Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Kalangan medis telah berusaha untuk melakukan tindakan anestesi yang bertujuan untuk mengurangi dan mengilangkan rasa nyeri atau rasa sakit. Pada prinsipnya, seorang penderita akan dibuat tidak sadarkan diri dengan melakukan tindakan-tindakan yang sering dilakukan secara fisik seperti memukul, mencekik, dan sebagainya. Hal tersebut terpaksa dilakukan agar pasien tidak merasakan kesakitan dan akhirnya meloncat dari meja oeprasi yang mengakibatkan terganggunya jalan operasi. 1,2 Sejak diperkenalkannya penggunaan gas ether oleh William Thomas Greene Morton pada tahun 1864 di Boston Amerika Serikat, maka berangsurangsur cara kekerasan fisik yang sering dilakukan untuk mencapai keadaan anestesi mulai ditinggalkan. Penemuan tersebut merupakan titik balik dalam sejarah ilmu bedah karena membuka cakrawala kemungkinan dilakukannya tindakan bedah yang lebih luas, mudah serta manusiawi. 2 Dalam suatu tindakan operasi, seorang dokter bedah tidak dapat bekerja sendirian dalam membedah pasien sekaligus menciptakan keadaan anestesi. Dibutuhkan keberadaan seorang dokter anestesi untuk mengusahakan, menangani dan memelihara keadaan anestesi pasien. Tugas seorang dokter anestesi dalam suatu acara operasi antara lain : 1. Menghilangkan rasa nyeri dan stress emosi selama dilakukannya proses pembedahan atau prosedur medik lain. 2. Melakukan pengelolaan tindakan medik umum kepada pasien yang dioperasi, menjaga fungsi organ-organ tubuh berjalan dalam batas normal sehingga keselamatan pasien tetap terjaga. 3. Menciptakan kondisi operasi dengan sebaik mungkin agar dokter bedah dapat melakukan tugasnya dengan mudah dan efektif.1 Usaha yang mutlak harus dilakuakan oleh seorang dokter ahli anestesi adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal, tanpa pengaruh yang berarti akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan

napas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yan dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas berjalan dengan baik. 3 Untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi endotrakea, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Pengguanaan intubasi endotrakea juga direkomendasikan untuk neonatus dengan faktor penyulit yang dapat mengganggu jalan napas. 3 Dalam refrat ini akan menguraikan tentang intubasi endotrakea, dan hanya akan dibatasi pada permasalahan tersebut. Intubasi endotrakea adalah metode yang umum digunakan untuk penanganan jalan napas selama anestesi umum. Penggunaan pipa endotrakea (Endotrakeal tube/ETT) yang memiliki cuff (balon) merupakan suatu praktik standar untuk fasilitas pemberian ventilasi tekanan positif dan juga sebagai proteksi jalan anpas terhadap aspirasi dari isi lambung. 4

1.2. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui definisi, indikasi, dan algoritma resusitasi jantung paru. Selain itu, makalah ini juga dapat memberi informasi yang lengkap tentang pembaharuan untuk RJPO pada tahun 2010 dibandingkan dengan pada tahun 2005 berdasarkan American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.

1.3 Manfaat Penulisan Mengetahui bagaimana prinsip urutan resusitasi jantung paru otak yang efektif dan efisien terhadap penanganan kasus cardiac arrest. Dapat melakukan resusitasi jantung paru otak jika dalam keadaan dibutuhkan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi 2.1.1 Anatomi Fisiologi Saluran Napas Bagian Atas Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakea terlebih dahulu kita harus memahami anatomi dan fisiologis jalan napas bagian atas dimana intubasi itu menguraikan tentang beberapa hal yang menyangkut fisiologi rongga orofaring, sebagian nasofaring dan akan lebih ditekankan lagi pada bagian laring. Sistem respirasi manusia mempunyai gambaran desai umum yang dapat Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi Indikasi intubasi endotrakea yaitu mengontro jalan napas, menyediakan saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang, meminimalkan resiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang tejadi, ventilasi yang tidak adekuat, ventilasi dengan thorakoabdominal pada saat pembedahan, menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan berbagai posisi (misalnya tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran anpas, Perawatan kritis adalah untuk mempertahankan saluran anpas yang adekuat, melindungi terhadap aspirasi paru, kebutuhan untuk mengontrol dan mengleuarkan sekret pulmonal. Kontraindikasi intubasi endotrakea adalah : trauma servikal yang emmerlukan keadaan imobilisasi tulang vertbera servikal, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi. Intubasi endotrakea dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi maupun tindakan intraoral. Kesulitan intubasi endotrakea Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi seperti riwayat anestesi, alergi obat, dan peyakit lain yang dapat menghalangi akses jalan napas. Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi. Visualisasi dari orofaring yang paling sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi

Mallampati Modifikasi. Sistem ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya dan menjulurkan lidah. Klasifikasi mallampati adalah sebagai berikut: Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula Mallampati 4 : Palatum durum saja Dalam sistem klasdifikasi, Kelas 1 dan II saluran nafas umumnya diperkirakan mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit. Selain sistem klasifikasi Mallampati, temuan fisik lainnya telah terbukti menjadi prediktor yang baik dari kesulitan saluran anfas. Wilson dkk, menggunakan analisis diskriminan linier, dimasukkan lima variabel : berat badan, kepala dan gerakan leher, gerakan rahang, sudut mandibula, dan gigi ke dalam sistem penilaian yang diperkirakan 75% dari intubasi sulit pada kriteria risiko = 2. Faktor lain yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi : Lidah besar Gerakan sendi temporo-mandibular terbatas Mandibula menonjol Maksila atau gigi depan menonjol Mobilitas leher terbatas Pertumbuhan gigi tidak lengkap Langit-langit mulut sempit Pembukaan mulut kecil Anafilaksis saluran napas Arthritis dan ankilosis cervical Sindrom kongenital Endokrinopati (kegemukan, akromegali, hipotiroid macroglossia, gondok) Infeksi (Ludwig angina, peritonsillar abses, retropharyngeal abses, epiglottitis) Massa pada mediastinum Myopati menunjukkan myotonia atau trismus Jaringan parut luka bakar atau radiasi

Trauma dan hematoma Tumor dan kista Benda asing pada jalan napas Kebocoran di sekitar masker wajah Nasogastrik tube Kurangnya keterampilan, pengalaman, atau terburu-buru.

Kelas 1 : sebagian besar glotis terlihat, kelas 2 : hanya ekstremitas posterior glotis dan epiglotis tampak, kelas 3 : tidak ada bagian dari glotis terlihat, hanya epiglotis terlihat, kelas 4 : tidak bahkan epiglotis terlihat. Kelas 1 dan 2 dianggap sebagai mudah dan kelas 3 dan 4 sebagai sulit.

Resusitasi atau reanimasi mengandung arti harfiah menghidupkan kembali, dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah prosedur kegawatdaruratan medis yang ditujukan untuk serangan jantung dan pada henti napas (Liza. 2008). Kasus-kasus penyebab terjadinya henti jantung dan henti napas dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan pada siapa saja. Contoh kasusnya antara lain adalah tenggelam, stroke, obstruksi jalan napas, menghirup asap, kercunan obat, tersengat listrik, tercekik, trauma, MCI (myocardial infarction) atau gagal jantung, dan masih banyak lagi. Kondisi diatas, ditandai dengan tidak terabanya denyut nadi karotis dan tidak adanya gerakan napas dada. (Liza. 2008) Ketika American Heart Assocation (AHA) menetapkan pedoman resusitasi yang pertama kali pada tahun 1966, resusitasi jantung paru (RJP) awalnya A-BC yaitu membuka jalan nafas korban (Airway), memberikan bantuan napas (Breathing) dan kemudian memberikan kompresi dinding dada (Circulation). Namun, sekuensinya berdampak pada penundaan bermakna (kira-kira 30 detik) untuk memberikan kompresi dinding dada yang dibutuhkan untuk

mempertahankan sirkulasi darah yang kaya oksigen.

