Anda di halaman 1dari 83

RESUME BLOK 17

SKENARIO 4 INFEKSI MENULAR SEKSUAL

Oleh : KELOMPOK A

1. Fibiaka Algebri B. 2. Bella Mayvani R. 3. Anggun Anggraini W. 4. Vinny Revina A. 5. Rika Adistyana 6. Jarwoto Roestanadjie 7. Indri Noor H. 8. Robiatul Adawiyah 9. Yoga Wahyu P. 10. Sastra Wira P. 11. I Nyoman Marsel R. 12. Dyna Ayu M. 13. Nora Damayanti 14. Bima Akhmad A.

082010101004 082010101005 082010101008 082010101013 082010101046 082010101055 082010101058 082010101059 082010101060 082010101063 082010101066 082010101067 082010101068 082010101069

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2010

SKENARIO 4 PENYAKIT MENULAR SEKSUAL

Seorang wanita usia 29 tahun, masuk ke rumah sakit dengan keluhan demam sejak 1 bulan terakhir, disertai batuk berdahak sejak 2 minggu terakhir, tidak sesak. Kadang pasien diare 3 kali sehari, cair, tidak disertai nyeri perut. Berat badan menurun 12 kg dalam 3 bulan terakhir. Pasien merasa makin lemah, nafsu makan menurun,mual. Pasien juga mengeluh ada sariawan dan bercakbercak putih di mulut, mulut pedih dan sakit menelan, sehingga tidak dapat makan. KEY WORD demam sejak 1 bulan terakhir batuk berdahak sejak 2 minggu terakhir, tidak sesak diare 3 kali sehari, cair, tidak disertai nyeri perut BB 12 kg dalam 3 bulan terakhir makin lemah, nafsu makan menurun,mual sariawan dan bercak-bercak putih di mulut, mulut pedih dan sakit menelan

SKEMA BELAJAR
Basic Knowledge Epidemiologi Faktor resiko Usaha penanggulangan Diagnosis

IMS

Sifilis Gonorhea Bakteri Granuloma inguinal Vaginitis bakterial Ulkus Mole LGV Condiloma Akuminata (HPV) Herpes simplex (HSV) HIV/AIDS Moluscum kontagiusum

Virus

Jamur

Candidiasis

Parasit

Trikomoniasis

Farmakologi Anti Jamur

INFEKSI MENULAR SEKSUAL

Definisi Penyakit infeksi yang timbul atau ditularkan melalui hubungan seksual dengan manifestasi klinis berupa kelainan-kelainan terutama pada alat kelamin.

Faktor Risiko 1. Hubungan seks yang tidak sehat a. Berganti-ganti pasangan seksual b. Seks tanpa pengaman, misal kondom c. Mengenal seks sejak dini tanpa edukasi yang baik 2. Penyalahgunaan NAPZA a. Penggunaan jarum suntik bergantian 3. Kurang memperhaikan kebersihan dan kesehatan alat genital

SIFILIS (T. Pallidum)


Definisi Sifilis adalah penyakit yang pada umumnya berjangkit setelah hubungan seksual. Menahun dengan adanya remisi dan eksaserbasi, dapat menyerang semua organ dalam tubuh terutama system kardiovasikulasi, otak dan susunan saraf serta dapat terjadi kongenital. Etiologi Penyakit sipilis ini disebebkan oleh kuman Treponema Pallidum (Spirochaeta pallida), bakteri yang termasuk dalam golongan spirochaeta, berbentuk spiral halus dengan panjang 5-15 mikron dan garis tengah 0,009-0,5 mikron. Kuman ini bergerak secara aktif dan karena spiralnya sangat lembut maka hanya dapat dilihat dengan mikroskop lapang gelap atau dengan teknik imunofluorosensi. Sukar diwarnai dengan zat warna anlilin tetapi dapat mereduksi perak nitrat menjadi logam perak yang tinggal melekat pada permukaan sel kuman. 3

Kuman ini berkembang biak dengan cara pembelahan melintang. Dalam keadaan anaerob pada suhu 25C, T pallidum dapat bergerak secara aktif dan tetap hidup selama 4-7 hari dalam perbenihan cair yang mengandung albumin, natrium karbonat, piruvat, sistein, ultrafiltrat serum sapi. Waktu pembelahan kuman ini kira-kira 30 jam. Ada tiga macam antigen T. Pallidum yaitu protein tidak tahan panas, polisakarida, dan antigen lipoid. Antigen treponema yang khas antara lain dapat diperiksa dengan tes imobilisasi T pallidum(TPI). Tes ini memerlukan komplemen dalam reaksinya pengeraman selama 18 jam dan suhu 35C. Selain dengan menggunakan tes ini, ada banyak tes-tes lain yang dapat dilakukan untuk memeriksa keberadaan bakteri ini berdasarkan antigennya. Klasifikasi Pembagian sifilis menurut WHO ialah Sifilis Dini dan Sifilis Lanjut dengan waktu diantaranya 2 tahun, ada yang mengatakan 4 tahun. A.Sifilis dini 1.Sifilis primer (SI) 2.Sifilis skunder (II) 3.Sifilis laten dini B.Sifilis Lanjut 1.Sifilis laten lanjut 2.Sifilis tertier (SIII) 3.Sifilis kardiovaskuler 4.Neurosifilis Patogenesis Treponema dapat masuk (porte dentre) ke tubuh calon penderita melalui selaput lendir yang utuh atau kulit dengan lesi. Kemudian masuk ke peredaran darah dari semua organ dalam tubuh. Penularan terjadi setelah kontak langsung dengan lesi yang mengandung treponema. 34 minggu terjadi infeksi, pada tempat masuk T. pallidum timbul lesi primer(chancre primer) yang bertahan 15 minggu dan sembuh sendiri. Tes serologik klasik positif setelah 14 minggu. Kurang lebih 6 minggu (2 6 minggu) setelah lesi primer 4

terdapat kelainan selaput lendir dan kulit yang pada awalnya menyeluruh kemudian mengadakan konfluensi dan berbentuk khas. Penyembuhan sendiri biasanya terjadi dalam 26 minggu. Keadaan tidak timbul kelainan kulit dan selaput dengan tes serologik sifilis positif disebut Sifilis Laten. Pada seperempat kasus sifilis akan relaps. Penderita tanpa pengobatan akan mengalami sifilis stadium lanjut (Sifilis III 17%, kordiovaskular 10%, Neurosipilis 8%) Gejala Klinis A.Sifilis dini 1.Sifilis primer Sifilis stadium I (Sifilis primer), timbul 10-90 hari setelah terjadi infeksi. Lesi pertama berupa makula atau papula merah yang kemudian menjadi ulkus (chancre), dengan pinggir keras, dasar ulkus biasanya merah dan tidak sakit bila dipalpasi. Sering disertai dengan pembengkakan kelenjar getah bening regional. Lokalisasi chancre sering pada genitalia tetapi bisa juga ditempat lain seperti bibir, ujung lidah, tonsil, jari tangan dan puting susu. Diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis yang khas berupa chancre serta ditemui Treponema pallidum pada pemeriksaan stadium langsung dengan mikroskop lapangan gelap. Apabila pada hari pertama hasil pemeriksaan sediaan langsung negatif, pemeriksaan harus diulangi lagi selama tiga hari berturut-turut dan bila tetap negatip, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan serologis. Selama dalam pemeriksaan sebaiknya ulkus dibersihkan atau dikompres dengan larutan garam faal fisiologis. 2.Sifilis sekunder (S II) Timbul setelah 6-8 minggu sejak S I. Pada beberapa kasus keadaan S II ini sering masih disertai S I. Pada S II dimulai dengan gejala konsistensi seperti anoreksia, demam, athralgia, angina. Pada stasium ini kelainan pada kulit, rambut, selaput lendir mulut dan genitalia, kelenjargetah bening dan alat dalam. Kelaianan pada kulit yang kita jumpai pada S II ini hampir menyerupai penyakit kulit yang lain, bisa berupa roseola, papel-papel, 5

papulo skuamosa, papulokrustosa dan pustula. Pada SII yang dini biasanya kelainan kulit yang khas pada telapak tangan dan kaki. Kelainan selaput lendir berupa plakula atau plak merah (mucous patch) yang disertai perasaan sakit pada tenggorokan (angina sifilitica eritematosa). Pada genitalia sering kita jumpai adanya papul atau plak yang datar dan basah yang disebut kondilomata lata. Kelainan rambut berupa kerontokan rambut setempat disebut alopesia areata. Kelainan kuku berupa onikia sifilitaka, kuku rapuh berwarna putih, suram ataupun terjadi peradangan (paronikia sifilitaka). Kelaianan mata berupa uveitis anterior.Kelainan pada hati bisa terjadi hepatitis dengan pembesaran hati dan ikterus ringan. Kelainan selaput otak berupa meningitis dengan keluhan sakit kepala, muntah dan pada pemeriksaan cairan serebro spinalis didapati peninggian jumlah sel dan protein. Untuk menegakkan diagnosis, disamping kelainan fisik juga diperlukan pemeriksaan serologis. 3.Sifilis laten dini Gejala klinis tidak tampak, tetapi hasil pemeriksaan tes serologi untuk sifilis positip. Tes yang dilanjutkan adalah VDRL dan TPHA. B.Sifilis lanjut Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sikatrik bekas S I pada genitalia atau makula atrofi bekas papul-papul S II. Pemeriksaan tes serologi sifilis positip. Sifilis tersier (S III) Lesi pertama timbul 3-10 tahun setelah S I berupa gumma yang sirkumskrip. Gumma sering perlunakan dan mengeluarkan cairan seropurulen dan kadang-kadang disertai jaringan nekrotik sehingga terbentuk ulkus. Gumma ditemukan pada kulit, mukosa mulut, dan organ-organ dalam terutama hati. Dapat pula dijumpai kelainan pada tulang dengan keluhan, nyeri pada malam hari. Pada pemeriksaan radiologi terlihat kelainan pada tibia, fibula, humerus, dan tengkorak berupa periostitis atau osteitis gummatosa. Pemeriksaan TSS positip. Sifilis kardiovaskuler

Timbul 10-40 tahun setelah infeksi primer dan terdapat pada sekitar 10% kasus lanjut dan 40% dapat bersama neurosifilis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan berdasar gejala klinis, foto sinar X dan pemerikasaan pembantu lainnya. Sifilis kardiovaskuler dapat dibagi dalam 3 tipe: Sifilis pada jantung, pada pembuluh darah, pada pembuluh darah sedang. Sifilis pada jantung jarang ditemukan dan dapat menimbulkan miokarditis difus atau guma pada jantung. Pada pembuluh darah besar, lesi dapat timbul di aorta, arteri pulmonalis dan pembuluh darah besar yang berasal dari aorta. Aneurisma umumnya terdapat pada aorta asendens, selain itu juga pada aorta torakalis dan abdominalis. Pembuluh darah sedang, misalnya a.serebralis dan a.medulla spinalis paling sering terkena. Selain itu a.hepatitis dan a.femoralis juga dapat diserang . Sifilis kongenital dini Gambaran klinis sifilis kongenital dini sangant bervarasi, dan menyerupai sifilis stadium II. Karena infeksi pada janin melalui aliran darah maka tidak dijumpai kelainan sifilis primer. Pada saat lahir bayi dapat tampak sehat dan kelainan timbul setelah beberapa minggu, tetapi dapat pula kelainan sudah sejak lahir. Pada bayi dapat dijumpai kelainan berupa: 1. Pertumbuhan intrauterine yang terlambat 2. Kelainan membra mukosa: mucous patch dapat ditemukan di bibir, mulut, farings, larings dan mukosa genital. Rinitis sifilitika (snuffles) dengan gambaran yang khas berupa cairan hidung yang mula-mula encer kemudian menjadi bertambah pekat, purulen dan hemoragik. 3. Kelainan kulit: makla, papulaapuloskuamosa dan bula. Bula dapat sudah ada sejak lahir, tersebar secara simetris, terutama pada telapak tangan dan kaki. Makula, papula atau papuloskuamosa tersebar secara generalisata dan simetris. 4. Kelainan tulang: osteokondritis, periostitis dan osteitis pada tulang-tulang panjang merupakan gambaran yang khas. 5. Kelenjar getah bening: limfadenitis generalisata. 7

6. Alat-alat dalam. 7. Mata : koreoretinitis, galukoma dan uveitis. 8. Susunan saraf pusat: meningitis sifilitika akuta. Sifilis Kongenital lanjut Kelainan umumnya timbul setelah 720 tahun. Kelainan yang timbul berupa: 1. Keratitis interstisial 2. Gumma 3. Neurosifilis 4. Kelainan sendi: yaitu artralgia difusa dan hidatrosis bilateral (cluttons joint). Stigmata Lesi sifilis congenital dapat meninggalkan sisa, berupa jaringan parut dan deformitas yang karakteristik yaitu: 1. Muka: saddle nose terjadi akibat gangguan pertumbuhan septum nasi dan tulang-tulang hidung. Buldog jaw akibat maksila tidak berkembang secara normal sedangkan mandibula tidak terkena. 2. Gigi: pada gigi seri bagian tengah lebih pendek dari pada bagian tepi dan jarak antara gigi lebih besar (Hutchinsons teeth). 3. Regade: terdapat disekitar mulut 4. Tulang: osteoperiostitis yang menyembuh akan menimbulkan kelainan klinis dan radiologis, pada tibia berupa sabre tibia dan pada daerah frontal berupa frontal bossing. 5. Tuli: kerusakan N.VIII akibat labirintitis progresif 6. Mata: keratitis interstisialis. Diagnosis Dalam menegakkan diagnosis sifilis yang penting dilakukan adalah: Anamnesis: Adanya senggama tersangka, tanda-tanda pada kulit, kelainan pada genitalia, rambut dan alat lainnya. Pemeriksaan fisik: Seluruh permukaan kulit, rambut dan kuku, pembengkakan kelenjar getah bening, selaput lendir mulut, derah genitalia/anogenitalia. Pemeriksaan labolatarium: Pemeriksaan sediaan langsung dan serologis 8

Anamnesis Pemeriksaan Sifilis Pada dewasa muda perlu di Tanya: o Di tanyakan pernah berhubungan seksual dengan pasangannya karena siflis merupakan penyakit dengan penularannya melalui senggama. o Jika ada ulkus atau lesi di Tanya bentuk dari lesinya karena ulkus yang khas pada sifilis yaitu ulkus durum. Kapan timbul gejala tersebut jika timbul 3 6 minggu setelah coitus suspectus di nyatakan positif sifilis terutama lesinya berbentuk ulkus durum dengan ciri pinggir pinggirnya meninggi, padat dan tidak sakit. Biasanya terdapat pada vulva dan terutama pada lambia, tetapi juga bisa terdapat di servik jika yang terkena wanita, jika pria biasanya terdapat di sulkus koronarius. Dapat juga terdapat di ekstragenital misalnya di lidah, tonsil dan anus. o Di tanyakan gejala penyerta karena sifilis bisa nyerang di semua organ, termasuk system kardiovaskuler dan saraf. Pada bayi perlu di Tanya : o Riwayat apakah ibunya pernah atau sedang terkena sifilis pada saat hamil. o Tanya Riwayat persalinannya secara sc atau normal o Ditemukan kelainan pada bayi berumur beberapa minggu setelah lahir. o Dilihat gejala gejala penyerta untuk menyatakan stadiumnya.

Edukasi Terhadap Pasien Sifilis Pada dewasa muda o Hindari melakukan coitus suspectus, jika terpaksa gunakan kondom pada saat senggama o Jika ada ulkus di daerah genital segera di periksa supaya tidak mencapai stadium lanjut, dan segera diatasi untuk mengurangi komplikasinya. 9

Pada bayi o Ibunya di beri pengarahan tentang sifilis o Jika menderita waktu hamil maka persalinannya harus denngan SC.

