Anda di halaman 1dari 23

DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI

Fraktur panggul merupakan 5% dari seluruh fraktur, tetapi penting artinya


karena sering disertai trauma jaringan lunak, perdarahan, syok, sepsis dan
gangguan pernapasan berupa adult respiratory distress syndrome (ARDS).
Dua pertiga dari fraktur pangul terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.
Sepuluh persen diantaranya disertai trauma pada alat-alat dalam rongga panggul
seperti uretra, buli-buli, rektum serta pembuluh darah dengan angka mortalitas
sekitar 10%.
Fraktur pelvis yang berkekuatan tinggi merupakan cedera yang
membahayakan jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif
umum namun terutama lazim dengan fraktur berkekuatan tinggi. Kira-kira 1530% pasien dengan cedera pelvis berkekuatan tinggi tidak stabil secara
hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya
darah dari cedera pelvis. Pedarahan merupakan penyebab utama kematian pada
pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian atara 6-35%
pada fraktur pelvis berkekuatan tinggi rangkaian besar.
Perdarahan sehubungan fraktur pelvis menuntut evaluasi yang efisien dan
intervensi yang cepat. Evaluasi dan perawatan pasien dengan fraktur pelvis
membutuhkan sebuah pendekatan multidisiplin. Meskipun ahli trauma bedah
umum pada akhirnya mengarahkan pengobatan seseorang dengan cedera multipel,
penting bagi pasien degan fraktur pelvis agar ahli bedah ortopedi ikut terlibat
dalam setiap fase pengobatan, termasuk resusitasi primer. Penilaian dini oleh ahli
bedah ortopedi yang mengenal pola fraktur pelvis memudahkan tim pengobatan
untuk membangun diagnosa dan prioritas pengobatan, dan mempercepat
pembentukan manuver penyelamatan hidup. Sebuah pemahaman seksama
terhadap sumber perdarahan potensial dan kesadaran akan pilihan pengobatan
adalah penting bagi semua dokter yang terlibat.

MEKANISME TRAUMA
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan
yang besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis
dapat terjadi fraktur stres pada ramus pubis. Oleh karena rigiditas panggul maka
kerekatan pada salah satu bagian cincin akan disertai robekan pada titik lain,
kecuali pada trauma langsung. Sering titik kedua tidak terlihat dengan jelas atau
mungkin terjadi robekan sebagian atau terjadi reduksi spontan pada sendi sakroiliaka.
Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas:
a. Kompresi anteriorposterior
Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki dengan
kendaraan. Ramus pubis mengalami fraktur, tulang inominata terbelah dan
mengalami rotasi eksterna disertai robekan simfisis. Keadaan ini disebut
sebagai open book injury. Bagian posterior ligamen sakro iliaka
mengalami robekan parsial atau dapat disertai fraktur bagian belakang
ilium.
b. Kompresi lateral
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan.
Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas
atau jatuh dari ketinggian. Pada keadaan ii ramus pubis bagian depan pada
kedua sisinya mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari
sendi sakro-iliaka atau fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis
pada sisi yang sama.
c. Trauma vertikal
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal
disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi-iliaka pada sisi yang sama.
Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.
d. Trauma kombinasi
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kejadian di atas.

KLASIFIKASI
1. Menurut Tile (1998)
a. Tipe A; stabil
- A1; fraktur panggul tidak mengenai cincin
- A2; stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dan fraktur
Tipe A termasuk fraktur avulsi atau fraktur yang mengenai cincin
panggul tetapi tanpa atau sedikit sekali pergeseran cincin.
b. Tipe B; tidak stabil secara rotasional, stabil secara vertikal
- B1; open book
- B2; kompresi lateral: ipsilateral
- B3; kompresi lateral: kontralateral (bucket-handle)
Tipe B mengalami rotasi eksternal yang mengenai satu sisi panggul
(open-book) atau rotasi interna atau kompresi lateral yang dapat
menyebabkan fraktruk pada satu atau kedua sisi disertai trauma pada
bagian posterior tetapi simpisis tidak terbuka (closed-book).
c. Tipe C; tidak stabil secara rotasi dan vertikal
- C1; unilateral
- C2; bilateral
- C3; disertai fraktur asetabulum
Terdapat distrupsi ligamen posterior pada satu atau kedua sisi disertai
pergeseran dari salah satu sisi panggul secara vertikal, mungkin juga
disertai fraktur asetabulum.
Gambar di bawah ini memperlihatkan fraktur panggul yang stabil.

