Anda di halaman 1dari 42

1

KASUS II TIDAK ADA SPERMA Seorang pasangan suami-istri datang ke praktek dokter umum karena belum memiliki keturunan setelah 7 tahun menikah. Dokter menganjurkan tes kesuburan untuk pasangan tersebut tetapi suami sempat menolak, tetapi setelah dijelaskan bahwa tes kesuburan dilakukan untuk pasangan, kemudian ia setuju. Hasil pemeriksaan terhadap istri tidak ditemukan adanya kelainan. Hasil pemeriksaan ejakulat suami menunjukan azoospermia. Suami merasa kaget dan yakin ada kesalahan pemeriksaan, ia memang memiliki kebiasaan merokok sejak remaja dan merasa hal itu tidak menjadi masalah karena menurutnya selama ini baik organ dan fungsi seksualnya tidak ada kelainan. STEP I 1. Azoospermia : Keadaan tidak ada sperma dalam air mani. Keadaan air mani tidak mengandung sperma.

2. Tes kesuburan : Melihat/memantau kesuburan dari wanita/pria. Untuk mengetahui kualitas dan kuantitas dari spermatozoa.

3. Ejakulat : Suatu proses pengeluaran sperma sebagai akhir seksual pria. Suatu gerak refleks yang mengosongkan epididimis, uretra dan kelenjar-kelenjar kelamin pada pria. STEP II Semua jumlah air mani yang dikeluarkan pada saat ejakulasi.

1. Apa penyebab azoospermia ? 2. Apa pengaruh rokok terhadap kesuburan ? 3. Macam-macam tes kesuburan ? 4. Tujuan tes kesuburan ? 5. Proses pembentukan sperma ? 6. Hormon yang berperan ? 7. Kelainan pada fungsi seksual pria ? 8. Kelainan pada sperma ?

STEP III 1. Penyebab : Adanya kerusakan pada testis Pengaruh suhu Sumbatan pada saluran sperma Adanya gangguan hormon Kebiasaan merokok

2. Pengaruh rokok terhadap kesuburan : Gangguan pada hormon hipofisis. Nikotin darah kental gangguan ejakulasi dini

3. Macam-macam tes kesuburan : Analisis sperma diuji kualitas sperma Hormonal diperiksa darah Pemeriksaan fisik inspeksi, palpasi

4. Tujuan tes kesuburan : Untuk mengetahui kesuburan pria/wanita dilihat dari kualitas dan kuantitas. Pengontrol untuk kasus vasektomi.

5. Pembentukan sperma : Spermatogonium spermatosit primer spermatosit sekunder spermatid sperma.

6. Hormon : Testosteron LH FSH Estrogen Hormon pertumbuhan GnRH

Androtendisneal

7. Kelainan seksual : Hormon : Hipogonadisme Hipergonad Hipotiroid Hipertiroid

Fungsi : Impotensia Torsio testis

Organ : Tumor testis Uretritis Prostatis Karsinoma testis Karsinoma penis Kriptokinisme

8. Kelainan sperma : Necrozoospermia Oligospermia Hematospermia Pyospermia Polyzoospermia Astenozoospermia Aspermia Azoospermia Hiperspermia Hipospermia

STEP 4 1. Penyebab azoospermia Kerusakan di tubulussemiiferus sperma tidak terbentuk Suhu optimal : suhu tinggi dan suhu rendah akan menekan

pertumbuhan spermatozoa menyebabkan sperma mati. Testosteron menghambat FSH sehingga sperma tidak keluar.

2. Pengaruh rokok Nikotin darah kental darah kekurangan O2 peredaran darah ke tubulus seminiferus kurang sel-selnya kurang O2 menjadi mati fungsi spermatogenesis terhambat.

3. Macam-macam tes kesuburan A. Analisis sperma 1. Persiapan dan Persyaratan Pengambilan Sampel Sperma Seseorang yang akan memeriksakan spermanya, sebaiknya terlebih dahulu melakukan pantangan (abstinensi) untuk tidak mengeluarkan sperma sedikit-dikitnya selama 3 hari (3 x 24 jam) dengan alasan menurut penyelidikan, jangka waktu sebesar itu sudah cukup untuk suatu spermiogenesis dan untuk sampel yang baik. Tetapi untuk baiknya pasien diminta supaya tidak mengadakan kegiatan seksual selama 3-5 hari. Pengeluaran ejakulat sebaiknya dilakukan pagi hari sebelum melakukan aktifitas, sedekat mungkin sebelum pemeriksaan laboratorium.(Joyce LeFever Kee, 2008) 2. Cara memperoleh Sperma Banyak penderita tidak mengerti bagaimana cara memeriksakan sperma. Kita harus maklum, bahwa pemeriksaan sperma lain dengan pemeriksaan kencing atau tinja, karena bahan-bahan yang terakhir itu dengan wajar dapat dikeluarkan oleh penderita. Tetapi masalah memperoleh sperma yang akan diperiksa merupakan persoalan tersendiri untuk penderita. Hal ini dapat dimengerti, sebab tidak pada setiap kesempatan seseorang dapat mengeluarkan sperma. Adapun cara-cara yang digunakan untuk memperoleh sampel sperma yaitu dengan : a. Masturbasi Merupakan suatu metode pengeluaran sperma yang paling dianjurkan. Tindakan ini berupa menggosok kemaluan lelaki (penis) berulang-ulang, sampai terjadi ketegangan dan pada klimaks akan keluar sperma. Sebelum melakukan masturbasi hendaknya penis dicuci dahulu agar tidak tercemar oleh kotoran. Untuk

mempermudah

masturbasi

kadang-kadang

dalam

menggosok penis diberi pelicin misalnya sabun, krim atau jelly. Tetapi saat dipakai jangan sampai mencapai lubang keluarnya sperma. Kebaikan dari cara ini, di samping menghindari kemungkinan tumpah ketika menampung sperma, juga pencemaran sperma dari zat-zat yang tak diinginkan dapat dihindari. Tempat penampungan sperma sebaiknya dari botol kaca yang bersih, kering dan bermulut lebar atau boleh dengan tempat lain dengan syarat tidak spermatotoksik. (Joyce LeFever Kee, 2008) b. Coitus Interuptus Cara ini dilakukan dengan menyela atau menghentikan hubungan saat akan keluar sperma. Walaupun cara ini banyak dilakukan untuk memperoleh sampel sperma untuk diperiksa, namun cara ini kurang baik karena hasilnya kurang bila dapat hasil dipertanggungjawabkan, lebih-lebih

pemeriksaannya mendapatkan hasil dimana jumlah spermatozoanya di bawah kriteria normal (oligosperma). Tetapi cara ini kelemahannya dikhawatirkan sebagian telah tertumpah ke dalam vagina sehingga tidak sesuai lagi untuk pemeriksaan. (Joyce LeFever Kee, 2008) Seperti yang telah kita ketahui, bahwa sperma yang dikeluarkan pada waktu ejakulasi terbagi menjadi beberapa tahap, paling sedikit dua tahap. Tahap pertama adalah merupakan ejakulat yang mengandung spermatozoa yang terbanyak, sedangkan tahap yang kedua hanya mengandung spermatozoa sedikit saja atau bahkan sering tidak dijumpai spermatozoa, tetapi mengandung porsi fruktosa yang terbanyak. Dalam pengendalian orgasme sewaktu melakukan interuptus

tidak menjamin bahwa sebagian besar atau sebagian kecil terlanjur dikeluarkan di vagina sehingga mengakibatkan kita memperoleh sampel sperma yang tidak lengkap, sehingga memberikan hasil yang tidak sewajarnya. (Joyce LeFever Kee, 2008) c. Coitus Condomatosus Dengan alasan apapun pengeluaran sperma dengan memakai kondom untuk menampung mani tidak dianjurkan dan tidak diperkenankan karena zat-zat pada permukaan karet kondom mengandung suatu bahan yang bersifat spermicidal yang mempunyai pengaruh melemahkan atau membunuh spermatozoa, biarpun kondom sudah dicuci dan dikeringkan. Selain daripada itu kemungkinan pelepasan terjadi tumpahnya atau sperma ke sewaktu botol kondom menuangkan

penampung. Tetapi ada beberapa kondom khusus yang dipergunakan untuk keperluan penampungan sperma, karena bahan dipakai tidak bersifat spermasida. (Joyce LeFever Kee, 2008) d. Vibrator Masih ada cara lain untuk mempermudah mengeluarkan sperma ialah dengan vibrator. Alat ini mempunyai berbagai ukuran, terbuat dari plastik dengan permukaan halus, dapat digerakkan dengan baterai yang menghasilkan getaran lembut. Alat ini kalau ditempelkan pada glans penis, akan menimbulkan rasa seperti mastrubasi dan dengan fibrasi yang cukup lama, diharapkan sperma akan keluar. (Joyce LeFever Kee, 2008) e. Refluks Pasca Sanggama