Dalam 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care, AHA menekankan fokus bantuan hidup dasar pada: 1. Pengenalan segera pada henti jantung yang terjadi tiba-tiba (immediate recognition of sudden cardiac arrest [SCA]) 2. Aktivasi sistem respons gawat darurat (activation of emergency response system) 3. Resusitasi jantung paru sedini mungkin (early cardiopulmonary resuscitation) 4. Segera didefibrilasi jika diindikasikan (rapid defibrilation if indicated) Dalam AHA Guidelines 2010 ini, AHA mengatur ulang langkah-langkah RJP dari A-B-C menjadi C-A-B pada dewasa dan anak, sehingga memungkinkan setiap penolong memulai kompresi dada dengan segera. Sejak tahun 2008, AHA telah merekomendasikan bagi penolong tidak terlatih (awam) yang sendirian melakukan Hands Only CPR atau RJP tanpa memberikan bantuan napas pada korban dewasa yang tiba-tiba kolaps. Setiap orang dapat menjadi penolong pada korban yang tiba-tiba mengalami henti jantung. Keterampilan RJP dan penerapannya bergantung pada pelatihan yang pernah dijalani, pengalaman dan kepercayadirian penolong. Kompresi dada merupakan fondasi RJP sehingga setiap penolong baik terlatih maupun tidak, harus mampu memberikan kompresi dada pada setiap korban henti jantung. Karena pentingnya, kompresi dada harus menjadi tindakan prioritas pertama setiap korban dengan usia berapapun. Penolong yang terlatih, harus memberikan kompresi dada yang dikombinasikan dengan ventilasi (napas bantuan). Sedangkan penolong yang telah sangat terlatih diharapkan bekerja secara bersama-sama dalam bentuk tim dalam memberikan ventilasi dan kompresi dada. Pedoman baru ini juga berisi rekomendasi lain yang didasarkan pada bukti yang telah dipublikasikan, yaitu: - Pengenalan segera henti jantung tiba-tiba (suddent cardiact arrest) didasarkan pada pemeriksaan kondisi unresponsive dan tidak adanya napas normal (seperti, korban tidak bernapas atau hanya gasping/terengah-engah). Penolong tidak boleh menghabiskan waktu lebih dari 10 detik untuk melakukan pemeriksaan nadi. Jika nadi tidak dapat dipastikan dalam 10 detik, maka dianggap

tidak ada nadi dan RJP harus dimulai atau memakai AED (automatic external defibrilator) jika tersedia. - Perubahan pada RJP ini berlaku pada korban dewasa, anak dan bayi tapi tidak pada bayi baru lahir. - Look, Listen and Feel" telah dihilangkan dari algoritme bantuan hidup dasar. - Jumlah kompresi dada setidaknya 100 kali per menit - Penolong terus melakukan RJP hingga terjadi return of spontaneous circulation (ROSC) - Kedalaman kompresi untuk korban dewasa telah diubah dari 1 - 2 inchi menjadi sedikitnya 2 inchi (5 cm) - Peningkatan fokus untuk memastikan bahwa RJP diberikan dengan highquality didasarkan pada : o Kecepatan dan kedalaman kompresi diberikan dengan adekuat dan memungkinkan full chest recoil antara kompresi. o Meminimalkan interupsi saat memberikan kompresi dada o Menghindari pemberian ventilasi yang berlebihan

2.2 Tujuan dari BHD adalah: Tujuan BHD ialah oksigenasi darurat secara efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal. Resusitasi mencegah terjadinya berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi yang dapat menyebabkan kematian sel-sel akibat dari kekurangan oksigen dan memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang mengalami henti jantung atau henti nafas.

2.3 Indikasi 1. Henti nafas Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari korban atau pasien dan merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar. Pada awal henti nafas oksigen masih dapat masuk

ke dalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, dengan diberikan bantuan resusitasi dapat membantu menjalankan sirkulasi lebih baik dan mencegah kegagalan perfusi organ, sehingga. Henti nafas dapat terjadi dalam keadaan seperti: Tenggelam atau lemas Stroke Obstruksi jalan nafas Epiglotitis Overdosis obat-obat Tersengat listrik Infark miokard Tersambar petir Koma akibat berbagai macam kasus

2. Henti Jantung Henti jantung primer adalah ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen keotak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, jika dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak menetap kalau tindakan tidak adekuat. Henti jantung yang terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tertentu tidak termasuk henti jantung atau cardiac arrest. Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen. Pernafasan yang terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba disertai kebiruan atau pucat sekali, pernafasan berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.