2. Menurut Key dan Conwell


a. Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin
- Fraktur avulsi
1) Spina iliaka aterior superior
2) Spina iliaka aterior inferior
3) Tuberositas isium
- Fraktur pubis dan isium
- Fraktur sayap ilium (Duverney)
- Fraktur sakrum
- Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus
b. Keretakan tunggal pada cincin panggul
- Fraktur pada kedua ramus ipsilateral
- Fraktur dekat atau subluksasi simpisis pubis
- Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakro-iliaka
c. Fraktur bilateral cincin panggul
- Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis
- Fraktur ganda dan atau dislokasi (Malgaigne)
- Fraktur multipel yang hebat
d. Fraktur asetabulum
- Tanpa pergeseran
- dengan pergeseran

Gambar skematis fraktur tidak stabil disertai dengan robekan cincin


pelvis

3. Klasifikasi lain
a. Fraktur isolasi dan fraktur tulang isium dan tulang pubis tanpa
gangguan pada cincin
- Fraktur ramus isiopubis superior
- Fraktur ramus isiopubis inferior
- Fraktur yang melewati asetabulum
- Fraktur sayap ilium
- Avulsi spina iliaka antero-inferior
b. Fraktur disertai robekan cincin
4. Klasifikasi berdasarkan stabilitas dan komplikasi
a. Fraktur avulsi
b. Fraktur stabil
c. Fraktur tidak stabil
d. Fraktur dengan komplikasi
5. Menurut Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera
kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal
(VS), dan mekanisme kombinasi (CM) (gambar 3). Kategori APC dan LC
lebih lanjut disubklasifikasi dari tipe I III berdasarkan pada
meningkatnya perburukan cedera yang dihasilkan oleh peningkatan
tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap
pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera
open book yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti
halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale.
Cedera APC dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk
cabang-cabang pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam
penjajaran dekat dengan persendian sacroiliaca anterior.

Gambar 3. Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess. A, kompresi


anteroposterior tipe I. B, kompresi anteroposterior tipe II. C, kompresi
anteroposterior tipe III. D, kompresi lateral tipe I. E, kompresi lateral tipe
II. F, kompresi lateral tipe III. G, shear vertikal. Tanda panah pada
masing-masing panel mengindikasikan arah tekanan yang menghasilkan
pola fraktur.
Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar
pelvis pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan
ligamentum sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek
dan tidak terkena gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama
(misal, arteri iliaca interna, arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan
cedera LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi
fragmen fraktur.
Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis.
Perpindahan hemipelvis mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal
yang parah. Pola cedera CM meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi
yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan terpisah.
Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan
juga telah menunjukkan berkorelasi baik dengan pola cedera organ,
persyaratan resusitasi, dan mortalitas. Secara khusus, kenaikan pada
mortalitas telah terbukti sebagaimana meningkatnya angka APC. Pola
cedera yang terlihat pada fraktur APC tipe III telah berkorelasi dengan
kebutuhan cairan 24-jam terbesar. Pada sebuah seri terhadap 210 pasien
berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk menemukan bahwa
kebutuhan transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC,
dibandingkan dengan rata-rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC.
Pada seri yang sama, pasien dengan cedera VS rata-rata 9,2 unit, dan
pasien dengan cedera CM memiliki kebutuhan transfusi rata-rata sebesar
8,5 unit. Angka mortalitas keseluruhan pada seri ini adalah 8,6%. Angka

mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20%) dan pola CM (18%)
dibandingkan pada pola LC (7%) dan pola VS (0%). Burgess dkk mencatat
hilangnya darah dari cedera pelvis yang dihasilkan dari kompresi lateral
jarang terjadi, dan penulis menghubungkan kematian pada pasien dengan
cedera LC pada penyebab lainnya. Penyebab kematian yang teridentifikasi
paling umum pada pasien di seri ini dengan fraktur LC adalah cedera
kepala tertutup. Pada kontras, penyebab kematian yang teridentifikasi pada
pasien dengan cedera APC merupakan kombinasi cedera pelvis dan
viseral. Temuan ini mengindikasikan bahwa kemampuan untuk mengenali
pola fraktur pelvis dan arah tekanan cedera yang sesuai dapat membantu
tim resusitasi mengantisipasi kebutuhan transfusi cairan dan darah
sebagaimana halnya membantu untuk penilaian dan pengobatan awal
langsung. Pasien dengan instabilitas posterior lengkap dapat diantisipasi
agar tidak menjadi perdarahan yang berat.
Dalam menilai klasifikasi maka yang paling penting adalah stabilitas panggul
apakah bersifat stabil atau tidak stabil, karena hal ini penting dalam
penanggulangan serta prognosis.
PENILAIAN KLINIK
Fraktur pelvis harus dicurigai pada setiap cedera perut atau tungkai bawah
yang berbahaya. Mungkin terdapat riwayat kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
ketinggian atau cedera benturan. Pasien sering mengeluh nyeri hebat dan merasa
seolah-olah dia telah terpisah-pisah, dan mungkin terdapat pembengkakan atau
memar pada perut bawah, paha, perineum, skrotum, atau vulva. Semua daerah ini
harus diperiksa cepat, untuk mencari bukti ekstravasasi urine. Tetapi prioritas
pertama adalah selalumenilai keadaan utama pasien dan mencari tanda-tanda
kehilangan darah. Resusitasi dapat dimulai sebelum pemeriksaan selasai.
Perut harus dipalpasi dengan hati-hati. Tanda-tanda iritasi menunjukkan
kemungkinan perdarahan intraperitoneal. Cincin pelvis dapat ditekan dengan
pelan-pelan dari sisi ke sisi dan kembali ke depan. Nyeri tekan pada daerah sakro-

