Anda di halaman 1dari 49

FRAKTUR DEFINISI Fraktur (patah tulang) adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang dan ditentukan sesuai jenis dan

n luasnya. Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. JENIS FRAKTUR Agar lebih sistematis, jenis fraktur dapat dibagi berdasarkan : Lokasi Fraktur dapat terjadi pada tulang di mana saja seperti pada diafisis, metafisis, epifisis, atau intraartikuler. Jika fraktur didapatkan bersamaan dengan dislokasi sendi, maka dinamakan fraktur dislokasi. Luas Terbagi menjadi fraktur lengkap (komplit) dan tidak lengkap (inkomplit). Fraktur tidak lengkap contohnya adalah retak. Konfigurasi Dilihat dari garis frakturnya, dapat dibagi menjadi transversal (mendatar), oblik (miring), atau spiral (berpilin/ memuntir seputar batang tulang). Jika terdapat lebih dari satu garis fraktur, maka dinamakan kominutif, jika satu bagian patah sedangkan sisi lainnya membengkok disebut greenstick. Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam ( sering terjadi pada tulang tengkorak dan wajah) disebut depresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi ( terjadi pada tulang belakang ) disebut kompresi. Hubungan antar bagian yang fraktur Antar bagian yang fraktur dapat masih berhubungan (undisplaced) atau terpisah jauh (displaced). Hubungan antara fraktur dengan jaringan sekitar Fraktur dapat dibagi menjadi fraktur terbuka (jika terdapat hubungan antara tulang dengan dunia luar) atau fraktur tertutup (jika tidak terdapat hubungan antara fraktur dengan dunia luar). Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu : Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm. Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif. Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 139 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

ETIOLOGI Terjadinya fraktur akibat adanya trauma yang mengenai tulang yang kekuatannya melebihi kekuatan tulang. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur : Faktor ekstrinsik yaitu meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah serta kekuatan tulang. Faktor intrinsik yaitu meliputi kapasitas tulang mengabsorpsi energi trauma, kelenturan, densitas serta kekuatan tulang. PENGKAJIAN Riwayat Penyakit : Dilakukan anamnesa untuk mendapatkan riwayat mekanisme terjadinya cidera, posisi tubuh saat berlangsungnya trauma, riwayat fraktur sebelumnya, pekerjaan, obat-obatan yang dikomsumsi, merokok, riwayat alergi, riwayat osteoporosis serta riwayat penyakit lainnya. Pemeriksaan Fisik : 1. Inspeksi (look) Adanya deformitas (kelainan bentuk) seperti bengkak, pemendekan, rotasi, angulasi, fragmen tulang (pada fraktur terbuka). 2. Palpasi (feel) Adanya nyeri tekan (tenderness), krepitasi, pemeriksaan status neurologis dan vaskuler di bagian distal fraktur. Palpasi daerah ektremitas tempat fraktur tersebut, di bagian distal cedera meliputi pulsasi arteri, warna kulit, capillary refill test. 3. Gerakan (moving) Adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur. Pemeriksaan Penunjang : 1. Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur, harus mengikuti aturan role of two, yang terdiri dari : Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral. Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal. Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cidera maupun yang tidak terkena cidera (untuk membandingkan dengan yang normal) Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 140 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

2. Pemeriksaan laboratorium, meliputi: Darah rutin, Faktor pembekuan darah, Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi), Urinalisa, Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk kliren ginjal). 3. Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan vaskuler akibat fraktur tersebut. KOMPLIKASI Penyebab komplikasi fraktur secara umum dibedakan menjadi dua yaitu bisa karena trauma itu sendiri, bisa juga akibat penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik. Kompikasi Umum Syok hipovolemia (karena perdarahan yang banyak), syok neurogenik (karena nyeri yang hebat), koagulopati diffus, gangguan fungsi pernafasan. Komplikasi ini dapat terjadi dalam waktu 24 jam pertama pasca trauma, dan setelah beberapa hari atau minggu dapat terjadi gangguan metabolisme yaitu peningkatan katabolisme, emboli lemak, tetanus, gas ganggren, trombosit vena dalam (DVT). Komplikasi Lokal Jika komplikasi yang terjadi sebelum satu minggu pasca trauma disebut komplikasi dini, jika komplikasi terjadi setelah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut. Ada beberapa komplikasi yang terjadi yaitu : Infeksi, terutama pada kasus fraktur terbuka. Osteomielitis yaitu infeksi yang berlanjut hingga tulang. Atropi otot karena imobilisasi sampai osteoporosis. Delayed union yaitu penyambungan tulang yang lama. Non union yaitu tidak terjadinya penyambungan pada tulang yang fraktur. Artritis supuratif, yaitu kerusakan kartilago sendi. Dekubitus, karena penekanan jaringan lunak oleh gips. Lepuh di kulit karena elevasi kulit superfisial akibat edema. Terganggunya gerakan aktif otot karena terputusnya serabut otot,
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 141 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Sindroma kompartemen karena pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga mengganggu aliran darah.

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan fraktur mengacu kepada empat tujuan utama yaitu: 1. Mengurangi rasa nyeri, Trauma pada jaringan disekitar fraktur menimbulkan rasa nyeri yang hebat bahkan sampai menimbulkan syok. Untuk mengurangi nyeri dapat diberi obat penghilang rasa nyeri, serta dengan teknik imobilisasi, yaitu pemasangan bidai / spalk, maupun memasang gips. 2. Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur. Seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, fiksasi internal, sedangkan bidai maupun gips hanya dapat digunakan untuk fiksasi yang bersifat sementara saja. 3. Membuat tulang kembali menyatu Tulang yang fraktur akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. 4. Mengembalikan fungsi seperti semula Imobilisasi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi otot dan kekakuan pada sendi. Maka untuk mencegah hal tersebut diperlukan upaya mobilisasi. PROSES PENYEMBUHAN TULANG Fase Inflamasi : Fase ini berlangsung mulai terjadinya fraktur hingga kurang lebih satu sampai dua minggu. Peningkatan aliran darah menimbulkan hematom diikuti invasi sel-sel peradangan yaitu neutrofil, makrofag, sel fagosit, osteoklas, yang berfungsi untuk membersihkan jaringan nekrotik, yang akan mempersiapkan fase reparatif. Jika dirontgen, garis fraktur lebih terlihat karena telah disingkirkannya material nekrotik. Fase Reparatif : Dapat berlangsung beberapa bulan. Ditandai dengan diferensiasi dari sel mesenkim pluripotensial. Hematom fraktur diisi oleh kondroblas dan fibroblas yang akan menjadi tempat matrik kalus. Pada awalnya terbentuk kalus lunak, terdiri dari jaringan fibrosa dan kartilago dengan sejumlah kecil jaringan tulang. Osteoblas mengakibatkan mineralisasi kalus lunak menjadi kalus keras serta menambah stabilitas fraktur. Jika dirontgen maka garis fraktur mulai tidak tampak. Fase Remodeling :
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 142 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Fase ini bisa membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga tahunan untuk merampungkan penyembuhan tulang, yang meliputi aktifitas osteoblas dan osteoklas yang menghasilkan perubahan jaringan immatur agar menjadi matur, terbentuknya tulang lamelar sehingga menambah stabilitas daerah fraktur. FRAKTUR TERBUKA KLASIFIKASI FRAKTUR TERBUKA Klasifikasi fraktur terbuka paling sering digunakan menurut Gustillo dan Anderson (1976), yang menilai fraktur terbuka berdasarkan mekanisme cedera, derajat kerusakan jaringan lunak, konfigurasi fraktur dan derajat kontaminasi. Klasifikasi Gustillo ini membagi fraktur terbuka menjadi tipe I, II, dan III : Tipe I : berupa luka kecil kurang dari 1 cm akibat tusukan fragmen fraktur dan bersih. Kerusakan jaringan lunak sedikit dan fraktur tidak komunitif. Biasanya luka tersebut akibat tusukan fragmen fraktur atau in-out. Tipe II : terjadi jika luka lebih dari 1 cm tapi tidak banyak kerusakan jaringan lunak dan fraktur tidak komunitif. Tipe III : dijumpai kerusakan hebat maupun kehilangan cukup luas pada kulit, jaringan lunak dan putus atau hancurnya struktur neovaskuler dengan kontaminasi, juga termasuk fraktur segmental terbuka atau amputasi traumatic. Kemudian Gustillo et al. (1984) membagi tipe III dari klasifikasi Gustillo dan Anderson (1976) menjadi tiga subtype, yaitu tipe III A, III B, dan III C : Tipe III A : terjadi apabila fragmen fraktur masih dibungkus oleh jaringan lunak, walaupun adanya kerusakan jaringan lunak yang luas dan berat. Tipe III B : fragmen fraktur tidak dibungkus oleh jaringan lunak sehingga tulang terlihat jelas atau bone expose, terdapat pelepasan periosteum, fraktur komunitif. Biasanya disertai kontaminasi massif dan merupakan trauma high energy tanpa memandang luas luka. Tipe III C : terdapat trauma pada arteri yang membutuhkan repair agar kehidupan bagian distal dapat dipertahankan tanpa memandang defisit kerusakan jaringan lunak.
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 143 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

DIAGNOSIS FRAKTUR TERBUKA Riwayat Faktor trauma kecepatan rendah atau trauma kecepatan tinggi sangat penting dalam menentukan klasifikasi fraktur terbuka karena akan berdampak pada kerusakan jaringan itu sendiri. Riwayat trauma kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat ketinggian, luka tembak dengan kecepatan tinggi atau pukulan langsung oleh benda berat akan mengakibatkan prognosis jelek dibanding trauma sederhana atau trauma olahraga. Penting adanya deskripsi yang jelas mengenai keluhan penderita, biomekanisme trauma, lokasi dan derajat nyeri. Umur dan kondisi penderita sebelum kejadian seperti penyakit hipertensi, diabetes melitus, dan sebagainya merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan juga. Pemeriksaan fisik Dimulai dengan inspeksi (look), palpasi (feel) dan pemeriksaan gerakan (movement). Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah identifikasi luka secara jelas dan gangguan neurovascular bagian distal dari lesi tersebut. Pulsasi arteri bagian distal penderita hipertensi akan melemah dan dapat menghilang sehingga dapat terjadi kesalahan penilaian vaskular tersebut. Bila disertai trauma kepala atau tulang belakang maka akan terjadi kelainan sensasi nervus perifer di distal lesi tersebut. Pemeriksaan kulit seperti kontaminasi dan tanda-tanda lain perlu dicatat. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk menentukan keparahan kerusakan tulang dan jaringan lunak yang berhubungan dengan derajat energy dari trauma itu sendiri. Bayangan udara di jaringan lunak merupakan petunjuk dalam melakukan pembersihan luka atau irigasi dalam melakukan debridement. Bila bayangan udara tersebut tidak berhubungan dengan daerah fraktur maka dapat ditentukan bahwa fraktur tersebut adalah fraktur tertutup. Radiografi dapat terlihat bayangan benda asing disekitar lesi sehingga dapat diketahui derajat keparahan kontaminasi disamping melihat kondisi fraktur atau tipe fraktur itu sendiri. Diagnosis fraktur dengan tanda-tanda klasik dapat di tegakkan secara klinis, namun pemeriksaan radiologis tetap dilakukan untuk konfirmasi dalam melengkapi deskripsi fraktur, kritik medikolegal, rencana terapi dan dasar untuk tindakan selanjutnya. Sedangkan untuk frakturfraktur yang tidak memberikan gejala klasik dalam menentukan diagnosis harus dibantu pemeriksaan radiologis sebagai gold standard.
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 144 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Untuk menghindari kesalahan maka dikenal formulasi hokum dua, yaitu: Two views : proyeksi AP/anteroposterior dan lateral, karena proyeksi yang salah akan dapat memberikan informasi yang salah maka pemeriksaan radiologis harus benar-benar AP dan lateral. Two joints : terlihat dua sendi, pada bagian proksimal dan distal fraktur. Two limbs : dua anggota gerak sisi kanan dan kiri Two injuries : biasanya pada multiple trauma yang bisa melibatkan trauma di tempat lain dalam tubuh. PENANGANAN FRAKTUR TERBUKA Mengikuti prinsip 4 R yaitu Recognition, Reduction, Retaining (retention of reduction) dan Rehabilitation. Pada kasus fraktur terbuka diperlukan ketepatan dan kecepatan diagnosis pada penanganan agar terhindar dari kematian atau kecacatan. Penatalaksanaan fraktur terbuka derajat III meliputi tindakan life saving dan live limb dengan resusitasi sesuai indikasi, pembersihan luka dengan irigasi, eksisi jaringan mati dengan debridement, pemberian antibiotic pada sebelum, selama dan sesudah operasi, pemberian antitetanus, penutupan luka, stabilisasi fraktur dan fisioterapi. Tindakan definitive dihindari pada hari ketiga atau keempat karena jaringan masih inflamasi/infeksi dan sebaiknya ditunda sampai 7-10 hari, kecuali dapat dikerjakan sebelum 6-8 jam pasca trauma. Prinsip penanganan fraktur terbuka derajat III secara umum dalah sebagai berikut : 1. Pertolongan pertama Secara umum adalah untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri dan mencegah gerakan-gerakan fragmen yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Stabilisasi fraktur bisa menggunakan splint atau bandage yang mudah dikerjakan dan efektif. Luka ditutup dengan material yang bersih dan steril. 2. Resusitasi Penatalaksanaan sesuai prinsip ATLS dengan memberikan penanganan sesuai prioritas, bersamaan itu pula dikerjakan penanganan fraktur terbuka agar terhindar dari komplikasi. Kehilangan darah yang banyak pada fraktur terbuka derajat III dapat mengakibatkan syik hipovolemik dan dapat diperberat oleh rasa nyeri yang dapat menyebabkan syok neurogenik. Tindakan resusitasi dilakukan bila ditemukan tanda syok hipovolemik, gangguan napas atau denyut jantung karena fraktur terbuka seringkali terjadi bersamaan dengan cedera organ lain. Penderita diberikan resusitasi cairan ringer laktat (RL) atau transfuse darah dan pemberian analgetik selama tidak
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 145 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

