Anda di halaman 1dari 22

PORTOFOLIO KASUS GAWAT DARURAT

UNSTABLE PELVIC FRACTURE

Disusun Oleh: dr. Roza Insanil Husna

Pendamping: dr. Endah Woro Utami dr. Deny Christianto

RSUD NGUDI WALUYO WLINGI Maret 2013

Nama Peserta : dr. Roza Insanil Husna Nama Wahana : RSUD Ngudi Waluyo, Wlingi, Kabupaten Blitar Topik : Unstable Pelvic Fracture Tanggal Kasus : 2 Februari 2013 Nama Pasien : Tn. K Tanggal Presentasi : Tempat Presentasi : Obyektif Presentasi : Keilmuan Diagnostik Neonatus Deskripsi Pria, 35 tahun, datang dengan penurunan kesadaran, tampak mengantuk dan pucat serta tidak dapat menggerakkan kedua tungkainya. Di punggung pasien terdapat luka babras yang luas mulai dari punggung atas hingga pinggang dan terdapat luka memar di perut bagian bawah kiri. 30 menit SMRS, pasien sedang memperbaiki sebuah truk, namun tiba-tiba truk tersebut jalan sehingga pasien terlindas. Tujuan Mengetahui definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan serta komplikasi dari Unstable Fracture Pelvic Bahan Bahasan Cara Bahasan Data Pasien Nama Klinik: IGD RSUD Ngudi Waluyo, Wlingi Data Utama untuk Bahan Diskusi 1. Diagnosis/Gambaran Klinis: Pasien datang dengan penurunan kesadaran, tampak Tinjauan Pustaka Diskusi Nama: Tn. K Telp: Riset Kasus Email Audit Pos Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka Istimewa Lansia Bumil No. RM : Nama Pendamping : dr. Deny Christianto

Manajemen Bayi Anak

Masalah Remaja Dewasa

Presentasi dan Diskusi

Nomor Registrasi: Terdaftar sejak: -

mengantuk dan pucat serta tidak dapat menggerakkan kedua tungkainya. Di punggung pasien terdapat luka babras yang luas mulai dari punggung atas hingga pinggang dan terdapat luka memar di perut bagian bawah kiri. 30 menit SMRS, pasien sedang memperbaiki sebuah truk, namun tiba-tiba truk tersebut jalan sehingga pasien terlindas. 2. Riwayat Pengobatan: 3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: 4. Riwayat Keluarga: 5. Riwayat Pekerjaan: Supir truk 6. Lain-lain: Daftar Pustaka

1. Solomon, L., Warwick, D., Nayagam, S. 2010. Apleys System of Orthopaedics and Fractures 9th Edition. London: Hodder Arnold
2. Graf, Kenneth W. 2012. Unstable Pelvic Fractures. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1247426-overview pada tanggal 10 Maret 2013 3. Hak, D.J., Smith, W.R., Suzuki, T. 2009. Management of Hemorrhage in Life-

threatening Pelvic Fracture. J Am Acad Orthop Surg vol. 17 no. 7 page 447-457
4. American Colleges of Surgeon. 2004. Advanced Trauma Life Support for Doctors.

5. Chairuddin Rasjad. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone
Hasil Pembelajaran 1. Macam-macam Pelvic Fracture 2. Penyebab dan proses terjadinya Pelvic Fracture 3. Tanda-tanda Pelvic Fracture 4. Penatalaksanaan Pelvic Fracture terutama di Instalasi Gawat Darurat

PEMBAHASAN

UNSTABLE PELVIC FRACTURE


Definisi1 Fraktur adalah putusnya kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis maupun tulang rawan sendi. Fraktur pelvis dapat diartikan sebagai putusnya atau hilangnya kontinuitas tulang dan atau tulang rawan yang terletak pada regio pelvis (panggul). Anatomi Pelvis3 Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: sacrum dan dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium dan pubis. Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior pada dua persendian sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang memikul beban berat badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis. Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil oleh struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentumligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat oblik pendek yang melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti halnya serat longitudinal yang lebih panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan bergabung dengan ligamentum sacrotuberale. Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan dengan ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah sebuah jalinan kuat yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek dorsal spina iliaca posterior sampai ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini, bersama dengan ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan stabilitas vertikal pada pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas lateral sacrum dan coccygeus sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica. Ligamentum iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis keempat dan kelima sampai ke crista iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang

dari processus transversus lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri (gambar 1).