Dengan memeriksa sperma yang telah ke vagina. Cara ini tidak dianjurkan karena dipergunakan cairan fisiologis untuk pembilasan, dan sperma tercampur dengan sekret vagina, sehingga akan didapatkan hasil yang tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya..(Joyce LeFever Kee, 2008) 3. Wadah Penampung Mani langsung dikeluarkan ke dalam satu wadah terbuat dari gelas atau plastik yang bermulut lebar dan yang lebih dahulu dibersihkan dan dikeringkan. Wadah harus dapat ditutup dengan baik untuk menjaga jangan sampai sebagian tertumpah. Pasien diminta mencatat waktu pengeluaran mani tepat sampai menitnya dan menyerahkan sampel itu selekasnya kepada laboratorium. Laboratorium juga wajib mencatat waktu pemeriksaan-pemeriksaan dijalankan..(Joyce LeFever Kee, 2008) 4. Penyerahan sampel sperma Segera setelah sperma ditampung, maka sperma harus secepatnya diserahkan kepada petugas laboratorium. Hal tersebut perlu dilakukan karena beberapa parameter sperma mempunyai sifat mudah berubah oleh karena pengaruh luar. Sperma yang dibiarkan begitu saja akan berubah pH, viskositas, motilitas dan berbagai sifat biokimianya..(Joyce LeFever Kee, 2008) 5. Waktu pemeriksaan Setelah penderita diberikan penerangan tentang caracara serta syarat-syarat pengeluaran sperma dan lainnya, maka waktu pengeluaran sperma dapat pula ditetapkan. Hal ini tergantung dari kesiapan pasien dan kesiapan laboratorium. Kalau syarat-syarat serta semua persiapan baik penderita

10

maupun laboratorium telah dipenuhi, maka pengeluaran sperma dapat dilakukan..(Joyce LeFever Kee, 2008) Segera setelah diterima petugas laboratorium, hendaknya sperma secepatnya diperiksa. Sperma harus diletakkan di dalam suhu kamar. Contoh sperma tidak boleh didinginkan dibawah 20OC atau dipanaskan diatas 40OC, oleh karena kedua hal ini dapat mempengaruhi motilitas dan viabilitas spermatozoa..(Joyce LeFever Kee, 2008) 6. Hal-hal lain Hal lain yang perlu diutarakan pada pasien adalah pada waktu abstinensia janganlah minum obat - obat apapun, apalagi minum obat-obat perangsang seks, tonikum atau semacamnya. Hal ini diperlukan agar benar-benar sperma yang diperiksa tidak dipengaruhi oleh obat obatan. Kalau perlu dicatat obat yang dimakan dalam 1-2 minggu sebelum analisis dilakukan..(Joyce LeFever Kee, 2008) Tujuan Pemeriksaan a. Untuk memeriksa hitung sperma Hitung sperma sering digunakan untuk memantau efektivitas tindakan sterilisasi setelah vasektomi ( pemotongan vas deferens). Hitung sperma diperiksa secara berkala. Pada kasus pemerkosaan, analisis porensik dilakukan untuk mendeteksi adanya semen pada sekret vagina atau dipakaian. (Dian, 2007) b. Untuk mengetahui kesuburan pria Umumnya dilakukan pada pasangan infertil suami-istri yang belum mempunyai anak setelah menikah selama 2 tahun(melakukan hub. Sex normal). Pemeriksaan sperma dilakukan untuk mengetahui kualitas dan kuantitas spermatozoa. c. Untuk keperluan kedokteran Kehakiman

11

Komponen Penilaian Hal-hal yang perlu diperiksa atau diamati dalam analisis sperma adalah faktor keadaan makroskopis yang meliputi warna, volume, bau, pH dan visikositas, likuefaksi . Sedangkan faktor mikroskopis morfologi meliputi jumlah spermatozoa per ml, jumlah spermatozoa motil per ml, motilitas spermatozoa, kecepatan, spermatozoa, eritrosit, leukosit, aglutinasi. (Gunawan,2002) Pemeriksaan makroskopis semen Pemeriksaan makroskopis semen meliputi : 1. Warna Warna normal adalah putih/ agak keruh. Kadang-kadang ditemukan juga warna kekuning-kuningan atau merah. Warna kekuning-kuningan mungkin disebabkan karena radang saluran kencing atau abtinensi terlau lama. Warna merah biasanya karena tercemar oleh eritrosit ( hemospermi ). (Kuswondo, 2002) 2. Volume Cairan semen yang ditampung diukur dengan geas ukur, dan dikatakan normospermi apabila volumenya normal yaitu 2-6 ml, dengan harga rata-rata 2-3,5 ml. Aspermi bila tidak keuar sperma pada waktu ejakulasi. Hiperspermia apabila volume lebih dari 6 ml. Hipospermia apabila volumenya kurang dari 1 ml, ini disebabkan karena : a) Terencer pada waktu memasukan semen ke dalam botol b) Keadaan patologis antara lain : - Penyumbatan kedua duktus ejakulatorius - Keainan kongenital misalnya agenesis vesikula seminalis Hiperspermi biasanya diikuti oleh konsentrasi spermatozoa yang rendah dan hiperspermi dapat disebabkan :

12

a) Abstinesi yang lama b) Produksi kelenjar asesoris yang berlebihan Secara kasar volume semen terdiri dari sekret kelenjar bulbouretral 3%, sekret kelenjar prostat 20%, spermatozoa dengan cairan di epididymis 7%, dan sisanya yang merupakan bagian terbesar dari vesika seminalis 70%. Mengenai cara pengeluarannya, pada waktu terjadi ejakulasi mula-mula sekret kelenjar prostat, baru spermatozoa dengan cairan dari epididymis dan ampula, lalu yang terakhir cairan seminalis. (Kuswondo, 2002) Volume semen sangat bervariasi antara tiap-tiap pria, bahkan pada seorang pria pada tiap-tiap ejakulasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi sangat banyak, antara lain lamanya abstinensia, keadaan emosi ataupun rangsangan pada waktu terjadi ejakulasi. (Kuswondo, 2002) 3. Bau Spermatozoa mempunyai bau khas, sekali membau tidak akan lupa. Bau ini mungkin disebabkan oleh proses oksidasi dari spermia yang diproduksi pleh prostat. Semen dapat berbau busuk atau amis bila terjadi infeksi. (Kusondo, 2002) 4. PH Cara untuk mengetahui keasaman semen digunakan kertas pH atau lakmus, biasanya sifatnya sedikit alkalis. Semen yang terlalu lama akan berubah pHnya. Pada infeksi akut kelenjar prostat pHnya berubah menjadi diatas 8, atau menjadi 7,2 misalnya pada infeksi kronis organ-organ tadi. WHO memakai kriteria normalnya yang lazim yaitu 7,2 7,8. (Kuswondo, 2002)

