Anda di halaman 1dari 62

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

TUNAS-TUNAS RISET KESEHATAN Diterbitkan oleh: WAHANA RISET KESEHATAN Penanggungjawab: Ketua Wahana Riset Kesehatan (Koekoeh Hardjito, S.Kep, Ns, M.Kes) Ketua Dewan Redaksi: Heru SWN, S.Kep, Ns, M.M.Kes Anggota Dewan Redaksi: Koekoeh Hardjito, S.Kep, Ns, M.Kes Sunarto, S.Kep, Ns, M.M.Kes Subagyo, S.Pd, M.M.Kes Tutiek Herlina, S.K.M, M.M.Kes Sekretariat: Winarni, A.Md.Keb Nunik Astutik, S.S.T Rahma Nuril Fahmi Rafif Naufi Waskitha Hapsari Alamat: Jl. Raya Danyang-Sukorejo RT 05 RW 01 Desa Serangan Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo Telp. 081335251726, 081335718040 E-mail: 2trik2trik@gmail.com Website: www.2trik.webs.com

2-TRIK:

PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL Kami menerima artikel asli berupa hasil penelitian atau tinjauan hasil penelitian kesehatan, yang belum pernah dipublikasikan, dilengkapi dengan: 1) surat ijin atau halaman pengesahan, 2) jika peneliti lebih dari 1 orang, harus ada kesepakatan urutan peneliti yang ditandatangani oleh seluruh peneliti. Dewan Redaksi berwenang untuk menerima atau menolak artikel yang masuk, dan seluruh artikel tidak akan dikembalikan kepada pengirim. Dewan Redaksi juga berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengubah makna yang terkandung di dalamnya. Artikel berupa karya mahasiswa (karya tulis ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, dsb.) harus menampilkan mahasiswa sebagai peneliti. Persyaratan artikel adalah sebagai berikut: 1. Diketik dengan huruf Eras Light ITC berukuran 9, dalam 2 kolom, pada kertas HVS A4 dengan margin kiri, kanan, atas, dan bawah masing-masing 3,5 cm. 2. Jumlah maksimum adalah 10 halaman, berbentuk softcopy (flashdisk, CD, DVD atau e-mail). Isi artikel harus memenuhi sistematika sebagai berikut: 1. Judul ditulis dengan ringkas dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris tidak lebih dari 14 kata, menggunakan huruf kapital dan dicetak tebal pada bagian tengah. 2. Nama lengkap penulis tanpa gelar ditulis di bawah judul, dicetak tebal pada bagian tengah. Di bawah nama ditulis institusi asal penulis. 3. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Judul abstrak menggunakan huruf kapital di tengah dan isi abstrak dicetak rata kiri dan kanan dengan awal paragraf masuk 1 cm. Di bawah isi abstrak harus ditambahkan kata kunci. 4. Pendahuluan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan dan paragraf masuk 1 cm. 5. Metode Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Isi bagian ini disesuaikan dengan bahan dan metode penelitian yang diterapkan. 6. Hasil Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Kalau perlu, bagian ini dapat dilengkapi dengan tabel maupun gambar (foto, diagram, gambar ilustrasi dan bentuk sajian lainnya). Judul tabel berada di atas tabel dengan posisi di tengah, sedangkan judul gambar berada di bawah gambar dengan posisi di tengah. 7. Pembahasan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Pada bagian ini, hasil penelitian ini dibahas berdasarkan referensi dan hasil penelitian lain yang relevan . 8. Simpulan dan Saran ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. 9. Daftar Pustaka ditulis dalam Bahasa Indonesia, bentuk paragraf menggantung (baris kedua dan seterusnya masuk 1 cm) rata kanan dan kiri. Daftar Pustaka menggunakan Sistem Harvard. Redaksi

Penerbitan perdana: Desember 2011 Diterbitkan setiap tiga bulan Harga per-eksemplar Rp. 25.000,00

Volume III Nomor 1

Halaman 1 - 60

Februari 2013

ISSN: 2089-4686

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

EDITORIAL
Selamat bertemu kembali para pembaca, kami segenap Dewan Redaksi 2-TRIK, pada awal tahun 2013 ini telah sepakat untuk merubah penampilan fisik jurnal ini. Perubahan ini dalam rangka memenuhi usulan-usulan dari para sejawat peneliti kesehatan agar menghadirkan fisik jurnal yang lebih mengarah kepada standar fisik jurnal. Selain perubahan fisik, juga ada perubahan-perubahan kecil menyangkut layout, jenis dan ukuran huruf dan sebagainya. Untuk itu, diharapkan para pembaca mempelajari kembali pedoman penulisan artikel yang baru, agar tetap lancar dalam proses penyerahan naskah untuk dipublikasikan pada nomor-nomor berikutnya. Penerbitan kali ini menghadirkan sepuluh judul penelitian kesehatan buah karya para sejawat peneliti dari Prodi Kebidanan Pematangsiantar Poltekkes Kemenkes Medan, Prodi Kesehatan Lingkungan Magetan Poltekkes Kemenkes Surabaya, Prodi Kebidanan Sutomo dan Prodi Kebidanan Magetan Poltekkes Kemenkes Surabaya, serta Program Studi Pendidikan Bidan Universitas Airlangga Surabaya. Silakan mengunduh isi jurnal ini secara penuh di http://2trik.webs.com atau dalam bentuk ringkas dapat dilihat di Portal Garuda Dikti Kemendiknas, serta portal PDII LIPI. Terimakasih. Redaksi

DAFTAR JUDUL
1 HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI DAN SIKAP BIDAN DENGAN PEMAKAIAN ALAT 1 - 7 PERLINDUNGAN DIRI SAAT MENOLONG PERSALINAN NORMAL Astuti Setiyani, Maria Retno Ambarwati, Nana Usnawati PERBEDAAN PENGETAHUAN REMAJA SEBELUM DAN SESUDAH DILAKUKAN PROMOSI 8 - 12 KESEHATAN TENTANG HIV/AIDS PADA SISWA KELAS VIII Nurwening Tyas Wisnu, Anita Herawati, Maria Retno Ambarwati PENGARUH SOSIODEMOGRAFI DAN BUDAYA TERHADAP KEIKUTSERTAAN WANITA 13 - 17 PUS DALAM PROGRAM KB DI KECAMATAN SIANTAR TIMUR Renny Sinaga ANALISIS KEIKUTSERTAAN SKRINING KANKER SERVIKS DENGAN METODE INSPEKSI 18 22 VISUAL MENGGUNAKAN ASAM ASETAT Sri Hernawati Sirait PENGARUH ARANG AKTIF TONGKOL JAGUNG SEBAGAI ADSORBEN PHENOL PADA 23 - 27 LIMBAH CAIR RUMAH SAKIT Susanti Oktavia Ningrum, Sunaryo, Hery Koesmantoro KETIMPANGAN STRATEGI DALAM MENGATASI RESISTENSI TERHADAP IMPLEMENTASI 28 - 34 SISTEM INFORMASI KESEHATAN Heru Santoso Wahito Nugroho HUBUNGAN ANTARA ASFIKSIA DENGAN KEJADIAN IKTERUS NEONATORUM DI RSUD 35 - 40 dr.SAYIDIMAN MAGETAN

Sukardi, Ninin retno anggani, Sulikah

ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PROLAPS UTERI PADA 41 - 48 PASIEN KUNJUNGAN BARU DI POLI KANDUNGAN RSUD DR SOETOMO SURABAYA K. Kasiati, Gatut Hardianto, Dian Lestari ANALISIS FAKTOR IBU, GIZI, KESEHATAN TERHADAP SEKSIO SESAREA (Di RSUD dr. 49 - 53 Sayidiman Magetan, Januari 2012-Maret 2012) Tika Kencana, Budi Joko Santosa, Hery Sumasto KONTROVERSI DAN SOLUSI SEPUTAR PENGARUH RADIASI IONIK DAN NON IONIK 54 - 60 TERHADAP KESEHATAN Heru Santoso Wahito Nugroho

10

ii

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI DAN SIKAP BIDAN DENGAN PEMAKAIAN ALAT PERLINDUNGAN DIRI SAAT MENOLONG PERSALINAN NORMAL Astuti Setiyani (Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Magetan) Maria Retno Ambarwati (Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Magetan) Nana Usnawati (Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Magetan) ABSTRAK Latar belakang: Alat perlindungan diri (APD) sangat penting digunakan untuk melindungi bidan dan penolong persalinan karena berisiko tertular HIV AIDS maupun HCV jika mereka menangani persalinan ibu yang terinfeksi. Akan tetapi, berdasarkan hasil survey pendahuluan terhadap 30 bidan di Kabupaten Magetan menunjukkan 86,67% perilaku bidan belum menggunakan alat perlindungan diri secara lengkap. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara motivasi dan sikap bidan dalam pemakaian APD. Metode: Penelitian ini adalahsurvey analitik yang bersifat cross sectional dengan populasi seluruh jumlah bidan lulusan D3 di Kecamatan Plaosan, Parang, Panekan dan Bendo sejumlah 38 bidan. Sample diambil dengan teknik simple random sampling sejumlah 35 bidan. Variabel independent adalah motivasi dan sikap bidan dalam pemakaian APD, variabel dependent adalah perilaku bidan dalam pemakaian APD. Pengumpulan data untuk menilai motivasi dan sikap dengan kuesioner, untuk menilai perilaku dengan observasi. Untuk menganalisa adanya hubungan digunakan uji statistik Kendall Tau dengan taraf nyata 0,05. Hasil: Dalam pemakian APD, 12 bidan (34%) mempunyai motivasi tinggi, 12 bidan (34%) mempunyai sikap baik, 18 bidan (51%) berperilaku baik. Hasil analisis menggunakan Kendall Tau diperoleh hasil nilai probabilitas hubungan antara motivasi dengan perilaku bidan 0,305, nilai probabilitas hubungan antara sikap dengan perilaku bidan 0,017, nilai probabilitas hubungan antara motivasi dengan sikap bidan 0,009. Simpulan: Tidak ada hubungan antara motivasi dengan perilaku bidan dan ada hubungan antara sikap dengan motivasi bidan dalam pemakaian APD saat menolong persalinan, ada hubungan antara sikap dengan perilaku bidan dalam pemakaian APD saat menolong persalinan. Kata kunci: motivasi, sikap, perilaku, APD

PENDAHULUAN Petugas pelayanan kesehatan setiap hari diharuskan untuk bekerja dengan aman dalam lingkungan yang berbahaya. Risiko pekerjaan yang umum dihadapi oleh petugas kesehatan adalah kontak dengan darah dan cairan tubuh sewaktu merawat pasien secara rutin. Pemaparan patogen saat merawat pasien meningkatkan risiko terhadap infeksi yang serius dan kemungkinan dapat berakibat kematian. Banyak petugas kesehatan tidak merasakan diri mereka dalam resiko, padahal kesadaran terhadap keseriusan AIDS dan hepatitis C serta bagaimana mereka dapat tertular di tempat kerja seharusnya meningkat. Apalagi mereka yang berisiko, tetapi tidak teratur menggunakan perlengkapan perlindungan diri (PPD) seperti sarung tangan dan praktik lain (cuci tangan). Hal ini sebagian disebabkan oleh karena keyakinan yang salah bahwa AIDS terbatas hanya untuk kelompok risiko tertentu seperti pekerja seks, pengguna obat terlarang intravena atau homoseks (Saifuddin, 2004: 5.1-5.2). Pelindung pembatas sekarang umumnya diacu sebagai perlengkapan perlindungan diri (PPD) yang telah digunakan bertahun-tahun lamanya untuk melindungi pasien dari mikroorganisme yang terdapat pada petugas yang bekerja pada suatu tempat perawatan kesehatan. Akhir-akhir ini dengan timbulnya AIDS, Hepatitis C Virus (HCV) dan munculnya kembali tuberkulosis di banyak negara, penggunaan PPD menjadi sangat penting untuk melindungi petugas (Saifuddin, 2004: 5.15.2). Termasuk bidan dan penolong persalinan juga berisiko tertular HIV AIDS maupun HCV jika mereka menangani persalinan ibu yang terinfeksi virus yang menggerogoti kekebalan tubuh tersebut (www.vhimedia.com). Berdasarkan hasil survey pendahuluan terhadap 30 bidan di Kabupaten Magetan menunjukkan 100% bidan berpendapat bahwa memakai alat pelindungan diri penting saat menolong persalinan, tetapi 86,67% bidan belum menggunakan alat perlindungan diri secara lengkap. Padahal jika bidan sudah menyadari pentingnya pemakaian alat perlindungan diri, diharapkan semua bidan mau memakai alat perlindungan diri secara lengkap. Dalam hal ini, menunjukkan bahwa perilaku bidan dalam pemakaian alat perlindungan masih rendah. Menurut Notoatmodjo (2003: 124) faktorfaktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi dua yakni faktor intern dan ekstern. Faktor intern mencakup: pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi, sikap dan sebagainya yang berfungsi mengolah rangsangan dari luar. Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar baik fisik maupun nonfisik seperti: iklim, manusia,

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

sosial ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Dalam pemakaian APD perilaku bidan dipengaruhi beberapa faktor antara lain: pengetahuan bidan tentang APD, persepsi bidan tentang APD, motivasi dan sikap bidan dalam pemakaian APD serta faktor lingkungan seperti kebijakan pimpinan, sarana dan prasarana. Perilaku yang kurang baik dalam pemakaian alat perlindungan diri dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja yang tidak terduga dan tidak diharapkan. Biasanya kecelakan menyebabkan kerugian material dan penderitaan dari yang paling ringan sampai pada yang paling berat, contohnya kasus petugas kesehatan yang terinfeksi HIV/AIDS setelah merawat pasien yang terinfeksi (www.ekologi.litbang.depkes.go.id). Bidan dan penolong persalinan berisiko tertular Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Hepatitis B Virus (HBV) melalui percikan darah atau cairan ketuban pada saat menolong persalinan. Contoh lain, bidan dapat tertular TBC jika ibu yang bersalin ternyata menderita TBC dan bidan kurang waspada dengan tidak memakai masker saat menolong persalinan. Mengingat dalam melaksanakan tugasnya bidan sangat berisiko dalam penularan infeksi dan penyakit, maka diperlukan adanya perilaku positif bidan dalam pemakaian alat perlindungan diri saat menolong persalinan. Dua faktor presdiposisi pembentukan perilaku adalah motivasi dan sikap. Perilaku yang positif akan terjadi bila bidan mempunyai motivasi dan sikap yang positif. Untuk menimbulkan motivasi bidan dalam pemakaian alat perlindungan diri sangat dipengaruhi banyak faktor antara lain adanya kesadaran dari bidan itu sendiri bahwa keselamatan kerja merupakan suatu kebutuhan, adanya kebijakan/peraturan dari institusi dalam pemakaian alat perlindungan diri, dan sebagainya. Apabila bidan mempunyai motivasi dalam hal ini adalah ingin melindungi diri dari kecelakaan kerja atau menghindari dari penularan infeksi dan penyakit, diharapakan akan berlanjut membentuk sikap yang positif yang pada akhirnya juga dapat diaplikasikan dalam reaksi terbuka atau perilaku khususnya dalam pemakaian alat perlindungan diri. Pada contoh kasus HIV/AIDS sulit diketahui apakah pasien terinfeksi atau tidak. Sehingga bagi petugas kesehatan perlu melaksanakan universal precaution atau kewaspadaan universal yaitu sebuah pedoman untuk mencegah kemungkinan menularnya suatu penyakit dari pasien ke petugas kesehatan dan sebaliknya (www.griyapmtct.blogspot.co.id). Kewaspadaan universal harus diterapkan secara penuh dalam berhubungan dengan semua pasien, sehingga penggunaan alat perlindungan diri sangat penting untuk dilaksanakan. Sebagai contoh, selalu memakai sarung tangan jika akan melakukan kontak

dengan cairan pasien untuk menghindari dari penularan. Selain itu, hendaknya bidan melakukan asuhan persalinan normal. Asuhan persalinan normal merupakan upaya bidan dalam menolong persalinan secara sehat dan normal yang dilakukan dengan menggunakan peralatan yang steril dan adanya penatalaksanaan komplikasi. Bidan juga wajib menggunakan Alat Perlindungan Diri (APD) yang diperuntukkan untuk menghindari dari risiko keselamatan dan kesehatan kerja dalam memberikan asuhan persalinan normal (www.library.usu.co.id). Untuk membantu mewujudkan agar hal tersebut dapat dilaksanakan, upaya yang dilakukan sebagian bidan antara lain dengan memasang posterposter tentang pelaksanaan APN, pencegahan infeksi termasuk didalamnya tentang pemakaian alat perlindungan diri pada tempat prakteknya. Perilaku tidak berdiri sendiri, motivasi dan sikap adalah dua faktor pembentukan perilaku. Dalam perilaku manusia selalu ada hal yang mendorongnya dan tertuju pada suatu tujuan yang ingin dicapainya. Tujuan dan faktor pendorong ini mungkin disadari, tetapi mungkin juga bersifat abstrak yang tidak disadari oleh individu. Kekuatan mendorong inilah yang disebut motivasi. Faktor lain yang mempengaruhi adalah sikap. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi adalah merupakan presdiposisi tindakan atau perilaku. Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003: 130-131). Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluatif. Respon ini hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulasi yang menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif, menyenangkantidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap. Dengan demikian diharapkan motivasi dan sikap akhirnya dapat dinyatakan dalam bentuk reaksi perilaku yang konsisten atau sesuai apabila individu dihadapkan pada motivasi dan stimulus sikap (Azwar, 1995: 15). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survei analitik. Penelitian ini menganalisis hubungan antara motivasi dan sikap dengan perilaku bidan dalam pemakaian alat perlindungan diri saat menolong persalinan normal. Rancangan penelitian yang digunakan

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

adalah cross sectional. Penelitian ini mengobservasi secara bersamaan mengenai motivasi, sikap dan perilaku bidan dalam pemakaian alat perlindungan diri saat menolong persalinan. Penelitian dilaksanakan di Puskesmas dan Polindes di wilayah Kecamatan Plaosan, Parang, Panekan, dan Bendo karena memiliki jumlah bidan lulusan D3 di 4 wilayah kecamatan terbanyak. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bidan desa/Puskesmas lulusan D3 di wilayah Kecamatan Plaosan, Parang, Panekan, dan Bendo sejumlah 40 bidan dengan sampel sejumlah 37 bidan. Teknik sampling yang digunakan adalah Simple Random Sampling. Teknik ini digunakan bila populasi mempunyai anggota/unsur yang tidak homogen atau berstrata secara proporsional (Sugiyono, 2007: 64). Dalam penelitian ini, penelitian dilakukan di 4 kecamatan yaitu Kecamatan Plaosan, Parang, Panekan, dan Bendo. Peneliti menghitung jumlah populasi seluruh bidan lulusan D3 di 4 Kecamatan tersebut, kemudian dicari jumlah sampel penelitiannya. Kemudian jumlah bidan lulusan D3 pada masing-masing kecamatan dibagi jumlah populasi dikalikan dengan jumlah sampel yang diinginkan maka akan ketemu proporsi sampel yang diambil untuk tiap kecamatan. Pengambilan sampel berikutnya dilakukan dengan random. Pada penelitian ini terdapat dua variable independent yaitu motivasi dan sikap bidan dalam pemakaian alat perlindungan diri saat menolong persalinan. Dalam penelitian ini pengumpulan data untuk mengukur motivasi dilakukan dengan observasi langsung terhadap perilaku pemakaian Alat Pelindung Diri dan sikap dilakukan dengan cara membagikan kuesioner pada bidan lulusan D3 di wilayah Kecamatan Plaosan, Parang, Panekan, dan Bendo. Dalam penelitian ini digunakan teknik angket dimana instrumen pengumpulan data berupa kuesioner dengan pertanyaan tertutup untuk sikap. Kuesioner sikap ada 22 pernyataan yang berisi komponen kognitif, afektif, konatif, terdiri dari 17 pernyataan favourable (no 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 17, 19, 21, 22) dan 5 pernyataan unfavourable (no 7, 12, 16, 18, 20). Untuk mengukur motivasi digunakan lembar observasi. Jawaban telah disediakan sehingga peneliti tinggal memilih jawaban yang sesuai pada kotak yang telah disediakan. Sebelum kuesioner digunakan sebagai alat ukur dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu. Penentuan kriteria motivasi dan sikap dibagi menjadi tiga jenjang yang ditentukan dengan rumus sebagai berikut: Rendah = x<(1,0); Sedang = (-1,0) x> (+1,0); Tinggi = (+1,0)x (Azwar 2003). Pertanyaan tentang motivasi, sikap, perilaku, jumlah skor dan kriteria.

Terdapat baris yang berisi kode responden 001sesuai jumlah responden. Setelah data dikumpulkan, kemudian dilaksanakan pengolahan data dengan tahap sebagai berikut editing, coding, scoring, tabulating dan analizyng. Pada penelitian ini proses editing dilakukan dengan pengecekan ulang jumlah kuesioner yang disebar dan yang diterima serta mengecek masing-masing lembar kuesioner seperti diisi semua atau tidak, semua pertanyaan dalam kuesioner. Pada penelitian ini semua lembar jawaban diisi lengkap oleh responden. Pada penelitian ini untuk pemberian kode sebagai berikut: Kode 1-37 untuk kode responden, Kode 1 untuk motivasi/sikap rendah, 2 untuk motivasi/sikap sedang, dan 3 untuk motivasi/sikap tinggi, Kode 1 untuk pelaksanaan Pemakaian APD jelek dan kode 2 untuk sedang dan kode 3 untuk baik. Menurut Azwar (2003) scoring adalah kegiatan memberikan skor sesuai dengan nilai skala kategori jawaban yang diberikan. Proses scoring skala sikap dan motivasi pada penelitian ini yaitu skor responden pada setiap pernyataan favourable: Sangat Setuju (SS) skor 4, Setuju (S) skor 3, Cukup Setuju (CS) skor 2, Sangat Tidak Setuju (STS) skor 1. Sedangkan untuk pernyataan unfavourable: Sangat Setuju (SS)/Sangat Tinggi (ST) skor 1, Setuju (S)/Tinggi (T) skor 2, Tidak Setuju (TS)/Rendah (R) skor 3, Sangat Tidak Setuju (STS)/Sangat Rendah (SR) skor 4. Sedangkan untuk perilaku setiap jawaban ya bernilai 1 dan tidak bernilai 0. Menurut Azwar (2003) untuk skala model likert agar skor individual berarti maka harus diubah menjadi skor standar. Salah satu skor standar yang biasa digunakan adalah skor-T. Sebelum mencari skor-T, terlebih dahulu dicari skor yang diperoleh responden pada skala sikap dan motivasi. Setelah itu dicari mean dan standar deviasi kelompok dengan menggunkan bantuan komputer, kemudian mencari skor-T dengan rumus:

Keterangan: T = Skor standar/skor-T X = Skor responden 50 = Mean sebesar T (XT) = Mean skor kelompok 10 = Standar deviasi (ST) S = Deviasi standar kelompok Perolehan nilai tingkat motivasi dan sikap dikonversikan dalam bentuk data ordinal dengan cara kategorisasi ordinal berdasar model distribusi normal untuk tiga jenjang. Tujuan kategorisasi ini adalah menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

kontinum berdasar atribut yang diukur (Azwar, 2006:107). Langkah-langkah membuat skala psikologis tiga jenjang menurut Azwar (2006:109) yaitu: 1. Menghitung rentang skor atau nilai Rentang = skor tertinggi skor terendah 2. Menghitung nilai satuan standart deviasi () = rentang skor: 6 3. Menghitung rata-rata teoritis () 4. Membuat rentang skala kategori Rendah/kurang = x < ( - 1,0) Sedang = ( - 1,0) x < ( + 1,0) Tinggi/baik = ( + 1,0) x Setelah coding dilanjutkan dengan proses tabulating yaitu kegiatan memproses data ke dalam tabel-tabel, dan mengatur angka-angka sehingga dapat dihitung jumlah kasus dalam berbagai kategori. Pada penelitian ini analisis dilakukan dengan dua metode, yaitu: metode statistik deskriptif dan metode statistik analitik. Untuk mengidentifikasi motivasi, sikap dan perilaku bidan dalam pemakaian APD digunakan metode statistik deskriptif dengan distribusi frekuensi. Untuk menganalisis hubungan antara variabel motivasi dengan perilaku, hubungan antara variabel sikap dengan perilaku dan hubungan sikap dengan motivasi digunakan uji statisik korelasi Kendall Tau. Korelasi Kendall Tau digunakan untuk mencari hubungan dan menguji hipotesis antara dua variabel atau lebih, bila datanya berbentuk ordinal atau ranking (Sugiono, 2007 : 253). Uji hipotesis ini dilakukan menggunakan taraf signifikan = 0,05 dengan kriteria penolakan H0 ditolak jika probabilitas 0,05. HASIL PENELITIAN Motivasi, sikap, dan perilaku bidan dalam pemakaian alat perlindungan diri Tabel 1. Distribusi Motivasi Bidan Dalam Pemakaian Alat Pelindung Diri Saat Menolong Persalinan Motivasi Tinggi Sedang Rendah Jumlah Frekuensi 12 18 5 35 Persentase 34,3 51,4 14,3 100,0

Tabel 3. Distribusi Perilaku Bidan Dalam Pemakaian Alat Pelindung Diri Saat Menolong Persalinan Perilaku Baik Sedang Jelek Jumlah Frekuensi 18 9 8 35 Persentase 51,4 25,7 22,9 100,0

Bidan yang memiliki motivasi tinggi untuk menggunakan alat perlindungan diri saat menolong persalinan sejumlah lebih dari sepertiga yaitu 34,3% (Tabel 1), yang bersikap baik dalam pemakaian alat perlindungan diri saat menolong persalinan sejumlah lebih dari sepertiga yaitu 34,3% (Tabel 2), sedangkan yang berperilaku baik dalam pemakaian alat perlindungan diri saat menolong persalinan sejumlah lebih dari setengah yaitu 51,4% (Tabel 3). Hubungan antara motivasi dengan perilaku bidan dalam pemakaian alat perlindungan diri saat menolong persalinan Berdasarkan hasil uji statistik Kendall Tau diketahui tidak ada hubungan antara motivasi dengan perilaku bidan dalam pemakaian alat perlindungan diri dengan Sig. (2-tailed) adalah 0,305 > 0,05 yang berarti H0 diterima. Hubungan antara sikap dengan perilaku bidan dalam pemakaian alat perlindungan diri saat menolong persalinan Berdasarkan hasil uji statistik Kendall Tau diketahui ada hubungan antara sikap dengan perilaku bidan dalam pemakaian alat perlindungan diri dengan Sig. (2-tailed) adalah 0,017 < 0,05 yang berarti H0 ditolak. Korelasi antara sikap dengan perilaku rendah karena nilai r = 0,05 atau dibawah 0,5. Hubungan antara motivasi dengan sikap bidan dalam pemakaian alat perlindungan diri saat menolong persalinan Berdasarkan hasil uji statistik Kendall Tau diketahui ada hubungan antara sikap dengan motivasi bidan dalam pemakaian alat perlindungan diri dengan Sig. (2-tailed) adalah 0,009 < 0,05 yang berarti H0 ditolak. Korelasi antara motivasi dengan sikap lemah karena nilai r = 0,01 atau dibawah 0,5. PEMBAHASAN Proporsi bidan yang mempunyai motivasi tinggi dalam pemakaian APD adalah 34,3%. Hal ini berarti hanya sepertiga bidan yang sudah mempunyai motivasi positif terhadap

Tabel 2. Distribusi Sikap Bidan Dalam Pemakaian Alat Pelindung Diri Saat Menolong Persalinan Sikap Baik Sedang Jelek Jumlah Frekuensi 12 14 9 35 Persentase 34,3 40,0 25,7 100,0

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

pemakaian APD sesuai standar APN, sebagian kecil dari mereka sudah menyadari bahwa melindungi diri dari kecelakaan kerja adalah suatu kebutuhan sehingga untuk mencapai tujuan terlindung dari bahaya infeksi dan penyakit menular timbul suatu dorongan yaitu motivasi untuk memakai APD sesuai standar APN. Sesuai proses terjadinya motivasi menurut Luthans (1973) dalam Sumantri (2001) dikutip dari http://novafaletehan.blogspot.com/ (2008), proses motivasi mempunyai 3 elemen, yakni: 1) Kebutuhan (Needs), Kebutuhan merupakan suatu kekurangan. Kebutuhan tercipta apabila terjadi ketidakseimbangan yang bersifat fisiologis atau psikologis akan tetapi kebutuhan psikologis terkadang tidak timbul akibat ketidakseimbangan. 2) Dorongan (Drives) dorongan atau motif timbul untuk mengurangi kebutuhan. Dorongan baik fisiologis maupun psikologis berorientasi pada tindakan dan menyiapkan energi pendorong untuk mencapai tujuan (incentives). 3) Tujuan (Goals) dorongan atau motif timbul untuk mengurangi kebutuhan. Dorongan baik fisiologis maupun psikologis berorientasi pada tindakan dan menyiapkan energi pendorong untuk mencapai tujuan (incentives). Dalam proses motivasi ketiga elemen di atas harus seimbang dan selaras sehingga motivasi bisa benar-benar terbentuk. Proporsi bidan yang mempunyai bersikap baik dalam pemakaian APD adalah 34,3%.. Hal ini berarti sebagian kecil bidan sudah mempunyai sikap positif terhadap pemakaian APD sesuai standar APN. Oleh karena sikap tidak dibawa sejak lahir dan terbentuk sesuai perkembangan kehidupan sesuai dengan ciriciri sikap menurut Edwi (2005) dalam http://www.edwi.dosen.upnyk.co.id, yakni:1) Sikap tidak dibawa sejak lahir.,sikap terbentuk selama perkembangan maka sikap dapat berubah, dapat dibentuk dan dipelajari. Namun kecenderungannya sikap bersifat tetap. 2) Sikap selalu berhubungan dengan objek sikap terbentuk karena hubungan dengan objekobjek tertentu, melalui persepsi terhadap objek tersebut. 1. Sikap dapat tertuju pada satu objek dan sekumpulan objek Bila seseorang memiliki sikap negatif pada satu orang maka ia akan menunjukkan sikap yang negatif pada kelompok orang tersebut. 2. Sikap itu dapat berlangsung lama atau sebentar. Jika sikap sudah menjadi nilai dalam kehidupan seseorang maka akan berlangsung lama bertahan, tetapi jika sikap belum mendalam dalam diri seseorang maka sikap relatif dapat berubah. 3. Sikap mengandung perasaan atau motivasi Sikap terhadap sesuatu akan diikuti oleh perasaan tertentu baik positif maupun negatif. Sikap juga mengandung motivasi atau daya dorong untuk berperilaku.