Gambar 1. Pandangan posterior (A) dan anterior (B) dari ligamentum pelvis.

Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat pada pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas pinggiran pelvis. Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan sendi sacroliliaca. Cabang posterior arteri iliaca interna termasuk arteri iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri glutea superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar, yang terletak secara langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna termasuk arteri obturatoria, arteri umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda, arteri glutea inferior, arteri rectalis dan arteri hemoroidalis. Arteri pudenda dan obturatoria secara anatomis berhubungan dengan rami pubis dan dapat cedera dengan fraktur atau perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini dan juga vena-vena yang menyertainya seluruhnya dapat cedera selama adanya disrupsi pelvis (gambar 2). Pemahaman tentang anatomi pelvis akan membantu ahli bedah ortopedi untuk mengenali pola fraktur mana yang lebih mungkin menyebabkan kerusakan langsung terhadap pembuluh darah mayor dan mengakibatkan perdarahan retroperitoneal signifikan.

Gambar 2. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah mayor yang terletak pada dinding dalam pelvis Epidemiologi2 Jumlah kasus fraktur pelvis mencapai 1-3% dari semua jenis fraktur tulang dan mencapai 2% dari keseluruhan kasus ortopedi di rumah sakit. Frekuensi patah meningkat pada 2 kelompok usia, yaitu pada orang berusia 2040 tahun dan kemudian pada orang tua lebih dari 65 tahun.

Klasifikasi1,2,5 Berdasarkan patofisiologi, ada 3 sistem klasifikasi yang sering digunakan dalam mengevaluasi cedera pelvis dan menentukan penatalaksanaan yang tepat, yaitu:

Klasifikasi Tile: Tipe A/stabil; ini temasuk avulsi dan fraktur pada cincin pelvis dengan sedikit atau tanpa pergeseran. o o A1 : fraktur panggul tidak mengenai cincin A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur

Tipe B yaitu secara rotasi tidak stabil tapi secara vertikal stabil. Daya rotasi luar yang mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak dan membuka simfisis biasa disebut fraktur open book atau daya rotasi internal yaitu tekanan lateral yang dapat menyebabkan fraktur pada rami

iskiopubik pada salah satu atau kedua sisi juga disertai cidera posterior tetapi tida ada pembukaan simfisis. o o o B1 : open book B2 : kompresi lateral ipsilateral B3 : kompresi lateral kontralateral (bucket-handle)

Tipe C yaitu secara rotasi dan vertical tak stabil, terdapat kerusakan pada ligament posterior yang keras dengan cidera pada salah satu atau kedua sisi dan pergeseran vertical pada salah satu sisi pelvis, mungkin juga terdapat fraktur acetabulum. o o o C1 : unilateral C2 : bilateral C3 : disertai fraktur asetabulum

Gambar 3. Klasifikasi Fraktur Pelvis menurut Tile

Klasifikasi Key dan Conwell a. Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin Fraktur avulsi a. Spina iliaka anterior superior b. Spina iliaka anterior inferior c. Tuberositas isium Fraktur pubis dan isium Fraktur sayap ilium (Duverney) Fraktur sakrum

Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus b. Keretakan tunggal pada cincin panggul Fraktur pada kedua ramus ipsilateral Fraktur dekat atau subluksasi simfisis pubis Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakro-iliaka c. Fraktur bilateral cincin panggul Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis Fraktur ganda dan atau dislokasi (Malgaigne) Fraktur multipel yang hebat d. Fraktur asetabulum o Tanpa pergeseran o Dengan pergeseran

Klasifikasi Young-Burgess Klasifikasi Young-Burgess dapat dilihat secara rinci pada tabel berikut ini. Klasifikasi ini dibedakan menjadi 4 jenis berdasarkan mekanisme injuri yaitu lateral compression (LC), anteroposterior compression (APC), vertical shear (VS), dan combined mechanical (CM).