ada kontraindikasi. Pemeriksaan radiologis dikerjakan setelah kondisi pasien stabil. 3. Penilaian awal Pemeriksaan yang teliti dan hati-hati merupakan dasar dalam observasi dan penanganan awal yang memadai . fakta-fakta pada pemeriksaan harus direkam dengan baik termasuk pada daerah atau organ lain dan komplikasi akibat fraktur itu sendiri. 4. Terapi antibiotik dan antitetanus serum (ATS) Pemberian antibiotic sebaiknya diberikan segera mungkin setelah terjadinya trauma. Antibiotic adalah yang berspektrum luas yaitu sefalosporin generasi I (cefazolin 1-2 gram) dan dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin 1-2 mg/kg BB tiap 8 jam) selama 5 hari. Selanjutnya perawatan luka dilakukan setiap hari dengan memperhatikan sterilitas dan pemberian antibiotic disesuaikan dengan hasil kultur dan sensitifitas terbaru. Bila dalam perawatan ditemukan gejala dan tanda infeksi, maka dilakukan pemeriksaan kultur dan sensitifitas ulang untuk penyesuaian ulang pemberian antibiotic yang digunakan. Pemberian antitetanus diindikasikan pada fraktur kruris terbuka derajat III berhubungan dengan kondisi luka yang dalam, luka yang terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan kecurigaan sepsis. Pada penderita yang belum pernah mendapat imunisasi anti tetanus dapat diberikan gamaglobulin antitetanus manusia dengan dosis 250 unit pada penderita diatas 10 tahun dan dewasa, 125 unit pada usia 5-10 tahun dan 75 unit pada anak dibawah 5 tahun. Dapat pula diberikan serum antitetanus dari binatang dengan dosis 1500 unit dengan tes subkutan 0,1 selama 30 menit. Jika telah mendapat imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya diberikan 1 dosis boster 0,5 ml secara intramuskuler. 5. Debridemen Ambil sampel dari luka untuk pemeriksaan kultur dan sensitifitas pra debridemen Pembersihan luka dengan irigasi cairan fisiologis sebanyak 6-10 liter Jaringan mati atau fragmen tulang kecil yang mati maupun benda asing dibuang Pembuluh darah vital untuk bagian distal yang terputus dilakukan repair Saraf yang terputus diberi tanda pada ujung saraf untuk dilakukan delayed repair Reposisi fragmen fraktur Pengambilan sampel pada luka yang bersih untuk kultur dan sensitivitas pasca debridement
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 146 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Luka dibiarkan terbuka dan dilakukan jahitan parsial, bila perlu ditutup setelah satu minggu dimana oedem sudah menghilang Fiksasi awal yang baik untuk fraktur terbuka kruris derajat III adalah fiksasi eksterna dengan external fxation device sehingga akan mempermudah dalam perawatan luka harian. Bila fasilitas tidak memadai, pemasangan gips sirkuler dengan jendela atau temporary splinting dengan gips atau traksi dapat digunakan dan kemudian dapat direncanakan operasi pemasangan fiksasi interna setelah luka baik Pemakaian suntikan antibiotic dilanjutkan 3-5 hari, di monitor tanda klinis dan penunjang Bila dalam perwatan harian di bangsal ditemukan gejala dan tanda infeksi dilakukan debridement dan pemeriksaan kultur dan sensitivitas ulang untuk mendapatkan penangan yang memadai 6. Penanganan jaringan lunak Pada kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue transplantation atau flap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang yang hilang dapat dilakukan bone grafting setelah pengobat infeksi berhasil baik. 7. Penutupan luka Pada luka yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan debridement dan irigasi dapat langsung dilakukan pentupan secara primer tanpa tegangan. Pada luka yang luas dan dicurigai kontaminasi yang berat sebaiknya dirawat secara terbuka, luka dibalut kassa steril dan dilakukan evaluasi setiap hari. Setelah 5-7 hari dan luka bebas dari infeksi dapat dilakukan penutupan kulit secara sekunder atau melalui tandur kulit. Pada anak sebaiknya dihindari perawatan terbuka untuk menghindari terjadi kondrolisis yaitu kerusakan epiphyseal plate akibat infeksi. Penyambungan tulang pada anak relative lebih cepat maka reposisi dan fiksasi dikerjakan secepatnya untuk mencegah deformitas. 8. Stabilisasi fraktur Dalam melakukan stabilisasi fraktur awal penggunaan gips sebagai temporary splinting dianjurkan dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian bisa dilanjutkan dengan pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam dengan plate and screw, intermedullary nail atau external fixator devices sebagai terapi stabilisasi definitive. Pemasangan fiksasi dalam dengan plate and screw pada fraktur terbuka dengan kontaminasi tidak direkomendasikan. Namun demikian fiksasi dalam dapat dipasang setelah luka jaringan lunak baik dan diyakini tidak ada infeksi lagi. Penggunaan fiksasi luar (external fixation devices) pada fraktur terbuka
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 147 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

derajat III adalah salah satu pilihan untuk menfiksasi fragmen-fragmen fraktur tersebut dan untuk mempermudah perawatan luka harian. KOMPLIKASI FRAKTUR TERBUKA 1. Komplikasi umum Syok, koagulopati difus dan gangguan fungsi pernafasan yang dapat terjadi dalam 24 jam pertama setelah trauma dan setelah beberapa hari kemudian akan terjadi gangguan metabolism berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum yang lain dapat berupa sindrom peremukan (crushing syndrome), emboli lemak, thrombosis vena dalam, infeksi tetanus atau gas ganggren. 2. Komplikasi lokal dini Komplikasi dalam 1 minggu pertama pasca trauma disebut sebagai komplikasi lokal dini dan bila lebih 1 minggu setelah trauma disebut sebagai komplikasi lokal lanjut. Macam komplikasi lokal dini dapat mengenai tulang, otot, jaringan lunak, sendi, pembuluh darah, saraf, organ visceral maupun timbulnya sindrom kompartemen atau nekrosis vaskuler. 3. Komplikasi lokal lanjut Komplikasi pada tulang, osteomieltis kronis, kekakuan sendi (joint stiffness), degenerasi sendi, batu saluran kemih maupun neurosis pasca trauma. Dalam penyembuhan fraktur dapat juga terjadi komplikasi karena teknik, perlengkapan atau keadaan yang kurang baik, sehingga mengakibatkan terjadinya infeksi, nonunion, delayed union, malunion, dan kekakuan sendi. FRAKTUR TERTUTUP Saat ini, penyakit muskuloskeletal,banyak dijumpai dipusat-pusat pelayanaan kesehatan diseluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan dekde ini (2000-2010) menjadi decade tulang dan persendian. Penyebab fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan lalu lintas ini selain menyebabkan fraktur, menurut WHO, juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian besar korbannya adalah remaja dan dewasa muda. DEFINISI Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. Patahan tadi mungkin tak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau perimpilan korteks; biasanya patahan itu lengkap dan fragmen tulang bergeser. Kalau kulit diatasnya utuh, disebuuut fraktur tertutup (sederhana); kalau kulit atau
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 148 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

salah satu dari rongga tubuh tertembus, keadaan ini disebut fraktur terbuka (compound), yang cenderung mengalami kontaminasi dan infeksi. Bagaimana Fraktur Terjadi Tulang bersifat relative rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat : 1) Peristiwa trauma tunggal, 2) Tekanan yang berulang-ulang, 3) Kelelahan abnormal pada tulang (fraktur patologik). 1. Fraktur akibat Peristiwa Trauma Sebagian besar fracture disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan,pemuntiran atau penarikan. Bila terkena trauma langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena; jaringan lunak pasti rusak. Pemukulan (pemukulan sementara) biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan kulit diatasnya; penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur kominutif disertai kerusakan jaringan yang luas. Bila terkena trauma tidak langsung tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu; kerusakan jaringan lunak ditempat fraktur mungkin tidak ada. Kekuatan dapat berupa : 1) pemuntiran, yang dapat menyebabkan fraktur spiral, 2) penekukan yang dapat menyebabkan fraktur melintang, 3) penekukan dan penekanan, yang menyebabkan fraktur yang sebagian melintang tetapi dapat disertai fragmen kupu-kupu berbentuk segitiga yang terpisah,4) kombinasi dari pemuntiran,penekukan dan penekanan, yang menyebabkan fraktur oblik pendek atau 5) penarikkan, dimana tendon atau ligament benar-benar menarik tulang sampai terpisah. Uraian diatas, berlaku untuk tulang panjang. Tulang berspon, misalnya vertebra atau kalkaneus, bila terkena kekuatan yang cukup besar, akan mengalami fraktur kominutif akibat penghancuran. Pada lutut dan siku, ekstensi yang terhalang dapat menyebabkan fraktur avulsi pada patella atau olekranon, dan dalam beberapa keadaan, kerja otot yang dihalangi dapat melepaskan perlekatan otot pada tulang. Fraktur kelelahan atau Tekanan Retak dapat terjadi pada tulang, akibat tekanan yang berulang-ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau metatarsal, terutama pada atlet, penari dan calon tentara yang berbaris dalam jarak jauh. Fraktur Patologik
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 149 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh ( misalnya pada penyakit paget). Jenis Fraktur Penampilan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alas an praktis fraktur dibagi atas beberapa kelompok yang jelas. Fraktur Lengkap Tulang benar-benar patah menjadi dua fragmen atau lebih. Kalau fraktur bersifat melintang, fragmen itu biasanya tetap ditempatnya setelah direduksi; kalau bersifat oblik atau spiral, fraktur cenderung bergeser dan berpindah lagi sekalipun tulang itu dibebat. Pada fraktur impaksi fragmen-fragmen terikat erat bersama-sama dan garis fraktur tidak jelas. Fraktur kominutif adalah fraktur dengan lebih dari dua fragmen karena ikatan sambungan pada permukaan fraktur tidak baik, lesi ini sering tidak stabil. Fraktur tak Lengkap Dalam keadaan ini tulang terpisah secara tak lengkap dan periosteum tetap menyatu. pada fraktur greenstick tulang bengkok atau melengkung (seperti ranting hijau yang dipatahkan), ditemukan pada anak-anak, yang tulangnya lebih elastic daripada tulang orang dewasa. Reduksi biasanya mudah dan penyembuhannya cepat. Fraktur kompresi terjadi bila tulang yang berspon mengkerut. Ini terjadi pada orang dewasa, terutama dalam badan vertebra, kalau tidak dioperasi seketika itu, reduksi tidak dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan dan tak dapat dihindari adanyan deformitas sisa. Bagaimana Fraktur Bergeser Setelah fraktur lengkap, fragmen-fragmen biasanya bergesar. Sebagian oleh kekuatan cedera itu, sebgaian oleh gaya berat dan sebagian oleh tarikan otot yang melekat padanya. Pergeseran biasanya disebut dengan istilah aposisi, penjajaran (aligment), rotasi dan berubahnyanpanjang. Aposisi (pergeseran) fragmen dapat bergeser kesamping, kebelakang, atau kedepan dalam hubugannya satu sama lain, sehungga permukaan fraktur kehilangan kontak. Fraktur biasanya akan menyatu sekalipun aposisi tidak sempurna, atau sekalipun ujung-ujung tulang terletak berdampingan dan permukaan fraktur tidak berkontak sama-sekali. Penjajaran (kemiringan) fragmen dapat miring atau menyudut dalam hubungannya satu sama lain. Malposisi, kalau belum dikoreksi, dapat mengakibatkan deformitas tungkai.

