya dengan virus penyakit yang mempunyai daya rusak yang tinggi terhadap jasad. Jika pikiran seseorang sudah dirusak oleh virus liberal, maka dia pun otomatis akan menjadi penyebar virus yang sama ke pada orang lain. Saat berada di Kota Malang, 6 April 2008 itu, saya menemukan sebuah buku berjudul Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama Seri Ensiklopedia Islam dan Sains, terbitan Lembaga Kajian Al-Quran dan Sains (LKQS) Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 2006. Inilah salah satu lembaga yang diandalkan oleh UIN Malang untuk mengeluarkan konsep-konsep yang Qurani. Kita berharap, mudah-mudahan UIN Malang benar-benar menjadi kampus Islam yang serius dalam menegakkan konsep keilmuan Islam dan menerapkannya dalam kehidupa akademis di kampusnya. Kita berharap, dari kampus-kampus Islam akan lahir cendekiawan-cendekiawan Muslim yang mumpuni keilmuannya dan memiliki keyakinan dan komitmen yang kuat dalam perjuangan menegakkan kebenaran. Untuk meraih cita-cita itu, maka para dosen dan khususnya pimpinan kampus Islam perlu sangat serius dalam merumuskan konsep keilmuan Islam dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari di kampusnya. Sebagai layaknya seorang yang menanam padi, maka petani bukan hanya harus rajin memupuk dan merawat tanamannya, tetapi pada saat yang sama, juga harus menjaga tanamannya dari serangan hama yang merusak tanaman. Adalah aneh, jika ada petani yang rajin memupuk padinya, tetapi membiarkan saja tanamannya dimangsa tikus, ulat tanaman, atau jenis-jenis hama lainnya. Virusvirus liberal yang bergentayangan di dunia kampus dan masyarakat saat ini tak ubahnya seperti hama yang menggerogoti tanaman.

Jika kita telaah buku Intelektualisme Islam terbitan UIN Malang ini, kita mendapati pemikiran yang kontradiktif. Banyak pemikiran yang baik, tetapi sekaligus juga pemikiran yang merusak. Antara obat dan racun dipadukan menjadi satu. Salah satu artikel yang berisi racun pemikiran berjudul, Pengembangan Ilmu Agama Islam Berbasis Integrasi, ditulis oleh seorang dosen UIN Malang yang menyelesaikan pendidikan S-1 dan S-2 di UIN Yogyakarta. Mengikuti garis pemikiran Harun Nasution, dosen UIN Malang ini juga memuji habishabisan paham Muktazilah dan mencaci maki paham Ahlu Sunnah dan para tokohnya. Simaklah kutipan dari artikel tersebut: Matinya filsafat di dalam tradisi pemikiran Islam menunjukkan, secara implisit, hilangnya otoritas kelompok muktazilah dalam mengendalikan pemerintahan, karena ia satu-satunya aliran yang mengagungkan akal. Mereka digantikan oleh kelompok sunni yang lebih menjunjung tinggi wahyu dari pada akal. Watak pemikiran sunni yang anti akal, pada giliran selanjutnya, menjelma ke dalam bentuk propaganda anti-filsafat dan filsafat bertentangan dengan agama. Maka tidak heran jika kemudian muncul tokoh semisal sang hujjah al-Islam, Imam al-Ghazali, seorang tokoh besar dari kalangan sunni, sangat anti filsafat, meskipun sebelumnya ia termasuk pecinta filsafat. Bukunya Tahafut al-Falasifah merupakan bukti sejarah atas ketidaksenangannya terhadap filsafat Propaganda seperti itu semakin mendapat justifikasi di tangan seorang ahli fiqih yang juga tokoh sunni, Imam Syafii, dengan kitabnya ar-Risalah. Sejak saat itu, terjadi penyeragaman pemikiran keagamaan. Lewat karya itu, nalar agama diresmikan. Ketika kita bicara tentang Islam dan bagaimana cara untuk menyelesaikan persoalan yang muncul di muka bumi, maka semua jawabannya ada di dalam Al-Quran, sebuah ortodoksi keagamaan yang dipaksakan. (hal. 279-280). Begitulah pendapat seorang dosen UIN Malang tentang Muktazilah dan Ahlu Sunnah. Kita mungkin bertanya, virus apa yang menjangkiti dosen UIN Malang itu, sampai begitu rupa menjadi pemuja Muktazilah dan menistakan Ahlu Sunnah? Padahal, dia adalah alumnus pesantren Ihyaul Ulum Dukun Gresik, -- satu pesantren NU yang tentunya berpaham Ahlu Sunnah, dan bukan Muktazilah. Kita bisa menebak, si dosen ini terjangkit virus liberal semacam ini di tempat dia menimba ilmu, yaitu di UIN Yogya. Jika kita mau menggunakan akal kita sedikit saja, maka kita dengan mudah dapat menemukan bahwa pemikiran dosen UIN Malang tersebut tentang Muktazilah dan Ahlu Sunnah adalah asbun. Menyebut bahwa watak pemikiran sunni adalah anti akal adalah sangat keterlaluan. Jawaban-jawaban kaum Sunni terhadap pemikiran-pemikiran Muktazilah adalah jawaban-jawaban yang menggunakan akal, dan bukan menggunakan dengkul. Peneliti INSISTS, Henri Shalahuddin MA -- yang menulis skripsi (di ISID Gontor) tentang Muktazilah dan tesis Masternya (di IIUM) tentang al-Ghazali -- telah menerbitkan sejumlah makalahnya tentang kekeliruan pemikiran Harun Nasution dalam soal Muktazilah dan Ahlu Sunnah. Misalnya, dalam permasalahan tentang rasionalitas baik dan buruk (al-Husnu wa l-qubhu aqliyani) yang menjadi perdebatan antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah. Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H) menyatakan, bahwa