iliaka sangat penting dan dapat menandakan adanya gangguan pada jembatan
posterior.
Pemeriksaan rektum kemudian dilakukan pada semua kasus. Koksigis dan
sakrum dapat diraba dan diuji untuk mencari ada tidaknya nyeri tekan. Kalau
prostat

dapat

diraba,

yang sering sukar

dilakukan akibat nyeri dan

pembengkakan, posisi yang abnormal dapat menunjukkan cedera uretra.


Tanyakan kapan pasien membuang urine terakhir kali dan cari perdarahan
di meatus eksterna. Ketidakmampuan untuk kencing dan adanya darah di meatus
eksterna adalah tanda klasik ruptur uretra. Tetapi tiadanya darah di meatus tidak
menyingkirkan cedera uretra, karena sfingter luar mungkin mengalami spasme,
sehingga menghentikan darah dari tempat cedera. Karena itu setiap pasien yang
mengalami fraktur pelvis harus dianggap menghadapi risiko cedera uretra.
Pasien dapat dianjurkan untuk kencing, kalau dia dapat melakukannya,
uretra itu utuh atau hanya terdapat sedikit kerusakan yang tidak akan diperburuk
oleh aliran urine. Jangan mencoba untuk memasukkan kateter; karena ini dapat
merubh robekan uretra sebagian menjadi robekan uretra lengkap. Kalau cedera
uretra dicurigai, ini dapat didiagnosis dengan lebih tepat dan lebih aman dengan
uretrografi retrograd.
Ruptur kandung kemih harus dicurigai pada pasien yang tidak dapat
kencing atau pada pasien yang kandung kemihnya tidak teraba setelah diberi
penggantian cairan yang memadai. Palpasi yang sering sukar dilakukan karena
terdapat hematoma dinding perut. Gambaran fisik yang pada awalnya dapat
sedikit sekali, dengan bising usus yang normal, karena ekstravasai urine yang
steril tak banyak menimbulkan iritasi peritoneum. Hanya sebagian kecik pasien
dengan ruptur kandung kemih yang mengalami hipotensi; jadi kalau pasien itu
hipotensif, harus dicari penyebab lainnya.
Pemeriksaan neurologik sangat diperlukan; mungkin terdapat kerusakan
pada pleksus lumbalis atau sakralis. Kalau pasien tak sadar, prosedur rutin yang
sama diikuti. Tetapi, pemeriksaan sinar-X dini penting pada kasus ini.

Sinar-X pada pelvis


Segera setelah keadaan pasien memungkinkan, foto polos anteroposterior
pelvis harus diambil. Pada umumnya foto ini akan memberikan informasi yang
cukup untuk membuat diagnosis pendahuluan pada fraktur pelvis. Sifat cedera
yang tepat dapat diperjelas dengan radiografi secara lebih rinci bila telah
dipastikan bahwa pasien dapat tahan terhadap lamanya waktu yang diperlukan
untuk penentuan posisi dan reposisi di meja sinar-X. Diperlukan 5 foto:
anteroposterior, pandangan inlet (kamera sefalad terhadap pelvis dan dimiringkan
30 derajat ke bawah), foto outlet (kamera kaudal terhadap pelvis dan dimiringkan
40 derajat ke atas), dan foto oblik kanan dan kiri.
Kalau dicurigai adanya cedera apa saja yang berbahaya, CT scan pada
tingkat yang tepat sangat bermanfaat (beberapa ahli mengatakan harus dilakukan).
Ini terutama berlaku untuk kerusakan cincin pelvis posterior dan untuk fraktur
asetabulum yang kompleks, yang tidak dapat dievaluasi secara tepat dengan sinarX biasa.
Reformasi CT tiga dimensi terhadap foto pelvis memberi gambaran cedera
secara paling tepat; ini adalah metode pilihan bila fasilitas itu tersedia.