Etiologi2 Cedera energi tinggi yang menghasilkan gangguan cincin panggul lebih cenderung disertai dengan cedera parah pada SSP, perut, dan dada. Hal ini sering diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Patofisiologi1,2,5 Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis atau osteomalasia dapat terjadi fraktur stress pada ramus pubis. Oleh karena rigiditas panggul maka keretakan pada salah satu bagian cincin akan disertai robekan pada titik lain, kecuali pada trauma langsung. Sering titik kedua tidak terlihat dengan jelas atau mungkin terjadi robekan sebagian atau terjadi reduksi spontan pada sendi sakro-iliaka.

Mekanisme trauma pada cincin panggul menurut Young dan Burgess terdiri atas: Kompresi Anteroposterior Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki dengan kendaraan. Ramus pubis mengalami fraktur, tulang inominata terbelah,

dan mengalami rotasi eksterna disertai robekan simfisis. Keadaan ini disebut sebagai open book injury. Bagian posterior ligamen sakro-iliaka mengalami robekan parsial atau dapat disertai fraktur bagian belakang ilium.

Kompresi Lateral Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan. Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakriiliaka atau fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.

Pergeseran Vertikal Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro-iliaka pada sisi yang sama. Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.

Trauma Kombinasi Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan di atas

Manifestasi Klinis1,2 Beberapa tanda klinis dapat membantu diagnosis sebelum pemeriksaan radiografi dilakukan. Tanda Destot, yaitu hematoma di dekat ligamentum inguinalis, di skrotum, atau di paha dapat menunjukkan adanya fraktur pelvis. Pemeriksa harus mencari deformitas panggul secara rotasi atau ekstremitas bawah. Perbedaan panjang tungkai juga dapat menyertai fraktur pelvis. Praktek mengompresi dan menggoyang tulang ilium dapat menentukan stabilitas fraktur pelvis namun sebaiknya dihindari. Cedera neurologis seringkali diabaikan. Ekstremitas bawah harus menjalani pemeriksaan neurovaskular menyeluruh. Prevalensi cedera neurologis pada patah tulang panggul telah dilaporkan mencapai 3,5-13%.

Patah tulang sakral dan SI gangguan memiliki insiden yang sangat tinggi cedera neurologis. Menurut klasifikasi fraktur panggul Denis, zona I fraktur sakral yang dikaitkan dengan kejadian 5,9% cedera neurologis. Zona cedera II memiliki 28% tingkat cedera neurologis, biasanya melibatkan akar saraf L5, S1, dan S2. Cedera zona III memiliki insiden 56% dari cedera neurologis. Cedera tersebut sering melibatkan usus dan kandung dan juga dapat menyebabkan disfungsi seksual. Semua pasien dengan patah tulang sakral harus menjalani pemeriksaan vagina dan dubur di IGD. Fraktur panggul terbuka dapat berkomunikasi langsung dengan rektum, vagina, atau laserasi kulit dan membawa tingkat kematian hingga 50%. Banyak luka yang terlewatkan jika pemeriksaan tersebut tidak dilakukan. Ruptur uretra juga bisa dideteksi dengan pemeriksaan rektal, di mana pada pemeriksaan sering didapati adanya floating prostat. Daerah perineum dan MUE harus diperiksa apakah ada darah atau tidak, hal ini bisa menjadi tanda ada tidaknya laserasi pada uretra. Pada cidera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat kerusakan pada viscera pelvis. Foto polos pelvis dapat mempelihatkan fraktur. Pada cidera tipe B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak dapat berdiri, tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat lokal tapi sering meluas, dan usaha menggerakkan satu atau kedua ossis ilii akan sangat nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalamai anastetik sebagian karena mengalami cidera saraf skiatika. Cidera ini sangat hebat sehingga membawa resiko tinggi terjadinya kerusakan visceral, perdarahan di dalam perut dan retroperitoneal, syok, sepsis dan ARDS. Angka kematian juga cukup tinggi Diagnosis1,4 Anamnesis Onset terjadinya trauma dan keadaan umum penderita saat terjadi trauma Mechanism of injury (proses terjadinya trauma apakah kecelakaan antarkendaraan bermotor, terjatuh dari ketinggian, dsb) Miksi dan defekasi terakhir

Waktu dan jumlah makan dan minum yang terakhir Bila penderita wanita apakah sedang hamil atau menstruasi Trauma lainnya seperti trauma pada kepala

Pemeriksaan Fisik a. Pemeriksaan nyeri : Tekanan dari samping cincin panggul Tarikan pada cincin panggul

b. Tentukan derajat ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada ramus dan simfisis pubis. Prosedur ini hanya boleh dilakukan 1 kali, karena manuver yang berlebihan dapat memperparah cedera atau perdarahan. c. Pemeriksaan colok dubur (rectal toucher) untuk menentukan ada tidaknya floating prostat yang merupakan tanda adanya trauma pada uretra.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk membantu

menegakkan diagnosis fraktur pelvis adalah foto rontgen pelvis dan CT scan. Sedangkan untuk skrining awal perdarahan intraabdomen dapat dilakukan pemeriksaan focused abdominal sonography for trauma (FAST) Pemeriksaan laboratorium hanya berfungsi untuk menentukan terapi, bukan untuk mendiagnosis. Adapun pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin (Hb, WBC, platelet, Htc), golongan darah, fungsi hemostasis (PPT dan aPTT), fungsi ginjal (Ureum dan Creatinin), fungsi hati (SGOT,SGPT), serta serum elektrolit. Penatalaksanaan1,3,4 Identifikasi dan Pengelolaan Fraktur Pelvis 4 a. Identifikasi mekanisme trauma yang menyebabkan kemungkinan fraktur pelvis misalnya terlempar dari sepeda motor, crush injury, pejalan kaki ditabrak kendaraan, tabrakan sepeda motor, dsb

b. Periksa daerah pelvis adanya ekimosis, perianal atau scrotal hematoma, darah di meatus uretra. c. Periksa tungkai apakah ada perbedaan panjang atau asimetri rotasi panggul. d. Lakukan pemeriksaan rectum, posisi dan mobilitas kelenjar prostat, teraba fraktur, atau adanya darah pada kotoran. e. Lakukan pemeriksaan vagina, raba fraktur, ukuran dan konsistensi uterus, dan adanya darah. Perlu diingat bahwa penderita mungkin hamil. f. Jika dijumpai kelainan pada poin b sampai e, dan jika mekanisme trauma menunjang terjadinya fraktur pelvis, lakukan pemeriksaan rontgen pelvis AP (mekanisme trauma dapat menjelaskan tipe fraktur). g. Jika poin b sampai e normal, lakukan palpasi tulang pelvis untuk menemukan tempat nyeri. h. Tentukan stabilitas pelvis dengan hati-hati melakukan tekanan anteriorposterior dan lateral-medial pada SIAS. Pemeriksaan mobilitas aksial dengan melakukan dorongan dan tarikan tungkai secara hati-hati, tentukan stabilitas kranial-kaudal. i. Perhatian pemasangan kateter urine, jika tidak ada kontraindikasi, atau lakukan pemeriksan retrograde uretrogram jika terdapat kecurigaan trauma uretra. j. Penilaian foto ronsen pelvis, perhatian kasus pada fraktur yang sering disertai kehilangan darah banyak, misalnya fraktur yang meningkatkan volume pelvis. 1. Cocokan identitas penderita pada film 2. Periksa foto secara sistemik ; a. Lebar simpisis pubis-pemisahan lebih dari 1 cm menunjukkan ada trauma pelvis posterior b. Integritas ramus superior dan inferior pubis bilateral c. Integritas asetabulum, kapsul dan kolum femur d. Simetri ileum dan lebarnya sendi sakroiliaka e. Simetri foramen sacrum dengan evaluasi linea arkuata f. Fraktur prosessus transversus L5