5. Viskositas

13

Viskositas semen diukur setelah mengalami likuifaksi betul (15-20 menit setelah ejakulasi). Pengukuran dapat dilakukan dengan 2 cara : a) Dengan pipet pasteur : semen diisap kedalam pipet tersebut, pada waktu pipet diangkat maka akan tertinggal semen berbentuk benang pada ujung pipet. Panjang benang diukur, normal panjangnya 3-5 cm. (Kuswondo, 2002) b) Menggunakan pipet yang sudah mengalami standardisasi (Elliason). isaplah sperma demean pipet elliason yang mempunyai volume 0,1 ml. isaplah sperma demean pipet (pergunakan pula karet penghisap) sampai angka 0,1. Kemudian bagian bawah pipet ditutup demean jari agar sperma tidak keluar lagi. Setelah kater penghisap dilepas, ujung atas ditutup demean jari dan ujung bawah dibuka dan sperma tetap tinggal dalam pipet. Dalam posisi tegak lurus, demean membuka ujung atas, sperma dibiarkan menetes dan bersamaan dengan itu, demean menggunakan stopwatch dicatat terjadinya tetesan yang pertama. Tulis viskositas sperma demean metode Elliason dalam detik. Nilai normalnya antara 1-2 detik. (Kuswondo, 2002) 6. Likuefaksi Semen normal pada suhu ruangan akan mengalami likuefaksi dalam 60 menit, tetapi pada umumnya sudah terjadi likuefaksi dalam 15 menit. Pada beberapa kasus, likuefaksi lengkap tidak terjadi dalam 60 menit. Hal ini bisa terjadi bila mengandung granula seperti jelly (badan gelatin yang tidak mencair) tetapi tidak memiliki makna secara klinis. (Kuswondo, 2002) Pemeriksaan mikroskopis semen Pemeriksaan mikroskopis semen meliputi:

14

1. Jumlah spermatozoa per ml. Perlu diketahui yang dimaksud dengan konsentrasi sperma ialah jumlah spermatozoa per ml sperma. Jumlah spermatozoa total ialah jumlah seluruh spermatozoa dalam ejakulat. (Kuswondo, 2002) Jumlah sperma dikatakan : Highly fertile Fertile Sub Fertile Relative sub fertile Infertile Steril = 60 80 juta/ ml = 40 69 juta/ ml = 20 40 juta/ ml =10 20 juta /ml = Kurang dari 10 juta/ ml =0

2. Jumlah sperma motil per ml/presentase spermatozoa motil. Presentase spermatozoa motil sekaligus juga menunjukan jumlah spermatozoa motil dalam suatu ejakulat, merupakan parameter terpenting dari suatu hasil analilis semen seseorang, kadang dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya kehamilan oleh sperma tersebut.(Kuswondo, 2002) Lamanya abstinensi menyebabkan tersimpannya spermatoa terlalu lama dalam saluran spermatozoa yang mungkin dapat menimbulkan kerusakan. Motilitas sperma jelek bila abstinensinya lebih dari 5 hari dan motilitas terbaik didapatkan pada 2/3 bagian ejakulat pertama. Motilitas sperma akan sangat dipengaruhi atau berhubungan dengan adanya perubahan pH, infeksi, morfologi, pematangan, dan juga gangguan hormonal. (Kuswondo, 2002) Secara garis besar WHO dan beberapa ahli berpendapat motilitas dianggap normal bila 50% atau lebih bergerak maju atau 25% lebih bergerak maju dengan cepat dalam waktu 60 menit setelah ditampung. (Kuswondo, 2002) 3. Kecepatan

15

Semen yang tidak diencerkan diteteskan ke dalam titik hitung, tentukan waktu yang dibutuhkan satu spermatozoa untuk menempuh jarak 1/20 mm, pada keadaan normal dibutuhkan 11,4 detik ini disebut normakinetik. (Kuswondo, 2002) 4. Morfologi Morfologi spermatozoa dipelajari pada sediaan yang dipulas. Buatlah sediaan apus dari mani seperti sediaan apus darah, biarkan mengering pada hawa udara kemudian lakukan fixsasi dengan metalalkohol selama 5 menit. Pulasan selanjutnya dilakukan dengan giemsa, wright atau zat warna lain menurut kesukaan sendiri. Periksalah sediaan dengan objektif imersi. (Gandasoebrata, 2010) Yang terdapat dalam sediaan adalah spermatozoa, spermatosit yang boleh dianggap spermatozoon muda , sel sertoli serta beberapa sel epitel dan leukosit. Perhatikan terutama bentuk kepala dan ekor spermatozoa dengan mencatat berapa % mempunyai kelainan bentuk seperti kepala yang terlalu besar , terlalu kecil, terlalu memanjang, inti terpecah dan sebagainya, tidak ada ekor, ada dua ekor, ekor amat pendek, dan sebagainya. Itu semua digolongkan sebagai spermatozoa dengan morfologi abnormal.Tidak perlu mencari dan menggolongkan spermatosit dan sel sertoli tersendiri, selain jarang di temukan sel-sel itu amat sukar dikenal apabila tidak memakai pulasan papanicolaou. (Gandasoebrata, 2010) Morfologi spermatozoa yang normal ditentukan oleh bentuk kepala, leher, tanpa adanya sitoplasmik droplets dan bentuk ekor. Semen yang normal mengandung setidaknya 48% - 50% spermatozoa normal. (Kuswondo, 2002) Biasanya terdapat kurang 20% spermatozoa dengan kelainan bentuk.Kalau angka itu lebih besar, ada kemungkinan fertilitas berkurang. Sering dilihat bahwa peningkatan angka abnormal itu

16

berjalan pararel dengan berkurangnya spermatozoa. Laporkan juga bila banyaknya leukosit melebihi batas-batas normal. (Gandasoebrata, 2010) 5. Komponen seluler lain dari semen (leukosit dan eritrosit) Lekosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh. Lekosit ini sebagian besar diproduksi di sumsum tulang (granulosit, monosit dan sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma). Setelah dibentuk, selsel ini diangkut dalam darah menuju berbagai bagian tubuh untuk digunakan. Manfaat sesungguhnya dari lekosit ialah kebanyakan ditranport ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan serius, jadi, sel-sel tersebut dapat menyediakan pertahanan terhadap semua hal yang infeksius. (Tafiq, 2009) Terdapat enam macam lekosit yang secara normal ditemukan di dalam darah. Keenam basofil sel tersebut adalah netrofil eosinofil polimorfonuklear, polimorfonuklear,

polimorfonuklear, monosit, limfosit dan terkadang sel plasma. Ketiga tipe pertama dari sel yaitu sel-sel polimorfonuklear, seluruhnya memiliki gambaran granular, sehingga sel-sel tersebut disebut granulosit . (Tafiq, 2009) Leukosit (SDP) sangat sering dijumpai dalam spesimen semen, sebagian besar netrofil. Jumlah leukosit yang tinggi (lebih dari 1 x 106 /ml) menandakan lekospermi. Lekospermi bisa disebabkan oleh infeksi pada sistem duktus ekskretorius pria terutama dikelenjar asesorius, yang harus diselidiki dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan analisis bakteriologis semen dan cairan prostat dan USG. Sebaiknya juga dilakukan pemeriksaan bakteriologis urine secara simultan untuk mendeteksi infeksi saluran kemih, baik yang berdiri sendiri atau secara bersamaan.(Kuswondo, 2002)

17

Beberapa infeksi traktus genital pria ada sifatnya sublkinis dan asimtomatik. Pada cairan prostat yang didapat dengan masase prostat, jumlah SPD tidak sampai melebihi 15 per lapangan pandang dengan pembesaran tinggi (LBP). Jumlah sel 15 sampai 40/ LBP disebut zone perbatasan, dan bila jumlahnya lebih dari 40 maka kemungkinan besar terdapat inflamasi prostat. Jika cairan prostat tidak dapat didapat, maka perlu dilakukan pemeriksaan urine setelah masase prostat. (Kuswondo, 2002)

