Anda di halaman 1dari 14

Nama: Lahir: Meninggal: Agama: Isteri: Anak:

Hendrikus Gerardus (HG) Rorimpandey Palu, Sulawesi Tengah, 2 Januari 1922. Jakarta, 15 November 2002 Kristen MFM Pietersz (Donki) Pingkan Asmariani, Yohan Toar Henry, Rani Wulan, Pinamaya Selma, Insa Martha dan Martina Frederika Yudhita meninggal dunia 1986 dalam kecelakaan pesawat ketika akan berlatih terjun payung. Pendidikan: Mulo di Tomohon, Sulawesi Utara AMS di Jakarta (1941) Fakultas Ekonomi UI (tidak selesai, 1952). Pekerjaan: Jawatan Kereta Api di Bandung Pendiri Harian Umum Sinar Harapan Pemimpin Umum Harian Umum Sinar Harapan sejak 1961 - Oktober 1986. Presdir PT Sinar Kasih 1961 2001 Direktur Utama PT Sinar Agape Press 1971 1997 Presiden Direktur PT Sinar Agape Press 16 Juni 1997 - 31 Desember 1998 Dewan Komisaris PT Media Interaksi Utama (MIU) yang menerbitkan Suara Pembaruan, 1987 - 1998. HG Rorimpandey (In Memoriam) Perintis Pemilikan Saham Karyawan Pers Hendrikus Gerardus (HG) Rorimpandey (80 tahun), tokoh pers nasional, pendiri harian sore Sinar Harapan dan perintis pemilikan saham karyawan pers yang juga pejuang kemerdekaan, meninggal dunia Jumat (15/11/02) pukul 08.05 pada usia 80 tahun di RS Medistra setelah mengalami kehilangan kesadaran pada Jumat dini hari. Jenazah disemayamkan di rumah duka, Jalan Tebet Dalam II No. 8 Jakarta Selatan dan di Gedung Suara Pembaruan, Jl Dewi Sartika 136-D, Cawang, Jakarta Timur hari Minggu (17/11/02) dari pukul 08.00 hingga pukul 11.00. Kebaktian pelepasan dilaksanakan pukul 10.00. Dari Gedung Suara Pembaruan, jenazah dibawa ke Gereja Bukit Moria. Setelah itu, jenazah dimakamkan di Pondok Rangon, Jakarta Timur, Minggu (17/11), karena masih menunggu putrinya, Pinamaya Selma (Sri) yang tinggal di negeri Belanda. HG Rorimpandey, yang biasa dipanggil Pak Rorim sehari sebelumnya, masih melakukan perjalanan ke Cimelati, Sukabumi, tempat peristirahatan keluarga. Menurut penuturan menantunya Nico Sompotan, Pak Rorim sempat menikmati hidangan di salah satu restoran Sunda kesukaannya di kawasan Puncak. Sekembalinya dari perjalanan ini, Pak Rorim mengalami gangguan kesehatan asma yang sudah diidapnya sejak kanakkanak. Tanda-tanda bahwa Pak Rorim sakit memang sudah tampak belakangan ini, dan dia sempat dirawat beberapa hari karena asmanya. Meski begitu pada Senin (11/11/02) lalu Pak Rorim masih sempat datang dalam pertemuan silaturahmi bersama para wartawan dan karyawan Sinar Harapan dan mengikuti acara dari awal sampai akhir. Pak Rorim tampak lemah, namun terlihat bahwa semangatnya yang mendorongnya tetap hidup.

Pak Rorim meninggalkan istri MFM Pietersz (Donki), dan lima putra, yakni Pingkan Asmariani, Yohan Toar Henry, Rani Wulan, Pinamaya Selma, Insa Martha, dan delapan orang cucu. Putrinya Martina Frederika Yudhita meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat ketika akan berlatih terjun payung pada tahun 1986. HG Rorimpandey dilahirkan pada 2 Januari 1922 di Palu, Sulawesi Tengah, putra Kawengian Johan Rorimpandey dan Adeleida Juditha Estefin Rotinsulu. HG Rorimpandey adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Pada masa mudanya ia akrab dipanggil Ventje. Pada masa ini, dokter sekolah mengetahui bahwa Ventje mengidap asma. Mengenyam pendidikan sekolah dasar hingga sekolah lanjutan di Tomohon, Sulawesi Utara, dari tahun 1925 hingga 1933, kemudian melanjutkan ke MULO di kala itu masih Batavia. Pendidikan tingkat SMU, HG Rorimpandey terputus pada tahun 1936 karena masuknya balatentara Jepang. Pada masa itu, ia dikenal diantara teman dengan panggilan Gerard. Pemuda Gerard pindah ke Bandung dan bekerja sebagai buruh di Jawatan Kereta Api Hindia Belanda, kemudian pindah ke perusahaan swasta yang mengolah kapas dan memproduksi perban. Lalu menyelesaikan AMS di Jakarta (1941); dan Fakultas Ekonomi UI (tidak selesai, 1952). Saat terjadi perang Kemerdekaan pemuda, Gerard bergabung dan ikut mendirikan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) 1945 yang kemudian kelompok ini menggabungkan diri menjadi Divisi Siliwangi. Kala itu, HG Rorimpandey mulai dikenal di antara kawan-kawan pejuang kemerdekaan dengan nama Rorim. Dia keluar dari Divisi Siliwangi dengan pangkat letnan satu, lalu terjun ke dunia pers. Karier di dunia pers dia awali sebagai wartawan Lembaran Minggu. Dia sempat memimpin Dunia Ekonomi dan Buletin Ekonomi Keuangan. Sejak 1961, Rorim bersama JCT Simorangkir, Subagyo PR dan kawan-kawan, menerbitkan harian umum Sinar Harapan. Jabatan penting yang pernah diemban antara lain: Pemimpin Umum Harian Umum Sinar Harapan sejak 1961 - Oktober 1986. Presdir PT Sinar Kasih 1961 - 2001; Direktur Utama PT Sinar Agape Press 1971 - 1997, kemudian jadi Presiden Direktur perusahaan yang sama 16 Juni 1997 dan berhenti pada 31 Desember 1998; Dewan Komisaris PT Media Interaksi Utama (MIU) yang menerbitkan Suara Pembaruan, 1987 - 1998. Sebagai Pemimpin Umum Sinar Harapan dan Direktur Utama PT Sinar Kasih, Rorim berusaha memajukan perusahaan yang dipimpinnya. Dia menegakkan disiplin karyawannya, kepatuhan kerja, peningkatan produktivitas, dan kesungguhan dalam bekerja serta memandang ke depan dengan wawasan luas. Kebijakan yang dia ambil tidak sekadar dianjurkan. Dia justru memberi contoh sehingga dia sering bekerja tidak ingat waktu. Dengan tindakan yang nyata itu, terbina kewibawaannya. Para karyawan dari kalangan atas sampai bawah, semua segan dan hormat padanya. Dalam kepemimpinannya, Rorim sangat menonjol dalam pandangannya bahwa aset paling utama dari sebuah penerbitan pers adalah sumber daya manusianya. Karena itu, selain memberikan yang terbaik bagi karyawan, Rorim juga mendirikan Koperasi Karyawan. Dengan demikian pemilikan saham perusahaan penerbitan pers diberikan kepada karyawan melalui koperasi sebesar 20 persen bahkan pernah melebihi 30 persen. Gagasan dia mengenai hal ini menjadi inspirasi kepada Harmoko sebagai Menteri