perbedaan antara Muktazilah dan Ahlu Sunnah bukan pada soal kemampuan akal, apakah ia dapat mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan. Sebab keduanya sepakat bahwa akal manusia dapat mengetahuinya. Namun yang menjadi perdebatan adalah apakah suatu perbuatan yang berhak mendapatkan pahala atau siksa kelak di Akhirat, ditetapkan oleh akal atau wahyu? Tokoh-tokoh Mu'tazilah, seperti Abu l-Hudzail al-'Allaf, Ibrahim al-Nazhzham dan alQadhi 'Abd al-Jabbar berpendapat bahwa sebelum datangnya wahyu, manusia tetap wajib mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi hal-hal buruk, sesuai dengan kemampuan akalnya. Sedangkan menurut Imam Asy'ari, pahala dan siksa hanya bisa ditetapkan dengan wahyu. Beliau mengutip ayat Al-Quran, antara lain: "...dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul" (QS. Isra': 15). Jadi, dalam menjawab argumementasi Muktazilah, Asyari juga menggunakan akal. Tetapi, akal yang tidak lepas begitu saja dari wahyu. Dalam kajiannya terhadap pemikiran Harun tentang Muktazilah, Henri Shalahuddin menyimpulkan: Klaim Prof. Dr. Harun Nasution tentang rasionalisme Mu'tazilah dengan menafikan sisi rasionalitas paham Asy'ariyah, tidaklah tepat. Golongan Mu'tazilah yang diklaim paham yang paling rasional oleh Harun, sejatinya tidaklah demikian. Bahkan, Mu'tazilah seringkali membebani akal melebihi kapasitasnya, sehingga berlaku arogan di depan Sang Khalik. Seperti mewajibkan Tuhan mengutus Rasul, memberikan pahala atau siksa sesuai amal perbuatan manusia, membuat "kebijakan sendiri" kategori masuk surga atau neraka dan sebagainya. Tentang kedudukan akal dan wahyu, dalam kitabnya, al-Iqtishad fi l-I'tiqad, al-Ghazali membuat gambaran yang indah: "Perumpamaan akal adalah laksana penglihatan yang sehat dan tidak cacat. Sedangkan perumpamaan Al-Qur'an adalah seperti matahari yang cahayanya tersebar merata, hingga memberi kemudahan bagi para pencari petunjuk. Amatlah bodoh jika seseorang mengabaikan salah satunya. Orang yang menolak akal dan merasa cukup dengan petunjuk Al-Qur'an, seperti orang yang mencari cahaya matahari tapi memejamkan matanya. Maka orang ini tidak ada bedanya dengan orang buta. Akal bersama wahyu adalah cahaya di atas cahaya. Sedangkan orang yang memperhatikan pada salah satunya saja dengan mata sebelah (picak, red), niscaya akan terperdaya". Menistakan kemampuan dan peran kaum sunni dalam membangun peradaban Islam juga sangat a-historis. Kaum sunni telah terbukti dalam sejarah mampu mewujudkan peradaban Islam yang hebat. Yang membawa Islam ke berbagai pelosok dunia, termasuk ke wilayah Nusantara adalah kaum Sunni, bukan kaum Muktazilah. Karena itu, adalah berlebihan dan tidak beradab terlalu mudah mencaci maki kaum Sunni dan tokohtokohnya seperti Imam al-Ghazali, Imam al-Syafii, dan sebagainya. Sebagai gantinya, seperti kita baca dalam artikelnya, dosen UIN Malang ini pun akhirnya taklid buta pada tokoh-tokoh liberal seperti Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun. Sebagai pengidap virus liberal, dosen semacam ini juga aktif menyebarkan virusnya, baik melalui pengajaran maupun tulisan. Sebagai salah satu kampus yang membawa nama Islam, seyogyanya UIN Malang juga peduli dengan virus-virus liberal yang merusak

pemikiran mahasiswanya. Kita sebenarnya kasihan dengan dosen muda semacam ini. Pintar tapi keliru. Tapi, kita tahu, dia pun sebenarnya juga merupakan korban virus, yang mungkin tidak dia sadari. Kita juga kasihan kepada mahasiswanya. Belum jadi apa-apa nanti sudah rajin memaki-maki para ulama yang alim, shalih, begitu besar jasanya terhadap Islam. Sebagai bagian dari umat Islam, kita wajib mengingatkan mereka. Mudah-mudahan pimpinan kampus UIN Malang mau peduli dengan masalah pemikiran semacam ini. Kita semua akan bertanggung jawab di hadapan Allah, kelak di Hari Kiamat. [ Depok, 4 Rabiulakhir 1429 H/11 April 2008/www.hidayatullah.com]