Nilai Normal Pemeriksaan Menurut WHO, berikut adalah empat kriteria yang dilihat dalam pengujian semen: 1. Volume Pria subur rata-rata mengeluarkan 2 hingga 5 cc semen dalam satu kali ejakulasi. Secara konsisten mengeluarkan kurang dari 1,5 cc (hypospermia) atau lebih dari 5,5 cc ( hyperspermia) dikatakan abnormal. Volume lebih sedikit biasanya terjadi bila sangat sering berejakulasi, volume yang lebih banyak terjadi setelah lama berpuasa. (Anna, 2012) 2. Konsentrasi sperma Pria subur memiliki konsentrasi sperma di atas 20 juta per cc atau 40 juta secara keseluruhan. Jumlah di bawah 20 juta/cc dikatakan konsentrasi sperma rendah dan di bawah 10 juta/cc digolongkan sangat rendah. Istilah kedokteran untuk konsentrasi sperma rendah adalah oligospermia. Bila sama sekali tidak ada sperma disebut azoospermia. Semen pria yang tidak memiliki sperma secara kasat mata terlihat sama dengan semen pria lainnya, hanya pengamatan melalui mikroskoplah yang dapat membedakannya. (Anna, 2012)

18

3. Morfologi Sperma Sperma normal memiliki bentuk kepala oval beraturan dengan ekor lurus panjang di tengahnya.Sperma yang bentuknya tidak normal (disebut teratozoospermia) seperti kepala bulat, kepala pipih, kepala terlalu besar, kepala ganda, tidak berekor, dll, adalah sperma abnormal dan tidak dapat membuahi telur. Hanya sperma yang bentuknya sempurna yang disebut normal.Pria normal memproduksi paling tidak 30% sperma berbentuk normal. (Anna, 2012) Semen normal menurut standar WHO Parameter Volume (mL) Konsentrasi (juta/mL) Motilitas (%) Kecepatan maju (0-4) Morfologi normal (%) (WHO) Morfologi normal (%) (Ketat) Jumlah sperma (juta) Total sperma bermotilitas (juta) Total sperma fungsional (juta) 4. Motilitas (Pergerakan) Sperma Sperma terdiri dari dua jenis, yaitu yang dapat berenang maju dan yang tidak.Hanya sperma yang dapat berenang maju dengan cepatlah yang dapat mencapai sel telur.Sperma yang tidak bergerak tidak ada gunanya. Menurut WHO, motilitas sperma digolongkan dalam empat tingkatan: a. Kelas a: sperma yang berenang maju dengan cepat dalam garis lurus seperti peluru kendali. b. Kelas b: sperma yang berenang maju tetapi dalam garis melengkung atau bergelombang, atau dalam garis lurus tetapi lambat. c. Kelas c: sperma yang menggerakkan ekornya tetapi tidak melaju. Nilai Minimum 2.0 20 50 3 30 14 40 20 6

19

d. Kelas d: sperma yang tidak bergerak sama sekali. Sperma kelas c dan d adalah sperma yang buruk. Pria yang subur memproduksi paling tidak 50% sperma kelas a dan b. Bila proporsinya kurang dari itu, kemungkinan akan sulit memiliki anak. Motilitas sperma juga dapat terkendala bila sperma saling berhimpitan secara kelompok sehinga menyulitkan gerakan mereka menuju ke sel telur. (Anna, 2012) Penghitungan Sperma (Sperm Count) Kesuburan pria ditentukan oleh kombinasi keempat kriteria di atas, yaitu jumlah sperma berbentuk sempurna dalam semennya yang dapat bergerak agresif. Misalnya, seorang pria yang memproduksi 20 juta sperma per ml, 50% -nya bermotilitas bagus dan 60% -nya berbentuk sempurna, maka dia dikatakan memiliki hitungan sperma 20 x 0,5 x 0,6 = 6 juta sperma bagus per ml. Bila volume ejakulasinya adalah 2 ml, maka total sperma bagus dalam sampelnya adalah 12 juta. (Anna, 2012) b. Pemariksaan fisik Pubis (rambut : ada kutu, kerontokan) Penis kulit Skrotum kesimetrisan kanan dan kiri Nyeri tekan Ada benjolan atau tidak

5. Proses spermatogenesis

20

6. Hormon yang mempengaruhi spermatogenesis 1. Testosteron Testosteron disekresikan oleh sel-sel ledig yang terletak di interstisium testi, penting bagi pertumbuhan dan pembelahan sel-sel germinal testis yang merupakan tahapan pembentukan sperma. (Guyton dan Hall, 2007) 2. Luteinizing hormone Luteinizing hormone yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior merangsang sel-sel leydig untuk menyekresi testosteron. (Guyton dan Hall, 2007) 3. Hormone perangsang folikel (FSH) Hormone perangsang folikel (FSH). yang juga disekresi oleh kelenjar-kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel-sel sertoli. Tanpa rangsangan ini pengubahan spermatid

21

menjadi sperma (proses spermatogenesis) tidak akan terjadi. (Guyton dan Hall, 2007) 4. Estrogen Estrogen yang dibentuk dari testosteron oleh sel-sel sertoli ketika sel sertoli dirangsang oleh hormon perangsang folikel, penting untuk spermatogenesis. (Guyton dan Hall, 2007) 5. Hormon pertumbuhan Hormon pertumbuhan latar belakang fungsi diperlukan untuk mengatur testis. Hormon metabolisme

pertumbuhan secara spesifik meningkatkan pembelahan awal spermatogonia itu sendiri. Bila tidak terdapat hormon pertumbuhan, seperti pada dwarfisme hipofisis, spermatogenesis sangat berkurang atau tidak ada sama sekali sehingga menyebabkan infertilitas. (Guyton dan Hall, 2007)

STEP 5 1. Bagaimana proses spermatogenesis dan organ yang berperan.

22

2. Kelainan genetik pada produksi sperma 3. Hubungan kelainan genetik dengan Azoospermia 4. Kelainan pada fungsi seksual pria STEP 6 Belajar Mandiri STEP 7 1. Proses spermatogenesis dan organ yang berperan. Spermatogenesis terjadi pada semua tubulus seminiferus selama kehidupan seks aktif, mulai rata-rata pada usia 13 tahun, sebagai akibat perangsangan oleh hormon-hormon gonadotropin adenohipofisis dan terus berlangsung selama hidup. (Guyton,1990) Dalam testis terkemas sekitar 250 m (800 kaki) tubulus seminiferus penghasil sperma (Gambar 2.1a). Di tubulus ini terdapat dua jenis sel yang secara fungsional penting yaitu sel germinativum, yang sebagian besar berada dalam berbagai tahap pembentukan sperma, dan sel Sertoli, yang member dukungan penting bagi spermatogenesis (Gambar 2.1b, c, dan d). Spermatogenesis adalah suatu proses kompleks dimana sel germinativum primordial yang relative belum berdiferensiasi, spermatogonia (masing-masing mengandung komplemen diploid 46 kromosom), berproliferasi dan diubah menjadi spermatozoa (sperma) yang sangat khusus dan dapat bergerak, masing-masing mengandung set haploid 23 kromosom yang terdistribusi secara acak. (Sherwood, L.2011)

23

Gambar 2.1a,b,cdan d. tubulus seminiferous penghasil sperma. (Sherwood,L.2011)

Pemeriksaan mikroskopik tubulus seminiferus memperlihatkan lapisan-lapisan sel germinativum dalam suatu progressi anatomic pembentukan sperma, dimulai dari yang paling kurang berdiferensiasi di lapisan luar dan bergerak masuk melalui berbagai tahap pembelahan ke lumen, tempat sperma yang telah berdiferensiasi siap untuk keluar dari testis. (Gambar 2.2) Spermatogenesis memerlukan waktu 64 hari untuk pembentukan dari spermatogonium menjadi sperma matang. Setiap hari dapat dihasilkan beberapa ratus juta sperma matang. Spermatogenesis mencakup tiga tahap utama: proliferasimitotik, meiosis, dan pengemasan). (Sherwood, L.2011)