2.4 Sistem Pernafasan dan Sirkulasi Tubuh manusia terdiri dari beberapa sistem, diantaranya yang utama adalah sistem pernafasn dan sistem sirkulasi. Kedua sistem ini merupakan komponen utama dalam mempertahankan hidup. Terganggunya salah satu fungsi ini dapat mengakibatkan ancaman kehilangan nyawa. Tubuh dapat menyimpan

makanan untuk beberapa minggu dan menyimpan air untuk beberapa hari, tetapi hanya dapat menyimpan oksigen (O) untuk beberapa menit saja. Sistem pernafasan mensuplai oksigen kedalam tubuh sesuai dengan kebutuhan dan juga mengeluarkan karbondioksida (CO2). Sistem sirkulasi inilah yang bertanggungjawab memberikan suplai oksigen dan nutrisi keseluruh jaringan tubuh. Komponen-komponen yang berhubungan dengan sirkulasi adalah: 1. 2. 3. Jantung Pembuluh Darah ( Arteri, Vena, Kapiler) Darah dan kompone-komponennya. untuk memompa darah dan kerjanya sangat

Jantung berfungsi

berhubungan erat dengan sistem pernafasan, pada umumnya semakin cepat kerja jantung semakin cepat pula frekuensi pernafasan dan sebaliknya. Jantung dapat berhenti bekerja karena banyak sebab,diantaranya: 1. 2. 3. 4. 5. Penyakit jantung Gangguan pernafasan Syok Komplikasi penyakit lain: Stroke Penurunan kesadaran

Beberapa istilah yang berhubungan dengan keadaan sistem pernafasan dan sistem sirkulasi yang terganggu: 1. Mati Dalam istilah kedokteran dikenal dengan dua istilah untuk mati: mati klinis dan mati biologis . 1.a. Mati Klinis Tidak ditemukan adanya pernafasan dan denyut nadi.Mati klinis dapat reversible.Pasien /korban mempunyai kesempatan waktu selama 4-6 menit untuk dilakukan resusitasi,sehingga memberikan kesempatan kedua sistem tersebut berfungsi kembali. 1.b. Mati Biologis Terjadi kematian sel, dimana kematian sel dimulai terutama sel otak dan bersifat irreversible, biasa terjadi dalam waktu 8 10 menit dari henti jantung.

Pasien/korban mengalami henti nafas dan henti jantung mempunyai harapan hidup lebih baik jika semua langkah dalam rantai penyelamatan (Chain of Survival) dilakukan. Rantai ini diperkenalkan oleh AHA (American Heart Association) : 1. 2. 3. 4. Kecepatan dalam permintaan bantuan Kecepatan dalam melakukan RJP Kecepatan dalam melakukan Defibrilasi Kecepatan dalam pertolongan Hidup Lanjut di RS (Advance Cardiac

Life Support) Survei Primer Survei ini difokuskan pada bantuan nafas dan sirkulasi serta defibrilasi. Untuk dapat mengingat dengan mudah tindakan pada survei primer ini dirumuskan dengan huruf abjad : A, B, C, dan D. A B C D airway breathing circulation (jalan nafas) (bantuan nafas) (bantuan sirkulasi)

defibrillation (terapi listrik)

2.5 Rangkaian (Sekuens) Bantuan Hidup Dasar Rangkaian bantuan hidup dasar pada dasarnya dinamis, namun sebaiknya tidak ada langkah yang terlewatkan untuk hasil yang optimal. Berikut ini adalah algoritma bantuan hidup dasar berdasarkan 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovacular Care, yaitu :

1. Response Pastikan situasi dan keadaan pasien dengan memanggil nama/sebutan yang umum dengan keras disertai menyentuh atau menggoyangkan bahu dengan mantap. Prosedur ini disebut sebagai teknik touch and talk. Hal ini cukup untuk membangunkan orang tidur atau merangsang seseorang untuk bereaksi. Jika tidak ada respon, kemungkinan pasien tidak sadar. Terdapat tiga level tingkat kesadaran, yaitu:

Jika pasien berespon Tinggalkan pada posisi dimana ditemukan dan hindari kemungkinan resiko cedera lain yang bisa terjadi. Analisa kebutuhan tim gawat darurat.