Uji Laboratorium Diagnostik untuk T pallidum A. Spesimen Cairan jaringan dikeluarkan dari lesi permukaan dini untuk menunjukkan spiroketa;serum darah untuk uji serologi B. Pemeriksaan Lapang Gelap Setetes cairan jaringan atau eksudat diletakkna di atas slide dan penutup kaca ditekan di atasnya untuk membuat lapisan yang tipis. Preparattersebut kemudian diperiksa dengan minyak imersi menggunakan iluminasi lapangan gelap untuk spiroketa khas yang dapat bergerak. Treponema hilang dari lesi dalam waktu beberapa jam setelah dimulainya pengobatan antibiotik. C. Imunofluoresensi Cairan jaringan atau eksudat diusapkan di atas slide kaca, dikeringkan dan dikirim ke laboratorium. Sediaan ini difiksasi, diwarnai dengan serum antitreponema yang dilabel dengan fluoresein, dan diperiksa dengan mikroskop imunofluoresensi untuk spiroketa yang khas berfluoresensi D. Uji Serologi untuk Sifilis Uji ini digunakan untuk antigen nontreponema atau treponema 1. Uji antigen nontreponema Antigen yang digunakan adalah lipid yang diekstraksi dari jaringan mamalia normal. Kardiolipin yang dipurifikasi dari jantung sapi adalah difosfatidilgliserol. Lesitin dan kolesterol ditambahkan untuk mendorong terjadinya reaksi dengan antibodi reaginsifilis. Reagin adalah campuran antibodi IgM dan IgA yang ditujukan untuk melawan kompleks kardiolipin-kolesterol-lesitin. Uji VDRL (Veneral Disease Research Laboratoirium) dan uji RPR (Rapid Plasma Reagin) adalah uji antigen nontreponema yang paling sering digunakan. Uji reagin serum 10

yang tidak dipanaskan (USR) dan uji serum toluidin merah yang tidak dipanaskan (TRUST) juga dapat digunakan. Keempat uji ini didasarkan atas fakta bahwa partikel antigen lipid tetap tersebar dengan serum normal tetapi mengalami flokulasi ketika dikombinasi dengan reagin. Uji VDRL dan USR memerlukan pemeriksaan mikroskopik untuk

mendeteksi adanya flokulasi, sementara RPR dan TRUST telah ditambahkan partikel yang telah diwarnai dan dapat dibaca tanpa pembesaran mikroskopik. Hasilnya akan keluar dalam beberapa menit, terutama jika suspensinya diaduk. Uji ini dilakukan berdasarkan atas otomatisasi dan digunakan untuk survei karena biayanya yang tidak mahal. Uji VDRL atau RPR yang positif terjadi setelah 2-3 minggu

infeksi sifilis yang tidak diobati dan positif dengan titer yang tinggi pada sifilis sekunder. Uji VDRL atau RPR yang positif berubah menjadi negatif dalam waktu 6-18 bulansetelah pengobatan sifilis yang efektif. Uji VDRL dan RPR juga dapat dilakukan pada cairan spinal dan menjadi positif setelah 4-8 minggu infeksi. Antibodi reagin tidak dapat mencapai cairan serebrospinal dari aliran darah tetapi mungkin terbentuk dalam sistem saraf pusat sebagai respons terhadap infeksi sifilis. Uji flokulasi dapat memberikan hasil kuantitatif. Perkiraan jumlah reagin yang terdapat dalam serum dapat dibuat dengan melakukan uji dengan pengenceran serum dua kali lipat dan menyatakan titer dengan pengenceran tertinggi yang memberikan hasil yang positif. Hasil

kuantitatif berguna dalam menegakkan diagnosis terutama pada neonatus dan dalam mengevaluasi efek pengobatannya. Uji nontreponema sering memberikan hasil postif palsubiologi yang diakibatkan oleh adanyareagin pada berbagai gangguan manusia. Yang penting di antara berbagai gangguan pada manusia adalah penyakit infeksi lainnya (malaria, lepra,cacar, mononkleosis infeksiosa, dll), vaksinasi, penyakit vaskular-kolagen( sysstemic lupus erythematosus, poliarteritis nodosa, gangguan rematik), dan kondisi lainnya. 11

2. Uji antibodi Treponema a. Uji fluoresensi antibodi treponema (FTA-ABS) Uji ini adalah uji yang memerlukan imunofluresensi tidak langsung (T pallidum yang sudah mati+serum pasien+gamma globulin antimanusia ). Uji ini menunjukkan spesifisitas dan sensitivitas yang sekali untuk antibodi sifilis jika serum pasien telah diabsorbsi dengan spiroketa Reiter yang telah diolah dengan getaran frekuensi tinggi (sonicated) sebelum uji FTA. Uji FTA-ABS yang pada sifilis dini awalnya positif, secara rutin selalu positif pada sifilis sekunder, dan biasanya tetap positif selama bertahun-tahun setelah pengobatan yang efektif. Jadi, tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai efektifitas pengobatan. Adanya IgM FTA dalam darah bayi baru lahir adalah bukti utama infeksi in utero (sifilis kongenital). b. Uji aglutinasi partikel Treponema pallidum (TP-PA) Partikel gelatin disensitisasi dengan antigen T pallidum subspesies pallidum. Uji ini dilakukan dalam tray mikrodilusi dengan serum yang diencerkan. Antibodi terhadap T pallidum bereaksi dengan partikel gelatin yang sudah disensitisasi. Adanya sebuah tatakan partikel yang teraglutinasi menandakan hasil yang positif. Uji ini mempunyai spesfifitas dan sensitivitas yang mirip dengan FTAABS. Pemeriksaan serologis untuk sifilis pada dasarnya adalah: A.Test Antigen Non Treponema 1.Test Flokulasi: V.D.R.L, K a h n 2.Test Fiksasi Komplemen: Wasserman, Kolmer 3.Test Aglutinasi: Rapid Plasma Reagin (RPR) B.Test Treponema 1.Test Fiksasi Komplemen R.P.C.F. (Reiter Protein Complement Fixation). T.P.C.F. (Treponema Pallidum Complement Fixation) 12

2.Test Aglutinasi T.P.A. (Treponema Pallidum Aglutination) T.P.H.A. (Treponema Pallidum Haemaglutination Assay) 3.Test Immobilisasi T.P.I (Treponema Pallidum Immobilisation) 4. Test Immuno Fluoresence F.T.A. (Fluoresence Treponemal Antibody ) F.T.A. Abs (Fluoresence Treponemal Antibody Absorption test)

Gambar 1. Gambaran mikroskopik treponema pallidum

Penatalaksanaan Penisilin tetap merupakan obat pilihan utama, karena murah dan efektif. Berbeda dengan gonokokus, belum ditemukan resistensi treponema terhadap penisilin. Konsentrasi dalam serum sejumlah 0,03 UI/ml sudah bersifat treponemasidal namun harus menetap dalam darah selama 10-14 hari pada sifilis menular, 21 hari pada semua sifilis lanjut dan laten. Ikhtisar Penatalaksanaan Sifilis Stadium Pengobatan Pemantauan Serologi

13

Sifilis Primer

Benzathine Penisilin G. Dosis 4,8 unit Pada bulan I,III,VI dan secara I.M (2,4 juta) dan diberikan XII dan setiap enam bulan satu kali seminggu 2.Prokain Penisilin G ini Aqua, Dosis total 6 juta unit, diberi 0,6 juta unit/hari selama 10 hari. P.A.M (Prokain Penisilin +2 % pada tahun ke II.

Aluminium Monostreat). Dosis total 4,8 juta unit. Diberikan 1,2 juta unit/kali 2 kali seminggu. Sifilis sekunder sama seperti sifilis primer Sifilis Laten 1. Benzathine Penisilin. Dosis total 7,2 juta unit. 2.Prokain Penisilin G in aqua. Dosis total 12 juta unit (0,6 juta unit/hari). 3.PAM dosis total 7,2 juta unit (1,2 juta unit/kali 2 kali seminggu). Sifilis S.III 1.Benzathine Penisilin G Dosis total 9,6 juta unit. 2.Prokain Penisilin G in aqua. Dosis total 18 juta unit (0,6 juta unit/hari). 3.PAM dosis total 9,6 juta unit (1,2 juta unit/kali 2 kali seminggu). Pada penderita sifilis yang alergis terhadap penisilin dapat diberikan pada sifilis S.I dan S.II: Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 15 hari atau Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 15 hari Pada Late laten sifilis (> 1 tahun) sama seperti dosis diatas selama 4 minggu: Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari atau Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari.

14

Gonore
Gonore merupakan penyakit yang mempunyai insidensi yang tinggi di antara P.M.S. Pada umumnya penularannya melalui hubungan kelamin, yaitu secara genitor-genital, orogenital, dan anogenital. Dapat juga secara manual melalui alat-alat, pakaian, handuk, thermometer, dsb. Definisi Gonore dalam arti luas mencakup semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Etiologi Gonore disebabkan oleh kuman grup Neisseria dan dikenal ada 4 spesies, yaitu N. gonorrhoeae, N. meningitides yang bersifat pathogen, serta N. catarrhalis, dan N. pharyngis yang bersifat komensal. Keempat spesies ini sukar dibedakan kecuali dengan tes fermentasi. Gonokok termasuk golongan diplokok berbentuk biji kopi berukuran lebar 0,8 u dan panjang 1, 6 u, bersifat tahan asam, bersifat gram negative, terlihat di dalam dan di luar leukosit, tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati dalam keadaan kering, tidak tahan suhu di atas 39 C, dan tidak tahan zat desinfectan. Secara morfologik gonok terdiri dari 4 tipe, yaitu tipe 1 dan 2 yang mempunyai pili yang sangat virulen, serta tipe 3 dan 4 yang tidak mempunyai pili dan nonvirulen. Pili akan melekat pada mukosa epitel dan akan menimbulkan reaksi radang. Daerah yang paling mudah terkena infeksi adalah daerah dengan mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang (immature), yakni pada vagina wanita sebelum pubertas.

Gejala Klinis Pada Pria: Infeksi Pertama Uretritis Komplikasi Lokal : Tysonitis, parauretritis, cowperitis 15

Assendens : prostatitis, vesikulitis, vas deferenitis, epididimitis, trigonitis

Pada wanita Infeksi Pertama Uretritis Servisitis Komplikasi Lokal : parauretritis, bartolinitis Assendens : salpingitis, P.I.D

Komplikasi Diseminata Pada pria dan wanita dapat berupa: Arthritis Miokarditis Endokarditis Perikarditis Meningitis Dermatitis

Diagnosis Diagnosis didasarkan atas dasara anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan pembantu yang terdiri dari 5 tahapan. A. Sediaan Langsung Sediaan langsung dengan pewarnaan gram gram gonokok negative, intrasel dan ekstrasel. Bahan duh tubuh pada pria diambil dari daerah fosa navikularis, sedangkan pada wanita diambil dari uretra, muara kelenjar bartholinitis, serviks, dan rectum. B. Kultur Digunakan untuk identifikasi, digunakan 2 macam media: a. Media transport Media Stuart Media Transgrow Mc Leods chocolate agar 16

b. Media Pertumbuhan

Media Thayer Martin Modified Thayer Martin Agar

C. Tes definitive 1. Tes Oksidasi Reagen oksidasi yang mengandung larutran tetrametil-p-

fenilendiamin hidroklorida 1% ditambahkan pada gonokok tersangka. Semua Neisseria member hasil positif dengan perubahan warna koloni yang semula bening berubah menjadi merah muda sampai merah lembayung. 2. Tes fermentasi Tes oksidasi positif dilanjutkan dengan tes fermentasi memakai glukosa, maltose, dan sukrosa. Kuman gonokok hanya meragikan glukosa.

D. Tes beta-laktamase Dengan menggunakan cefinase TM disc. BBL 961192 yang mengandung chromogenic cephalosporin, akan menyebabkan perubahan warna dari kuning menjadi merah apabila kuman mengandung enzim beta laktamase. E. Tes Thomson Berguna untuk mengetahui sampai mana infeksi berlangsung. Syarat tes Thomson: Sebaiknya dilakukan setelah bangun pagi Urin dibagi dalam dua gelas Tidak boleh menahan kencing dari gelas I ke gelas II

Syarat mutlak ialah kandung kencing harus mengandung air seni paling sedikit 80-100 ml, jika air seni kurang dari 80 ml, maka gelas II sukar dinilai karena b aru menguras uretra anterior.

Pengobatan Penisilin

17

Penisilin G prokain akua. Dosis 4,8 juta unit + 1 gram probenesid. Obat tersebiut dapat menutupi gejala syphilis. KI alergi penisilin. Ampisilin dan amoksisilin Ampisilin dosisnya ialah 3,5 gram + 1 gram probenesid, dan amoksisilin 3 gram + 1 gram probenesid. Suntikan ampisilin sudah tidak dianjurkan lagi. KI alergi penisilin. Untuk daerah dengan Neisseria gonorrhoeae Pengahsil Penisilin (N.G.P.P) tinggi, penisilin, ampisilin, dan amoksisilin tidak dianjurkan. Sefalosporin Seftriakson (generasi ke-3) cukup efektif dengan dosis 250 mg i.m. sefoperazon dengan dosis 0,50 1,00 g secara i.m. Sefiksim 400 mg oral dosis tunggal member angka kesembuhan >95%. Spektinomisin Dosis 2 g i.m. Baik untuk penderita yang alergi penisilin, yang mengalami kegagalan pengobatan dengan penisilin, dan terhadap pasien yang tersangka sifilis, karena obat ini juga menutupi gejala sifilis. Kanamisin Dosis 2 gram i.m. baik untuk penderita yang alergi penisilin, yang mengalami kegagalan pengobatan dengan penisilin, dan terhadap pasien yang tersangka sifilis, karena obat ini juga menutupi gejala sifilis. Tiamfenikol Dosis 3,5 gram per oral. Tidak dianjurkan pada kehamilan. Kuinolon DOC ofloksasin 400 mg, siprofloksasin 250-500 mg, dan norfloksasin 800 mg secara oral. Mengingat akhir-akhir ini banyak resistensi terhadap siprofloksasin dan ofloksasin, maka golongan kuinolon yang dianjurkan adalah levofloksasin 250 mg per oral dosis tunggal. Obat dengan dosis tunggal yang tidak efektif lagi ialah tetrasiklin, streptomisin, dan spiramisin.

18

Chlamydia Trakhomatis
Chlamydia Trachomatis adalah bakteri yang sangat kecil sekali, termasuk di dalam keluar Chlamydiaceae. Pada mulanya jasad renik ini dipersoalkan, apakah suatu virus atau suatu bakteri. Ternyata Chlamydia ini mempunyai dua tipe asam nukleat, DNA dan RNA, memiliki bahan-bahan yang terdapat pula pada dinding bakteri, berbelah secara biner, peka terhadap antibiotika, kepekaan yang tidak dimiliki oleh suatu virus Meskipun C, Trachomatis adalah sejenis bakteri, tetapi ia memiliki kekhususan yaitu bersifat mutlak sebagai sitoparasit atau tepatnya bakteri patogen intrasellular obligal. Sebagaimana virus yang bersifat parasitisme intrasellular obligat. Chlamydia juga tidak dapat berkembang diluar sel dan tergantung pada sel hospes. Sekarang ini dikenal ada 15 immunotipe C. trachomatis. Dewasa ini infeksi Chlamydia trakhomatis merupakan penyebab penyakit akibat hubungan seksual yang kekerapannya sekamkin tinggi. Prevalensi infeksi Chlamydia trakhomatis pada serviks wanita hamil berkisar antara 2-37%. Seperti gonorea, penjalaran Chlamydia trakhomatis pada saluran urogenital dimulai dari serviks ataupun ke atas, sehingga dapat menyebabkan terjadinya bartholinitis, endosservisitis, sindroma uretral akut, endometritis, salpingitis. Kejadian salpingitis akut dapat berkaitan dengan suatu keadaan perihepatitis akut, di mana terdapat proses inflamasi dan fibrinisasi pada permukaan anterior hepar serta peritoneum di sekitarnya yang menimbulkan perlekatan hepar dan diafragma. Keadaan tersebut dikenal sebagai sindroma Fitz-Hugh-Curtis. Beberapa penelitian menunjukkan pula berbagai kontroversi meningkatnya resiko kehamilan dan peresalinan pada ibu dengan infeksi Chlamydia, misalnya dapat menimbulkan abortus, kematian janin, persalinan preterm, pertumbuhan janin terhambat, ketuban pecah sebelum waktunya serta endometritis

postabortumm maupun postpartum. Bayi yang lahir pervaginam dari ibu dengan infeksi Chlamydia 20-50% dapat mengalami konjungtivitis inklusi dalam 2 minggu pertama kehidupannya. Pneumonia dapat terjadi pada usia 3-4 bulan dengan prevalensi 10-20%. Selain itu dapat pula terjadi otitis media, obstruksi 19

nasal, dan bronkiolitis. Risiko infeksi perinatal tidak terjadi bila persalinan berlangsung perabdominam, kecuali bila telah terjadi ketuban pecah sebelumnya. Diagnosis infeksi Chlamydia dapat ditegakkan bila sekret mukopurulen dari ostium uteri eksternum atau pun apusan serviks pada biakan menemukan mikroorganisme ini. Selain itu dapat dilakukan pula pemeriksaan sitologi yang memperlihatkan adanya badan inklusi intrasel, pemeriksaan secara serologic yang menunjukkan adanya kenaikan titer antibody, misalnya dengan cara ELISA. Pengobatan infeksi Chlamydia dalam kehamilan senantiasa perlu memperhatikan kemungkinan infeksi campuran dengan gonorea. Bila sarana diagnostic tidak ada, kasus dengan resiko tinggi perlu mendapat pengobatan dengan Erythromycin 500 mg secara oral 4 kali sehari selama 7 hari atau Erythromycin 250 mg secara oral 4 kali sehari selama 14 hari. Bila terdapat intoleransi terhadap Erythromycin, dapat diberi Amoxicilin 500 mg 3 kali sehari secara oral selama 7 hari. Pencegahan terhadap ophtalmia neonatorum perlu dilakukan dengan memberikan salep mata Erythromycin (0,5%), atau Tetracycline (1%) segera setelah bayi lahir, paling tidak dalam 1 jam postpartum. Yang perlu menjadi catatan yaitu walaupun sang ibu telah terinfeksi Chlamydia, tetapi masih dapat menyusui bayinya.

20

VAGINOSIS BAKTERIALIS

DEFINISI Vaginosis bakterialis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Gardnerella vaginalis.

ETIOLOGI Organisme ini mula-mula dikenal sebagai H. vaginalis kemudian diubah menjadi genus Gardnerella atas dasar hasil penyelidikan mengenai fenotipik dan asam dioksi-ribonukleat. Tidak mempunyai kapsul, tidak bergerak, dan berbentuk batang Gram-negatif atau variabel-Gram, tes katalase, oksidase, reduksi nitrat, indole, dan urease semuanya negatif. Kuman ini bersifat anaerob fakultatif, dengan produk akhir utama pada fermentasi berupa asam asetat, banyak galur yang menghasilkan asam laktat dan asam format. Ditemukan juga galur anaerob obligat. Untuk pertumbuhannya dibutuhkan tiamin, riboflavin, niasin, asam folat, biotin, purin, dan pirimidin. Setelah inkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC dalam kelembaban atmosfer 5%, tumbuh koloni pada agar darah manusia dengan diameter sekitar 0,5 mm, bulat, opak, dan halus. Timbul hemolisis beta pada darah manusia dan kelinci, tidak pada darah domba.