Sehingga untuk membentuk sikap yang positif akan melalui beberapa tahapan proses. Dalam proses pembentukan suatu sikap menurut Notoatmodjo (2003: 126) terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu: 1). Menerima (receiving), bidan sudah mau menerima dan memperhatikan teori tentang APD, 2).Merespon (responding) bidan mampu memberikan jawaban apabila ditanya tentang APD entah itu salah atau benar sudah merupakan suatu indikasi dari sikap, 3). Menghargai (valuing), bidan mau berdiskusi tentang APD adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga, 4). Bertanggung jawab (responsible), bidan mau bertanggung jawab atas resiko dari pilihannya apakah dia mau memakai APD sesuai standar atau tidak merupakan sikap yang paling tinggi. Akan tetapi, karena untuk membentuk sikap juga melalui proses sejalan dengan perkembangan hidup maka sikap juga bisa berubah sesuai dengan perkembangan individu. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil 51% bidan berperilaku baik, 26% bidan berperilaku sedang dan 23% bidan berperilaku jelek dalam memakai APD. Dalam penelitian ini didapatkan hasil perilaku yang bervariasi karena ternyata dalam kenyataannya tidak semua bidan berperilaku baik dalam pelaksanaan APD. Menurut Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2003) prosedur dalam pembentukan perilaku ada beberapa hal, antara lain: 1. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforcer. Sebelum memutuskan untuk memakai APD bidan akan mengidentifikasi apakah APD yang sesuai standar bermanfaat bagi mereka, sebagai contoh bidan yang merasa bahwa memakai masker kurang bermanfaat maka dalam prakteknya mereka tidak memakai masker saat menolong persalinan. 2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud. 3. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuantujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut. 4. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan maka hadiahnya diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau perilaku ini sudah terbentuk kemudian dilakukan komponen (perilaku) yang kedua, diberi hadiah (komponen pertama tidak memerlukan hadiah lagi), demikian

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara motivasi dengan perilaku bidan dalam pemakaian alat perlindungan diri, artinya motivasi tidak mempengaruhi perilaku bidan dalam pemakaian APD. Bidan yang merasa bahwa melindungi diri dari infeksi merupakan kebutuhan penting belum tentu mau melaksanakan pemakaian alat perlindungan diri sesuai standar saat menolong persalinan. Hal ini tidak sesuai dengan teori Lingkaran dari Widayatun (1999: 6) bahwa manusia berperilaku karena adanya kebutuhan untuk mencapai suatu tujuan atau goal. Dengan adanya need atau kebutuhan dalam diri seseorang maka akan muncul motivasi atau penggerak/pendorong. Menurut Sukmadinata (2003: 70), motivasi mendasari semua perilaku, akan tetapi dirasakan berbeda pada setiap perilaku, mungkin dirasakan kuat pada suatu perilaku, tetapi kurang pada perilaku lain. Desakan, motif, kebutuhan, dan keinginan dalam mencapai tujuan yang terlibat dalam suatu motivasi terdiri dari beberapa macam, sehingga akan terjadi pemilihan atau seleksi. Biasanya yang terkuat yang akan dilayani atau menjadi pendorong kegiatan individu. Makin tinggi dan berarti suatu tujuan, makin besar motivasinya dan makin besar motivasi akan semakin kuat kegiatan yang dilaksanakan. Akan tetapi untuk menumbuhkan motivasi tinggi seseorang dalam berperilaku dalam hal ini memakai APD tidaklah mudah. Karena dalam pembentukan motivasi sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain menurut Widayatun (1999: 115) adalah proses penyesuaian terhadap faktor yang menguntungkan atau merugikan, faktor lingkungan seperti adanya kebijaksanaan dan kematangan usia, situasi yang tidak menghambat individu, adanya program yang mendukung serta adanya media yang dapat membantu dalam mencari informasi dalam pencapaian tujuan. Menurut Widayatun (1999: 116), ada beberapa cara meningkatkan motivasi, yaitu: 1) dengan teknik verbal, antara lain: berbicara untuk membangkitkan semangat, 2) pendekatan pribadi, diskusi dan sebagainya, 3) teknik tingkah laku (meniru, mencoba, menerapkan), 4) teknik intensif dengan cara mengambil kaidah yang ada, 5) supertisi (kepercayaan akan sesuatu secara logis, namun membawa keberuntungan), 6) citra/image yaitu dengan imajinasi atau data khayal yang tinggi maka individu termotivasi. Sehingga dalam kenyataannya selain adanya kesadaran dari diri sendiri, faktor orang lain/pemimpin, dan lingkungan yang mendukung sangat penting,

akan tetapi dalam penelitian ini faktor lingkungan tidak diteliti. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan diantara sikap dengan perilaku bidan dalam pemakaian alat perlindungan diri. Sebagian besar bidan sudah tahu tentang sikap yang baik dalam melindungi diri dari infeksi saat menolong persalinan sehingga pada kenyataannya ditunjukkan dengan perilaku yang baik pula. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan diantara sikap dengan motivasi. Adanya sikap yang baik akan mempengaruhi dalam pembentukan motivasi yang tinggi pula. Bidan yang mempunyai sikap baik dalam pemakaian alat perlindungan diri akan menunjukkan motivasi tinggi terhadap pelaksanaan pemakaian alat perlindungan diri. Menurut Sukmadinata (2007: 63) sikap merupakan suatu motivasi karena menunjukkan ketertarikan dan ketidaktertarikan seseorang terhadap suatu objek. Seseorang yang mempunyai sikap positif akan menunjukkan motivasi yang besar. Motivasi ini datang sendiri karena adanya rasa senang atau suka serta faktor subjektif lainnya. Menurut pendapat Edwi (2005) yang dikutip dalam http://www.edwi.dosen.upnyk.co.id, sikap terhadap sesuatu akan diikuti oleh perasaan tertentu baik positif maupun negatif. Sikap juga mengandung motivasi atau daya dorong untuk berperilaku. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut: 1. Lebih dari sepertiga 34% bidan mempunyai motivasi tinggi, 52% motivasi sedang, 14% motivasi rendah dalam pemakaian APD saat menolong persalinan, . 2. Lebih dari sepertiga 34,28% bidan mempunyai sikap baik, 40% sikap sedang dan 25,72% jelek dalam pemakaian APD saat menolong persalinan. 3. Sebagian besar (51%) bidan mempunyai perilaku baik , 26% sedang dan 23% perilaku jelek dalam pemakaian APD saat menolong persalinan. 4. Tidak ada hubungan antara motivasi dengan perilaku bidan dalam pemakaian APD saat menolong persalinan 5. Ada hubungan antara sikap dengan perilaku bidan dalam pemakaian APD 6. Ada hubungan sikap dengan motivasi bidan dalam pemakaian APD saat menolong persalinan Selanjutnya diajukan beberapa saran yaitu: 1. Bagi Organisasi IBI, agar motivasi tetap tinggi dan sikap baik dalam pemakaian APD perlu diitensifkan melalui pembinaan tentang pentingnya APD sesuai standar APN baik melalui seminar maupun saat

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

pertemuan rutin dan direncanakan uji kompetensi berkaitan dengan APD. 2. Bagi Institusi Pelayanan, perlu adanya prosedur tetap bagi bidan yang bekerja di Puskesmas dan Polindes tentang APD berupa poster-poster tentang pelaksanaan APN, pencegahan infeksi termasuk didalamnya pemakaian APD. Perlu adanya dukungan sarana dan prasarana untuk menunjang perilaku bidan dalam pemakaian APD. 3. Bagi Bidan untuk lebih meningkatkan kesadarannya untuk berperilaku yang baik dalam pemakaian APD yang sesuai standar pada saat memberikan asuhan persalinan normal. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Motivasi Kerja Perawat Dengan Pendokumentasian. http://novaletehan. blogspot.com. (diakses 18 Maret 2009) . Azwar. 2007. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: JNPK-KR. Azwar, Saifuddin. 2003a. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya Edisi ke 2. Yogjakarta: Putaka Pelajar. _____________. 2006b. Penyusunan Psikologi. Jakarta: Rineka Cipta. Skala

__________ . 2005c. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Saifuddin, Abdul Bari (ed). Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan denga Sumber Daya Terbatas. Jakarta: YBP-SP. Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2007. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosada Karya. Widayatun, Tri Rusmi.1999. Jakarta: Infomedika. Ilmu Perilaku.

Dian. 2001. Keselamatan Kerja Dalam Laboratorium. http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id. (diakses 7 Maret 2009). Edwi. Sikap (Attitude). http://www.edwidosen. upnyk.co.id. (diakses 5 Maret 2009). Gunawan. 2009. Persalinan Aman Hindari Tertular HIV/AIDS. http://www.vhimedia. com. (diakses 2 Maret 2009). Marto. 2009. Kewaspadaan Universal Mencegah Diskriminasi Pada ODHA. http:// griyapmtct.blogspot.com. (diakses 2 Maret 2009). Mulyanti, Dedek. 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. http:// library.usu.ac.id. (diakses 2 maret 2009). Notoatmodjo. 2003a. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. __________ . 2003b. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN PERBEDAAN PENGETAHUAN REMAJA SEBELUM DAN SESUDAH DILAKUKAN PROMOSI KESEHATAN TENTANG HIV/AIDS PADA SISWA KELAS VIII Nurwening Tyas Wisnu (Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Magetan) Anita Herawati (Alumnus Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Magetan) Maria Retno Ambarwati (Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Magetan) ABSTRAK Latar belakang: Kasus HIV/AIDS dewasa ini telah mengancam kelompok generasi muda termasuk remaja. Terlebih lagi sangat sedikit remaja yang memiliki pengetahuan yang memadai dan benar tentang HIV/AIDS (Interaksi, 2008: 23) Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana perbedaan pengetahuan remaja sebelum dan sesudah dilakukan promosi kesehatan tentang HIV/AIDS di Kecamatan Sukomoro Kabupaten Nganjuk. Metode: Jenis penelitian adalah analitik dengan rancangan penelitian one group pra post test design. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja sejumlah 193 siswa dengan sampel 135 subjek dengan teknik sample random sampling. Variabel yang digunakan yaitu variabel bebas adalah promosi kesehatan dan variabel terikat adalah pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan promosi kesehatan. Pengumpulan data menggunakan kuesioner tertutup yang disebarkan kepada responden sebelum dilakukan promosi kesehatan. Selanjutnya peneliti melakukan promosi kesehatan tentang HIV/AIDS dan segera setelah promosi kesehatan responden diberikan kuesioner kembali untuk diisi. Untuk menganalisa menggunakan analisa univariat distribusi frekuensi yaitu mean, median, modus, minimal dan maximal, dan analisa Bivariat dengan Uji Wilcoxon. Hasil: Sebelum dilakukan promosi kesehatan nilai rata-rata (mean) 44,05 dan sesudah promosi kesehatan mean meningkat menjadi 79,02. Sedangkan perbandingan menggunakan Uji Wilcoxon menunjukkan nilai signifikansi 0,00. Dengan demikian Ho ditolak dan H1 diterima yang berarti terdapat perbedaan antara pengetahuan tentang HIV/IADS sebelum dan sesudah dilakukan promosi kesehatan. Kata Kunci: promosi kesehatan, pengetahuan, HIV/AIDS HIV/AIDS dewasa ini telah mengancam kelompok generasi muda termasuk remaja. Sebagian besar kasus HIV AIDS di Indonesia adalah usia 20-29 tahun dan sebagian anak sudah mulai terjangkit. Terlebih lagi, sangat sedikit kaum muda yang memiliki pengetahuan memadai dan benar tentang HIV/AIDS. Pengetahuan yang kurang tentang HIV/AIDS akan menyebabkan remaja tidak menjaga diri dari sikap dan perilaku yang berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS, misalnya dengan menganut gaya hidup pergaulan bebas dan mengkonsumsi narkoba. Bila remaja memiliki pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS, maka diharapkan pengetahuan tersebut akan membentuk sikap dan perilaku remaja untuk menghindari risiko penularan HIV/AIDS serta tidak diskriminatif kepada penderita AIDS (Interkasi Edisi 1, 2008:23). Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di lingkungan remaja yaitu siswa kelas VIII SMP Negeri Sukomoro pada tanggal 27 Maret 2011 sejumlah 193 siswa, diketahui dari 120 orang siswa yang disurvei, ditemukan sebanyak 96 siswa (80%) memiliki pengetahuan yang kurang tentang apa dan bagaimana HIV/AIDS. Angka ini cukup tinggi karena diharapkan siswa memiliki pengetahuan yang baik tentang HIV/AIDS. Data yang didapat dari UNAIDS pada akhir tahun 2004 di dunia diperkirakan terdapat 39,4 juta orang penderita HIV/AIDS. Diperkirakan diseluruh dunia yang terjangkit penyakit HIV/AIDS 7,3 juta wanita muda dan 4,5 juta pria muda. Laporan itu juga menyebutkan bahwa sebagian kasus baru HIV/AIDS telah menyerang remaja usia 15 24 tahun. Dirjen PPM dan PL Depkes RI (2010), menjelaskan bahwa di Indonesia penyakit HIV/AIDS pada tahun 1993 dilaporkan 193 kasus. Pada tahun 2002 dilaporkan meningkat menjadi 2.950 kasus. Pada tahun 2005 jumlah pengidap HIV/AIDS di Indonesia meningkat lagi sebanyak 7.098 kasus. Pada tahun 2010, penyakit HIV/AIDS di Indonesia sudah mencapai 20.564 kasus. Propinsi yang memiliki jumlah pengidap HIV/AIDS tertinggi dari tahun ke tahun adalah Papua, namun pada tahun 2010 propinsi yang memiliki kasus terbanyak adalah Jawa Barat dan Jawa Timur. Di wilayah Kabupaten Nganjuk, pada tahun 2008 ditemukan sebanyak 38 kasus baru HIV/AIDS, pada tahun 2009 meningkat menjadi 54 kasus baru, dan pada tahun 2010 meningkat lagi menjadi 61 kasus baru. Terhitung hingga tahun 2010 total penderita HIV/AIDS di Kabupaten Nganjuk sebanyak 195 orang, sedangkan pada tahun 2010 korban meninggal akibat HIV/AIDS sebanyak 19 orang. Secara khusus berdasarkan data Puskesmas Sukomoro, jumlah total penderita HIV/AIDS pada tahun 2010 di wilayah Kecamatan

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

Sukomoro sebanyak 5 orang, dimana 2 diantaranya telah meninggal di tahun yang sama. Dengan adanya perubahan pola kehidupan remaja yang semakin permisif (serba boleh) dewasa ini, menghadapkan mereka pada perilaku menyimpang. Remaja merupakan masa transisi dari dunia anak menuju dewasa. Perubahan fisik dan psikologis yang dialaminya berpotensi mendorong remaja terjerat dalam perilaku beresiko tertular HIV/AIDS. Pada dekade ini, setengah dari orang yang hidup dengan HIV adalah orang muda. Dua perilaku yang dianggap awal dari risiko tertular HIV/AIDS adalah seks pranikah dan penyalahgunaan narkoba (Interaksi Edisi 1, 2008:23). Apabila remaja tertular HIV/AIDS, akan sangat merugikan karena dapat menghambat cita-cita bahkan dapat berakibat kematian karena belum ada obat untuk menyembuhkan AIDS (Moeliono, dkk., 2006:31). Narkoba dan HIV/AIDS adalah realitas jaman yang sangat mengkhawatirkan dan patut mendapatkan perhatian serius dari semua pihak terkait agar remaja tidak terjerumus di dalamnya. Untuk mencegah penularan HIV, diperlukan intervensi pada remaja dengan membangun kemitraan dengan mereka. Intervensi semacam itu menguntungkan karena orang muda masih dalam dalam tahap pencarian diri dan pada umumnya lebih terbuka dalam mempertanyakan norma-norma sosial dan perubahan perilaku, dibandingkan generasi yang lebih tua. Upaya konkret yang dilaksanakan adalah dengan menggalang promosi kesehatan di sekolah-sekolah (Interaksi Edisi 1, 2008:23). Promosi kesehatan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS. Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2007:139), perilaku manusia dibagi ke dalam 3 ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Pengetahuan (knowledge) yang baik tentang HIV/AIDS yang diperoleh dari promosi kesehatan akan berpengaruh pada sikap (afektif) dan praktik (psikomotor) remaja untuk menghindari gaya hidup yang berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS. Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu penelitian tentang: Perbedaan Pengetahuan Remaja Sebelum dan Sesudah Dilakukan Promosi Kesehatan tentang HIV/AIDS pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri Sukomoro Kabupaten Nganjuk Tahun 2011. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini menggunakan jenis penelitian analitik dengan rancangan penelitian one group pra post test design. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri Sukomoro Nganjuk, sedangkan waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Juli

2011. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri Sukomoro Nganjuk tahun 2011 yang belum mendapat penyuluhan tentang HIV/AIDS berjumlah 193 siswa. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian siswa kelas VII SMP Negeri Sukomoro Nganjuk yang belum mendapat penyuluhan tentang HIV/AIDS sebanyak 131 orang siswa dan. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simple random sampling. Variabel dalam penelitian ini adalah pengetahuan siswa kelas VIII SMP Sukomoro Nganjuk tahun 2011 tentang HIV/AIDS sebelum dan sesudah mendapatkan promosi kesehatan. Pada saat penelitian kuesioner diberikan kepada siswa sebelum dilakukan promosi kesehatan untuk diisi. Kemudian peneliti memberikan promosi kesehatan tentang HIV/AIDS. Segera setelah dilakukan promosi kesehatan siswa diberikan kuesioner kembali untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan pengetahuan pada siswa tentang materi HIV/AIDS. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berbentuk tertutup, yaitu siswa tinggal memilih dengan memberi tanda (X) pada alternatif jawaban yang sudah disediakan. Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan proses pengolahan data dengan menggunakan komputer secara analitik untuk mengetahui perbedaan pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS pada siswa kelas VIII SMP Negeri Sukomoro Kabupaten Nganjuk sebelum dan sesudah mendapatkan promosi kesehatan. Dalam penelitian ini data yang dianalisa adalah hasil skor perolehan dari seluruh siswa. baik pre test maupun post test dengan menggunakan distribusi frekuensi, antara lain: skor rata-rata (mean), nilai tengah (median), nilai yang sering muncul (modus), nilai terendah (minimal), nilai tertinggi (maksimal). Untuk menyajikan hasil analisa univariat, maka digunakan table. Selanjutnya dianalisa menggunakan teknik analisa pre and post test yang dihitung dengan uji t sampel berpasangan (Two Paired Sample tTest). Apabila uji normalitas hasilnya tidak normal maka diganti dengan Wilcoxon Test. Untuk memudahkan perhitungan dan menjaga keakuratan hasil perhitungan, maka peneliti menggunakan bantuan program komputer. HASIL PENELITIAN Pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS sebelum diberi promosi kesehatan Hasil penelitian menunjukkan sebaran data skor pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS sebelum diberi promosi kesehatan berkisar antara 32 sampai dengan 76, dengan nilai ratarata (mean) 44,05. Nilai rata-rata tersebut hampir sama dengan nilai tengah (median) yaitu 44, tetapi jauh berbeda dengan nilai yang sering muncul (modus) yaitu 32. Sedangkan

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

nilai simpangan baku (standard deviation) adalah sebesar 10,34, menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan yang sangat besar dengan nilai rata-rata. Pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS sesudah diberi promosi kesehatan Hasil penelitian menunjukkan sebaran data skor pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS sesudah diberi promosi kesehatan berkisar antara 68 sampai dengan 100, dengan nilai rata-rata (mean) 79,02. Nilai rata-rata tersebut hampir sama dengan nilai tengah (median) yaitu 80, dan hanya sedikit berbeda dengan nilai yang sering muncul (modus) yaitu 76. Sedangkan nilai simpangan baku (standard deviation) adalah sebesar 5,87, menunjukkan bahwa penyimpangan data dengan nilai rataratanya relatif lebih kecil. Perbedaan pengetahuan remaja sebelum dan sesudah dilakukan promosi kesehatan Karena uji normalitas menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi normal, maka Paired Sample T-Test tidak dapat dilakukan dan diganti dengan Uji Wilcoxon. Hasil Uji Wilcoxon menunjukkan nilai signifikansi 0,000 yang berarti kurang dari 0,05. Dengan demikian H0 ditolak atau dengan kata lain terdapat perbedaan antara pengetahuan tentang HIV/AIDS antara sebelum dan sesudah promosi kesehatan. Sedangkan untuk mengetahui arah perbedaan pengetahuan sebelum dengan sesudah, apakah perbedaan yang dimaksud berupa penurunan atau peningkatan pengetahuan, maka dapat dilihat dari perbandingan nilai mean (rata-rata) untuk masing-masing variabel. Adapun nilai rata-rata pengetahuan sebelum promosi kesehatan adalah 44,05 sedangkan nilai rata-rata pengetahuan sesudah promosi kesehatan adalah 79,02. Dengan demikian perbedaan yang terjadi adalah berupa peningkatan pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS. PEMBAHASAN Pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS sebelum diberi promosi kesehatan Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS sebelum diberi promosi kesehatan berkisar antara 32 sampai dengan 76, dengan nilai rata-rata (mean) 44,05. Nilai rata-rata tersebut hampir sama dengan nilai tengah (median) yaitu 44, tetapi jauh berbeda dengan nilai yang sering muncul (modus) yaitu 32. Sedangkan nilai simpangan baku (standard deviation) adalah sebesar 10,34, menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan yang sangat besar dengan nilai

rata-rata. Secara keseluruhan dapat diartikan bahwa pengetahuan siswa (remaja) tentang HIV/AIDS masih belum merata. Bila ditinjau dari faktor sumber informasi, sebagian besar siswa yaitu sebanyak 57 siswa (42,2%) mengaku mendapat informasi tentang HIV/AIDS dari media massa. Hal ini menunjukkan bahwa remaja tidak mendapat cukup informasi tentang HIV/AIDS yang dapat dipertanggungjawabkan, karena media masa belum tentu menyediakan informasi yang sesuai dengan kebutuhan remaja. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan MDG's (BKKBN, 2010), persentase remaja usia 15-24 tahun di Indonesia yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS hanya 14,3%. Menurut BKKBN, minimnya pengetahuan memperbesar peluang mereka untuk tertular dan menularkan HIV. Sejumlah pihak mendorong dimasukkannya edukasi HIV/AIDS dalam kurikulum. Hal itu sudah dipraktikkan di beberapa daerah, namun belum secara nasional. Menurut Purwanto (2004 dalam Setianti, 2007:144) pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, pendidikan, pengalaman, usia, penyuluhan, media massa. Sedangkan pada penelitian ini kurangnya pengetahuan pada remaja tentang HIV AIDS disebabkan karena tingkat pendidikan subyek penelitian adalah tingkat pendidikan dasar sehingga mereka belum dapat menganalisa informasi yang didapat. Selain itu karena usia dan pengalaman subyek penelitian masih kurang sehingga mereka hanya menerima begitu saja informasi yang didapat dari media massa. Sedangkan informasi yang komprehensif dari orang tua, sekolah dan tenaga kesehatan belum memadai. Pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS sesudah diberi promosi kesehatan Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS sesudah diberi promosi kesehatan berkisar antara 68 sampai dengan 100, dengan nilai rata-rata (mean) 79,02. Nilai rata-rata tersebut hampir sama dengan nilai tengah (median) yaitu 80, dan hanya sedikit berbeda dengan nilai yang sering muncul (modus) yaitu 76. Sedangkan nilai simpangan baku (standard deviation) adalah sebesar 5,87, menunjukkan bahwa penyimpangan data dengan nilai rata-ratanya relatif lebih kecil. Artinya ada peningkatan pengetahuan secara pesat pada periode sesudah promosi kesehatan dibandingkan dengan sebelum promosi kesehatan. Dengan demikian promosi kesehatan dapat menjadi sarana efektif guna meningkatkan pengetahuan siswa remaja kelas VIII di SMP Negeri Sukomoro.

10

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

Menurut Notoatmodjo (2005:363) Promosi kesehatan di sekolah merupakan langkah yang strategis dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat karena hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa 1) sekolah merupakan lembaga yang dengan sengaja didirikan untuk membina dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik fisik, mental, moral, maupun intelektual, 2) promosi kesehatan melalui komunitas sekolah ternyata paling efektif di antara upaya kesehatan masyarakat yang lain dalam pengembangan perilaku hidup sehat karena anak usia sekolah (6 18 tahun) mempunyai persentasi yang paling tinggi dibanding kelompok umur lain, sekolah merupakan komunitas yang telah terorganisasi sehingga mudah dijangkau dalam rangka pelaksanaan usaha kesehatan masyarakat dan anak sekolah merupakan kelompok yang sangat peka untuk menerima perubahan atau pembaharuan. Sedangkan tujuan dari Promosi Kesehatan AIDS menurut Depkes RI, (2001:1) adalah 1) Menempatkan usaha pencegahan AIDS pada tempat yang tinggi diantara prioritas kesehatan masyarakat, kesehatan, sistem penyuluhan dan individu-individu, 2) Memberikan dukungan perubahan perilaku, diperlukan untuk mencegah penyebaran HIV, 3) Meningkatkan peran serta masyarakat untuk merubah ke arah meningkatkan perilaku yang baik, 4) meningkatkan pelayanan dan penyuluhan kesehatan khususnya pada golongan resiko tinggi, 5) membangun dukungan masyarakat agar mereka dan pemerintah memberi respon yang baik dalam pencegahan dan pemberantasan AIDS. Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa promosi kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS. Pengetahuan ini nantinya sangat bermanfaat untuk membentuk perilaku para remaja agar memiliki sikap hidup positif dan menjauhi risiko penularan HIV/AIDS. Perbedaan pengetahuan remaja sebelum dan sesudah dilakukan promosi kesehatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS pada siswa kelas VIII SMP Negeri Sukomoro Kabupaten Nganjuk sebelum dan sesudah dilakukan promosi kesehatan. Perbedaan yang dimaksud ternyata berupa peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Bila ditinjau dari perbandingan nilai rata-rata pengetahuan sebelum dan sesudah promkes, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan pengetahuan yang terjadi sangat besar. Hal ini mengindikasikan bahwa promosi kesehatan memberi pengaruh positif yang besar terhadap peningkatan pengetahuan responden tentang HIV/AIDS.