Fraktur pelvis. Pria muda ini mengalami fraktur femur akibat tabrakan sepeda
motor dan dibawa ke bagian rawat kecelakaan dan darurat. Skrotum dan
perineumnya bengkak dan memar, dia tidak dapat kencing dan timbul lapisan
darah di meatus eksternus. Sinar-X membuktikan bahwa dia mengalami fraktur
pelvis.

Fraktur pelvis-diagnosa dengan sinar-X. Idealnya lima foto: (a) ateroposterior;


(b) foto inlet dengan kamera dimiringkan 30 derajat ke bawah; (c) foto outlet
dengan kamera dimiringkan 40 derajat ke atas; (d,e) foto oblok kanan dan kiri.
Sinar-X yang berkaitan diperhatikan dibawahnya.

Sinar-X pada saluran kencing


Kalau terdapat bukti cedera perut bagian atas, dan pasien mengalami
hematuria, dilakukan urogram intravena yang menyingkirkan cedera ginjal. Cara
ini juga akan memperhatikan kerusakan besar pada kandung kemih atau uretra.
Pada kasus ruptur uretra, dasar kandung kemih mungkin menumpang ke atas
(dislokasi prostat) atau mungkin terdapat deformitas tetes airmata pada kadung
kemih karena penekanan oleh darah dan urine yang berekstravasasi (prostat insitu).
Bila diduga terdapat cedera uretra, uretrogram harus dilakukan dengan 2530 ml zat kontras yang larut dalam air dengan teknik aseptik yang sesuai. Foto
harus diambil selam injeksi zat kontras untuk memastikan bahwa uretra
mengembung penuh. Teknik ini akan memastikan robekan uretra dan akan
memperlihatkan apakah robekan itu lengkap atau tidak lengkap.
Pada pasien dengan kemungkinan ruptur kandung kemih (selama tidak ada
bukti cedera uretra) harus dilakukan sistogram.
PENATALAKSANAAN
Penanganan dini terapi tidak boleh menunggu diagnosis yang lengkap dan
rinci. Prioritas perlu ditentukan dan bertindak berdasarkan setiap informasi yang
sudah tersedia sementara beralih ke pemeriksaan diagnostik berikutnya. Tata
laksana dalam konteks ini adalah kombinasi penilaian dan terapi.
Enam pertanyaan yang harus ditanyakan dan jawabannya harus ditangani
satu demi satu:
1. Apakah saluran napas bersih?
2. Apakah paru-paru cukup mendapat ventilasi?
3. Apakah pasien kehilangan darah?
4. Apakah terdapat cedera di dalam perut?

5. Apakah terdapat cedera kandung kemih atau uretra?


6. Stabil atau tidakkah fraktur pelvis ini?
Pada setiap pasien yang mengalami cedera berat, langkah yang pertama
adalah memastikan bahwa saluran napas bersih dan ventilasi tak terhalang.
Resusitasi harus dimulai segera dan perdarahan aktif dikendalikan. Pasien dengan
cepat diperiksa untuk mencari ada tidaknya cedera ganda dan kalau perlu fraktur
yang nyeri dibebat. Satu foto sinar-X anteroposterior harus pada pelvis harus
diambil.
Kemudian

dilakukan

pemeriksaan

yang

lebih

cermat,

dengan

memperlihatkan pelvis, perut, perineum dan rektum. Liang meatus uretra


diperiksa untuk mencari tanda-tanda perdarahan. Tungkai bawah juga diperiksa
untuk mencari tanda-tanda cedera saraf.
Kalu keadaan umum pasien stabil, pemeriksaan dengan sinar-X
selanjutnya dapat dilakukan. Kalau dicurigai adanya robekan uretra, dapat
dilakukan uretrogram secara pelan-pelan. Hasil penumuan sampai tahap ini dapat
menentukan perlu tidaknya urogram intravena.
Sampai tahap ini dokter yang memeriksa sudah mendapat gambaran yang
baik mengenai keadaan umum pasien, tingkat cedera pelvis, ada tidaknya cedera
viseral dan kemungkinan berlanjutnya perdarahan di dalam perut atau
retroperitoneal. Idealnya, tim ahli masing-masing menangani tiap masalah atau
melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Metode Penatalaksanaan
a. Military Antishock Trousers
Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer
dapat memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin
pelvis dan ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun
1970an dan 1980an, penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan

tamponade pelvis dan meningkatkan aliran balik vena untuk membantu


resusitasi. Namun, penggunaan MAST membatasi pemeriksaan abdomen
dan mungkin menyebabkan sindroma kompartemen ekstermitas bawah
atau bertambah satu dari yang ada. Meskipun masih berguna untuk
stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis, MAST secara luas telah digantikan
oleh penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil.
b. Pengikat dan Sheet Pelvis
Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumahsakit dan pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama
pengangkutan dan resusitasi. Lembaran terlipat yang dibalutkan secara
melingkar di sekeliling pelvis efektif secara biaya, non-invasif, dan mudah
untuk diterapkan. Pengikat pelvis komersial beragam telah ditemukan.
Tekanan sebesar 180 N tampaknya memberikan efektivitas maksimal.
Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis mengurangi kebutuhan transfusi,
lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas pada pasien dengan cedera
APC (gambar 4).