PATOGENESIS Patogenesis masih belum jelas. G. vaginalis termasuk flora normal dalam vagina melekat pada dinding. Beberapa peneliti menyatakan terdapat hubungan yang erat antara kuman ini dengan bakteri anaerob pada patogenesis penyakit vaginosis bakterialis (VB). Analisis cairan lemak dalam cairan vagina dengan gas liquid

chromatography menunjukkan bahwa pada wanita dengan V.B. perbandingan antasa suksinat dan laktat naik menjadi lebih besar atau sama dengan 0,4 bila dibandingkan dengan wanita normal atau dengan yang menderita vaginitis oleh karena Candida albicans. 21

Sekret vagina pada V.B. berisi beberapa amin termasuk di dalamnya putresin, kadaverin, metilamin, isobutilamin, fenetilamin, histamin, dan tiramin. Setelah pengobatan berhasil, sekret akan menghilang. Basil anaerob mungkin mempunyai peranan penting pada patogenesis V.B. karena setelah dilakukan isolasi, analisis biokimia sekret vagina dan efek pengobatan dengan metronodazol, ternyata cukup efektif terhadap G. vaginalis, dan sangat efektif untuk kuman anaerob. Dapat terjadi simbiosis antara G. vaginalis sebagai pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam vagina yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH sekret vagina sampai suasana yang menyenangkan bagi pertumbuhan G. vaginalis. Setelah pengobatan efektif, pH cairan vagina menjadi normal. Beberapa amin diketahui dapat menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan menyebabkan duh tubuh yang keluar dari vagina berbau. Basil-basil anaerob yang menyertai V.B., diantaranya adalah Bacterioides bivins, B. capillosis, dan B. disiens yang dapat diisolasikan dari infeksi genitalia, menghasilkan B. lactamase dan lebih dari setengahnya resisten terhadap tetrasiklin. Faktor hospes manakah yang menimbulkan gejala, belum diketahui. G. vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian menambah deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding vagina. Organisme ini tidak invasif dan respons inflamasi lokal yang terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam sekret vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis. Tidak ditemukan imunitas. Timbulnya V.B. ada hubungannya dengan aktivitas seksual atau pernah menderita infeksi Trichomonas. G. vaginalis dapat diisolasikan dari darah wanita dengan demam pascapartus dan pasca-abortus. Kultur darah seringkali menunjukkan flora campuran, bakteriemia G. vaginalis bersifat transient dan tidak dipengaruhi oleh pengobatan antimikrobal. Pada 2 penyelidikan mengenai infeksi traktus urinarius selama kehamilan, G. vaginalis dapat diisolasikan dari urin dengan cara aspirasi suprapubik pada 1550% kasus. Penyakit ini biasanya menyerang laki-laki muda, dengan gejala piuria, 22

hematuria, disuria, polakisuria, dan nokturia. Adanya organisme ini dalam uretra pria dapat terjadi tanpa gejala uretritis.

MANIFESTASI KLINIS Wanita dengan V.B. akan megeluh adanya duh tubuh dari vagina yang ringan atau sedang dan berbau tidak enak (amis), yang dinyatakan oleh penderita sebagai satu-satunya gejala yang tidak menyenangkan. Bau lebih menusuk setelah senggama dan mengakibatkan darah menstruasi berbau abnoemal. Iritasi daerah vagina atau sekitar vagina (gatal, rasa terbakar), serta kemerahan dan edema pada vulva. Terdapat 50% kasus bersifat asimptomatik. Pada pemeriksaan terlihat adanya duh yubuh vagina bertambah, warna abu-abu homogen, berbau dan jarang berbusa. Gejala peradangan umum tidak ada. Pada pria dapat terjadi prostatitis ringan sampai sedang, dengan atau tanpa uretritis. Gejalanya berupa piuria, hematuria, disuria, polakisuria, dan nokturia.

DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan: 1. 2. Duh tubuh vagina berwarna abu-abu, homogen, dan berbau. Pada sediaan basah sekret vagina terlihat leukosit sedikit/tidak ada, sel epitel banyak, dan adanya kokobasil kecil-kecil yang berkelompok. Adanya sel epitel vagina yang granular diliputi oleh kokobasil sehingga batas sel tidak jelas, yang disebut clue cells, adalah patognomotik. Ditemukannya clue cells sebagai kriteria diagnostik, dilaporkan sensitivitasnya 70-90% sedangkan spesifitasnya 95-100%. Kombinasi sediaan basah dan pewarnaan gram usapan vagina lebih dapat dipercaya. Pada pewarnaan gram dapat dilihat batang-batang kecil gram-negatif atau variabel-gram yang tidak dapat dihitung jumlahnya dan banyak sel epitel dengan kokobasil, tanpa ditemukan laktobasil. Gambaran pewarnaan Gram duh tubuh vagina diklasifikasikan menurut modifikasi kriteria SPIEGEL dkk. Sebagai berikut:

23

a. Diagnosis vaginosis bakterial dapat ditegakkan kalau ditemukan campuran jenis bakteria termasuk morfotipe Gardnerella dan batang gram-positif atau gram-negatif yang lain atau kokus atau keduanya. Terutama dalam jumlah besar, selain itu dengan morfotipe Lactobacillus dalam jumlah sedikit atau tidak ada di antara flora vaginal dan tanpa adanya bentukbentuk jamur. b. Normal kalau terutama ditemukan morfotipe Lactobacillus di antara flora vaginal dengan atau tanpa morfotipe Gardnerella dan tidak ditemukan bentuk jamur. c. Indeterminate kalau diantara kriteria tidak normal dan tidak konsisten dengan vaginosis bakterial. Pada pewarnaan Gram juga dievaluasi ada atau tidak ada bentuk batang lengkung Mobiluncus spp. 3. Bau amis setelah diteteskan 1 tetes larutan KOH 10% pada sekret vagina. Tes ini disebut juga tes Sniff (tes amin). 4. 5. pH vagina 4,5-5,5. Pemeriksaan kromatografi Perbandingan suksinat dan laktat meninggi sedangkan asam lemak utama yang dibentuk adalah asam asetat. 6. Pemeriksaan biakan Biakan dapat dikerjakan pada media di antaranya: agar Casman, dan Protease peptone starch agar, dibutuhkan suhu 37oC selama 48-72 jam dengan ditambah CO2 5%. Koloni sebesar 0,5-2 mm, licin, opak dengan tepi yang jelas, dan dikelilingi zona hemolitikbeta. Sebagai media transpor dapat digunakan media transpor Stuart atau Amies. 7. Tes biokimia Reaksi oksidase, indol, dan urea negatif, menghidrolisis hipurat dan kanji. Untuk konfirmasi harus disingkirkan infeksi karena T. vaginalis dan C. albicans.

24

PENATALAKSANAAN Secara topikal penyembuhan hanya bersifat sementara, preparat yang digunakan antara lain: 1. Krim sulfonamida tripel, penyembuhannya berkisar antara 14-86%. 2. Supositoria vaginalberisi tetrasiklin atau yodium povidon 76%. 3. Buffered acid gel telah dicoba, tetapi hasilnya tidak dipublikasikan. 4. Krim sulfonamida tripel sebagai acid cream base dengan pH 3,9 dipakai setiap hari, selam 7 hari. Secara sistemik digunakan: 1. Metronidazol, dengan dosis 2x500 mg setiap hari selama 7 hari, atau tinidazol 2x500 mg setiap hari selama 5 hari. 2. Ampisilin atau amoksisilin, dengan dosis 4x500 mg per oral selam 5 hari. Kegagalan pada pengobatan dapat diterangkan karena adanya laktamase beta yang diproduksi oleh spesies-spesies Bacteriodes. 3. Klindamisin 300 mg per oral 2x sehari selama 7 memberi angka kesembuhan hampir sama dengan metronidazol 500 mg per oral 2 kali sehari 7 hari.

GRANULOMA INGUINAL

Definisi Proses grnulomatosa yang biasanya mengenai daerah anogenital dan inguinal. Daya penularannya rendah, bersifat kronik, progresif, penularan secara autoinokulasi, mengenai genitalia dan kulit di sekitarnya dan kadang-kadang mengenai system limfatik

Epidemiologi Lebih banyak didaerah tropis dan subtropics Lebih banyak pada ras kulit berwarna Mengenai umur 20-40 tahun

25

Etiologi Pada tahun 1905, Donovan menemukan adanya badan intraselular pada sediaan hapus yang diambil dari sediaan ulkus granuloma inguinal. Basil tersebut kemudian disebut Calymatobacterium granulomatis,Imerupakan bakteri

berbentuk batang pendek, tebal, tidak membentuk spora dan gram negative.

Patogenesis Lesi primer dimulai sebagai satu nodul yang mengalami indurasi (penebalan),apabila terjadi kerusakan pada permukaannya maka akan terjadi ulkus yang berwarna seperti daging dan granulomatosa. Prosesnya berasal dari autoinokulasi,terutama di daerah perianal.

Gambaran patognomosisnya adalah donovanosis yaitu sel mononuclear besar yang terinfeksi,berisi banyak kista intrasitoplasmik yang diisi oleh badan Donovan.

Gejala klinis Masa inkubasi bervariasi, antara 1-12 minggu Lesi dapat dimulai dari daerah genitalia eksterna, paha,lipat paha atau perineum. Pada permulaan, lesi berbentuk papul atau vesikel yang tidak nyeri. Kemudian perlahan menjadi ulkus granuloma. Tpe gambaran klinis : 1. tipe nodular 26

2. tipe ulsero-vegetatif 3. tipe hipertrofik 4. tipe sikatrikal

Komplikasi 1. edema genital 2. Hiperplasia pseudoepiteliomatosa 3. lesi metastasik yang mengenai tulang, sendi dan alat-alat dalam

Diagnosis 1. Riwayat penyakit 2. Gambaran klinis 3. Hapusan jaringan terdapat D.granulomatosis dalam sel mononuclear yang besar 4. biakan 5. biopsy 6. tes serum 7. inokulasi 8. tes kulit

Terapi

27

Gobertsob (1980) melaporkan Ampisilin sebagai salah satu obat yang efektif untuk penyakit ini. Diberikan ampsilin 4x500 mg/hari. Penyembuhan sempuna setelah diobati selama sebulan

ULKUS MOLE
Definisi Ulkus mole adalah penyakit menular seksual (PMS) yang akut, ulseratif, dan biasanya terlokalisasi di genitalia atau anus dan sering disertai pembesaran kelenjar di daerah inguinal (bubo). Ulkus mole diketahui menyebar dari satu orang ke orang lain melalui hubungan seksual. Sinonim ulkus mole adalah chancroid, soft chancre, atau soft sore. Ulkus mole lebih sering menyerang pria terutama yang sering melakukan prostitusi dibanding wanita. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang berpotensi adalah 10 : 1, dan lebih banyak pada laki-laki heteroseksual, di dapat dari penderita yang asimtomatik, biasanya pada wanita pekerja seks.

Etiologi Penyebab ulkus mole ini adalah H. ducreyi yang merupakan bakteri gram negatif, anaerob fakultatif, berbentuk batang pendek dengan ujung bulat, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan memerlukan hemin (faktor X) untuk pertumbuhannya.

Patogenesis H. ducreyi menghasilkan toksin sitoletal, faktor virulensi penting pada patogenesis ulkus mole. Diduga toksin ini yang meyebabkan prognosis ulkus pada genitalia sulit untuk sembuh. Penyebaran ulkus mole melalui virus yang menyerang sistem imun manusia yang menurun. Reseptor berupa simokin CCR5 dan CXCR4 yang termasuk kelas 7 transmembran G-protein-reseptor, dan ikatan alami yang menyerang sel imun pada satu tempat dan terbentuk inflamasi. CCR5 dan 2 co-reseptor penting, esensial keluar menjadi HIV. Makrofag dalam lesi dari cancroid berpeluang besar meningkatkan ekspresi dari CCR5 dan CXCR4 28

bersama dengan sel darah perifer, sel CD4 T berpeluang menurunkan regulasi dari CCR5. Beta-simokin RANTES (mengaktifkan regulasi, sel T normal dan sekretnya) dalam ikatan yang penting untuk CCR5. RANTES menimbukan papul dan pustul dari infeksi ulkus mole tetapi tidak menyebabkan infeksi pada kulit. Bersama dengan mukosa dan barier kulit, muncul sel dengan regulasi yang menurun dari HIV-1 co-reseptor dalam lesi infeksi H ducreyi dengan lingkungan yang fasilitasnya buruk dan menyebabkan infeksi HIV-1. Pengobatan yang mudah dan efektif dari ulserasi genital, dan ulkus mole dari partikuler, bagian yang penting dari beberapa strategi untuk mengontrol perkembangan dari infeksi HIV di negara-negara tropis. Pada pemeriksaan biopsi dari ulkus mole dikalsifikasikan menjadi 3 daerah inflamasi dibawah ulkus. Daerah pertama terdiri dari daerah yang nekrotik, fibrin, dan neutropil. Daerah tengah adalah daerah dengan jaringan granulasi dan zona yang paling bawah terdiri dari limfosit dan plasma sel. Gram-negatif dari basil hanya daapt ditemukan dengan menggunakan pewarnaan Gram atau Giemsa dan dapat dilhat baik dengan Smears. Awalnya, mikroorganisme melakukan penetrasi pada defek pertahanan epidermis. Bakteri yang masuk memberi rangsangan inflamasi sehingga terjadi infiltrasi limfosit, makrofag, granulosit dengan mediator utama TH-1 sebagai respon imun dan inflamasi pyogenik. Perkembangan ulkus mole disertai juga limfadenitis akibat inflamasi pyogenik.

29

Manifestasi Klinis Masa inkubasi berkisar antara 1-14 hari, pada umumnya kurang dari 7 hari. Lesi kebanyakan multipel, jarang soliter, biasanya pada daerah genital, jarang pada daerah ekstra genital. Mula-mula kelainan kulit berupa papul, kemudian menjadi vesiko-pustul pada tempat inokulasi, cepat pecah menjadi ulkus. Pria cenderung memiliki gejala nyeri pada lesi atau nyeri inguinal. Kebanyakan gejala pada wanita asimptomatik walalupun kadang muncul gejala yang kurang jelas, seperti disuria, dispareunia, sekret vagina, nyeri defekasi, atau perdarahan rektal. Gejala konstitusi seperti malaise dan demam ringan kadangkadang terlihat. Pada pria, daerah yang paling sering terkena ulkus adalah prepusium, sulkus koronalis, frenulum, dan jarang pada anus. Pada wanita, daerah yang paling sering terkena ulkus adalah labia, frenulum labiorum pudendi, klitoris, atau anus. Sangat jarang lesi terdapat pada orifisium vagina, serviks, atau intrauretra. Ekstensi lokal terdapat pada abdomen, perineum, atau paha. Ulkus ekstragenital dapat terjadi di tangan, dada, bibir, atau mulut. Secara klinis, ulkus mole ditandai dengan ulserasi kronik dan nyeri, dekstruktif yang dimulai di prepusium atau glans dan menyebar langsung sepanjang penis. Sering kali menyerang skrotum atau pubis. Tepi yang ulserasi cenderung meninggi dan tegang. Dasar granulasi yang gampang berdarah ditutupi 30

oleh jaringan nekrotik yang tipis, eksudat purulen dan kotor. Jaringan disekitarnya bisa juga udem dan berwarna kemerahan serta jaringan limpa dapat juga membengkak. Meskipun tidak khas untuk menandai gambaran klinisnya. Jenis bentuk klinis: 1. Ulkus mole folikularis Timbul pada folikel rambut, pada permukaannya menyerupai folikulitis yang disebabkan oleh kokus, tetapi cepat menjadi ulkus 2. Dwarf chancroid Lesi sangat kecil dan menyerupai erosi pada herpes genitalis, tetapi dasarnya tidak teratur dan tepinya berdarah 3. Transient chancroid (chancre mou valant) Lesi kecil, sembuh dalam beberapa hari, tetapi 2-3 minggu kemudian diikuti timbulnya bubo yang meradang pada daerag inguinal. 4. Papular chancroid (ulkus mole elevatum) Dimulai dengan ulkus yang kemudian menimbul terutam pada tepinya. Gambarannya menyerupai kondiloma akuminata pada sifilis stadium II 5. Giant chancroid Mula-mula timbul ulkus kecil, tetapi meluas dengan cepat dan menutupi satu daerah. 6. Phagedenic chancroid Lesi kecilo menjadi besar dan destruktif dengan jaringan nekrotik yang luas. Genitalia eksterna dapat hancur, pada beberapa kasus disertai infeksi organisme Vincent 7. Tipe serpiginosa Lesi membesa karena perluasan atau auotoinokulasi dari lesi pertama ke daerah lipatan paha atau paha. Ulkus jarang sembuh, dapat menetap berbulan-bulan atau bertahun-tahun.