24

Gambar 2.2 Spermatogenes (Sherwood, L.2011)

a) Proliferasi Miotik Spermatogonia yang terletak di lapisan terluar tubulus terusmenerus bermitosis, dengan semua sel anak mengandung komplemen lengkap 46 kromosomi dentik dengan sel induk. Proliferasi ini menghasilkan pasokan sel germinativum baru yang terus-menerus. Setelah pembelahan mitotic sebuah spermatogonium, salah satu sel anak tetap di tepi luar tubulus sebagai spermatogonium tak berdiferensiasi sehingga turunan sel germinativum tetap terpelihara. Sel anak yang lain mulai bergerak kearah lumen sembari menjalani berbagai tahap yang dibutuhkan untuk membentuk sperma, yang kemudian akan dibebaskan ke dalam lumen. Pada manusia, sel anak penghasil sperma membelah secara mitotis dua kali lagi untuk

25

menghasilkan empat spermatosit primer identik. Setelah pembelah anmitotik terakhir, spermatosit primer.(Sherwood, L.2011) b) Meiosis Selama meiosis setiap spermatosit primer (dengan jumlah diploid 46 kromosom rangkap) membentuk dua spermatosit sekunder (masing-masing dengan jumlah haploid 223 kromosom rangkap) selama pembelahan meiosis pertama, akhirnya menghasilkan empat spermatid (masing-masing dengan 23 kromosom tunggal) akibat pembelahan meiotic kedua.(Sherwood, L.2011) Setelah tahap spermatogenesis ini tidak terjadi pembelahan lebih lanjut. Setiap spermatid mengalami remodeling menjadi spermatozoa. Karena setiap spermatogenium secara mitosis menghasilkan empat spermatosit primer dan setiap spermatosit primer secara meiotis menghasil kanempat spermatid (calon spermatozoa.), maka rangkaian spermatogenik pada manusia secara teori tis menghasilkan 16 spermatozoa setiap kali spermatoginium memulai proses ini. Namun biasa nya sebagin sel lenyap di berbagai tahap sehingga efisiensi produksi jarang setinggi ini.(Sherwood, L.2011) c) Pengemasan Bahkan setelah meiosis, spermatid secara structural masih mirip spermatogonia yang belum berdiferensiasi, kecuali bahwa komplemen kromosomnya kini hanya separuh. Pembentukan spermatozoa yang sangat khusus dan bergerak dari spermatid memerlukan proses remodeling, atau elemen-elemen sel, suatu proses pengemasan yang dikenal ekstensif sebagai

spermiogenesis. Sperma pada hakikatnya adalah sel yang "ditelanjangi" di mana sebagian besar sitosol dan semua organel yang tidak dibutuhkan untuk menyampaikan informasi genetic sperma ke ovum telah disingkirkan. Karena itu sperma dapat

26

bergerak cepat, hanya membawa serta sedikit beban untuk melakukan pembuahan. (Sherwood, L.2011) Spermatozoa memiliki empat bagian (Gambar 2.3) yaitu kepala, akrosom, bagian tengah, dan ekor. Kepala terutama terdiri dari nukleus, yang mengandung informasi genetic sperma. Akrosom, vesikel berisi enzim yang menutupi ujung kepala, digunakan sebagai "borenzim" untuk menembus ovum. Akrosom dibentuk oleh agregasi vesikel-vesikel yang diproduksi oleh komplek sretikulum endoplasma / Golgi sebelum organel ini disingkirkan. Mobilitas spermatozoa dihasilkan oleh suatu ekor panjang mirip cambuk yang gerakannya dijalankan oleh energi yang dihasilkan oleh mitokondria yang terkonsentrasi di bagian tengah sperma. (Sherwood, L.2011) Pematangan Sperma di Epididymis Setelah terbentuk di tubulus seminiferus, sperma membutuhkan waktu beberapa hari untuk melewati tubulus epididimis yang panjangnya 6 meter. Sperma yang bergerak dari tubulus seminiferus dan dari bagian awal epididimis merupakan sperma yang tidak motil, dan tidak dapat membuahi ovum. Akan tetapi, setelah sperma berada dalam epididimis selama 18 hari sampai 24 jam, sperma memiliki kemampuan motilitas, walaupun beberapa inhibitor protein dalam cairan epididimis masih mencegah motilitas akhir sampai setelah ejakulasi. (Guyton dan Hall, 2007)

27

Gambar 2.3. Anatomi sebuah spermatozoa (Sherwood, 2011) Penyimpanan Sperma Dua testis orang dewasa membentuk sperma dengan jumlah mencapai 120 juta per hari. Sejumlah kecil sperma-sperma ini dapat disimpan di epididimis, namun sebagian besar disimpan di vasdeferens. Sperma tersebut dapat tetap disimpan sehingga fertilisasinya dapat dipertahankan paling tidak selama sebulan. Selama waktu tersebut, sperma-sperma itu dijaga pada keadaan yang sangat inaktif oleh berbagai zat inhibitor yang tinggi, penyimpanan dapat berlangsung tidak lebih dari beberapa hari. Setelah ejakulasi, sperma menjadi motil, dan juga mamou membuahi ovum, suatu proses yang disebut pematangan. (Guyon dan Hall, 2007) Sampai pematangannya lengkap, sel-sel germinativum yang sedang berkembang dan berasal dari satu spermatosit primer tetap dihubungkan oleh jembatan sitoplasma. Hubungan ini, yang terjadi karena pembelahan sitoplasma yang taksempurna, memungkinkan empat sperma yang sedang terbentuk saling bertukarsitoplasma.

28

Hubungan ini penting karena akromosom X, tetapi bukan kromosom Y, rnengandung gen-gen yang menyandi produk-produk sel yang esensial bagi pembentukan sperma. (Sementara kromosom X besar mengandung beberapa ribu gen, kromosom Y yang kecil hanya memiliki beberapa lusin, dengan yang terpenting adalah gen SRY dan gen-gen lain yang berperan penting dalam fertilitasi pria). Selama meiosis, separuh sperma menerima satu kromosom X dan separuh lainnya satu kromosom Y. Tanpa adanya hubungan sitoplasma tersebut sehingga semua sel haploid mendapat produk-produk yang disandi oleh kromosom X sampai pembentukan sperma selesai maka sperma yang mengandung kromosom Y tidak dapat terbentuk dan bertahan hidup. (Sherwood, L.2011) Semen Semen, yang diejakulasikan pria waktu melakukan hubungan seks. Terdiri dari cairan vas deferens, vesika seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar mukosa,khususnya kelenjar bulboretalis. Massa semen yang utama adalah cairan vesika seminalis (sekitar 60 persen), yang diejakulasikan terakhir dan berperanan membersihkan sperma keluar dari duktus ejakulatorius dan uretra. pH rata-rata semen gabungan rata-rata sekitar 7,5 caoran prostat yang alkali menetralkan bagian semen lain yang agak asam. Cairan prostad memberikan bentuk semen seperti susu, sedangkan cairan dari vesika seminalis dan kelenjar mukosa memberikan konsistensi mukoid pada semen. Tentu saja, enzim pembekuan dari keleknjar prostat menyebabkan fibrinogen cairan vesika seminalis membentuk koagulum yang lemah, yang kemudian larut dalam 10 sampai 20 menit selanjutnya karena lisis dari fibrinolisis yang di bentuk dari profibrinolisin prostat. Pada menit-menit pertama setelah ejakulasi, sperma tetap relative tidak bergerak, mungkin karena visikositas koagulum.akan