Penerangan ketika itu, untuk menganjurkan kepada penerbitan pers agar memberi saham kepada karyawan minimal 20 persen. Tentara Menuturkan pengalamannya, Rorim mengatakan, dia dan kawan-kawannya sempat menempati markas bekas Belanda di Batujajar. Markas ini sampai sekarang masih dimanfaatkan TNI sebagai markas Grup III Kopassus, kesatuan pendidikan para komando. Di sana pada suatu ketika Kolonel AH Nasution mengunjungi bekas Pasukan Berani Mati KRIS. Nasution menyampaikan keputusan pemerintah RI atas hasil perundingan dengan NICA. Kesepakatan yang menjadi perintah langsung dari pimpinan tentara RI wilayah Bandung Didi Kartasasmita. Yakni seluruh pemuda dan laskar harus mengosongkan Kota Bandung dalam radius 10 kilometer. Kodongan memerintahkan Detasemen Pelopor II KRIS untuk meninggalkan Batujajar dan menuju ke garis pertahanan baru mereka di luar Kota Bandung di Rancaekek. Kendaraan yang bisa dibawa dijalankan mereka. Apa-apa yang tertinggal mereka bakar. Mars menuju Rancaekek disemangati dengan lagu baru yang mereka pelajari karya komponis dari Jakarta Ismail Marzuki. Judulnya Halo-halo Bandung. Hari itu 24 Maret 1946 dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dikenal sebagai Bandung Lautan Api. Pada 6 Juni 1946 sekutu menyerbu Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Markas Pelopor di Gedebage diporak porandakan sekutu. Pasukan KRIS bertahan di parit-parit dan berhasil menyergap satu peleton tentara NICA. Namun karena mendapat serangan udara Kodongan memerintahkan pasukannya meninggalkan Gedebage. Divisi Siliwangi mendapatkan perintah untuk merebut Bandung kembali. Detasemen Pelopor II KRIS menyerbu ke Sukamiskin. Seluruh kekuatan KRIS dikerahkan. Rorim pun turut serta menyerbu ke depan. Hari itu 26 Juli 1946. "Di situ saya dapat kado dari Belanda," tutur Rorim tahunan kemudian. Ia terkena pecahan mortir nyaris kena jantungnya, Rorim tergeletak. Temannya di belakang Mantik dan Warouw berteriak menanyakan. Temannya lain yang berada di depan mundur untuk membantu Rorim. Lainnya membakar jerami agar terjadi selubung asap. Rorim diangkut mundur dari medan pertempuran. Sebuah daun pintu rumah penduduk dipakai sebagai tandu darurat untuk mengangkut Rorim. Pemuda Kristen ini diangkut oleh rombongan pasukan Hisbulah sambil membacakan doa-doa. Walau dalam keadaan parah, rasa humor Rorim tidaklah hilang. Ia sempat melontarkan bahwa ia belum mati, tapi sudah diusung dan didoakan seperti membawa jenazah. Rorim mengakhiri karir militernya dengan pangkat letnan satu. Rorimpandey berupaya menghidupkan kembali cita-citanya sebagai dokter namun tekanan ekonomi menyebabkan Rorimpandey yang tinggal di Jakarta sejak 1945 harus bekerja. Bersama rekan-rekan perjuangannya dari Divisi Siliwangi KML Tobing, Rorimpandey mulai bergabung dalam dunia penerbitan surat kabar. Ia bekerja pada Lembar Mingguan Harian Republik. Setelah pindah bekerja beberapa kali Rorimpandey menerbitkan Buletin Ekonomi bersama Bart Ratulangie dan Gerungan pada tahun 1948. Dan bersama Bart Ratulangie ia diajak bergabung dan mendirikan harian sore Sinar

Harapan pada tahun 1961. Koran nasional ini sempat tumbuh menjadi salah satu yang terbesar dan terkemuka hingga tahun 1986 dibreidel pemerintah Suharto. Pak Rorim juga menerbitkan majalah mingguan Mutiara dan Ragi Buana. Wartawan senior Rosihan Anwar pun mengenang pembreidelan Sinar Harapan ini saat mengetahui kabar duka ini. Rorimpandey termasuk salah satu penerbit surat kabar yang sukses. Dia mendapat terobosan ketika menggunakan mesin cetak baru, mesin offset di zaman Orde Baru, ujar Rosihan. Keberhasilannya didukung oleh wartawan yang handal seperti Aristides Katoppo, Subagyo PR, Samuel Pardede, Sabam Siagian, Daud Sinjal, Annie Bertha Simamora, Panda Nababan dll. Ketua Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), Leo Batubara, juga memuji tekad Pak Rorim yang tetap berjuang untuk menerbitkan kembali Sinar Harapan ketika koran itu dibatalkan SIUPPnya sampai akhirnya terbit Suara Pembaruan. Dia sangat kecewa dengan proses pembatalan SIUPP itu. Dalam pandangannya kenapa kalau terjadi kesalahan oleh pers lalu korannya dibunuh dan bukan wartawannya atau para pemimpinnya diadili. Pandangan itu sangat keras disuarakannya karena Sinar Harapan adalah koran yang berhasil pada waktu itu dan pembunuhan itu merusak sistem, ujar Leo. Ketua Umum PWI, Tarman Azzam menyatakan duka cita sedalam-dalamnya atas nama pribadi dan lembaga yang dipimpinnya. Saya sangat menghormati pak Rorimpandey yang saya anggap sangat memperhatikan wartawan-wartawan muda. Beberapa kali saya bertemu beliau selalu saya diberikan bimbingan, demikian Tarman. Dalam harian sore Suara Pembaruan Pak Rorim hanya menjadi komisaris, karena memang ada larangan tak tertulis dari Deppen untuk para pengelola Sinar Harapan terlibat langsung dalam pengelolaan koran baru ini. Ia berhenti dari koran ini pada tahun 1998 dan menerbitkan kembali Sinar Harapan pada 2 Juli 2001. Dalam rangka wawancara buku biografi HG Rorimpandey diungkapkan bahwa semangat perjuangan kemerdekaan yang diembannya sejak masa muda yang mendorongnya untuk menerbitkan kembali Sinar Harapan dengan mottonya Memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan, kebenaran dan perdamaian berdasarkan Kasih. Pemimpin Umum Sinar Harapan, Aristides Katoppo, menilai Pak Rorim merupakan sosok pemimpin yang sangat peduli dan mendahulukan kepentingan wartawan dan karyawan. Pak Rorim termasuk tokoh yang mendorong dan merintis keikutsertaan karyawan dalam pemilikan saham di perusahaan, ujar Aristides. *** Tokoh Indonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), dari berbagai sumber terutama Suara Pembaruan dan Sinar Harapan.