KEGAWATDARURATAN BEDAH - 150 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Rotasi (puntiran) salah satu fragmen dapat berotasi pada poros longitudinalnya; tulang itu tampak lurus tetapi tungkai akhirnya mengalami deformitas rotasional. Panjang. Fragmen dapat tertarik dan terpisah, atau dapat tumpang tindih, akibat spasme otot,menyebabkan perpendekan tulang. Patofisiologi Fraktur Fraktur / patah tulang terjadi karena benturan tubuh, jatuh / trauma. Baik itu karena trauma langsung, misalnya : tulang kaki terbentur bumper mobil, karena trauma tidak langsung , misalnya : seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa oleh karena trauma akibat tarikan otot misalnya tulang patella dan dekranon, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi. Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi pendarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan pembekakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoksia mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan syndrom kompartemen. Pengobatan dari fraktur tertutup bisa konservatif atau operatif. Theraphy konservatif meliputi proteksi saja dengan mitella atau bidai. Imobilisasi dengan pemasangan gips dan dengan traksi. Sedangkan operatif terdiri dari reposisi terbuka, fiksasi internal dan reposisi tertutup dengan kontrol radio logis diikuti fraksasi internal.
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 151 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Pada pemasangan bidai / gips / traksi maka dilakukan imobilisasi pada bagian yang patah, imobilisasi dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan otot dan densitas tulang agak cepat. Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi dari imobilisasi antara lain : adanya rasa tidak enak, iritasi kulit dan luka yang disebabkan oleh penekanan, hilangnya otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh diimobilisasi, mengakibatkan berkurangnya kemampuan perawatan diri. Pada reduksi terbuka dan fiksasi interna (OKIF) fragme-fragmen tulang dipertahankan dengan pen, sekrup, pelat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadi infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi. Pembedahan yang dilakukan pada tulang, otot dan sendi dapat mengakibatkan nyeri yang hebat. Diagnosis Fraktur Tanda dan Gejala Manifestasi Klinis Fraktur adalah nyeri, hilangnya sungsi deformitas, pemendekan ekstremitas krepitus, pembekakan lokal dan perubahan warna. 1. Nyeri tekan karena adanya kerusakan saraf dan pembuluh darah. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai frogmen tulang diimobilisasi spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang 2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap menjadi seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada faktur lengan atau tungkai menyebabkan defromitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot. 3. Bengkaknya karena tidak lancarnya aliran darah ke jaringan (edema). Pembemgkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera 4. Krepitus : Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya fragmen satu dengan lainnya (uji krepitus dapat kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 152 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

5. Deformitas : perubahan bentuk, pergerakan tulang jadi memendek karena kuatnya tarikan otot-otot ekstremitas yang menarik patahan tulang. Selain itu, pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm. 6. Gerakan abnormal, disebabkan karena bagian gerakan menjadi tidak normal disebabkan tidak tetapnya tulang karena fraktur. 7. Fungsiolaesa/paralysis karena rusaknya saraf serta pembuluh darah. 8. Memar karena perdarahan subkutan. 9. Spasme otot pada daerah luka atau fraktur terjadi kontraksi pada otototot involunter. 10. Gangguan sensasi (mati rasa) dapat terjadi karena kerusakan syaraf atau tertekan oleh cedera, perdarahan atau fragmen tulang. 11. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous 12. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan. 13. Shock hipovolemik karena kehilangan darah Pemeriksaan Penunjang 1. Foto Rontgen - Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung - Mengetahui tempat dan type fraktur - Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan opersi dan selama proses penyembuhan secara periodic 2. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 dapat digunakan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak. 3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler 4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menurun ( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple) Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma 5. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau cedera hati. Terapi pada Fraktur Tertutup Pertimbangan utama dalam terapi umum adalah : mengobati pasien, tidak hanya sebagian tubuhnya, urutannya adalah : 1) pertolongan pertama, 2) penganggkutan dan 3) terapi syok, perdarahan dan cedera yang berkaitan.
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 153 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Pada dasarnya terapi fraktur terdiri atas manipulasi untuk memperbaiki posisi fragmen, diikuti dengan pembebatan untuk mempertahannkannya bersama-sama sebelum fragmen itu menyatu; sementara itu, gerakan sendi dan fungsi itu harus dipertahankan. Penyembuhan fraktur dibantu oleh pembebanan fisiologis pada tulang, sehingga dianjurkan untuk melakukan aktivitas otot dan penahanan beban secara lebih awal. Tujuan ini mencakup dalam 3 keputusan yang sederhana : REDUKSI, MEMPERTAHANKAN, LAKUKAN LATIHAN. Masalahnya adalah bagaimana cara menahan fraktur secara memadai sambil tetap menggunakan tungkai secara secukupnya ; ini merupakan suatu pertentangan (tahan lawan gerakan) yang perlu dicari pemecahan secepat mungkin oleh ahli bedah (misalnya dengan fiksasi internal); tetapi juga ingin menghindari resiko yang tidak perlu-inilah pertentangan kedua (kecepatan lawan keamanan). Dua konflik ini menggambarkan empat faktor utama dalam penanganan fraktur. Terapi bukan saja ditentukan oleh jenis fraktur tetapi juga oleh keadaan jaringan lunak disekitarnya. Tscherne (1984) telah menyediakan klasifikasi cedera tertutup yang bermanfaat : tingkat 0 adalah fraktur biasa dengan dengan sedikit atau tanpa cederaq jaringan lunak tingkat 1 adalah fraktur dengan abrasi dangakal atau memar pada kulit dan jaringan subkutan tingkat 2 adalah fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan tingkat 3 adalah cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma kompartemen. Tingkat cedera yang lebih berat mungkin akan membutuhkan bentuk fiksasi mekanik tertentu. Reduksi Reduksi merupakan proses manipulasi pada tulang yang fraktur untuk memperbaiki kesejajaran dan mengurangi penekanan serta merenggangkan saraf dan pembuluh darah. Meskipun terapi umum dan resusitasi harus selalu didahulukan, tetapi tidak boleh ada keterlambatan dalam mennagani fraktur, pembengkakan jaringan jaringan lunak selama 12 jam pertama akan mempersulit reduksi. Tetapi, terdapat beberapa situasi yang tidak memerlukan reduksi : 1) bila pergeseran tidak banyak atau tidak ada, 2) bila pergeseran tidak berarti (misalnya pada fraktur klavikula, 3) bila reduksi tampaknya tidak akan berhasil 9misalnya pada fraktur kompresi pada vertebra).
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 154 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Penjajaran (aligment) fragmen lebih penting dari pada aposisi; asalkan diperoleh penjajaran yang normal, tumpang-tindihnya permukaan fraktur mungkin dapat diterima. Kekecualian adalah fraktur yang melibatkan permukaan sendi, ini harus direduksi sesempurna mungkin karena setiap ketidakberesan akan memudahkan timbulnya atritis degenerative. Terdapat dua metode reduksi : tertutup dan terbuka. 1. Reduksi Tertutup Merupakan metode untuk mensejajarkan fraktur atau meluruskan fraktur. Dengan anestesi yang tepat dan relaksasi otot, fraktur dapat direduksi dengan maneuver tiga tahap : 1) bagian distal tungkai ditarik ke garis tulang, 2) sementara fragmen-fragmen terlepas, fragmen itu direposis (dengan membalikkan arah kekuatan asal kalau ini dapat diperkirakan), dan 3) penjajaran disesuaikan ke setiap bidang. Cara ini paling efektif bila periosteum dan otot pada satu sisi fraktur tetap utuh:; pengikatan jaringan lunak mencegah over-reduksi dan menstabilkan fraktur setelah direduksi. Beberapa fraktur (misalnya pada batang femur) sulit direduksi dengan manipulasi karena tarikan otot yang sangat kuat dapat menimbulkan traksi yang lama. Umumnya, reduksi tertutup digunakan untuk semua fraktur dengan pergeseram minimal, sebagian besar pada fraktur anak-anak dan pada fraktur yang stabil setelah direduksi. 2. Reduksi Terbuka Dilakukan insisi dan fraktur diluruskan selama pembedahan dibawah pengawasan langsung. Reduksi bedah pada fraktur dengan penglihatan langsung diindikasikan : 1) bila reduksi tertutup gagal, baik karena kesukaran mengendalikan fragmen atau karena terdapat jaringan lunak diantara fragmenfragmen itu, 2) bila terdapat fragmen artikular besar yang perlu ditempatkan secara tepat; atau 3) bila terdapat fraktur traksi yang fragmennya terpisah. Tetapi, biasanya reduksi terbuka hanya merupakan langkah pertama untuk fiksasi internal. Mempertahankan Reduksi Tujuan untuk mencegah terjadinya pergeseran. Namun, pada pembatasan gerakan tertentu diperlukan untuk membantu penyembuhan jaringan lunak dan untuk memungkinkan gerakan bebas pada bagian yang tak terkena. Metode yang tersedia untuk mempertahankan reduksi adalah : 1) traksi terusmenerus, 2) pembebatan dengan gips, 3) pemakaian penahan fungsional, 4) fiksasi internal dan 5) fiksasi eksternal.
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 155 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Otot disekeliling fraktur, kalau utuh, bertindak sebagai suatu kompartemen cair; traksi atau kompresi menciptakan suatu efek hidrolik yang dapat membebat fraktur.Karena itu metode tertutup paling cocok untuk fraktur dengan jaringan lunak yang utuh, dan cenderung gagal jika metode itu digunakan sebagai metode utama untuk terapi fraktur disertai yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak yang hebat. Kontraindikasi lain terhadap metode non-operasi adalah fraktur yang sifatnya tak stabil, fraktur ganda dan fraktur pada pasien yang binggung dan tidak kopoperatif. Latihan Lebih tepatnya memulihkan fungsi bukan saja pada bagian yang mengalami cedera tetapi juga pada pasien secara keseluruhan. Tujuannya adalah mengurang edema, mempertahankan gerakan sendi, memulihkan tenaga otot dan memandu pasien kembali ke aktifitas normal. Fisiotherapi Alat untuk reimobilisasi mencakup exercise terapeutik, ROM aktif dan pasif. ROM pasif mencegah kontraktur pada sendi dan mempertahankan ROM normal pada sendi. ROM dapat dilakukan oleh therapist, perawat atau mesin CPM (continous pasive motion). ROM aktif untuk meningkatkan kekuatan otot. Proses Penyembuhan Tulang 1) Fase formasi hematom (sampai hari ke-5) Pada fase ini area fraktur akan mengalami kerusakan pada kanalis havers dan jaringan lunak, pada 24 jam pertama akan membentuk bekuan darah dan fibrin yang masuk ke area fraktur sehingga suplai darah ke area fraktur meningkat, kemudian akan membentuk hematoma sampai berkembang menjadi jaringan granulasi. 2) Fase proliferasi (hari ke-12) Akibat dari hematoma pada respon inflamasi fibioflast dan kapiler-kapiler baru tumbuh membentuk jaringan granulasi dan osteoblast berproliferasi membentuk fibrokartilago, kartilago hialin dan jaringan penunjang fibrosa, akan selanjutnya terbentuk fiber-fiber kartilago dan matriks tulang yang menghubungkan dua sisi fragmen tulang yang rusak sehingga terjadi osteogenesis dengan cepat. 3) Fase formasi kalius (6-10 hari, setelah cidera) Pada fase ini akan membentuk pra prakulius dimana jumlah prakulius akan membesar tetapi masih bersifat lemah, prakulius akan mencapai ukuran maksimal pada hari ke-14 sampai hari ke-21 setelah cedera
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 156 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