29

tetapi, setelah koagulum larut, sperma akan menjadi sangat mobile. (Guyton dan Hall, 2007) Walaupun sperma dapat hidup selama berminggu-minggu pada saluran genetalia pria, sekali ia diejakulasikan dalam semen masa hidup maksimumnya hanya 24 sampai 72 jam pada suhu tubuh. Akan tetapi, pada suhu yang lebih rendah, semen bisa di simpan beberapa minggu., Efek jumlah sperma pada fertilitas, biasanya jumlah semen yang diejakulasikan pada setiap kali koitus rata-rata sekitar 3,5 mL, dan pada setiap milliliter semen rata-rata terdapat sekitar 120 juta sperma, walaupun pada orang normal jumalh ini dapat bervariasi dari 35 juta sampai 200 juta.berarti bahwa rata-rata 400 juta sperma terdapat pada setiap ejakulat. (Guyton dan Hall, 2007) Bila jumlah sperma pada setiap milliliter turun di bawah sekitar 20.000.000 orang mungkin infertil, jadi walaupun hanya satu yang membuahi ovum. Alasannya yang mungkin untuk ini adalah Fungsi hialuronidase dan proteinase yang di sekresi oleh sperma untuk proses fertilisasi. Hialuronidase dan proteinase di simpan dalam sejumlah besar di dalam akrosom sperma. Hialuronidase merupakan suatu enzim yang melakukan depolimerisasi polimer asam hialuronat yang terdapat dalam jumlah besar pada zat semen interaselular; proteinase dapat melarutkan protein jaringan. (Guyton dan Hall, 2007) Bila ovum dilontarkan dari folikel ovari masuk rongga abdomen, ia membawa beberapa lapis sel. Sebelum sperma dapat mencapai ovum untuk membuahinya, sel-sel ini harus dibuang, diduga bahwa hialuronidase dan proteinase yang di keluarkan oleh akrosom paling tidak berpranan kecil (selain peranan yang lebih besar yang dimainkan oleh natrium bikarbonat yang diseksresi tuba fallofi) menyebabkan sel-sel tersebut terlepas dari ovum. Bila jumlah sperma tidak cukup, sering orang tersebut steril. Sterilitas ini di duga akibat

30

dari kekurangan enzim untuk membantu membuang lapisan sel dari ovum. (Guyton dan Hall, 2007) Kemungkinan fungsi proteinase lainnya adalah memungkinkan sperma menembus mukus yang sering terbentuk pada serviks uteri. Proteinase bekeja sebagian enzim mukolitik yang diduga mendahului sperma dan membentuk saluran di dalam sumbat mukus. Di duga bahwa kekurangan enzim yang sesuai untuk melakuakan fungsi ini kadang-kadang juga bertanggung jawab bagi sterilisasi pria. (Guyton dan Hall, 2007) Pengeluaran Spermatozoa 1. Ereksi : impuls saraf parasimpatis arteri penis berdilatasi

darah memenuhi sinusoid jaringan kavernosa penis jaringan erektil penis mengembungt penis membesar. 2. Lubrikasi : impuls saraf parasimpatis merangsang kekenjar

uretra dan bulbouretra menghasilkan lendir lubrikan. 3. Emisi : rangsangan seksual meningkat refleks simpatis

plexus hipogastrikus kuntraksi vas deverens dan ampula sperma keluar, bercampur mukus dari kelenjar vesikula seminalis terbentuk cairan semen di duktus ejakulatorius. 4. Ejakulasi : pengisian cairan di uretra merangsang saraf

pudenda ke korda sakralis kontraksi otot ischiokavernosus dan bulbokavernosus menekan jaringan erektil penis timbul tekakan ritmik yang mendorong cairan semen keluar dari uretra. 2. Kelainan genetik pada produksi sperma a. Sindrom insensitivitas androgen Kelainan genetik resesif terkait-X yang menghasilkan suatu fenotipe yang mengalami virilisasi tidak sempurna. Penderita ini biasanya tidak terdapat tanda aktivitas androgen b. Klitoromegali

31

Rendah atau tidak adanya produksi sperma. Hal ini disebabkan karena mutasi pada gen reseptor androgen. Gen yang mengkode reseptor androgen berada pada daerah kromosom-X c. Mikrodelesi kromosom Y Hal ini diakibatkan karena adanya delesi dari suatu gen. delesi gen ini menyebabkan gangguan spermatogenik. d. 3. Hubungan kelainan genetik dengan Azoospermia Infertilitas dapat disebabkan karena faktor genetik. Mutasi pada gen-gen fungsional pada sel germinal laki-laki dikenal umum sebagai penyeban infertilitas. Infertilitas laki-laki berasal dari faktor genetik seperti kelainan kromosomal, dan kelainan hormonal. Salah satu penyebab infertilitas pada laki-laki adalah mikrodelesi gen A2F pada kromosom Y lengan panjang yang diketahui berperan dalam fertilitas khususnya proses spermatogenesis. Mutasi ataupun delesi pada gen ini dapat menyebabkan infertilitas pada laki-.laki karena terjadi kerusakan spermatogenik yang berakibat menjadi azoospermia. 4. Kelainan fungsi seksual pada laki-laki a. Kelainan Fungsi Seksual Hubungannya dengan Organ 1. Hidrokel Hidrokel adalah kumpulan cairan di dalam ruang potensial di antara kedua lapisan membran tunika vaginalis. Hidrokel kongenital terjadi akibat adanya prosesus vaginalis yang menetap (hubungan antara kantong skrotum dan rongga peritoneum), sehingga cairan peritoneum dapat terkumpul di dalam skrotum. Biasanya juga sering ditemukan hernia inguinalis. (Price, 2012)

32

Pada orang dewasa, hidrokel tidak berhubungan dengan rongga peritoneum; kumpulan cairan terbentuk sebagai reaksi terhadap infeksi, tumor, atau trauma, yaitu akibat produksi cairan yang berlebihan oleh testis, maupun obstruksi aliran limfe atau vena di dalam funikulus spermatikus. Hidrokel yang kronik biasanya timbul pada pria yang berusia di atas 40 tahun. Cairan yang terkumpul massa yang terbentuk dalam lunak, kistik, atau keras. (Price, 2012) 2. Karsinorna Prostat Dengan berkembangnya tumor dapat terjadi perluasan langsung ke uretra, leher kandung kemih, dan vesikula seminalis. Kanker prostat dapat juga menyebar melalui jalur limfatik atau hematogen. Bagian yang paling sering terkena metastasis adalah kelenjar limfe pelvis dan kerangka. Metastasis kerangka secara berurut adalah tulang-tulang pelvis, vertebra lumbalis, femur, vertebra torasika, dan kosta. Metastasis organ timbul setelahnya dan seringkali pada hati dan paru-paru. Perjalanan penyakit kanker prostat tidak dapat diperkirakan. Kanker dapat berkembang sangat lambat pada beberapa laki-laki dan dapat tumbuh dan bermetastasis secara cepat laki-laki lain. Oleh karena itu, kebanyakan agresif (Price, 2012) 3. Karsinoma Testis Kanker testikular adalah bentuk kanker yang relatif jarang. Walaupun kanker ini hanya 1% pada laki-laki, kanker testikular adalah keganasan padat yang paling sering pada laki-laki muda. Usia puncak untuk kanker dan menyebabkan kematian dalam perjalanan penyakit pada dokter mengobati pasien-pasien dengan kanker prostat secara