Menurut Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa promosi kesehatan yang diberikan harus didukung metode dan media promosi kesehatan yang tepat agar informasi yang diberikan dapat diterima oleh subjek sasaran secara optimal. Artinya faktor-faktor teknis dalam promosi kesehatan sangat berpengaruh pada keberhasilan promosi kesehatan tersebut, dimana salah satu tujuan promosi kesehatan adalah tercapainya peningkatan masyarakat tentang kesehatan. Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa perilaku manusia itu dapat dibagi ke dalam 3 domain yakni: Kognitif (pengetahuan), Afektif (sikap) dan Psikomotor (tindakan). Jadi pada dasarnya tujuan promosi kesehatan tidak cukup berhenti pada peningkatan pengetahuan secara kognitif, namun juga dapat berdampak pada perubahan sikap serta tindakan subjek sasaran. Dalam hal ini peranan pengetahuan sangat penting karena sebagai dasar bagi terbentuknya perilaku kesehatan yang positif. Promosi kesehatan tentang HIV/AIDS sangat berperan dalam upaya peningkatan pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS, karena remaja mendapat informasi baru yang semula belum diketahui, sekarang diketahui, yang dulu belum dimengerti, sekarang dapat dimengerti. Namun secara teknis, promosi kesehatan harus dilaksanakan dengan metode dan media yang tepat sehingga tujuan promosi kesehatan dapat tercapai. Untuk itu perlu diperhatikan karakteristik subjek sasaran yaitu remaja, dimana mereka suka pada hal-hal yang ringan, menghibur, dan inovatif. Oleh karena itu promosi kesehatan harus dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik tersebut, misalnya dengan menggunakan media film remaja, menggunakan bahasa-bahasa penyuluhan yang gaul, atau membangun interaksi dan simulasi dalam penyuluhan. Pada akhirnya diharapkan dengan peningkatan pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS, maka dapat meningkatkan perilaku positif mereka dalam pergaulan. Remaja dapat menggunakan informasi kesehatan yang mereka dapatkan sebagai alat pertimbangan dan penalaran untuk mengambil keputusan bahwa mereka menolak seks pranikah, pergaulan bebas, narkoba dan hal-hal lainnya yang dapat berisiko bagi penularan HIV/AIDS. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS sebelum diberi promosi kesehatan masih rendah dapat dilihat dari nilai mean yaitu 44,05.

11

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS sesudah diberi promosi kesehatan mengalami peningkatan yaitu 79,02. 3. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS pada siswa kelas VIII SMP Negeri Sukomoro Kabupaten Nganjuk sebelum dan sesudah dilakukan promosi kesehatan. Berdasarkan simpulan penelitian, selanjutnya diajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Bagi masyarakat khususnya remaja Diharapkan untuk bersikap lebih selektif dalam menerima informasi tentang kesehatan reproduksi, khususnya tentang HIV/AIDS, dengan tujuan mencegah perilaku remaja yang berisiko terhadap penularan HIV/AIDS. 2. Bagi institusi kesehatan Diharapkan untuk lebih memperhatikan masyarakat khususnya usia remaja dengan mengupayakan informasi yang memadai tentang HIV/AIDS bagi mereka. Diharap meningkatkan kerjasama dengan sekolahsekolah atau media radio untuk memberikan promosi kesehatan tentang HIV/AIDS. 3. Bagi sekolah Diharapkan untuk guru terutama guru Bimbingan Konseling serta Guru Pendidikan Jasmani dan Kesehatan dapat memberikan informasi tentang HIV/AIDS secara lebih lengkap, serta diharapkan untuk meningkatkan jalinan kerjasama dengan instansi kesehatan terkait. DAFTAR PUSTAKA Moeliono, dkk, 2006. KIE Kesehatan Reproduksi Remaja Bagi Anak Usia 11-15 Tahun (Kelompok Pramuka Penggalang). Jakarta: BKKBN, Gerakan Pramuka, UNICEF. ______________, 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. ______________, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Purwanto, H. 2004. Pengantar Perilaku Manusia untuk Keperawatan. Jakarta: EGC RI, Depkes 1997. Pedoman Pelatihan dan Modul Pendidikan Sebaya dalam Rangka Pendidikan Pencegahan HIV/AIDS di Lingkungan Sekolah. Jakarta: Departemen Kesehatan _________. 2001. Meningkatkan Petunjuk Merencanakan Kesehatan Untuk

Pencegahan dan Pemberantasan AIDS. Jakarta: Ditejen PPM & PLP Depkes. __________. 2010. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Departemen Kesehatan dan JICA.

12

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN Kondisi Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar, dan pertumbuhan yang tinggi, serta kualitas yang sangat rendah sangat tidak kondusif bagi pembangunan berkelanjutan ditanah air dan berpotensi bagi semakin terpuruknya status sosial dan ekonomi masyarakat sehingga menyulitkan upaya-upaya pengentasan kemiskinan. Salah satu upaya yang dapat dilaksanakan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk ini adalah dengan program Keluarga Berencana (KB). Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam keikutsertaan ber KB. Menurut Kusumaningrum (2009), faktor umur, tingkat pendidikan dan jumlah anak sangat mempengaruhi seseorang dalam pemilihan alat kontrasepsi. Budaya yang ada dimasyarakat juga sangat mempengaruhi seseorang untuk mengambil keputusan menggunakan sesuatu untuk kebutuhan dirinya. Saleh (2003) mengatakan faktor budaya berpengaruh secara significant di wilayah budaya Mataram dan Madura, terhadap efektifitas pelaksanaan program KB dan tingkat fertilitas. Menurut Casuli (2005) ada hubungan yang bermakna antara umur, pekerjaan, sikap dan Dukungan Keluarga terhadap keikutsertaan PUS dalam KB. Penelitian Sakhnan,R (2001) menyatakan bahwa nilai anak, pengetahuan, sikap dan perilaku petugas berhubungan dengan keikutsertaan PUS dalam program KB.Manuaba (1998) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi alasan pemilihan metode kontrasepsi diantaranya adalah tingkat ekonomi, pekerjaan dan tersediannya layanan kesehatan yang terjangkau. Kota Pematangsiantar merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Utara dengan jarak ke ibu Kota Propinsi yaitu Medan sejauh 128 Km. Berdasarkan Data BPS tahun 2010 jumlah penduduk di Kota Pematangsiantar adalah 234.698 jiwa(profil Kesehatan, 2010), dan jumlah PUS sebanyak 35.332 PUS. Dari jumlah tersebut 7.040 PUS (19,9%) adalah peserta KB baru pada tahun 2010, sedangkan peserta KB aktif adalah 26.218 PUS (74,2%) lebih tinggi dari Indikator standar pelayanan minimal (SPM) 2010 Kota Pematangsiantar yaitu 70% (Propil Kesehatan Pematangsiantar,2010). Kota Pematangsiantar terdiri dari 8 Kecamatan dan 53 kelurahan dengan jarak ratarata ibu Kota Kecamatan ke Ibu Kota Pematangsiantar 2-10 Km. Kecamatan Siantar Timur adalah salah satu Kecamatan di Kota Pematangsiantar dengan jumlah penduduk 38454 jiwa dan jumlah PUS 6470. Kecamatan Siantar Timur terdiri dari beberapa suku dan etnis yaitu Tapanuli/Toba 26.572 jiwa, jawa 5.405 jiwa, Simalungun 4.705 jiwa, Madina 1.792 jiwa, Minang 529 jiwa, Karo 1.139 jiwa, melayu 191 jiwa, Nias 299 jiwa, Aceh 99 jiwa,

PENGARUH SOSIODEMOGRAFI DAN BUDAYA TERHADAP KEIKUTSERTAAN WANITA PUS DALAM PROGRAM KB DI KECAMATAN SIANTAR TIMUR Renny Sinaga (Poltekkes Kemenkes Medan, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Pematangsiantar)

ABSTRAK Latar belakang: Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk masih merupakan masalah di dunia, dan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menekan pertambahan jumlah penduduk adalah dengan program KB. Sejak tahun 1997 program KB mengalami stagnasi sehingga peserta KB tidak sesuai target yang ditentukan. Kecamatan Siantar Timur adalah Kecamatan dengan tingkat kesertaan KB paling rendah di Kota Pematangsiantar, dengan kesertaan KB 61% masih lebih rendah dari standar pencapaian minimal Kota Pematangsiantar yaitu 70%. Metode: Jenis penelitian survei dengan rancangan crosssectional, bertujuan untuk menjelaskan pengaruh factor sosiodemografi dan budaya dengan keikutsertaan KB isteri PUS di Kecamatan Siantar Timur Kota Pematangsiantar. Pengambilan sampel sebesar 120 orang, dengan menggunakan teknik simple random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner. Metode analisis data bivariat dengan chi square dan multivariat dengan regresi logistik ganda. Hasil: Uji bivariat: variabel sosio demografi yang berhubungan dengan keikutsertaan KB yaitu: umur (p = 0,015), pekerjaan (p = 0,040), akses ke media (p= 0,000), akses ke pelayanan (p= 0,008) dan variabel budaya yaitu, nilai anak (p=0,038), nilai agama (p=0,017), nilai ekonomi (p=0,000), nilai kesehatan (p=0,012) dan tradisi/kebiasaan KB di keluarga(p = 0,021). Uji multivariat: variabel yang berpengaruh terhadap keikutsertaan KB yaitu akses kemedia, akses ke pelayanan, nilai anak, nilai ekonomi, dan tradisi. Kata kunci: keikutsertaan, sosio demografi dan budaya KB

13

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

Pakpak 100 jiwa dan lainnya 1.370 jiwa . Mayoritas suku penduduk di Kecamatan Siantar Timur adalah Batak Toba, dan pekerjaan penduduk pada umumnya adalah pada sektor perdagangan (31,5%). (BPS Kota Pematang Siantar 2012). Laporan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan KB Kota Pematangsiantar, Kecamatan Siantar Timur adalah Kecamatan dengan tingkat kesertaan KB(current user) paling rendah di Kota Pematang Siantar yaitu 4026 PUS(61%) dari 6470 PUS, lebih rendah dari SPM Kota Pematangsiantar tahun 2010 yaitu 70%. Hasil wawancara peneliti dengan 15 orang isteri PUS yang sudah memiliki 2 anak yang tidak ikut dalam program KB di Kecamatan Pematang Siantar menyatakan alasan mereka enggan ikut berKB adalah karena takut efek samping, suami tidak memberi izin (juga karena alasan bahaya pada isteri), belum memiliki anak laki-laki dan biaya yang mahal . Upaya untuk meningkatkan pencapaian KB aktif ini telah banyak dilakukan yaitu dengan adanya sarana Posyandu, banyaknya jumlah bidan Praktek swasta yang juga memberi pelayanan KB, dan Puskesmas yang seluruhnya memberi pelayanan KB. Namun hal ini nampaknya belum dapat secara optimal membuat tingkat kesertaan KB di Kecamatan Siantar Timur mencapai target SPM yang telah ditetapkan. Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Sosio demografi dan Budaya terhadap keikutsertaan Keluarga Berencana pada wanita PUS di Kecamatan Siantar Timur Kota Pematangsiantar tahun 2012. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan desain cross sectional. Dilaksanakan di Kecamatan Siantar Timur Juni-Juli 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Wanita PUS di Kecamatan Siantar Timur Kota Pematangsiantar. Berdasarkan perhitungan didapatkan besar sampel yang diteliti sebesar 120 orang Setelah ditentukan banyaknya sampel pada setiap wilayah selanjutnya peneliti menggunakan metode penarikan sampel yang digunakan secara acak sederhana (simple random sampling). Penelitian ini menggunakan data primer dengan alat bantu kuesioner. Metode analisis data yang dilakukan adalah analisis univariat, analisis bivariat menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p <0,05) dan analisis multivariat metode Backward. HASIL PENELITIAN Responden pada penelitian ini terdiri dari 120 ibu PUS yang tinggal di Kecamatan Siantar

Utara. Analisa univariat dilakukan pada seluruh variabel penelitian untuk mengetahui distribusi frekuensi Sosio demografi dan Budaya ibu-ibu PUS di Kecamatan Siantar utara. Variabel yang diteliti adalah Sosio demografi (umur ibu, pendidikan, pekerjaan, akses kemedia, akses pelayanan KB, pengetahuan dan sikap ibu) dan faktor budaya (nilai ekonomi, nilai kesehatan, nilai anak, nilai agama dan tradisi/kebiasaan) terhadap keikusertaan KB wanita pasangan usia subur di Kecamatan Siantar Timur Kota Pematangsiantar tahun 2012. Tabel 1. Hasil Uji Bivariat Variabel Umur Resiko rendah Resiko tinggi Pendidikan Tinggi/ lanjut Dasar Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Pengetahuan Baik/ cukup Kurang Akses media Baik Kurang Akses Pelayanan Baik Kurang Sikap Baik/ sedang Buruk Nilai anak Tinggi Rendah Tradisi Baik Kurang Nilai agama Tinggi Rendah Nilai kesehatan Baik Kurang Nilai ekonomi Tinggi Rendah Keikutsertaan Variabel Tidak Ikut f % f % p

21 44,7 26 55,3 0,015 49 67,1 24 32,9 51 54,8 42 45,2 0,150 19 70,4 8 29,6 31 70,5 13 29,5 0,012 39 51,3 37 48,7 40 57 33 45,2 0,327 30 61,8 17 36,2 23 41,1 33 58,9 0,199 47 73,4 17 26,6 21 43,8 27 56,3 0,008 49 68,1 23 31,9

70 58,8 49 41,2 0,235 0 0 3 100 62 62,6 37 37,4 0,038 8 38,1 13 61,9 20 42,6 27 57,4 0,005 50 68,5 23 31,5 56 65,1 30 34,9 0,017 14 41,2 20 58,8 30 47,6 33 52,4 0,012 40 70,2 17 29,8 30 44,1 38 55,9 0,000 40 76,9 12 23,1

Responden yang ikut KB sebanyak 70 orang dan yang tidak ikut KB 50 orang. Mayoritas ibu berumur >35 tahun (60,8%), pendidikan

14

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

responden mayoritas pada kategori pendidikan lanjut (63,3), responden mayoritas tidak bekerja (63,3%), pengetahuan responden tentang KB mayoritas pada kategori kurang (39,2 %). Akses ke media mayoritas pada kategori kurang (53,3%), akses ke pelayanan mayoritas pada kategori kurang (72 %). Mayoritas responden bersikap baik tentang keikutsertaan KB (60%). Mayoritas responden mengatakan nilai anak tinggi tentang KB (99%), Mayoritas tradisi keluarga tentang KB pada kategori kurang (60,8%). Mayoritas responden mengatakan nilai agama,nilai ekonomi dan nilai kesehatan tinggi dengan keikutsertaan KB. Berdasarkan hasil uji statistik Chi square antara variabel dependen sosio demografi (umur, pendidikan, pekerjaan, akses kemedia, akses ke pelayanan ,pengetahuan, sikap ibu) budaya (nilai anak,tradisi/kebiasaan, nilai agama, nilai ekonomi, nilai kesehatan) dengan variabel dependen keikutsertaan terhadap KB diperoleh hasil bahwa variabel umur, pekerjaan, akses ke media, akses ke pelayanan, nilai anak, nilai agama, nilai ekonomi, dan nilai kesehatan berhubungan secara signifikant dengan keikutsertaan KB ibu ibu Pus di Kecamatan Siantar Utara karena nilai p< 0,05. Tabel 2. Hasil Analisis Multivariat Pengaruh Sosiodemografi Dan Budaya Terhadap Keikutsertaan Program KB Wanita PUS Di Kecamatan Siantar Timur
Variabel Media B -1,310 P Exp (B) 95% CI for Exp(B) Lower Upper 0,683 0,964

Timur, diikuti dengan nilai anak, akses pelayanan, tradisi, akses ke media dan terakhir adalah nilai ekonomi. PEMBAHASAN Pengaruh sosiodemografi dengan keikutsertaan ibu pus dalam program kb Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam keikutsertaan KB, mereka yang berumur lebih tua mempunyai peluang lebih kecil untuk ikut dalam program KB dibandingkan dengan yang muda (Notoadmodjo1993). Analisa BKKBN tentang SDKI 2002/2003 dikutip dari Tatarini (2008) mengatakan bahwa umur dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun sangat berisiko terhadap kehamilan dan melahirkan sehingga berhubungan erat dengan keikutsertaan KB. Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keikutsertaan dalam programKB. Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan semakin tinggi pula pengetahuan dan kesadaran akan program KB. Pekerjaan dapat mempengaruhi keikutsertaan KB kemungkinan karena pekerjaan individu berhubungan dengan tingkat pendapatan. Menurut Ahmadi (2003) dikutip dari Yusrizal (2008), bahwa usaha memerangi kemiskinan hanya dapat berhasil kalau dilakukan dengan cara memberikan pendapatan yang layak kepada orang-orang miskin dan juga dengan lapangan pekerjaan dapat memberikan kesempatan masyarakat untuk bekerja dan merangsang berbagai kegiatan disektor-sektor ekonomi. Dalam hal ini termasuk Sektor kesehatan yaitu keinginan ibu untuk menjadi peserta KB yang dalam hal ini kemungkinan membutuhkan dana untuk melakukannya. Menurut Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan isteri PUS tentang keikutsertaan KB adalah hasil pengideraan isteri PUS tentang kegunaan KB sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejateraan keluarga. Menurut penelitian Achmad Rois, media komunikasi yang dipunyai oleh keluarga responden secara teoritis memang dapat mempengaruhi keikutsertaan dalam KB. Penelitian BKKBN tahun 2004 yang menyatakan kemudahan dan ketersediaan pelayanan berdampak positif terhadap penggunaan suatu alat kontrasepsi Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sri Hastuti (2004) yang menyimpulkan sikap ibu tidak berhubungan dengan keikutsertaan KB pada wali murid SD Islam terpadu IQROPondok Gede Jawa Barat.

0,006 0,270 0,107 0,042 0,387 0,148

Akses -0,972 Pelayanan Nilai Anak 1,181 Nilai Ekonomi Nilai Agama Tradisi Constant -1,542 1,500 -1,203 1,566

0,054 3,529 0,979 10,851 0,002 0,214 0,082 0,557

0,004 4,481 1,607 12,497 0,013 0,300 0,116 0,004 4,787 0,777 -

Hasil analisis multivariat regresi logistic menjelaskan bahwa secara bersama-sama variabel independen, yaitu akses terhadap media, akses terhadap pelayanan, nilai anak, nilai ekonomi, nilai agama dan tradisi KB dalam keluarga secara langsung bersama-sama mempengaruhi keikutsertaan isteri PUS dalam program KB. Berdasarkan nilai koefisien B yang tertinggi adalah variabel nilai agama yaitu 1,500 ini menunjukkan variabel tersebut adalah yang paling dominan mempengaruhi keikutsertaan KB pada ibu-ibu isteri PUS di Kecamatan Siantar

15

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

BKKBN (2000) menyimpulkan semakin tinggi nilai anak yang dianut dalam keluarga maka semakin sulit untuk memberikan motivasi agar berpartisipasi dalam program KB. Pada penelitian ini tradisi keluarga tidak berhubungan dengan keikutsertaan KB. artinya tradisi bukanlah factor yang dapat mempengaruhi isteri PUS dalam program KB. Penganut Islam mengatakan bahwa hukum KB bisa haram apabila bertujuan untuk membatasi kelahiran karena di Islam tidak ada pembatasan kelahiran. Tapi hukum KB bisa menjadi mubah apabila dengan kehamilan dapat membahayakan kondisi ibu. Penelitian di Jawa Timur menyatakan faktor ekonomi berpengaruh positif terhadap efektifitas pelaksanaan KB maupun terhadap tingkat fertilitas. Adanya pengaruh tersebut menandakan bahwa semakin baik kondisi sosial ekonomi masyarakat Jawa Timur maka semakin rendah keinginan ber KB (Saleh,M, 2003). KB dimasukan dalam pelayanan kesehatan reproduksi karena KB bertujuan untuk menunda, menjarangkan atau membatasi kehamilan, bila jumlah anak dianggap cukup. Kehamilan yang diinginkan pada keadaan dan saat yang tepat, akan lebih menjamin kesehatan dan keselematan ibu dan bayi yang dikandungnya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sosiodemografi ibu yang berpengaruh dengan keikutsertaan KB yaitu akses kemedia dan akses ke pelayanan KB. Hal ini mengindikasikan bahwa jarak yang jauh dan pelayanan petugas yang kurang baik menjadi salah satu factor yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan wanita PUS dalam program KB. Demikian juga dengan media informasi, semakin banyak informasi yang didapatkan akan semakin besar keinginan untuk ber KB. Faktor budaya yang mempengaruhi keikutsertaan PUS dalam program KB adalah nilai agama, nilai ekonomi, nilai anak, nilai kesehatan dan tradisi. Hal ini mengindikasikan bahwa wanita PUS berpandangan nilai-nilai yang ada dalam budaya dapat menjadi salah satu factor keikutsertaan PUS dalam program KB. Semakin baik pandangan ibu akan nilai agama, nilai anak, nilai kesehatan, nilai ekonomi, dan tradisi maka akan semakin rendah keinginan isteri PUS untuk ikut dalam program KB. Saran Mengingat nilai agama sangat mempengaruhi keikutsertaan KB sehingga disarankan kepada pihak Badan Pemberdayaan

Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Pematangsiantar untuk lebih mengadakan pendekatan kepada lembaga-lembaga khusus misalnya tokoh agama agar dapat meningkatkan kerjasama dibidang KB serta memasukkan konsep-konsep KB dalam acaraacara rutin/ceramah-ceramah agama. Kepada ibu-ibu di Kecamatan Siantar Timur agar lebih banyak mencari informasi tentang KB untuk memperluas wawasan dan meningkatkan pengetahuan tentang KB baik itu melalui media cetak, massa maupun media elektronik. Perlu penelitian lebih lanjut tentang keikutsertaan KB didaerah penelitian dengan variabel yang lebih lengkap dan metoda yang berbeda sehingga dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat lebih luas mengenai keikutsertaan KB.. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian. Edisi Revisi VI. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. _____, (2000), Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta, BKKBN _____, (2003), Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, BKKBN, Jakarta _____, (2009), Profil Hasil Pendataan Keluarga tahun 2008, Medan BPS Kota Pematang Siantar Tahun 2012 Casuli, Casuli (2005) Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keikutsertaan KB Pada Pasangan Usia Subur (Pus) Di Desa Tanjungsari Kecamatan Sadananya Kabupaten Ciamis Tahun 2005, . Undergraduate thesis, Diponegoro University. Depkes RI, Kepmenkes RI No.957/Menkes/ SK/ Y/ 2003 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan , Jakarta Ekarini SMB, (2008), Tesis, Analisis faktor Yang Berpengaruh terhadap Partisipasi pria dalam KB di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali, FKM Undip, Semarang. Hartanto, Hanafi, (2004). Keluarga Berencana dan Kontrasepsi, Jakarta Pustaka Sinar Harapan Imbarwati, (2009). Beberapa Faktor yang Berkaitan dengan Penggunaan KB IUD pada Peserta Non KB IUD di Kecamatan Pedurungan Kota Semarang, Tesis FKM Undip Semarang.

16

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

Lameshow Stanley, (1997). David W Homer, KllarJanelle, Besar Sample dalam Penelitian Kesehatan, UGM Press, Maran RR, (2007). Manusia dan Kebudayaan dalam Persfektif Ilmu Budaya Dasar, Rineka Cipta, Jakarta Notoadmodjo Soekijo, (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Rineka Cipta, Jakarta Profil Kesehatan Kota Pematangsiantar tahun 2011, Pemerintah Kota Pematangsiantar Dinas Kesehatan tahun 2011. Radita Kusumaningrum,(2009), Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Jenis Kontrasepsi yang digunakan pada PUS , Skripsi FKM UNDIP Semarang. Rachmawati Fiona H, (2005), Hubungan Faktor Sosio Demografi , Sosio Psikologi dan Pelayanan KB terhadap Keikutsertaan KB di Kelurahan Sidorejo, Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2005, Skripsi, FKM USU Sakhnan,R,( 2001), Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keikutsertaan PUS dalam Program KB pada Suku Talang Mamak di Desa Seberida Kabupaten Indragiri Hulu, Propinsi Riau, Tesis FKM UI Saleh Mohammad, (2001). Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi dan Budaya terhadap Efektifitas Program KB dalam dan Tingkat Fertilitas . Tesis, FKM UNDIP Semarang. Sri Hastuti (2004), Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keikutsertaan KB Ibu PUS Wali Murid SD Islam Terpadu IQRO Kecamatan Pondok Gede, Bekasi Jawa Barat Tesis, FKM UI Depok.

Yusrizal, (2008)., Pengaruh Factor Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Terhadap Status Gizi Anak Balita Di Wilayah Pesisir Kabupaten Bireuen, tesis, USU, Medan

Tatarini,Junita Purba,( 2008), Faktor yang Mempengaruhi Pemakaian Alat kontrasepsi pada Isteri PUS di Kecamatan Rambah Samo, Kabupaten Rokan Hulu. Tesis FKM USU Tri,W.,2001, Faktor Social Budaya Dan Pelayanan Kontrasepsi Yang Berkaitan Dengan Kesertaan KB IUD Di Dua Desa Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Agustus 2001,skripsi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga Yunus, R dkk, (2010) Ilmu social Budaya Dasar,untuk Kebidanan, Penerbit FitraMaya, , Yogyakarta

17

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN ANALISIS KEIKUTSERTAAN SKRINING KANKER SERVIKS DENGAN METODE INSPEKSI VISUAL MENGGUNAKAN ASAM ASETAT Sri Hernawati Sirait (Poltekkes Kemenkes Medan, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Pematangsiantar) ABSTRAK Globocan, International Agency for Research on Cancer (IARC) tahun 2008 memperkirakan hampir 90% kematian akibat kanker serviks terjadi di negara berkembang atau negara miskin, hal ini disebabkan karena kurangnya melakukan skrining prakanker dan tahap awal kanker serviks. Tujuan penelitian untuk menjelaskan analisis keikutsertaan skrining kanker serviks dengan metode IVA pada WUS di wilayah kerja Puskesmas Berohol Kecamatan Bajenis Kota Tebing Tinggi. Jenis penelitian deskriptif dengan rancangan cross-sectional, populasi yaitu seluruh WUS yang sudah menikah dan mendapat penyuluhan tentang skrining kanker serviks di wilayah kerja Puskesmas Berohol sebanyak 336 orang. Besar sampel 250 orang diperoleh dengan menggunakan teknik simple random sampling. Analisis bivariat dengan uji chi square, analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda dengan kemaknaan p<0,05 dan CI 95%. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa faktor predisposisi yang berhubungan dengan keikutsertaan skrining kanker serviks yaitu : pendidikan (p=0,001; RP=0,27; 95% CI=0,140,54), pekerjaan (p=0,001; RP=4,21; 95% CI=3,08-5,76), status ekonomi (p=0,001; PR=1,88; 95% CI=1,40-2,53), pengetahuan (p=0,001; RP=3,05; 95% CI=2,03-4,57) dan sikap (p=0,001; RP=2,28; 95% CI=1,55-3,35). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang paling besar kontribusinya dalam keikutsertaan skrining kanker serviks dengan metode IVA yaitu pekerjaan (koefisien B = 2,57). Bagi WUS yang tidak bekerja disarankan agar mengikuti program promosi tentang kanker serviks dan skrining kanker serviks dengan metode IVA di wilayah kerja Puskesmas Berohol Kecamatan Bajenis Kota Tebing Tinggi. Kata Kunci: keikutsertaan, skrining, kanker serviks, IVA, WUS Globocan, International Agency for Research on Cancer (IARC) tahun 2008 memperkirakan hampir 90% kematian akibat kanker serviks terjadi di negara berkembang atau negara miskin, hal ini disebabkan karena kurangnya melakukan skrining prakanker dan tahap awal kanker serviks (American Cancer Society, 2011). Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara jumlah penderita kanker serviks pada tahun 2011 sebanyak 83 kasus dengan proporsi tertinggi pada usia 45 - 54 tahun. Data dari RSUD dr. Pirngadi Medan jumlah penderita kanker serviks pada tahun 2008 sebanyak 25 kasus, tahun 2009 sebanyak 48 kasus, tahun 2010 sebanyak 40 kasus dan tahun 2011 sebanyak 51 kasus, dimana hampir 80% dari kasus ditemukan pada stadium akhir dan sekitar 75% berakibat kematian. Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi Human Papilloma Virus (HPV), virus umum yang menular melalui hubungan seksual. Risiko tinggi infeksi HPV paling sering terjadi pada perempuan muda, dengan prevalensi puncak setinggi 25 - 30% pada wanita di bawah usia 25 tahun. Diperlukan waktu 10 - 20 tahun virus HPV untuk lesi prekursor yang dapat berkembang menjadi kanker invasif. Oleh karena itu kanker serviks dapat dicegah dengan intervensi yang efektif yaitu skrining dan pengobatan lesi prakanker (WHO, 2006). Keikutsertaan untuk menjalani pemeriksaan skrining kanker serviks di Bali dipengaruhi oleh faktor sosial demografi, biaya, pengetahuan dan sikap wanita itu sendiri (Wulandari, 2010). Faktor-faktor yang berhubungan dengan keikutsertaan skrining kanker serviks, antara lain adalah faktor umur, pendidikan, pekerjaan, status ekonomi, status perkawinan, paritas, jarak ke tempat pemeriksaan, biaya, pengetahuan dan sikap (WHO, 2002). Survei awal telah dilakukan di Puskesmas Berohol Kota Tebing Tinggi, yang merupakan salah satu dari sembilan puskesmas yang melaksanakan pelayanan skrining kanker serviks dengan metode IVA yang dilaksanakan mulai tahun 2009 sampai sekarang dan juga menjadi program unggulan di Puskesmas Berohol. Daftar kunjungan layanan IVA dari tahun 2009 sampai bulan Desember 2011 hanya 316 (7,4 %) wanita dari 4269 WUS di wilayah kerja Puskesmas Berohol yang ikut melakukan pemeriksaan IVA. Hal ini menunjukkan masih sedikit ibu yang mau menggunakan pelayanan IVA. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan desain cross sectional. Dilaksanakan di