Agen Biro Iklan PT Ad Indonesia Setiap hari iklan di muat di hampir semua surat kabar di Indonesia, dunia periklanan tetap saja merupakan bisnis yang menarik. Hal ini tercermin dari belanja iklan yang cenderung naik dari tahun ke tahun, dan terus bertumbuhnya jumlah surat kabar. Kami mengundang Anda untuk memanfaatkan peluang pasar ini menjadi agen biro iklan PT Ad Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut : Persyaratan Administratif : Data Lengkap Surat Pernyataan Persyaratan Bisnis: Persentase Diskon; Minimal pemuatan iklan Rp 1.000.000 dalam waktu 6 (enam) bulan; Pembayaran setiap pemasangan iklan tunai dilakukan secara transfer ke BCA Cab. Otista Raya, Jakarta, Nomor Rekening 5530181881 a/n PT Ad Indonesia ; Agen bertanggung jawab penuh atas isi materi iklan dan membebaskan PT Ad Indonesia dari segala tuntutan mengenai isi materi iklan dari pihak manapun; Bersedia mentaati segala peraturan yang berlaku di dalam periklanan; PT Ad Indonesia dapat merubah fasilitas diskon yang diberikan Data Lengkap: Untuk Perseorangan: - Daftar Riwayat Hidup - Foto kopi KTP - Foto kopi ijasah terakhir - Foto ukuran 4 cm x 6 cm, 2 lembar Untuk Perusahaan Swasta Nasional (PT), atau CV: - Akta Pendirian; - Surat Keterangan Domisili Perusahaan; - NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) - Foto Kopi KTP Direktur - Photo Direktur ukuran 4 cm x 6 cm, 2 lembar Surat Pernyataan (mohon formulir di bawah ini diketik ulang dan dikirim PT Ad Indonesia dengan alamat korespondensi Jl Cakrawijaya XI B-25, Jakarta 13420)

SURAT PERNYATAAN MENJADI AGEN BIRO IKLAN PT AD INDONESIA

Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama / Nama Perusahaan Alamat Lengkap Kota Kode Pos Provinsi Nomor Telepon Nomor Fax Email : : : : : : : :

Selanjutnya disebut sebagai Agen, menyatakan bahwa :

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Agen memasang iklan di media cetak melalui PT Ad Indonesia dengan diskon yang ditentukan oleh PT Ad Indonesia; Minimal pemuatan iklan Rp 1.000.000 dalam waktu 6 (enam) bulan; Agen menyerahkan media order kepada PT Ad Indonesia untuk booking space (pesan ruang iklan) di media cetak atas biaya agen; Agen wajib menyerahkan materi iklan sesuai standar mutu materi, dan deadline yang ditetapkan oleh masing-masing media cetak ; Agen bertanggung jawab penuh atas isi materi iklan dan membebaskan PT Ad Indonesia dari segala tuntutan mengenai isi materi iklan dari pihak manapun; Bersedia mentaati segala peraturan yang berlaku di dalam periklanan; Pembayaran setiap pemasangan iklan dilakukan secara transfer ke BCA Cab. Otista Raya, Jakarta, Nomor Rekening 5530181881 a/n PT AD INDONESIA ; Surat Pernyataan ini berlaku untuk 1 (satu) tahun terhitung sejak surat pernyataan ini diterima per stempel pos, dan akan dipertimbangkan sebagai agen untuk tahun berikutnya secara tertulis.

Demikian Surat Pernyataan ini ditandatangani oleh Agen dan bermeterai cukup sebagai jaminan hukum bagi Agen dan PT Ad Indonesia. ..(Kota).... , tanggal ......., .............., 2004 Agen,

Meterai Rp 6.000


SURAT KABAR AKSI BERITA KOTA

PERSENTASE DISKON UNTUK AGEN BIRO IKLAN PT AD INDONESIA PERSENTASE DISKON KETERANGAN 37,50% dari tarif resmi Tarif iklan baris Rp 4.500 per baris 45,00% dari tarif resmi 0,00% dari tarif resmi 37,50% dari tarif resmi 45,00% dari tarif resmi 0,00% dari tarif resmi 0,00% dari tarif resmi 45,00% dari tarif resmi 45,00% dari tarif resmi 0,00% dari tarif resmi 27,50% dari tarif resmi 0,00% dari tarif resmi 0,00% dari tarif resmi 45,00% dari tarif resmi 0,00% dari tarif resmi 0,00% dari tarif resmi 0,00% dari tarif resmi 20,00% dari tarif resmi 0,00% dari tarif resmi 40,00% dari tarif resmi 45,00% dari tarif resmi 25,00% dari tarif resmi 37,50% dari tarif resmi 27,50% dari tarif resmi 32,50% dari tarif resmi 0,00% dari tarif resmi 0,00% dari tarif resmi 25,00% dari tarif resmi CATATAN : Tarif iklan baris Rp .5.500 per baris Tarif iklan baris Rp 8.500 per baris Tarif iklan baris Rp 4.000 per baris Tarif iklan baris Rp4.000 per baris Tarif iklan baris Rp 7.000 per baris Tarif iklan baris Rp 9.500 per baris Tarif iklan baris Rp 8.500 per baris Tarif iklan baris Rp 11.000 per baris Tarif iklan baris Rp 13.000 per baris Tarif iklan baris Rp 3.000 per baris Tarif iklan baris Rp 17.500 per baris Tarif iklan baris Rp 8.000 per baris Tarif iklan baris Rp 4.500 per baris Tarif iklan baris Rp 4.000 per baris Tarif iklan baris Rp 3.500 per baris Tarif iklan baris Rp 5.500 per baris