33

testis adalah 15 hingga 35 tahun. Insidens meningkat perlahan setelah usia 40 tahun. Tanda kanker testikular yang paling sering adalah pembengkakan tanpa rasa nyeri dan massa dalam satu testis. Sekitar sepertiganya, laki-laki akan mengalami nyeri tumpul yang terus menerus atau merasakan berat pada abdomen bagian bawah, lipat paha, atau daerah skrotum. Semua laki-laki seharusnya sudah mengetahui tentang ukuran dan rasa dari testis mereka sehingga mereka dapat mendeteksi berbagai perubahan yang terjadi. 4. Karsinoma Penis Karsinoma penis lebih sering terjadi pada laki-laki yang tidak disirkumsisi daripada laki-laki yang disirkumsisi. Sirkumsisi neonatal telah diharapkan dapat menghilangkan kejadian karsinoma penis. Karsinoma serviks pada pasangan seksualnya meningkatkan risiko berkembangnya kanker penis deoksiribonuklea t. (DNA) HI- v yang ditularkan melalui hubungan seksual telah teridentifikasi pada kasus kanker penis. Kebanyakan keganasan penis adalah karsinoma sel skuamosa tingkat rendah. Luasnya metastasis ke kelenjar mengindikasikan prognosis Karsinoma penis dimulai dengan lesi kecil yang berawal dibawah prepusium atau pada bagian korona yang secara perlahan-lahan meluas dan melibatkan seluruh glans, preputium, korona, dan batang penis. 5. Balanitis Balanitis adalah peradangan glans; balanopostitis adalah peradangan glans dan prepusium pada pria yang tidak disirkumsisi. Peradangan dapat disebabkan oleh gonore, trikomoniasis, sifilis, Candida albicans, tinea, atau organisme koliform; dapat pula sebagai komplikasi dari dermatitis

34

seperti

psoriasis; atau dermatitis kontak akibat celana, Balanopostitis juga disebabkan oleh prepusium yang

pemakaian kondom, dan jeli kontrasepsi. (Price, 2012) ketat atau kurang menjaga kebersihan. Sekresi normal di bawah kulit prepusium menjadi terinfeksi dengan bakteri anaerob, menyebabkan peradangan dan nekrosis. (Price, 2012) 6. Uretritis Uretritis adalah peradangan uretra oleh berbagai penyebab dan merupakan sindrom yang sering terjadi pada pria. Infeksi uretritis diklasifikasikan sebagai gonokok adalah atau nongonokok (NGU), bergantung pada organisme penyebabnya. Organisme yang . paling sering Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Ureaplasma urealyticum, Trichomonas vaginal's, virus herpes simpleks (tipe 1 maupun 2), dan HPV. Organisme-organisme tersebut kebanyakan ditularkan melalui aktivitas seksual. Tanda-tanda dan gejala-gejala yang klasik adalah sekret uretra; peradangan meatus; rasa terbakar, gatal, urgensi, atau sering berkemih. 7. Prostatitis Prostatitis adalah peradangan prostat; dapat bersifat akut maupun kronik, dan penyebabnya dapat berupa bakterial atau nonbakterial. Sekitar 50% laki-laki mengalami gejala peradangan prostatik selama masa dewasa, dan hanya sekitar 5% dari kasus-kasus ini disebabkan oleh infeksi bakterial. Kebanyakan infeksi bakteri pada prostat disebabkan oleh organisme gram negatif; organisme yang paling sering adalah Escherichin coll. Organisme penyebab lain adalah enterokokus, stafilokokus, streptokokus, Chlamydia trachomatis, Ureaplasma urealyticum, dan Neisseria gonorrhoeae.

35

Infeksi bakteri prostatik dapat merupakan akibat dari infeksi uretra yang terjadi bersamaan atau yang terjadi sebelumnya dengan langsung naiknya bakteri dari uretra melalui duktus duktus prostatik masuk kedalam prostat, refluks urine dari kandung kemih yang terinfeksi, atau penyebaran langsung melalui aliran limfe atau darah. Prostatitis bakterial akut paling sering terjadi pada pria antara usia 20 hingga 40 tahun; menyebabkan demam antara 39 0 hingga 40 C, menggigil, nyeri pinggang, nyeri perineum, disuria, spasme uretra, dan nyeri bagian suprapubik. Pada pemeriksaan rektal, prostat teraba nyeri, membengkak, hangat, dan keras. Palpasi pada prostat harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Selain itu, pemijatan yang kuat akan menimbulkan nyeri yang sangat bagi pasien, dapat menyebabkan epididimitis sekunder atau septikemia karena bakteri yang banyak dilepaskan secara sistemik. Karena biasanya juga terdapat sistitis, maka urinalisis dan biakan urine seringkali dapat mengidentifikasi organismenya. 8. Epididimitis Epididimitis adalah respons peradangan epididimis akibat infeksi atau trauma. lnfeksi menyebar dari uretritis atau prostatitis yang sudah ada, dan dapat terjadi unilateral atau bilateral. Epididimitis bakterial kronik atau berulang adalah infeksi kronik sekunder pada bagian ini atau karena kateter ureter yang terus menerus dipasang. Dapat juga terjadi pembentukan abses. Penyebaran organisme melalui darah dari bagian lain dapat terjadi walaupun jarang. Organisme dari faring dan infeksi tuberkulosis paru ditularkan melalui aliran darah.

36

Tanda epididimitis yang paling sering adalah nyeri dan pembengkakan skrotum yang disertai eritema; dapat terbentuk hidrokel. Sekret uretra, disuria, sering berkemih dan urgensi adalah gejala yang biasa. Awitan dapat timbul secara akut dalam 1 hingga 2 hari atau timbul secara perlahanlahan. Uji laboratorium organisme yang adalah dilakukan apusan untuk uretra, mengidentifikasi

urinalisis, biakan urine, biakan darah, dan biak untuk penyakit menular seksual. Epididimitis diklasifikasikan sebagai epididimitis bakterial nonspesifik dan epididimitis yang ditularkan secara seksual. Epididimitis bakterial nonspesifik disebabkan oleh E. coli, streptokokus dan stafilokokus, disebabkan oleh keadaan patologis urologik yang rnendasarinya. Epididimitis yang ditularkan secara seksual disebabkan oleh gonorea, chlamydia, Treponema pallidum, dan T. vaginalis. Identifikasi organisme dan pengobatan antibiotika harus dilakukan sesegera mungkin karena ada ancaman sterilitas atau infertilitas sebagai akibat obstruksi mekanik karena parut. 9. Orkitis Orkitis adalah peradangan testis; yang jika bersama dengan epididimitis menjadi epididimoorkitis dan merupakan komplikasi yang serius dari epididimitis. Orkitis berbeda dari infeksi traktus genitalia lain dalam dua hal: jalur utama infeksi adalah hematogen, dan virus adalah organisme penyebab orkitis yang paling sering. Infeksinya diklasifikasikan sebagai orkitis viral, orkitis bakterial piogenik, atau orkitis granulomatosa. Virus adalah penyebab orkitis yang paling sering. Orkitis parotiditis adalah infeksi virus yang paling sering terlihat, walaupun imunisasi untuk mencegah parotiditis

37

pada masa anak-anak telah menurunkan insidens. Dua puluh hingga tiga puluh persen kasus parotiditis pada orang dewasa terjadi bersamaan dengan orkitis; terjadi bilateral pada sekitar 15% pria dengan orkitis parotiditis. Pada laki-laki pubertas atau dewasa, biasanya terdapat kerusakan tubulus seminiferus dengan risiko infertilitas, dan pada beberapa kasus, terdapat kerusakan sel-sel Leydig yang mengakibatkan hipogonadisme defisiensi testosteron. Orkitis parotiditis jarang terjadi pada lakilaki prapubertas, sesudahnya. Tanda dan gejala berkisar dari ketidaknyamanan ringan pada testiskular dan edema hingga nyeri testiskular yang parah dan terbentuknya edema dalam waktu sekitar 4 hingga 6 hari setelah awitan penyakit dengan demam tinggi, mual, dan muntah. Epididimitis dan funikulitis (infeksi vas deferens) adalah komplikasi yang mungkin terjadi. 10.Fimoris Fimoris adalah keadaan dimana prepusium penis tak mungkin direktasi. Ini bisa merupakan komplikasi sirkumsisi, dimana terlalu banyak prepusium tertinggal, atau bisa sekunder terhadap infeksi yang timbul di bawah prepusium yang berlebihan. Pada yang terakhir, prepusium menjadi melekat dan fibrotik kronis di bawah prepusium dan mencegah retraksi. Keadaan ini biasanya akibat kebersihan yang buruk, dan terapi melibatkan tindakan lokal untuk membasmi infeksi. Pembelahan dorsal pada prepusium mungkin diperlukan. Bila infeksi akut dan radang menyembuh, maka terapi definitif adalah sirkumsisi. namun bila ada, dapat diharapkan kesembuhan yang sempurna tanpa disfungsi testiskular