Bubo Adenitis daerah inguinal timbul pada setengah kasus ulkus mole. Sifatnya unilateral, erimatosa, membesar, dan nyeri. Timbul beberapa hari sampai 2 31

minggu setelah lesi primer. Lebih daripada setengah kasus adenitis sembuh tanpa supurasi

Pemeriksaan H. ducreyi merupakan mikroorganisme yang sulit dikultur. Untuk mengkultur bakteri tersebut diperlukan teknik dan keterampilan khusus. Pemeriksaan kultur merupakan gold standard untuk mendeteksi H. ducreyi. H. ducreyi tumbuh pada suhu terbaik 33oC kelembaban atmosfer yang mengandung karbondioksida 5%. Untuk mendapatkan sensitivitas yang tinggi pada isolasi primer, dirokemendasikan penggunaan 2 media sekaligus yang ditambahkan dengan hemoglobin dan serum. Beberapa media yang dapat digunakan adalah media selektif Chocolate Agar ditambah 1% isovitalex yang mengandung 3 g/ml vancomycin, Heart Infusion Agar (HIA agar) dengan 5% defibrinasi darah kecil atau 10% serum fetal calf serum dan Chocolate Mueller Hinton agar dengan 5% darah kuda. Pada biakan nampak koloni kecil, non mukoid, abu-abu kuning, semi opak atau translusen dapat digeser pada permukaan agar dalam keadaan utuh, nampak 2-4 hari, tetapi biasa 7 hari setelah inokulasi. Apusan kapas digunakan untuk mengambil spesimen dari dasar ulkus, kemudian digaris pada kaca gelas. Organisme hanya bertahan hidup 2-4 jam pada swab jika tidak ditempatkan dalam lemari pendingin. Tidak ada sistem transpor yang memuaskan. Jumlah H.ducreyi pada eksudat ulkus antara 107-108/ml pus. Pada pus kelenjar ingunal yang meradang tidak didapatkan mikroorganisme tetapi terdapat pada abses inguinal. Gambaran mikroskopis yang muncul adalah segumpal basil gram negatif menyerupai school of fish dan merupakan diagnosis pasti ulkus mole pada pemeriksaan kultur. Pemeriksaan langsung ini dapat dilakukan dengan pewarnaan gram, giemsa 8 atau mikroskop elektron. Identifikasi yang cepat dapat dengan pewarnaan methylgreenpyronine pappenheim dan Unna, juga dapat dilaksanakan dengan pewarnaan blue dan wright. Namun pemeriksaan langsung tersebut dapat menyesatkan oleh karena banyaknya flora polimikrobial ulkus genital.

32

Selain pemeriksaan kultur, pemeriksaan lain dapat dilakukan yaitu PCR (polymerase chain reaction), M-PCR (multiplex polymerase chain reaction), antibodi monoklonal, biopsi jaringan, dan pewarnaan gram.

Diagnosis Jika pemeriksaan kultur tidak dapat atau sulit dilakukan, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan eliminasi mikroorganisme lain penyebab ulkus genitalia, seperti sifilis atau herpes genitalia. Juga dari data epidemiologi dan respon terhadap terapi

Penatalaksanaan I. Sistemik 1. Sulfonamid Misalnya sulfatiazol, sulfadiazin, atau sulfadimidin, diberikan dengan dosis pertama 2-4 gram dilanjutkan dengan 1 gram tiap 4 jam sampai sembuh sempurna (kurang lebih 10-14 hari) Tablet kotrimoksazol dapat diberikan dengan dosis 2x2 tablet selam 10 hari. Bila pengobatan berhasil. perelu dilakukan drainase, dorsumsisi pada preputium 2. Streptomisin Obat ini juga efektif tanpa mengganggu diagnosis sifilis. Disuntikkan setiap hari 1 gram selema 7-14 hari, dapat juga dikombinasikan dengan sulfonamid. Kombinasi perlu kalau terdapat bubo, atau kalau lesi genitalia tidak sembuh hanya dengan pemberian sulfonamid 3. Penisilin Sedikit efektif, terutama diberikan kalau terdapat organisme Vincent 4. Tetrasiklin dan oksitetrasiklin Efektif kalau diberikan dengan dosis 4x500 mg/hari selama 10-20 hari, antibiotik ini menutupi gejala sifilis satadium I 5. Kanamisin

33

disuntikkan i.m. 2x500 mg selama 6-14 hari. Obat ini tidak punya efek terhadap T.pallidum 6. Kloramfenikol Efektif terhadap H.ducreyi, tetapi karena mempunyai toksik tidak digunakan 7. Eritromisin diberikan 4x500 mg sehari, selama seminggu 8. Kuinolon Ofloksasin: cukup dosis tunggal 400 mg

II. Lokal Jangan diberikan antiseptik karena akan mengganggu pemeriksaan

mikroskopik lapangan gelap untuk kemungkinan diagnosis sifilis stadium I. Lesi dini yang kecil dapat sembuh setelah diberi NaCl fisiologik

Prognosis Prognosis ulkus mole adalah baik jika penyakit diterapi dengan tepat dan tidak ditemukan infeksi HIV. Pasien sebaiknya disarankan untuk tidak melakukan aktivitas seksual sampai lesi sembuh sempurna. Kontak seksual sebaiknya diperiksa dan diterapi. Tetapi, tanpa pengobatan, ulkus genital dan abses inguinal dilaporkan kadang-kadang menetap.

34

LIMFOGRANULOMA VENEREUM

Limfogranuloma venereum (Limfopatia venereal, limfogranuloma inguinale) adalah infeksi fokal yang infeksius dan kontagius yang disebabkan oleh serotipe tertentu dari Chlamydia trachomatis (L1-L3) dengan kemungkinan terjadi infeksi asenden melalui pembuluh limfe, kebanyakan ditularkan melalui hubungan seksual dan biasanya berlokasi pada daerah genito-anal (Rassner dan Steinert, 1995). Penyakit ini terutama terdapat di negara tropik dan sub tropik, penderita pria pada sindrom inguinal lebih banyak dari pada wanita dan biasanya terjadi pada umur seksual aktif (Djuanda, 2001). Limfogranuloma venereum merupakan penyakit yang jarang ditemukan di Amerika utara, Eropa, Australia. Prevalensi tertinggi ditemukan di Afrika bagian timur dan barat, India, Asia tenggara dan Amerika selatan (Perine dan Stamm, 1999). Sejak tahun 1950, negara-negara di Eropa melaporkan kasus limfogranuloma venereum tidak pernah lebih dari satu lusin. Sedangkan di Amerika Serikat kasus limfogranuloma venereum setiap tahunnya sekitar 595 kasus. Negara Ethiopia melaporkan kasus limfogranuloma venereum setiap tahunnya sampai beberapa ribu kasus (Perine dan Stamm, 1999).

Definisi Limfogranuloma venereum (LGV) ialah penyakit venerik yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis, afek primer biasanya cepat hilang, bentuk yang tersering ialah sindrom inguinal. Sindrom tersebut berupa limfadenitis dan periadenitis beberapa kelenjar gatah bening inguinal medial dengan kelima tanda radang akut

35

dan disertai gejala konstitusi, kemudian akan mengalami perlunakan yang tidak serentak (Djuanda, 2001).

Sinonim Menurut Perine dan Stamm, 1999, sinonim dari limfogranuloma venereum ialah tropical or climate bubo, strumous bubo, paradenitis inguinalis, Durand-NicolasFavre disease, lymphogranuloma inguinale. Sedangkan menurut Mulyono, 1986, sinonimnya ialah Limfogranuloma tropikum, limfopatia venereum.

Epidemiologi Penyakit ini dapat timbul secara endemik di seluruh dunia. Paling banyak dijumpai di daerah yang beriklim panas, jarang pada daerah yang beriklim dingin. Angka prevalensi yang tinggi terutama terjadi pada orang Negro dan kulit berwarna, yang diperkirakan ada hubungannya dengan keadaan higiene yang rendah. Insiden terbesar terjadi pada usia dengan kegiatan seksual yang masih aktif. Pria lebih banyak dijumpai dari pada wanita (Mulyono, 1986). Etiologi Limfogranuloma venereum biasanya disebabkan oleh salah satu dari ketiga serovars Chlamydia trachomatis yaitu L1, L2 dan L3 (Perine dan Stamm, 1999). Menurut Andriantodan Sukardi, 1988, penyakit ini disebabkan oleh

Miyagawanella lymfogranulomatosis dari genus chlamydia yang dulunya dianggap virus. Ia mengandung RNA dan DNA. Sedangkan menurut Mulyono, 1986, penyebabnya adalah Chlamydia lymfogranulomatis, sejenis virus dari genus chlamydia. Dapat dibiakkan di dalam sel yolc sac dari embrio ayam atau perbenihan khusus untuk keperluan diagnostik.

Patogenesis Patogenesisi terjadinya limfogranuloma venereum menurut Perine dan Stamm, 1999, yaitu: Chlamydia tidak bisa menembus selaput lendir atau kulit yang utuh, organisma inikemungkinan dapat menembus melalui laserasi dan abrasi. LGV merupakan penyakit yang dominan terjadipada jaringan limfe. Prosespatologis 36

yang penting adalah trombolimfangitis dan perilimfangitis dengan proses penyebaran inflamasi dari nodus limfatikus yang terinfeksi ke jaringan sekitarnya. Limfangitis ditandai oleh proliferasi sel endotelial lapisan kelenjar getah bening dan penghubung kelenjar getah bening di dalam nodus limfatikus. Tempat terjadinya primer infeksi pada saluran nodus limfatikus cepat memperbesar dan membentuk area kecil, yang dipisahkan dari jaringan yang nekrosis oleh sel endotelial yang rapat. Area yang nekrotik menarik leukosit polimorfonuklear dan membesar sehingga terbentuk suatu bangunan yang khas yang berbentuk segitiga atau bentuk segi empat yang lebih dikenal dengan stellate abses Inflamasi nodus limfatikus yang berdekatan disertai dengan periadenitis, dan sebagai akibat dari perkembangan inflamasi, bisul bersatu dan ruptur, membentuk loculated abses, fistula-fistula, atau sinus-sinus. Proses inflamasi terjadi selama beberapa minggu sampai beberapa bulan. Penyembuhan yang berlangsung mengakibatkan fibrosis, yang akan menghancurkan struktur nodus limfatikus yang normal dan menyebabkab obstruksi pembuluh limfe. Edema kronis dan sklerosa fibrosis menyebabkan indurasi dan pembesaran bagian yang terpengaruh. Fibrosis juga berperan dalam menyediakandarah untuk membran mukosaatau kulit, dan terjadinya ulserasi. Pada rektum mengakibatkan pembinasaan dan ulserasi mukosa, inflamasi transmural pada dinding bowel, obstruksi saluran limfatik dan pembentukan fibrotik. Pembentukanadhesi yang menentukan bagian yang lebih rendah dari sigmoid dan rektum terhadap dinding daritulang panggul dan organ yang berdekatan.

Manifestasi klinis Masa tunas penyakit ini ialah 1-4 minggu. Gejala konstitusi timbul sebelum penyakitnya mulai dan biasanya menetap selama sindrom inguinal. Gejala tersebut berupa malaise, nyeri kepala, artralgia, anoreksia, nausea dan demam.Gambaran klinisnya dapat dibagi menjadi bentuk dini, yang terdiri atas afek primer serta sindrom inguinal, dan bentuk lanjut yang terdiri atas sindrom genital, anorektal dan uretral. Waktu terjadinya afek primer hingga sindrom

37

inguinal 3-6 minggu, sedangkan dari bentuk dini hingga bentuk lanjut satu tahun hingga beberapa tahun (Djuanda,2001). Bentuk Dini Afek primer. Setelah masa inkubasi 1 sampai 4 minggu atau bisa lebih timbul afek primer (Andrianto dan Sukardi, 1988). Biasanya berupa papulo vesikel kecil, berdiameter 2-3 cm, dalam waktu singkat mudah pecah menjadi erosi. Pada pria biasanya terletak pada daerah glans penis, prepusium, sulkus koronarius. Sedangkan pada wanita terletak pada vulva, vagina atau serviks. Lesi bersifat tidak nyeri, pada umumnya sembuh sendiri dalam waktu singkat tanpa gejala klinik yang menonjol sehingga tidak menarik perhatian dan lolos dari pengamatan. Melalui lesi primer ini kuman penyebab LGV masuk dan menyebar melalui aliran limfe mencapai kelenjar terdekat. Sindrom klinik sekunder terjadi dalam interval waktu antara 1-4 minggu setelah lesi primer dan biasanya disertai keluhan-keluhan umum (Mulyono, 1986). Sindrom inguinal. Sindrom inguinal merupakan sindrom yang tersering dijumpai karena itu akan diuraikan secara luas. Sindrom tersebut dapat terjadi pada pria, jika afek primernya di genitalia eksterna, umumnya unilateral, kira-kira 80 %. Pada wanita terjadi, jika afek primernya pada genitalia eksterna dan vagina 1/3 bawah. Itulah sebabnya sidrom tersebut lebih sering terdapat pada pria dari pada wanita, karena pada umumnya afek primer pada wanita di tempat yang lebih dalam, yakni di vagina 2/3 atas dan serviks. Jika afek primer pada tempat tersebut, maka yang mengalami peradangan bukan kelenjar inguinal medial, tetapi kelenjar Gerota (Djuanda, 2001). Sindrom inguinal medial dimulai dengan pembesaran kelenjar limfe inguinal disertai rasa nyeri, teraba padat, kemudian berkembang ke arah peradangan perinodal. Terjadi perlekatan antara satu kelenjar dengan yang lain, juga dengan jaringan di bawah kelenjar serta jaringan kulit di atasnya yang tampak ungu kemerahan. Keluhan umum dapat berupa sakit kepala, demam, anoreksia, nausea dan artralgia. Kelenjar limfe iliakal dan femoral dapat juga terkena bersama-sama kelenjar limfe inguinal membentuk sekelompok bubo disebut ettage bubonen. Buboadenitis inguinal yang terletak di atas ligamentum inguinale dan buboadenitis femoral dibawah ligamentum inguinale tampak 38

memanjang dari medial ke lateral, sedang ligamentum inguinal sendiri tetap utuh sehingga timbul celah panjang di antara keduanya dan disebut sign of the groove atau green blatts sign, suatu tanda klinik yang kh as. Buboadenitis akan mengalami supurasi multilokular dan bila pecah akan menimbulkan sinus atau fistula multiple. Sindrom inguinal ini umumnya bersifat unilateral, hanya sebagian yang bersifat bilateral. Buboadenitis iliakal pada perut kanan bawah menimbulkan gejala yang mirip apendisitis. Pada wanita buboadenitis inguinal ternyata sangat jarang karena perbedaan aliran limfe dari vulva dan vagina pada umumnya menuju ke kelenjar limfe perirektal Gerota dengan gejala awal nyeri pada pinggang bawah (Mulyono, 1986).

Bentuk lanjut Pada pria dapat ditemukan cicatrical inguinal yang dalam derajat berat dapat menimbulkan edema dan elephantiasis tungkai. Pada wanita kelainannya akan lebih parah dari pada wanita. Sindrom genital. Pada pria, sindrom genital biasanya terbatas pada genitalia eksterna sedang pada wanita selain genitalia eksterna juga genitalia interna (Mulyono, 1986). Jika sindrom inguinal tidak diobati, maka terjadi fibrosis pada kelenjar inguinal medial, sehingga aliran getah bening terbendung serta terjadi edema dan elefantiasis. Elefantiasis tersebut dapat bersifat vegetatif, dapat terbentuk fistelfistel dan ulkus-ulkus. Pada pria, elephantiasis terdapat di penis dan skrotum, sedangkan pada wanita di labia dan klitoris, disebut estiomen. Jika meluas terbentuk elephantiasis genitor-anorekta dan disebut Sindrom Jersild (Djuanda, 2001). Sindrom anorektal. Sindrom tersebut dapat terjadi pada pria homoseksual, yang melakukan senggama secara genitoanal. Pada wanita dapat terjadi dengan dua cara. Pertama, jika senggama dilakukan dengan cara genito-anal. Kedua, jika afek primer terdapat pada vagina 2/3 atas atau serviks, sehingga terjadi penjalaran ke kelenjar perirektal (kelenjar Gerota) yang terletak antara uterus dan rektum (Djuanda, 2001). Penjalaran dari kelenjar Gerota menimbulkan proktitis, ulserasi 39

mukosa rektum, sekret rektum purulen dan bisa berdarah. Lebih lanjut bisa menimbulkan abses perirektal, fistula rektovasikal, rektovaginal dan fistula in ano serta obstruksi usus dan kesulitan defekasi (striktura rekti) (Andrianto dan Sukardi, 1988). Sindrom genital lanjut. Ditandai oleh edema kronik yang dapat menimbulkan indurasi dan hiperplasi labia secara poliploid dengan lobulasi dan papilla. Keadaan ini disebut elephantiasis labiae (esthiomene). Orifisium uretra eksterna tertarik ke bawah akibat prolaps dinding ventral vagina (visbek uretrae). Kadangkadang tampak hipopigmentasi atau hiperpigmentasi kulit pada genitalia eksterna. Ulserasi vagina dapat menembus ke vesika urinaria sehingga timbul fistula vesikovagal. Sindrom anogenital lanjut. Ditandai oleh perubahan-perubahan pada vulvoanal, rektovaginal, dan anosigmoidorektal. Limfangitis dan perilimfangitis kronik pada vulvoanal menimbulkan hiperplasi induratif, pada penekanan oleh kedua paha mengubah elephantiasis tersebut menjadi gepeng dan disebut Buchblatt condyloma. Ulserasi kronik pada rektum atau sigmoidorektum berakhir dengan jaringan parut sehingga terjadi striktur. Ulserasi pada rektum dapat menembus vagina sehingga terjadi fistula rektovagina. Abses perirektal dapat berlanjut menjadi fistula perianal dan bila sfingter ani terkena akan timbul inkontinensia alvi. Akibat striktur pada rektum sering terjadi kolitis ulseratif atau protokolitis (Mulyono, 1986). Sindrom uretral. Sindrom tersebut terjadi, jika terbentuk infiltrat di uretra posterior, yang kemudian menjadi abses, lalu memecah dan menjadi fistel. Akibatnya ialah terjadi striktur hingga orifisium uretra eksternum berubah bentuk seperti mulut ikan dan disebut fish mouth uretra dan penis melengkung seperti pedang Turki (Djuanda, 2001).