Jika pasien tidak berespon inta tolong

Jika ditemukan tidak dalam posisi terlentang, terlentangkan pasien dengan teknik log roll, secara bersamaan kepala, leher dan punggung digulingkan. penolong. Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar secara efektif dapat memberikan resusitasi jantung paru (RJP).

o AHA Guideline 2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi karotis sebagai mekanisme untuk menilai henti jantung karena penolong sering mengalami kesulitan mendeteksi nadi. Jikan dalam lebih dari 10 detik nadi karotis sulit dideteksi, kompresi dada harus dimulai. o Penolong awam tidak harus memeriksa denyut nadi karotis Anggap cardiac arrest jika pasien tiba-tiba tidak sadar, tidak bernapas atau bernapas tapi tidak normal (hanya gasping)

2. Circulation (Sirkulasi) Compressions Bila tidak ada nadi

1. Lutut berada di sisi bahu korban 2. Posisi badan tepat diatas dada pasien, bertumpu pada kedua tangan

3. Letakkan salah satu tumit telapak tangan pada sternum, diantara 2 putting susu dan telapak tangan lainnya di atas tangan pertama dengan jari saling bertaut atau dua jari pada bayi ditengah dada 4. Tekan dada lurus ke bawah dengan kecepatan setidaknya 100x/menit (hampir 2 x/detik)

AHA Guideline 2010 merekomendasikan : 1. Kompresi dada dilakukan cepat dan dalam (push and hard) 2. Kecepatan adekuat setidaknya 100 kali/menit 3. Kedalaman adekuat o Dewasa : 2 inchi (5 cm), rasio 30 : 2 (1 atau 2 penolong) o Anak : 1/3 AP ( 5 cm), rasio 30 : 2 (1 penolong) dan 15 : 2 (2 penolong) o Bayi : 1/3 AP ( 4 cm), rasio 30 : 2 (1 penolong) dan 15 : 2 (2 penolong) 4. Memungkinkan terjadinya complete chest recoil atau pengembangan dada seperti semula setelah kompresi, sehingga chest compression time sama dengan waktu relaxation/recoil time.

3. Airway (Jalan Napas) Pastikan jalan napas terbuka dan bersih yang memungkinkan pasien dapat bernapas. Bersihkan jalan napas pergerakan dinding dada

dengan kasa untuk menyerap cairan.

Membuka jalan napas dahi dan dagu pasien (Head tilt & Chin lift) untuk buka jalan napas 1. Head Tilt & Chin Lift a. Membaringkan korban terlentang pada permukaan yang datar dan keras b. Meletakkan telapak tangan pada dahi pasien c. Menekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak tangan d. Meletakkan ujung jari telunjuk dan jari tengah dari tangan lainnya di bawah bagian ujung tulang rahang pasien e. Menengadahkan kepala dan menahan/menekan dahi pasien secara bersamaan sampai kepala pasien pada posisi ekstensi

2. Jaw Trust a. Membaringkan korban terlentang pada permukaan yang datar dan keras

b. Mendorong ramus vertikal mandibula kiri dan kanan ke depan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas, atau, c. Menggunakan ibu jari masuk ke dalam mulut korban dan bersama dengan jarijari yang lain menarik dagu korban ke depan, sehingga otot-otot penahan lidah teregang dan terangkat d. Mempertahankan posisi mulut pasien tetap terbuka

Cek tanda kehidupan: respon dan suara napas

jalan napas, karena bisa berakibat cedera leher.

o Gunakan head tilt-chin lift untuk membuka jalan napas pada pasien tanpa ada trauma kepala dan leher. Sekitar 0,12-3,7% mengalami cedera spinal dan risiko cedera spinal meningkat jika pasien mengalami cedera kraniofasial dan/atau GCS <8 o Gunakan jaw thrust jika suspek cedera servikal o Pasien suspek cedera spinal lebih diutamakan dilakukan restriksi manual (menempatkan 1 tangan di ditiap sisi kepala pasien) daripada menggunakan spinal immobilization devices karena dapat mengganggu jalan napas tapi alat ini bermanfaat mempertahankan kesejajaran spinal selama transportasi.