4)Fase formasi kalius (sampai dengan minggu ke-12) Pada fase ini prakalius mengalami pemadatan (ossificasi) sehingga terbentuk kalius-kalius eksterna, interna dan intermedialis selain itu osteoblast terus diproduksi untuk pembentukan kalius ossificasi ini berlangsung selama 2-3 minggu. Pada minggu ke-3 sampai ke-10 kalius akan menutupi tulang. 5)Fase konsolidasi (6-8 Bulan) dan remodelling (6-12 bulan) Pengkokohan atau persatuan tulang proporsional tulang ini akan menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi. Kalius tulang akan mengalami remodelling dimana osteoblast akan membentuk tulang baru, sementara osteoklast akan menyingkirkan bagian yang rusak sehingga akhirnya akan terbentuk tulang yang menyeruapai keadaan tulang yang aslinya. 5. Pembemgkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera. Komplikasi - Malunion : Fraktur sembuh dengan deformitas (angulasi, perpendekan/rotasi) - Delayed union : Fraktur sembuh dalam jangka waktu yang lebih dari normal. - Nonunion : Fraktur yang tidak menyambung yang juga disebut pseudoarthritis, nonunion yaitu terjadi karena penyambungan yang tidak tepat, tulang gagal bersambung kembali. TRAUMA ABDOMEN DEFINISI Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen. Dapat terjadi akibat trauma tumpul (blunt trauma) atau trauma tajam (penetrating trauma). Gejala dan tanda meliputi nyeri abdomen, kekakuan dan memar pada abdomen eksterna. Trauma abdomen rentan menyebabkan syok hemoragik atay infeksi yang kemudian menyebabkan sepsis. Diagnosis dapat ditegakkan menggunakan ultrasonografi, CT-scan dan peritoneal lavage. Tatalaksana sering memerlukan intervensi bedah. Pada pasien trauma, bagaimana menilai abdomen adalah salah satu bagian yang menarik. Penilaian sirkulasi sewaktu primary survey harus mencakup deteksi dini dari kemungkinan adanya perdarahan yang tersembunyi pada abdomen dan pelvis pada pasien trauma tumpul. Trauma
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 157 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

tajam pada dada diantara nipple dan perineum harus dianggap potensial menyebabkan cedera intraabdominal. Pada penilaian abdomen, prioritas maupun metode apa yang terbaik sangat ditentukan oleh mekanisme trauma, berat dan lokasi trauma maupun status hemodinamik penderita. Adanya trauma abdomen yang tidak terdeteksi tetap menjadi salah satu penyebab kematian yang sebenarnya dapat dicegah, selain trauma spinal. Sebaiknya jangan menganggap bahwa ruptur organ berongga maupun perdarahan dari organ padat merupakan hal yang padat untuk dikenali. Seringkali pemeriksaan kita dipengaruhi oleh adanya intoksikasi alkohol, penggunaan obat-obat tertentu, adanya trauma otak maupun medula spinalis yang menyertai, ataupun adanya trauma yang mengenai organ yang berdekatan seperti kosta, tulang belakang atau pelvis. Setiap pasien yang mengalami trauma tumpul pada dada baik karena langsung maupun deselerasi, ataupun trauma tajam, harus dianggap mungkin mengalami trauma viscera ataupun trauma vaskuler abdomen. ANATOMI Anatomi luar abdomen 1. Abdomen depan Walaupun abdomen sebagian dibatasi oleh thoraks bagian bawah, definisi abdomen depan ialah bidang yang superior dibatasi oleh garis intermammaria, di inferior dibatasi oleh ligamentum inguinale dan simfisis pubis serta oleh keda linea axillaris anterior. 2. Pinggang Ini merupakan di daerah terletak diantara linea axillaris anterior dan posterior, dari sela iga ke-6 di atas, ke bawah hingga krista iliaka. Di lokasi ini adanya dinding otot abdomen yang tebal, berlainan dengan dinding otot lebih tipis dibagian depan menjadi pelindung terutama pada luka tusuk. 3. Punggung Daerah ini berada di belakang dari linea axilaris posterior, dari ujung bawah skapula smapai krista iliaka. Seperti halnya daerah flank, disini otototot punggung dan otot paraspinal menjadi pelindung terhadap trauma tajam. Anatomi dalam dari abdomen Ada 3 regio yang berlainan disini, yaitu rongga peritoneal, ruang retroperitoneal, dan rongga pelvis. Rongga pelvis ini mengandung bagianbagian dari bagian peritoneal dan retroperitoneal. 1. Rongga peritoneal
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 158 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

2.

3.

Untuk simpelnya, kita bisa membagi rongga peritoneal menjadi 2 bagian, yaitu atas dan bawah. Rongga peritoneal atas dilindungi oleh bagian bawah dari dinding diafragma, hepar, lien, gaster, dan kolon transversum. Bagian ini juga disebut thorakoabdominal. Pada saat diafragma naik hingga sela iga ke-4 pada waktu ekspirasi penuh, setiap terjadi fraktur iga maupun luka tusuk tembus di bawah garis intermammaria bisa mencederai organ dalam abdomen. Rongga peritoneal bawah berisikan usus halus , bagian kolon ascendens dan kolon descendens, kolon sigmoid dan pada wanita, organ reproduksi internal. Rongga pelvis Rongga pelvis, yang dilindungi oleh tulang-tulang pelvis, sebenarnya merupakan bagian bawah dari rongga intraperitoneal, sekaligus bagian bawah dari rongga retroperitoneal. Terdapat di dalamnya rektum, vesika urinaria, pembuluh darah oliaka, dan pada wanita, organ reproduksi interna. Sebagaimana halnya bagian thoracoabdominal, pemeriksaan organ-organ pelvis terhalang oleh bagian-bagian tulang diatasnya. Rongga retroperitoneal Rongga yang potensial ini adalah rongga yang berda di belakang dinding peritonium yang melapisi abdomen, dan di dalamnya terdapat aorta abdominalis, vena kava inferior, sebagian besar dari dinding deodenum, pankreas, ginjal dan ureter sebagian posterior dari kolon ascendens dan kolon descendens, dan juga bagian dari rongga pelvis yang retroperitoneal. Cedera pada organ dalam retroperitoneal sulit dikenali karena area ini jauh dari jangkauan pemeriksaan fisis yang biasa, dan juga karena cedera disini sering tidak menimbulkan gejala peritonitis. Di samping itu, organ ini tidak termasuk dalam bagian yang diperiksa sampelnya pada diagnostic peritoneal lavage (DPL).

MEKANISME TRAUMA 1. Trauma tumpul Suatu pukulan langsung, misalnya terbentur pinggiran setir maupun bagian pintu mobil yang melesak ke dalam karena tebrakan, bisa menyebabkan trauma kompresi terhadap organ viscera. Kekuatan seperti ini dapat merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang mengalami distensi (misalnya ibu hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritonitis. Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ viscera terjadi saat suatu alat pengaman (misalnya seat belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak digunakan dengan benar.
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 159 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa mengalami trauma deselerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian yang terfiksir dengan bagian yang tidak bergerak, seperti suatu ruptur lien maupun ruptur hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamennya (organ yang terfiksir). Pemakaian air bag tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen. Pada pasien yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul, organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%) dan usus halus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma retroperitoneal. 2. Trauma tajam Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan tarnsfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitations, dan bisa pecah menjadi kerusakan lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%) dan kolon (15%). Luka tembak memiliki kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, besar energi kinetik maupun kemungkinan pantulan peluru oleh tulang organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), kolon (40%), hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%). PENILAIAN Pada pasien yang mengalami hipotensi, sasaran dokter mula-mula adalah menentukan ada tidaknya trauma abdomen, apakah ini yang menyebabkan hipotensi. Pasien dengan hemodinamik stabil tanpa gejala peritonitis bisa diperiksa lebih detail untuk menentukan apakah ada trauma yang spesifik, atau selama observasi timbul tanda peritonitis atau perdarahan. 1. Anamnesis Anamnesi harus mencakup kecepata kendaraan tabrakan, jenis tabrakan (depan dengan depan, tabrakan samping, terserempet, tabrakan dari belakang ataupun terguling), jenis pengaman yang digunakan, ada tidaknya air bag, posisi pasien dalam kendaraan. Keterangan ini dapat diperoleh langsung dari pasien, penumpang lain, polisi atau petugas emergensi. Informasi lain mencakup informasi tanda-tanda vital, luka-luka atau respons terhadap penangana pra rumah sakit. Bila pasien dengan trauma tajam, penting untuk ditanyakan waktu terjadinya trauma, jjenis senjata yang digunakan (pisau, pistol, senapan), jarak
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 160 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

dari pelaku, jumlah tikaman atau tembakan, dan jumlah perdarahan eksternal ditempat kejjadian. Bila mungkin, informasi tambahan harus didapat dari pasien sendiri, tentang hebatnya maupun lokasi dari setiap nyeri abdominalnya, dan apakah ada nyeri alih ke bahu. 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisis abdomen harus dilakukan dengan teliti dan sistematis : inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. 2.1. Inspeksi Pasien diperiksa tanpa pakaian. Abdomen bagian depan dan belakang, dada bagian bawah dan perineum diteliti apakah mengalami ekskoriasi atau memar. Diperiksa apakah ada laserasi, isi usus atau omentum yang keluar, dan status kehamilan. 2.2. Auskultasi Di ruang UGD yang ramai sulit untuk mendengarkan bising usus, yang penting adalah menentukan ada tidaknya bising usus tersebut. Darah bebas di retroperitoneal dapat menyebabkan ileus, yang mengakibatkan hilangnya bising usus. Cedera struktur lain yang berdekatan seperti iga, vertebra maupun pelvis juga dapat mengakibatkan ruptur meski tidak ada cedera intraabdomen. Oleh karena itu, hilangnya bising usus bukan merupakan diagnostik untuk trauma intraabdominal. 2.3. Perkusi Manuver ini dapat mengetahui nada timpani akibat dilatasi lambung di kuadran kiri atas atau suara redup pada keadaaan hemoperitonium. 2.4. Palpasi Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang terkadang-kadang dalam. Nyeri lepas tekan adalah sugestif untuk peritonitis, yang disebabkan oleh kontaminasi isi usus, maupun juga hematoperitonium pada tahap awal. 2.5. Evaluasi luka tusuk Sebagian besar kasus luka tembak ditangani dengan laparotomi eksplorarif karena insidensi cedera retroperitoneal dapat mencapai 95%. Luka tusukan pisau biasanya ditangani secara lebih selektif, akan tetapi 30% kasus mengalami cedera intraperitoneal. Semua kasus luka tembak tau luka tusuk dengan hemodinamik yang tidak stabil harus dilaparotomi segera. Bila ada kecurigaan bahwa luka tusuk yang terjadi siffatnya superficial dan tidak menembus lapisan otot dinding abdomen, biasanya dilakukan eksplorasi terlebih dulu untuk menilai
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 161 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

kedalamannya. Prosedur ini tidak dilakukan jika trauma yang sama terjadi di atas kosta karena kemungkinan pneumothoraks dan hematothoraks. 2.6. Menilai stabilitas pelvis Penekanan manual pada SIAS ataupu krista iliaka akan menimbulkan rasa nyeri maupun krepitasi yang menyebabkan dugaan pada adanya fraktur pelvis. Harus hati-hati karena manuver ini dapat menambah perdarahan yang terjadi. 2.7. Pemeriksaan penis, peritonium dan rektum Adanya darah pada meatus uretra menyebabkan dugaan kuat robeknya kulit uretra. Inspeksi pada skrotum dan perineum dilakukan untuk melihat adanya ekimosis ataupun hematoma. Tujuan pemeriksaan rektum pada pasien dengan trauma tumpul adalah untuk menentukan tonus sfingter, posisi prostat (prostat yang meninggi menyebabkan dugaan cedera uretra) dan menentukan ada tidaknya fraktur pelvis. Pada pasien dengan luka tusuk, pemeriksaan rektum bertujuan untuk melihat tons sfingter dan perdrahan akibat perforasi usus. 2.8. Pemeriksaan vagina Bisa terjadi robekan pada vagina karena fragmen tulang dan fraktur pelvis ataupun luka tususk. 2.9. Pemeriksaan glutea Regio glutealis memanjang dari krista iliaka sampai lipatan glutea. Luka tusuk di daerah ini biasanya berhubungan dengan cedera in traabdominal. 3. Intubasi Jika ABC telah teratasi, sering dilakukan pemeriksaan kateter gaster dan urin sebagai bagian dari resusitasi. 3.1. Gatrik tube Tujuan terapeutiknya adalah untuk mengatasi dilatasi lambung akut, dekompresi gaster, sebelum melakukan DPL, dan mengeluarkan isi lambung yang berarti mencegah aspirasi. Adanya darah pada NGT menunjukkan adanya cedera esofagus ataupun saluran GIT bagian atas bila nasofaring atau orofaringnya aman. 3.2. Kateter urin Bertujuan untuk mengatasi retensi urin, dekomprasi buli sebelum melakukan DPL dan untuk monitor urinary output sebagai salah satu indeks perfusi jaringan. Hematuria merupakan tanda cedera traktus urogenitalis. Perhatian : ketidakmampuan untuk kencing,
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 162 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