BISNIS INDONESIA HARIAN TERBIT INDO POS JIP KOMPAS KORAN TEMPO LAMPU MERAH MEDIA INDONESIA MERDEKA MOTOR MOTOR PLUS NON'STOP NOVA OTO PLUS OTOMOTIF POS KOTA POS METRO RADAR CIREBON RAKYAT MERDEKA REPUBLIKA SINAR HARAPAN SUARA KARYA SUARA PEMBARUAN THE JAKARTA POST TOP GEAR WARTA KOTA

Persentase Diskon dapat berubah sewaktu-waktu, dengan atau tanpa pemberitahuan sebelumnya

( Nama Lengkap ) Sinar Harapan Baru Akhir Juni 2001, sekitar jam tiga siang di sebuah ruangan gedung berlantai empat di Tanah Abang Jakarta, terjadi kesibukan luar biasa. Maklum, sore itu, awal pemunculan Sinar Harapan edisi contoh. Pemilik ruangan di lantai tiga itu adalah Aristides Katoppo, pemimpin redaksi Sinar Harapan. Katoppo memanggil sejumlah redakturnya, termasuk tim artistiknya. Mereka mengkritisi habis edisi simulasi tersebut. Di depan meja Katoppo, terdapat Sinar Harapan yang halaman-halamannya penuh coretan pena, pertanda masih banyak kesalahan. Ada kesalahan komposisi tinta, tata letak, atau pengetikan. Misalnya, nama pemimpin redaksi Aristides yang seharusnya ditulis serangkai, muncul jadi "Aris Tides."Tanggal 2 Juli 2001 adalah pemunculan perdana Sinar Harapan baru. Sinar Harapan tampil dengan logo dan jenis huruf yang pernah dipakainya dulu. Itu sama dengan yang digunakan Suara Pembaruan selama empat belas tahun."Tak ada rebutan soal logo. Kebetulan saja terjadi. Bondan Winarno datang dan minta

ganti logo, dan kemudian Sinar Harapan muncul dengan logo semula," tutur Sasongko Soedarjo, pemimpin umum Suara Pembaruan. Keluarga Soedarjo memiliki saham terbesar di PT Media Interaksi Utama perusahaan penerbit Suara Pembaruan. Membicarakan Sinar Harapan memang tak lepas dari Suara Pembaruan. Bagaimana tidak? Suara Pembaruan adalah koran yang diciptakan sebagai pengganti Sinar Harapan yang dibredel 1986. PT Sinar Kasih, penerbit Sinar Harapan diganti menjadi PT Media Interaksi Utama. Namun semua awak Sinar Harapan ditampung di Suara Pembaruan, hanya pemimpin redaksi Aristides Katoppo dan pemimpin umumnya H.G. Rorimpandey digantikan Albert Hasibuan.Ketika menteri penerangan dipegang Muhammad Yunus, ia memberi angin untuk terbitnya kembali Sinar Harapan. Tapi menurut Katoppo, pemilik Suara Pembaruan tak suka dengan hal itu, dan berkat lobi-lobi mereka akhirnya surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) tak jadi dikeluarkan. "Dulu Suara Pembaruan dimunculkan karena Sinar Harapan dicabut SIUPP-nya. Sekarang tanpa ada ketentuan SIUPP, sudah seharusnya Sinar Harapan diterbitkan kembali," kata Aristides Katoppo.Kelompok pengusul ini semula menghendaki Sinar Harapan terbit dengan menggantikan Suara Pembaruan. Tapi pihak pemegang saham terbesar tak menghendaki perubahan. Muncul ide lagi jika Suara Pembaruan tak mau diganti, maka pihak perusahaan perlu menerbitkan kembali Sinar Harapan. Dasarnya, sebagian besar fasilitas yang dimiliki Suara Pembaruan sekarang merupakan hasil usaha Sinar Harapan sehingga pihak pengusul merasa layak Sinar Harapan terbit dengan fasilitas yang dulu pernah dimiliki. "Sejak awal kan sudah disepakati bahwa Suara Pembaruan adalah pengganti Sinar Harapan. Dan beberapa kali rapat juga telah memutuskan demikian," ujar Sasongko Soedarjo. Ia juga membantah bahwa Suara Pembaruan sudah keluar dari idealisme.Akhirnya diputuskan Sinar Harapan boleh diterbitkan, tapi bukan oleh PT Media Interaksi Utama, penerbit Suara Pembaruan dan tidak berhak menggunakan fasilitas yang ada di markas Suara Pembaruan di Jalan Dewi Sartika 138D Cawang Jakarta. Maka. sejak April 2001, Aristides Katoppo dan H.G. Rorimpandey serta sejumlah redaktur senior Suara Pembaruan keluar dari kantor Cawang mendirikan PT Sinar Harapan Persada dan mulai berkantor di Jalan Fachrudin nomor 6 Tanah Abang Jakarta. Di gedung berlantai empat itu mereka mendesain terbitnya Sinar Harapan yang mengusung idealisme jurnalisme damai. Pendirian Sinar Harapan menurut Katoppo sebenarnya dikarenakan adanya permintaan dari pembaca Sinar Harapan lama. Begitu pula dukungan dari para distributor yang sanggup untuk terlibat kembali. Menurut survei yang pernah dilakukan, para distributor tersebut menyatakan bersedia menjual sekitar 100 ribu eksemplaar. "Sekitar 100 ribu itulah kami cetak pertama Sinar Harapan," kata Katoppo.Selain pertimbangan idealisme dan permintaan pelanggan, ada analisis pasar yang memperkuat penerbitan kembali. Menurut Katoppo, saat Sinar Harapan dibredel 1986 oplah terbesarnya mencapai 210 ribu sampai 250 ribu eksemplar. Dan jumlah itu tidak bisa terlampaui oleh Suara Pembaruan selama 14 tahun. "Mereka cuma mampu sepertiganya. Artinya, dua pertiga pembaca Sinar Harapan meninggalkan Suara Pembaruan. Nah, kami ingin menarik kembali dua pertiga pembaca itu," papar Katoppo.Asumsi tersebut bisa meleset, karena menurut Sasongko Soedarjo, Suara Pembaruan pernah mencapai oplah tertinggi 275 ribu eksemplar dan sekarang berkisar antara 190 ribu hingga 200 ribu rupiah.Kini di lapangan, Sinar Harapan sudah mulai bergerilya untuk menarik iklan harian sore yang telah dikuasai Suara Pembaruan. Menurut survei AC Nielsen sepanjang tahun 2000 Suara Pembaruan mendapatkan pemasukan dari iklan Rp 98 miliar. Dan pada kuartal pertama 2001 saja, Suara Pembaruan juga telah menunjukkan dominasi perolehan iklan harian sore sebesar Rp 30 miliar. Kecil memang, dibanding dengan belanja iklan suratkabar pada kuartal pertama 2001 yang berjumlah Rp 640 miliar.Kepiawaian Suara Pembaruan dalam bisnis suratkabar saat ini bisa menjadi pengganjal berat perkembangan Sinar Harapan. Apalagi setelah masuknya Bondan Winarno sebagai pemimpin redaksi, Suara Pembaruan terus berbenah baik kebijakan redaksional maupun penampilan fisik. Dan Sinar Harapan? Terlalu dini untuk menilainya sekarang Nomor Register : 030821-00002918 (1-0903-037-042434) SINAR AGAPE PERS.PT Penanggung Jawab : TOENGGOEL P SIAGIAN JL.DEWI SARTIKA NO.136 D, CAWANG, JAKARTA TIMUR Telepon : 8012288 , Fax : No. NPWP : 01.000.789.6-005.000 No. SIUP/TDUP : 232/DJAI/IUT-D5/PMDN/VII/1989 (Tgl : 02-01-1989) No Anggota KADIN : AB-984 Nama Asosiasi : PERSATUAN PERUSAHAAN GRAFIKA INDONESIA (PPGI )