"Prof UIN Jakarta Halalkan Homoseksual Selasa, 01 April 2008


Professor UIN berpendapat, katanya Islam mengakui homoseksualitas. Dulu ia pernah mendapat puja-puji Amerika. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-230 Oleh: Adian Husaini

Harian The Jakarta Post, edisi Jumat (28/3/2008) pada halaman mukanya menerbitkan sebuah berita berjudul Islam 'recognizes homosexuality' (Islam mengakui homoseksualitas). Mengutip pendapat dari Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, guru besar di UIN Jakarta, koran berbahasa Inggris itu menulis bahwa homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam. (Homosexuals and homosexuality are natural and created by God, thus permissible within Islam). Menurut Musdah, para sarjana Muslim moderat berpendapat, bahwa tidak ada alasan untuk menolak homoseksual. Dan bahwasanya pengecaman terhadap homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan ulama aurus utama dan kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam. Tepatnya, ditulis oleh Koran ini: Moderate Muslim scholars said there were no reasons to reject homosexuals under Islam, and that the condemnation of homosexuals and homosexuality by mainstream ulema and many other Muslims was based on narrow-

minded interpretations of Islamic teachings. Mengutip QS 49 ayat 3, Musdah menyatakan, salah satu berkah Tuhan adalah bahwasanya semua manusia, baik laki-laki atau wanita, adalah sederajat, tanpa memandang etnis, kekayaan, posisi social atau pun orientasi seksual. Karena itu, aktivis liberal dan kebebasan beragama dari ICRP (Indonesia Conference of Religions and Peace) ini, Tidak ada perbedaan antara lesbian dengan non-lesbian. Dalam pandangan Tuhan, manusia dihargai hanya berdasarkan ketaatannya. (There is no difference between lesbians and nonlesbians. In the eyes of God, people are valued based on their piety). Demikian pendapat guru besar UIN Jakarta ini dalam diskusi yang diselenggarakan suatu organisasi bernama Arus Pelangi, di Jakarta, Kamis (27/3/2008). Menurut Musdah Mulia, intisari ajaran Islam adalah memanusiakan manusia dan menghormati kedaulatannya. Lebih jauh ia katakan, bahwa homoseksualitas adalah berasal dari Tuhan, dan karena itu harus diakui sebagai hal yang alamiah. The Jakarta Post juga mengutip pendapat seorang pembicara bernama Nurofiah, yang menyatakan, bahwa pandangan dominan dalam masyarakat Islam tentang heterogenitas adalah sebuah konstruksi sosial, sehingga berakibat pada pelarangan homoseksualitas oleh kaum mayoritas. Ini sama dengan kasus bias gender akibat dominasi budaya patriarki. Karena itu, katanya, akan berbeda jika yang berkuasa adalah kaum homoseks. Lebih tepatnya, dikutip ucapan aktivis gender ini: "Like gender bias or patriarchy, heterogeneity bias is socially constructed. It would be totally different if the ruling group was homosexuals." Diskusi tentang homoseksual itu pun menghadirkan pembicara dari Majelis Ulama Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia. Kedua organisasi ini, oleh The Jakarta Post, sudah dicap sebagai kelompok Muslim konservatif. Ditulis oleh Koran ini: Condemnation of homosexuality was voiced by two conservative Muslim groups, the Indonesian Ulema Council (MUI) and Hizbut Thahir Indonesia (HTI). Amir Syarifuddin, pengurus MUI, menyatakan bahwa praktik homoseksual adalah dosa. Kami tidak akan menganggap homoseksualitas sebagai musuh, tetapi kami akan membuat mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah, kata Amir Syarifudin. Demikianlah berita tentang penghalalan homoseksual oleh sejumlah aktivis liberal, sebagaimana dikutip oleh The Jakarta Post. Jika kita rajin menyimak perkembangan pemikiran liberal, baik di kalangan Yahudi, Kristen, maupun Islam, maka kita tidak akan heran dengan berita yang dimuat di Harian The Jakarta Post ini. Kaum Yahudi Liberal, juga Kristen Liberal, sudah lama menghalalkan perkawinan sesama jenis. Bahkan, banyak cendekiawan dan tokoh agama mereka yang sudah secara terbuka mendeklarasikan sebagai orang-orang homoseks dan lesbian. Banyak diantara mereka yang bahkan sudah menyelenggarakan perkawinan sesama jenis di dalam tempat ibadah mereka masing-masing.