Jalan Napas Tersumbat

o Ambil gigi/palsu yang lepas o Tinggalkan gigi palsu yang utuh pada tempatnya

Jalan Napas Bersih jalan napas terbuka dan cek adanya pernapasan normal

pergerakan dada dan abdomen, perlakukan tetap seperti tidak bernapas, karena pernapasan ini tidak efektif.

Pemasangan Oro-pharingeal Airway (OPA)

o Dewasa besar = 100 cm (Guedel no. 5) o Dewasa sedang = 90 cm (Guedel no. 4) o Dewasa kecil = 80 cm (Guedel no. 3) o Anak-anak = Guedel no. 1 dan no. 2

1. Menentukan ukuran OPA yang tepat bagi pasien dengan meletakkan OPA disamping pipi pasien dan memilih OPA yang panjangnya sesuai dari sudut mulut hingga ke sudut rahang bawah (angulus mandibulae) 2. Memasang alat, terdapat 2 cara : a. Cara pertama - Membuka mulut dan memasukkan OPA terbalik

- Memutar/merotasi OPA jika telah mencapai palatum molle b. Cara kedua - Membuka mulut dengan spatel - Dengan hati-hati memasukkan OPA hingga ke belakang. - Pada anak-anak, sebaiknya memakai cara ini, karena rotasi dapat menyebabkan patahnya gigi dan kerusakan faring 3. Mengecek ketepatan pemasangan OPA dengan memberikan ventilasi pada pasien. Jika pemasangan tepat akan tampak pengembangan dada dan suara napas terdengar melalui auskultasi paru dengan stetoskop selama ventilasi.

Pemasangan Naso-pharingeal Airway (OPA) 1. Menentukan ukuran NPA yang tepat bagi pasien a. Meletakkan NPA di samping pipi pasien dan memilih NPA yang panjangnya sesuai dari pangkal cuping hidung sampai cuping telinga b. NPA yang terlalu panjang dapat menstimulasi gag reflex sedangkan NPA yang telalu pendek tidak dapat menjauhkan lidah dari faring anterior 2. Melubrikasi ujung NPA dengan lubrikan larut air (water-soluble lubricant) untuk meminimalkan tahanan dan menurunkan iritasi pada saluran lubang hidung 3. Memasukkan NPA dengan cara memegang NPA seperti memegang pensil dan secara perlahan dimasukkan ke dalam lubang hidung pasien dengan bevel menghadap ke nasal septum 4. Mendorong alat sepanjang dasar lubang hidung, mengikuti lekukan saluran lubang hidung, hingga pinggiran pangkal NPA rata dengan lubang hidung

5. Jika terjadi tahanan selama insersi, merotasi NPA bolak balik dengan lembut di antara kedua jari 6. Jika tahanan tetap terjadi, tidak memaksakan pemasangan alat karena dapat menyebabkan abrasi dan laserasi mukosa hidung yang dapat mengakibatkan perdarahan dan risiko aspirasi 7. Mengecek ketepatan pemasangan NPA dengan memberikan ventilasi pada pasien. Jika pemasangan tepat akan tampak pengembangan dada dan suara napas terdengar melalui auskultasi paru dengan stetoskop selama ventilasi.

4. Breathing (Pernapasan) Jika pasien bernapas

Jika tidak bernapas

Mulut ke mulut/hidung

dalam mulut pasien sekitar 1 detik

Bag Valve Mask

dapat diberikan hingga 85% kapasitas reservoir

1. Memilih ukuran mask yang sesuai dengan pasien dan memasangnya pada wajah pasien 2. Menghubungkan bag dengan mask, jika belum tersambung 3. Meletakkan bagian yang menyempit (apeks) dari masker di atas batang hidung pasien dan bagian yang melebar (basis) diantara bibir bawah dan dagu 4. Menstabilkan masker pada tempatnya dengan ibu jari dan jari teluntuk membentuk huruf C. Menggunakan jari yang lainnya pada tangan yang sama untuk mempertahankan ketepatan posisi kepala dengan mengangkat dagu sepanjang mandibula dengan jari membentuk huruf E 5. Memberikan ventilasi dengan mengempiskan bag dengan menggunakan tangan lainnya 6. Mengobservasi pengembangan dada pasien selama melakukan ventilasi