18

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

wilayah kerja Puskesmas Berohol bulan Februari-Juni 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah WUS yang sudah menikah dan telah mendapat penyuluhan tentang skrining kanker serviks dengan metode IVA. Besar sampel ditentukan dengan uji hipotesis proporsi 1 populasi yaitu sebanyak 250 orang yang diambil secara simple random sampling. Analisis data meliputi tahapan analisis univariat, analisis bivariat dengan uji chi square, analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda dengan kemaknaan p<0,05 dan CI 95%. HASIL PENELITIAN Analisis univariat Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Predisposisi No Variabel Kategori 1. Keikut Melakukan sertaan Tidak skrining IVA melakukan 2. Umur 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 3. Pendidikan Tinggi Menengah Rendah 4. Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja 5. Status Baik ekonomi Kurang 6. Status Menikah menikah Janda 7. Paritas >2 8. Pengetahu- Baik an Kurang baik 9. Sikap Positif Negatif Dekat Jauh Gratis Bayar f 97 153 75 118 57 89 97 64 74 176 70 180 228 22 103 147 132 118 143 107 241 9 217 33 % 38,8 61, 2 30,0 47, 2 22,8 35,6 38,8 25,6 29,6 70, 4 28, 0 72,0 91,2 8,8 41,2 58,8 52,8 47,2 57,2 42,8 96,4 3,6 86,8 13,2

Tabel 2. Hubungan Faktor Predisposisi dengan Keikutsertaan WUS dalam Pemeriksaan IVA di Puskesmas Berohol Tahun 2012 Faktor Predisposisi Keikutsertaan WUS dalam Pemeriksaan IVA MelaTidak kukan Melakukan n % n %

RP 95% CI

Umur 20-29 th. 26 30-39 th. 53 40-49 th. 18 Pendidikan Tinggi 51 Menengah36 Rendah 10 Pekerjaan Bekerja 62 Tidak 35 bekerja Status ekonomi Cukup 41 Kurang 56 Status menikah 93 Menikah 4 Janda Paritas >2 42 2 55 Pengetahu an Baik 75 Kurang 22 Sikap Positif 73 Negatif 24

34,7 49 65,3 1 44,9 65 55,1 0,169 1,30(0,90-1,87) 31,6 39 68,4 0,710 0,91(0,56-1,50) 57,3 38 42,7 1 37,1 61 62,9 0,046 0,65(0,42-0,99) 15,6 54 84,4 0,001 0,27(0,14-0,54) 83,8 12 16,2 0,001 4,21(3,08-5,76) 19,9 141 80,1

58,6 29 21,4 0,001 1,88(1,40-2,53) 3,11 124 68,9 40,8 135 59,2 0,064 2,24(0,91-5,52) 18,2 18 81,8 40,8 61 59,2 0,685 1,09(0,80-1,49) 37,4 92 62,6 56,8 57 43,2 0,001 3,05(2,03-4,57) 18,6 96 81,4 51,0 70 49,0 0,001 2,28(1,55-3,35) 22,4 83 77,6

10. Jarak 11. Biaya

Analisis multivariat Tabel 3 : Hasil seleksi akhir analisis multivariat Variabel Coeficient Nilai Rasio 95% p Prevalen CI for Exp(B) 2,75 2,20 1,75 1,71 1,32 1,07 -

Analisis bivariat Analisis bivariat menunjukkan bahwa ada 5 variabel yang berhubungan signifikan dengan keikutsertaan skrining kanker serviks yaitu: pendidikan (p=0,001; RP=0,27; 95% CI=0,140,54), pekerjaan (p=0,001; RP=4,21; 95% CI=3,08-5,76),status ekonomi (p=0,001; PR=1,88; 95% CI=1,40-2,53), pengetahuan (p=0,001; RP=3,05; 95% CI=2,03-4,57) dan sikap (p=0,001; RP=2,28; 95% CI=1,55-3,35).

Model 5 Pekerjaan - 2,571 0,001 Pengetahuan- 1,851 0,003 Sikap - 1,485 0,027 Constant 3,153 2 Pseudo R = 0,38

Dari hasil analisis binary logistic regression menunjukkan bahwa pekerjaan merupakan

19

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

variabel yang paling dominan berhubungan dengan keikutsertaan WUS dalam melakukan pemeriksaan IVA, dapat dilihat dari nilai coefisien yaitu -2,57. PEMBAHASAN Pada variabel umur hasil uji statistik chisquare didapat nilai p = 0,169 dan 0,710, artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara umur responden dengan keikutsertaan WUS dalam melakukan pemeriksaan IVA, begitu juga pada hasil uji regresi logistik ganda menunjukkan tidak ada hubungan umur responden dengan keikutsertaan WUS dalam melakukan pemeriksaan IVA. Ini menunjukkan bahwa wanita yang lebih muda tingkat keikutsertaan dalam skrining kanker serviks lebih tinggi di bandingkan dengan wanita yang lebih tua. WHO merekomendasikan agar setiap wanita yang berusia antara 25-35 tahun melakukan skrining kanker serviks setiap 3-5 tahun, skrining setiap 5 tahun bagi wanita umur 50-64 tahun dan skrining pada wanita umur 65 tahun ke atas hanya untuk wanita yang belum pernah melakukan skrining kanker serviks untuk menghindari lolosnya kasus kanker serviks (Departemen Kesehatan RI, 2008). Pada variabel pendidikan hasil uji chi-square didapat nilai p =0,046 dan 0,001 artinya ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan keikutsertaan WUS dalam melakukan pemeriksaan IVA. Sedangkan hasil uji regresi logistik ganda tidak ada hubungan pendidikan dengan keikutsertaan WUS dalam melakukan pemeriksaan IVA. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian di Maharashtra India yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0,001) antara pendidikan dengan keikutsertaan wanita dalam program skrining. Wanita yang mempunyai pendidikan yang tinggi biasanya mempunyai wawasan yang lebih luas dibandingkan wanita dengan pendidikan yang rendah. Suatu tindakan yang dilakukan bila dapat memberikan manfaat yang lebih dibandingkan kerugian, menyebabkan wanita tersebut akan berusaha untuk melakukan suatu tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2007). Ada hubungan antara pekerjaan dengan keikutsertaan WUS dalam melakukan pemeriksaan IVA. Kemungkinan WUS yang bekerja melakukan pemeriksaan IVA 2,75 kali lebih besar dibandingkan WUS yang tidak bekerja (95% CI = 1,71-4,43). Wanita yang bekerja mempunyai kesempatan lebih besar dalam mendapatkan informasi khususnya informasi tentang kanker serviks dan cara pencegahannya dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja. Wanita yang bekerja lebih sering berinteraksi dengan banyak orang sehingga peluang wanita untuk melakukan tukar pendapat dengan orang-orang di sekitar

lingkungan kerjanya lebih tinggi sehingga informasi yang didapatkan lebih banyak (Lee, 2008). Hasil uji chi-square di dapat nilai p = 0,001, artinya ada hubungan yang signifikan antara status ekonomi keluarga dengan keikutsertaan WUS dalam pemeriksaan IVA, sedangkan hasil uji regresi logistik ganda menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan. Ini sejalan dengan penelitian di Belgrade Serbia yang menyatakan bahwa bahwa status ekonomi yang cukup berhubungan dengan keikutsertaan wanita untuk melakukan pemeriksaan IVA. Status ekonomi keluarga yang kurang berisiko untuk tidak melakukan program skrining 10,8 kali (95% CI: 2,8-14,5) dibandingkan wanita dengan status ekonomi cukup. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian di Geneva, Switzerland yang menyatakan bahwa status ekonomi merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan keikutsertaan wanita dalam program skrining kanker serviks (WHO, 2006). Hasil uji chi-square didapat nilai p = 0,064, artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara status menikah dengan keikutsertaan WUS dalam melakukan pemeriksaan IVA. Keikutsertaan wanita dengan status kawin dalam program skrining kanker serviks yang tinggi kemungkinan karena pasangan hidup atau suaminya memberikan dorongan atau dukungan sehingga wanita tersebut termotivasi untuk ikut melakukan skrining kanker serviks (Winkler, 2008). Pada variabel paritas didapat tidak ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan keikutsertaan WUS dalam melakukan pemeriksaan IVA. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wulandari (2010) yang menunjukkan hasil uji statistik chi-square p = 0,308 (p>0,05). Beberapa penelitian menyatakan bahwa semakin tua umur seseorang maka keikutsertaan dalam melakukan skrining kanker serviks akan semakin rendah (Sutton, 2005). Semakin banyak anak yang dimiliki maka semakin banyak pula tugas yang harus dilakukan wanita sehingga umumnya mereka lebih memprioritaskan kegiatan yang bersifat rutinitas. Hal ini dapat menjadi penyebab tidak adanya hubungan secara signifikan antara paritas dengan keikutsertaan wanita dalam melakukan pemeriksaan IVA. Pada variabel pengetahuan didapat hasil uji chi square ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan keikutsertaan WUS dalam melakukan pemeriksaan IVA begitu juga pada analisis multivariat dengan nilai p = 0,003. Kemungkinan WUS dengan pengetahuan yang baik melakukan pemeriksaan IVA 2,20 kali lebih besar dibandingkan WUS dengan pengetahuan yang kurang baik (95% CI : 1,32-3,69).

20

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Chicago dan di Inggris yang menyatakan pengetahuan tentang kanker serviks dan manfaat skrining kanker serviks yang kurang dapat menjadi faktor penghambat seorang wanita untuk melakukan program skrining kanker serviks (Gannon, 2008). Pengetahuan paling penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan seseorang terhadap suatu objek dapat berubah dan berkembang sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, pengalaman dan tinggi atau rendahnya mobilitas informasi tentang objek tersebut di lingkungannya (Notoatmodjo, 2003). Beberapa hal yang dapat mengurangi keikutsertaan WUS dalam program skrining kanker serviks yaitu kurangnya kesadaran akan manfaat skrining kanker serviks yang dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang kanker serviks dan kurangnya pemahaman tentang prosedur skrining kanker serviks yang dapat menimbulkan rasa takut dan malu jika seorang wanita melakukan pemeriksaan IVA (WHO, 2006). Pada variabel sikap didapat hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan nilai p = 0,001, artinya ada hubungan yang signifikan antara sikap dengan keikutsertaan WUS dalam pemeriksaan IVA. Kemungkinan WUS dengan sikap positif melakukan pemeriksaan IVA 1,75 kali lebih besar dibandingkan WUS dengan sikap negatif (CI 95% = 1,06-2,87). Sikap wanita yang menganggap skrining kanker serviks tidak perlu dilakukan jika tidak ada gejala serta anggapan bahwa skrining kanker serviks merupakan suatu hal yang memalukan perlu di atasi. Beberapa penelitian membuktikan bahwa sikap ini sering menghambat wanita untuk ikut serta menjalani skrining. Hal ini memerlukan adanya pemberian informasi yang cukup kepada masyarakat khususnya wanita (Notoatmodjo, 2003). Sikap merupakan respon emosional seseorang terhadap suatu stimulus yang sifatnya adalah suatu evaluasi pribadi dari diri seseorang terhadap suatu stimulus. Seseorang akan melakukan suatu perilaku jika orang tersebut memandang perilaku tersebut adalah positif dan berguna bagi dirinya, akan tetapi apabila individu tersebut memandang perilaku tersebut adalah negatif dengan kata lain tidak bermanfaat atau bahkan merugikan, maka orang tersebut akan menolak untuk melakukan perilaku tersebut (Azwar, 2009). Pada variabel jarak menunjukkan bahwa jarak yang dekat ke tempat pemeriksaan tidak berhubungan dengan hasil uji statistik chisquare didapat nilai p=1,000. Teori Lawrence Green menyatakan bahwa salah satu faktor pemungkin atau pendorong seorang wanita melakukan pemeriksaan IVA bila ada keterjangkauan sarana dan prasarana untuk

berperilaku sehat, yaitu perilaku skrining kanker serviks (Notoatmodjo, 2007). Namun karena keterbatasan transportasi untuk menuju ke tempat pemeriksaan dapat menjadi hambatan dalam melakukan pemeriksaan IVA walaupun jaraknya dekat ke puskesmas. Hasil uji statistik chi-square didapat nilai p = 0,790, artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara biaya dengan keikutsertaan WUS dalam melakukan pemeriksaan IVA. Biaya yang harus dikeluarkan dalam melakukan skrining kanker serviks antara lain adalah biaya yang terkait dengan perjalanan, biaya yang dikeluarkan tentu akan menambah pengeluaran keluarga. Hasil penelitian tentang keikutsertaan skrining kanker serviks di Maharashtra India menyatakan bahwa biaya pemeriksaan yang gratis serta tidak adanya biaya transportasi dapat membantu meningkatkan keikutsertaan wanita untuk melakukan pemeriksaan IVA (Nene, 2007). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Faktor predisposisi yaitu pendidikan, pekerjaan, status ekonomi, pengetahuan dan sikap memiliki hubungan yang signifikan dengan keikutsertaan WUS dalam melakukan pemeriksaan IVA, sedangkan faktor pemungkin tidak berhubungan dengan keikutsertaan WUS dalam melakukan pemeriksaaan IVA. Pekerjaan merupakan variabel dominan berhubungan dengan keikutsertaan WUS dalam melakukan pemeriksaan IVA. Besar hubungan variabel tersebut dapat dilihat dari rasio prevalensi sebesar 2,75 dengan 95% CI : 1,71-4,43, artinya peluang WUS untuk melakukan pemeriksaan IVA pada WUS yang bekerja 2,75 kali lebih besar dibandingkan dengan WUS yang tidak bekerja. Saran Kepada tenaga kesehatan khususnya petugas Puskesmas Berohol beserta lintas pelaksana program lainnya di Kota Tebing Tinggi perlu menggalakkan kembali program promosi tentang kanker serviks dan skrining kanker serviks dengan metode IVA kepada masyarakat. Bagi wanita usia subur yang tidak bekerja disarankan agar mengikuti program promosi tentang kanker serviks dan skrining kanker serviks dengan metode IVA. Bagi peneliti lain perlu mempertimbangkan faktor penguat yang berhubungan dengan keikutsertaan WUS dalam melakukan pemeriksaan IVA, seperti dukungan suami dan dukungan petugas kesehatan.

21

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

DAFTAR PUSTAKA American Cancer Society, 2011. Global Cancer Facts & Figures 2nd Edition. Atlanta: American Cancer Society; 24-26 diakses 24 Februari 2012; www.cancer.org/acs/ groups/content/.../documents/.../acspc027766.pdf Azwar S., 2009. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Edisi ke-2 (8). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Departemen Kesehatan RI, 2008. Skrining Kanker Leher Rahim Dengan Metode Inspeksi Visual Dengan Asam Asetat (IVA), Jakarta. Gannon M., Dowling M., 2008. Increasing the uptake of cervical screening programmes. Br J Nurs. 17(20): 1281-1284.(online serial). Diakses 18 Februari 2012. Lee, EE., Fogg, L., Menon, U., 2008. Knowledge and Belief Related to Cervical Cancer and Screening Among Korean American women. West J Nurs Res,. 30(8):960-974. (online serial) diakses 18 Februari 2012. Nene, B., Kasturi, J., Silvana, A., Shastri, S., Budukh, A., Sanjay, H., Muwonge, R., Malvi, S., Dinshawc, K., & Sankaranarayananb, R.,2007. Determinants of Woman Participation in Cervical Cancer Screening Trial, Maharashtra, India. Bull WHO. 85 (4): 264-270, diakses 18 Februari 2012. Notoatmodjo, S., 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta, Rineka Cipta. Notoatmodjo, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta, Rineka Cipta. Sutton, S., Rutherford, C., 2005. Sociodemographic and Attitudinal Correlates of Cervical Screening Uptake in a National Sample of Women in Britain. Soc Sci- Med. WHO, 2002. Cervical Cancer Screening in Developing Countries: Report of a WHO Consultation [e-book]. Perancis:hal :25-37 ,diakses 18 Februari 2012; http://whqlibdoc.who.int/publications/2002 /9241545720.pdf WHO, 2006. Cervical Cancer Control : A Guide to Essential Practice [e-book]. Swiss: WHO; diakses 12 Februari 2012; http://whqlibdoc.who.int/publications/200 6/9241547006_eng.pdf

Winkler J., Bingham A, Coffey P, Penn Handwerker W., 2008. Womens Participation in a Cervical Cancer Screening Program in Northern Peru. Oxford J. 23(1): 10-24. Wulandari, I.A., 2010, Hubungan Faktor Sosial Demografi, Pengetahuan, Sikap dan Biaya dengan Perilaku Wanita Dalam Menjalani Pemeriksaan IVA di Puskesmas Mengwi II Kabupaten Badung Provinsi Bali. Tesis : Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung

22

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN Latar belakang PENGARUH ARANG AKTIF TONGKOL JAGUNG SEBAGAI ADSORBEN PHENOL PADA LIMBAH CAIR RUMAH SAKIT Susanti Oktavia Ningrum (Alumnus Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Prodi Kesehatan Lingkungan Magetan) Sunaryo (Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Prodi Kesehatan Lingkungan Magetan) Hery Koesmantoro (Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Prodi Kesehatan Lingkungan Magetan) ABSTRAK Latar belakang: Tongkol jagung sebagian besar tersusun oleh selulosa dan hemiselulosa yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan pembuat arang aktif. Dan arang aktif memiliki kemampuan mengadsorpsi kadar phenol pada limbah cair rumah sakit. Metode: Jenis penelitian ini pra eksperiment yaitu penggunaan arang aktif dari tongkol jagung untuk mengabsorpsi senyawa phenol pada limbah cair rumah sakit. Dimensi bak adsorpsi 3 0,084 m dan berat arang aktif 8,3 kg, limbah cair dialirkan pada adsorpsi secara Up Flow. Sampel dalam penelitian ini adalah limbah cair Rumah Sakit dr. Sayidiman Magetan pada bagian bak equalisasi, digunakan sampel replikasi 16 kali, dan uji statistik menggunakan uji-t berpasangan (paired t-test). Hasil: Kadar phenol sebelum perlakuan diperoleh hasil ratarata adalah 0,246 ppm dan kadar phenol sesudah perlakuan diperoleh hasil rata-rata adalah 0,043 ppm. Tingkat penurunan antara sebelum dan sesudah teratmen adsorpsi menggunakan arang aktif tongkol jagung diperoleh hasil rata-rata penurunan kadar phenol limbah cair rumah sakit 83%. Hasil uji statistik terhadap penurunan kadar phenol limbah cair rumah sakit diperoleh hasil T hitung >T tabel, maka Ho ditolak sehingga hal ini menunjukkan adanya pengaruh adsorben arang aktif tongkol jagung terhadap penurunan kadar phenol pada limbah cair rumah sakit secara signifikan. Kata kunci: limbah cair rumah sakit, phenol, tongkol jagung, arang aktif Dalam kegiatannya manusia selain menghasilkan produk juga banyak menghasilkan limbah, dimana limbah tersebut apabila tidak ditangani maka akan mencemari lingkungan sekitar. Sekarang banyak orang yang berlomba-lomba memikirkan bagaimana mengatasi limbah yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Mereka menciptakan suatu produk yang bahan bakunya berasal dari limbah, sehingga dapat mengurangi jumlah limbah yang dibuang di lingkungan. Seperti produksi jagung yang mana menghasilkan berbagai limbah, salah satunya adalah limbah tongkol jagung. Dari data Badan Ketahanan Pangan (BKP) Magetan pada tahun 2009 Kota Magetan memproduksi jagung sebanyak 108.284 ton. Dengan jumlah produksi jagung tersebut maka jumlah limbah tongkol jagung yang dihasilkan juga banyak. Apabila limbah tongkol jagung tidak diolah maka menambah beban pada lingkungan untuk menguraikan limbah tersebut. Biasanya masyarakat Magetan memanfaatkan tongkol jagung sebagai bahan bakar untuk memasak dan sebagian kecil digunakan untuk campuran bahan pakan ternak. Untuk menambah manfaat tongkol jagung juga dapat digunakan sebagai bahan baku arang aktif. Tongkol jagung sebagian besar tersusun oleh selulosa (41%) dan hemiselulosa (36%) yang cukup tinggi mengindikasikan bahwa tongkol jagung berpotensi sebagai bahan pembuat arang aktif. (Lorenz dan Kulp 1991). Arang aktif adalah arang yang sudah diaktifkan, baik dengan proses aktifasi fisika maupun proses aktifasi kimia sehingga pori-pori dalam arang terbuka. Dengan terbukanya pori-pori maka arang aktif memiliki daya serap terhadap senyawa organik dan anorganik dalam bentuk gas atau air, sehingga dapat dijadikan media adsorpsi senyawa-senyawa yang tidak diinginkan. Air limbah yang berasal dari limbah rumah sakit merupakan salah satu sumber pencemar air yang sangat potensial. Hal ini disebabkan karena limbah cair rumah sakit mengandung senyawa organik yang cukup tinggi juga dan kemungkinan mengandung senyawa kimia lain serta mikro-organisme patogen yang dapat menyebabkan penyakit terhadap masyarakat. Oleh karena potensi dampak limbah cairrumah sakit terhadap kesehatan masyarakat sangat besar (Nusa Idaman Said dan Heru Dwi Wahjono, 1999). Phenol merupakan senyawa organik yang terkandung dalam limbah cair rumah sakit. Karena sebagian kegiatan rumah sakit menggunakan antiseptic dan desinfektan yang mengandung phenol. Apabila phenol larut

23

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

dalam air akan menyebabkan iritasi yang kuat, racun terhadap kulit, gangguan tenggorokan, merusak pembuluh darah dan organ tubuh, sehingga perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu terhadap limbah yang mengandung phenol. Metode yang digunakan untuk penganan phenol pada limbah cair salah satunya metode penghilangan dengan cara adsorpsi, maka dapat menggunakan arang aktif sebagai media adsorpsi yang untuk menurunkan kadar phenol pada limbah cair rumah sakit. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Setyo Budi (2008) menyimpulkan bahwa arang tempurung kelapa rata rata mampu menyerap kadar phenol sebanyak 55% sedangkan arang sono hanya mampu menyerap 36.67%. Dan menurut penelitian yang dilakukan oleh Dini Pertiwi (2010) menyimpulkan bahwa karbon aktif dari sabut kelapa dan karbon aktif kormesial dapat digunakan untuk menurunkan kosentrasi phenol hingga mencapai 98%. Limbah tongkol jagung yang berlimpah dapat dimanfaat sebagai bahan baku pembuatan arang aktif. Diperlukan penelitian tentang kemampuan arang aktif tongkol jagung dalam menurunkan kadar phenol pada limbah cair rumah sakit, sehingga pengolahan limbah rumah sakit dapat memanfaatkan arang aktif yang berasal dari limbah tongkol jagung. Agar arang aktif tongkol jagung dapat lebih bermanfaat dan menambah nilai ekonomis dari limbah tongkol jagung. Tujuan Penelitian 1. Mengukur kadar phenol pada limbah cair rumah sakit sebelum diadsorpsi menggunakan arang aktif tonggol jagung. 2. Mengukur kadar phenol pada limbah cair rumah sakit sesudah diadsorpsi mengunakan arang aktif tonggol jagung. 3. Membandingkan kadar phenol pada limbah cair rumah sakit sebelum dan sesudah diadsorpsi menggunakan arang aktif tongkol jagung. 4. Menguji pengaruh arang aktif tongkol jagung sebagai adsorben phenol pada limbah cair rumah sakit. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian pra eksperimen, dimana penelitian memberi perlakuan pada sekelompok sampel yaitu mengabsorbsi senyawa phenol pada limbah rumah sakit menggunakan arang aktif tongkol jagung. Rancangan yang digunakan adalah One Group Pre and Postest, yaitu peneliti melakukan penelitian sebelum dan sesudah perlakukan pada sampel. Kemudian hasil yang diperoleh dibandingkan untuk mengetahui

penurunan kadar phenol pada limbah cair setelah melalui arang aktif tongkol jagung. Pembuatan arang aktif dan pelaksanaan penelitian sebagai berikut: 1. Pembutan Arang Aktif Tongkol Jagung a. Tongkol jagung dipotong antara 8-9 cm, kemudian arang digarang dalam tong penggarangan selama 5 jam. b. Apabila tongkol jagung sudah menjadi arang maka direndam dalam larutan NaOH 0,5% selama 24 jam. c. Selesai perendaman NaOH 0,5% selama 24 jam kemudian ditiriskan dan dicuci menggunakan aquades sampai arang bersih serta netral. d. Setelah pencucian maka arang aktif tongkol jagung dikeringkan didalam oven dengan suhu 1100C selama 1 jam e. Arang aktif tongkol jagung dengan panjang 5 cm. 2. Pelakasanaan penelitian a. Alat dan bahan (1) Arang aktif tongkol jagung dengan berat 8,3 kg ,(2) Pompa (3) Bak adsorpsi, (4) Bak Penampung Awal, (5) Ijuk, (6)Limbah cair rumah sakit b. Cara kerja (1)Rangkai semua antara bak adsorpsi, pompa dan bak penampung awal. (2)Pasang ijuk didasar bak adsorpsi, kemudian arang aktif satu persatu ditata dibak adsorpsi. (3)Apabila arang sudah penuh di bak aerator, maka diatasnya ditutup dengan ijuk. (4) Masukkan limbah cair ke bak penampung awal dan dialirkan ke bak adsorpsi secara up flow, yang sebelum limbah cair sudah ukur terlebih dahulu pH dan suhu. (5) Setelah air mengalir diukur pH, suhu, dan setiap 2 menit sekali maka diukur kadar phenol sebelum dan sesudah perlakuan sebanyak 16 kali pengulangan. HASIL PENELITIAN Hasil Pemeriksaan phenol disajikan pada Tabel 1, yang menunjukkan persentase penurunan kadar phenol setelah mengalami proses perlakuan melalui arang aktif tongkol jagung. Hasil penurunan kadar phenol limbah cair rumah sakit sebelum dan sesudah diadsorpsi perlakuan menggunakan arang aktif tongkol jagung yang tertinggi adalah 0,278 ppm dan yang terrendah adalah 0,103 ppm, dengan rata-rata penurunan adalah 0,204 ppm.