Bagi kaum Yahudi dan Kristen liberal, hal seperti itu sudah dianggap biasa. Mereka juga menyatakan, bahwa apa yang mereka lakukan adalah sejalan dengan ajaran Bibel. Mereka pun menuduh kaum Yahudi dan Kristen lain sebagai ortodoks, konservatif dan sejenisnya, karena tidak mau mengakui dan mengesahkan praktik homoseksual. Gereja Katolik, misalnya, tetap mempertahankan doktrinnya yang menolak praktik homoseksual. Tahun 1975, Vatikan mengeluarkan keputusan bertajuk The Vatican Declaration on Sexual Ethics. Isinya, antara lain menegaskan: It (Scripture) does attest to the fact that homosexual acts are intrinsically disordered and can in no case be approved of. Dalam Pidatonya pada malam Tahun Baru 2006, Paus Benediktus XVI juga menegaskan kembali tentang terkutuknya perilaku homoseksual. Dalam Islam, soal homoseksual ini sudah jelas hukumnya. Meskipun sudah sejak dulu ada orang-orang yang orientasi seksualnya homoseks, ajaran Islam tetap tidak berubah, dan tidak mengikuti hawa nafsu kaum homo atau pendukungnya. Tidak ada ulama atau dosen agama yang berani menghalalkan tindakan homoseksual, seperti yang dilakukan oleh Prof. Siti Musdah Mulia dari UIN Jakarta tersebut. Nabi Muhammad saw bersabda, Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut. (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah. Sejak terbitnya Jurnal Justisia dari Fakultas Syariah IAIN Semarang (edisi 25, Th XI, 2004), yang menghalalkan homoseksual, kita sudah mengingatkan para pimpinan kampus Islam agar lebih serius dalam menangani penyebaran paham liberal di kampus mereka. Sebab, virus liberal ini semakin menampakkan daya rusaknya terhadap aqidah dan pemikiran Islam. Ironisnya, fenomena ini justru digerakkan dari sejumlah akademisi di kampus-kampus berlabel Islam. Kita ingat kembali, bahwa dalam Jurnal Justisia tersebut, dilakukan kampanye besarbesaran untuk mengesahkan perkawinan homoseksual. Jurnal itu kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005). Dalam buku tersebut dijelaskan strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia, yaitu (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita. (hal. 15) Sebagaimana Prof. Musdah Mulia, para penulis dalam buku itu pun mengecam keras pihak-pihak yang masih mengharamkan homoseksual. Seorang penulis dalam buku ini,

misalnya, menyatakan, bahwa pengharaman nikah sejenis adalah bentuk kebodohan umat Islam generasi sekarang karena ia hanya memahami doktrin agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas doktrin tersebut. Si penulis kemudian mengaku bersikap kritis dan curiga terhadap motif Nabi Luth dalam mengharamkan homoseksual, sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran surat al-Araf : 80-84 dan Hud :77-82). Semua itu, katanya, tidak lepas dari faktor kepentingan Luth itu sendiri, yang gagal menikahkan anaknya dengan dua laki-laki, yang kebetulan homoseks. Ditulis dalam buku ini sebagai berikut: Karena keinginan untuk menikahkan putrinya tidak kesampaian, tentu Luth amat kecewa. Luth kemudian menganggap kedua laki-laki tadi tidak normal. Istri Luth bisa memahami keadaan laki-laki tersebut dan berusaha menyadarkan Luth. Tapi, oleh Luth, malah dianggap istri yang melawan suami dan dianggap mendukung kedua laki-laki yang dinilai Luth tidak normal. Kenapa Luth menilai buruk terhadap kedua laki-laki yang kebetulan homo tersebut? Sejauh yang saya tahu, Al-Quran tidak memberi jawaban yang jelas. Tetapi kebencian Luth terhadap kaum homo disamping karena faktor kecewa karena tidak berhasil menikahkan kedua putrinya juga karena anggapan Luth yang salah terhadap kaum homo. (hal. 39) Padahal, tentang Kisah Nabi Luth a.s. Al-Quran sudah memberikan gambaran jelas bagaimana terkutuknya kaum Nabi Luth yang merupakan pelaku homoseksual ini: Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu. (QS Al-Araf:80-84). Karena itu, para mufassir Al-Quran selama ratusan tahun tidak ada yang berpendapat seperti anak-anak syariah dari IAIN Semarang itu atau seperti Prof. Musdah Mulia yang berani menghalalkan homoseksual. Gerakan legalisasi homoseksual yang dilakukan oleh kaum liberal di Indonesia sebenarnya sudah melampaui batas. Bagi umat Islam, hal seperti ini merupakan sesuatu yang tidak terpikirkan (unthought). Bagaimana mungkin, dari kampus berlabel Islam justru muncul dosen dan mahasiswa yang berani menghalalkan homoseksual, suatu tindakan bejat yang selama ribuan tahun dikutuk oleh agama. Gerakan legalisasi homoseksual dari lingkungan kampus Islam tidak bisa dipandang sebelah mata. Tindakan ini merupakan kemungkaran yang jauh lebih bahaya dari gerakan legalisasi homoseks yang selama ini sudah gencar dilakukan kaum homoseksual sendiri. Dalam catatan penutup buku karya anak-anak Fakultas Syariah IAIN Semarang tersebut, dimuat tulisan berjudul Homoseksualitas dan Pernikahan Gay: Suara dari IAIN . Penulisnya, mengaku bernama Mumu, mencatat, Ya, kita tentu menyambut gembira