fraktur pelvis yang tidak stabil, darah pada meatus uretra, hematoma skrotum dan ekimosis perineum maupun prostat dengan letak tinggi menjadi petunjuk agar dilakukan USG retrograd agar dapat dipastikan tidak ada ruptur uretra sebelum pemasangan kareter. Bilamana pada primary survey maupun secondery survey kta ketahui adanya robek uretra, mungkin harus dilakukan pem asagan kateter suprapubik. 4. Pengambilan sampel darah dan urin Darah yang diambil sewaktu pemasangan jarum infus bergina untuk menentukan tipe darah atau crossmatch untuk hemodinamik yang tidak stabil. Bersamaan dengan itu, dilakukan pemeriksaan darah rutin, kalium, glukosa dan amilase (pada trauma tumpul) dan juga kadar alkohol darah. Urin dikirim untuk urinalisa. Pada wanita usia kehamilan, juga dilakuka tes kehamilan. 5. Pemeriksaan radiologi 5.1 X-Ray untuk screening trauma tumpul Rontgen untuk foto adalah foto servikal lateral, thoraks AP dan pelvik AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto 3 posisi (telentang, setengah tegak, dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen di retroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk dilakukannya laparotomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal. 5.2 X-Ray untuk screening trauma tajam Pasien luka tusuk dengan hemodinamik abnormal tidak memerlukan skreening X-Ray. Pada pasien luka tusuk dengan hemodinamik stabil, foto thoraks tegak berguna untuk menyingkirkan pneumothoraks atau hematothoraks, ataupun adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk maupun luka keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan adanya udara retroperitoneal pada foto rontgen abdomen tidur. 5.3 Pemeriksaan dengan kontras khusus Uretrografi Dilakukan sebelum pemasangan kateter untuk mendeteksi adanya ruptur uretra. Digunakan kateter no.#8-F dengan balon pompa 1,5-2 cc di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20cc kontras yang diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan projeksi oblik dengan sedikit tarikan pada penis. Sistografi
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 163 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Ruptur buli intra maupun ekstraperitoneal dapat diobservasi dengan baik dengan pemeriksaan sistografi. Dipasang kateter uretra dan kemudian dipasang 300 cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm di atas pasien dan kontras dibiarkan mengalir dalam buli atau sampai (1) aliran terhenti, (2) pasien secara spontan mengedan, (3) pasien merasa sakit. Diambil fot rontgen AP, oblik dan foto post-voiding. Cara lain adalah dengan pemeriksaan CT scan yang terutama bermanfaat untuk mendapat informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang pelvisnya. 5.4 CT Scan/ IVP Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami cedera system urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada fasilitas CT Scan, alternatifnya adaah pemeriksaan IVP. Disini dipakai dosis 200mg J/ kgbb kontras ginjal. Dilakukan injeksi bolus 100 cc larutan Iodine 60% (standard 1.5 cc/ kg, kalau dipakai 30% 3.00 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50cc yang disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit sesudah injeksi kita akan memperoleh visualisasi calyx pada x-ray. Bilamana 1 sisi non-visualisasi, kemungkinan adalah agenesis ginjal, thrombosis maupun tertarik putusnya a. renalis, ataupun parenchyma yang mengalami kerusakan massif. Nonvisualisasi keduanya memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan + kontras, ataupun arteriografi renal atau ekplorasi ginjal, yang mana yang diambil tergantung fasilitas yang dimiliki. 6. Gastrointestinal Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya retroperitoneal (duodenum, colon ascendens, colon descendens) tidakakan menyebabkan peritoratis dan bisa tidak terdeteksi dengan DPL. Bila ada kecurigaan pemeriksaan dengan CT Scan dengan kontras ataupun pemeriksaan roentgen untuk upper GI Tract atauapun GI Tract bagian bawah dengan kontras harus dilakukan. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PADA TRAUMA TUMPUL Bilamana ada bukti awal ataupun bukti yang jelas menunjukkan pasien harus segera ditransfer, pemeriksaan yang memerlukan banyak waktu tidak perlu dilakukan. Test seperti ini antar lain pemeriksaan roentgen foto dengan kontras untuk gastrointestinal maupun urologi; DPL maupun CT Scan. 1. Diagnostik Peritoneal Lavage
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 164 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya, dan dianggap 98% sensitive untuk perdarahan peritoneal. Harus dilaksanakan oleh team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan hemodinamik abnormal, terutama bila dijumpai: a. Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol, kecanduanobat-obatan b. Perubahan sensasi-trauma spinal c. Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis d. Pemeriksaan fisik diagnostic tidak jelas e. Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang agak lama-pembisaaan untuk cedera extrabdominal, pemeriksaan X-ray yang lama, misalnya angiografi f. Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan trauma usus 2. FAST (Focused Assessment Sonography in Trauma) Individu yang terlatih baik dapat menggunakan USG untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan peralatan khusus yang ditangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memiliki sensitifitas, spesifitas dan ketajaman untuk mendeteksi adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen. 3. Computed Tomography (CT) Merupakan prosedur diagnostic dimana kita perlu memindahkan pasien ketempat scanner, pemberiaan kontras intravena, dan pemeriksaan abdomen atas dan bawahserta pelvis. Diperlukan banyak waktu dan hanya dilakukan pada pasien dengan hemodinamik stabil dimana kita tidak perlu segera melakukan laparatomi. Dengan CT kita memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk mendiagnosa trauma retroperitoneal maupun pelvis yang sulit didagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL. Kontraindikasi relative menggunakan CT Scan antara lain penundaan yang terjadi sampai alat CT siap untuk dipergunakan, adanya pasien yang tidak kooperatif yang tidak mudah ditenangkan dengan obat, ataupun allergi terhadap bahan kontras yang dipakai bilamana bahan kontras nonionic tidak tersedia. Perhatian: CT Scan bisa luput memeriksa beberapa cedera gastrointestinal, diafragma ataupun
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 165 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

pankreas. Bila tidak ada cedera hepar ataupun lien. Adanya cairan bebas intraabdominal menimbulkan kecurigaan akan adanya cedera traktus gastrointestinal maupun mesenterium dan beberapa ahli beda trauma memakai ini sebagai indikasi untuk melakukan tindakan. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PADA TRAUMA TAJAM 1. Cedera thorax bagianbawah Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan cedera pada diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi ataupun laparoskopi ataupun pemeriksaan CT Scan (untuk cedera thoracoabdominal bagian kanan). Dengan pemeriksaan diataspun kita masih bisa menemukan adanya hernia diafragma sebelah kiri Karena luka tusuk thorakoabdominal sehingga luka seperti ini opsi lain dperlukann yaitu ekplorasi bedah. Untuk luka tembak thorakoabdominal, pilihan yang terbaik adalah laparotomi. 2. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan fisik serial dibandingkan dengan DPL pada luka tusuk abdomen depan 55-65% pasien luka tusuk tembus abdomen depan akan mengalami hipotensi, peritonitis ataupun eviscerasi omentum maupun usus halus. Untuk pasien seperti ini harus segera dilakukan laparotomi. Untuk pasien selebihnya, sesudah konfirmasi adanya luka tusuk tembus peritoneum sesudah melakukan eksplorasi local luka, setengahnya juga akan mengalami laparatomi. Laparatomi ini merupakan salah satu opsi yang relevan untuk semua pasien ini. Untuk pasien yang relative asimptomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan fisik diagnostik serial dalam 24 jam, DPL maupun laparoskopi diagnostik. Pemeriksaan fisik diagnostik serial membutuhkan sumber daya manusia yang besar tetapi denganketajaman 94%. Dengan DPL bisa diperoleh diagnosa lebih dini pada pasien yang asimptomaik dengan ketajaman sampai 90% bila menggunakan hitung jenis sel seperti pada trauma tumpul. Laparoskopi diagnostic bisa mengkonfirmasi ataupun menyingkirkan tembusnya peritoneum, tetapi kurang bermakna untuk mengenali cedera tertentu. 3. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan CT dengan double atau triple contrast padacedera flank maupunpunggung Ketebalan otot flank maupun punggung melindungi organ viscera dibawahnya pada luka tusuk maupun luka tembak. Disinipun walaupun
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 166 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

laparatomi merupakan opsi yang relevan pada pasien ini, untuk pasien yang asimptomatik adaopsi diagnostic antara lain pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast, ataupun DPL. Dengan pemeriksaan fisik diagnostik serial untuk pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian simptomatik kita peroleh ketajaman terutama dalam mendeteksi cedera retroperitoneal maupun intraperitoneal untuk luka belakang linea axillaris anterior. CT dengan contrast enhanced yang doube (i.v. dan oral) atau triple (i.v., oral, dan rectal) memakan banyak waktu dan memerlukan ketelitian untuk memeriksa bagian-bagian colon yang retroperitoneal pada sisi luka tusuk. Ketajamannya sebanding dengan pemeriksaan diagnostik serial, akan tetapi memungkinkan deteksi yang lebih dini untuk cedera pada pasien yang asimptomatik bila dilakukan dengan benar. Kadang-kadang dengan pemeriksaan fisik serial maupun CT kita bisa luput untuk mengetahui cedera retroperitoneal. Karena itu sesudah observasi di rumah sakit selama 24 jam, kalaupun pasien dipulangkan kita harus menganjurkan control segera. DPL bisa digunakan untuk screening awal pada pasien seperti ini. DPL (+) menunjukkan adanya indikasi laparotomi. INDIKASI LAPAROTOMI PADA ORANG DEWASA Untuk masing-masing pasien kita perlu mempertimbangkan indikasi maupun timing operasi. Indikasi berikut ini sering dipergunakan: 1. Trauma tumpul abdomen dengan hipotensi dan dugaan perdarahan intraabdominal secara klinis 2. Trauma tumpul abdomen dengan FAST (+) ataupun DPL (+) 3. Hipotensi pada luka tusuk tembus abdomen 4. Luka tembak menyeberang rongga peritoneum 5. Eviscerasio mentum atau usus 6. Perdarahan dari gaster, rectum, atau traktus urogenitalis pada luka tusuk 7. Adanya peritonitis 8. Udara bebas, udara retroperitoneal, atau rupture diafragma pada trauma tumpul 9. CT dengan kontras memperlihalkan rupture saluran cerna, cedera buli intraperitoneal, cedera pembuluh darah ginjal, ataupun kerusakan parenchyma viscera sesudah trauma tumpul atau tajam

KEGAWATDARURATAN BEDAH - 167 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

PRIMARY SURVEY DAN SECONDARY SURVEY Initial Assessment dan Pengelolaaan 1. Pengelolaan penderita terdiri dari : a. Primary Survey b. Resusitasi fungsi vital c. Secondary survey yang rinci d. Perawatan definitive 2. Karena hipoksia adalah masalah yang serius pada cedera toraks, intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya. 3. Cedera yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat dan sesederhana mungkin. 4. Kebanyakan kasus cedera toraks yang mengancam nyawa diterapi dengan mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang toraks atau dekompresi toraks dengan jarum. 5. Secondary survey membutuhkan riwayat cedera dan keaspadaan yang tinggi terhadap adanya cedera toraks yang bersifat khusus Primary Survey A. Airway Patensi airway dan ventilasi harus dinilai dengan mendengarkan gerakan udara pada hidung penderita, mulut, dan dada serta dengan onspeksi pada daerah orofaring untuk sumbatan airway oleh benda asing dan dengan mengobservasi retraksi otot-otot interkostal dansupraklavikular. Lakukan: Head tilt Chin lift Jaw thrust