24

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

Tabel 1. Penurunan Kadar Phenol Limbah Cair Rumah Sakit Sebelum dan Sesudah Diadsorpsi Menggunakan Arang Aktif Tongkol Jagung Tahun 2012

0,35 0,3 0,25

Kadar Phenol Sebelum Kadar Phenol Sesudah

Sebelum Perlakuan (ppm)

Sesudah Perlakuan (ppm)

Pengukuran ke-

Persentase penurunan (%)

Waktu Pengambil-an

0,2 0,15 0,1 0,05

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

11.3011.32 11.3211.34 11.3411.36 11.3611.38 11.3811.40 11.4011.42 11.4211.44 11.4411.46 11.4611.48 11.4811.50 11.5011.52 11-5211.54 11.5411.56 11.5611.58 11.5811.00 12.0012.02

0,261 0,039 0,222 0,265 0,011 0,254 0,220 0,050 0,190 0,240 0,117 0,103 0,309 0,031 0,278 0,314 0,048 0,266 0,211 0,041 0,170 0,258 0,047 0,211 0,224 0,026 0,198 0,238 0,111 0,127 0,282 0,006 0,276 0,192 0,039 0,153 0,177 0,026 0,151 0,264 0,022 0,242 0,279 0,027 0,252 0,209 0,046 0,163 0,246 0,043 0,204

85,1 95,8 86,4 42,9 90 84,7 80,6 81,7 88,4 53,4 97,9 79,7 85,3 91,7 90,3 78 83%

0 Gambar 1. Perbandingan Kadar Phenol 0 Limbah 2 4 Cair 6 Rumah 8 10 12 14 16 Sakit Pengukuran KeSebelum dan Sesudah Diadsorpsi Menggunakan Arang Aktif Tongkol Jagung Tahun 2012
PEMBAHASAN Dalam penelitian ini limbah cair rumah sakit dilewatkan pada media adsorben arang aktif tongkol jagung secara Up flow dan diambil 16 kali pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan dengan interval waktu 2 menit. Dari Hasil pengukuran tersebut menunjukkan kadar phenol sebelum perlakuan diperoleh hasil ratrata adalah 0,246 ppm dan kadar phenol sesudah perlakuan diperoleh hasil rata-rata adalah 0,043 ppm. Penurunan kadar phenol menunjukkan bahwa arang aktif tongkol jagung mampu untuk menyerap kadar phenol, ini karena pori-pori mikro arang aktif tongkol jagung lebih besar dari pada arang yang tidak diaktifasi dan memiliki luas permukaan cukup luas sehingga partikel karbon yang terkandung menyerap bahan-bahan organik dan terakumulasi pada bidang permukaanya. Untuk hasil pengukuran sebelum perlakuan terjadi naik turun kadar phenol karena adanya fluktuasi kadar phenol dalam limbah cair rumah sakit dan proses homogenitas tidak merata. Sedangkan untuk hasil pengukuran setelah pengukuran terjadi naik turun kadar phenol karena: 1. Adanya fluktuasi kadar phenol pada limbah cair rumah sakit sebelum perlakuan sehingga dapat mempengaruhi hasil kadar phenol setelah diadsorpsi menggunakan arang aktif. 2. Arang aktif tongkol jagung terlalu ringan ketika air limbah dimasukkan dalam bak adsorpsi menyebabkan arang aktif

Rata-rata

25

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Kadar Phenol

Penurunan (ppm)

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

melayang dan memberikan rongga pada bak adsorpsi sehingga proses adsorpsi kurang stabil. Fungsi pemberian ijuk pada bagian atas dan bawah arang aktif untuk menyaringan serpian dan ter arang aktif sehingga mengurangi ikutnya serpian dan ter ke dalam aliran air limbah setelah diadsorpsi. Hasil penelitian kadar phenol sebelum perlakuan diperoleh hasil rat-rata adalah 0,246 ppm dan kadar phenol sesudah perlakuan diperoleh hasil rata-rata adalah 0,043 ppm, namun kadar phenol sesudah perlakuan masih belum memenuhi baku mutu, hal ini dimungkinkan oleh kurang lamanya Td dalam bak adsorpsi atau debit yang mengalir terlalu besar sehingga proses adsorpsi kurang maksimal. Dari hasil penelitian arang aktif dari tongkol jagung dapat direkomendasikan untuk bahan adsorben phenol khususnya limbah cair rumah sakit, karena mampu menurunkan phenol dengan rata-rata 83%. Hasil pengolahan data yang membandingkan kadar phenol sebelum dan sesudah diadsorpsi menggunakan arang aktif tongkol jagung mengalami rata-rata penurunan 83% dengan hasil penurunan yang tertinggi adalah 0,278 ppm dan yang terrendah adalah 0,103 ppm. Dan dilakukan uji statistik pada hasil pengukuran menunjukkan adanya pengaruh adsorben arang aktif tongkol jagung terhadap penurunan kadar phenol pada limbah cair rumah sakit secara signifikan. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Hasil pengukuran kadar phenol limbah cair rumah sakit sebelum diadsorpsi menggunakan arang aktif tongkol jagung diperoleh hasil rata-rata adalah 0,246 ppm. 2. Hasil pengukuran kadar phenol limbah cair rumah sakit sesudah diadsorpsi menggunakan arang aktif tongkol jagung diperoleh hasil rata-rata adalah 0,043 ppm. 3. Dari hasil perbandingan antara kadar phenol limbah cair rumah sakit sebelum dan sesudah diadsorbsi menggunakan arang aktif tongkol mengalami penurunan 83%. 4. Dari hasil uji statistik terhadap penurunan kadar phenol limbah cair rumah sakit menunjukkan adanya pengaruh adsorben arang aktif tongkol jagung terhadap penurunan kadar phenol pada limbah cair rumah sakit secara signifikan. Berdasarkan hasil penelitian disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai pemanfaatan tongkol jagung sebagai arang aktif dalam menurunkan kadar phosphat untuk limbah rumah sakit atau kadar krom untuk limbah industri kulit

DAFTAR PUSTAKA Anonimius, 2008. Makalah-kimia-fisik-ii_adsorpsi. Lampung: Falkutas Teknik Universitas Lampung Jurusan Teknik Kimia http://indrawibawads.files.wordpress.com/2 011/03. Budi, Setyo, 2008. Perbedaan Adsorspsi Phenol Arang Tempurung Kelapa Degan Arang Sono. (http://keperawatan08.blogspot.com/ 2008/06/perbedaan-adsorspsi-phenolarang.html) Tanggal 16 Mei 2011, Pukul 08.00) Deni, Apri W., 2011. Perbedaan Penurunan Kadar BOD (Biochemical Oxygen Demand) Limbah Rumah Sakit Sebelum dan Sesudah Melewati Reaktor Biofilter Media PVC(polyninyl Cloride). Magetan : Jurusan Kesehatan Lingkungan Magetan Poltekkes Kemenkes Surabaya. Dewi, R.S., 2009. Proses Pengolahan Limbah Cair di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Surakarta:Program DIII Hiperkes Dan Keselamatan Falkutas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Dwi A.P. dan Rasif M., 2005. Pemanfaatan Kulit Biji Mete Untuk Arang Aktif Sebagi Adsorben Terhadap penurunan Parameter Phenol. Surabaya: Jurusan Tenik Lingkungan Falkutas Teknik Sipil Dan Perencanaan Teknologi Sepuluh Nopember. Idaman, N. S. dan Dwi H. W., 1999. Teknologi Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit.((http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Art ikel/Limbahrs/limbahrs.html). Indra, Heironiomus Prasetyo, 2011. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) FENOL. Bandung: Program Studi Teknik Lingkungan Falkutas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung. ((http://www.scribd.com/doc/48879633/M akalah-Limbah-Cair-Rumah-Sakit. Kurniawan, Deny. 2008. Uji-T-Berpasangan (Paired T-Test). ( http://setiyowatirahardjo.blog.unsoed.ac.id/files/2011/01/uji -t-berpasangan.pdf). Murni, Ade S., 2009. Pemanfaatan Tongkol Jagung Untuk Pembuatan Arang Aktif Sebagai Adsorben Pemurnian Minyak Goreng Bekas. Bogor: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor ((http://repository.ipb.ac.id) Tanggal 20 Januari 2012 pikul 13.00 WIB).

26

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

Notoatmojo, Soekidjo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmojo, Soekidjo, 2005. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Pertiwi, Dini, 2010. Studi Pemanfaatan Sabut Kelapa Sebagai Karbon Aktif Untuk Menurunkan Konsentrasi Fenol. Surabaya: Jurusan Tenik Lingkungan Falkutas Teknik Sipil Dan Perencanaan Teknologi Sepuluh Nopember (Tanggal 30 Januari 2012 pukul 14.00 WIB). Sembiring M.T., Sinaga T.S., 2003. Arang aktif (Pengenalan dan Proses Pembuatannya). Sumatera : Falkutas Teknik, Universitas Sumatera Utara. (cyberia.blog.uns.ac.id/files/ 2010/05/industri-meilita.pdf) Tanggal 20 Desember 2011, Pukul 11.00 WIB). Sugeng, Didik P., 2004.Pengelolaan Limbah Cair. Surabaya: Poltekkes Surabaya Jurusan Kesehatan Lingkungan. Surat Keputusan Gumbenur Jawa Timur Nomor 61 Tahun 1999 tentang Baku Mutu Limbah Cair. Suryanto, Agus, 2010. Meningkatkan Nilai Arang Tempurung Jadi Karbon Aktif. ((http://agusyantono.wordpress.com/2010/ 08/23/meningkatkan-nilai-arangtempurung-jadi-karbon-aktif/) Tanggal 12 Mie 2011 Pukul 09.30). Wijayanti, Ria, 2009. Arang Aktif Dari Ampas Tebu Sebagai Adsorben Pada oemurnian Minyak Goreng Bekas. Bogor: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. ((http://repository.ipb.ac.id%2Fbitstream%2F handle%2F123456789%2F17031%2FG09r wi_abstract.pdf%3Fsequence%3D1&ei=TGB hT9f4DsrjrAeftPj6AQ&usg=AFQjCNExeklpt2 YhX4wPa4bgBoxrFg4cQw) Tanggal 18 Januari 12.00 WIB).

27

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN Seiring dengan kemajuan teknologi, perkembangan sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi telah berkembang sangat pesat dan menjadi faktor terpenting dalam pengelolaan informasi dalam suatu organisasi (Kismono, 2001). Bidang kesehatan pun tidak terkecuali. Dewasa ini telah banyak dikembangkan berbagai macam sistem informasi manajemen kesehatan, misalnya Sistem Informasi Puskesmas (Simpus), Sistem Informasi Rumah Sakit, Sistem Informasi Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA) dan sebagainya. Namun dalam penerapannya, sistem informasi kesehatan di Indonesia masih banyak menghadapi masalah antara lain: 1) sistem belum terintegrasi, 2) sebagian besar daerah belum memiliki kemampuan yang memadai, 3) pemanfaatan data dan informasi oleh manajemen belum optimal, 4) pemanfaatan data dan informasi oleh masyarakat kurang dikembangkan, 5) pemanfaatan teknologi telematika belum optimal, 6) dana untuk pengembangan sistem terbatas, dan 7) kurangnya tenaga purna waktu untuk sistem informasi kesehatan (Hidayat, 2010). Permasalahan yang terakhir menarik untuk dicermati, karena idealnya tersedia SDM purna waktu untuk sistem informasi, namun kenyataannya hanya dirangkap oleh tenaga kesehatan, tanpa imbalan khusus, serta berbekal pengetahuan dan keterampilan yang rendah dalam bidang teknologi informasi (Hidayat, 2010). Kondisi di atas dapat menimbulkan resistensi terhadap sistem informasi yang dikembangkan. Anggapan penambahan beban kerja serta ketidaktahuan tentang manfaat sistem informasi bagi diri mereka, akan membuat tenaga kesehatan merasa terganggu dengan hadirnya sistem informasi kesehatan. Karya tulis ini bertujuan menganalisis dan mendiskusikan upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi resistensi terhadap implementasi sistem informasi kesehatan, serta kelemahan-kelemahan dari strategi yang telah dilakukan tersebut. METODE KAJIAN Kata kunci: informasi kesehatan, resistensi Metode yang diterapkan pada penulisan karya ilmiah ini adalah kajian literatur murni, bersumber dari referensi ilmiah dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Selanjutnya bahan kajian ini dibahas sesuai dengan tujuan penelitian. HASIL KAJIAN Sistem informasi kesehatan Sistem informasi manajemen kesehatan atau lebih sering disebut sistem informasi kesehatan

KETIMPANGAN STRATEGI DALAM MENGATASI RESISTENSI TERHADAP IMPLEMENTASI SISTEM INFORMASI KESEHATAN

Heru Santoso Wahito Nugroho (Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Magetan)

ABSTRAK

Latar belakang: Implementasi sistem informasi kesehatan yang menjadi tugas rangkap serta tanpa dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam bidang teknologi informasi dapat menimbulkan resistensi terhadap sistem informasi yang dikembangkan. Sehingga penulisan makalah ini bertujuan untuk menganalisis kelemahankelemahan upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi resistensi tersebut. Simpulan: Dari hasil telaah referensi serta beberapa data empirik di lapangan disimpulkan bahwa ketimpangan penerapan strategi dalam mengatasi resistensi berpeluang menjadi penyebab dari kegagalan implementasi sistem informasi kesehatan yaitu ketidakutuhan penerapan 3 strategi yaitu force change strategy, educative change strategy, dan rational/self-interest change strategy. Maka disarankan agar ketiga strategi tersebut dilaksanakan secara terpadu dan ditujukan bagi seluruh pelaksana sistem informasi kesehatan.

28

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

(SIK) merupakan bentuk sistem informasi manajemen yang diterapkan dalam bidang kesehatan. Oleh karena itu untuk mendapatkan pemahaman mengenai sistem informasi kesehatan, maka harus dipahami terlebih dahulu tentang sistem informasi manajemen secara umum. Tidak ada definisi yang baku mengenai sistem informasi manajemen. Namun pada dasarnya sistem informasi manajemen merupakan suatu kegiatan penggunaan komputer dengan berdasarkan sistem pengolahan informasi yang mendukung operasi, manajemen, dan fungi pembuatan keputusan dari suatu organisasi atau perusahaan (Gaol, 2010). Materi tentang sistem informasi manajemen jarang dibahas secara khusus, karena pada umumnya unsur-unsur dari sistem ini dianggap sudah terintegrasi di dalam hampir semua fungsi, unsur atau komponen dari sistem manajemen organisasi secara keseluruhan, karena dalam setiap tahap pengambilan keputusan dalam proses manajemen hampir selalu memerlukan dukungan data informasi (Hidayat, 2010). Di dalam sistem informasi manajemen, komputer memainkan peranan penting karena sistem informasi yang sangat kompleks tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya komputer (Supono, 2006). Teknologi informasi ini dibutuhkan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas organisasi (Wijaya, 2006), tentunya tak terkecuali organisasi pelayanan kesehatan. Council of Europe (1996) mendefinisikan sistem informasi kesehatan sebagai suatu set koheren dari informasi tentang masyarakat yang sakit maupun sehat, yang digunakan untuk tujuan spesifik, seperti pengobatan, tindakan pencegahan, penelitian medis, evaluasi kesehatan, serta manajemen medikal dan finansial dari sistem (Council of Europe, 1996). Definisi lain dari sistem informasi kesehatan merupakan suatu pengelolaan informasi di seluruh seluruh tingkat pemerintah secara sistematis dalam rangka penyelengggaraan pelayanan kepada masyarakat (Sanjoyo, 2006). Tampak bahwa definisi pertama lebih bersifat universal atau umum, sedangkan definisi kedua tampaknya lebih khusus diarahkan untuk sistem informasi yang berlaku di tatanan pemerintahan, dalam hal ini adalah kementerian kesehatan. Sistem informasi manajemen kesehatan sebagai sub sistem dalam sistem administrasi kesehatan merupakan kesatuan/rangkaian kegiatan-kegiatan yang mencakup seluruh jajaran upaya kesehatan diseluruh jenjang administrasi yang mampu memberikan informasi kepada: 1) pengelola, yaitu para administrator atau manajer kesehatan untuk dasar pertimbangan menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam menjalankan fungsi-fungsi administrasinya, 2) masyarakat,

dalam upaya untuk meningkatkan kemampuannya untuk menolong dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan kesehatannya (Hidayat, 2010). Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita rasakan bagaimana sulitnya menentukan kebijakan atau pengambilan keputusan yang baik bila data/informasi yang akan dipakai untuk mendasarinya kurang atau tidak cukup tersedia. Tanpa dukungan data/informasi yang baik kebijakan yang kita ambil akan kurang tepat atau keliru (Hidayat, 2010). Dalam hal ini, sistem informasi kesehatan dapat menyediakan informasi yang berkualitas, sebagaimana yang disampaikan oleh Burch dan Grudnitski (1989) bahwa sistem informasi berbasis teknologi informasi didukung oleh informasi yang relevan, tepat waktu, serta akurat. Hidayat (2010) menjelaskan bahwa upaya pemantapan dan pengembangan sistem informasi kesehatan ditujukan ke arah terbentuknya suatu sistem informasi kesehatan yang berhasil guna dan berdaya guna, yang mampu memberikan informasi yang akurat, tepat waktu dan dalam bentuk yang sesuai dengan kebutuhan untuk: 1. Pengambilan keputusan di seluruh tingkat administrasi dalam rangka perencanaan, penggerakan pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan penilaian 2. Mengatasi masalah-masalah kesehatan melalui isyarat dini dan upaya penanggulangannya 3. Meningkatkan peran serta masyarakat dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri 4. Meningkatkan penggunaan dan penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kesehatan Sedangkan sasaran dalam upaya pemantapan dan pengembangan sistem informasi kesehatan meliputi: 1. Terciptanya pengorganisasian dan tata kerja pengelolaan data/informasi dan atau tersedianya tenaga fungsional pengelola data/ informasi yang terampil di seluruh tingkat administrasi 2. Ditetapkannya kebutuhan esensial data/ informasi di tiap tingkat dan pengembangan instrumen pengumpulan dan pelaporan data 3. Dihasilkannya berbagai informasi kesehatan di seluruh tingkat administrasi secara teratur, tepat waktu dan sesuai dengan kebutuhan dan atau atas permintaan dari pengguna data/ informasi 4. Tersedianya dukungan teknis dan sumber daya yang memadai dalam rangka pemantapan dan pengembangan otomasi pengolahan data di seluruh tingkat administrasi

29

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

5. Pengembangan bank data kesehatan, pengembangan jaringan komunikasi komputer dan informasi (Hidayat, 2010). Departemen Kesehatan (sekarang Kementerian Kesehatan) telah membangun sistem informasi kesehatan yang disebut SIKNAS yang melingkupi sistem jaringan informasi kesehatan mulai dari kabupaten sampai ke pusat. Namun demikian dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki, SIKNAS belum berjalan sebagaimana mestinya (Sanjoyo, 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sistem informasi kesehatan di Indonesia masih berada dalam kondisi sebagai berikut: 1. Masing-masing program memiliki sistem informasi sendiri yang belum terintegrasi 2. Terbatasnya perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) di berbagai jenjang, padahal kapabilitas untuk itu dirasa memadai. 3. Terbatasnya kemampuan dan kemauan sumber daya manusia untuk mengelola dan mengembangkan sistem informasi 4. Masih belum membudayanya pengambilan keputusan berdasarkan data/informasi. 5. Belum adanya sistem pengembangan karir bagi pengelola sistem informasi, sehingga sering timbul keengganan bagi petugas untuk memasuki atau dipromosikan menjadi pengelola sistem informasi. Perubahan Kata perubahan telah sangat popular dibicarakan dewasa ini, tidak hanya dalam forum formal namun juga dalam pembicaraanpembicaraan informal. Kata perubahan banyak dibicarakan secara antusias oleh para ahli strategi di korporasi bisnis, universitas ataupun lembaga pemerintahan. Perubahan ini mencakup berbagai macam segio kehidupan antara lain perubahan sosial-politik dan ekonomi, konsumen yang makin sulit diprediksi, lingkungan bisnis yang makin kompleks, termasuk juga perubahan teknologi yang revolusioner (Wahyuningsih, 2012). Semua hambatan terhadap proses perubahan, baik hambatan yang disadari maupun tidak disadari merupakan hasil kerja dari homeostasis, yaitu suatu kecenderungan untuk selalu tetap di posisi yang sama. Homeostasis bertujuan melindungi diri kita dari perubahan mendadak yang tidak kita inginkan. Namun homeostasis juga menjadi penghambat perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Jadi, homeostasis akan menjaga titik kesetimbangan atau ekuilibrium, yang biasa dikenal juga dengan istilah zona kenyamanan atau comfort zone. Setiap perubahan yang akan kita lakukan pasti akan mendapatkan perlawanan dari homeostasis (Gunawan, 2007).

Resistensi terhadap perubahan Resistensi dapat didefinisikan sebagai mekanisme pertahanan pikiran bawah sadar yang bertujuan melindungi diri kita dari situasi yang dipandang tidak menyenangkan. Namun sebenarnya perubahan bukanlah hal yang menyakitkan. Justru resistensi terhadap perubahan itu sendiri yang membuat perubahan menjadi terasa menyakitkan (Gunawan, 2007). Telah dijelaskan di atas bahwa perubahan telah terjadi di berbagai segi kehidupan. Tidak cukup itu saja, antusiasme untuk menjalani perubahan juga sangat tinggi. Namun perubahan ternyata tidak mesti dapat berjalan dengan mulus. Meskipun antusiasme terhadap perubahan dapat dikatakan tinggi, namun antusiasme tersebut sering tidak tertransformasikan secara baik ke level operasional. Mind-set ataupun paradigma tentang perubahan sering lebih terapresiasi ketika masih dalam tahap formulasi strategi. Dan ketika ide itu diadopsi dan selanjutnya diimplementasikan, penolakan pun muncul kemudian, bahkan kadangkala ketika sebuah awal sedang dimulai (Wahyuningsih, 2012). Mengapa demikian? Kebanyakan orang tidak senang dengan perubahan karena mereka memang tidak senang diubah. Bahkan ada yang mengatakan: Lakukanlah suatu perubahan, maka kamu akan mendapatkan musuh baru!. Begitu menakutkannyakah suatu perubahan? Lantas apa yang terjadi sebenarnya? Resistensi atau penolakan pada perubahan pada umumnya akan terjadi ketika ada sesuatu yang mengancam nilai seseorang atau individu. Ancaman tersebut bisa saja riel atau sebenarnya hanya suatu persepsi saja. Dengan kata lain, ancaman ini bisa saja muncul dari pemahaman yang memang benar atas perubahan yang terjadi atau sebaliknya karena ketidakpahaman atas perubahan yang terjadi (Wahyuningsih, 2012). Setiap perubahan yang akan kita lakukan pasti akan mendapatkan perlawanan dari homeostasis. Dengan demikian akan timbul penolakan atau resistensi terhadap perubahan tersebut. Besarnya resistensi untuk berubah dapat diukur dengan merasakan intensitas perasaan tidak nyaman yang muncul pada saat proses perubahan akan dilaksanakan atau sedang berlangsung (Gunawan, 2007). Merujuk dari berbagai referensi, Wahyuningsih (2012) telah menghimpun beberapa alasan utama yang menyebabkan seseorang melakukan perlawanan terhadap perubahan, yang diuraikan sebagai berikut: 1. Takut terhadap kemungkinan yang tidak diketahui. Perubahan berimplikasi pada ketidakpastian, dan ketidakpastian adalah sesuatu yang

30

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

tidak memberikan kenyamanan. Ketidakpastian berarti keraguan atau ketidaktahuan terhadap apa yang mungkin akan terjadi. Ini dapat menimbulkan rasa takut, dan menolak perubahan menjadi tindakan yang dapat mengurangi rasa takut itu Takut akan kegagalan. Perubahan mungkin menuntut keterampilan dan kemampuan diluar kapabilitasnya. Resistensi terhadap pendekatan/strategi baru kemudian muncul karena orang mengetahui bagaimana operasionalisasinya, sementara mereka merasa tidak memiliki keterampilan baru atau perilaku baru yang dituntut. Tidak sepakat dengan kebutuhan akan perubahan Anggota organisasi merasa bahwa langkah yang baru adalah langkah yang salah dan tidak masuk akal. Takut kehilangan sesuatu yang bernilai baginya. Setiap anggota organisasi tentu ingin mengetahui bagaimana dampak perubahan pada mereka. Jika merasa yakin bahwa mereka akan kehilangan sesuatu sebagai hasil dari penerapan perubahan, maka mereka akan menolak. Enggan meninggalkan wilayah yang sudah nyaman. Seringkali orang merasa takut menuruti keinginan melakukan hal baru karena akan memaksa mereka keluar dari wilayah yang selama ini sudah nyaman. Melakukan hal baru juga mengandung sejumlah risiko tentunya. Keyakinan yang salah. Tidak sedikit orang merasa yakin bahwa segala sesuatu akan selesai dengan sendirinya, suatu saat, tanpa melakukan apapun. Sebenarnya hal demikian sekadar untuk memudahkan diri sendiri dan menghindar dari risiko. Itu tindakan yang sungguh bodoh! Ketidakpahaman dan ketiadaan kepercayaan. Anggota organisasi menolak perubahan ketika mereka tidak memahami implikasinya dan menganggap bahwa perubahan bisa jadi hanya akan lebih banyak membebani daripada apa yang dapat diperoleh. Situasi demikian terjadi apabila tidak ada kepercayaan antara pihak yang mengusulkan perubahan dengan para anggota organisasi. Ketidakberdayaan (inertia). Setiap organisasi bisa mengalami suatu kondisi ketidakberdayaan pada tingkatan tertentu, dan karenanya mencoba mempertahankan status quo. Perubahan memang membutuhkan upaya, bahkan

seringkali upaya yang sangat serius, dan kelelahan pun bisa terjadi. Untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan, David (2001) mengusulkan tiga pendekatan yang dapat diterapkan yaitu: 1. Force change strategy. Bahwa perubahan harus terjadi (dipaksakan) dan orang yang dapat mengharuskan terjadinya perubahan adalah orang yang memiliki kekuasaan, yaitu pimpinan. Ketika pimpinan yang memiliki kekuasaan formal telah memutuskan adanya perubahan, maka anggota organisasi harus menerima perubahan tersebut. Pendekatan ini tidak selalu buruk, jika diterapkan pada kondisi yang tepat. 2. Educative change strategy. Pendekatan ini mengedukasi, atau memberikan pengetahuan dan informasi tentang perlunya suatu perubahan. Melalui edukasi, anggota organisasi diharapkan akan memahami pentingnya perubahan sehingga merekapun akan menerima perubahan tersebut. 3. Rational/self-interest change strategy. Pendekatan ini menunjukkan benefit yang akan diperoleh individu dari diterapkannya suatu perubahan, sehingga individu tersebut dengan sendirinya akan tertarik melakukan perubahan-perubahan. PEMBAHASAN Ketidakberhasilan dalam implementasi sistem informasi kesehatan bukan merupakan hal baru lagi untuk didiskusikan. Sebagai contoh adalah implementasi SIMPUS dengan beragam versinya. Dengan ruang lingkupnya yang tidak terlalu luas, seharusnya sistem ini memiliki peluang besar untuk dapat diterapkan dengan baik. Namun, jika kita cermati di lapangan, tampaknya sangat sedikit puskesmas yang telah berhasil dengan baik dalam mengimplementasikan sistem informasi kesehatan di level ujung tombak ini. Mengapa demikian? Tentu jawabannya adalah multifaktor, yang masih memerlukan pembuktian lebih lanjut melalui penelitian. Namun, salah satu faktor yang menarik untuk dicermati adalah faktor man atau sumber daya manusia yang menjadi brainware dari sistem informasi kesehatan. Telah diketahui bahwa sistem informasi kesehatan merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup seluruh jajaran upaya kesehatan diseluruh jenjang administrasi, sehingga sasaran pengembangannya pun harus diarahkan pada seluruh tingkat administrasi (Hidayat, 2010). Dengan demikian, peran tenaga pengelola data dan informasi mulai dari level atas hingga level yang paling bawah menjadi penentu keberhasilan sistem informasi kesehatan ini.