Gambar 4. Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat kompresi


melingkar pelvis (pengikat pelvis) yang tepat, dengan gesper tambahan

(tanda panah) untuk mengontrol tekanan


Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang
dengan fraktur pelvis disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi
panggul mungkin berkontribusi pada deformitas pelvis. Koreksi rotasi
eksternal ekstremitas bawah dapat dicapai dengan membalut lutut atau
kaki bersama-sama, dan hal ini dapat memperbaiki reduksi pelvis yang
dapat dicapai dengan kompresi melingkar.
c. Fiksasi Eksternal
Fiksasi Eksternal Anterior Standar
Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis
emergensi pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik
dengan fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal
pada fraktur pelvis bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat
membatasi pergeseran pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien,
menurunkan kemungkinan disrupsi bekuan darah. Pada beberapa pola
(misal, APC II), reduksi volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi
fiksator eksternal. Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa reduksi
cedera pelvis open book mengarah pada peningkatan tekanan
retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade perdarahan vena.
Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur hemostasis untuk
mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar.
C-Clamp
Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis
posterior yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur
yang melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus
dimana ala ossis ilium mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan
secara posterior telah dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini.

Clamp memberikan aplikasi gaya tekan posterior tepat melewati


persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar harus dilatih untuk
mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya harus
dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio
trochanter femur menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal
anterior standar untuk fiksasi sementara cedera APC.
d. Angiografi
Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan
kehilangan darah berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah
stabilisasi fraktur pelvis dan infus cairan agresif. Keseluruhan prevalensi
pasien dengan fraktur pelvis yang membutuhkan embolisasi dilaporkan
<10%. Pada satu seri terbaru, angiografi dilakukan pada 10% pasien yang
didukung sebuah fraktur pelvis. Pasien yang lebih tua dan yang memiliki
Revised Trauma Score lebih tinggi paling sering mengalami angiografi.
Pada studi lain, 8% dari 162 pasien yang ditinjau ulang oleh penulis
membutuhkan angiografi. Embolisasi dibutuhkan pada 20% pola cedera
APC, cedera VS, dan fraktur pelvis kompleks, namun hanya 1,7% pada
cedera LC. Eastridge dkk melaporkan bahwa 27 dari 46 pasien dengan
hipotensi persisten dan fraktur pelvis yang sama sekali tak stabil, termasuk
cedera APC II, APC III, LC II, LC III dan VS, memiliki perdarahan arteri
aktif (58,7%). Miller dkk menemukan bahwa 19 dari 28 pasien dengan
instabilitas hemodinamik persisten diakibatkan oleh pada fraktur pelvis
menunjukkan perdarahan arteri (67,9%). Pada studi lain, ketika angiografi
dilakukan, hal tersebut sukses menghentikan perdarahan arteri pelvis pada
86-100% kasus. Ben-Menachem dkk menganjurkan embolisasi bersifat
lebih-dulu, menekankan bahwa jika sebuah arteri yang ditemukan pada
angiografi transected, maka arteri tersebut harus diembolisasi untuk
mencegah resiko perdarahan tertunda yang dapat terjadi bersama dengan
lisis bekuan darah. Penulis lain menjelaskan embolisasi non-selektif pada

arteri iliaca interna bilateral untuk mengontrol lokasi perdarahan multipel


dan menyembunyikan cedera arteri yang disebabkan oleh vasospasme.
Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk
memperbaiki hasil akhir pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa
embolisasi dalam 3 jam sejak kedatangan menghasilkan angka ketahanan
hidup yang lebih besar secara signifikan. Studi lain menemukan bahwa
angiografi pelvis yang dilakukan dalam 90 menit izin masuk memperbaiki
angka ketahanan hidup. Namun, penggunaan angiografi secara agresif
dapat menyebabkan komplikasi iskemik. Angiografi dan embolisasi tidak
efektif untuk mengontrol perdarahan dari cedera vena dan lokasi pada
tulang, dan perdarahan vena menghadirkan sumber perdarahan dalam
jumlah lebih besar pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Waktu yang
digunakan pada rangkaian angiografi pada pasien hipotensif tanpa cedera
arteri mungkin tidak mendukung ketahanan hidup.
e. Balutan Pelvis
Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk
mencapai hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena
yang disebabkan fraktur pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah
trauma di Eropa telah menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti
dengan balutan pelvis. Teknik ini diyakini terutama berguna pada pasien
yang parah. Ertel dkk menunjukkan bahwa pasien cedera multipel dengan
fraktur pelvis dapat dengan aman ditangani menggunakan C-clamp dan
balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal juga efektif dalam
mengontrol perdarahan arteri.
Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis balutan
retroperitoneal telah diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini
memfasilitasi kontrol perdarahan retroperitoneal melalui sebuah insisi
kecil (gambar 5). Rongga intraperitoneal tidak dimasuki, meninggalkan