No. Anggota Ass. : 02110/033-IV/2003 (Berlaku s/d :31-12-2003) JASA LAINNYA Klasifikasi Bidang : 1. Kode :5.00.02 Gol :B percetakan Kemampuan Keuangan/KK : RP. 32.336.492.800-Kemampuan Paket/KP : 8 Kemampuan Dasar/KD : RP. 1.545.693.000-PENGALAMAN KERJA : 1. Bidang : PENGADAAN BARANG Sub Bidang : PENCETAKAN HARIAN PAGI BISNIS INDONESIA Lokasi : JAKARTA Pengguna Jasa : PT.JURNALINDO AKSARA GRAFIKA Alamat : WISMA BISNIS INDONESIA LT.5-6 Tgl Kontrak : 28/04/2000 Nilai : RP.515.231.000 Tgl selesai kontrak : BA serah terima : 2. Bidang : PENGADAAN BARANG Sub Bidang : PENCETAKAAN HARIAN SORE SUARA PEMBARUAN Lokasi : JAKARTA Pengguna Jasa : PT.MEDIA INTERAKSI UTAMA Alamat : JL.DEWI SARTIKA 136 D Tgl Kontrak : 25/08/1989 Nilai : RP.289.582.000 Tgl selesai kontrak : BA serah terima : Masa berlaku : 22-08-2003 s/d 21-08-2005 Sabam Siagian Director, PT Bina Media Tenggara, Jakarta It must have been either in late 1982 or early 1983 that Jusuf Wanandi, one of the founders of the Centre for Strategic and International Studies (CSIS), started talking about the need to publish an English-language newspaper in Indonesia. I was used to Jusuf's exuberance in venting his bubbling ideas that could range from the Middle East situation, disarmament issues, regional issues of Southeast Asia to problems of Indonesia's economic development. As he raised the idea of a new English-language newspaper and started explaining why Indonesia needed such a quality publication in order to inform about the dynamics of its domestic situation to neighboring countries where English was predominant, he threw some inquisitive glances in my direction. I had the uneasy feeling that he wanted me to get involved in what I then considered to be a dubious experiment. There were already two English-language newspapers --the Indonesia Times and the Indonesian Observer-- and obviously the market was limited. However, Jusuf explained to me that a number of already established media publishing firms would take part. These were Kompas/Gramedia, Tempo newsweekly/PT Graffiti Pers and PT Nawala Nusantara Bangun, which at that time was related to the Suara Karya newspaper. He also informed me that the government, through information minister Ali Moertopo, who was closely connected to CSIS, had already given its approval. Apparently it was also the government's opinion that Indonesia needed a quality media outlet in the English language as a vehicle of information for the neighboring countries that at one time were either part of the British Commonwealth or previously administered by the United States. Indonesia, on the other hand, which was formerly the Netherlands East Indies, was a colony of the Kingdom of the Netherlands, and the Dutch language used to be the official medium of communication. Until the late 1950s there were still schools using Dutch in the major cities of Indonesia. I attended a Dutch senior high school in Jakarta, so I learned English from Dutch teachers. Finally, one day Jusuf Wanandi asked me directly if I would accept the post of chief editor of the English-language newspaper that was to be published. I gave an evasive answer and asked for time to consider his proposal. My position at that time with the afternoon newspaper Sinar Harapan, which in 1961 was published by PT Sinar Kasih, was rather peculiar, to say the least. When I returned from a stay of more than 10 years in the United States in 1973, Sinar Harapan was going through a reorganization process. The newspaper had been banned at the end of 1972 for publishing the draft state budget, which was supposed to be embargoed. I still have a copy of that particular edition of Sinar Harapan with the draft budget printed in toto on the page. Most probably, more