AHA Guideline 2010 merekomendasikan untuk :

a. Pemberian dilakukan sesuai tidal volume b. Rasio kompresi dan ventilasi 30:2 c. Setelah alat intubasi terpasang pada 2 orang penolong : selama pemberian RJP, ventilasi diberikan tiap 8-10 x/menit tanpa usaha sinkronisasi antara kompresi dan ventilasi. Kompresi dada tidak dihentikan untuk pemberian ventilasi

maupun awam mungkin tidak dapat menentukan secara akurat ada atau tidaknya napas pada pasien tidak sadar karena jalan napas tdk terbuka atau karena pasien occasional gasping yg dpt terjadi pada beberapa menit pertama setelah henti jantung. jari secapatnya ke tengah dada dan beri kompresi dan ventilasi berikutnya

bantuan nafas dengan rasio 30 : 2.

(recovery position) - 12 x/menit dan monitor nadi setiap 2 menit. ika sudah terdapat pernafasan spontan dan adekuat serta nadi teraba, jaga agar jalan nafas tetap terbuka

apakah masih ada sumbatan di mulut pasien serta perbaiki posisi tengadah kepala dan angkat dagu yang belum adekuat

posisi pasien ke recovery position, bila pasien muntah tidak terjadi aspirasi . i nafas kembali, jika terjadi segera terlentangkan pasien dan lakukan nafas buatan kembali

Kompresi dada saja

kompresi karena di dalam tubuh masih ada oksigen -check dihentikan bila napas normal telah kembali, jangan menghentikan resusitasi Multi penolong

mbil alat yang perlu digunakan

Kapan RJP dihentikan ?

Tanda-tanda kehidupan muncul -tanda kematian: rigor mortis, dilatasi pupil

2.6 Obstruksi Jalan Napas Karena Benda Asing Obstruksi jalan napas karena benda asing sering terjadi pada anak dan dewasa. Pada orang dewasa, daging atau makan lain paling sering menyebabkan tersedak dan menyumbat. Kondisi pada anak dapat semakin parah dengan penyebab yang sangat bervariatif. Obstruksi jalan napas akut harsu di curigakan pada anak kecil/bayi yang tiba-tiba mengalami gagal napas disertai batuk hebat,

tercekik dan bunyi stridor. Sumbatan parsial memungkinkan pasien masih dapat bernapas, namun kualitas pernapasanya tidak menentu, biasanya pasien akan secara spontan melakukan batuk dengan kuat untuk mengeluarkan sumbatan tersebut. Bila obstruksi parsial jalan napas terjadi, namun tanda-tanda pernapasan tidak efektif, harus diperlakukan sama seperti obstruksi jalan napas total. Pada obstruksi total, pasien tidak dapat bernapas, bicara atau batuk. Biasaya pasein memegang lehernya sendiri. Konsentrasi oksigen semakin menurun dan lamakelamaan bisa tidak sadar dan mungkin meninggal bila tidak ditolong. Usahakan pasien dewasa atau pun anak untuk melakukan batuk dengan efektif. Usaha mengeluarkan sumbatan lain dilakukan bila batuk tidak efektif untuk mengeluarkan subatan dan tanda-tanda gangguan napas semakin hebat dan terdengar bunyi stridor.

Penatalaksanaan Maneuver Heimlich Maneuver Heimlich. Merupakan suatu tindakan untuk meningkatkan tekanan diafragma secara mendadak, memaksa udara dalam paru untu keluar dengen cepat sehingga penyumbat jalan napas dapat terdorong keluar. Hentakan dapat diulang 6-10 kali untuk membersihkan jalan napas. Pertimbagnakn adanya kerusakan organ dibawah abdomen atas dan torak bawah. Hentakan inidiberikan setelah kemungkinan sumbatan tidak bisa diambil secara manual dengan mudah, atau dengan teknik pengambilan malahan menyebabkan objek semakin dalam Pasien sadar dan berdiri - Berdiri dibelakang pasien - Lingkari pinggang atas (lihat ilustrasi) dengan tangan penolong - Letakan tangan yang mengepal ditopang dengn tangan lain tepat dibawah prosesus xypoideus (uluhati) - Pegang erat-erat kepalan tangan - Tarik kedua tangan kita untu menekan dengan hentakan keras kearah belakang pasien. - Ulangi kegiatan secara terpisah dengan gerakan kuat - Pada kasus obesitas atau kehamilan, berikan kompresi dada - Bila pasien tidak sadar, baringkan dengan posisi terlentang