31

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

Jika kita cermati secara lebih jeli, ternyata SDM yang berada pada posisi paling ujung, yang bersentuhan langsung dengan masyarakat didominasi oleh para bidan desa. Sementara itu, cukup banyak job description yang dibebankan kepada mereka, yang sangat mungkin beberapa dari beban kerja tersebut sesungguhnya tidak termasuk dalam area tugas dan fungsi profesi kebidanan. Sebagai contoh adalah pembinaan posyandu lansia, pelayanan pengobatan (BP), pengembangan desa siaga, dll., padahal tugas dalam area profesi kebidanan sudah cukup banyak, antara lain pelayanan antenatal care, intranatal care, postnatal care, keluarga berencana, posyandu, kesehatan reproduksi dan sebagainya. Tambah lagi, notabene tenaga kesehatan di ujung tombak ini harus siap bertugas selama 24 jam. Lebih berat jika mereka juga aktif menjalani peran ganda sebagai bidan praktik swasta. Sebagai salah satu gambaran kondisi di lapangan, berikut ini disampaikan hasil wawancara dengan seorang bidan di salah satu puskesmas di Ponorogo, yang menggali keluhan-keluhan sebagai berikut: ... tugas yang harus dikerjakan oleh temanteman bidan di desa sudah begitu banyak, bukan cuman tugas sebagai bidan aja, tetapi juga tugas-tugas yang semestinya dikerjakan oleh profesi lain kayak dokter, ahli gizi, perawat, bahkan sanitarian. Belum lagi laporanlaporannya ... ... kalau bidan harus melaksanakan SIMPUSTRONIK tentu beban kami menjadi semakin berat. Padahal kebanyakan desa kan masih bertugas sendiri? ... ... kalau kami harus melaksanakan SIMPUS, tentu kami harus mempelajari sistem baru ini mulai dari awal. Wah, ini tentu jadi beban baru lagi... Contoh-contoh ungkapan di atas menunjukkan bahwa kelebihan beban kerja merupakan hambatan bagi bidan desa untuk melaksanakan sistem informasi kesehatan, padahal input dari sistem ini dimulai dari level bidan desa. Inilah kemungkinan titik penyebab dari resistensi terhadap sistem informasi kesehatan. Dengan beban tugas yang boleh dikatakan luar biasa tersebut, implementasi sistem informasi kesehatan dapat dianggap sebagai beban baru yang akan semakin memberatkan beban tugas yang telah ada. Benarkah sistem ini akan memberatkan bidan desa? Mungkin dalam jangka pendek jawabannya ya, karena mereka membutuhkan waktu untuk mengenal sistem baru, juga membutuhkan effort (usaha) untuk mempelajarinya hingga terampil mengoperasikannya. Mungkin beban

emosional inilah yang dirasakan oleh para SDM di level ujung tombak ini. Ini relevan dengan salah satu alasan timbulnya resistensi sebagaimana yang telah dihimpun oleh Wahyuningsih (2012) bahwa anggota organisasi (termasuk bidan desa) menolak perubahan ketika mereka tidak memahami implikasinya dan menganggap bahwa perubahan bisa jadi hanya akan lebih banyak membebani daripada apa yang dapat diperoleh. Namun berdasarkan wawasan jangka panjang, sesungguhnya sistem informasi berbasi teknologi informasi ini justru akan sangat meringankan beban para bidan desa. Dengan sistem yang telah terkomputeriasasi, input, pengolahan, dan analisis data dapat berlangsung jauh lebih cepat dan akurat, sehingga informasi yang dihasilkan pun akan jauh lebih berkualitas. Tentu saja dengan prasyarat bahwa para bidan harus terlebih dahulu terampil mengoperasikan sistem informasi yang telah dibangun. Beruntunglah jika bidan setidak-tidaknya telah biasa mengoperasikan komputer, misalnya program word processor (pengolah kata), spreadsheet (lembar kerja), dan sebagainya. Tetapi sebaliknya jika bidan belum familier dengan komputer, beban yang harus dipelajari agar terampil mengoperasikan sistem informasi kesehatan akan menjadi lebih berat lagi. Jelaslah bahwa tidak mudah untuk menginisiasi perubahan menuju implementasi sistem informasi kesehatan. Apalagi jika sudah ada mind set bahwa jika dengan sistem laporan manual saja semua sudah tidak ada masalah, mengapa harus berubah menuju sistem baru? Bukankah perubahan radikal ini menimbulkan inefisiensi waktu, tenaga, juga biaya? Inilah resistensi, sebagaimana dijelaskan oleh Wahyuningsih (2012) bahwa sejak awal diusulkannya suatu perubahan pun resistensi sering sudah timbul. Berdasar penjelasan di atas, timbulnya resistensi terhadap sistem informasi kesehatan mungkin diakibatkan oleh kurangnya kepercayaan antara pihak pengusul perubahan (penentu kebijakan implementasi sistem informasi kesehatan) dengan para anggota organisasi (pelaksana sistem informasi kesehatan pada seluruh level). Dalam hal ini kepercayaan merupakan kunci penting untuk mewujudkan keberhasilan sistem informasi kesehatan. Penentu kebijakan harus bisa meyakinkan para pelaksana di lapangan bahwa sistem informasi kesehatan memiliki nilai kemanfaatan yang yang tinggi, baik bagi organisasi, bagi SDM kesehatan sendiri, terlebih lagi bagi masyarakat. Jika kepercayaan ini sudah timbul, niscaya perubahan ini tidak akan dianggap sebagai beban yang memberatkan, tetapi justru menjadi langkah awal menuju kondisi yang baik bagi semua.

32

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

Benar atau tidaknya analisis permasalahan di atas masih membutuhkan pembuktian melalui penelitian lebih lanjut. Tetapi setidaktidaknya argumen di atas didasarkan atas referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Jika dirujuk pada referensi tentang upaya untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan, tampaknya persoalan resistensi terhadap sistem informasi kesehatan yang banyak timbul di berbagai penjuru tanah air kita, terjadi karena ketimpangan pendekatan dalam mengatasi resistensi. Dalam hal ini, menurut David (2001) ada tiga pendekatan yang dapat diterapkan dalam mengatasi resistensi. Pertama adalah force change strategy, yaitu bahwa pimpinan sebagai orang yang memiliki kekuasaan harus memaksakan perubahan yang harus diterapkan oleh anggota organisasi harus menerima perubahan tersebut. Kedua, educative change strategy, yaitu memberikan pengetahuan dan informasi tentang perlunya suatu perubahan, yang membuat anggota organisasi memahami pentingnya perubahan sehingga merekapun akan menerima perubahan tersebut. Ketiga, rational/self-interest change strategy, yaitu menunjukkan keuntungan yang akan diperoleh oleh individu dari diterapkannya suatu perubahan, sehingga individu tersebut dengan sendirinya akan tertarik melakukan perubahanperubahan. Dalam kaitannya dengan implementasi sistem informasi kesehatan, penulis berpendapat bahwa ketiga strategi tersebut di atas harus dilaksanakan secara simultan, tidak boleh ada ketimpangan (hanya diplih satu atau dua dari strategi di atas) karena sepertinya sebagian besar SDM kesehatan di tanah air kita masih jauh dari siap untuk menghadapi perubahan ini. Strategi pertama terkesan otoriter atau setidak-tidaknya kurang demokratis, namun seperti yang diungkapkan oleh David (2001) cara ini tidak selalu buruk, bahkan dalam kondisi tertentu cara ini justru dibutuhkan. Jika dibandingkan dengan situasi empirik di tanah air kita (perlu penelitian lebih lanjut), sepertinya kondisi riil di Indonesia termasuk di dalam kondisi tertertu yang dimaksud oleh Davis (2001) tersebut. Minimnya kompetensi operasionalisisi teknologi informasi serta banyaknya beban kerja tambahan akan semakin memperbesar nilai resistensi terhadap implementasi sistem informasi kesehatan. Sistem informasi kesehatan hanya akan dianggap sebagai beban yang memberatkan. Jelaslah bahwa tanpa adanya pemaksaan dari pimpinan, tenaga kesehatan akan enggan untuk menjalankan sistem baru yang harus dikenal dan dipelajari terlebih dahulu dengan susah payah. Strategi kedua mencerminkan upaya yang konstruktif untuk mengubah perilaku tenaga kesehatan, yaitu melalui proses edukasi. Dengan edukasi ini diharapkan akan timbul pemahaman

tentang pentingnya sistem informasi kesehatan, tidak hanya bagi organisasi pelayanan kesehatan dan masyarakat saja, tetapi juga bagi tenaga kesehatan itu sendiri. Tanpa diterapkannya strategi ini, tenaga kesehatan tidak memahami pentingnya implementasi sistem informasi kesehatan. Sistem informasi kesehatan mungkin hanya dianggap sebagai rutinitas saja, atau dianggap sebagai sesuatu yang sama nilainya dengan sistem pelaporan manual yang telah dilaksanakan selama ini. Strategi ketiga diharapkan dapat menumbuhkan motivasi intrinsik dalam diri tenaga kesehatan sendiri. Melalui strategi ini, hal yang penting adalah dikemukakannya keuntungan-keuntungan dari penerapan sistem informasi kesehatan. Dorongan dari luar ini jika diberikan secara konsisten diharapkan bisa menjadi stimulus untuk menumbuhkan rasa membutuhkan sistem informasi kesehatan. Sebagaimana yang telah banyak dijelaskan dalam teori-teori motivasi (misalnya Teori Motivasi Maslow) bahwa seseorang akan terdorong untuk melakukan kegiatan tertentu karena adanya kebutuhan tertentu. Jadi yang perlu dibangun dalam hal ini adalah menjadikan sistem informasi kesehatan sebagai suatu kebutuhan bagi para tenaga kesehatan, misalnya saja kebutuhan untuk membuat laporan secara cepat dan akurat yang dapat dapat diwujudkan oleh sistem informasi kesehatan. Jika sistem informasi kesehatan benar-benar telah menjadi kebutuhan tenaga kesehatan, maka dengan sendirinya mereka akan secara sadar melaksanakan sistem informasi kesehatan dengan sebaik-baiknya. Jadi, tanpa penerapan strategi terakhir ini, kemungkinan akan sulit mewujudkan terbentuknya motivasi intrinsik dalam diri para tenaga kesehatan, yakni motivasi untuk menerapkan sistem informasi kesehatan karena sistem ini dianggap bisa membantu penyelesaian tugas sebagai tenaga kesehatan. Motivasi intrinsik ini penting, karena bila seseorang telah memiliki motivasi instrinsik dalam dirinya, maka dia secara sadar akan melakukan suatu kegiatan atau aktivitas yang tidak memerlukan motivasi dari luar dirinya. Seseorang yang telah memiliki motivasi instrinsik selalu ingin maju dalam melakukan suatu hal. Keinginan ini dilatarbelakangi oleh pemikiran yang positif, bahwa semua kegiatan yang akan dilakukan sangat bermanfaat bagi dirinya (Djamarah, 2004). Motivasi merupakan dorongan yang dapat mengubah energi dalam diri seseorang dalam bentuk kegiatan atau aktivitas untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Hamid, 2012). SIMPULAN DAN SARAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketimpangan penerapan strategi dalam

33

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

mengatasi resistensi berpeluang menjadi penyebab dari kegagalan implementasi sistem informasi kesehatan di Indonesia. Ketimpangan yang dimaksud adalah ketidakutuhan penerapan tiga strategi yaitu force change strategy, educative change strategy, dan rational/self-interest change strategy. Oleh karena itu disarankan agar ketiga strategi untuk mengatasi resistensi terhadap sistem informasi kesehatan tersebut dilaksanakan secara terpadu dan ditujukan bagi seluruh pelaksana sistem informasi kesehatan. DAFTAR PUSTAKA Burch, B., & Grudnitski. (1989). Information Systems, Theory and Practice. John Wiley & Sons, Inc. Council of Europe. (1996). Training Strategies for Health Information System. Strasbourg Cedex: Council of Europe Publishing. David, F. R. (2001). Concepts of Strategic Management. Prentice Hall, Inc. Djamarah, S. B. (2004). Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Gaol, J. L. (2010). Sistem Informasi Manajemen, Pemahaman dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo. Gunawan, A. W. (2007). The Secret of Mainset. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hamid, A. B. (2012). Pentingnya Meningkatkan Motivasi Kerja di Lingkungan Organisasi. Malang: FKIP Universitas Wisnuwardhana. Hidayat, N. (2010). Sistem Informasi Kesehatan. Purwokerto: Unsoed. Kismono, G. (2001). Yogyakarta: BPFE. Bisnis Pengantar.

Wahyuningsih. (2012). Perubahan.

Resistensi

Terhadap

Wijaya, S. W. (2006). Kajian Teoritis Technology Acceptance Model Sebagai Model Pendekatan Untuk Menentukan Strategi Mendorong Kemauan Pengguna Dalam Menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi . In J. T. ITB, Sistem Informasi dalam Berbagai Perspektif (p. 186). Bandung: Penerbit Informatika.

Sanjoyo, R. (2006). Sistem Informasi Kesehatan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, FMIPA, D3 Rekam Medis dan Informasi Kesehatan. Supono, R. A. (2006). Penerapan Teknologi Informasi pada Dunia Kedokteran: Peluang dan Hambatan Penerapan Pengobatan Jarak Jauh Berbasis Internet di Negara Berkembang. In J. T. ITB, Sistem Informasi dalam Berbagai Perspektif (p. 160). Bandung: Penerbit Informatika.

34

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN Latar belakang HUBUNGAN ANTARA ASFIKSIA DENGAN KEJADIAN IKTERUS NEONATORUM DI RSUD dr.SAYIDIMAN MAGETAN Sukardi (Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Magetan) Ninin retno anggani (Alumnus Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Magetan) Sulikah (Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Magetan) ABSTRAK Latar belakang: Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional di Indonesia, penyebab kematian utama pada periode neonatal (bayi umur <28 hari) adalah 5,6% karena gangguan hematologi/ikterus dan 27% karena asfiksia. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia Penyebab ikterus adalah multikompleks, salah satunya adalah komplikasi dari asfiksia. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa adanya hubungan antara asfiksia dengan ikterus neonatorum. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi terdiri dari bayi baru lahir (BBL) di RSUD dr. Sayidiman Magetan tahun 2011 sebesar 464. Besar sampel: 255 yang diambil dengan teknik simple random sampling. Data diperoleh dari buku register bayi RSUD dr. Sayidiman. Analisa data menggunakan uji chi square dengan 0,05. Hasil: Bayi asfiksia yang mengalami ikterus neonatorum sebanyak 93 (58,49%) dan 66 (41,51%) bayi tidak mengalami ikterus neonatorum. Dari sejumlah bayi yang tidak asfiksia didapatkan 39 (40,62%) bayi mengalami ikterus neonatorum dan 57 (59,38%) bayi tidak mengalami ikterus neonatorum. Hasil analisis dengan uji chi square didapatkan nilai p=0,00 (p<0,05), berarti H0 ditolak dan H1 diterima, dengan rasio prevalens 1,4. Simpulan: ada hubungan antara asfiksia dengan ikterus neonatorum. Peluang terjadinya ikterus pada bayi dengan asfiksia adalah sebesar 1,4 kali lebih besar dibanding pada bayi yang tidak mengalami asfiksia. Kata kunci: asfiksia, ikterus neonatorum Kemampuan pelayanan kesehatan suatu negara ditentukan dengan perbandingan tinggi rendahnya angka kematian ibu dan angka kematian perinatal. Dikemukakan bahwa angka kematian perinatal lebih mencerminkan kesanggupan satu negara untuk memberikan pelayanan kesehatan. (Manuaba, 2010). Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2006-2007, angka kematian bayi (AKB) adalah 35 per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi Indonesia sehat 2010, maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati billirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati billirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat (Sastroasmoro, dkk. 2004). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa AKB Jawa Timur tahun 2005-2010 mengalami penurunan dari 36 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2005 menjadi 29 per 1.000 kelahiran hidup. Hasil penurunan tersebut masih terlampau jauh dibanding target MDGs yakni sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup (Dinkes Prop. Jatim, 2010). Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah, sehingga kulit dan atau sklera bayi tampak kekuningan. Pada sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. Di Amerika Serikat, sebanyak 60% dari 4 juta bayi baru lahir setiap tahunnya mengalami ikterus. Di Malaysia ditemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus (Etika, dkk. 2006). Di Indonesia berdasarkan SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional) 2001 penyebab kematian utama pada periode neonatal (bayi umur <28 hari) adalah 5,6% karena gangguan hematologi/ikterus dan 27% karena asfiksia (Bapenas, 2002). Tahun 2003 RSCM melaporkan bahwa prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58%. Sedangkan RS Dr.Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin diatas 5 mg/dl dan 23,8% memiliki kadar bilirubin diatas 13mg/dl. Berdasarkan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan, sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24%

35

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

kematian terkait hiperbilirubinemia (Sastroasmoro,dkk. 2004). Jumlah bayi baru lahir di RSUD dr.Sayidiman Magetan selama tahun 2011 sebanyak 464 bayi. Prevalensi asfiksia dari 464 bayi yang dilahirkan sebanyak 245 (52,80%) kasus, 61 kasus (13,15%) diantaranya dikategorikan menjadi asfiksia berat. Sedangkan untuk kasus hiperbilirubin sebanyak 176 (37,93%). Penyebab kematian neonatal 50%-60% karena asfiksia neonatorum (Manuaba, 2010). Berdasarkan data BPS 2007 penyebab kematian bayi di Jawa Timur adalah BBLR 41,39%, Asfiksia 19%, Tetanus Neonatorum 0,70%, infeksi 4,92%, trauma lahir 4,59%, kelainan bawaan 12, 79% dan penyebab lainnya 16,61% (Dinkes Prop. Jatim: 2010). Ikterus patologi atau hiperbilirubinemia ialah ikterus yang disertai berat lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernapasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah (Surasmi dkk, 2003). Kernikterus dapat mengganggu fungsi otak dan menimbulkan gejala klinis sesuai tempat akumulasi tersebut. Gambaran klinis di antaranya: mata berputar, tertidur sampai kesadaran turun, sukar menghisap, tonus otot meninggi, leher kaku akhirnya kaku seluruh tubuh, pada kehidupan lebih lanjut ada kemungkinan terjadi spasme otot dan kekakuan otot seluruhnya, kejang-kejang, tuli, dan kemunduran mental (Manuaba, 2010). Asfiksia neonatorum adalah keadaan ketika bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Asfiksia disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktorfaktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir (Wiknjosastro, 2007). Hull (2008) menyebutkan bahwa asfiksia dapat menyebabkan kerusakan organ-organ lain seperti edema pada paru-paru, perubahan yang menyerupai infark pada miokardium, ileus atau perforasi iskemik pada usus, nekrosis tubular pada ginjal, serta gangguan metabolisme dan hemostatis pada hati. Melihat dampak dari asfiksia dan ikterus terhadap kematian bayi maka pemerintah melakukan berbagai upaya yang aman dan efektif untuk mencegah dan mengatasi penyebab utama kematian bayi baru lahir yaitu dengan pelayanan asuhan antenatal (antenatal care) meliputi pengawasan terhadap kehamilan untuk mendapatkan informasi mengenai kesehatan umum ibu, menegakkan secara dini penyakit yang menyertai kehamilan, menegakkan secara dini komplikasi kehamilan, dan menetapkan risiko kehamilan (risiko tinggi, risiko meragukan, dan risiko rendah) (Manuaba, 2010). Sedangkan menurut Surasmi (2003) pada neonatus yang mengalami asfiksia, ikterus dapat dicegah dengan cara pemantauan

kehamilan guna mencegah terjadinya gawat janin atau asfiksia pada janin dan penanganan resusitasi pada neonatus yang mengalami asfiksisa secara cepat dan tepat. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara asfiksia dengan kejadian ikterus neonatorum, mengingat bahwasanya salah satu komplikasi dari kasus asfiksia adalah terjadinya ikterus neonatorum (hiperbilirubin). Tujuan penelitian Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara asfiksia dengan kejadian ikterus neonatorum. Tujuan khusus yaitu 1). Mengidentifikasi bayi asfiksia di RSUD dr. Sayidiman Magetan tahun 2011, Mengidentifikasi bayi ikterus di RSUD dr. Sayidiman Magetan tahun 2011, 3). Menganalisa hubungan antara asfiksia dengan kejadian ikterus neonatorum, 4). Menghitung besar rasio prevalens asfiksia terhadap kejadian ikterus neonatorum. METODE PENELITIAN Penelitian ini jenisnya survei analitik, menggunakan rancangan penelitian cross sectional. Tempat penelitian ini mengambil lokasi di RSUD dr. Sayidiman Magetan. Populasi penelitian ini berjumlah 464 bayi. Dalam penelitian ini tidak ada kriteria tertentu untuk penentuan anggota populasi. Sampel penelitian ini adalah sebagian dari BBL di RSUD dr. Sayidiman Magetan periode 1 Januari-31 Desember 2011 yang dihitung bedasarkan pada rumus perhitungan besar sampel untuk penelitian cross sectional. Besar sampel untuk penelitian cross sectional dengan tingkat signifikasi yang diinginkan adalah 0,05% , maka berdasarkan rumus perhitungan besar sampel dalam penelitian ini adalah 255 bayi. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling, yaitu pengambilan sampel dilakukan secara acak. Variabel independen penelitian ini adalah asfiksia dan variabel dependen penelitian adalah kejadian ikterus neonatorum. Analisis secara statistik untuk hubungan antara asfiksia dengan kejadian ikterus neonatorum 2 adalah menggunakan uji statistik Chi square (x ). HASIL PENELITIAN Kejadian asfiksia pada BBL Hasil penelitian tentang data identifikasi kejadian asfiksia pada BBL di RSUD dr. Sayidiman Magetan selama kurun waktu Januari sampai Desember 2011 ditemukan bahwa dari sampel sebanyak 255 bayi, didapatkan data sejumlah 159 (62,35%) bayi baru lahir mengalami asfiksia

36

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

dan sejumlah 96 (37,65%) bayi tidak mengalami asfiksia. Kejadian ikterus neonatorum pada BBL Hasil penelitian tentang identifikasi kejadian Ikterus Neonatorum pada BBL di RSUD dr. Sayidiman Magetan bulan Januari sampai Desember 2011 didapatkan bahwa sejumlah 255 bayi terdapat 132 (51,76%) bayi baru lahir mengalami ikterus dan sejumlah 123 (48,24%) bayi tidak mengalami ikterus. Hubungan antara asfiksia dengan kejadian ikterus neonatorum pada BBL Tabel 1. Hubungan antara kejadian asfiksia dengan Kejadian Ikterus Neonatorum pada BBL Kejadian asfiksia Asfiksia Tidak Asfiksia Total Kejadian ikterus Ikterus Tidak Ikterus 93 66 (58,49%) (41,51%) 39 57 (40,62%) (59,38%) 132 123 (51,76%) (48,24%) Total 159 (100%) 96 (100%) 255 (100%)

Guna mengetahui adanya hubungan antara asfiksia dengan kejadian ikterus digunakan uji statistik Chi Square dengan taraf signifikansi 0,05. Dari hasil uji statistik dengan menggunakan bantuan program komputer menunjukkan bahwa tingkat signifikasi p=0,00 (< 0,05), maka H0 ditolak Ha diterima berarti ada hubungan antara asfiksia dengan kejadian ikterus neonatorum. Pada penelitian cross sectional, untuk mengidentifikasi faktor risiko dilakukan penghitungan dengan besar rasio prevalens (RP). Rasio prevalens dihitung dengan membagi prevalens efek pada kelompok dengan faktor risiko dengan prevalens efek pada kelompok tanpa faktor risiko. Berdasarkan analisis asfiksia terhadap kejadian ikterus neonatorum didapatkan hasil hitung secara manual rasio prevalens = 1,40. PEMBAHASAN Kejadian Asfiksia pada BBL Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar BBL di RSUD dr. Sayidiman Magetan mengalami asfiksia. Hasil penelitian ini sejalan dengan data yang ada dari World Health Organization (WHO), bahwa setiap tahunnya kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi baru lahir di dunia mengalami asfiksia, hampir satu juta bayi meninggal karena asfiksia ini. Menurut WHO (2003) setiap tahun diperkirakan 4 juta bayi meninggal pada bulan

pertama kehidupan dan dua pertiganya meninggal pada minggu pertama. Penyebab utama kematian pada minggu pertama kehidupan adalah komplikasi kehamilan dan persalinan seperti asfiksia, sepsis dan komplikasi berat lahir rendah. Kurang lebih 98% kematian ini terjadi di negara berkembang dan sebagian besar kematian ini dapat dicegah dengan pencegahan dini dan pengobatan yang tepat. Asfiksia ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir (Wiknjosastro, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Laily Nur Istiqomah (2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara asfiksia terhadap insiden ikterus neonatorum pada BBL. Menurut Saifuddin (2006:347), apabila asfiksia ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan penimbunan CO2 dan asidosis yang bisa berakibat pada kerusakan pada fungsi organ vital lainnya serta bisa menyebabkan kematian. Jadi dapat disimpulkan bahwa setiap bayi baru lahir memang berisiko terjadi asfiksia. Asfiksia ini jika tidak segera mendapat penanganan secara cepat dan tepat akan berakibat pada komplikasi lain yang berakibat pada kerusakan fungsi organ vital lainnya. Maka sebagai tenaga kesehatan khususnya bidan harus mampu mendeteksi terjadinya kemungkinan asfiksia BBL, diantaranya dengan melakukan Antenatal Care (ANC) secara teratur serta mendeteksi dini komplikasi yang terjadi selama kehamilan dan selama persalinan. Kejadian ikterus pada BBL Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar BBL di RSUD dr. Sayidiman Magetan mengalami ikterus neonatorum. Hasil ini didukung oleh Etika dkk. (2006), dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. Di Amerika Serikat, sebanyak 60% dari 4 juta bayi baru lahir setiap tahunnya mengalami ikterus. Di Malaysia ditemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebih pada bayi ikterus menurut Mansjoer (2002:503) dapat dipengaruhi oleh faktor a). Berat lahir < 2.000 gram (BBLR), b). Masa gestasi <36 minggu (prematur), c). Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat nafas pada neonatus, d). Infeksi, e). Trauma pada kepala, f). Hipoglikemia, hiperkarbia, g). Proses hemolisis akibat inkompatibilitas darah. Hasil ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Avysia Tri Marga Wulan (2010) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ikterus pada bayi baru lahir di Ruang Perinatologi RS Prikasih Depok meliputi masa gestasi, berat badan lahir, prematur, jenis

37

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

persalinan, inkompatibilitas ABO (golongan darah A,B,O) dan Rhesus faktor (Rh), asfiksia, asupan ASI, tingkat pendidikan ibu tentang perawatan bayi ikterus, riwayat kesehatan ibu; menunjukkan hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara asfiksia degan kejadian ikterus neonatorum. Jadi dapat disimpulkan bahwa kejadian ikterus neonatorum yang terjadi pada BBL memang dipengaruhi oleh banyak faktor. Kasus ikterus ini juga perlu mendapat penanganan secara cepat agar tidak berlanjut menjadi komplikasi seperti ensefalopati billirubin (kernicterus). Hubungan antara kejadian asfiksia dengan kejadian ikterus neonatorum Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa ada hubungan antara asfiksia dengan kejadian ikterus neonatorum. Dalam teori yang dikemukakan oleh Surasmi (2003) mengatakan bahwa adanya hubungan antara neonatus yang kekurangan oksigen dengan kejadian ikterus neonatorum. Hal ini terjadi karena kurangnya asupan oksigen pada organ-organ tubuh neonatus sehingga fungsi kerja organ tidak optimal. Glikogen yang dihasilkan tubuh dalam hati akan berkurang, yang bisa mengakibatkan terjadinya ikterus dalam jangka panjang dan kematian dalam jangka pendek. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh (Cunningham: 2006) yang menyatakan bahwa asfiksia disebabkan karena adanya gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen selama kehamilan atau persalinan. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh, dan bila tidak segera diatasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan atau gangguan ini dapat revesible atau tidak tergantung dari berat dan lamanya asfiksia. Di samping perubahan klinis, juga terjadi perubahan metabolisme asam basa pada neonatus. Pada tingkat awal menimbulkan asidosis respiratorik, bila gangguan berlanjut terjadi metabolisme an aerob yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh pada hati akan berkurang. Hipoksia dan asidosis juga akan meningkatkan toksisitas bilirubin, sehingga meningkatkan kadar asam lemak nonesterifikasi yang bersaing dengan bilirubin untuk berikatan dengan albumin dan menghambat konjugasi bilirubin. Bilirubin terkonjugasi tidak dapat keluar dari empedu menuju usus sehingga akan masuk kembali dan terabsorbsi ke dalam aliran darah. Dari proses inilah bisa menyebabkan neonatus mengalami ikterus. Sepsis juga ikut berperan dalam menimbulkan kern ikterus, walaupun mekanismenya belum jelas. Bila kekurangan glikogen ini terjadi di otak dapat mengakibatkan kerusakan sel otak sehingga menyebabkan kematian neonatal.