Jika jalan nafas tidak paten, harus segera dibuat paten. Obstruksi sering disebabkan oleh lidah pasien, dan pengarahan rahang dengan mendorong mandibula ke depan sudah cukup membuka jalan nafas. Bantuan dengan slang oral atau nasal dapat juga membantu. Benda asing, termasuk gigi yang dislokasi, harus dikeluarkan. Cedera skeletal juga bisa mengakibatkan gangguan airway, walaupun jarang ditemukan. Sebagai contoh cedera pada dada bagian atas yang menyebabkan dislokasi kea rah posterior atau fraktur dislokasi dari sendi sternoklavikular. Fraktur seperti ini bisa menimbulkan sumbatan airway bagian atas, bila displacement dari fragmen proksimal fraktur atau komponen sendi distal menekan trakea. Hal ini juga depat menyebabkan cedera pembuluh darah pada ekstremitas yang homolateral akibat kompresi fragmen fraktur atau laserasi dari cabang utama arkus aorta.
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 168 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Cedera ini diketahui bila ada sumbatan airway atas (stridor), adanya tanda berupa perubahan dari kualitas suara (jika penderita masih dapat berbicara), dan cedera yang luas pada dasar leher dengan terabanya defek pada region sendi sternoklavikular. Penanganan pada cedera ini adalah menstabilkan posisi airway. Yang paling penting, reposisi tertutup dari cedera yang terjadi dengan cara mengekstensikan bahu, mengangkat klavikula dengan pointed clamp seperti towel clip dan melakukan reposisi fraktur secara manual. Yang terbaik adalah dengan intubasi endotrakeal (ET), walaupun hal ini kemungkinan sulit dilakukan jika ada tekanan yang cukup besar pada trakea. Intubasi dilakukan jika trauma vertebrae cervicales sudah disingkirkan secara klinis. Jika masih ada kemungkinan cedera tulang belakang dan intubasi harus dipasang, kepala harus distabilkan dan ditahan dalam possi netral oleh seorang asisten, lalu prosedur ini dapat dilakukan tanpa menggerakkan vertebraecervicales. B. Breathing Walaupun jalan nafas sudah bersih dan paten, pernafasan masih mungkin belum adekuat. Amati dada dan leher, harus dalam keadaan terbuka. Pergerakan penafasan dan kaulitas pernafasan dinilai dengan observasi, palapasi, dan auskultasi. Jika perlu, ventilasi dibantu dengan alat kantong berkatup yang dihubungkan dengan masker atau ETT. Gejala yang terpenting yang harus diperhatikan adalah hipoksia termasuk peningkatan frekuensi dan perubahan pada pola pernafasan, terutama pernafasan yang lambar memburuk. Sianosis adalah gejala hipoksia yang lanjut pada penderita trauma. Bila sianosis tidak ditemukan bukan merupakan indikasi bahwa oksigen jaringan adekuat atau airway adekuat. Jenis cedera toraks yang penting dan mempengaruhi breathing adalah keadaan-keadaan di bawah ini : a. Pneumotoraks . Dispnea dengan suara nafas yang meredup dan timpani pada satu sisi, mungkin dengan emfisema subkutis. b. Tension Pneumotoraks. Tanda-tanda yang disebut di atas ditambah dengan deviasi trakea, distensi vena leher, sianosis, dan syok. Tension pneumotoraks terjadi jika lebih banyak udara memasuki pleura pada saat inspirasi dibandingkan dengan yang keluar saat ekspirasi shingga akan tercipta efek bola berkatup. Tekana intrapleura terus meningkat sekalipun paru sudah
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 169 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

kolaps total. Akhirnya tekanan ini menjadi demikian tinggi sehingga mediastinum terdorong ke sisi yang berlawanan dan paru sebelah juga terkompresi. Keadaan ini dapat menimbulkan hipoksia yang sangat berat. Ketika tekanan intrapleura meninggi dan kedua paru tertekan, aliran darah yang melali sirkulasi sentral akan menurun secar signifikan yang mengakibatkan hipotensi arterial dan syok. Keadaan ini dapat mematikan dalam beberapa menit bila tidak segeradikoreksi. c. Pneumotoraks terbuka (sucking chest wound). Luka tembus yang nyata dengan aliran udara yang melewati defek di dinding dada. Walaupun ada trauma tembus dinding dada, udara yang masuk ke ruang pleura lebih banyak berasal dari paru-paru yang rusak daripada defek dinding dada. Namun jika defek didnding dada cukup leber, udara dapat masukdan keluar dari ruang pleura pada setiap pernafasan sehingga menyebabkan paru di dalamnya kolaps. Pneumotoraks terbuka depat cepat menjadi fatal, kecuali bila segera dilakukankoreksi.

d. Flail chest. Sebuah segmen dinding dada bergerak paradoksal, yakni ke dalam saat inspirasi dan keluar saat ekspirasi. Flail chest terjadi ketika segemen didning dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan didnding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multiple pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen mengembang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis. e. Hemotoraks massif. Terkumpulnya darah dan cairan di salah satu hemitoraks dapat menyebabkan gangguan usaha bernafas akibat penekanan paru-paru dan menghambat ventilasi yang adekuat. Perdarahan yang banyak dan cepat akan mempercepat timbulnya syok. f. Tamponade jantung. Bunyi nafas simetris, tapi ada hipotensi yang sulit diikuti dengan distensi vena leher. Tamponade jantung terjadi karena pengumpulan darah di kantong pericardium akibat trauma tumpul atau trauma tembus. C. Circulation
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 170 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas dan keteraturannya. Pada penderita hipovolemia, denyut nadi arteri radialis dan arteri dorsalis pedis mungkin tidak teraba oleh karena volume yang kecil. Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur dan sirkulasi perifer dinilai melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna dan temperatur. Vena leher harus dinilai apakah distensi atau tidak. Pada keadaan tension pneumotoraks atau cedera diafragma, distensi vena mungkin tidak tampak pada penderita. Perfusi harus dipertahankan dengan mengendalikan perdarahan, infus cairan dan darah melalui IV berkaliber besar sesuai indikasi, dekompresi tension pneumotoraks atau tamponade pericardium, atau torakotomi terbuka dengan kompresi aorta dan masase jantung internal. Cedera toraks yang akan mempengaruhi dan harus ditemukan pada pemeriksaan primary survey di C (Circulation) ini adalah : a. Hemotoraks massif. Sering terjadi pada trauma dada mayor dan sering disertai dengan pneumotoraks. Merupakan keadaan terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1500cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hemotoraks dapat disebabkan oleh cedera pembuluh darah dinding dada, pembuluh besar, atau organ-organ intratoraks, seperti paru, jantung, dan esophagus.

Hemotoraks besar dapat menimbulkan - Syok hipovolemik - Hipoksia akibat gangguan pada ekspansi paru. Ditemukan gejala : - Nyeri dada pleuritik - Dispnea Pada pemeriksaan fisik ditemukan - Bunyi pernafasan meredup - Pekak pada perkusi, kecuali bisal disertai dengan pneumotoraks yang signifikan Pada foto toraks, cairan terlihat di bawah basis paru pada foto tegak. Hemotoraks mungkin kurang tampak pada foto telentang dan hanya
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 171 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

gambarnya berkabut pada sis yang sakit. b. Tamponade jantung. Terjadi karena penggumpalan darah di kantong pericardium. Pengisisan diastolic dan volume sekuncup menurun. Pada orang yang menderita trauma dada, tekanan darah yang turun dan distensi vena leher (tanpa ada tanda-tanda tension pneumotoraks yang lain) merupakan indikasi kuat terjadi tamponade pericardium akut. Syok berat tidak sebanding dengan jumlah darah yang hilang. Temuan-temuan lain dapat mencakup nadi mengecil, bunyi jantung melemah, dan pulsus paradoksus (tekanan darah turun lebih dari 10mmHg pada inspirasi). Namun tanda-tanda ini mungkin tidak ada, dan jika tidak ada, bukan berarti tamponade jantung akut tidak dapat disingkirkan. SECONDARY SURVEY Secondary survey tidak dimulai bila primery survey belum selesai. Resusitasi sudah dilakukan dari evaluasi ABC direvaluasi. Yang dilakukan dalam secondary survey adalah anamnese yang lengkap termasuk biomekanik kecelakaan dan pemeriksaan fisik dari kepala sampai ke ujung kaki. a. Trauma tumpul Penyebab terbanyak dari trauma tumpul adalah kecelakaan lalu lintas. Disini kita mendapat memprediksikan cedera yang dierita korban KLL. Pada saat terbanyak terjadi kecelakaan dari depan maka pada: - Fase 1 : pengemudi bergeser ditempat duduknya dan lutut mengenai dasbord dan dapat terjadi fraktur patela, femur dan dislokasi sendi panggul. - Fase II : pengemudi dilempar ke atas depan dan kepala/dahi mengenai frame kaca dan dapat terjadi fraktur frontalis/cedera kepala dan vetebra sevikalis. - Fase III : pengemudi dilempar ke depan dan thoraks mengenai stir dan dapat terjadi fraktum sternum, iga traumatic wat lung pneumotoraks atau hematotoraks. - Fase IV : pengemudi dilempar ke depan dan muka mengenai kaca dan dapat terjadi segala macam cedera - Fase V : pengemudi dilempar lagi ke belakang dan leher mengenai sandaran kursi.bila tidak ada head rest maka akan terjadi hiperektensi sevikal lagi dan dapat terjadi fraktur. - Hal yang sama dapat terjadi pada penumpang disamping pengemudi (tanpa trauma thoraks )
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 172 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Pada penumpang di belakang pengemudi dapat terjadi proses yang sama terutama disini dapat terjadi fraktur servikal karena kepala kena sandaran kursi depan dan terjadi hiperektensi servikal - Pada tabrakan disamping dapat terjadi: contralateral neck strain flail chest lateral pneumothoraks ruptur hati / limpa fraktur pelvis /asetabulum - Tabrakan dari belakang dapat menyebabkan fraktur vetebra servikal karena hiperektensi jika kursi tidak ada head restnya - Kalau penumpang terlempar dari kendaraan akan terjadi cedera multiple - Pada pejalan kaki, pengendara sepeda motor, bila ditabrak mobil, bemper akan mengenai kaki dan dilempar ke atas mengenai frame kaca/ke samping dan dan dapat menderita: cedera kepala fraktur vertebra servikal cedera thorakal / abdominal fraktur tungkai bawah Khusus pada pengendara sepeda/sepedamotor dapat menderita Hendel Bar Injury, (jejak setang pada abdomen) dimana setang menjepit usus kiri vertebra b. Trauma tembus Dua faktor menentukan tipe cedera dan penanggulangannya : - daerah badan yang terkena - transfer of energy Pada luka tusuk, wanita mempunyai kebiasaan ke atas karena kebiasaan cara mengepal. Pada luka tembak perlu diperhatikan: - jarak tembak - perubahan kecepatan peluru dalm tubuh - berputar peluru - fragmentasi dan deformasi peluru - kecepatan / pelositas peluru - jenis jaringan (padat atau berongga) c. Luka bakar
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 173 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Pada luka bakar perlu diperhatikan cedera termal inhalasi asap cedera panas pada paru-paru inhalasi CO pengaruh zat kimia trauma tumpul dan fraktur seperti pada blast injury, lari dari api dan kejatuhan benda keras dari tembok.

d. Hipotermi Kehilangan panas badan dapat terjadi pada temperatur sedang seperti 1520oC, jika korban memakai pakaian yang basah, kurang bergerak dan vasodilatasi karena alkohol atau ganja. e. Zat berbahaya Zat kimia, toksin dan radiasi dapat menyebabkan kelainan pada kulit, jantung, paru-paru dan organ internal, keadaan ini berbahya bukan hanya untuk korban tetapi juga untuk penolong. Karena dokter/UGD harus mempunyai protokolnya atau dapat menghubungi pusat keracunan di RS Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik kita mencari cedera yang kita duga terjadi sesui dengan biomekanik. 1. Kepala Selain cedera sesuai dengan biomekanik pada pemeriksaan kepala harus diperhatikan mata : Besar pupil Pendarahan dalam pundus Dislokasi lensa Pendarahan pada konjungtiva Luka tembus Benda asing Lensa kontak (lepaskan sebelum terjadi cedera) Periksa visual dengan membaca snelling chart atau tulisan pada botol infus Yang sering dilupakan pada pemeriksaan kepala : Hyfema Cedera n. optikus Dislokasi lensa atau luka tembus mata
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 174 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Cedera kepala Laserasi bagian kepala belakang