Pasien yang terlentang/tidak sadar - Terlentang kan pasien - Penolong berlutut diantara pahan pasien - Letakan satu tangan pada garis tengan abdomen, diatas umbillikus dan agak jauh dibawah sternum, tangan kedua diletakan pada tangan pertama. - Tekan kearah bawah depan dengan kuat dan menghentak. - Ulangi sampai 6-10 kali - Posisi ini bisa digunakan bila penolong terlau pendek dbiandingkan dengan pasien

Manuver untuk diri sendiri - Letakan tangan pada posisi seperti gambar ilustrasi - Tekan kearah belakang atas - Bila tidak berhasil bisa ditekankan pada ujung meja/tepi - Ulangi sampai 6-10 kali Pada bayi - Bayi ditunggangkan pada satu tangan penolong

- Posisikan kepala menghadap ke bawah, lebih rendah dari badan, tahan dengan tangan pada bagian rahang bayi. Jangan menutup mulut dan hidung bayi - Dengan mengganakan tepalak tangan yang lain, berikan 4x pukulan diantara skapula - Setelah memukul letakan tangan yang bebsa di atas punggung bayi untuk menjepit - Jika tidak berhasil, letakan 2-3 jari dibawah sternum (ps. xypoideus), berikan 5 tekanan - Lihat adakah objek keluar, jika bisa dilihat, lepaskan dengan jari, kemudian berikan 2 x napas bantuan - Bila tidak menolong minta bantuan yang lebih ahli sambil terus memberikan tekanan punggung dan dada sampai bayi terbatuk.

2.7 Bantuan Hidup Lanjut Terdiri atas Bantuan hidup dasar ditambah langkah-langkah: D (Drugs): Pemberian obat-obatan. Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2 golongan: 1. Penting: a. adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan 0,5 1 mg iv diulang setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat

meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel(4). b. Natrium Bicarbonat: Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10

menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama(3). c. Sulfat Atropin: Mengurangi tonus vagus memudahkan

konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah arrest pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar. d. Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml) (3). 2. Berguna: a. Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (110 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur

untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine(3). b. Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat(3). c. Kortikosteroid: Sekaranfg lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam(3). E (EKG): Diagnosis elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan monitoring. F: (Fibrilation Treatment) Gambaran EKG pada Ventrikel Fibrilasi ini menunjukan gelombang listrik tidak teratur baik amplitudo maupun frekuensinya.

Terapi definitifnya adalah syok electric (DC-Shock) dan belum ada satu obatpun yang dapat menghilangkan fibrilasi.

2.8 Bantuan Hidup Terus-Menerus

G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terusmenerus terutama system pernapasan, kardiovaskuler dan system saraf. H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari kerusakan lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic yang permanen. H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30 32C. H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan. I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang. Keputusan untuk mengakhiri resusitasi Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis, tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada aktivitas

elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat(3).

BAB III KESIMPULAN


Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti nafas atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis
Peran RJP ini sangatlah besar, seperti pada orang-orang yang mengalami henti jantung tiba-tiba. Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara. Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan sekitar 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan

resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi. Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam

dan juga orang yang terlatih dalam bidang kesihatan. Ini bermaksud bahwa RJP boleh dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang awam. Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui dan memahami serta mampu melaksanakan bantuan hidup dasar ini. Pedoman pelaksanaan RJP yang dipakai adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Amerikan Heart Assosiation. Amerikan Heart Assosiation merevisi pedoman RJP setiap lima tahun, dengan revisi terbaru pada tahun 2010. AHA merevisi dari A-B-C ke C-A-B, dan memberikan 2 algoritma bantuan hidup dasar yakni simple algoritma untuk masyarakat awam dalam bentuk sederhana agar mudah dipahami dan algoritma khusus untuk petugas kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai