MEKANISME TRAUMA
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan
yang besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis
dapat terjadi fraktur stres pada ramus pubis. Oleh karena rigiditas panggul maka
kerekatan pada salah satu bagian cincin akan disertai robekan pada titik lain,
kecuali pada trauma langsung. Sering titik kedua tidak terlihat dengan jelas atau
mungkin terjadi robekan sebagian atau terjadi reduksi spontan pada sendi sakroiliaka.
Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas:
a. Kompresi anteriorposterior
Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki dengan
kendaraan. Ramus pubis mengalami fraktur, tulang inominata terbelah dan
mengalami rotasi eksterna disertai robekan simfisis. Keadaan ini disebut
sebagai open book injury. Bagian posterior ligamen sakro iliaka
mengalami robekan parsial atau dapat disertai fraktur bagian belakang
ilium.
b. Kompresi lateral
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan.
Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas
atau jatuh dari ketinggian. Pada keadaan ii ramus pubis bagian depan pada
kedua sisinya mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari
sendi sakro-iliaka atau fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis
pada sisi yang sama.
c. Trauma vertikal
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal
disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi-iliaka pada sisi yang sama.
Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.
d. Trauma kombinasi
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kejadian di atas.
KLASIFIKASI
1. Menurut Tile (1998)
a. Tipe A; stabil
- A1; fraktur panggul tidak mengenai cincin
- A2; stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dan fraktur
Tipe A termasuk fraktur avulsi atau fraktur yang mengenai cincin
panggul tetapi tanpa atau sedikit sekali pergeseran cincin.
b. Tipe B; tidak stabil secara rotasional, stabil secara vertikal
- B1; open book
- B2; kompresi lateral: ipsilateral
- B3; kompresi lateral: kontralateral (bucket-handle)
Tipe B mengalami rotasi eksternal yang mengenai satu sisi panggul
(open-book) atau rotasi interna atau kompresi lateral yang dapat
menyebabkan fraktruk pada satu atau kedua sisi disertai trauma pada
bagian posterior tetapi simpisis tidak terbuka (closed-book).
c. Tipe C; tidak stabil secara rotasi dan vertikal
- C1; unilateral
- C2; bilateral
- C3; disertai fraktur asetabulum
Terdapat distrupsi ligamen posterior pada satu atau kedua sisi disertai
pergeseran dari salah satu sisi panggul secara vertikal, mungkin juga
disertai fraktur asetabulum.
Gambar di bawah ini memperlihatkan fraktur panggul yang stabil.
3. Klasifikasi lain
a. Fraktur isolasi dan fraktur tulang isium dan tulang pubis tanpa
gangguan pada cincin
- Fraktur ramus isiopubis superior
- Fraktur ramus isiopubis inferior
- Fraktur yang melewati asetabulum
- Fraktur sayap ilium
- Avulsi spina iliaka antero-inferior
b. Fraktur disertai robekan cincin
4. Klasifikasi berdasarkan stabilitas dan komplikasi
a. Fraktur avulsi
b. Fraktur stabil
c. Fraktur tidak stabil
d. Fraktur dengan komplikasi
5. Menurut Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera
kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal
(VS), dan mekanisme kombinasi (CM) (gambar 3). Kategori APC dan LC
lebih lanjut disubklasifikasi dari tipe I III berdasarkan pada
meningkatnya perburukan cedera yang dihasilkan oleh peningkatan
tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap
pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera
open book yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti
halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale.
Cedera APC dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk
cabang-cabang pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam
penjajaran dekat dengan persendian sacroiliaca anterior.
mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20%) dan pola CM (18%)
dibandingkan pada pola LC (7%) dan pola VS (0%). Burgess dkk mencatat
hilangnya darah dari cedera pelvis yang dihasilkan dari kompresi lateral
jarang terjadi, dan penulis menghubungkan kematian pada pasien dengan
cedera LC pada penyebab lainnya. Penyebab kematian yang teridentifikasi
paling umum pada pasien di seri ini dengan fraktur LC adalah cedera
kepala tertutup. Pada kontras, penyebab kematian yang teridentifikasi pada
pasien dengan cedera APC merupakan kombinasi cedera pelvis dan
viseral. Temuan ini mengindikasikan bahwa kemampuan untuk mengenali
pola fraktur pelvis dan arah tekanan cedera yang sesuai dapat membantu
tim resusitasi mengantisipasi kebutuhan transfusi cairan dan darah
sebagaimana halnya membantu untuk penilaian dan pengobatan awal
langsung. Pasien dengan instabilitas posterior lengkap dapat diantisipasi
agar tidak menjadi perdarahan yang berat.
Dalam menilai klasifikasi maka yang paling penting adalah stabilitas panggul
apakah bersifat stabil atau tidak stabil, karena hal ini penting dalam
penanggulangan serta prognosis.
PENILAIAN KLINIK
Fraktur pelvis harus dicurigai pada setiap cedera perut atau tungkai bawah
yang berbahaya. Mungkin terdapat riwayat kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
ketinggian atau cedera benturan. Pasien sering mengeluh nyeri hebat dan merasa
seolah-olah dia telah terpisah-pisah, dan mungkin terdapat pembengkakan atau
memar pada perut bawah, paha, perineum, skrotum, atau vulva. Semua daerah ini
harus diperiksa cepat, untuk mencari bukti ekstravasasi urine. Tetapi prioritas
pertama adalah selalumenilai keadaan utama pasien dan mencari tanda-tanda
kehilangan darah. Resusitasi dapat dimulai sebelum pemeriksaan selasai.
Perut harus dipalpasi dengan hati-hati. Tanda-tanda iritasi menunjukkan
kemungkinan perdarahan intraperitoneal. Cincin pelvis dapat ditekan dengan
pelan-pelan dari sisi ke sisi dan kembali ke depan. Nyeri tekan pada daerah sakro-
iliaka sangat penting dan dapat menandakan adanya gangguan pada jembatan
posterior.
Pemeriksaan rektum kemudian dilakukan pada semua kasus. Koksigis dan
sakrum dapat diraba dan diuji untuk mencari ada tidaknya nyeri tekan. Kalau
prostat
dapat
diraba,
Fraktur pelvis. Pria muda ini mengalami fraktur femur akibat tabrakan sepeda
motor dan dibawa ke bagian rawat kecelakaan dan darurat. Skrotum dan
perineumnya bengkak dan memar, dia tidak dapat kencing dan timbul lapisan
darah di meatus eksternus. Sinar-X membuktikan bahwa dia mengalami fraktur
pelvis.
dilakukan
pemeriksaan
yang
lebih
cermat,
dengan
Gambar 5. Ilustrasi
f. Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang
dilakukan untuk menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar
(16-gauge) kanula intravena harus dibangun secara sentral atau di
ekstremitas atas sepanjang penilaian awal. Larutan kristaloid 2 L harus
diberikan dalam 20 menit, atau lebih cepat pada pasien yang berada dalam
kondisi syok. Jika respon tekanan darah yang cukup dapat diperoleh, infus
kristaloid dapat dilanjutkan sampai darah tipe-khusus atau keseluruhan
cocok bisa tersedia. Darah tipe-khusus, yang di crossmatch untuk tipe
ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit; namun, darah
seperti itu dapat berisi inkompatibilitas dengan antibodi minor lainnya.
Darah yang secara keseluruhan memiliki tipe dan crossmatch membawa
resiko lebih sedikit bagi reaksi transfusi, namun juga butuh waktu paling
banyak untuk bisa didapatkan (rata-rata 60 menit). Ketika respon infus
kristaloid hanya sementara ataupun tekanan darah gagal merespon, 2 liter
tambahan cairan kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus atau
darah donor-universal non crossmatch (yaitu, kelompok O negatif)
diberikan dengan segera. Kurangnya respon mengindikasikan bahwa
kemungkinan terjadi kehilangan darah yang sedang berlangsung, dan
angiografi dan/atau kontrol perdarahan dengan pembedahan mungkin
dibutuhkan.
g. Produk-produk Darah dan Rekombinan Faktor VIIa
Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal
membutuhkan sejumlah besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi
jalur hemostasis. Karenanya, semua pasien yang seperti itu harus
diasumsikan membutuhkan trombosit dan fresh frozen plasma (FFP).
Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan 7-8 unit trombosit dibutuhkan untuk
setiap 5 L penggantian volume.
Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efekefek inflamasi, dan koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan
kebutuhan relatif produk-produk darah untuk resusitasi masih kontoversial.
Sebagai tambahan, jumlah transfusi PRC merupakan faktor resiko
independen untuk kegagalan multi-organ paska cedera. Beberapa penulis
telah mengusulkan bahwa pasien trauma koagulopati terutama harus
diresusitasi dengan penggunaan FFP yang lebih agresif, dengan transfusi
yang terdiri atas PRC, FFP dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk
mencegah kemajuan koagulopati dini.
Rekombinan faktor VIIa (rFVIIa) mungkin dipertimbangkan sebagai
intervensi akhir jika koagulopati dan perdarahan yang mengancam-jiwa
menetap disamping pengobatan lainnya. Ini merupakan penggunaan
rFVIIa off-label. Boffard dkk melakukan sebuah studi multicenter dimana
pasien trauma berat yang menerima 6 unit PRC dalam 4 jam setelah masuk
diacak pada baik pengobatan rFVIIa atau plasebo. Pada kelompok rFVIIa,
jumlah transfusi sel darah secara signifikan berkurang (kira-kira 2,6 unit
sel darah merah; P = 0,02), dan terdapat kecenderungan ke arah reduksi
mortalitas dan komplikasi.
h. Penanganan Uretra dan Kandung Kemih
Cedera urologi terjadi pada sekitar 10% pasien dengan fraktur cincin
pelvis. Karena pasien sering sakit berat akibat cedera yang lain, mungkin
dibutuhkan dibutuhkan kateter urine untuk memantau keluaran urine,
sehingga ahli urologi terpaksa membuat diagnosis kerusakan dengan
cepat.
Tidak boleh memasukkan kateter diagnostik karena kemungkinan
besar ini akan merubah robekan sebagian menjadi robekan lengkap. Untuk
robekan yang tidak lengkap, pemasukan kateter suprapubik sebagai
prosedur resmi saja yang dibutuhkan. Sekitar setengah dari semua robekan
tak lengkap akan sembuh dan tak banyak membutuhkan penanganan
jangka panjang.