2. Maksilofasial Cidera maksilofasial yang tidak ada gangguan pernafasan, ditanggulangi setelah pasien stabil. Dan penanggulangan dapat dilakukan pada hari ke 7 atau 10. Yang sering dilupakan pada pemeriksaan maksilafasial : impending gangguan jalan nafas perubahan jalan nafas cedera vertebra servikal pendarahan ( exsanguinating) fraktur midface laserasi duktus lakrimalis cedera n. fasialis 3. Leher Tiga hal yang penting yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan leher: Semua pasien dengan trauma tumpul yang menyebabkan cedera pada maksilo fasial harus dianggap menderita fraktur vertebra servikal dan diperlukan demikian. Tidak ada kelainan neurologis dan nyeri tidak menyingkirkan kemukinan adanya cedera vertebra servikal. Semua pasien kecelakaan yang memakai topi pengaman/Helm posisi kepala dan leher harus dipegang dari bawah dalam posisi netral waktu melepas topi pengaman nya.setelah lepas kepala tetap dipertahankan posisinya dengan memegang dari atas Setiap luka tusuk yang menembus platisma harus dilakukan exsplorasi di kamar operasi dan pemeriksaan oprasi termasuk arteriografi, bronkhoskopi, esophaguskopi, dan esophagografi Yang sering dilupakan pada pemeriksaan leher: Cedera vertebra servikalis Cedera esofagus Cedera trhkeo-laringeal Cedera arteri carotis 4. Thoraks Cedera pada dinding toraks (dapat diketahui dengan inspeksi dan palpasi ) seperti: sucking chest injury
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 175 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

flail chest fraktur iga kontusi dan hematoma dingding toraks

Cedera pada paru-paru seperti: pneumothoraks hemathotoraks dapat diketahi dengan perkusi dan auskultasi. Bunyi nafas yang lemah sudah merupakan indikasi yang cukup untuk melakukan punksi pleura pada pneumthoraks tamponade jantung dapat diketahui sengan adanya : denyut jantung terdengar jauh vena di leher melebar.tetapi seing tidak ada melebar bila terjadi hipovelemi narrow pulse pressure merupakan tanda tamponade jantung yang pasti Yang sering dilupakan pada pemeriksaan thoraks tension pneumtoraks luka toraks terbuka flall chest tamponade jantung ruptua aorta 5. Abdomen Setiap cedera abdomen harus ditanggulangi dengan agresiv karena merupakan cedera yang berbahaya. Pada pemeriksaan fisik abdomen, hasil dapat berbeda beberapa jam kemudian.karna itu kalau kita tidak mendapatkan hasil yang positif,harus dilakukan observasi. Setiap trauma tumpul abdomen dengan tanda tanda yang tidak jelas dan kesadaran yang menurun karena alkohol,ganja trauma kepala,dan trauma toraks,fraktur pelvis merupakan indikasi untuk melakukan lavase peritoneal karenapemeriksaan akan sukar dilakukan Yang sering dilupakan pada pemeriksaan fisik abdomen: Ruptur hati / limpa Organ berongga dan vertebra lumbalis Cedera pankreas Cedera pembuluh darah besar Cedera ginjal Fraktur ginjal
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 176 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

6. Perineum, rektal, vaginum Pada perineum dapat terjadi kontusio, hematoma, laserasi dan pendarahan uretra. Colok dubur merupakan pemeriksaan yang penting untuk menilai : Darah dalam usus Letak prostat yang tinggi Fraktur pelvis Integritas dinding rektum Tonus sfinkter Pada wanita pemeriksaan colok vagina dapat memberikan informasi danya darah dalam vagina dan laserasi vagina. Yang sering dilupakan pada pemeriksaan: cedera uretra cedera rektum cedera buli-buli cedera vagina 7. Muskulo skeletal Pemeriksaan pada tungkai dilakukan dengan: Insfeksi untuk melihat kontusi dan deformitas Palpasi dengan rotasi atau three point pressure untuk menyertai nyeri, krepitasi dengan gerakan abnormal Tahanan antero-posterior dengan telapak tangan pada kedua aterior superior lliaca spines dan simfisis pubis untuk menilai fraktur pubis Pasien harus di log rollll 98untuk menilai punggung dan meraba vertebra torakalis dan lumbalis Neuro vaskuler distal pada kedua sisi dinilai ada kelainan Yang sering terlupakan pada pemeriksaan muskuloskeletal : fraktur vertebra fraktur dengan gangguan vaskuler fraktur pelvis fraktur jari-jari 8. Neurologis Pada trauma harus dilakukan penilai mengenai motorik, sensorik, kesadaran dan pupil. Ini dapat dilakukan secara objektif dengan glascow coma scale setiap tanda-tanda paresis/paralisis menunjukan adanya cedera pada vertebra dan harus segera difiksasi dengan short/long board atau semi rigid cervikal collar pendarahan exstra dural maupun subdural, depresi
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 177 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

tengkorak dan cedera intrakranial lainnya harus dikonsultasikan dengan ahli bedah saraf, perubahan keadaan intrakranial berhubungan neurologis dapat merubah prioritas penanggulangan oksigenasi dan perfusi otak harus dinilai ulang. Dan bila tidak ada perubahan maka merupakan indikasi untuk tindakan bedah atau evakuasi. Yang sering dilupakan pada pemeriksaan neurologis: Tekanan intrakranial yang sangat meninggi Hematom subdural dan exstradural Depresi tengkorak Cedera vetebra Reevaluasi Pasien Pada pasien trauma harus direevaluasiterus menerus sehingga tidak ada simptom baru yang terlewatkan. Penanggulangan rasa sakit merupakan bagian dari penanggulangan trauma tetapi pemakaian opiat akan mengkaburkan tanda-tanda kelainan neurologis dan dapat mengakibatkan gangguan pernafasan. Karena itu pemakaiannya harus hati-hati monitor kesadaran dan produksi urine (0,5-1 cc/kg BB/jam pada orang dewasa dan 1cc /kg BB/ jam pada anak-anak) adalah yang terpenting, selain tanda-tanda vital lainnya, karena menunjukkan perfusi jaringan. Penanggulangan Definitif Penanggulangan selanjutnya dipakai konsep total care sehingga semua masalah dapat diprediksi dan ditanggulangi sebelum terjadi.

TRANSFUSI DARAH DEFINISI Penggantian darah atau tranfusi darah adalah suatu pemberian darah lengkap atau komponen darah seperti plasma, sel darah merah kemasan atau trombosit melalui IV. Meskipun tranfusi darah penting untuk mengembalikan homeostasis, tranfusi darah dapat membahayakan. Banyak komplikasi dapat ditimbulkan oleh terapi komponen darah, contohnya reaksi hemolitik akut yang kemungkinan mematikan, penularan penyakit infeksi dan reaksi demam. Kebanyakan reaksi tranfusi yang mengancam hidup diakibatkan oleh identifikasi pasien yang tidak benar atau pembuatan label darah atau komponen darah yang tidak akurat, menyebabkan pemberian darah yang inkompatibel. Pemantauan pasien yang menerima darah dan komponen darah
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 178 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

dan pemberian produk-produk ini adalah tanggung jawab keperawatan. Perawat bertanggung jawab untuk mengkaji sebelum dan selama tranfusi yang dilakukan. Apabila klien sudah terpasang selang IV, perawat harus mengkaji tempat insersi untuk melihat tanda infeksi atau infilrasi. TUJUAN 1. Meningkatkan volume sirkulasi darah setelah pembedahan, trauma atau perdarahan 2. Meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan kadar hemoglobin pada klien yang mengalami anemia berat. 3. Memberikan komponen seluler yang terpilih sebagai terapi pengganti (misal : faktor pembekuan plasma untuk membantu mengontrol perdarahan pada klien yang menderita hemofilia) INDIKASI 1. Pasien dengan kehilangan darah dalam jumlah besar (operasi besar, perdarahan postpartum, kecelakaan, luka bakar hebat, penyakit kekurangan kadar Hb atau penyakit kelainan darah). 2. Pasien dengan syok hemoragi MACAM-MACAM KOMPONEN DARAH 1. Darah lengkap (whole blood) Tranfusi darah lengkap hanya untuk mengatasi perdarahan akut dan masif, meningkatkan dan mempertahankan proses pembekuan. Darah lengkap diberikan dengan golongan ABO dan Rh yang diketahui. Infuskan selama 2 sampai 3 jam, maksimum 4 jam/unit. Dosis pada pediatrik rata-rata 20 ml/kg, diikuti dengan volume yang diperlukan untuk stabilisasi. Bisanya tersedia dalam volume 400-500 ml dengan masa hidup 21 hari. Hindari memberikan tranfusi saat klien tidak dapat menoleransi masalah sirkulasi. Hangatkan darah jika akan diberikan dalam jumlah besar. Indikasi: a) Penggantian volume pada pasien dengan syok hemoragi, trauma atau luka bakar b) Klien dengan perdarahan masif dan telah kehilangan lebih dari 25 persen dari volume darah total
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 179 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

2. Packed Red Blood cells (RBCs) Komponen ini mengandung sel darah merah, SDP, dan trombosit karena sebagian plasma telah dihilangkan (80 %). Tersedia volume 250 ml. Diberikan selama 2 sampai 4 jam, dengan golongan darah ABO dan Rh yang diketahui. Hindari menggunakan komponen ini untuk anemia yang mendapat terapi nutrisi dan obat. Masa hidup komponen ini 21 hari. Indikasi : a) Pasien dengan kadar Hb rendah b) Pasien anemia karena kehilangan darah saat pembedahan c) Pasien dengan massa sel darah merah rendah 3. White Blood Cells (WBC atau leukosit) Komponen ini terdiri dari darah lengkap dengan isi seperti RBCs, plasma dihilangkan 80 % , biasanya tersedia dalam volume 150 ml. Dalam pemberian perlu diketahui golongan darah ABO dan sistem Rh. Apabila diresepkan berikan dipenhidramin. Berikan antipiretik, karena komponen ini bisa menyebabkan demam dan dingin. Untuk pencegahan infeksi, berikan tranfusi dan disambung dengan antibiotik. Indikasi : Pasien sepsis yang tidak berespon dengan antibiotik (khususnya untuk pasien dengan kultur darah positif, demam persisten /38,3 C dan granulositopenia) 4. Leukosit poor RBCs Komponen ini sama dengan RBCs, tapi leukosit dihilangkan sampai 95 %, digunakan bila kelebihan plasma dan antibody tidak dibutuhkan. Komponen ini tersedia dalam volume 200 ml, waktu pemberian 1 sampai 4 jam. Indikasi: Pasien dengan penekanan system imun (imunokompromise) 5. Platelet/trombosit Komponen ini biasanya digunakan untuk mengobati kelainan perdarahan atau jumlah trombosit yang rendah. Volume bervariasi biasanya 35-50 ml/unit, untuk pemberian biasanya memerlukan beberapa kantong. Komponen ini diberikan secara cepat. Hindari pemberian trombosit jika klien sedang demam.Klien dengan riwayat reaksi tranfusi trombosit, berikan premedikasi antipiretik dan antihistamin. Shelf life umumnya 6 sampai 72 jam tergantung pada kebijakanpusat di mana trombosit tersebut didapatkan. Periksa hitung trombosit pada 1 dan 24 jam setelah pemberian.
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 180 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Indikasi: a) Pasien dengan trombositopenia (karena penurunan trombosit, peningkatan pemecahan trombosit b) Pasien dengan leukemia dan marrow aplasia 6. Fresh Frozen Plasma (FFP) Komponen ini digunakan untuk memperbaiki dan menjaga volume akibat kehilangan darah akut. Komponen ini mengandung semua faktor pembekuan darah (factor V, VIII, dan IX). Pemberian dilakukan secara cepat, pada pemberian FFP dalam jumlah besar diperlukan koreksi adanya hypokalsemia, karena asam sitrat dalam FFP mengikat kalsium. Shelf life 12 bulan jika dibekukan dan 6 jam jika sudah mencair. Perlu dilakukan pencocokan golongan darah ABO dan system Rh. Indikasi: a) Pencegahan perdarahan postoperasi dan syok b) Pasien dengan defisiensi faktor koagulasi yang tidak bisa ditentukan c) Klien dengan penyakit hati dan mengalami defisiensi faktor pembekuan. 7. Albumin 5 % dan albumin 25 % Komponen ini terdiri dari plasma protein, digunakan sebagai ekspander darah dan pengganti protein. Komponen ini dapat diberikan melalui piggybag. Volume yang diberikan bervariasi tergantung kebutuhan pasien.Hindarkan untuk mencampur albumin dengan protein hydrolysate dan larutan alkohol. Indikasi : a) Pasien yang mengalami syok karena luka bakar, trauma, pembedahan atau infeksi b) Terapi hyponatremi PERTIMBANGAN PEDIATRIK DAN GERONTOLOGI 1. Pediatrik a) Pada anak-anak, 50 ml darah pertama harus diinfuskan lebih dari 30 menit.Bila tidak ada reaksi terjadi, kecepatan aliran ditingkatkan dengan sesuai untuk menginfuskan sisa 275 ml lebih dari periode 2 jam b) Darah untuk bayi baru lahir dicocok silangkan dengan serum ibu karena mungkin mempunyai antibody lebih dari bayi tersebut dan memungkinkan identifikasi yang lebih mudah tentang inkompabilitas c) Dosis untuk anak-anak bervariasi menurut umur dan berat badan (hitung dosis dalam milliliter per kilogram berat badan)
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 181 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