Informasi ini didukung oleh teori Surasmi (2003) yang menyatakan bahwa pada neonatus yang mengalami asfiksia, ikterus dapat dicegah dengan cara pemantauan kehamilan guna mencegah terjadinya gawat janin atau asfiksia janin dan penanganan resusitasi pada neonatus yang secara cepat dan tepat, sehingga angka kematian neonatus dapat berkurang. Terjadinya kekurangan oksigen pada janin mengakibatkan asupan oksigen ke organ dan jaringan yang lainnya berkurang, sehingga neonatus dapat mengalami ikterus neonatorum. Berdasarkan analisis asfiksia terhadap kejadian ikterus neonatorum didapatkan hasil hitung secara manual rasio prevalens = 1,4. Hal ini berarti RP =1 maka dikatakan bahwa asfiksia belum tentu merupakan faktor protektif yang bisa mempengaruhi terjadinya ikterus neonatorum pada bayi. Jadi dari 255 bayi, peluang terjadinya ikterus neonatorum 1,4 kali lebih besar pada bayi asfiksia dibandingakan dengan bayi yang tidak mengalami asfiksia. Atau dengan kata lain bahwasanya bayi yang lahir asfiksia merupakan faktor risiko timbulnya ikterus pada BBL, tapi bukan berarti setiap bayi yang mengalami ikterus neonatorum disebabkan oleh faktor asfiksia saat lahirnya. Penyebab terjadinya ikterus neonatorum bukan tunggal tetapi multikompleks. Dalam penelitian ini peneliti hanya membatasi salah satu faktor penyebab ikterus yang disebabkan oleh asfiksia, tidak memperhatikan karakteristik lain dari penyebab asfiksia. Faktor penyebab lain yang dikatakan bisa berengaruh terhadap ikterus neonatorum adalah kelahiran prematur, BBLR, infeksi (sepsis), inkompatibilitas sistem rhesus. Hasil penelitian terdahulu dari Laily Nur Istiqomah (2009) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara asfiksia dengan kejadian ikterus neonatorum. Dimana seberapa besar hubungan antara keduanya ini terlihat dari perbandingan nilai APGAR dengan kejadian ikterus neonatorum. Pada penelitian ini rasio prevalensi sebesar 1,5. Perbedaan besarnya rasio prevalensi ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya lokasi penelitian yang berbeda dengan berbagai perbedaan karakteristik responden dalam penelitian. Oleh karena itu penanganan pada kasus bayi yang mengalami asfiksia harus dilakukan secara cepat dan tepat agar keadaan asfiksia ini tidak berpengaruh pada komplikasi lain yang bisa mengarah pada keadaan patologis yang lebih lanjut pada bayi, salah satu komplikasi yang dimaksud dalam hal ini adalah peningkatan kadar bilirubin (ikterus patologis). SIMPULAN Berdasarkan data dan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik simpulan yaitu:

38

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

1. Sebagian besar bayi baru lahir di RSUD dr. Sayidiman Magetan tahun 2011 mengalami asfiksia. 2. Sebagian besar bayi baru lahir di RSUD dr. Sayidiman Magetan tahun 2011 mengalami ikterus neonatorum. 3. Ada hubungan antara asfiksia dengan kejadian ikterus neonatorum. 4. Rasio prevalensi asfiksia berpengaruh terhadap ikterus sebanyak 1,4. DAFTAR PUSTAKA Amri, Rina Puspita. 2008. Hubungan Persalinan Preterm dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum. http://tuv1234.wordpress.com/tag/hubung an-persalinan-preterm-dengan-kejadianasfiksia-neonatorum/ (diakses tanggal 28-32012 pukul 17:36) Arikunto, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Behrman, Kligman dan Arvin Nelson. 2001. Ilmu Kesehatan Anak Vol. I Edisi 5 Revisi 1, alih bahasa: Prof. Dr. Dr.A Samik Wahap, Sp. A. Jakarta: EGC Brooker, Chris (ed). 2009. Ensiklopedia Keperawatan, alih bahasa dr. Susiani Wijaya. Jakarta: EGC Cunningham, F. Gary. 2006. Obstetri Williams Ed 21 Vol 1. Jakarata : EGC. Dinkes Provinsi Jatim. 2012. Pofil Kesehatan provinsi jatim 2010. http://dinkes.jatimprov.go.id/userfile/dokum en/1321926974_Profil_Kesehatan_Provinsi_ Jawa_Timur_2010.pdf (diakses tanggal 223-2012 pukul 17:48 Etika, Risa dkk. 2006. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. http://www.pediatrik.com/pkb/ 20060220-js9khg-pkb.pdf (diakses tanggal 25 Maret 2012 pukul 11.30 WIB) Hidayat, A. Aziz Alimul. 2007. Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika. .2011. Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: Salemba Medika. Hull, David. 2008. Dasar-Dasar Pediatri Edisi 3, alih bahasa dr. Hartono Gunadi, Sp. A. Jakarta: EGC Istiqomah, Laily Nur. 2009. Hubungan Asfiksia dengan Insiden Ikterus pada BBL. Surakarta : Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Surakarta.

Manuaba, Ida Bagus Gde. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan Edisi 2. Jakarta : EGC Mansjoer, Arif.dkk. 2002. Kapita Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Aesculapius. Selekta Media

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. 2003. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Praktiknya, Ahmad Watik. 2007. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Rumah Sakit Umum Daerah Sayidiman. 2011. Register Bayi. Magetan: Medical Record Saifuddin, Abdul Bari. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Sastroasmoro, S, Ismail. 2002. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinik. Jakarta: Binarupa Aksara Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. 2004. HTA Indonesia_2004_Tatalaksana Ikterus Neonatorum. http://yanmedik.depkes.go.id (diakses tanggal 30 Maret 2012 pukul 13.00 WIB) Setiadi, 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Setiawan, Ari. 2010. Metodologi Penelitian Kebidanan. Jakarta: Muha Medika. Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Surasmi, Asrining. dkk. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC Waspodo, Djoko. dkk. 2008. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: JNPK-KR Widyawati, Isna Latifah. 2008. Hubungan antara Menyusui dengan Kejadian Ikterus Neonatorum Fisiologis di Pustu Kasihan Tegalombo Kabupaten Pacitan. Magetan:KTI Prodi Kebidanan Magetan.

39

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Wulan, Avysia Tri Marga. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian iktreus pada BBL di Ruang Perinatologi RS Prikasih Depok. Jakarta: Skripsi Universitas Pembangunan Nasional Jakarta.

40

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PROLAPS UTERI PADA PASIEN KUNJUNGAN BARU DI POLI KANDUNGAN RSUD DR SOETOMO SURABAYA K. Kasiati (Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Sutomo) Dian Lestari (Alumnus Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga) Gatut Hardianto (Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga) ABSTRACT Background: Many things could be happen caused by childbirth as pelvic floor damage and mortality. As many as 50 percent of women who have ever given birth estimated will have some degree of pelvic organ prolapse. The etiology of POP remains poorly understood, but some factors considered as risk factors for the development of prolapse. The problem of this research is there an increase of new uterine prolapse cases in Dr.Soetomo Surabaya hospital, since year of 2008 (51 cases) to 2010 (68 cases). Method: This research is an case control study. The populations are all new visitors in obstetric polyclinic of Dr.Soetomo Surabaya hospital with time period since 1st of January 2009 to 30th of September 2011. Samples of case are 67 womens which are determined by using total cases sampling, and the samples of control are 134 women which are determined by using simple random sampling. Data are collected by using data collector paper based on patients medical record. Data analyzed in description and analytic (Odds ratio and logistic regression). Result: There is a significant relation in each independent variable to dependent variable. Prevalence OR for age 55 compared with 54 was 3.21, 95% CI 1.71-6.04, prevalence OR for parity 3 compared with 2 was 2.22, 95% CI 1.15-4.29, and prevalence OR for vaginal childbirth 3 compared with 2 was 2.36, 95% CI 1.22-4.55. The final result of multivariat analytic was only age factor which can be done in logistic regression with prevalence OR 3.21, 95% CI 1.71-6.04. Conclussion: All independent variables significantly related to dependent variable, and age was the only most related factor to uterine prolapse at new visit patient in obstetric polyclinic of Dr.Soetomo Surabaya Hospital. Keywords: uterine prolapse, age, parity, vaginal childbirth, weight of largest born child and chronic cough World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan reproduksi sebagai kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsifungsinya serta proses-prosesnya. Kecacatan hingga kematian dapat terjadi selama proses kehamilan dan persalinan. Sebagian wanita yang melahirkan normal memiliki risiko kecacatan dasar panggul (prolaps organ panggul), seperti robekan akibat penggunaan alat bantu saat melahirkan serta akibat lamanya proses persalinan. Hampir 80% wanita usia lanjut diperkirakan mempunyai masalah urogenital, tetapi kejadiannya sulit ditemukan dengan tepat, karena banyak wanita usia lanjut tidak mau atau merasa malu untuk membicarakan masalah tersebut kepada keluarga, teman atau pada tenaga kesehatan. Masalah urogenital pada wanita usia lanjut tersebut jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, tentu akan menurunkan kualitas hidupnya (Marjono 1999). Peran bidan terhadap kejadian prolaps uteri sangat diperlukan untuk mengurangi kejadian prolaps dan demi membantu wanita menjaga kesehatan reproduksi mereka. Bidan dapat memberikan pendidikan kesehatan mengenai kejadian prolaps, gejala, cara pencegahan, juga tindakan apa yang harus ibu lakukan apabila ibu mengalami keadaan tersebut. Santoso berpendapat dalam Wiyana (2011) bahwa sebanyak 50% wanita yang telah melahirkan akan mengalami prolaps dari derajat ringan hingga berat. Prolaps terjadi di Amerika sebanyak 52% setelah wanita melahirkan anak pertama, sedangkan di Indonesia prolaps terjadi sebanyak 3,4-56,4% pada wanita yang telah melahirkan. Data Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menunjukkan setiap tahun ada 47-67 kasus prolaps, dan sebanyak 260 kasus pada tahun 2005-2010 yang mendapat tindakan operasi. RSUD Dr. Soetomo sebagai salah satu rumah sakit umum daerah di Surabaya, menjadi rumah sakit yang melayani rujukan berbagai kasus kesehatan termasuk masalah uroginekologi (prolaps organ panggul). Data awal menunjukkan terdapat peningkatan kasus prolaps organ panggul pada pasien kunjungan baru sejak tahun 2008 sampai tahun 2010. Tahun 2008 sebanyak 51 kasus, tahun 2009 sebanyak 55 kasus, dan tahun 2010 sebanyak 68 kasus. Prevalensi kunjungan pasien baru dengan prolaps uteri di poli kandungan RSUD Dr.Soetomo jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan kasus lainnya, namun masalah ini tetap memerlukan perhatian yang sama untuk dianalisis, sehingga dapat diketahui faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan kejadian

41

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk menganalisis beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian prolaps uteri pada pasien kunjungan baru di poli kandungan RSUD Dr. Soetomo Surabaya. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini ialah survey analitik yang berdesain case control (hospital based). Populasi, adalah semua pasien baru yang berkunjung ke Poli Kandungan RSUD Dr. Soetomo Surabaya, terhitung sejak 1 Januari 2009 sampai dengan 30 September 2011 sebanyak 5236 pasien. Sampel kasus adalah pasien kunjungan baru dengan kejadian prolaps uteri di RSUD Dr. Soetomo Surabaya terhitung sejak 1 Januari 2009 sampai 30 September 2011. Besar sampel kasus yaitu semua kasus prolaps uteri pada populasi dijadikan sampel sebanyak 67 sampel. Sampel kontrol adalah pasien kunjungan baru selain pasien dengan kasus prolaps uteri, terhitung sejak 1 Januari 2009 sampai 30 September 2011. Besar sampel kontrol mengikuti besar sample kasus dengan perbandingan 1 : 2 yaitu 134 kontrol. Sampel kontrol diperoleh dari populasi yang sama, diambil secara acak (simple random sampling). Variabel independen penelitian ini adalah usia, paritas, persalinan pervaginam, besar berat bayi lahir dan batuk kronis / asma. Variabel dependen adalah kejadian prolaps uteri. Instrumen penelitian menggunakan lembar pengumpulan data. Analisis data meliputi deskriptif dan analitik (analisis faktor risiko / Odds ratio dan analisis multivariat / regresi logistik). HASIL PENELITIAN Hasil penelitian deskriptif menunjukkan bahwa dari 67 kasus prolaps uteri, sebanyak 22 kasus (32,83%) terjadi pada ibu dengan kriteria umur 60-69 tahun. Prolaps uteri pada penelitian ini terjadi pada usia termuda yaitu 30 tahun dan usia tertua yaitu 88 tahun. Pada sampel kontrol yang diperoleh dengan teknik simple random sampling, sebanyak 78 ibu berada pada rentang usia 40-49 tahun dan 50-59 tahun (58,2%). Status menopause pada sampel kasus sebanyak 50 ibu (74,63%) dari 67 sampel kasus, dan sebanyak 69 ibu (51.5%) dari 134 sampel kontrol. Paritas ibu pada sampel kasus sebagian besar adalah multipara sebanyak 51 kasus (76,12%) dengan batasan tertinggi pada multipara yaitu ibu pernah melahirkan sebanyak 13 kali, sedangkan pada sampel kontrol sebanyak 79 ibu (58,95%) adalah multipara,

dengan batasan tertinggi yaitu ibu pernah melahirkan sebanyak 11 kali. Sebagian besar prolaps uteri pada penelitian ini terjadi pada derajat IV yaitu sebanyak 28 kasus (41,8%). Sebagian besar diagnosis kasus yang diperoleh pada pengambilan sampel kontrol merupakan ibu dengan hasil pemeriksaan ginekologi normal (secara anatomi ditemukan keadaan jalan lahir ibu normal) yiatu sebanyak 55 sampel kontrol (41,04%). Hasil penelitian analitik menunjukkan bahwa dari 201 total sampel (sampel kasus dan kontrol), 107 (53,2%) dari total sampel tersebut merupakan usia risiko tinggi untuk mengalami prolaps. Usia risiko tinggi pada sampel kasus sebanyak 48 ibu dari 67 sampel kasus (71,6%), dan pada sampel kontrol sebanyak 59 ibu dari 134 sampel kontrol (44%). Perhitungan OR yang dihasilkan antara variabel usia dan prolaps yaitu 3,21 (1,71 6,04, IK 95%) artinya, ibu dengan usia 55 tahun berisiko 3,21 kali mengalami prolaps uteri dibandingkan dengan ibu berusia 54 tahun. Sebanyak 201 total sampel (sampel kasus dan kontrol), 130 (64,7%) dari total sampel tersebut merupakan paritas risiko tinggi untuk mengalami prolaps. Multipara pada sampel kasus sebanyak 51 ibu dari 67 sampel kasus (76,1%) , dan pada sampel kontrol sebanyak 79 ibu dari 134 sampel kontrol (59%). Perhitungan OR yang dihasilkan antara variabel paritas dengan prolaps yaitu 2,22 (1,15 - 4,29, IK 95%) artinya, ibu dengan paritas multipara berisiko 2,22 kali mengalami prolaps uteri dibandingkan dengan ibu yang bukan multipara. Sebanyak 201 total sampel (sampel kasus dan kontrol), 128 (63,7%) dari total sampel tersebut merupakan risiko tinggi untuk mengalami prolaps akibat riwayat persalinan pervaginam. Risiko tinggi akibat riwayat persalinan pervaginam pada sampel kasus sebanyak 51 ibu dari 67 sampel kasus (76,1%), dan pada sampel kontrol sebanyak 77 ibu dari 134 sampel kontrol (57,5%). Perhitungan OR yang dihasilkan antara variabel persalinan pervaginam dengan prolaps yaitu 2,36 (1,224,55, IK 95%) artinya, ibu yang melahirkan pervaginam tiga kali berisiko 2,36 kali mengalami prolaps uteri dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pervaginam dua kali. Pada hasil akhir analisis multivaritas yang dianalisis dengan metode backward, variabel yang sangat berhubungan dengan kejadian prolaps uteri adalah usia. Kekuatan hubungan dapat dilihat dari nilai OR yaitu 3,21 (1,71-6,04, IK 95%). Probabilitas ibu dengan usia 55 tahun untuk mengalami prolaps uteri adalah 45 %, sedangkan probabilitas ibu dengan usia 54 tahun untuk mengalami prolaps uteri adalah 20,4%. Hasil penelitian analitik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara setiap variabel independen dengan variabel dependen yang dianalisis menggunakan

42

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

analisis faktor / Odds ratio dengan hitung tabel 2x2. PEMBAHASAN Hasil penelitian ini secara umum sudah menjawab pertanyaan sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk menganalisis beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian prolaps uteri di Poli Kandungan RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Pada penelitian ini terdapat keterbatasan saat pengumpulan data dilakukan, antara lain data berat bayi yang dilahirkan oleh ibu dan riwayat penyakit asma tidak semua tercantum dalam rekam medis. Kedua variabel independen tersebut tidak dapat dicantumkan dalam analisis hasil penelitian, sehingga hanya faktor usia, paritas dan partus pervaginam yang dapat dianalisis dan disertakan dalam hasil penelitian ini. Ligamen pendukung, fasia dan otot dasar pelvis berfungsi untuk mempertahankan organ pelvis termasuk rahim, vagina, kandung kemih dan rektum. Satu organ pelvis atau lebih dapat mengalami prolaps di dalam dan kadang dapat keluar melalui vagina apabila terjadi kerusakan pada struktur penunjang tersebut (Hacker 2001). Prolaps adalah penonjolan organ-organ panggul ke dalam atau keluar jalan lahir (Sinclair 2009), sedangkan prolaps uteri adalah terjadinya penurunan uterus ke jalan lahir (Naylor 2004). Penyebab terjadinya prolaps uteri belum diketahui secara pasti, namun beberapa faktor risiko dapat menjadi predisposisi terjadinya prolaps tersebut antara lain paritas, ras, defisiensi estrogen, semua kondisi kronik yang dapat menyebabkan peningkatan intraabdomen dan penyakit jaringan ikat (Norwitz 2007). Dalam kepustakaan lain, lama proses persalinan, besar berat bayi yang dilahirkan ( lebih dari 4000gram), anatomi vagina yang pendek dan adanya riwayat operasi panggul juga merupakan faktor predisposisi terjadinya prolaps uteri (Datta 2008). Hasil perhitungan Odds Ratio dapat diperoleh dengan menggunakan program komputer (SPSS), tetapi dapat juga diperoleh secara manual yaitu perhitungan dari kolom A dikalikan dengan kolom D lalu dibagi dengan hasil perkalian kolom B dengan kolom C (AD/BC). Sebagian besar kasus prolaps pada penelitian ini terjadi pada usia 55 tahun, hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa prolaps uteri lebih umum terjadi pada masa reproduksi lanjut dan setelah menopause (Liewellyn dan Jones 2001). Pada umumnya prolaps uteri terjadi pada masa reproduksi lanjut, namun dalam penelitian ini terdapat seorang ibu yang masih berusia 30 tahun telah mengalami prolaps uteri. Penyebab terjadinya prolaps pada ibu tersebut tidak dapat diketahui secara pasti, karena bila dilihat dari faktor paritas

ibu adalah seorang primipara atau baru mengalami proses persalinan satu kali, sedangkan data mengenai faktor risiko lainnya tidak tercantum dalam rekam medis. Alat penyokong pada organ panggul yang sudah rusak atau melemah sebelumnya, misalnya karena trauma persalinan atau kelainan bawaan lain, maka pada usia pascamenopause akan menjadi lebih lemah sehingga dapat menyebabkan terjadinya prolaps organ panggul salah satunya prolaps uteri (Marjono 1999). Sebagian besar sampel kasus pada penelitian ini telah mengalami menopause yaitu sebanyak 50 ibu (74,63%) dari 67 sampel kasus, sedangkan perbedaan status menopause dan tidak menopause pada 134 sampel kontrol hanya sedikit yaitu sebanyak 69 ibu (51.5%) berstatus menopause dan 65 ibu (48.5%) berstatus tidak menopause. Hasil tersebut menunjukkan bahwa status menopause lebih banyak dialami oleh sampel kasus dibandingkan dengan sampel kontrol. Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Liewellyn dan Jones (2001) bahwa prolaps lebih umum terjadi setelah menopause. Penelitian dengan desain cross sectional yang dilakukan oleh Fritel dan kawan-kawan (2009) dengan tujuan mengetahui kualitas hidup, prevalensi dan faktor risiko yang berhubungan dengan gejala terjadinya prolaps organ panggul pada perempuan usia pertengahan tahun, menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara usia dengan kejadian prolaps yang menggunakan batasan usia 55 tahun dibandingkan dengan usia < 55 tahun, hasil OR yaitu 1,19 (0,80-1,77, IK 95%). Pada penelitian ini menunjukan hasil yang berbeda dengan penelitian Fritel. Perbedaan dalam hasil penelitian ini dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fritel dan kawan-kawan dapat dipengaruhi oleh jumlah sampel yang didapat, pada penelitian Fritel prolaps lebih sedikit terjadi pada wanita 55 tahun (n=1,166) dibandingkan dengan wanita <55 tahun (1,474), sedangkan pada penelitian ini prolaps lebih banyak terjadi pada wanita usia 55 tahun dibandingkan dengan wanita usia <55 tahun seperti yang tertera dalam tabel 5.1. Jumlah ibu dengan usia risiko tinggi lebih besar pada sampel kontrol dibandingkan dengan sampel kasus, namun jika dilihat dari perbandingan besar kedua sampel tersebut yaitu satu banding dua, maka sebenarnya jumlah usia risiko tinggi lebih banyak pada sampel kasus daripada sampel kontrol. Hasil sampel tersebut menyebabkan adanya hubungan yang signifikan antara faktor usia dengan prolaps. Hubungan yang signifikan antara usia dengan prolaps uteri menunjukkan bahwa usia merupakan salah satu faktor risiko terhadap kejadian prolaps uteri. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Scott (2002) bahwa kemunduran usia merupakan

43

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

salah satu faktor yang terlibat dalam terjadinya prolaps, yang kemunduran usia tersebut menyebabkan hilangnya kekuatan jaringan penghubung dasar panggul. Jaringan panggul bersifat sensitif terhadap estrogen (Norwitz dan Schorge 2007). Wiknjosastro (1999) berpendapat bahwa pada menopause hormon estrogen telah berkurang yang mengakibatkan otot dasar panggul menjadi atrofi dan semakin lemah sehingga sering menyebabkan terjadinya prolaps genetalia. Penelitian lain yang dilakukan oleh Miedel dan kawan-kawan (2009) tentang faktor risiko nonobstetri yang berhubungan dengan kejadian prolaps, juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian prolaps. Sebagai pembanding adalah usia 30-39 tahun, didapatkan hasil OR 2,55 untuk usia 40-49 tahun (1,24-5,24, IK 95%), OR 3,52 untuk usia 50-59 tahun (1,80-6,91, IK 95%), OR 2,98 untuk usia 60-69 tahun (1,40-6,32, IK 95%), dan OR 3,02 untuk usia 70-79 tahun (1,31-6,92, IK 95%). Penelitian lainnya dilakukan oleh Tegerstedt dan kawan-kawan (2005) di Stockholm dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko terjadinya prolaps uteri lebih tinggi pada usia 60-69 tahun, yaitu 2,3 kali dibandingkan dengan usia 30-39 tahun, sedangkan pada usia 40-49 tahun prolaps terjadi 2,2 kali dibandingkan dengan usia 30-39 tahun dengan IK 95%. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian prolaps uteri. Sebagian besar ibu yang mengalami prolaps uteri pada penelitian ini adalah multipara. Hal tersebut sesuai dengan teori yang disampaikan Doshani (2007) dalam artikelnya Uterine Prolaps bahwa status paritas yang semakin meningkat juga dapat meningkatkan terjadinya prolaps, selain itu prolaps dapat menjadi semakin parah. Pendapat lainnya juga disampaikan oleh Norwitz dan Schorge (2007) bahwa prolaps sering terjadi pada wanita multipara. Pada penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan antara paritas dengan kejadian prolaps. Penelitian yang dilakukan oleh Miedel dan kawan-kawan (2009) tentang faktor risiko terjadinya prolaps organ panggul di Stockholm, menunjukkan hasil OR yang semakin meningkat dengan semakin meningkatnya status paritas. Sebagai pembanding adalah nullipara, didapatkan OR 3,47 untuk primipara, OR 4,71 untuk bipara, OR 4,40 untuk paritas tiga dan OR 6,31 untuk paritas empat sampai dengan enam. Hasil OR tersebut menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara paritas dengan kejadian prolaps, seperti yang disampaikan oleh Quiroz dan kawan-kawan (2008) bahwa prolaps lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah melahirkan (nullipara).

Penelitian tentang hubungan paritas dengan prolaps juga dilakukan oleh Womens Health Initiative, yang disampaikan oleh Patel dan kawan-kawan (2007) dalam jurnal mereka Pelvic Organ Prolapse and Stress Urinary Incontinence. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara persalinan dengan kejadian prolaps, dan OR betambah 1,1 sampai 1,21 dengan semakin bertambahnya persalinan. Weber dan Richter (2005) menyampaikan dalam jurnal mereka Pelvic Organ Prolapse bahwa persalinan pervaginam merupakan faktor risiko terjadinya prolaps. Wiknjosastro (1999) juga menyatakan bahwa prolaps khususnya disebabkan oleh persalinan pervaginam yang sulit. Hal tersebut disebabkan oleh karena pada persalinan pervaginam terjadi regangan pada ligamentum penunjang uterus, dan pada keadaan regangan yang semakin tinggi akibat persalinan pervaginam yang terjadi berulang kali, maka ligamentum tersebut dapat semakin mengendur dan terjulur lemah sehingga lebih mudah terjadi prolaps (Liewellyn dan Jones 2001). Keadaan anatomi panggul yang menyebabkan kesulitan saat melahirkan secara pervaginam juga berpengaruh terhadap risiko terjadinya gangguan pada dasar panggul di masa depan wanita. Sebagai contoh pada penelitian Handa dan kawan-kawan yang disebutkan oleh Quiroz (2010) bahwa ukuran panggul yang sempit berhubungan dengan gangguan dasar panggul. Sebagian besar ibu yang mengalami prolaps uteri pada penelitian ini mempunyai riwayat persalinan pervaginam tiga kali. Keadaan tersebut menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian observasional yang dilakukan oleh Wahyudi (2007) di RSUP H. Adam Malik dan RSU Pirngadi Medan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan dari 112 kasus yang didapat, 49 kasus prolaps (43,8%) dialami oleh ibu dengan riwayat persalinan pervaginam tiga kali , sedangkan satu kasus prolaps (0,9%) tanpa riwayat persalinan pervaginam mengalami prolaps derajat dua (Wahyudi 2007). Cespedes dan kawan-kawan (1998) menyampaikan bahwa prolaps uteri lebih banyak dialami oleh multipara, dan faktor penyebab terbanyak terjadinya prolaps uteri tersebut yaitu akibat persalinan pervaginam yang terjadi berulang kali. Riwayat persalinan yang berbeda akan menunjukkan hasil yang berbeda pada faktor paritas dan persalinan pervaginam, karena analisis pada faktor persalinan pervaginam lebih terfokus pada berapa jumlah persalinan pervaginam pada ibu sehingga menyebabkan terjadinya prolaps uteri. Hasil OR pada faktor paritas dan persalinan pervaginam menunjukkan hasil yang berbeda, kekuatan hubungan pada faktor persalinan pervaginam lebih besar dibandingkan dengan faktor paritas.

44

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

Perbedaan pada hasil OR tersebut disebabkan karena tidak semua ibu pada penelitian ini mengalami persalinan pervaginam tiga kali pada jumlah paritas yang sama, beberapa diantaranya juga mengalami riwayat persalinan perabdominal. Hubungan yang signifikan antara persalinan pervaginam dan prolaps disampaikan oleh Fritel dan kawan-kawan (2009) dalam penelitian mereka. Sebagai pembanding yaitu wanita yang tidak pernah melahirkan pervaginam, IK 95% didapatkan OR 1,89 (0,91 - 3,96) untuk wanita dengan persalinan pervaginam satu kali, OR 2,49 (1,23 - 5,03) untuk wanita dengan persalinan pervaginam dua kali, dan OR 3,61 (1,68 - 7,76) untuk wanita dengan persalinan pervaginam 3 kali atau lebih. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa risiko terjadinya prolaps semakin meningkat dengan semakin meningkatnya riwayat persalinan pervaginam. Penelitian lainnya dilakukan oleh Rortveit dan kawan-kawan (2007) dengan tujuan untuk memperkirakan kejadian dan mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan gejala prolaps organ panggul pada wanita berusia 40 tahun. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dan peningkatan OR pada setiap jumlah persalinan pervaginam. Sebagai pembanding adalah nullipara dan IK 95% didapatkan OR 2,8 (1,1 - 6,9) untuk persalinan pervaginam satu kali, OR 4,0 (1,8 9,1) untuk persalinan pervaginam dua kali, dan OR 5,2 (2,4 11,5) untuk persalinan pervaginam tiga kali. Ketiga variabel independen yang telah dianalisis dengan menggunakan analisis faktor risiko / Odds ratio menunjukkan hasil yang sama yaitu, ada hubungan yang signifikan antara variabel tersebut dengan variabel dependen (prolaps uteri). Pada analisis multivariat dengan tujuan untuk mempelajari pengaruh ketiga variabel tersebut secara simultan, hasil akhir yang dapat masuk dalam persamaan regresi logistik hanya variabel usia. Hal tersebut dapat disebabkan karena secara statistik hasil OR setiap variabel yang didapat yaitu, batas bawah OR pada faktor usia adalah 1,71 atau mendekati angka 2, sedangkan batas bawah OR pada faktor paritas maupun persalinan pervaginam adalah 1,15 dan 1,22 atau lebih mendekati angka 1, sehingga dalam analisis multivariat kedua faktor tersebut tidak dapat disertakan. Faktor usia dalam penelitian ini memberikan sumbangan kecil terhadap prolaps uteri yaitu 6,8%. Hal tersebut menunjukkan ada faktor lain yang juga dapat menyebabkan prolaps uteri selain faktor usia seperti adanya keadaan yang dialami oleh Ibu yang dapat meningkatkan tekanan intraabdominal, riwayat berat bayi yang dilahirkan dan tindakan selama persalinan serta faktor risiko lain yang tidak dapat dianalisis dalam penelitian ini. Faktor risiko lain yang tidak dapat dianalisis dapat menjadi

faktor perancu dalam penelitian ini. Untuk menghindari efek dari faktor perancu tersebut, faktor perancu dapat disingkirkan dari penelitian dengan menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi. Faktor perancu dalam penelitian ini tidak dapat dikendalikan dengan baik karena data mengenai faktor perancu tersebut tidak tercantum di dalam rekam medis pasien, sehingga tidak dapat dianalisis. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara faktor perancu tersebut dengan kejadian prolaps uteri. Datta (2008) menyebutkan bahwa berat badan yang berlebihan atau obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya prolaps. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara faktor risiko tersebut terhadap kejadian prolaps, namun ada juga yang tidak menemukan hubungan antara keduanya. Doshani (2007) menyebutkan di dalam artikelnya Uterine Prolapse tentang hasil penelitian yang dilakukan oleh Swift dan kawankawan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa index massa tubuh merupakan risiko tinggi terhadap kejadian prolaps uteri dengan OR untuk IMT 25-30 yaitu 2,51 (1,18-5,53, IK 95%) dan OR untuk IMT > 30 yaitu 2,56 (1,235,35, IK 95%). Penelitian yang dilakukan oleh Miedel dan kawan-kawan juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara IMT dengan prolaps. Sebagai pembanding adalah IMT normal (20-24,9) dengan IK 95%, OR untuk IMT 25-29,9 yaitu 2,04 (1,35-3,11) dan OR untuk IMT 30 yaitu 2,11 (1,10-4,04). Penelitian yang dilakukan Rortveit dan kawan-kawan menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara IMT dengan kejadian prolaps. Sebagai pembanding adalah IMT < 25 dengan IK 95%, OR yang didapat untuk IMT 25-30 yaitu 0,8 (0,51,3) dan OR untuk IMT > 30 yaitu 0,9 (0,6-1,6). Penelitian yang dilakukan oleh Rortveit dan kawan-kawan juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara konstipasi dengan kejadian prolaps. Sebagai pembanding adalah riwayat konstipasi kurang dari satu bulan dengan IK 95%, OR untuk konstipasi satu bulan yaitu 2,5 (1,7-3,7). Penelitian lain yang dilakukan oleh Miedel dan kawan-kawan juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara rutinitas defekasi dengan prolaps. Sebagai pembanding adalah defekasi normal dengan IK 95%, OR untuk defekasi tidak normal (konstipasi) yaitu 2,13 (1,37-3,31). Batuk kronis atau asma merupakan salah satu penyebab yang meningkatkan tekanan intraabdominal, tetapi Miedel dan kawan-kawan (2009) tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara faktor tersebut dengan prolaps dalam penelitian mereka. Sebagai pembanding adalah tidak ada riwayat batuk kronis atau asma dengan IK 95%, OR untuk batuk kronis atau asma yaitu 1,29 (0,76-2,18).