seasoned editors would have handled the story differently, such as by quoting "informed sources" and changing some figures here and there. Given the limited leeway that was at that time open to the press, that is what I had done from time to time when I got hold of some original government documents. The government agreed in early 1973 to lift the publishing ban on the condition that the newspaper carry out a reorganization since it was prone to violating the government's rules. That was actually the reason Sinar Harapan acquired the reputation of a daring newspaper, while other newspapers were considered more timid in their reporting. It was in the middle of that process of reorganizing that I was asked to be the newspaper's deputy chief editor. My late father, who was a shareholder in the company and realized that it was important that Sinar Harapan continue to be published given its distinct background --strongly imbued with the social consciousness of the Christian Protestant community in Indonesia -- persuaded me to work there, even if only for a few years. He knew that I had other plans, but as I was to find out, being involved in the newspaper business is like sipping quality wine: You never know when to stop. My father reminded me that since my student days at the University of Indonesia in the 1950s I was already involved in the student press. So, Sinar Harapan appeared again, with a new editorial team, and was searching for a new format. The new newspaper survived the tumultuous political events of January 1974, when a number of more established newspapers were closed down, and gradually found its format. On the one hand there was the realistic awareness within the editorial team that president Soeharto's government had by then acquired a high level of confidence. The 1972 general election yielded a landslide victory for the ruling party, Golkar. The government successfully weathered the political crisis of January 1974, which in essence was a muted power struggle between competing generals in his entourage. And there was the dramatic rise world in oil prices, which provided the New Order with a comfortable financial cushion, although Indonesia was only a modest net oil exporter. On the other hand, there were indications of social dissatisfaction that needed to be aired, albeit cautiously. Within these parameters, Sinar Kasih daily gradually moved forward to become one of the country's more popular afternoon newspapers. I soon found out, however, that sometimes relative success can cause new internal problems in the newspaper business. At the suggestion of the late Soedjatmoko, I accepted a Niemann Foundation fellowship for media journalists at Harvard University in Cambridge, Massachusetts, for the academic year 1978-1979. I indulged myself in the intellectual richness of Harvard and managed to sit in at a graduate seminar on political developments in non-Western countries, chaired by Prof. Samuel Huntington. For whatever misunderstandings that took place during my absence while I was enjoying the stimulating environment of Harvard, on my return home I found that the publisher, H.D. Rorimpandey, had decided to relieve me of my position as deputy chief editor. I was given the lofty title of senior editorial writer and could cover major international events while producing a few editorials a week. I also had more time to take part in seminars organized by CSIS and covered OPEC meetings with Fikri Jufri of Tempo newsweekly, in Vienna, Geneva and Caracas. It was amid this situation that I was offered the job of chief editor of an English-language newspaper that was yet to be published. As I was agonizing between plunging myself into a new adventure and remaining in an undefined situation, I read in the Straits Times of Singapore that a new English-language newspaper was soon to be published in Jakarta, with the "temperamental" Sabam Siagian as chief editor, Amir Daud, who at one time worked at Pedoman newspaper in Jakarta as managing editor, and Moh.Chudori, of Antara news agency, as general manager. The news item also indicated that the new publication was a cooperative effort among three major media publishing enterprises. It was clearly a case of forcing my hand to take a decision, but I did not react. Fikri was then apparently assigned to get a clear answer from me. He told me I was leading too easy a life, writing a few editorials a week while listening to Beethoven symphonies and ordering flowers whenever the flower vendor happened to pass by. Since the pressure became too serious, I finally said that I was not soliciting a job, although my situation was not that ideal. However, if my services were wanted due to whatever professional reputation I had, then my condition would be that PT Sinar Kasih, the publishing company of Sinar Harapan, should be involved as a partner in the new enterprise. My consideration was that it would strengthen my position because my status in the company would then be more than that of an ordinary employee. It seemed, however, that the condition that I was setting was causing a problem. Some of the partners did not want to see their shares reduced in order to pave the way for PT Sinar Kasih to join. When finally 10 percent of shares could be allocated to PT Sinar Kasih, primarily due to the intervention of Eric Samola of PT Graffiti/Tempo, who was also the publisher of PT Bina Media Tenggara, the publishing company that would publish The Jakarta Post, a new problem arose. I vividly remember a meeting in late March 1983 at the

CSIS building on Jl.Tanah Abang III-27, in which H.G. Rorimpandey was among those present. Pak Rorim, who during the revolution in the late 1940s served as a young officer in the Siliwangi Division in West Java, was a man of considerable self-esteem. He told the meeting that whenever he took part in a new venture, it was usually as a prominent partner, and a figure of 10 percent was too small for him. I derived some pleasure from sensing the tension in the meeting room. The original group of partners, however, saw the need to have me as chief editor and tried to comply with Pak's wishes. On the other hand, I sensed that Pak Rorim, while remaining steadfast in his position did not push strongly his demand of a greater percentage shares for PT Sinar Kasih. After all, releasing me from Sinar Harapan daily to become the Chief Editor of The Jakarta Post was a graceful solution. Finally, a compromise was made. A few percentages were added to the total share of PT Sinar Kasih. At last, a new publishing company, PT Bina Media Tenggara, a joint venture of 4 partners with different background and corporate cultures, was officially established. And a new English newspaper in Indonesia was about to be born. In the early morning of April 25, 1983, when I saw the first copies of The Jakarta Post rolling off the presses at PT Gramedia's printing plant, I suddenly remembered the title of a book written by the venerable U.S. Secretary of State, Dean Acheson. The work, Present at the Creation - My Years at the State Department (1969, W.W. Norton and Company), described his experiences during the years immediately after the end of World War II in 1945, when he and a number of colleagues discussed, formulated and designed the architecture of U.S. global policy in facing the Soviet Union as an emerging adversary. In my case, however, I felt during those early morning hours that I had been practically grabbed into the efforts to create a newspaper whose profile was not clear and whose acceptance by the community was not at all certain. What was clear was that this new involvement would change the routine of my life. SEKILAS SINAR HARAPAN Mungkin menjadi pertanyaan kita semua mengapa Harian Umum SINAR HARAPAN harus terbit kembali. Sejarah mencatat ketika pemerintah pada 9 Oktober 1986 membatalkan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers Harian ini, tidak pernah dijelaskan alasan yang melandasi tindakan tersebut atau kesalahan apa yang pernah dilakukan Harian ini. Namun satu hal yang tidak dilupakan oleh para pembaca setia pada waktu itu dan kini, SINAR HARAPAN merupakan Harian sore terbesar yang berani mengungkapan kebenaran sebagaimana adanya. Karena itulah, ketika reformasi terjadi dan pers Indonesia mendapatkan kembali kemerdekaannya, kami para pengasuh dan pengelola SINAR HARAPAN memutuskan motto Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian Berdasarkan Kasih sebagai landasan misinya. Pertimbangannya, Kami menilai misi tersebut masih tetap relevan ditengah-tengah situasi bangsa dan negara kita pada saat ini. Ditengah-tengah situasi yang berkecamuk ini, kami menghadirkan kembali SINAR HARAPAN sebagai sebuah surat kabar yang mengembangkan jurnalisme damai mencoba menawarkan solusi dan akan menjadi media yang mengembangkan budaya politik, budaya ekonomi, sosial kemasyarakatan, faham kebangsaan, cinta tanah air, bela negara dan penegakan hukum. Gaya pemberitaannya akan non-sekterian, tidak primordial, menjauhi purbasangka atas asal usul keturunan, ras, suku ataupun agama. Sebagai Harian yang terbit sore hari, bagi para pembaca dari kelompok masyarakat menengah ke atas, laporan-laporan di SINAR HARAPAN yang berwawasan strategis akan banyak dituangkan dalam bentuk analisisi berita, feature dan laporan investas, selain tentu saja berita-berita terakhir dan terhangat (hard news) pada hari itu. Sehingga SINAR HARAPAN akan merupakan acuan bagi para pembacanya untuk membuat berbagai keputusan penting pada keesokan harinya.Semoga kehadiran kembali SINAR HARAPAN akan memberikan manfaat positif kepada para pembaca, lebih sekedar yang didapatkan pada pagi hari. Perjuangan H. G. Rorimpandey Menerbitkan Kembali Sinar Harapan Harian Sore Sinar Harapan terbit lagi. Kehadiran kembali koran ini diharapkan ikut memperkuat barisan pers Indonesia dan sedikit memupus penderitaan jurnalistik yang terbungkam puluhan tahun oleh sumbatan tirani Orde Baru. Meskipun penderitaan ideologis dan ekonomis menjadi luka yang membekas, tetapi semangat perjuangan H.G.Rorimpandey yang menjadi pimpinan umum Sinar Harapan tetap terlihat segar, tak tergoyahkan oleh

hempasan ombak politik. Saya masih ingat ketika hari terakhir koran ini ditutup, ujar Rorimpandey mengenang kembali peristiwa lama. Waktu itu hari Kamis siang, tanggal 9 Oktober tahun 1986. Saya terima pemberitahuan lewat telepon dari Dirjen PPG Sukarno SH , supaya Sinar Harapan pada esok hari 9 Oktober tidak terbit lagi, ujar Pak Rorim dengan suara lirih. Saya sama sekali tak menduga dan tak percaya bahwa itu penutupan koran untuk selama-lamanya. Yang menjadi sebab koran sore ini ditutup, gara-gara judul berita yang dimuat dalam headline di halaman satu yang dibuat oleh wartawan dengan kode M-5 dengan judul Pemerintah Akan Cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor. Tentu ini hanya pemicu, karena Presiden Soeharto sudah lama menandai koran ini karena kritik-kritiknya. Ada pertanyaan apakah pencabutan 44 SK itu akan memukul bisnis keluarga cendana dan konconya? Ini tidak diketahui. Tetapi yang jelas keputusan Pemerintah tersebut menjadikan dunia perdagangan tidak lagi melemahkan monopoli . Belakangan diketahui 44 SK tersebut masih konsep. Rupanya menteri ingin mendapatkan feed back. Bahan berita dibagikan kepada wartawan tanpa berpikir dan menduga perbuatan ini akan menyebabkan perdagangan menjadi stagnan atau mandeg. Dan lebih sial lagi menyebabkan Harian Sore Sinar Harapan ditutup . Terima Risiko. Dalam alam pers yang serba dibatasi waktu itu, apakah kebijaksanaan yang dijalankan oleh Sinar Harapan ? Saya dan pimpinan sudah menerima policy yang tegas. Semua berita yang mengkritik Pemerintah khusus Soeharto dibolehkan, ujar Rorimpandey. Bagaimana kalau ada risiko ? Risiko itu kita terima, kata Pak Rorim. Inilah bentuk dari keberanian sikap Pers independen yang dijalankan oleh Sinar Harapan. Karena berani mengkritik, maka Sinar Harapan ditutup. Banyak langkah yang diupayakan supaya koran ini bisa terbit lagi. Bukankah penutupan koran memberi dampak yang luas? Ribuan karyawan kehilangan mata pecaharian, demikian pula puluhan ribu agen dengan keluarganya. Tolak Sudwikatmono Satu ketika pimpinan Sinar Harapan berkirim surat kepada Presiden Soeharto . Tetapi hasilnya nihil. Sedangkan sikap perusahaan jelas, bagaimana mencari jalan keluar agar PT Sinar Kasih tidak dibubarkan dan karyawan tidak di PHK. Dari hasil rapat dewan komisaris PT Sinar Kasih, Sinar Agape Pres, dan Sitra diperoleh dua kemungkinan yang bisa dihadapi. Pertama adakan penerbitan baru karena SH tidak boleh terbit lagi. Berdasarkan pemikiran itu berkembang pembicaraan, usahakan SIUPP yang baru. Rorimpandey dan TB Simatupang satu pendapat. Pemikiran kedua, mencoba memenuhi undangan Sudwikatmono. Pembicaraan berlangsung malam hari jam 11.00 di rumah kediaman konglomerat ini di kawasan Permata Hijau. Sudwikatmono yang didampingi mitra kerjanya Soetrisno berkata : SH boleh terbit kembali, Pak Rorim tetap pimpinan umum, asal sebagian saham kami miliki. Mendengar pernyataan ini, Rorimpandey terdiam. Kemudian ia menunjuk presiden komisaris Soedarjo. Soedarjo menjawab: Ya kami menerima.Tapi kami tanya Pak Rorim. Sewaktu ditanya Rorimpandey berbeda pendapat: Saya menolak. Alasan saya, Pak Dwi, tak bisa saya mengajak anda untuk membagi deviden atau bersama dalam mengambil satu keputusan penting dan kita bersama berdoa. Saya takut mengajak Bapak. Tapi silahkan tanya pada komisaris yang lain, direksi dan pemegang saham. Saya tidak punya saham terbesar di sini. Pembicaraan dengan Sudwikatmono ini, pada satu pagi disampaikan kepada Drs. Radius Prawiro dalam kesempatan sarapan pagi di rumahnya. Radius kemudian melakukan pengecekan. Dan hasilnya ternyata Pak Harto tidak setuju Sinar Harapan hidup lagi. Pengecekan juga dilakukan oleh Rorimpandey melalui keponakannya Dirut PT Garuda Indonesia, Lumenta. Lumenta yang menjadi kawan akrab Ka Bakin Benny Moerdani: Coba tanya Benny, bagaimana komentarnya? Kalau mau terbitkan koran baru cobalah. Tapi saya tak punya harapan bahwa itu bisa diterbitkan. Jual es teler sajalah. Atau mereka juga bisa mulai dengan asembling mobil, ya apa saja, ujar Benny sebagaimana ditirukan Lumenta. Paling Gembira Hari ini Senin , 2 Juli 2001, Harian Sore Sinar Harapan resmi diterbitkan kembali setelah menjalani masa tidur panjang, persisnya 14 tahun, tujuh bulan, tiga minggu, 3 hari. Saya orang yang paling senang, paling gembira. Saya suruh Nico dan Bara siapkan terbitkan