3. Ingat, karena tulang pelvis berbentuk lingkaran jarang kerusakan hanya pada satu tempat saja.

4. Ingat, fraktur yang meningkatkan volume pelvis, misalnya vertical shear dan fraktur open-book, sering disertai syok.

k. Mengatasi Syok Akibat Perdarahan 1. Pasang IV line segera, bila perlu langsung 2 jalur sekaligus. 2. Cegah manipulasi berlebihan atau berulang-ulang 3. Tungkai bawah di rotasi ke dalam untuk menutup fraktur openbook. Pasang bantalan pada tonjolan tulang dan ikat kedua

tungkai yang dilakukan rotasi. Tindakan ini akan mengurangi pergeseran simpisis, mengurangi volume pelvis, bermanfaat untuk tindakan sementara menunggu pengobatan definitif. 4. Pasang dan kembangkan PASG. Alat ini bermanfaat untuk membawa/transport penderita. 5. Pasang external fixator pelvis (konsultasi orthopedi segera) 6. Pasang traksi skeletal (konsultasi orthopedi segera) 7. Embolisasi pembuluh darah pelvis melalui angiografi 8. Lakukan segera konsultasi bedah/ orthopedi untuk menentukan prioritas 9. Letakkan bantal pasir di bawah bokong kiri-kanan jika tidak terdapat trauma tulang belakang atau cara menutup pelvis yang lain tidak tersedia. 10. Pasang pelvic binder 11. Merujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang lebih lengkap, bila tidak mampu mengatasi. Metode Penanganan Perdarahan Pada Fraktur Pelvis3 a. Military Antishock Trousers Military antishock trousers (MAST) dapat memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an, penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan tamponade pelvis dan meningkatkan aliran balik vena untuk membantu resusitasi. Namun, penggunaan MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin menyebabkan sindroma kompartemen ekstermitas bawah. Meskipun masih berguna untuk stabilisasi pasien dengan

fraktur pelvis, MAST secara luas telah digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil.

b. Pengikat dan Sheet Pelvis Kompresi melingkar mungkin bisa dilakukan saat penanganan pra rumah sakit dan pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan resusitasi. Lembaran terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling pelvis efektif secara biaya, non-invasif, dan mudah untuk diterapkan. Pengikat pelvis komersial beragam telah ditemukan. Tekanan sebesar 180 N tampaknya memberikan efektivitas maksimal. Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis mengurangi kebutuhan transfusi, lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas pada pasien dengan cedera APC.

Gambar 4. Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat kompresi melingkar pelvis (pengikat pelvis) yang tepat, dengan gesper tambahan (tanda panah) untuk mengontrol tekanan

Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan fraktur pelvis disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin berkontribusi pada deformitas pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah dapat dicapai dengan membalut lutut atau kaki bersama-sama, dan hal ini dapat memperbaiki reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan kompresi melingkar.

c. Fiksasi Eksternal Fiksasi Eksternal Anterior Standar Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis emergensi pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur pelvis bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi pergeseran pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien, menurunkan kemungkinan disrupsi bekuan darah. Pada beberapa pola (misal, APC II), reduksi volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator eksternal. Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis open book mengarah pada peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade

perdarahan vena. Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar.

C-Clamp Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis posterior yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis ilium mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan secara posterior telah dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya tekan posterior tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar harus dilatih untuk mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya harus dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio trochanter femur menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal anterior standar untuk fiksasi sementara cedera APC.

d. Angiografi Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kehilangan darah berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur pelvis dan infus cairan agresif. Keseluruhan prevalensi pasien dengan fraktur pelvis yang membutuhkan embolisasi dilaporkan <10%. Pada satu seri terbaru, angiografi dilakukan pada 10% pasien yang didukung sebuah fraktur pelvis. Pasien yang lebih tua dan yang memiliki Revised Trauma Score lebih tinggi paling sering dilakukan angiografi.

Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk memperbaiki hasil akhir pasien. Studi lain menemukan bahwa angiografi pelvis yang dilakukan dalam 90 menit dapat memperbaiki angka ketahanan hidup. Namun, penggunaan angiografi secara agresif dapat menyebabkan komplikasi iskemik. Angiografi dan embolisasi tidak efektif untuk mengontrol perdarahan dari cedera vena dan lokasi pada tulang, dan perdarahan vena menghadirkan sumber perdarahan dalam jumlah lebih besar pada fraktur pelvis berkekuatantinggi. Waktu yang digunakan pada rangkaian angiografi pada pasien hipotensif tanpa cedera arteri mungkin tidak mendukung ketahanan hidup.