Pemeriksaan Lab Pemeriksaan darah tepi Pada gambaran darah tepi biasanya leukosit normal, sedangkan LED meninggi. Peninggian ini menunjukkan keaktifan penyakit, jadi tak khas untuk LGV, lebih 40

berarti untuk menilai penyembuhan, jika menyembuh LED akan menurun. Sering terjadi hiperproteinemia berupa peninggian globulin, sedangkan albumin normal atau menurun, sehingga perbandingan albumin-globulin menjadi terbalik. Imunoglobulin yang meninggi ialah IgA dan tetap meninggi selama penyakit masih aktif, sehingga bersama-sama dengan LED menunjukkan keaktifan penyakit (Djuanda, 2001).

Tes Frei Antigen Frei didapat dari penderita LGV yang belum perforasi dengan melakukan pungsi dari abses yang telah masak. Usahakan agar pus tidak tercampur darah (krem kekuningan). Setelah diencerkan 5 kali dengan larutan PZ kemudian dilakukan pasteurisasi. Sebanyak 0,1 ml antigen Frei disuntikkan intradermal sehingga terjadi benjolan kulit sebesar 10 mm di daerah volar lengan bawah dan pada lengan yang lain disuntikkan 0,1 ml PZ steril sebagai kontrol. Pembacaan dilakukan setelah 48-72 jam. Tes Frei dikatakan positif bila teraba indurasi kemerahan selebar 5 mm atau lebih. Kadang-kadang indurasinya kecil untuk hal ini dapat dibuat ketentuan bahwa bila terdapat eritema selebar 10 mm atau lebih maka dapat dikatakan positif (Prakken cit Mulyono, 1986). Menghilangnya indurasi terjadi setelah 4-5 hari atau dapat bertahan 2-3 minggu. Buboadenitis yang timbulnya 10 hari atau lebih memberikan hasil positif. Bila ternyata negative, dilakukan tes ulangan selang waktu 3-5 hari. Dikatakan bahwa tes Frei akan positif pada saat buboadenitis LGV sudah lebih dari 2 minggu (Moschella dkk cit Mulyono, 1986) atau 5-8 minggu setelah senggama tersangka (Prakken cit Mulyono, 1986) atau 12-14 hari setelah lesi primer muncul (Schachter dan Abraham chit Mulyono, 1986). Perlu diingat bahwa pada orang yang pernah menderita LGV juga memberikan tes Frei positif. Selain itu tes ini kurang spesifik karena akan memberikan reaksi yang paling kuat. Juga tes yang negative tidak berarti menyingkirkan diagnosis LGV, perlu diulangi dengan selang waktu 3-5 hari (Mulyono, 1986).

Tes fiksasi komplemen 41

Tes tersebut lebih peka dan lebih dapat dipercaya dari pada tes Frei dan lebih cepat menjadi positif yakni setelah sebulan. Tes ini juga memberi reaksi silang dengan penyakit yang segolongan (Djuanda, 2001). Tes ini menggunakan EAE antigen dengan titer mencapai 1/16 atau lebih sampai 1/2048. Titer kurang dari 1/16 dianggap negative, sedangkan titer 1/64 atau lebih dianggap diagnostik untuk LGV (Schachter dan Abraham cit Mulyono, 1986). Setelah LGV sembuh maka titer akan turun seperti halnya pada VDRL, tetapi pada kasus-kasus LGV yang kronik titer masih tetap tinggi (Mulyono, 1986).

Tes presipitasi radioisotop Tes ini sangat sensitive dan spesifik. Titer dapat mencapai 1/2048. Belum ada di Indonesia (Mulyono, 1986).

Tes jenis mikroimunofluoresensi Juga sangat sensitif dan spesifik dengan titer cukup tinggi. Dapat menentukan 15 galur imunotipe termasuk L1-L2-L3 untuk LGV (Mulyono, 1986).

Tes dengan biakan Sedikit pus bubo dibiakkan dalam yolk sac embrio ayam. Koloni yang terjadi diambil untuk preparat Giemsa. Perbenihan irradecated Mc coy cell digunakan untuk membedakan subgroup A Chlamydia terhadap subgroup B pittacosis. Koloni sejenis virus tadi diambil dan diwarnai dengan PAS (Periodic Acid Schiff). Pada pemeriksaan dengan mikroskop tampak inklusi yang mengandung glikogen pada subgroup A Chlamydia (Mulyono, 1986).

Diagnosis Banding Diagnosis banding limfogranuloma venereum menurut Djuanda, 2001, adalah sebagai berikut: Skrofuloderma Antara LGV dan skrofuloderma yang mengenai daerah inguinal terdapat persamaan, yakni pada kedua-duanya terdapat limfadenitis pada beberapa 42

kelenjar, periadenitis, perlunakan tidak serentak dengan akibatnya konsistensi kelenjar bermacam-macam, serta pembentukan abses dan fistel yang multiple. Kecuali itu LED meninggi pada kedua-duanya, sedangkan leukosit biasanya normal. Perbedaannya, pada LGV terdapat kelima tanda radang akut, sedangkan pada skrofuloderma tidak terdapat kecuali tumor. Lokasinya juga berlainan, pada LGV di inguinal medial, sedangkan pada skrofuloderma pada inguinal lateral dan femoral.

Limfadenitis piogenik Pada penyakit ini lesi primer masih tampak, misalnya dermatitis atau skabies pada genitalia eksterna yang mengalami infeksi oleh piokokus, sedangkan pada LGV lesi primer pada umumnya telah tiada, karena cepat hilang. Kelima tanda radang akut juga terdapat, tetapi perlunakannya serentak sehingga tidak membentuk abses dan fistel yang multupel seperti pada LGV. Pda pemeriksaan terdapat leukositosis.

Limfadenitis karena ulkus mole Ulkus mole kini jarang terdapat. Jika menyebabkan limfadenitis, maka lesi primer masih tampak. Kelima tanda radang juga terdapat, tetapi perlunakannya tidak serentak.

Limfoma maligna Penyakit ini, jika masih dini tanpa disertai kelima tanda radang, kecuali tumor, biasanya tidak melunak. Pada gambaran darah tepi terdapat kelainan dengan gambaran histopatologiknya memberi kelainan yang khas.

Hernia inguinalis Adakalanya hernia inguinalis atau femoralis disangka LGV dan sebaliknya. Pada hernia tanda-tanda radang tidak ada kecuali tumor, dan pada pengejanan tumor akan membesar.

Penatalaksanaan 43

Dahulu dianggap bahwa sulfa merupakan obat pilihan untuk terapi LGV, tetapi akhir-akhir ini obat tersebut makin berkurang khasiatnya. kotrimoksazol, yaitu kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprim dikatakan lebih poten. Satu tablet terdiri atas 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim (nama dagang, misalnya: septrin bactrim), dosis sehari 2 x 2 tablet, diberikan terus menerus hingga sembuh. Lama penyembuhan pada sindrom inguinal tergantung pada berat ringannya penyakit. Efek samping sulfa ialah anemia hemolitik, agranulositosis dan methemoglobinemia. Meskipun efek samping tersebut jarang terjadi, sebaiknya diperiksa kadar Hb, jumlah leukosit, dan hitung jenis sebelum pengobatan dimulai dan selanjutnya setiap minggu. Kristaluria sekarang langka dijumpai karena daya larut sulfa yang baru sangat baik. Penggunaan trimetoprim pada ibu hamil tidak dianjurkan, meskipun ada laporan yang menulis bahwa obat tersebut tidak bersifat teratogenik (Djuanda, 2001). Bila penderita alergi terhadap preparat sulfa atau gagal dengan terapi sulfa atau terdapat infeksi lain seperti sifilis disamping LGV dapat diberikan Tetrasiklin atau Eritromisin dengan dosis 3-4 x 500 mg sehari selama dua minggu. Pada kasuskasus kronik dapat diteruskan sampai 4 minggu atau lebih (Mulyono, 1986). Pada sindrom inguinal dianjurkan pula untuk beristirahat di tempat tidur. Pengobatan topikal berupa kompres terbuka jika abses telah memecah, misalnya dengan larutan permanganas kalikus 1/5000. Hal yang penting dikemukakan ialah tentang insisi dan aspirasi. Menurut kepustakaan tindakan tersebut tidak boleh dilakukan karena bekas insisi sukar sembuh, sedangkan bekas aspirasi akan meninggalkan fistel artifisial yang juga sukar sembuh, bahkan ada yang mengatakan insisi akan menyebabkan penyebaran kuman secara hematogen. Ada yang mengatakan pendapat tersebut tidak benar. Jika telah beberapa hari tidak ada perbaikan, hendaknya abses diinsisi. Dengan cara tersebut keluhan penderita akan berkurang dan masa penyembuhan dipercepat. Bekas insisi akan cepat sembuh seperti pada abses karena penyakit lain, asalkan obat terus diberikan (Djuanda, 2001). Pada elefantiasis labia (esthiomene) dapat dilakukan vulvektomi atau labiektomi. Striktura rekti perlu juga dilakukan tindakan dilatasi dengan rektal 44

bougies atau dilatator lainnya. Tindakan kolostomi dilakukan pada keadaan obstruksi rektal yang penuh (Mulyono, 2001).

Terapi pada bentuk lanjut ialah tindakan pembedahan dan kortikosteroid. Pada terapi LGV jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati (Djuanda, 2001). Tindakan epidemiologis dan perundang-undangan berupa pemeriksaan dan terapi terhadap pasangan seksual, wajib lapor seperti pada penyakit sifilis (Rassner dan Steinert, 1995).

Kesimpulan Limfogranuloma venereum (LGV) merupakan salah satu penyakit menular seksual yang banyak terjadi di negara-negara yang beriklim panas tidak terkecuali di Indonesia tetapi jarang di negara-negara yang beriklim dingin. Penyakit ini disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Secara umum perjalanan klinik dari LGV dapat dibagi dalam 2 bentuk yaitu bentuk dini yang terdiri atas afek primer dan sindrom inguinal dan bentuk lanjut yang terdiri atas sindrom genital, anorektal dan uretral. Terapi pada LGV dapat menggunakan kotrimoksazol dengan dosis 2 x 2 tablet, diberikan terus menerus sampai sembuh. Kalau alergi terhadap preparat sulfa dapat diberikan tetrasiklin atau eritromisin dengan dosis 3-4 x 500 mg sehari selama 2 minggu. Terapi yang lainnya dapat berupa insisi atau asopirasi. Pada terapi LGV jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati.

Human Papillomavirus (HPV)


Human papillomavirus (HPV) adalah virus dengan jenis lebih dari 100 sub-tipe dan dapat menyebabkan sejumlah penyakit yang mencakup kutil (atau papillomas) dan kanker ano-genital. Meskipun beberapa tipe HPV bisa menyebabkan kutil biasa pada tangan dan kaki, namun HPV genital ditularkan secara seksual dan dapat menyebabkan kutil di alat kelamin dan di daerah anus 45

baik pada laki-laki dan wanita. HPV menyebabkan hampir semua penyakit kanker servikal pada wanita. Virus bisa tertular melalui kontak langsung selama melakukan hubungan seks dengan kutil atau kulit yang terinfeksi virus dari ibu ke bayinya. Terdapat kemungkinan adanya kutil di tangan dan di mulut melalui kontak ketika sedang melakukan pemanasan atau seks oral. Sekitar 50% dari individu yang terinfeksi HPV tidak pernah menderita kutil kelamin, namun tetap saja bisa menularkan virus ke orang lain. Gejala Klinis HPV bisa menyebabkan kutil dengan berbagai karakteristik. Kutil bisa berukuran besar atau kecil, datar atau menonjol, dan bahkan satu atau banyak. Terkadang kutil bahkan tidak terlihat. Tempat yang paling sering ditumbuhi kutil adalah di bagian luar vagina, di penis, dan di sekitar anus. Pada wanita, HPV bisa menyebabkan tumbuhnya kutil di dalam vagina dan juga di serviks. Pada sebagian atau semua kasus, orang yang terinfeksi HPV tidak memiliki kutil apapun. Pencegahan Kesempatan terinfeksi HPV bisa diperkecil dengan menghindari perilaku seksual berisiko. Untuk mengurangi risiko, maka:

Menggunakan kondom lateks atau poliuretan selama melakukan hubungan seksual (hal ini bisa mengurangi risiko penularan, namun penularan masih bisa terjadi jika kutil terdapat pada bagian tubuh yang tidak ditutupi kondom)

Batasi jumlah pasangan seksual atau kegiatan seksual Anda.

46

Diagnosis Banyak orang yang terinfeksi HPV tidak memperlihatkan adanya tandatanda infeksi. Meskipun demikian, jika terdapat kutil, dokter dapat mendiagnosis infeksi HPV melalui tampilan karakteristik dan riwayat bagaimana kutil ini tumbuh. Pada wanita, untuk mencari tahu apakah ada kutil pada serviks atau vagina, dokter bisa menggunakan kolposkop, yang merupakan alat seperti mikroskop. Selain itu, hasil Pap smear bisa menunjukkan infeksi HPV. Saat ini terdapat sejumlah tes yang bisa mendeteksi risiko tinggi dari sub-tipe HPV, namun tes ini sangatlah mahal. Jenis tes yang lebih murah saat ini sedang dikembangkan. Terapi Saat ini masih belum ada obat untuk HPV. Sekali individu terinfeksi, ia bisa membawa virus seumur hidupnya, bahkan jika kutil kelamin telah dibersihkan, akan tetapi orang tidak bisa membersihkan virus dari tubuh mereka. Vaksin untuk melawan HPV kini telah dikembangkan namun vaksin ini tidak tersedia dan/atau tidak dapat diusahakan di negara berkembang untuk saat ini. Jika dibiarkan tidak diterapi, beberapa jenis kutil kelamin bisa mengecil. Ada sejumlah terapi yang efektif untuk menghilangkan kutil kelamin. Menurut U.S. Centers for Disease Control and Prevention, tak ada satupun dari terapi berikut yang lebih baik dari yang lainnya, dan mungkin dibutuhkan lebih dari satu jenis terapi untuk dapat menghilangkan kutil secara efektif. Terapi-terapi tersebut mencakup:

Podofilox gel, yaitu terapi yang diberikan ke pasien untuk kutil kelamin eksternal.

Imiquimod cream, yaitu terapi untuk kutil kelamin eksternal dan kutil perianal.

Terapi kimiawi (mencakup asam triklorasetat dan podofilin), yang harus diberikan oleh seorang provider kesehatan terlatih, untuk membasmi kutil.

Cryotherapy, yang menggunakan nitrogen cair untuk membekukan kutil. Terapi Laser, yang menggunakan sinar laser untuk membasmi kutil. Electrosurgery, yang menggunakan arus listrik untuk membakar kutil. 47

Operasi, yang bisa memotong kutil dalam satu kali kunjungan saja. Interferon, suatu jenis obat anti virus, yang bisa diinjeksikan secara langsung ke kutil.

Bagi perempuan yang terindikasi infeksi HPV sebaiknya menjelaskan hal ini kepada dokter kandungan, karena bisa menularkan ke bayi saat melahirkan dan guna mendapatkan terapi/dosis khusus yang tidak membahayakan janin.

48

Herpes Simpleks Virus


Menyebabkan penyakit menular dengan afinitas pada kulit, mukosa, dan system saraf. HSV-1 lebih sering menginfeksi orofaring, lesi di wajah, mulut dan bibir HSV-2 lebih sering menginfeksi daerah genital Patofisiologi: kontak langsung virus menginvasi sel berkembang biak menghancurkan sel pejamu virion lepas menginvasi sel sekitar menyebar lewat KGB regional limfadenopati MASA AKTIF Virus masuk dalam sel-sel sensorik yang mensarafi daerah yang terinfeksi migrasi di sepanjang akson untuk bersembunyi di dalam ganglion radixdorsalis virus berdiam tidak muncul gejala MASA LATEN Manifestasi klinis: Infeksi inisial primer o Gejala sistemik berupa demam, malaise, nyeri kepala o Gejala lokal berupa papul-papul eritematous kecil dan berkelompok berkembang menjadi vesikel berisi cairan jernih menjadi pustul menjadi ulkus yang nyeri o Pada wanita sering mengenai labia dan mons pubis, sementara pada pria di glans atau batang penis o Disuria o Pembentukan krusta dan reepitelisasi lesi (terjadi dalam waktu 2-6 minggu) o Limfadenopati inguinal bilateral yang nyeri o Jika mengenai serviks sekret vagina dan perdarahan yang intermitten Infeksi inisisal non primer o Adalah infeksi HSV-2 primer pada orang yang seropositif untuk antibody HSV-1. riwayat infeksi HSV-1 telah dibuktikan dapat 49

menimbulkan imunitas parsial terhadap HSV-2. jadi gejalanya jauh lebih ringan dan lebih singkat disbanding infeksi primer. Infeksi herpes rekuren o Gejala lebih ringan dan singkat (5-10 hari) o Terasa gatal dan panas di tempat lesi o Vesikel lebih sedikit dan kecil-kecil o Gejala sistemik biasanya tidak ada Asimptomatik

Diagnosis: Sebelum ditemukannya uji amplifikasi DNA, biakan virus terhadap vesikel atau pustule merupakan gold standart untuk diagnosis. Tapi kini diketahui bahwa amplifikasi DNA merupakan metode yang lebih akurat, spesifik virus dan mahal dibandingkan dengan biakan virus.