kembali koran ini. Saya sangat berterimakasih kepada Aristides Katoppo mau jadi pemimpin umum dan pemimpin redaksi. Apalagi Peter sudah dipanggil bergabung, lalu lain-lainnya. SABAM PANDAPOTAN SIAGIAN Pada sidang OPEC, Januari 1979, di Abu Dabi, Sabam tidak membawa mesin ketik. Demi melihat sebuah mesin tulis menganggur di ruang wartawan, ia langsung menggunakannya. Seseorang segera memberi tahu, mesin itu milik James Tanner, wartawan perminyakan yang punya hubungan pribadi dengan para raja minyak Arab, dan sangat disegani rekan seprofesi. ''Saya kaget setengah mati,'' tutur Sabam. Belum sempat ia beranjak, si empunya mesin tulis datang. Ternyata, Sabam tidak diomeli. ''Tanner, sebaliknya, bersedia menerangkan segala hal yang tidak saya ketahui,'' kata Sabam. Waktu itu James Tanner bekerja untuk Wall Street Journal -- kini ia pengelola Petrolium Information International. ''Saya terkesan, sebagai wartawan hebat, ternyata James sangat rendah hati dan bersedia membantu wartawan kroco seperti saya,'' kata Sabam. Selanjutnya mereka bersahabat. ''Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik bidang ekonomi,'' kata Sabam. Tetapi, karena di tahun 1970-an sedikit sekali wartawan kita yang memperhatikan masalah ekonomi, terutama minyak -- padahal ekspor Indonesia meliputi 70% emas hitam itu -- ia merasa terpanggil. ''Sekarang saya gembira, karena banyak teman yang sudah memperhatikan soal itu,'' katanya. Ia pun mulai mengalihkan perhatian pada masalah politik negara-negara berkembang. Yang tidak berubah dari anak sulung dengan enam saudara ini adalah pipa cangklongnya. Sabam kolektor selusin pipa. ''Merk Charatan yang paling saya sukai,'' katanya. Tembakau langganannya adalah Dunhill Standard Mixture Medium. Ia juga masih setia menikmati cerutu setiap usai makan pagi. Ayahnya, Pendeta Isak Siagian, almarhum, salah seorang pemilik saham PT Sinar Kasih yang mendirikan harian Sinar Harapan, mengharapkan Sabam menjadi ahli hukum. Tetapi, ''Sejak kecil saya memang ingin menjadi wartawan. Kuliah saya di Fakultas Hukum UI tidak saya selesaikan,'' tuturnya. Sebelum akhirnya menjadi pemimpin redaksi harian berbahasa Inggris The Jakarta Post, Sabam telah sukses pula menjadi redaktur senior harian Sinar Harapan. Sabam menikah dengan Stella Maris di New York, 8 Juni 1962. Ayah dua anak ini selain menggemari tenis juga rajin lari santai di sekitar rumahnya, hampir setiap pagi. ARISTIDES KATOPPO Akrab dipanggil Tides, ia mengaku biasa kerja ''selang- seling antara serius dan santai''. Tidak jarang, sikapnya seperti jenderal sedang mengatur strategi, memberi komando kepada stafnya sambil hilir mudik, dan tangannya masuk saku celana. Atau, cukup dengan berdiri di balik meja kerjanya yang sarat dengan buku dan tumpukan kertas. Walau begitu, ia selalu banyak tawa dan terbuka. Di harian Sinar Harapan, Jakarta, ia pernah sebagai managing editor, sejak 1968. Sekarang selain menjadi wakil pemimpin umum majalah Mutiara, ia juga Direktur PT Sinar Kasih, Jakarta, yang menerbitkan kedua media massa itu dan bergerak dalam penerbitan buku. Berorientasi pada segi pelayanan, penerbitannya menitikberatkan ''bukan hanya the perceived need, melainkan juga the real need.'' Yang dimaksudkannya, kebutuhan masyarakat yang benar-benar mendasar. Menanggapi selera pembaca, ia mengatakan ''harus peka, apakah terbitan itu mencerdaskan bangsa atau tidak.''Tides bersaudara sepuluh orang. Dua di antaranya, Henriette Mariane dan Yosie, dikenal sebagai novelis. Ayah mereka, Elvianus Katoppo, tokoh penyempurnaan ejaan bahasa Indonesia, dan pejuang rakyat Minahasa dalam menentang Belanda. Kerap berkunjung ke luar negeri, Tides pernah memimpin delegasi Indonesia ke Kongres Tahunan International Advertising Association di Kopenhagen, 1978. Ia hampir tidak pernah mengenakan dasi. Kesukaannya bersepatu olah raga yang kasar, tetapi kukuh. Dan berkendaraan jip atau landrover. Dengan tubuhnya yang gempal dan rambutnya agak gondrong, Tides memang tipe orang outdoor. Di luar kegiatan profesinya itu Tides mengetuai Himpunan untuk Kelestarian Lingkungan Hidup, dan menjadi dosen jurnalistik di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial UI. Olah raga kegemarannya, mendaki gunung, berenang, dan catur. Ia anggota pendaki gunung Mapala-UI. Bekas koresponden The New York Time, dan Associated Press (AP) ini juga suka mengumpulkan berbagai benda seni. Menikah dengan Olga Roring, ia mempunyai tiga anak. Berbicara tentang anak, ia berkata, ''Adanya jabatan Menteri Negara Urusan Kesejahteraan Anak tidak mustahil, jika pers dapat mengangkat masalah ini masuk agenda pembangunan. Toh istilah lingkungan hidup, 16 tahun

yang lalu, tak dikenal.'' UPDATE:

Anda mungkin juga menyukai