peritoneum tetap utuh untuk membantu mengembangkan efek tamponade.


Prosedurnya cepat dan mudah untuk dilakukan, dengan kehilangan darah
minimal. Balutan retroperitoneal tepat untuk pasien dengan beragam berat
ketidakstabilan hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi angiografi
yang kurang penting. Cothren dkk melaporkan tidak adanya kematian
sebagai akibat dari kehilangan darah akut pada pasien yang tidak stabil
secara hemodinamik persisten ketika balutan langsung digunakan. Hanya 4
dari 24 yang bukan responden pada studi ini membutuhkan embolisasi
selanjutnya (16,7%), dan penulis menyimpulkan bahwa balutan secara
cepat mengontrol perdarahan dan mengurangi kebutuhan angiografi
emergensi.

Gambar 5. Ilustrasi

yang mendemonstrasikan teknis pembalutan

retroperitoneal. A, dibuat sebuah insisi vertikal midline 8-cm. Kandung


kemih ditarik ke satu sisi, dan tiga bagian spons tak terlipat dibungkus
kedalam pelvis (dibawah pinggir pelvis) dengan sebuah forceps. Yang
pertama diletakkan secara posterior, berbatasan dengan persendian
sacroiliaca. Yang kedua ditempatkan di anterior dari spons pertama pada
titik yang sesuai dengan pertengahan pinggiran pelvis. Spons ketiga
ditempatkan pada ruang retropubis kedalam dan lateral kandung kemih.
Kandung kemih kemudian ditarik kesisi lainnya, dan proses tersebut
diulangi. B, Ilustrasi yang mendemonstrasikan lokasi umum enam bagian
spons yang mengikuti balutan pelvis.

f. Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang
dilakukan untuk menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar
(16-gauge) kanula intravena harus dibangun secara sentral atau di
ekstremitas atas sepanjang penilaian awal. Larutan kristaloid 2 L harus
diberikan dalam 20 menit, atau lebih cepat pada pasien yang berada dalam
kondisi syok. Jika respon tekanan darah yang cukup dapat diperoleh, infus
kristaloid dapat dilanjutkan sampai darah tipe-khusus atau keseluruhan
cocok bisa tersedia. Darah tipe-khusus, yang di crossmatch untuk tipe
ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit; namun, darah
seperti itu dapat berisi inkompatibilitas dengan antibodi minor lainnya.
Darah yang secara keseluruhan memiliki tipe dan crossmatch membawa
resiko lebih sedikit bagi reaksi transfusi, namun juga butuh waktu paling
banyak untuk bisa didapatkan (rata-rata 60 menit). Ketika respon infus
kristaloid hanya sementara ataupun tekanan darah gagal merespon, 2 liter
tambahan cairan kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus atau
darah donor-universal non crossmatch (yaitu, kelompok O negatif)
diberikan dengan segera. Kurangnya respon mengindikasikan bahwa
kemungkinan terjadi kehilangan darah yang sedang berlangsung, dan
angiografi dan/atau kontrol perdarahan dengan pembedahan mungkin
dibutuhkan.
g. Produk-produk Darah dan Rekombinan Faktor VIIa
Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal
membutuhkan sejumlah besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi
jalur hemostasis. Karenanya, semua pasien yang seperti itu harus
diasumsikan membutuhkan trombosit dan fresh frozen plasma (FFP).
Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan 7-8 unit trombosit dibutuhkan untuk
setiap 5 L penggantian volume.

Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efekefek inflamasi, dan koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan
kebutuhan relatif produk-produk darah untuk resusitasi masih kontoversial.
Sebagai tambahan, jumlah transfusi PRC merupakan faktor resiko
independen untuk kegagalan multi-organ paska cedera. Beberapa penulis
telah mengusulkan bahwa pasien trauma koagulopati terutama harus
diresusitasi dengan penggunaan FFP yang lebih agresif, dengan transfusi
yang terdiri atas PRC, FFP dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk
mencegah kemajuan koagulopati dini.
Rekombinan faktor VIIa (rFVIIa) mungkin dipertimbangkan sebagai
intervensi akhir jika koagulopati dan perdarahan yang mengancam-jiwa
menetap disamping pengobatan lainnya. Ini merupakan penggunaan
rFVIIa off-label. Boffard dkk melakukan sebuah studi multicenter dimana
pasien trauma berat yang menerima 6 unit PRC dalam 4 jam setelah masuk
diacak pada baik pengobatan rFVIIa atau plasebo. Pada kelompok rFVIIa,
jumlah transfusi sel darah secara signifikan berkurang (kira-kira 2,6 unit
sel darah merah; P = 0,02), dan terdapat kecenderungan ke arah reduksi
mortalitas dan komplikasi.
h. Penanganan Uretra dan Kandung Kemih
Cedera urologi terjadi pada sekitar 10% pasien dengan fraktur cincin
pelvis. Karena pasien sering sakit berat akibat cedera yang lain, mungkin
dibutuhkan dibutuhkan kateter urine untuk memantau keluaran urine,
sehingga ahli urologi terpaksa membuat diagnosis kerusakan dengan
cepat.
Tidak boleh memasukkan kateter diagnostik karena kemungkinan
besar ini akan merubah robekan sebagian menjadi robekan lengkap. Untuk
robekan yang tidak lengkap, pemasukan kateter suprapubik sebagai
prosedur resmi saja yang dibutuhkan. Sekitar setengah dari semua robekan
tak lengkap akan sembuh dan tak banyak membutuhkan penanganan
jangka panjang.

Terapi robekan uretra lengkap masih kontroversial. Penjajaran ulang


(realignment) primer pada uretra dapat dicapai dengan melakukan
sistostomi suprapubik, mengevakuasi hematoma pelvis dan kemudian
memasukkan kateter melewati cedera untuk mendrainase kandung kemih.
Kalau kandung kemih mengambang tinggi, ini harus direposisi dan diikat
dengan penjahitan melalui bagian aterior bawah kapsul prostat, melalui
perineum pada kedua sisi uretra bulbar dan difiksasi pada paha dengan
plester elastis. Suatu pendekatan alternatif yang jauh lebih sederhana
adalah melakukan sistosomi secepat mungkin, tidak berusaha mendrainase
pelvis atau membedah uretra, dan menangani striktur yang diakibatkan 4-6
bulan kemudian. Metode yang belakangan ini dikontraindikasikan kalau
terdapat dislokasi prostat yang hebat atau robekan hebat pada rektum atau
leher kandung kemih. Pada kedua metode ini terdapat cukup banyak
insidensi pembentukan striktur, inkontinensia dan impotensi di belakang
hari.
EVALUASI STATUS RESUSITASI
Titik akhir resusitasi ditentukan berdasarkan kombinasi data laboratorium
dan tanda-tanda fisiologis. Pembacaan tingkat hemoglobin diketahui tidak akurat
selama fase akut resusitasi. Titik akhir resusitasi yang umumnya dipertimbangkan
termasuk tekanan darah normal, menurunnya denyut jantung, urin output yang
cukup ( 30 mL/jam), dan tekanan vena sentral (CVP) normal. Namun, bahkan
setelah normalisasi parameter-parameter ini, oksigenasi jaringan yang tidak
memadai bisa menetap. Pengukuran laboratorium tambahan yang dapat digunakan
untuk mengevaluasi oksigenasi jaringan termasuk defisit basa, bikarbonat dan
laktat. Semua ini menilai glikolisis anaerobik. Istilah defisit basa dan kelebihan
basa digunakan bergantian, satu-satunya perbedaan untuk menjadi defisit basa
diperlihatkan sebagai nomor positif dan kelebihan basa diperlihatkan sebagai
nomor negatif. Defisit basa normal adalah 0-3 mmol/L; angka ini secara rutin
diukur melalui analisa gas darah arteri (AGDA). Defisit basa menetap
menandakan resusitasi yang tidak mencukupi.