upaya yang dilakukan oleh Fakultas Syariah IAIN Walisongo tersebut. Juga dikatakan dalam buku tersebut: Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan. Logika ini sejalan dengan jalan pemikiran Musdah Mulia yang menyatakan bahwa pelarangan homoseksual hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam. Barangkali, seperti dikatakan Nurofiah, jika suatu ketika nanti kaum homoseksual sudah menjadi dominan, maka mereka akan memandang bahwa kaum heteroseksual adalah suatu kelainan. Inilah pandangan yang keblinger, yang lahir dari kekeliruan berpikir. Sebagaimana kasus perkawinan antara muslimah dan laki-laki non-Muslim yang didukung dan dipenghului oleh sejumlah dosen UIN Jakarta, kita patut khawatir, bahwa para akademisi liberal itu semakin menjadi-jadi tindakannya, dengan menjadi penghulu bagi perkawinan sesama jenis. Kita berharap hal itu tidak terjadi, meskipun Prof. Dr. Musdah Mulia sudah melontarkan pendapatnya tentang homoseksual secara terbuka di media massa. Memang, jika orang sudah hilang rasa malunya, maka dia akan berbuat semaunya sendiri. Mungkin dia merasa sudah hebat, sudah jadi guru besar pemikiran Islam di suatu kampus Islam terkenal. Selama ini pun, orang-orang terdekatnya pun tidak mampu menghentikan kegiatannya. Namun, jika kita ikuti kisah perjalanan intelektual Prof. Musdah Mulia, kita sebenarnya tidak terlalu heran. Sejak awal, cara berpikirnya sudah kacau. Dia seenaknya sendiri mengubah-ubah hukum Islam, untuk disesuaikan dengan cara pandang dan cara hidup Barat. Tidak aneh, jika karena sepak terjangnya yang seperti itu, tahun lalu, pada Hari Perempuan Dunia tanggal 8 Maret 2007, Musdah Mulia menerima penghargaan International Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice di kantor kementerian luar negeri Amerika Serikat (AS), Washington. Ia dianggap sukses menyuarakan, membela dan mengembalikan hak perempuan di mata agama dengan cara melakukan 'pembaruan hukum Islam' termasuk-- undang-undang perkawinan. Mungkin, setelah mendukung praktik homoseksual ini, dia akan mendapatkan pujian dan penghargaan jauh lebih tinggi lagi dari "kalangan tertentu." Kita tunggu saja! [Depok, 30 Maret 2008/www.hidayatullah.com]

Kritik Pesantren Sidogiri terhadap Quraish Shihab Sabtu, 22 Maret 2008


Di tengah malasnya tradisi ilmiah, buku terbitan Pesantren Sidogiri tentang ukhuwah Sunni-Syiah patut diacungi jempol. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-229 Oleh: Adian Husaini Belum lama ini saya menerima kiriman berupa sebuah buku terbitan Pondok Pesantren

Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Judulnya cukup panjang: Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?) Penulisnya adalah Tim Penulis Buku Pustaka SIDOGIRI, Pondok Pesantren Sidogiri, yang dipimpin seorang anak muda bernama Ahmad Qusyairi Ismail. Membaca buku ini halaman demi halaman, muncul rasa syukur yang sangat mendalam. Bahwa, dari sebuah pesantren yang berlokasi di pelosok Jawa Timur, terlahir sebuah buku ilmiah yang bermutu tinggi, yang kualitas ilmiahnya mampu menandingi buku karya Prof. Dr. Quraish Shihab yang dikritik oleh buku ini. Buku dari Pesantren Sidogiri ini terbilang cukup cepat terbitnya. Cetakan pertamanya keluar pada September 2007. Padahal, cetakan pertama buku Quraish Shihab terbit pada Maret 2007. Mengingat banyaknya rujukan primer yang dikutip dalam buku ini, kita patut mengacungi jempol untuk para penulis dari Pesantren tersebut. Salah satu kesimpulan Quraish Shihab dalam bukunya ialah, bahwa Sunni dan Syiah adalah dua mazhab yang berbeda. Kesamaan-kesamaan yang terdapat pada kedua mazhab ini berlipat ganda dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan dan sebabsebabnya. Perbedaan antara kedua mazhab dimana pun ditemukan adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul (prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak juga dan Rukun-rukun Islam. (Cetakan II, hal. 265). Berbeda dengan Quraish Shihab, pada bagian sampul belakang buku terbitan Pesantren Sidogiri, dikutip sambutan KH. A. Nawawi Abdul Djalil, pengasuh Pesantren Sidogiri yang menegaskan: Mungkin saja, Syiah tidak akan pernah habis sampai hari kiamat dan menjadi tantangan utama akidah Ahlusunnah. Oleh karena itu, kajian sungguh-sungguh yang dilakukan anak-anak muda seperti ananda Qusyairi dan kawan-kawannya ini, menurut saya merupakan langkah penting untuk membendung pengaruh aliran sesat semacam Syiah. Berikut ini kita kutip sebagian kritik dari Pesantren Sidogiri terhadap Quraish Shihab (selanjutnya Quraish Shihab disingkat QS dan Pondok Pesantren Sidogiri disingkat PPS). Kutipan dan pendapat QS dan PPS diambil dari buku mereka masing-masing. 1. Tentang Abdullah bin Saba. QS: Ia adalah tokoh fiktif yang diciptakan para anti-Syiah. Ia (Abdullah bin Saba) adalah sosok yang tidak pernah wujud dalam kenyataan. Thaha Husain ilmuwan kenamaan Mesir adalah salah seorang yang menegaskan ketiadaan Ibnu Saba itu dan bahwa ia adalah hasil rekayasa musuh-musuh Syiah. (hal. 65). PPS: Bukan hanya sejarawan Sunni yang mengakui kebaradaan Abdullah bin Saba. Sejumlah tokoh Syiah yang diakui ke-tsiqah-annya oleh kaum Syiah juga mengakui kebaradaan Abdullah bin Saba. Saad al-Qummi, pakar fiqih Syiah abad ke-3, misalnya, malah menyebutkan dengan rinci para pengikut Abdullah bin Saba, yang dikenal dengan sekte Sabaiyah. Dalam bukunya, al-Maqalat wa al-Firaq, (hal. 20), al-Qummi menyebutkan, bahwa Abdullah bin Saba adalah orang memunculkan ide untuk mencintai Sayyidina Ali secara berlebihan dan mencaci maki para sahabat Nabi lainnya, khususnya Abu Bakar, Umar, dan Utsman r.a. Kisah tentang Abdullah bin Saba juga

dikutip oleh guru besar Syiah, An-Nukhbati dan al-Kasyi, yang menyatakan, bahwa, para pakar ilmu menyebutkan bahwa Abdullah bin Saba adalah orang Yahudi yang kemudian masuk Islam. Atas dasar keyahudiannya, ia menggambarkan Ali r.a. setelah wafatnya Rasulullah saw sebagai Yusya bin Nun yang mendapatkan wasiat dari Nabi Musa a.s. Kisah Abdullah bin Saba juga ditulis oleh Ibn Khaldun dalam bukunya, Tarikh Ibn Khaldun. (hal. 44-46). 2. Tentang hadits Nabi saw dan Abu Hurairah r.a.: QS: Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan satu keharusan. Disamping itu semua, harus diakui juga bahwa tingkat kecerdasan dan kemampuan ilmiah, demikian juga pengenalan Abu Hurairah r.a. menyangkut Nabi saw berada di bawah kemampuan sahabat-sahabat besar Nabi saw, atau istri Nabi, Aisyah r.a. (hal. 160). QS: Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar hadits Ahlusunnah tidak meriwayatkan dari imam-imam mereka. Imam Bukhari, misalnya, tidak meriwayatkan satu hadits pun dari Jafar ash-Shadiq, Imam ke-6 Syiah Imamiyah, padahal hadits-haditsnya cukup banyak diriwayatkan oleh kelompok Syiah. (hal. 150). PPS: Sejatinya, melancarkan suara-suara miring terhadap sahabat pemuka hadits sekaliber Abu Hurairah r.a. dengan menggunakan pendekatan apa pun, tidak akan pernah bisa meruntuhkan reputasi dan kebesaran beliau, sebab sudah pasti akan bertentangan dengan dalil-dalil hadits, pengakuan para pemuka sahabat dan pemuka ulama serta realitas sejarah. Jawaban untuk secuil sentilan terhadap Abu Hurairah r.a. sejatinya telah dilakukan oleh para ulama secara ilmiah dan rasional. Banyak buku-buku yang ditulis oleh para ulama khusus untuk membantah tudingan miring terhadap sahabat senior Nabi saw tersebut, diantaranya adalah al-Burhan fi Tabriat Abi Hurairah min al-Buhtan yang ditulis oleh Abdullah bin Abdul Aziz bin Ali an-Nash, Dr. Al-Azhami dalam Abu Hurairah fi Dhaui Marwiyatih, Muhammad Abu Shuhbah dalam Abu Hurairah fi al-Mizan, Muhammad Ajjaj al-Khatib dengan bukunya Abu Hurairah Riwayat al-Islam dan lain-lain. Dalam Bidayah wa an-Nihayah, Ibn Katsir mengatakan, bahwa Abu Hurairah r.a. merupakan sahabat yang paling kuat hafalannya, kendati beliau bukan yang paling utama. Imam Syafii juga menyatakan, Abu Hurairah r.a. adalah orang yang memiliki hafalan paling cemarlang dalam meriwayatkan hadits pada masanya. (hal. 320-322). Karena kuatnya bukti-bukti keutamaan Abu Hurairah, maka PPS menegaskan: Dengan demikian, maka keagungan, ketekunan, kecerdasan dan daya ingat Abu Hurairah tidak perlu disangsikan, dan karena itulah posisi beliau di bidang hadits demikian tinggi tak tertandingi. Yang perlu disangsikan justru kesangsian terhadap Abu Hurairah r.a. seperti ditulis Dr. Quraish Shihab: Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan satu keharusan. (hal. 322). Pernyataan seperti yang dilontarkan oleh Dr. Quraish Shihab tersebut sebetulnya hanya muncul dari asumsi-asumsi tanpa dasar dan tidak memiliki landasan ilmiah sama sekali.