Terapi: Infeksi HSV tidak dapat disembuhkan, jadi terapi hanya ditujukan untuk mengendalikan gejala. Obat antivirus yang dianjurkan CDC adalah asiklovir, famsiklovir, dan valasiklovir. Obat antivirus harus dimulai sejak awal tanda kekambuhan untuk mengurangi dan mempersingkat gejala. Apabila obat tertunda sampai lesi kulit muncul, maka gejala hanya akan memendek satu hari. Pasien yang mengalami kekambuhan 6 kali atau lebih dalam setahun seyogyanya ditawari terapi supresif setiap hari yang dapat mengurangi frekuensi kekambuhan sebesar 75%.

50

Infeksi HIV
DEFINISI Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu infeksi oleh salah satu dari 2 jenis virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit, menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dan penyakit lainnya sebagai akibat dari gangguan kekebalan tubuh. Pada awal tahun 1980, para peneliti menemukan peningkatan mendadak dari 2 jenis penyakit di kalangan kaum homoseksual di Amerika. Kedua penyakit itu adalah sarkoma Kaposi (sejenis kanker yang jarang terjadi) dan pneumonia pneumokista (sejenis pneumonia yang hanya terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan). Kegagalan sistem kekebalan tubuh yang mengakibatkan timbulnya 2 jenis penyakit yang jarang ditemui ini sekarang dikenal dengan AIDS. Kegagalan sistem kekebalan juga ditemukan pada para pengguna obatobatan terlarang yang disuntikkan, penderita hemofilia, penerima transfusi darah dan pria biseksual. Beberapa waktu kemudian sindroma ini juga mulai terjadi pada heteroseksual yang bukan pengguna obat-obatan, bukan penderita hemofilia dan tidak menerima transfusi darah. AIDS sudah menjadi epidemi di Amerika Serikat dengan lebih dari 500.000 orang terjangkit dan 300.000 meninggal sampai bulan Oktober 1995. WHO memperkirakan 30-40 juta penduduk dunia akan terinfeksi HIV pada tahun 2000.

PENYEBAB Terdapat 2 jenis virus penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 paling banyak ditemukan di daerah barat, Eropa, Asia dan Afrika Tengah, Selatan dan Timur. HIV-2 terutama ditemukan di Afrika Barat.

PERJALANAN PENYAKIT 51

Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya. Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker. Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun: 1. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi. 2. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. 3. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.

52

Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang.

PENULARAN Penularan HIV terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh yang mengandung sel terinfeksi atau partikel virus. Yang dimaksud dengan cairan tubuh disini adalah darah, semen, cairan vagina, cairan serebrospinal dan air susu ibu. Dalam konsentrasi yang lebih kecil, virus juga terdapat di dalam air mata, air kemihi dan air ludah. HIV ditularkan melalui cara-cara berikut: Hubungan seksual dengan penderita, dimana selaput lendir mulut, vagina atau rektum berhubungan langsung dengan cairan tubuh yang

terkontaminasi Suntikan atau infus darah yang terkontaminasi, seperti yang terjadi pada transfusi darah, pemakaian jarum bersama-sama atau tidak sengaja tergores oleh jarum yang terkontaminasi virus HIV Pemindahan virus dari ibu yang terinfeksi kepada anaknya sebelum atau selama proses kelahiran atau melalui ASI. Kemungkinan terinfeksi oleh HIV meningkat jika kulit atau selaput lendir robek atau rusak, seperti yang bisa terjadi pada hubungan seksual yang kasar, baik melalui vagina maupun melalui anus. Penelitian menunjukkan kemungkinan penularan HIV sangat tinggi pada pasangan seksual yang menderita herpes, sifilis atau penyakit menular seksual lainnya, yang mengakibatkan kerusakan pada permukaan kulit. Penularan juga bisa terjadi pada oral seks (hubungan seksual melalui mulut), walaupun lebih 53

jarang. Virus pada penderita wanita yang sedang hamil bisa ditularkan kepada janinnya pada awal kehamilan (melalui plasenta) atau pada saat persalinan (melalui jalan lahir). Anak-anak yang sedang disusui oleh ibu yang terinfeksi HIV bisa tertular melalui ASI. Beberapa anak tertular oleh virus ini melalui penganiayaan seksual. HIV tidak ditularkan melalui kontak biasa atau kontak dekat yang tidak bersifat seksual di tempat bekerja, sekolah ataupun di rumah. Belum pernah dilaporkan kasus penularan HIV melalui batuk atau bersin penderita maupun melalui gigitan nyamuk. Penularan dari seorang dokter atau dokter gigi yang terinfeksi terhadap pasennya juga sangat jarang terjadi.

GEJALA Beberapa penderita menampakkan gejala yang menyerupai mononukleosis infeksiosa dalam waktu beberapa minggu setelah terinfeksi. Gejalanya berupa demam, ruam-ruam, pembengkakan kelenjar getah bening dan rasa tidak enak badan yang berlangsung selama 3-14 hari. Sebagian besar gejala akan menghilang, meskipun kelenjar getah bening tetap membesar. Selama beberapa tahun, gejala lainnya tidak muncul. Tetapi sejumlah besar virus segera akan ditemukan di dalam darah dan cairan tubuh lainnya, sehingga penderita bisa menularkan penyakitnya. Dalam waktu beberapa bulan setelah terinfeksi, penderita bisa mengalami gejala-gejala yang ringn secara berulang yang belum benar-benar menunjukkan suatu AIDS. Penderita bisa menunjukkan gejala-gejala infeksi HIV dalam waktu beberapa tahun sebelum terjadinya infeksi atau tumor yang khas untuk AIDS. Gejalanya berupa: - pembengkakan kelenjar getah bening - penurunan berat badan - demam yang hilang-timbul - perasaan tidak enak badan - lelah - diare berulang 54

- anemia - thrush (infeksi jamur di mulut).

Secara definisi, AIDS dimulai dengan rendahnya jumlah limfosit CD4+ (kurang dari 200 sel/mL darah) atau terjadinya infeksi oportunistik (infeksi oleh organisme yang pada orang dengan sistem kekebalan yang baik tidak menimbulkan penyakit). Juga bisa terjadi kanker, seperti sarkoma Kaposi dan limfoma non-Hodgkin. Gejala-gejala dari AIDS berasal dari infeksi HIVnya sendiri serta infeksi oportunistik dan kanker. Tetapi hanya sedikit penderita AIDS yang meninggal karena efek langsung dari infeksi HIV. Biasanya kematian terjadi karena efek kumulatif dari berbagai infeksi oportunistik atau tumor. Organisme dan penyakit yang dalam keadaan normal hanya menimbulkan pengaruh yang kecil terhadap orang yang sehat, pada penderita AIDS bisa dengan segera menyebabkan kematian, terutama jika jumlah limfosit CD4+ mencapai 50 sel/mL darah. Beberapa infeksi oportunistik dan kanker merupakan ciri khas dari munculnya AIDS: 1. Thrush Pertumbuhan berlebihan jamur Candida di dalam mulut, vagina atau kerongkongan, biasanya merupakan infeksi yang pertama muncul. Infeksi jamur vagina berulang yang sulit diobati seringkali merupakan gejala dini HIV pada wanita. Tapi infeksi seperti ini juga bisa terjadi pada wanita sehat akibat berbagai faktor seperti pil KB, antibiotik dan perubahan hormonal. 2. Pneumonia pneumokistik. Pneumonia karena jamur Pneumocystis carinii merupakan infeksi oportunistik yang sering berulang pada penderita AIDS. Infeksi ini seringkali merupakan infeksi oportunistik serius yang pertama kali muncul dan sebelum ditemukan cara pengobatan dan pencegahannya, merupakan penyebab tersering dari kematian pada penderita infeksi HIV 3. Toksoplasmosis. 55

Infeksi kronis oleh Toxoplasma sering terjadi sejak masa kanak-kanak, tapi gejala hanya timbul pada sekelompok kecil penderita AIDS. Jika terjadi pengaktivan kembali, maka Toxoplasma bisa menyebabkan infeksi hebat, terutama di otak. 4. Tuberkulosis. Tuberkulosis pada penderita infeksi HIV, lebih sering terjadi dan bersifat lebih mematikan. Mikobakterium jenis lain yaitu Mycobacterium avium, merupakan penyebab dari timbulnya demam, penurunan berat badan dan diare pada penderita tuberkulosa stadium lanjut. Tuberkulosis bisa diobati dan dicegah dengan obat-obat anti tuberkulosa yang biasa digunakan. 5. Infeksi saluran pencernaan. Infeksi saluran pencernaan oleh parasit Cryptosporidium sering ditemukan pada penderita AIDS. Parasit ini mungkin didapat dari makanan atau air yang tercemar. Gejalanya berupa diare hebat, nyeri perut dan penurunan berat badan. 6. Leukoensefalopati multifokal progresif. Leukoensefalopati multifokal progresif merupakan suatu infeksi virus di otak yang bisa mempengaruhi fungsi neurologis penderita. Gejala awal biasanya berupa hilangnya kekuatan lengan atau tungkai dan hilangnya koordinasi atau keseimbangan. Dalam beberapa hari atau minggu, penderita tidak mampu berjalan dan berdiri dan biasanya beberapa bulan kemudian penderita akan meninggal. 7. Infeksi oleh sitomegalovirus. Infeksi ulangan cenderung terjadi pada stadium lanjut dan seringkali menyerang retina mata, menyebabkan kebutaan. Pengobatan dengan obat anti-virus bisa mengendalikan sitomegalovirus. 8. Sarkoma Kaposi.

56

Sarkoma Kaposi adalah suatu tumor yang tidak nyeri, berwarna merah sampai ungu, berupa bercak-bercak yang menonjol di kulit. Tumor ini terutama sering ditemukan pada pria homoseksual. 9. Kanker. Bisa juga terjadi kanker kelenjar getah bening (limfoma) yang mula-mula muncul di otak atau organ-organ dalam. Wanita penderita AIDS cenderung terkena kanker serviks. Pria homoseksual juga mudah terkena kanker rektum.

DIAGNOSA Pemeriksaan yang relatif sederhana dan akurat adalah pemeriksaan darah yang disebut tes ELISA. Dengan pemeriksaan ini dapat dideteksi adanya antibodi terhadap HIV, hasil tes secara rutin diperkuat dengan tes yang lebih akurat. Ada suatu periode (beberapa minggu atau lebih setelah terinfeksi HI) dimana antibodi belum positif. Pada periode ini dilakukan pemeriksaan yang sangat sensitif untuk mendeteksi virus, yaitu antigen P24. Antigen P24 belakangan ini digunakan untuk menyaringan darah yang disumbangkan untuk keperluan transfusi. Jika hasil tes ELISA menunjukkan adanya infeksi HIV, maka pada contoh darah yang sama dilakukan tes ELISA ulangan untuk memastikannya. Jika hasil tes ELISA yang kedua juga positif, maka langkah berikutnya adalah memperkuat diagnosis dengan tes darah yang lebih akurat dan lebih mahal, yaitu tes apusan Western. Tes ini juga bisam enentukan adanya antibodi terhadap HIV, tetapi lebih spesifik daripada ELISA. Jika hasil tes Western juga positif, maka dapat dipastikan orang tersebut terinfeksi HIV.

PENGOBATAN Pada saat ini sudah banyak obat yang bisa digunakan untuk menangani infeksi HIV: 1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor - AZT (zidovudin) 57

- ddI (didanosin) - ddC (zalsitabin) - d4T (stavudin) - 3TC (lamivudin) - Abakavir 2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor - Nevirapin - Delavirdin - Efavirenz 3. Protease inhibitor - Saquinavir - Ritonavir - Indinavir - Nelfinavir. Semua obat-obatan tersebut ditujukan untuk mencegah reproduksi virus sehingga memperlambat progresivitas penyakit. HIV akan segera membentuk resistensi terhadap obat-obatan tersebut bila digunakan secara tunggal. Pengobatan paling efektif adalah kombinasi antara 2 obat atau lebih, Kombinasi obat bisa memperlambat timbulnya AIDS pada penderita HIV positif dan memperpanjang harapan hidup. Dokter kadang sulit menentukan kapan dimulainya pemberian obat-obatan ini. Tapi penderita dengan kadar virus yang tinggi dalam darah harus segera diobati walaupun kadar CD4+nya masih tinggi dan penderita tidak menunjukkan gejala apapun. AZT, ddI, d4T dan ddC menyebabkan efek samping seperti nyeri abdomen, mual dan sakit kepala (terutama AZT). Penggunaan AZT terus menerus bisa merusak sumsum tulang dan menyebabkan anemia. ddI, ddC dan d4T bisa merusak saraf-saraf perifer. ddI bisa merusak pankreas. Dalam kelompok nucleoside, 3TC tampaknya mempunyai efek samping yang paling ringan. Ketiga protease inhibitor menyebabkan efek samping mual dan muntah, diare dan gangguan perut. 58

Indinavir menyebabkan kenaikan ringan kadar enzim hati, bersifat reversibel dan tidak menimbulkan gejala, juga menyebabkan nyeri punggung hebat (kolik renalis) yang serupa dengan nyeri yang ditimbulkan batu ginjal. Ritonavir dengan pengaruhnya pada hati menyebabkan naik atau turunnya kadar obat lain dalam darah. Kelompok protease inhibitor banyak menyebabkan perubahan

metabolisme tubuh seperti peningkatan kadar gula darah dan kadar lemak, serta perubahan distribusi lemak tubuh (protease paunch). Penderita AIDS diberi obat-obatan untuk mencegah infeksi ooportunistik. Penderita dengan kadar limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mL darah mendapatkan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol untuk mencegah pneumonia pneumokistik dan infeksi toksoplasma ke otak. Penderita dengan limfosit CD4+ kurang dari 100 sel/mL darah mendapatkan azitromisin seminggu sekali atau Mycobacterium avium. Penderita yang bisa sembuh dari meningitis kriptokokal atau terinfeksi candida mendapatkan flukonazol jangka panjang. Penderita dengan infeksi herpes simpleks berulang mungkin memerlukan pengobatan asiklovir jangka panjang. PROGNOSIS Pemaparan terhadap HIV tidak selalu mengakibatkan penularan, beberapa orang yang terpapar HIV selama bertahun-tahun bisa tidak terinfeksi. Di sisi lain seseorang yang terinfeksi bisa tidak menampakkan gejala selama lebih dari 10 tahun. Tanpa pengobatan, infeksi HIV mempunyai resiko 1-2 % untuk menjdi AIDS pada beberapa tahun pertama. Resiko ini meningkat 5% pada setiap tahun berikutnya. Resiko terkena AIDS dalam 10-11 tahun setelah terinfeksi HIV mencapai 50%. Sebelum diketemukan obat-obat terbaru, pada akhirnya semua kasus akan menjadi AIDS. Pengobatan AIDS telah berhasil menurunkan angka infeksi oportunistik dan meningkatkan angka harapan hidup penderita. 59

Kombinasi beberapa jenis obat berhasil menurunkan jumlah virus dalam darah sampai tidak dapat terdeteksi. Tapi belum ada penderita yang terbukti sembuh. Teknik penghitungan jumlah virus HIV (plasma RNA) dalam darah seperti polymerase chain reaction (PCR) dan branched deoxyribonucleid acid (bDNA) test membantu dokter untuk memonitor efek pengobatan dan membantu penilaian prognosis penderita. Kadar virus ini akan bervariasi mulai kurang dari beberapa ratus sampai lebih dari sejuta virus RNA/mL plasma. Pada awal penemuan virus HIV, penderita segera mengalami penurunan kualitas hidupnya setelah dirawat di rumah sakit. Hampir semua penderita akan meninggal dalam 2 tahun setelah terjangkit AIDS. Dengan perkembangan obat-obat anti virus terbaru dan metode-metode pengobatan dan pencegahan infeksi oportunistik yang terus diperbarui, penderita bisa mempertahankan kemampuan fisik dan mentalnya sampai bertahun-tahun setelah terkena AIDS. Sehingga pada saat ini bisa dikatakan bahwa AIDS sudah bisa ditangani walaupun belum bisa disembuhkan.

PENCEGAHAN Program pencegahan penyebaran HIV dipusatkan terutama pada pendidikan masyarakat mengenai cara penularan HIV, dengan tujuan merubah kebiasaan orang-orang yang beresiko tinggi untuk tertular. Cara-cara pencegahan ini adalah: 1. Untuk orang sehat - Abstinens (tidak melakukan hubungan seksual) - Seks aman (terlindung) 2. Untuk penderita HIV positif - Abstinens - Seks aman - Tidak mendonorkan darah atau organ - Mencegah kehamilan - Memberitahu mitra seksualnya sebelum dan sesudah diketahui terinfeksi 60

3. Untuk penyalahguna obat-obatan - Menghentikan penggunaan suntikan bekas atau bersama-sama - Mengikuti program rehabilitasi 4. Untuk profesional kesehatan - Menggunakan sarung tangan lateks pada setiap kontak dengan cairan tubuh - Menggunakan jarum sekali pakai Bermacam-macam vaksin sudah dicoba untuk mencegah dan memperlambat progresivitas penyakit, tapi sejauh ini belum ada yang berhasil. Rumah sakit biasanya tidak mengisolasi penderita HIV kecuali penderita mengidap penyakit menular seperti tuberkulosa. Permukaan-permukaan yang terkontaminasi HIV dengan mudah bisa dibersihkan dan disucihamakan karena virus ini rusak oleh panas dan cairan desinfektan yang biasa digunakan seperti hidrogen peroksida dan alkohol. MOLUSKUM KONTAGIOSUM

Definisi Moluskum kontagiosum ialah penyakit virus, klinis berupa papul-papul, pada permukaan terdapat lekukan, berisi massa yang mengandung badan moluskum.