d) Tranfusi sel darah merah memerlukan waktu infus yang ketat (untuk mempermudah deteksi dini reaksi hemolitik yang mungkin terjadi) e) Penggunaan penghangat darah mencegah hipotermi yang menimbulkan disritmia f) Gunakan pompa infus elektronik untuk memantau dan mengontrol akurasikecepatan tetesan g) Gunakan vena umbilikalis pada bayi baru lahir sebagai tempat akses vena h) Tranfusi pada bayi baru lahir hanya boleh dilakukan oleh perawat atau dokter yang kompeten dan berpengalaman (prosedur ini memerlukan ketrampilan tingkat tinggi) i) Tinjau kembali riwayat tranfusi anak 2. Gerontik a) Riwayat sebelumnya (anemia dengan gagal sumsum tulang, anemia yang berhubungan dengan keganasan, perdarahan gastrointestinal kronik, gagal ginjal kronik) b) Terdapat kemungkinan bahaya pada jantung, ginjal, dan sistem pernafasan(atur kecepatan aliran jika klien tidak mampu menoleransi aliran yang telahditetapkan), sehingga waktu tranfusi lebih lambat c) Defisit sensori dapat terjadi (konsultasikan dengan rekam medik atau anggota keluarga terhadap reaksi tranfusi darah sebelumnya) d) Premedikasi dapat menyebabkan mengantuk e) Integritas vena mungkin melemah, pastikan kepatenan kateter atau jarum sebelum melakukan tranfusi EFEK TRANFUSI 1. Alergi a. Penyebab: 1. Alergen di dalam darah yang didonorkan 2. Darah hipersensitif terhadap obat tertentu b. Gejala: Anaphilaksis (dingin, bengkak pada wajah, edema laring, pruritus, urtikaria, wheezing), demam, nausea dan vomit, dyspnea, nyeri dada, cardiac arrest, kolaps sirkulasi c. Intervensi: 1. Lambatkan atau hentikan tranfusi 2. Berikkan normal saline 3. Monitor vital sign dan lakukan RJP jika diperlukan 4. Berikan oksigenasi jika diperlukan
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 182 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

5. Monitor reaksi anafilaksis dan jika diindikasikan berikan epineprin dan kortikosteroid 6. Apabila diresepkan, sebelum pemberian tranfusi berikan diphenhidramin 2. Anafilaksis a. Penyebab: Pemberian protein IgA ke resipien penderita defisiensi IgA yang telah membentuk antibodi IgA b. Gejala: Tidak ada demam, syok, distress pernafasan (mengi, sianosis), mual, hipotensi, kram abdomen, terjadi dengan cepat setelah pemberian hanya beberapa milliliter darah atau plasma. c. Intervensi: 1. Hentikan tranfusi 2. Lanjutkan pemberian infus normal saline 3. Beritahu dokter dan bank darah 4. Ukur tanda vital tiap 15 menit 5. Berikan ephineprine jika diprogramkan 6. Lakukan resusitasi jantung paru (RJP) jika diperlukan d. Pencegahan: Tranfusikan sel darah merah (SDM) yang sudah diproses dengan memisahkan plasma dari SDM tersebut, gunakan darah dari donor yang menderita defesiensi IgA. 3. Sepsis a. Penyebab: Komponen darah yang terkontaminasi oleh bakteri atau endotoksin. b. Gejala: Menggigil, demam, muntah, diare, penurunan tekanan darah yang mencolok, syok c. Intervensi: 1. Hentikan tranfusi 2. Ambil kultur darah pasien 3. Pantau tanda vital setiap 15 menit 4. Berikan antibiotik, cairan IV, vasoreseptor dan steroid sesuai program d. Pencegahan: Jaga darah sejak dari donasi sampai pemberian 4. Urtikaria
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 183 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

a. Penyebab: Alergi terhadap produk yang dapat larut dalam plasma donor b. Gejala: Eritema lokal, gatal dan berbintik-bintik, biasanya tanpa demam c. Intervensi: 1. Hentikan tranfusi 2. Ukur vital sign tiap 15 menit 3. Berikan antihistamin sesuai program 4. Tranfusi bisa dimulai lagi jika demam dan gejala pulmonal tidak ada lagi d. Pencegahan: Berikan antihistamin sebelum dan selama pemberian tranfusi 5. Kelebihan sirkulasi a. Penyebab: Volume darah atau komponen darah yang berlebihan atau diberikan terlalu cepat b. Gejala: Dyspnea, dada seperti tertekan, batuk kering, gelisah, sakit kepala hebat, nadi, tekanan darah dan pernafasan meningkat, tekanan vena sentral dan vena jugularis meningkat c. Intervensi: 1. Tinggikan kepala klien 2. Monitor vital sign 3. Perlambat atau hentikan aliran tranfusi sesuai program 4. Berikan morfin, diuretik, dan oksigen sesuai program d. Pencegahan: Kecepatan pemberian darah atau komponen darah disesuaikan dengan kondisi klien, berikan komponen SDM bukan darah lengkap, apabila diprogramkan minimalkan pemberian normal saline yang dipergunakan untuk menjaga kepatenan IV 6. Hemolitik a. Penyebab: Antibody dalam plasma resipien bereaksi dengan antigen dalam SDM donor, resipien menjadi tersensitisasi terhadap antigen SDM asing yang bukan dalam system ABO b. Gejala: Cemas, nadi, pernafasan dan suhu meningkat, tekanan darah menurun, dyspnea, mual dan muntah, menggigil, hemoglobinemia, hemoglobinuria,
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 184 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

perdarahan abnormal, oliguria, nyeri punggung, syok, ikterus ringan. Hemolitik akut terjadi bila sedikitnya 10-15 ml darah yang tidak kompatibel telah diinfuskan, sedangkan reaksi hemolitik lambat dapat terjadi 2 hari ataulebih setelah tranfusi. c. Intervensi: 1. Monitor tekanan darah dan pantau adanya syok 2. Hentikan tranfusi 3. Lanjutkan infus normal saline 4. Pantau keluaran urine untuk melihat adanya oliguria 5. Ambil sample darah dan urine 6. Untuk hemolitik lambat, karena terjadi setelah tranfusi, pantau pemeriksaan darah untuk anemia yang berlanjut d. Pencegahan: Identifikasi klien dengan teliti saat sample darah diambil untuk ditetapkan golongannya dan saat darah diberikan untuk tranfusi (penyebab paling sering karena salah mengidentifikasi). 7. Demam Non-Hemolitik a. Penyebab: Antibody anti-HLA resipien bereaksi dengan antigen leukosit dan trombosit yang ditranfusikan. b. Gejala: Demam, flushing, menggigil, tidak ada hemolisis SDM, nyeri lumbal, malaise, sakit kepala c. Intervensi: 1. Hentikan tranfusi 2. Lanjutkan pemberian normal saline 3. Berikan antipiretik sesuai program 4. Pantau suhu tiap 4 jam d. Pencegahan: Gunakan darah yang mengandung sedikit leukosit (sudah difiltrasi) 8. Hiperkalemia a. Penyebab: Penyimpanan darah yang lama melepaskan kalium ke dalam plasma sel b. Gejala: Serangan dalam beberapa menit, EKG berubah, gelombang T meninggi dan QRS melebar, kelemahan ekstremitas, nyeri abdominal
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 185 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

9. Hipokalemia a. Penyebab: Berhubungan dengan alkalosis metabolik yang diindikasi oleh sitrat tetapi dapat dipengaruhi oleh alkalosis respiratorik b. Gejala: Serangan bertahap, EKG berubah, gelombang T mendatar, segmen ST depresi, poliuria, kelemahan otot, bising usus menurun 10. Hipotermia a. Penyebab: Pemberian komponen darah yang dingin dengan cepat atau bila darah dingin diberikan melalui kateter vena sentral. b. Gejala: Menggigil, hipotensi, aritmia jantung, henti jantung/cardiac arrest c. Intervensi: 1. Hentikan tranfusi 2. Hangatkan pasien dengan selimut 3. Ciptakan lingkungan yang hangat untuk pasien 4. Hangatkan darah sebelum ditranfusikan 5. Periksa EKG MANAJEMEN EFEK TRANFUSI Pedoman untuk mengatasi reaksi tranfusi yang dibuat oleh AmericanAssotiation of Blood Banks adalah: 1. Hentikan tranfusi untuk membatasi jumlah darah yang diinfuskan 2. Beritahu dokter 3. Pertahankan jalur IV tetap terbuka dengan infus normal saline 4. Periksa semua label, formulir, dan identifikasi pasien untuk menentukan apakah pasien menerima darah atau komponen darah yang benar 5. Segera laporkan reaksi tranfusi yang dicurigai pada petugas bank darah 6. Kirimkan sample darah yang diperlukan ke bank darah sesegera mungkin, bersama-sama dengan kantong darah yang telah dihentikan, set pemberian, larutan IV yang diberikan, dan semua formulir dan label yang berhubungan. 7. Kirim sampel lainnya (misal urin) 8. Lengkapi laporan institusi atau formulir reaksi tranfusi yang dicurigai 9. Peralatan yang harus disiapkan (obat-obatan seperti: aminophilin, difenhidramin,
KEGAWATDARURATAN BEDAH - 186 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

hidroklorida, dopamine, epinefrin, heparin, hidrokortison, furosemid, asetaminofen, aspirin; set oksigenasi; kit kateter foley; botol kultur darah; cairan IV; selang IV) H. Hal-hal yang perlu diperhatikan 1. Kondisi pasien sebelum ditranfusi 2. Kecocokan darah yang akan dimasukkan 3. Label darah yang akan dimasukkan 4. Golongan darah klien 5. Periksa warna darah (terjadi gumpalan atau tidak) 6. Homogenitas (darah bercampur semua atau tidak) I. Persiapan Pasien 1. Jelaskan prosedur dan tujuan tranfusi yang akan dilakukan 2. Jelaskan kemungkinan reaksi tranfusi darah yang keungkinan terjadi dan pentingnya melaporkan reaksi dengan cepat kepada perawat atau dokter 3. Jelaskan kemungkinan reaksi lambat yang mungkin terjadi, anjurkan untuk segera melapor apabila reaksi terjadi 4. Apabila klien sudah dipasang infus, cek apakah set infusnya bisa digunakan untuk pemberian tranfusi 5. Apabila klien belum dipasang infus, lakukan pemasangan dan berikan normal saline terlebih dahulu 6. Pastikan golongan darah pasien sudah teridentifikasi

KEGAWATDARURATAN BEDAH - 187 - BEDAH ORTOPEDI & TRAUMATOLOGI

Anda mungkin juga menyukai