Sebab jelas sekali jika beliau telah mengabaikan dalil-dalil tentang keutamaan Abu Hurairah dalam hadits-hadits Nabi saw, data-data sejarah dan penelitian sekaligus penilaian ulama yang mumpuni di bidangnya (hadits dan sejarah). Kekurangcakapan Dr. Quraish Shihab di bidang hadits semakin tampak, ketika beliau justru menjadikan buku Mahmud Abu Rayyah, Adhwa ala Sunnah Muhammadiyah, sebagai rujukan dalam upaya menurunkan reputasi Abu Hurairah r.a. Padahal, semua pakar hadits kontemporer paham betul akan status dan pemikiran Abu Rayyah dalam hadits. (hal. 322-323). Tentang banyaknya hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a., Dr. al-Azhami melakukan penelitian, bahwa jumlah 5.000 hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah adalah jika dihitung hadits yang substansinya diulang-ulang. Jika penghitungan dilakukan dengan mengabaikan hadits-hadits yang diulang-ulang substansinya, maka hadits dari Abu Hurairah yang ada dalam Musnad dan Kutub as-Sittah tinggal 1336 saja. Nah, kadar ini, kata Ali as-Salus, bisa dihafal oleh pelajar yang tidak terlalu cerdas dalam waktu kurang dari satu tahun. Bagaimana dengan Abu Hurairah, yang merupakan bagian dari mujizat kenabian? (hal. 324). Memang dalam pandangan Syiah, seperti dijelaskan oleh Muhammad Husain Kasyif alGhitha (tokoh Syiah kontemporer yang menjadi salah satu rujukan kaum Syiah masa kini), yang juga dikutip oleh QS: Syiah tidak menerima hadits-hadits Nabi saw kecuali yang dianggap sah dari jalur Ahlul bait. Sementara hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Amr bin Ash dan sesamanya, maka dalam pandangan Syiah Imamiyah, mereka tidak memiliki nilai walau senilai nyamuk sekalipun. (hal. 313). PPS juga menjawab tuduhan bahwa Ahlusunnah diskriminatif, karena tidak mau meriwayatkan hadits dari Imam-imam Syiah. Pernyataan semacam itu hanyalah suatu prasangka belaka dan tidak didasari penelitian ilmiah apa pun. Dalam kitab-kitab Ahlusunnah, riwayat-riwayat Ahlul Bait begitu melimpah. Imam Bukhari memang tidak meriwayatkan hadits dari Imam Jafar ash-Shadiq, dengan berbagai alasan, terutama karena banyaknya hadits palsu yang disandarkan kaum Syiah kepada Jafar ash-Shadiq. Bukan karena Imam Bukhari membencinya. Bukhari juga tidak meriwayatkan hadits dari Imam Syafii dan Ahmad bin Hanbal, bukan karena beliau membenci mereka. (hal. 324330). 3. Tentang pengkafiran Ahlusunnah: QS: Apa yang dikemukakan di atas sejalan dengan kenyataan yang terlihat, antara lain di Makkah dan Madinah, di mana sekian banyak penganut aliran Syiah Imamiyah yang shalat mengikuti shalat wajib yang dipimpin oleh Imam yang menganut mazhab Sunni yang tentunya tidak mempercayai imamah versi Syiah itu. Seandainya mereka menilai orang-orang yang memimpin shalat itu kafir, maka tentu saja shalat mereka tidak sah dan tidak juga wajar imam itu mereka ikuti. (hal. 120). PPS: Memperhatikan tulisan Dr. Quraish Shihab di atas, seakan-akan Syiah yang sesungguhnya memang seperti apa yang digambarkannya (tidak menganggap Ahlusunnah kafir dan najis). Akan tetapi siapa mengira bahwa faktanya tidak seperti penggambaran Dr. Quraish Shihab? Jika kita merujuk langsung pada fatwa-fatwa ulama Syiah, maka akan tampak bahwa sebetulnya Dr. Quraish Shihab hendak mengelabui