38

11.Kriptorkidisme Pada masa gestasi sekitar 32 minggu, testis turun ke dalam skrotum di bawah pengaruh testosteron. Kriptorkidisme adalah kegagalan satu atau kedua testis untuk turun dari rongga abdomen ke dalam skrotum. Pada kebanyakan kasus diakibatkan oleh hipogonadisme atau obstruksi mekanik. Kegagalan testis ektopik dalam mengikuti penurunan jalur normal dan akan terletak pada tempat yang abnormal. Letak yang paling sering untuk testis yang ektopik adalah kanalis inguinalis, perineum, daerah femoral, atau pada pangkal penis. (Price, 2012) Testis yang tidak turun biasanya lebih kecil daripada normal, tidak menghasilkan sperma dengan baik, dan rentan terhadap perubahan keganasan. Pada sebagian kasus testis yang tidak teraba terdapat agenesis testis. (Price, 2012) b. Kelainan Fungsi Seksual Hubungannya dengan Hormon 1. Kanker Prostat Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang masa kanakkanak dan mulai tumbuh pada masa pubertas akibat rangsangan testosteron. Kelenjar ini mencapai ukuran hampir tetap pada usia 20 tahun dan tetap dalam ukuran ini sampai berusia kira-kira 50 tahun. Pada waktu tersebut, beberapa pria kelenjarnya mulai berinvolusi, bersamaan dengan pengurangan pembentukan testosteron oleh testis. (Guyton, 2012) Fibroadenoma prostat jinak sering terbentuk di prostat pada banyak pria yang sudah tua dan dapat menyebabkan penyumbatan urin. Hipertrofi tersebut tidak disebabkan oleh testosteron oleh testis. (Guyton, 2012)

39

Kanker kelenjar prostat merupakan masalah lain dan sering menjadi penyebab kematian yang umum, dan bertanggung jawab atas 2 sampai 3 persen dari seluruh kematian pria. Begitu kanker kelenjar prostat terjadi, sel-sel karsinogen biasanya dirangsang untuk tumbuh lebih cepat lagi oleh testosteron dan dihambat dengan pengangkatan testis, sehingga testosteron tidak dapat dibentuk. Kanker prostat biasanya dapat dihambat dengan pemberian estrogen. Bahkan beberapa pasien yang mengalami kanker prostat yang telah bermetastasis ke hampir semua tulang tubuh behasil diobati dengan sukses selama beberapa bulan sampai beberapa tahun dengan pengangkatan testis, dengan terapi estrogen, atau keduanya; setelah pengobatan ini, ukuran metastasis biasanya berkurang dan tulang pulih sebagian. Pengobatan ini tidak benar-benar menghentikan kanker tetapi dapat memperlambat pertumbuhannya dan sering kali sangat mengurangi rasa nyeri pada tulang. (Guyton, 2012) 2. Hipogonadisme Saat testis fetus pria tidak berfungsi, yaitu selama masa janin, tidak ada karakteristik kelamin pria yang akan berkembang. Bahkan, organ-organ wanitalah yang akan terbentuk. Alasan untuk keadaan ini adalah bahwa karakteristik genetik daasr dari janin, baik pria maupun wanita, adalah pembentukan organ kelamin wanita bila tidak terdapat hormon-hormon kelamin. Tetapi dengan adanya testosteron, pembentukan organ kelamin wanita akan ditekan, dan organ-organ pria dirangsang. (Guyton, 2012) Bila seorang anak laki-laki kehilangan testisnya sebelum pubertas terjadi suatu keadan eunuchism, yang menyebabkan si anak tetap memiliki ciri organ seksual infantil dan ciri seksual infatil lainnya sepanjang

40

kehidupannya. Tinggi badannya pada saat dewasa sedikit lebih besar daripada pria normal, walaupun tulang-tulangnya lebih kecil, otot-ototnya lebih lemah daripada pria normal. Suaranya seperti suara anak-anak, tidak terjadi kerontokan rambut kepala, dan tidak terjadi penyebaran pertumbuhan rambut normal pada wajah dan tempat lain. (Guyton, 2012) Bila pria dikastrasi setelah pubertas, beberapa cii seksual sekunder kembali ke ciri seksual yang terdapat pada anak-anak, dan sifat maskulin lainnya masih tetap terdapat. Organ-organ seksual sedikit berkurang ukurannya tetapi tidak kembali pada ukuran pada masa kanak-kanak, kualitas suara bassnya sedikit berkurang. Sebaliknya, terjadi kehilangan pertumbuhan rambut yang menandakan maskulinisasi, kehilangan tulang maskulin yang tebal, dan kehilangan otot pria sejati. (Guyton, 2012) Pada pria dewasa yang dikastrasi, gairah seksual juga turun tetapi tidak hilang sama sekali, jika aktivitas seksual telah dilakukan sebelumnya. Ereksi masih dapat terjadi seperti sebelumnya, walaupun sedikit lebih sukar, tetapi sangat jarang terjadi ejakulasi, secara primer karena organ yang membentuk semen berdegenerasi, dan hilangnya gairah psikis yang didorong oleh testosteron. (Guyton, 2012) Beberapa kasus hipogonadisme disebabkan oleh ketidakmampuan genetik hipotalamus untuk menyekesi GnRH dalam jumlah yang normal. Hal ini sering terjadi bersamaan dengan suatu kelainan yang terjadi di pusat makan hipotalamus, yang menyebabkan orang tersebut makan berlebihan. Akibatnya, terjadi obesitas yang sejalan dengan eunuchism. (Guyton, 2012) 3. Hipotiroidisme dan Hipertiroidisme

41

Keadaan jumlah hormon tiroid dalam darah menurun. Hipotiroidisme dapat bersifat primer atau sekunder. Keadaan ini mempengaruhi hampir semua fungsi tubuh termasuk fungsi seks. Gejala karakteristik dari hipotiroidisme ialah perasaan lemah, mudah lelah kulit keringdan kasar, tidak tahan dingin, bicara pelan dan badan kelihatan seolah-olah gemuk. Penderita hipotiroidisme akan mengalami menurunnya fungsi seks termasuk ereksi yang lemah. Besar kemungkinan gejala penyakitnya sendiri secara langsung sudah jauh lebih berat, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan kehidupan seks lagi. Bila hormon tiroid terlalu banyak dalam darah disebut gangguan hipertiroidisme yang atau tirotoxikosis, terjadilah menyebabkan

gangguan fungsi seks termasuk ereksi. Gejala klinik di sini ialah kulit selalu lebih panas dan lembab karena keringat terlalu banyak dan jantung berdebar-debar. Sebanyak 40% penderita mengalami disfungsi ereksi tetapi mekanisme dan korelasinya belum jelas. Besar kemungkinan kehabisan tenaga karena metabolisme terlalu tinggi. Disfungsi ereksi karena hipertiroidisme adalah reversible atau akan kembali normal bila gejala hipertiroidisme sudah sembuh. (Tobing, 2006) 4. Hiperplasia Prostat Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Tanda klinis BPH biasanya muncul pada lebih dari 50% laki-laki yang berusia 5 0 tahun ke atas. Hiperplasia prostatik adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat; pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama

42

terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Prostat tersebut mengelilingi uretra, dan pembesaran bagian periuretral akan menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra pars prostatika, yang mengakibatkan berkurangnya aliran kemih dari kandung kemih. Penyebab BPH berkaitan dengan penuaan dan disertai dengan perubahan hormon. Dengan penuaan, kadar testosteron serum menurun, dan kadar estrogen serum meningkat. (Price, 2012)

Anda mungkin juga menyukai