Epidemiologi Penyakit ini terutama anak dan kadang-kadang juga orang dewasa. Pada orang dewasa digolongkan ke dalam infeksi menular seksual (IMS). Transmisinya melalui kontak kulit langsung dan otoinokulasi.

Gejala Klinis Masa inkubasi berlangsung satu sampai beberapa minggu. Kelainan kulit berupa papul miliar, kadang-kadang lentikular dan berwarna putih seperti lilin, berbentuk kubah yang kemudian ditengahnya terdapat lekukan (delle). Jika dipijat akan tampak keluar massa yang berwarna putih seperti nasi. Lokalisasi penyakit 61

ini terletak di daerah muka, badan, dan ekstermitas. Sedangkan pada orang dewasa di daerah pubis dan genitalia eksterna. Kadang-kadang timbul infeksi sekunder sehingga timbul supurasi. Pada pemeriksaan histopatologi di daerah epididimis dapat ditemukan badan moluskum yang mengandung partikel virus.

Pengobatan Prinsip pengobatan adalah mengeluarkan massa yang mengandung badan moluskum. Dapat dipakai alat seperti ekstraktor komedo, jarum suntik, atau kuret. Cara lain dapat digunakan elektrokautorisasi atau bedah beku dengan CO2, N2 dll. Pada pasien dewasa juga harus dilakukan pada pasangan seksualnya.

62

Kandidiasis
Penyakit jamur, yang bersifat akut atau sub akut disebabkan oleh spesies

Candida, biasanya oleh spesies candida albicans dan dapat mengenai mulut, vagina, kulit, kuku, bronki atau paru, kadang-kadang dapat menyebabkan septikemia, endokarditis, atau meningitis. Dapat menyerang semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Jamur penyebabnya terdapat pada orang sehat sebagai saprofit Etio : Candida albicans yang dapat diisolasi dari kulit, mulut, selaput mukosa vagina, dan feses orang normal. Sebagai penyebab endokarditis kandidosis ialah C.parapsilosis dan penyebab kandidosis septikemia adalah C.tropicalis. Klasifikasi : Kandidiasis Selaput Lendir a) Kandidiasis oral (thrush) b) Perleche c) Vulvovaginitis d) Balanitis atau balanopostitis e) Kandidiasis mukokutan kronik f) Kandidiasis bronkopulmonar dan paru Kandidiasis Kutis a) Lokalisata : -daerah intertriginosa, daerah perianal b) Generalisata c) Paronikia dan onikomikosis d) Kandidiasis kutis granulomatosa Kandidiasis Sistemik a) Endokarditis b) Meningitis c) Pielonefritis d) Septikemia Reaksi id (kandidid) 63

Patogenesis : Infeksi kandida dapat terjadi, apabila ada faktor predisposisi endogen maupun eksogen. Faktor Endogen : 1. Perubahan fisiologik a. Kehamilan, karena perubahan pH dalam vagina b. Kegemukan, karena banyak keringat c. Debilitas d. Iatrogenik e. Endokrinopati, gangguan gula darah kulit f. Penyakit kronik : TB, SLE dengan keadaan umum yang buruk 2. Umur : Orang tua dan bayi lebih mudah terkena infeksi karena status imunologiknya tidak sempurna 3. Imunologik : Penyakit genetik Faktor Eksogen : a. Iklim, panas, dan kelembaban menyebabkan perspirasi meningkat b. Kebersihan kulit c. Kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur d. Kontak dengan penderita, misalnya pd thrush, balanopostitis Gejala Klinis : I. Kandidosis Selaput Lendir a. Thrush : Biasanya mengenai bayi, tampak pseudomembran putih coklat muda kelabu yang menutup lidah, palatum mole, pipi bagian dalam, dan permukaan rongga mulut yang lain. Lesi dapat terpisah pisah dan tampak seperti kepalan susu pada rongga mulut. Bila pseudomembran terlepas dari dasarnyatampak daerah yang basah dan merah. Pada glositis kronik, lidah tampak halus dengan papila yang atrofik atau lesi berwarna putih di tepi atau dibawah permukaan lidah. Bercak putih ini tidak tampak jelas bila penderita sering merokok 64

b. Perleche : Lesi berupa fisur pada sudut mulut; lesi ini mengalami maserasi, erosi, basah, dan dasarnya eritematosa. Faktor

predisposisinya ialah defisiensi riboflavin. c. Vulvovaginitis : Biasanya sering trdapat pada px DM karena kadar gula darah dan urin yang tinggi dan pada wanita hamil karena penimbunan glikogen dalam epitel vagina. Keluhan utama ialah gatal di daerah vulva. Pada yang berat terdapat pula rasa panas, nyeri sesudah miksi, dan dispareunia. Pada pemeriksaan yang ringan tampak hiperemia di labia minora, introitus vagina, dan vagina terutama 1/3 bagian bawah. Sering pula terdapat kelainan yang khas ialah bercak-bercak putih kekuningan. Pada kelainan yang berat juga terdapat edema pada labia minora dan ulkus-ulkus yang dangkal pada labia minora dan sekitar introitus vaginal. Fluor albus berwarna kekuningan . Tanda yang khas ialah disertai gumpalan-gumpalan sebagai kepala susu berwarna putih

kekuningan. Gumpalan tersebut berasal dari massa yang terkelupas dari dinding vulva atau vagina terdiri atas bahan nekrotik, sel-sel epitel dan jamur. II. Kandidosis Kutis a) Kandidiasis intertriginosa : lesi di daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau kaki, glans penis, dan umbilikus, berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel dan pustul kecil atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosif, dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer. b) Kandidiasis perianal : Lesi berupa maserasi seperti infeksi dermatofit tipe basah. Penyakit ini menimbulkan pruritus ani. c) Kandidiasis kutis generalisata : Lesi terdapat pada glabrous skin (kulit tidak berambut), biasanya juga di lipat payudara, intergluteal dan umbilikus. Sering disertai glositis, stomatitis dan paronikia. 65

III.

Balanitis atau balanopostitis : Px mendapat infeksi dari kontak seksual dengan wanitanya yang menderita vulvovaginitis, lesi berupa erosi, pustula dengan dinding yang tipis, terdapat pada glans penis dan sulkus koronarius glandis.

IV.

Kandidiasis Mukokutan Kronik : Penyakit ini timbul karena adanya kekurangan fungsi leukosit atau sistem hormonal, biasanya terdapat pada penderita dengan bermacam-macam defisiensi yang bersifat genetik, umumnya terlihat pada anak-anak. Gambaran klinisnya mirip penderita dengan defek poliendokrin.

V.

Paronikia dan Onikomikosis : Diderita oleh orang-orang yang pekerjaanya berhubungan dengan air, bentuk ini tersering didapat. Lesi berupa kemerahan, pembengkakan yang tidak bernanah, kuku menjadi tebal, mengeras dan berlekuk lekuk, kadang berwarna kecoklatan, tidak rapuh tetap berkilat dan tidak terdapat sisa jaringan di bawah kuku seperti pada tinea unguium.

VI.

Diaper rash : Sering terdapat pada bayi yang popoknya selalu basah dan jarang diganti yang dapat menimbulkan dermatitis iritan, juga sering diderita neonatus sebagai gejala sisa dermatitis oral dan perianal.

VII.

Kandidiasis granulomatosa : Sering menyerang anak-anak, lesi berupa papul kemerahan tertutup krusta tebal berwarna kuning kecoklatan dan melekat erat pada dasarnya. Krusta dapat menimbul seperti tanduk sepanjang 2 cm, lokalisasinya sering terdapat di muka, kepala, badan, tungkai, dan farings.

VIII.

Kandidosis Sistemik : a. Endokarditis : Sering pada px morfinis sebagai akibat komplikasi penyuntikan yang dilakukan sendiri, juga dapat diderita oleh px sesudah operasi jantung. b. Meningitis : Karena penyebaran hematogen jamur, gejalanya sama dengan meningitis TB, atau karena bakteri lain. c. Reaksi id (kandidid) : Karena adanya metabolit kandida, klinisnya berupa vesikel-vesikel yang bergerombol, terdapat pada sela jari 66

tangan atau bagian badan yang lain mirip dermatofitid. Di tempat tersebut tidak ada elemen jamur. Bila lesi kandidiasis diobati, kandidid akan menyembuh. Jika dilakukan uji kulit dengan kandidin (Ag kandida) membei hasil positif. Dx : Pemeriksaan langsung : Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan larutan KOH 10% atau dengan pewarnaan gram, terlihat sel ragi, blastospora, atau hifa semu (pseudohifa). Pemeriksaan biakan : Ditanam dalam agar dekstrosa glukosa Saboraud, dapat pula agar dibubuhi antibiotik (kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Perbenihan dismpan dalam suhu kamar atau 37 o C, koloni tumbuh setelah 24-48 jam berupa yeast like colony. Identifikasi kandida albicans dilakukan dengan membiakkan tumbuhan tersebut pada commeal agar.

Pengobatan : Menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi. Topikal : a. Larutan ungu genthion -1% untuk selaput lendir, 1-2% untuk kulit, dioleskan sehari 2 kali selama 3 hari. b. Nistatin : krim salep, emulsi c. Amfoterisin B d. Grup azol : mikonazol 2% berupa krim atau bedak, klotrimazol 1% berupa bedak, larutan dan krim. e. Tiokonazol, bufonazol, isokonazol f. Siklopiroksolamin 1% larutan krim g. Antimikotik yang lain yang berspektrum luas Sistemik : a. tablet nistatin untuk menghilangkan infeksi lokal dalam saluran cerna, obat ini tidak diserap oleh usus. b. Amfoterisin B diberikan IV untuk kandidosis sistemik. 67

c. Kandidiasis vaginalis dapt diberi kotrimazol 500mg pervaginam dosis tunggal, sistemik dapat diberikan ketokonazol 2x200mg selama 5 hari atau dengan itrakonazol 2x200mg dosis tunggal atau dengan flukonazol 150mg dosis tunggal. d. Itrakonazol : Bila dipakai untuk kandidosis vulvovaginitis dosis untuk orang dewasa 2x100mg sehari, selama 3 hari. Prognosis : Umumnya baik, bergantung pada berat ringannya faktor predisposisi.

68

Trikomoniasis
DEFINISI Trikomoniasis Trichomonas. merupakan infeksi yang disebabkan oleh parasit

ETIOLOGI Genus Trichomonas yang merupakan parasit pada manusia : o Trichomonas hominis GIT o Trichomonas tenax rongga mulut o Trichomonas vaginalis UGT

MORFOLOGI Bentuk lonjong / pyriformis Ukuran : 7-23 x 5-23 Mempunyai satu nukleus bentuk oval dan mengandung kromatin inti berupa butir-butir halus yang tersebar rata. Sitoplasma mengandung granula siderophil Cytostome tidak nampak jelas Mempunyai alat gerak : 1. 4 flagella anterior berpangkal pada blepharoplast 2. Undulating membran pd panjang tubuh dengan 1 flagella di bagian tepinya 3. Axostyle berjalan di pertengahan tubuh dan menonjol di ujung posterior Siklus hidup : Habitat : - wanita :vagina & sekitarnya - laki-laki : kelenjar Prostat & sekitarnya - uretra Berkembang biak dengan longitudinal binary fission pH vagina optimal : 3,8-4,9 (lebih basa) Di dalam vagina memakan bakteri, leukosit dan sisa epitel. 69

Diluar habitat : pd suhu 0C tahan 5 hari, suhu 50C mati

EPIDEMIOLOGI Jumlah penderita wanita > pria RSCM Jakarta : 16 % pasien klinik Obstetri 25 % pasien klink Ginekologi. USA : 18-25 % wanita hamil

Eropa Timur : 30-40% pasien klinik Ginekologi Wanita usia 20-44 th > remaja dan lansia Cara Penularan : 1. Secara langsung melalui hub. seksual (STD). 2. Secara tidak langsung : alat-alat mandi dan tempat duduk toilet 3. Melalui jalan lahir pada neonatus

PATOLOGI Masa inkubasi : 4-28 hari Pada wanita : terjadi reaksi radang dan erosi pada mukosa vagina terjadi degenerasi dan deskuamasi sel-sel epitel infiltrasi sel-sel radang : limfosit, netrofil dan sel plasma vagina mengeluarkan sekret yang mengandung lekosit, sel epitel dan Trichomonas vaginalis, sekret tsb menutupi mukosa vagina dan cervix serta banyak berkumpul di fornix post. Pemeriksaan in spekulo : mukosa tampak hiperemi disertai peteki Pada infeksi lanjut : terjadi granulasi dan nekrosis

GEJALA KLINIS 1. Leukorrhea/ fluor albus/ keputihan Sekret seropurulen, putih kekuningan atau kehijauan, berbuih, bau tidak enak 2. Pruritus vagina dan vulva 70

Rasa gatal dan panas di daerah vagina dan vulva 3. Disuria Nyeri saat kencing, bila terjadi uretritis 4. Dispareunia Nyeri saat hubungan seksual Gejala- gejala tersebut bisa bertambah dan mengalami eksaserbasi setelah menstruasi. Pada laki-laki : Infeksi sering berjalan laten dan tidak timbul gejala. Dapat menyebabkan uretritis, prostatitis, dan prostatovesikulitis

DIAGNOSIS Berdasarkan : 1. Gejala klinis 2. Diagnosa pasti : menemukan Trichomonas vaginalis dari pemeriksaan mikroskopis sekret vagina, uretra dan prostat, serta urin dengan membuat sediaan basah/

hapusan yang diwarnai Giemsa. Biakan dari sekret vagina dapat dilakukan apabila hasil pemeriksaan mikroskopis negatif

PENATALAKSANAAN Prinsip terapi : 1. Pasangan seks juga harus diterapi untuk menghindar fenomena ping-pong . 2. Memperhatikan fokus-fokus infeksi di luar vagina (kelenjar Bartholini dan uretra) dengan memberikan terapi per oral dan lokal. D.O.C : Metronidazole Dosis : wanita 3x250 mg p.o selama 10 hr 2 gr dosis tunggal 500 mg vag. supp. 10 hr laki-laki 2x250 mg p.o 10 hari 2 gr dosis tunggal 71

Obat-obat lain : Tinidazole, Seknidazole, Nimorazole, Ornidazole PENCEGAHAN 1. Menjaga hygiene seksual,yaitu tidak berganti-ganti pasangan seks dan menghindari berhubungan dengan sumber infeksi. 2. Penderita dan pasangan diobati dengan tuntas 3. Menjaga hygiene alat mandi dan toilet 4. Tidak melakukan hub. seks bebas (no married, no sex)

72

Obat Jamur
PENDAHULUAN

Penyakit infeksi yang disebabkan jamur disebut mikosis dan biasanya bersifat kronik. Kebanyakan infeksi jamur biasanya superfisial dan hanya melibatkan kulit, tetapi dapat juga menembus kulit, yang dapat menyebabkan infeksi subkutaneus. Infeksi jamur yang paling sulit diobati yaitu mikosis sistemik yang sering mengancam kehi dupan. Tidak seperti bakteri jamur biasanya sel eukariotik. Jamur mempunyai dinding sel kaku yang mengandung kitin dan juga pol k sakarida, dan membran selnya terdiri dari ergosterol. Karena itu, infeksi jamur biasanya resisten terhadap antibiotika yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri. Sebaliknya, bakteri resisten terha dap obat-obat anti jamur. Insidens penyakit infeksi jamur meningkat pada sejumlah individu dengan penekanan imun (misalnya, kanker, pasien transplantasi) serta pada penderita AIDS. Penderita-penderita ini sering kali menderita infeksi jamur oportunistik, seperti meningitis kriptokokus atau

aspergilus. Mikosis endemik seperti blastomikosis, koksidioidomikosis dan histoplasmosis selalu menjadi masalah di beberapa daerah.

Kemampuan anti jamur azol merupakan kemajuan pengobatan infeksi sistemik karena obat ini kurang toksik dibandingkan amfoterisin B. Gambar 42.1 menunjukkan secara klinis manfaat obat-obat anti jamur. 11. OBAT-OBAT UNTUK INFEKSI JAMUR SUBKUTANEUS DAN SISTEMIK Obat-obat yang digunakan dalam pengobatan mikosis subkutan dan sistemik adalah amfoterisin B, flusitosin dan grup barn azol sepert ketokonazol, flukonazol dan itrakonazol. A. Amfoterisin B Amfoterisin B dibuat dari Streptomyces nodosus berupa antibiotika makrolid polien alamiah. Selain potensi toksiknya, amfoterisin B 73

merupakan obat pilihan untuk pengobatan infeksi mikosis sistemik. Obat ini

kadang-kadang digunakan dalam bentuk kombinasi dengan flusitosin sehingga menurunkan (kurang toksik) kadar amfoterisin B.