pemahaman umat Islam akan hakikat Syiah. Bahwa sejatinya, Syiah tetap Syiah. Apa yang mereka yakini hari ini tidak berbeda dengan keyakinan para pendahulu mereka. Dalam banyak literatur Syiah dikemukakan, bahwa orang-orang Syiah yang shalat di belakang (menjadi makmum) imam Sunni tetap dihukumi batal, kecuali dengan menerapkan konsep taqiyyah... Suatu ketika, tokoh Syiah terkemuka, Muhammad alUzhma Husain Fadhlullah, dalam al-Masail Fiqhiyyah, ditanya: Bolehkah kami (Syiah) shalat bermakmum kepada imam yang berbeda mazhab dengan kami, dengan memperhatikan perbedaa-perbedaan di sebagian hukum antar shalat kita dan shalat mereka? Muhammad Husain Fadhlullah menjawab: Boleh, asalkan dengan menggunakan taqiyyah. (348-349). Seorang dai Syiah, Muhammad Tijani, mengungkapkan, bahwa Mereka (orang-orang Syiah) seringkali shalat bersama Ahlusunnah wal Jamaah dengan menggunakan taqiyyah dan bergegas menyelesaikan shalatnya. Dan barangkali kebanyakan mereka mengulangi shalatnya ketika pulang. (hal. 350-351). Banyak sekali buku-buku referensi utama kaum Syiah yang dirujuk dalam buku terbitan PPS ini. Karena itu, mereka juga menolak pernyataan Dr. Quraish Shihab bahwa yang mengkafirkan Ahlusunnah hanyalah pernyataan orang awam kaum Syiah. PPS juga mengimbau agar umat Islam berhati-hati dalam menerima wacana Persatuan umat Islam dari kaum Syiah. Sebab, mereka yang mengusung persatuan, ternyata dalam kajiannya justru memojokkan Ahlusunnah dan memposisikannya di posisi zalim, sementara Syiah diposisikan sebagai yang terzalimi. Buku terbitan PPS ini memang banyak memuat fakta dan data tentang ajaran Syiah, baik klasik maupun kontemporer. Terhadap Imam mazhab yang empat, misalnya, dikutip pendapat dalam Kitab Kadzdzabu ala as-Syiah, Andai para dai Islam dan Sunnah mencintai Ahlul Bait, niscaya mereka mengikuti jejak langkah Ahlul Bait dan tidak akan mengambil hokum-hukum agama mereka dari para penyeleweng, seperti Abu Hanifah, asy-Syafii, Imam Malik dan Ibnu Hanbal. (hal. 366). Terlepas dari fakta tentang Syiah dan kritik terhadap Quraish Shihab, terbitnya buku ini telah menjadi momen penting bagi PPS untuk turut berkiprah dalam peningkatan khazanah keilmuan Islam di Indonesia. PPS memang telah didirikan pada tahun 1745. Jadi, usianya kini telah mencapai lebih dari 260 tahun. Jumlah muridnya kini lebih dari 5000 orang. Sejumlah prestasi ilmiah tingkat nasional juga pernah diraihnya. Diantaranya, pada Ramadhan 1425 H, PPS berhasil meraih juara I dan III lomba karya ilmiah berbahasa Arab yang diselenggarakan oleh Depdiknas RI. Dalam Jurnal Laporan Tahunan 1425/1426 H, disebutkan bahwa PPS juga cukup sering mendapat kunjungan tamu-tamu dari luar negeri. Termasuk dari kedutaan Australia dan Amerika Serikat. Mereka selalu menerima tamunya dengan baik. Tetapi, dengan sangat berhati-hati, selama ini, PPS senantiasa menolak dana bantuan dan hibah dari Australia dan Amerika. PPS juga termasuk salah satu pesantren di Jawa Timur yang sangat gigih dalam melawan penyebaran paham Liberal. Ditulis dalam Laporan Tahunan tersebut: Tahun ini, PPS menggerakkan piranti dunia maya untuk melestarikan dan menyelamatkan ajaran Ahlusunnah dari serbuan berbagai aliran sesat. Di website www.sidogiri.com secara

khusus disediakan rubrik Islam Kontra Liberal. Rubrik ini digunakan oleh Pondok Pesantren Sidogiri untuk meng-counter wacana-wacana pendangkalan akidah yang ramai berkembang saat ini. Liberalisme, humanisme, rasionalisme, pluralisme, feminisme, sekularisme, dekonstruksi syariah dan paham-paham destruktif modern lainnya, menjadi bidikan yang terus ditangkal dengan wacana-wacana salaf yang dipegang Pondok Pesantren Sidogiri. Kita berdoa, mudah-mudahan akan terus lahir karya-karya ilmiah yang bermutu tinggi dari PPS. Begitu juga dari berbagai pesantren lainnya. [Depok, 13 Rabiulawwal 1429 H/21 Maret 2008/www.hidayatullah.com]

Anda mungkin juga menyukai