Gambar 5. Ilustrasi yang mendemonstrasikan teknis pembalutan retroperitoneal. A.dibuat sebuah insisi vertikal midline 8-cm. Kandung kemih ditarik ke satu sisi, dan tiga bagian spons tak terlipat dibungkus kedalam pelvis (dibawah pinggir pelvis) dengan sebuah forceps. Yang pertama diletakkan secara posterior, berbatasan dengan persendian sacroiliaca. Yang kedua ditempatkan di anterior dari spons pertama pada titik yang sesuai dengan pertengahan pinggiran pelvis. Spons ketiga ditempatkan pada ruang retropubis kedalam dan lateral kandung kemih. Kandung kemih kemudian ditarik kesisi lainnya, dan proses tersebut diulangi. B, Ilustrasi yang mendemonstrasikan lokasi umum enam bagian spons yang mengikuti balutan pelvis.

e. Balutan Pelvis Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan fraktur pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti dengan balutan pelvis. Teknik ini diyakini terutama berguna pada pasien yang parah. Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis (balutan retroperitoneal) telah diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi kontrol perdarahan retroperitoneal melalui sebuah

insisi kecil. Rongga intraperitoneal tidak dimasuki, meninggalkan peritoneum tetap utuh untuk membantu mengembangkan efek tamponade. Prosedurnya cepat dan mudah untuk dilakukan, dengan kehilangan darah minimal. Balutan retroperitoneal tepat untuk pasien dengan beragam berat ketidakstabilan hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi angiografi yang kurang penting. Resusitasi Cairan3 Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua kanul besar (16-gauge) intravena harus dipasang secara sentral atau bisa juga di ekstremitas atas sepanjang primary survey. Larutan kristaloid 2 L harus diberikan dalam 20 menit, atau lebih cepat pada pasien yang berada dalam kondisi syok. Jika respon tekanan darah telah adekuat, infus kristaloid dapat dilanjutkan hingga transfusi darah tipe-khusus tersedia. Darah tipe-khusus, yang di crossmatch untuk tipe ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit; namun, darah seperti itu dapat menyebabkan inkompatibilitas dengan antibodi minor lainnya. Ketika respon infus kristaloid hanya sementara ataupun tekanan darah gagal merespon, 2 liter tambahan cairan kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus atau darah donor-universal non crossmatch (yaitu, kelompok O negatif) diberikan dengan segera. Kurangnya respon mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadi kehilangan darah yang sedang berlangsung, dan angiografi dan/atau kontrol perdarahan dengan pembedahan mungkin dibutuhkan. Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal

membutuhkan sejumlah besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur hemostasis. Karenanya, semua pasien yang seperti itu harus diasumsikan membutuhkan trombosit dan fresh frozen plasma (FFP). Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan 7-8 unit trombosit dibutuhkan untuk setiap 5 L penggantian volume. Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek inflamasi, dan koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan relatif produk-produk darah untuk resusitasi masih kontoversial. Sebagai tambahan, jumlah transfusi PRC merupakan faktor resiko independen untuk kegagalan multi-organ paska cedera. Beberapa penulis telah mengusulkan bahwa pasien trauma koagulopati terutama harus diresusitasi dengan

penggunaan FFP yang lebih agresif, dengan transfusi yang terdiri atas PRC, FFP dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk mencegah kemajuan koagulopati dini. Titik akhir resusitasi ditentukan berdasarkan kombinasi data laboratorium dan tanda-tanda fisiologis. Pembacaan tingkat hemoglobin diketahui tidak akurat selama fase akut resusitasi. Titik akhir resusitasi yang umumnya

dipertimbangkan termasuk tekanan darah normal, menurunnya denyut jantung, urin output yang cukup ( 30 mL/jam), dan tekanan vena sentral (CVP) normal. Namun, bahkan setelah normalisasi parameter-parameter ini, oksigenasi jaringan yang tidak memadai bisa menetap. Pengukuran laboratorium tambahan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi oksigenasi jaringan termasuk defisit basa, bikarbonat dan laktat. Semua ini menilai glikolisis anaerobik. Istilah defisit basa dan kelebihan basa digunakan bergantian, satu-satunya perbedaan untuk menjadi defisit basa diperlihatkan sebagai nomor positif dan kelebihan basa diperlihatkan sebagai nomor negatif. Defisit basa normal adalah 0-3 mmol/L; angka ini secara rutin diukur melalui analisa gas darah arteri (AGDA). Defisit basa menetap menandakan resusitasi yang tidak mencukupi. Penanganan Fraktur1 Pada fraktur tipe A hanya membutuhkan istirahat total di tempat tidur, dikombinasi denagn traksi tungkai bawah kurang lebih 4-6 minggu. Fraktur tipe B, apabila cidera open book kurang dari 2,5cm biasanya dapat diterapi dengan bed rest total dengan pemasangan korset elastis bermanfaat untuk