1. Mekanisme kerja: Beberapa molekul polien berikatan denganergosterol yang berada dalam membran sel pada sel jamur sensitif untuk membentuk lubang atau saluran yang melibatkan ikatan hidrofobik antara segmen lipofilik antibiotika polien dan grup sterol . Hal ini mengganggu fungsi membran, menyebabkan elektrolit (terutama kalium) dan molekul-molekul kecil keluar dari sel sehingga menimbulkan kematian set. Karena antibiotika polien lebih suka mengikat ergosterol dibandingkan kolesterol, sterol ini dijumpai padamembran mamalia yang memberikan suatu spesifisitas relatif (tidak absolut). 2. Spektrum anti jamur: Amfoterisin B bersifat fungsisidal atau fungistatika, tergantung organisms can konsentrasinya. Obat ini efektif untuk kebanyakan jamur seperti Candida albicans, Histoplasma capSulatum,
Cryptococcus

neoformans, coccidiodies immtis, banyak strain aspergilus dan blastomuces dermatitidis. 3.Resistensi: Resistensi jamur (meskipun tidak sering) berkaitan dengan menurunnya ergosterol pada membran jamur. 4. Farmakokinetik: Amfoterisin B diberikan melalui infus intravena. Pemberian intratekal kadang-kadang dilakukan untuk pengobatan meningitis yang

disebabkan oleh jamur yang sensitit terhadap obat ini. Obat ini secara ekstensif berikatan dengan protein plasma dan dicistribusikan ke seluruh tubuh yang akan berikatan kuat dengan jaringan tubuh. Adanya inflamasi menyebabkan penetrasi obat ini bervariasi dalam cairan tubuh tetapi sedikit dijumpai dalam cairan serebrospinaslis, cairan vitreus atau cairan amnion. Namun demikian, obat ini tidak melewati plasenta. Kadar obat yang rendah terutama metabolitnya dijumpai dalam urine dalam waktu yang cukup lama beberapa diantaranya juga dieliminasi melalui empedu. Penyesuaian dosis tidak diperlukan pada penderita gangguan hati atau ginjal. Preparat-preparat amfoterisin B liposomal juga tersedia dan menunjukkan efektivitas terapeutika. 74

5. efek samping: Amfoterisin B mempunyai indeks terapeutika yang rendah. Dosis total harian tidak boleh melebihi 1,5 mg kgBB. Uji dengan dosis kecil selalu diberikan untuk mengetahui tingkat negatif respons pasien, misalnya, anafilaktik atau konvulsi. Manifestasi toksik lainnya termasuk yang di bawah ini: a. demam meninggi: efek ini timbul pada pemberian intravena tetapi biasanya menghilang pada pemberian obat yang berulang. Premedikasi dengan steroid dan antipertik dapat mencegah kejadian ini b. gangguan ginjal:meskipun kadar obat yang rendah dieksresikan dalam urin pasien dapat mengalami gangguan fungsi ginjal(menurunya laju filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus) c. Hipotensi: Dapat terjacii penurunan tekanan clarah yang berkaitan dengan adanya hipokalemia, sehingga memerlukan pemberian kalium clan harus hati-hati pada penderita yang menclapat digitalis. d. Anemia: Anemia normositik, normokromik yang disebab kan oleh supresi produksi eritrosit reversibel clapat terjadi. Hal ini mungkin dieksaserbasi pada penderita dengan HIV yang

mendapatkan zidovudin. e. Efek neurologik: Pemberian intratekal dapat menyebab kan gangguan neurologik yang bervariasi. f. Tromboflebitis: Dengan menambah heparin ke dalam infus clapat mengurangi gejala ini. g. dapat mengurangi gejala ini.

B. Flusitosin Flusitosin [floo SYE toe seen] (5-FC) adalah suatu antimetabolit pirimidin sintetik yang digunakan hanya dalam bentuk kombinasi dengan amfoterisin untuk mengobati mikosis sistemik clan meningitis yang disebabkan oleh Criptococcus neoformans clan Kandida. Mekanisme kerja: Obat ini memasuki sel melalui enzim permease sitosin spesifik clan enzim ini tidak dijumpai dalam sel mamalia. 75

Obat ini kemudian dirubah secara bertahap menjadi asam 5fluorodeoksiuridilat; nukleotida palsu ini menghambat timidilat sintetase, sehingga meniadakan asam timidilat organisms, suatu komponen esensial DNA (Gambar 34.3). Pirimidin tak alamiah juga dimetabolisme menjadi nukleotida (5-FUTP) clan bergabung

kedalam RNA jamur sehingga merusak sintesis asam nukleat clan protein. Kombinasi flusitosin clan amfoterisin B bersifat sinergistik [Catatan: Amfoterisin B mempengaruhi permeabilitas sel, sehingga memudahkan flusitosin mempenetrasi sel].
2.

Spektrum anti jamur: Flusitosin adalah fungistatika clan efektif mengobati kromoblastomikosis clan dalam bentuk kombinasi, efektif untuk kandidiasis clan kriptokokosis.

3.

Resistensi: Resistensi clapat berkembang selama pengo batan clan dengan alasan ini flusitosin tidak diberikan secara tunggal sebagai obat antimikotik kecuali untuk kromoblasto mikosis. Laju kejadian sel jamur yang resisters lebih renclah dengan kombinasi amfoterisin B clibandingkan flusitosin tunggal. Menurunnya kadar setiap enzim dalam perubahan 5-FC menjadi 5-FU atau meningkatkan sintesis sitosin clapat mencegah resistensi.

4.

Farmakokinetik: Flusitosin diabsorbsi dengan baik pada pemberian oral, didistribusikan ke seluruh cairan tubuh clan p enetrasinya baik ke dalam cairan serebrospinalis (CSS). 5 - Fluorourasil clapat dideteksi pada pasien clan mungkin disebabkan oleh metabolisms 5-FC oleh bakteri intestinum. Ekskresi kedua obat ini clan metabolitnya melalui fitrasi glomerulus clan dosis harus

disesuaikan pada penderita gangguan ginjal. 5. Efek samping: Beberapa dari efek samping ini mungkin berkaitan dengan pembentukan 5-FU oleh organisms intestinal dari 5-FU.
a.

Toksisitas hematologik: Flusitosin menyebabkan neutropenia, trombositopenia, reversibel dan biasanya menyebabkan penekanan sumsum tulang. Perlu perhatian yang serius pada penderita yang 76

mendapatkan radiasi atau kemoterapi dengan obat-obat yang menekan sumsum tulang.
b.

Gangguan hati: Gangguan hati reversibel dengan elevasi transaminase serum dan alkalin fosfatase dapat terjadi.

r. Gangguan saluran cerna: Mual, muntah dan diare sering terjadi, dan enterokolitis berat dapat terjadi.

C. Ketokonazol Ketokonazol [kee toe KON a zole], suatu pengganti imidazol, merupakan satu keluarga azol yang bermanfaat dalam pengobatan mikosis sistemik. Selain terhadap aktivitas anti jamurnya, ketokonazoljuga menghambat sintesis steroid gonadal dan adrenal manusia dengan menghambat liase C17-20, 11/3-hid roksi lase dan pecahnya rantai samping kolesterol; sehingga, dapat menekan sintesis testosteron dan kortisol.
1.

Mekanisme kerja: Ketokonazol berinteraksi dengan C-14 demetilase (enzim P-450 sitokrom) untuk menghambat demetilasi lanosterol menjadi ergosterol yang merupakan sterol penting untuk membran jamur (Gambar 34.4). Penghambat ini mengganggu fungsi membran dan meningkatkan permeabilitas. Ketokonazolbekerja secara adiktif dengan flusitosin terhadap Kandida tetapi mengantagonis aktivitas anti jamur amfoterisin B

2.

Spektrum

anti

jamur:

Ketokonazol

bersifat

fungistatika

atau

fungisida tergantung dosis. Meskipun obat ini aktif terhadap ja mur yang sama dengan amfoterisin B, ketokonazol lebih ber guna untuk pengobatan histoplasmosis. Ketokonazol juga efektif terhadap koksidiomikosis non-meningeal dan blastomikosis. Kandida dan beberapa infeksi dermatofitik lain termasuk yang resisters

terhadap griseofulvin juga rentan terhadap obat ini.


3. 4.

Resistensi: Belum ditemukan resistensi selama diobservasi. Farmakokinetik: Ketokonazol hanya diberikan per-oral. Obat ini larut 77

dalam asam lambung dan diabsorpsi melalui mukosa lambung. Makanan, antasida, simetidin dan rifampisin mengganggu

absorbsinya. Coca-cola yang bersifat asam mening katkan absorbsi obat ini. Obat ini berikatan kuat dengan protein plasma. Meskipun penetrasinya ke jaringan terbatas, obal ini efektif dalam mengobati histoplasmosis di paru-paru, tulang, kulit dan jaringan lunak. Obat ini tidak menembus cairar serebrospinalis. Metabolisms yang ekstensif terjadi di hati. Induksi sistem enzim P-450 di hati (lihat hal. 14) memendekkar waktu paruh ketokonazol, tetapi obat ini dapat juga menghambat sitokrom P-450 tertentu untuk meningkatkan efek beberapa obat lain. Ekskresinya terutama melalu empedu. Kadar obat induk dalam urine sangat rendah sehingga tidak efektif terhadap infeksi mikotik saluran kemih. 5. Efek samping , Efek- efek tersebut terutama dalarn saluran cerna. Seiain terhadap reaksi alergi , efek toksik lain meliputi hal di bawh ini:
a.

Gangguan saluran Cerna: merupakan efek camping yang paling seeing.

b.

Efek endokrin: Gangguan ini disebabkan oleh ponghambatan sintesis steroid dan adrenal oleh ketokonazol. Efekefek ini berupa ginekomastia menstruasi enurunan libido, impotensi dan ketidak-teraturan

c.

Gangguan fungsi hati: Meskipun insiders rendah, gangguan fungsi hati disertai peningkatan kadar transminase serum me rupakan manifestasi toksik yang serius. Ketokonazol dapat

berakumulasi pada penderita gangguan fungsi hati. Konsen trasi obat dalarn plasma harus dinionitor pada penderita terse -but.
d . Kontraindikasi:

Ketokonazol dan amfoterisin B tidak boleh

diberikan bersamaan.
e.

Interaksi obat: Dengan menghambat sitokrom P -450, ke78

tokonazo.! dapat meningkitkan efek toksik siklosporin, fenitoir dan antagonis anfibistamin-H I I, terfenadin dan astemizol. Obat ini juga meningkatkan kadar sukralfat. Tolbu t amid dan warfarin. Rifampisin, suatu!nduser sistem sitokrom P -450 dapat memperpendek masa Keria ketokonazol dan azol lainnya. . Obat-obat ya n g

m e n u r u n k a n k e asaman lambung seperti penyekat H, -receptor dan antasida juga menurunkan absorbsi obat ini.

D. Flukonazol Flukonazol [flooo KON a zolel secara klinik penting karna efek camping endokrinnya yang keoil dihandingkan ketokonazol dan penetrasinya yang baik ke dalamm CSF flukonazol diberikan untuk profilaktik, memberkan hasil yang baik untuk menurunkan in feksi jamur pada penerima trarisplantasi Surnsum tulang.
1.

Mekanisme kerja: Obat ini menghambat sintesis ergostpro membran jamur seperti ketokonazol.

2.

Spektrum antijamur: Obit ini mertipakan obat pilihan untuk Criptococcus domikosis. neoformans, Flukonazol untuk kandidemia dan koksidioi pengobatar

juga

bermanfaat

dalarn

blastomikosis,

kandidiasis

dan

histoplasmois.

Infeksi -infeks

tersebut ditandai dengan tingginya laju relaps, dan flokonazlo terbukti efektif pada, pongobatan ineksi kronik
3.

Resistensi: Gagalnya pengobatar perna dilaporkan pads penderita HiV.

4.

Farmakokinetik: Flukonazola diberikan

per-oral atau intravena

Absorbsinya baik, obat ini t i dak tergantung pada kea saman lambung seperti haInva kctokonazol, ikatannya mini mal dengan protein plasma
p

Pengikatan

ini

penting

terutama

dalarn

kemampuanlya mempenetrasi CSS meningen normal dan yang mengalami eradangan. tidak seperti ketokonazol obat ini

metabolismenya jelek. Obat ini diekskresikan melalu ginjal dan 79

dosis harus diturunkan pada penderita gangguan fungsi ginjal. 5. Efek samping: Efek samping ini lebih kecil dibandingkan dengan ketokonazol. Obat ini ticlak rriempuriyai efek endokrinologik karena flukonazol tidak menghambat sitokrom P-450 yang bertanggung jawab pada sintesis androgen. Namun demikian, obat ini dapat

menghambat sitokrom P-450 yang memetabolisme obat-obat lain yang terclaftar pada hal. 345 dalam uraian tentang ketokonazol. Selain mual dan muntah, Wit kemerahan sering terjadi. He p atitis D jarang terjadi. Laporan barn-barn ini menunjukkan bahwa flukonazol adalah suatu teratogen poten dan azol lain kemungkinan juga bersifat teratogenik.

E. Itrakonazol Itrakonazol [it ra KON a zole] merupakan obat antijamur keluarga azol yang barn. Seperti flukonazol, obat ini adalah suatu triazol sintetik dan juga efek samping endokrinologiknya lebih kecil dibandingkan

ketokonazol. Mekanisme kerja sama seperti azol lainnya. Itrakonazol sekarang ini merupakan obat pilihan untuk pengobatan blastomikosis. Tidak seperti ketokonazol, obat ini efektif untuk pengobatan

aspergilosis, kandidemia, koksidioi domikosis serta kriptokokosis. Karena itu, obat ini mempunyai spektrum anti jamur yang lugs.
1.

Farmakokinetik: pemberian oral

Itrakonazol dan makan

diabsorbsi dapat

dengan

baik

pada

meningkatkan

ketersediaan

hayatinya. Obat ini berkaitan kuat dengan protein plasma dan distribusinya baik melalui kebanyakan jaringan tubuh terma suk tulang, sputum dan jaringan adiposa. Namun demikian, konsentrasi terapeutika tidak tercapai dalam CSS. Seperti ketokonazol, obat ini dimetabolisme secara ekstensif dalam hati. tetapi tidak menghambat sintesis androgen. Hanya dalam jumlah kecil obat ini dijumpai dalam urin sehingga ticlak pethu menurunkan closisnya pada penderita gaga) ginjal. 80

2.

Efek samping: Efek samping ini termasuk mual dan muntah. kulit kemerahan (termasuk pada
p

enderita dengan tanggap imun yang

lemah), hipokalemia, hipertensi, edema clan sakit kepala. Interaksi obat berikut ini juga mungkin dengan Itrakonazol. Gambar 34.5 rneringkaskan obat-obat antijamur azol.

III. OBAT-OBAT UNTUK INFEKSI MIKOTIK SUPERFISIAL Jamur yang menyebabkan infeksi kulit superfisiai disebut dermatofit. Dermatofit yang sering terjadi, seperti infeksi tinea sering disalaharti kan dan dirujuk sebagai infeksi racing gelang, karena jamur berbeda dengan racing dalam hal menyebabkan penyakit. A. Griseofulvin Mekanisme kerja: Obat ini masuk ke dalam sel jamur yang rentan dengan proses yang tergantung energi. Hal ini diyakini bahwa obat ini berinteraksi dengan mikrotubulus dalam jamur yang merusak serat mitotik dan menghambat mitosis . Obat ini berakumulasi di daerah yang terinfeksi, disintesis kembali dalam jaringan yang mengandung keratin, sehingga menyebabkan pertumbuhan jamur terganggu. Terapi harus dilanjutkan sampai jaringan normal menggantikan jaringan yang terinfeksi dan biasanya membutuhkan beberapa minggu sampai bulan.
2.

Spektrum antijqmur: Obat ini secara prinsip bersifat fungsistatika. Obat ini hanya efektif terhadap trikofiton, mikrosporum clan

epidermofiton. Obat ini digunakan untuk pengobatan infeksi tinea berat yang tidak memberikan respons terhadap obat-obat anti jamur lainnya.
3.

Resistensi: Resistensi terjadi karena adanya sistem asupan tergantung energi.

4.

Farmakokinetik: Preparat-preparat ultra kristalin diabsorbsi secara adekuat dari saluran cerna. Absorbsinya ditingkatkan apabila disertai 81

makanan dengan lernalk tinggi. Fenobarbital dapat mempengaruhi absorbsi griseofulvin. Secama topikal griseofulvin tidak efektif. Griseofulvin berdistribusi balk ke jaringan keratin yang terinfeksi dan akan berikatan; karena itu, obat ini cocok untuk pengobatan infeksi dermatofitik. Konsentrasinya dalam jaringan lain dan cairan tubuh lebih rendah. Griseofulvin secara ekstensif dirnetabolisme menjadi bentuk demetilisasi dan glukoronidase. Griseofulvin menginduksi aktivitas sitokrom P-450 hepatik dan dapat meningkatkan laju metabolisme sejumlah obat termasuk antikoagulan oral (lihat hal. 199). Ekskresi obat ini melalui ginjal, terutama sebagai metabolic.
5.

Efek samping: Toksisitas umumnya tidak menimbulkan masalah klinis, meskipun reaksi alergi dan sejurnlah efek samping (misainya, sakit kepala, mual) pernah
s

dilaporkan.

Griseofulvin

dapat

menyebabkan hepatotoksisita , dan obat ini dikontraindikasikan pada penderita porfiria intermiten Akut. Obat ini meningkatkan intoksikasi efek alkohol. Dalam laboratorium binatang, obat ini terbukti besjfat teratogenik.
B. Nistatin

Nistatin adalah suatu antibiotika polien: strUktUr. rumusan kimia, mekanisme kerja dan resistensi mirip dengan amfoterisin B. Penggunaannya terhadap kandida secara topikal terbatas kare na toksisitas sistemiknya. Oba t ini tidak dabsorhsi di saluran cerna dan tidak pernah dipergunakan secara parenteral. Obat ini diberikan per-oral (swish and swallow) untuk pengobatan kan didiasis oral. Ekskresinya da!am tinja secara kuantitatif. Ffek samping jarang karena

absorbsinya yang jelek tetapi biasanya menimbulkan mual dan rnuntah.


C. Mikonazol dan obat topikal lain

Mikonazol, klotn i r p azol dan ekonazol merupakan obat-obat yang aktif secara topikal dan jarang digunakan secara parenteral karena toksisitasnya yang berat. Mekanisme , kcrja, spektruffi anti jamur, distribusi dan tips metabolisme sama rjengan ketokonazol. 82

Anda mungkin juga menyukai