ALGORITMA PENGOBATAN DAN ANGKA KETAHANAN HIDUP


Analisa retrospektif hasil akhir sebelum pembentukan algoritma pengobatan
secara dramatis mengilustrasikan kesulitan buatan bahwa protokol-protokol
tersebut dicari untuk dihindari. Pada satu seri, kematian 43 pasien, mewakili 60%
kematian pada seri ini, dihubungkan secara keseluruhan atau sebagai bagian dari
fraktur pelvis. Pada 26 pasien yang fraktur pelvis-nya dipertimbangkan sebagai
penyebab kematian utama, 24 pasien mengalami syok atau memiliki bukti klinis
hipovolemia pada waktu masuk, dan 18 pasien kehilangan darah akibat fraktur
pelvis mereka segera setelah masuk rumah sakit.
Penetapan algoritma pengobatan klinis yang baku untuk pasien dengan
fraktur pelvis secara hebat meningkatkan kemungkinan stabilisasi dan ketahanan
hidup yang cepat. Bosch dkk melaporkan bahwa pelaksanaan protokol standar
pada pusat trauma mengarah pada menurunnya mortalitas sehubungan dengan
fraktur pelvis berkekuatan-tinggi dari 66,7% menjadi 18,7%. Biffl dkk
melaporkan bahwa jalur klinis mereka, termasuk segera munculnya kehadiran ahli
bedah ortopedi di departemen gawat-darurat, pembalutan pelvis, dan penggunaan
C-clamp agresif berikutnya, mengarah pada menurunnya mortalitas secara
signifikan, dari 31% mejadi 15% (P < 0,05). Balogh dkk menetapkan pedoman
institusional evidence-based terdiri atas ikatan pelvis dan pemeriksaan abdomen
dalam 15 menit, angiografi pelvis dalam 90 menit, dan fiksasi ortopedi invasif
minimal dalam 24 jam. Penggunaan pedoman ini mengurangi volume transfusi
PRC 24-jam dari 16 2 U menjadi 11 1 U (P < 0,05) dan mengurangi mortalitas
dari 35% menjadi 7% (P < 0,05).
Beberapa algoritma terlalu kompleks yang kelihatannya tidak mungkin
untuk diikuti. Satu alasan kompleksitas ini adalah begitu banyaknya variasi
sebagai penyebab syok dan banyaknya sumber perdarahan pada pasien dengan
fraktur pelvis. Juga, pengobatan cenderung pada ketergantungan-kasus yang
tinggi. Alasan lain adalah kebanyakan algoritma pengobatan yang ditetapkan
berdasarkan kapabilitas institusi untuk dikembangkan. Meskipun prinsip

mendasar protokol-protokol tersebut berguna, mungkin juga penting untuk


memodifikasi algoritma-algoritma tersebut agar sesuai dengan sumber daya dan
staf ahli pada masing-masing institusi.
Pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi yang dibawa ke institusi
kami dengan instabilitas hemodinamik pada awalnya diberikan 2 L larutan
kristaloid (gambar 6). Radiografi dada portable, bersama dengan gambaran
radiografi pelvis dan tulang belakang cervical lateral, diperiksa untuk
menyingkirkan sumber kehilangan darah yang berasal dari toraks. Saluran tekanan
vena sentral dipasang, dan defisit basa diukur. Pemeriksaan sonografi abdomen
terfokus untuk trauma (focused abdominal sonography for trauma/FAST)
dilakukan. Jika hasilnya positif, pasien dibawa langsung ke ruang operasi untuk
laparotomi eksplorasi. Fiksator eksternal pelvis dipasang, dan dilakukan balutan
pelvis. Pasien yang secara hemodinamik tetap tidak stabil menjalani angiografi
pelvis sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih, pasien
dipindahkan langsung ke ICU. Di ICU, pasien menerima resusitasi cairan lanjutan
dan dihangatkan; berbagai usaha dilakukan untuk menormalkan status koagulasi.
Jika pasien membutuhkan transfusi berkelanjutan di ICU, penilaian angiografi,
jika sebelumnya tidak dilakukan, maka harus dilakukan. rFVIIa harus
dipertimbangkan jika kondisi pasien melawan semua intervensi lainnya.
Jika hasil FAST negatif, transfusi PRC dimulai di departemen gawat
darurat. Jika pasien secara hemodinamik tetap tidak stabil sambil mengikuti PRC
unit kedua, pasien dibawa ke ruang operasi untuk fiksasi eksternal pelvis dan
balutan pelvis. Pasien yang secara hemodinamik tetap tidak stabil mendapat
angiografi pelvis sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih,
pasien dipindahkan langsung ke ICU. CT-scan abdomen dapat dilakukan saat ini.
Jika pasien membutuhkan transfusi berkelanjutan ketika di ICU, penilaian
angiografi, jika sebelumnya belum dilakukan, maka harus dilakukan.

Gambar 6. Algoritma untuk pengobatan pasien dengan fraktur pelvis yang


muncul dengan instabilitas hemodinamik. Pasien yang belum dilakukan
laparotomi biasanya melakukan CT-scan abdomen yang dimulai di ICU. Di ICU,
pasien menerima resusitasi cairan lebih lanjut dan dihangatkan; berbagai usaha
dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. rFVIIa harus dipertimbangkan
jika kondisi pasien melawan semua intervensi lainnya.FAST = focused abdominal
sonography for trauma, PRBCs = packed red blood cells

Anda mungkin juga menyukai