mengembalikan ke posisi semula. Apabila lebih dari 2,5cm dapat dicoba dengan membaringkan pasien miring dan menekan ala ossis ilii. Selain itu juga dapat dilakukan fiksasi internal apabila fiksasi eksternal tidak berhasil dilakukan. Fraktur tipe C merupakan paling berbahaya dan paling sulit diterapi. Pasien harus bedrest total kurang lebih selama 10 minggu. Operasi berbahaya dilakukan karena bisa terjadi perdarahan masif dan infeksi. Pemakaian traksi kerangka dan fiksasi luar mungkin lebih aman.

Komplikasi1 a. Nyeri sacroiliaca sering ditemukan setelah fraktur pelvis tak stabil dan kadang memerlukan artrodesis pada sendi sacroiliaca. Cidera saraf skiatika biasanya sembuh tetapi kadang memerlukan eksplorasi. Cidera uretra berat bisa menimbulkan striktur uretra, inkontinensia dan impotensi b. Ruptur uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis dapat menyebabkan robekan uretra pars prostate-membranacea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di kavum pelvis menyebabkan hematom yang luas di kavum retzius sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut robek, prostat beserta buli-buli akan terangkat ke cranial (floating prostat). c. Ruptur uretra anterior, cidera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra anterior adalah straddle injury (cidera selangkangan) yaitu uretra terjepit diantara tulang pelvis dan benda tumpul. Jenis kerusakan uretra yang terjadi berupa kontusio dinding uretra, rupture parsial, atau rupture total dinding uretra. Pada kontusio uretra pasien mengeluh adanya perdarahan per-uretram atau hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau butterfly hematom. Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat miksi. d. Fraktur acetabulum, Terjadi apabila kaput femoris terdorong ke dalam pelvis. Fraktur ini menggabungkan antara kerumitan fraktur pelvis dengan kerusakan sendi. Ada 4 tipe fraktur acetabulum yaitu fraktur kolumna anterior, fraktur kolumna posterior, fraktur melintang, dan fraktur kompleks. Gambaran klinis agak tersamarkan krena mungkin terdapat cidera lain yang lebih jelas/mengalihkan perhatian dari cidera pelvis yang lebih mendesak. Pemeriksaan foto sinar-X perlu dilakukan. e. Cidera pada sacrum dan koksigis Pukulan dari belakang atau jatuh pada tulang ekor dapat mematahkan sacrum dan koksigis. Terjadi memar yang luas dan nyeri tekan muncul bila scrum atau koksigis dipalpasi dari belakang atau melalui rectum. Sensasi dapat hilang pada distribusi saraf sakralis. SinarX dapat memperlihatkan ; 1) fraktur yang melintang pada sacrum dapat

disertai fragmen bawah yang terdorong ke depan, 2) fraktur koksigis kadang disertai fragmen bagian bawah yang menyudut ke depan, 3) suatu penampilan normal kalau cidera hanya berupa strain pada sendi sacrokoksigeal. Kalau fraktur bergeser, sebaiknya docoba untuk melakukan reduksi. Fragmen bagian bawah dapat terdesak ke belakang lewat rectum. Reduksi bersifat stabil, suatu keadaan yang menguntungkan. Pasien dibiarkan untuk melanjutkan aktifitas normal, tetapi dianjurkan untuk menggunakan suatu cincin karet atau bantalan Sorbo bila duduk. Kadang disertai keluhan sulit kencing. Nyeri yang menetap, terutama saat duduk sering ditemukan setelah cidera koksigis. Kalau nyeri tidak berkurang dengan penggunaan bantalan Sorbo atau oleh injeksi anastetik lokal kedalam daerah yang nyeri, dapat dipertimbangkan eksisi koksigis.

Anda mungkin juga menyukai