45

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

Riwayat prolaps dalam keluarga juga merupakan salah satu faktor predisposisi terhadap terjadinya prolaps. Prolaps juga dapat terjadi pada wanita yang tidak memiliki anak, hal tersebut menunjukkan adanya kelemahan bawaan atau kelemahan perkembangan dari jaringan penyambung pelvis (Hacker 2001). Doshani (2007) menyampaikan dalam artikelnya Uterine Prolapse bahwa faktor genetik juga memainkan peran terhadap terjadinya prolaps uteri. Doshani (2007) juga menyampaikan hasil penelitian case control yang dilakukan oleh Chiaffarino dan kawankawan bahwa risiko terjadinya prolaps uteri lebih tinggi pada wanita yang memiliki riwayat prolaps pada ibu (OR 3,2 1,1-7,6) atau riwayat prolaps pada saudara perempuan (OR 2,4 1,05,6). Penelitian yang dilakukan oleh Miedel dan kawan-kawan (2009) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara faktor genetik dengan prolaps. Sebagai pembanding adalah wanita yang tidak memiliki riwayat prolaps dalam keluarga dengan IK 95%, OR untuk wanita dengan riwayat prolaps dalam keluarga yaitu 3,09 (1,74-5,51). Doshani (2007) menyampaikan dalam artikelnya bahwa persalinan pervaginam mempunyai hubungan yang sangat jelas terhadap terjadinya prolaps, akan tetapi faktor risiko obstetri lainnya masih merupakan hal yang kontraversi. Makrosomia, kala dua persalinan yang memanjang, luka episiotomi, penggunaan forceps saat persalinan dianggap sebagai faktor risiko terhadap terjadinya prolaps, tetapi belum bisa dibuktikan secara pasti. Penelitian yang dilakukan oleh Tegerstedt dan kawan-kawan (2005) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara besar berat bayi yang dilahirkan dengan prolaps. Sebagai pembanding adalah riwayat berat bayi lahir < 4000 gram, OR untuk riwayat berat bayi lahir 4000 gram yaitu 1,6 (1,1-2,4, IK 95%). Kejadian prolaps pada penelitian ini mungkin tidak hanya disebabkan oleh faktor usia tetapi juga oleh faktor risiko lain, karena faktor perancu yang ada tidak dapat dikendalikan secara maksimal. Pada pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan antara lain data rekam medis pasien kurang lengkap sehingga menyebabkan kesulitan saat melakukan pengumpulan data. Beberapa variabel seperti besar berat bayi lahir dan riwayat batuk kronis/asma tidak dapat dianalisis. Keterbatasan lainnya yaitu dapat terjadi beberapa macam bias yang dapat mengganggu hasil penelitian (validitas penelitian), antara lain terjadi information bias (informasi yang diberikan oleh responden atau pasien kepada petugas kesehatan tidak lengkap / valid. Pada penelitian ini juga dapat terjadi selection bias (ketidaksesuaian antara kelompok kasus dan kontrol akibat dari pengambilan sampel). Hasil dari penelitian ini hanya

menunjukkan kejadian prolaps uteri di RSUD Dr.Soetomo Surabaya, tidak menggambarkan kejadian yang terjadi di masyarakat. SIMPULAN DAN SARAN simpulan yang diambil antara lain ; 1. Ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian prolaps uteri pada pasien kunjungan baru di poli kandungan RSUD Dr.Soetomo Surabaya. 2. Ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan kejadian prolaps uteri pada pasien kunjungan baru di poli kandungan RSUD Dr.Soetomo Surabaya. 3. Ada hubungan yang signifikan antara persalinan pervaginam dengan kejadian prolaps uteri pada pasien kunjungan baru di poli kandungan RSUD Dr.Soetomo Surabaya. 4. Variabel besar berat bayi lahir tidak dapat diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini dikarenakan adanya keterbatasan pada pengumpulan data. 5. Variabel batuk kronis / asma tidak dapat diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini dikarenakan adanya keterbatasan pada pengumpulan data. 6. Usia merupakan faktor yang paling berhubungan dari semua faktor risiko yang diteliti terhadap kejadian prolaps uteri pada pasien kunjungan baru di poli kandungan RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Selanjutnya saran-saran yang dapat diberikan antara lain: 1. Bagi Poli Kandungan RSUD Dr.Soetomo Surabaya : melengkapi data pada saat pengisian rekam medis pasien. 2. Bagi profesi : memiliki pengetahuan mengenai prolaps uteri dan tindakan pencegahannya, sehingga mampu memberikan pengetahuan tersebut kepada wanita lainnya. Membantu wanita menjaga kesehatan reproduksi mereka dengan cara memberikan pendidikan kesehatan mengenai kesehatan reproduksi khususnya mengenai prolaps uteri, cara pencegahan dan apa yang harus dilakukan jika mereka menemukan keadaan tersebut. 3. Bagi ibu dan wanita : mengobati kondisi yang dapat menyebabkan tekanan intraabdominal meningkat, mengikuti program KB guna membatasi dan memberi jarak pada kehamilan, melakukan senam kegel dan aktifitas lainnya yang bermanfaat untuk mencegah terjadinya prolaps, dan memeriksakan keadaannya ke tenaga kesehatan apabila ditemukan gejala terjadinya prolaps organ panggul. 4. Bagi penelitian selanjutnya : menganalisis beberapa faktor risiko yang belum dianalisis dalam penelitian ini.

46

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

DAFTAR PUSTAKA Anhar, K & Fauzi, A 2003, Kasus prolaps uteri di rumah sakit dr.mohammad hoesin palembang selama lima tahun (1999-2003), diakses 22 September 2011 http://digilib.unsri.ac.id/download/KASUS%20P ROLAPSUS%20UTERI%20DI%20RUMAH%2 0SAKIT%20DR_%20MOHMMAD%20HOESI N.pdf Baziad, A 2003, Menopause dan andropause, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Braun, K 2008, Genital prolapse, diakses 27 September 2011, http://www.womhealth. org.au/ factsheets/genital_prolapse.htm Brubaker, L, Pelvic organ prolapse, diakses 26 September 2011, http://www.icsoffice.org/ Publications/ICI_2/chapters/Chap05.pdf Cespedes RD, Cross CA & McGuire EJ 1998 , Diagnosing and treating uterine and vaginal vault prolapse, Medscape General Medicine, vol. 1, no. 3, diakses 17 November 2011, http://www.medscape.com/ viewarticle/722325 Dahlan, M 2008, Statistik untuk kedokteran dan kesehatan, Penerbit Salemba Medika, Jakarta. Datta M, Randall L, Holmes N & Kamnaharan N 2008, Rujukan cepat obstetri & ginekologi, EGC, Jakarta. Departement of obstetric & gynecology 2011, University of michigan health system, diakses 27 September 2011 http://www.med.umich.edu/obgyn/pfd/pr olapse/cause.htm Deputi3 2010, Usia harapan hidup penduduk Indonesia, diakses 14 agustus 2011, http://data.menkokesra.go.id/content/usiaharapan-hidup-penduduk-indonesia. Dietz, HP & Bennet, MJ 2003, The effect of childbirth on pelvic organ mobility, The American College of Obstetricians and Gynecologist, vol. 102, no. 2, pp 223-228, diakses 3 Oktober 2011, http://journals.lww.com/greenjournal/Fullte xt/2003/08000/The_Effect_of_Childbirth_o n_Pelvic_Organ_Mobility.5.aspx Doshani, A 2007, Uterine prolapse, diakses 15 November 2011, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC2034734/?tool=pmcentrez

Fritel X, Varnoux N, Zins M, Breart G & Ringa V 2009, Symptomatic pelvic organ prolapse at midlife, quality of life and risk factors, The American College of Obstetricians and Gynecologist, vol. 113, no. 2, pp 609-616, diakses 16 November 2011, http://journals.lww.com/greenjournal/Fullte xt/2009/03000/Symptomatic_Pelvic_Organ _Prolapse_at_Midlife,.7.aspx Goverment, V 2010, Prolaps of the uterus, diakses 27 September 2011, http://www.betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/ bhcarticles.nsf/pages/Prolapse_of_the_uteru s?open Hacker, N 2001, Essensial obstetri ginekologi ed.2, Hipokrates, Jakarta. dan

Hidayat, A 2007, Metode penelitian kebidanan dan teknik analis data ed.1, Salemba Medika, Jakarta. Kasjono, H & Yasril 2009, Teknik sampling untuk penelitian kesehatan, Graha Ilmu, Yogyakarta. Liewellyn & Jones, D 2001, Dasar-dasar obstetri dan ginekologi ed.6, Hipokrates, Jakarta. Manuaba, I 2009, Buku ajar ginekologi untuk mahasiswa kebidanan, EGC, Jakarta. Marjono, A 1999, Catatan kuliah obstetri ginekologi plus FKUI, Abud, Jakarta. Miedel A, Tegerstedt G, Schmidt M, Nyren O & Hammarstrom M 2009, Nonobstetric risk factors for symptomatic pelvic organ prolapse, American College of Obstetricians and Gynecologist, vol. 113, no. 5, pp 10891097, diakses 23 September 2011, http://journals.lww.com/greenjournal/Fullte xt/2009/05000/Nonobstetric_Risk_Factor_f or_Symptomatic_Pelvic.19.aspx Naylor, C 2004, Obstetri ginekologi: referensi ringkas, EGC, Jakarta. Norwitz, E & Schorge, J 2007, At a glance obstetri dan ginekologi ed 2, Penerbit Erlangga, Jakarta. Nygaard I, Bradley C & Brandt D 2004, Pelvic organ prolaps in older women: prevalence and risk factor, American College of Obstetricians and Gynecologists, vol. 104, no. 3, pp 489-497, diakses 3 Oktober 2011, http://journals.lww.com/greenjournal/Fullte xt/2004/09000/Pelvic_Organ.15.aspx Patel PD, Amrute KV & Badlani GH 2007, Pelvic organ prolaps and stress urinary

47

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

incontinence: a review of etiological factors, Indian Journal of Urology, vol.23, no.2, pp 135-141, diakses 16 November 2011, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC2721522/?tool=pmcentrez Paulman, PM & Harrison, J 2009, Taylor manual diagnosis klinik dalam 10 menit, Binarupa Aksara, Tangerang. Quiroz LH, Munoz A, Shippey SH, Gutman RE & Handa VL 2010, Vaginal parity and pelvic organ prolaps, Journal of Reproductive Medicine, vol 55, no.3-4, pp 93-98, diakses 16 November 2011, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC3164481/?tool=pmcentrez. Rortveit G, Brown JS, Thom DH, Eeden SK, Creasman JM & Subak LL 2007, Symptomatic Pelvic Organ Prolapse, The American College of Obstetricians and Gynecologist, vol. 109, no. 6, pp 1396-1403, diakses 16 November 2011, http://journals.lww.com/greenjournal/Fullte xt/2007/06000/Symptomatic_Pelvic_Organ _Prolapse_Prevalence_and.21.aspx Saputra, L 2009, Intisari ilmu penyakit dalam, Binarupa Aksara, Tangerang. Sastroasmoro, S & Ismael, S 2002, Dasar-dasar metodologi penelitian klinis ed.2, Sagung Seto, Jakarta. Scott J, Disaia PJ, Hammond CB, Spellacy N & Gordon JD 2002, Danforth buku saku obstetri dan ginekologi, Widya Medika, Jakarta. Scott, J 1999, Danforths obstetrics & gynecology ed.8, Lippincott Williams & Wilkins, USA. Sinclair, C 2009, Buku saku kebidanan, EGC, Jakarta. Swift, S 2000, The distribution of pelvic organ support in a population of female subjects seen for routine gynecologyc health care, American Journal of Obstetric & Gynecology, vol 183, no.2, pp 277-285, diakses 27 September 2011, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/109 42459 Tegerstedt G, Miedel A, Schmidt MM, Nyren O & Hammarstrom M 2005, Obstetric risk factors for symptomatic prolapse, American Journal of Obstetric & Gynecology, vol 194, pp 75-81, diakses 16 September 2011, www.ajog.org

Wahyudi, 2007, Distribusi staging dan faktor risiko prolapsus organ pelvis di poliklinik ginekologi RSUP H.Adam Malik-RSU Pirngadi berdasar sistem POPQ, diakses 26 September 2011, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456 789/6445/1/Wahyudi1.pdf Weber, AM & Ritcher, HE 2005, Pelvic organ prolape, The American College of Obstetricians and Gynecologists, vol 106, pp 614-634, diakses 15 November 2011, http://journals.lww.com/greenjournal/Abstr ack/2005/09000/Pelvic_Organ_Prolapse.28. aspx Wiknojosastro, H 1999, Ilmu kandungan ed.3, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Wiknojosastro, H 2005, Ilmu kebidanan ed.3, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Wiyana, D 2011, Agar rahim tak keluar jauh, diakses 13 Agustus 2011, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/ 2011/05/09/KSH/mbm.20110509.KSH1366 62.id.htm

48

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN ANALISIS FAKTOR IBU, GIZI, KESEHATAN TERHADAP SEKSIO SESAREA (Di RSUD dr. Sayidiman Magetan, Januari 2012Maret 2012) Tika Kencana (Alumnus Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Magetan) Budi Joko Santosa (Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Magetan) Hery Sumasto (Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Magetan) ABSTRAK Latar belakang: Angka kejadian seksio Sesarea semakin meningkat. Faktor risiko yang mempengaruhi sangat banyak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko dari persalinan dengan tindakan seksio Sesarea di RSUD dr. Sayidiman Magetan. Metode: Penelitian observasional analitik ini dengan desain case control. Populasi seluruh ibu bersalin di RSUD dr. Sayidiman Magetan JanuariMaret 2012, sampel diambil dengan simple random sampling sebanyak 70 kasus dan 70 kontrol. Variabel outcome dan predictor penelitian masing-masing tindakan seksio Sesarea dan umur, paritas, jarak kehamilan, indeks masa tubuh (IMT), penambahan berat badan (BB), frekuensi ante natal care (ANC) serta ketuban pecah dini (KPD). Data dikumpulkan melalui studi dokumentasi. Analisis univariat dengan distribusi frekuensi, bivariat dengan odd ratio dan multivariat dengan regresi logistic metode enter untuk 0,05. Hasil: Umur ibu berisiko pada kasus 20,7% pada kontrol 10,7%, paritas ibu berisiko pada kasus 25% pada kontrol 30,7%, jarak kehamilan ibu berisiko pada kasus 37,5% pada kontrol 3,12%, penambahan BB ibu berisiko pada kasus 34,3% dan kontrol 22,1%, frekuensi ANC ibu berisiko pada kasus 6,4% pada kontrol 0,7%, KPD ibu bersalin pada kasus 16,4% pada kontrol 0,7%. Hasil analisis multivariat didapatkan persamaan model regresi logistic, Logit (Y) = 7,867 3,282(jarak kehamilan) 1,297(IMT) 1,001(penambahan BB). Simpulan: Dari tujuh variabel yang memberikan sumbangan besar terhadap persalinan dengan seksio Sesarea, secara berurutan adalah jarak kehamilan, IMT dan penambahan BB. Kata kunci: seksio sesarea, umur, paritas, jarak kehamilan, IMT, BB, frekuensi ANC, KPD Proses persalinan dipengaruhi oleh bekerjanya tiga faktor yang berperan yaitu faktor janin (passager) dan faktor jalan lahir (passege) (Mochtar,1998). Seksio sesarea merupakan proses melahirkan janin, plasenta dan selaput ketuban melalui dinding perut dengan cara membuat irisan pada dinding perut dan rahim, operasi ini tetap memiliki beberapa risiko terutama pada ibu dengan riwayat seksio Sesarea pada proses melahirkan sebelumnya (Williams, 2002). Kejadian seksio sesarea menurut Martin dan Hamilton di dalam natalitas vital statistik report juli 2001 Di Amerika Serikat, mencapai 22,9 %, di Shantau selatan China berkisar 11,05-29,9%. Menurut Gamble dan Creedy serta Leum dan Lam dalam Iis Sinsin (2008), di beberapa rumah sakit di Australia hanya 6,4%, di Hongkong di RS negeri, swasta, pendidikan masing-masing 24%, 48%, dan 22%. Jumlah seksio Sesarea didunia telah meningkat tajam 20 tahun terakhir. Indonesia terjadi peningkatan persalinan seksio sSsarea tahun 2000 sebesar 47,22%, tahun 2001 sebesar 45,19%, tahun 2002 sebesar 47,13%, tahun 2003 sebesar 46,87%, tahun 2004 sebesar 53,22%, tahun 2005 sebesar 51,59%, tahun 2006 sebesar 53,68% (Grace, 2007) Hasil studi pendahuluan pada 01 April 2012 di RSUD dr. Sayidiman Magetan, persalinan dengan tindakan seksio Sesarea menunjukkan bahwa pada tahun 2010 dari 397 sebanyak 120 (30,2%); pada tahun 2011 dari 718 persalinan sebanyak 238 (33,1%). Banyak faktor penyebab terjadinya persalinan tindakan, terbagi menjadi faktor intrinsik bayi (passanger) antara lain BB janin, letak janin dan kelainan janin, faktor maternal biologi adalah umur ibu, paritas, jarak kehamilan, tinggi badan, kelainan jalan lahir (passage), faktor maternal yang lain meliputi status gizi (indeks masa tubuh)/IMT, riwayat obstetrik buruk, komplikasi persalinan. Hal ini berperan dalam kekuatan ibu saat persalinan (power). Faktor lingkungan dapat berupa, sosial ekonomi, pelayanan kesehatan antara lain ANC (WHO, 1998). Tujuan penelitian yaitu mengetahui pengaruh faktor risiko umur, paritas, jarak kehamilan, IMT, BB, KPD, dan ANC terhadap tindakan seksio Sesarea. Secara khusus akan dilakukan deskripsi:persalinan dengan tindakan seksio sesarea, faktor risiko umur ibu, paritas ibu bersalin, jarak kehamilan, IMT, BB, ANC dan pengaruhnya terhadap seksio Sesarea. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini observasional analitik, dengan rancangan case control study. Faktor risiko: (usia >35dan <20 tahun), jarak kehamilan (<2 dan >10 tahun), paritas (Primipara dan

49

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

Grandemultipara), IMT (underweight, overwight dan obesitas), penambahan berat badan ideal dan tidak ideal, KPD atau tidak , ANC 4 kali atau tidak. Efek (seksio sesarea). Populasi penelitian seluruh ibu bersalin di RSUD dr. Sayidiman Magetan periode JanuariMaret 2012 sejumlah 244 ibu bersalin yang diambil dari catatan medik; dengan kriteria: Kasus adalah ibu yang melahirkan dengan tindakan seksio Sesarea yang didiagnosis oleh dokter penolong persalinan sesuai dengan indikasi dan diperoleh berdasarkan catatan medik RS, kontrolnya adalah ibu yang melahirkan secara normal. Besar sampel dengan 0,05 dan 0,10 (power 90%) dihitung dengan rumus:

kasus dan 49,3% dari kontrol, ibu yang kunjungan ANC berisiko adalah 10 (6,4%) dari kasus dan 0,7% dari kontrol. Distribusi KPD ibu bersalin dengan kejadian seksio Sesarea. Kondisi air ketuban yang pecah sebelum persalinan (ketuban pecah dini). Dari 140 ibu bersalin didapatkan ibu yang berisiko 35 orang 16,4% dari kasus dan 8,6% dari kontrol, ibu yang tidak berisiko 105 orang 33,6% dari kasus dan 41,4% dari kontrol. Analisis faktor (OR) terdapat pada tabel di bawah. Tabel 1. Analisis Faktor Risiko (OR) Terhadap Seksio Sesarea No Faktor risiko 1 Umur 2 Paritas 3 Jarak kehamilan 4 Indeks massa tubuh 5 Penambahan BB 6 Frekuensi ANC 7 KPD Or 2,59 0,628 17.739 3,03 2,745 10,18 2,36 95% cl 1,234 - 5,452 0,321 1,229 3,997 78,73 1,383 6,661 1,376 5,476 1,254 82,67 1,066 5,248

Hasil penghitungan besar sampel adalah n1=n2=57. Selanjutnya sampel ditentukan dengan teknik simple random sampling. HASIL PENELITIAN Distribusi faktor risiko umur ibu bersalin dengan kejadian seksio Sesarea. Dari 140 ibu bersalin didapatkan umur ibu yang berisiko 44 (20,7%) dari kasus dan 10,7% dari kontrol, umur ibu yang tidak berisiko 96 (29,3 %) dari kasus dan 39,3 % dari kontrol. Distribusi faktor risiko paritas ibu bersalin dengan kejadian seksio Sesarea. Dari 140 ibu bersalin didapatkan ibu yang berisiko 78 (25%) dari kasus dan 30.7% dari kontrol, ibu yang tidak berisiko adalah 62 (25%) dari kasus dan 19.3% kontrol. Distribusi faktor risiko jarak kehamilan ibu bersalin dengan kejadian seksio Sesarea. Dari 64 ibu bersalin yang didapatkan yang berisiko 26 (37,5%) dari kasus dan 3,10% dari kontrol, ibu tidak berisiko 38 18,8% dari kasus dan 40,6% dari kontrol. Distribusi faktor risiko IMT ibu bersalin dengan kejadian seksio Sesarea. Dari 140 ibu bersalin didapatkan ibu yang IMT berisiko 39 19,3% dari kasus dan 8,6% dari kontrol, ibu yang IMT tidak berisiko 101 (30,7%) dari kasus dan 41,4% dari kontrol. Distribusi faktor risiko penambahan BB ibu bersalin dengan kejadian seksio Sesarea. Dari 140 ibu bersalin didapatkan ibu yang penambahan berat badan berisiko 79 (34,3%) dari kasus dan 22,1% dari kontrol, ibu yang penambahan berat badannya tidak berisiko 61 (15,7%) dari kasus dan 27,9% dari kontrol. Distribusi faktor risiko kunjungan ANC ibu bersalin dengan kejadian seksio Sesarea. Dari 140 ibu bersalin didapatkan ibu yang kunjungan ANC tidak berisiko 130 (43,6%) dari

Selanjutnya hasil uji regresi logistik dijelaskan sebagai berikut: 1. Uji Kecocokan Model dengan Data 2_ Pada tabel digambarkan X hit = 55.527 nilai p=0,000, maka model atau persamaan regresi untuk menentukan probability cocok dengan data. Berikut ini adalah Model dan Block Chi-Square. Tabel 2. Model dan Block Chi-Square Step 1 Step Block Model Chi-Square 55,527 55,527 55,527 Df 7 7 7 Sig. 0,000 0,000 0,000

2. Uji Akurasi Model Uji akurasi model ini menggunakan tabel klasifikasi sebagai berikut. Tabel 3. Tabel Klasifikasi Observed Predicted Sectio Caesarea 0 1 0 58 12 1 24 46 Overall = 74,3% Percent Correct 82,9% 65,7%

Dari sejumlah 70 ibu bersalin yang mengalami tindakan seksio Sesarea, sebanyak 46 (65,7) dapat diprediksi oleh model. Dari sejumlah 70 ibu bersalin yang tidak mengalami tindakan seksio Sesarea, 58(82,9%) dapat diprediksi oleh model. Secara keseluruhan akurasi model sebesar 74,3%.

50

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

3. Persamaan Model Regresi Logistik Ketiga variabel yang signifikan dapat memprediksi kejadian seksio Sesarea adalah jarak kehamilan, IMT dan penambahan BB, sedangkan variabel umur (p=0,187), ukuran paritas (p=0,184), frekuensi ANC (p=0,052) dan KPD (p=0,062) dikeluarkan dari persamaan model regresi logistik. Hasil Wald test untuk variabel jarak kehamilan diperoleh nilai 14,188; p = 0,000, artinya memiliki konstribusi pada persamaan model regresi logistik. Nilai Odds Ratio (OR) atau Exp(B) sebesar 0,038. Hasil Wald test untuk variabel IMT diperoleh nilai 7,519 nilai p = 0,006 nilai OR 0,273. Hasil Wald test untuk variabel penambahan BB diperoleh nilai 5,345 nilai p = 0,021. Nilai OR 0,368. Selanjutnya hasil uji regresi logistik binari sebagaimana tabel di bawah. Tabel 4. Hasil Uji Regresi Logistik Binari Wald Sig. (p) OR 95%CI (Exp(B) Umur -0,641 1,741 0,187 0,527 0,2031,365 Paritas -0,650 1,762 0,184 0,522 0,2001,363 Jarak -3,28214,188 0,000 0,038 0,007Kehamilan 0,207 IMT -1,297 7,519 0,018 0,273 0,1080,691 Penambah- -1,001 5,345 0,021 0,368 0,157an BB 0,859 ANC -2,359 3,783 0,052 0,094 0,0091,018 KPD -0,942 3,475 0,062 0,390 0,1451,050 Konstanta 7,86721,266 0,000 2,609 Variabel

berdasarkan tabel di atas sebagai berikut: Logit (Y) = 7,867 3,282(jarak kehamilan) 1,297(IMT) 1,001(penambahan BB) PEMBAHASAN Umur ibu yang berisiko frekuensinya lebih banyak pada kelompok kasus daripada kontrol (20,7% dan 10,7%). Sesuai penelitian Netty (2011), dari 92 responden sebanyak 56 (60,9%) umur tidak berisiko yang mengalami seksio sesarea, dan sebanyak 36 (39,1%) umur berisiko yang mengalami seksio Sesarea. Paritas ibu yang berisiko bukan merupakan penyebab persalinan seksio Sesarea, didapatkan bahwa ibu paritas berisiko banyak ditemukan pada kontrol 30% dan kasus 24,3%. Berbeda menurut Manuaba (1999) paritas dua sampai empat, sudah masuk kategori rawan terutama pada kasus-kasus obstetrik yang jelek, serta interval kehamilan yang terlalu dekat kurang dari 2 tahun. Jarak kehamilan ibu yang berisiko merupakan faktor risiko persalinan dengan seksio Sesarea, pada kasus terdapat 37,5% pada kontrol 3,1%. Jarak antara kehamilan yang terlalu dekat yakni kurang dari dua tahun dapat meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi (Eisenberg dkk, 1997). Kontraksi otot-otot uterus dan panggul yang lemah menyebabkan kekuatan his (power) pada proses persalinan tidak adekuat, sehingga banyak terjadi partus lama atau tidak maju (Stephenson, 2000). IMT ibu yang berisiko merupakan faktor penyebab persalinan seksio Sesarea, dari kasus IMT ibu berisiko 19,3% pada kontrol 8,6%. Penambahan BB berisiko pada kasus 34,3% pada kontrol 22,1%. Secara ekstrem bahwa wanita kegemukan memiliki risiko 2x lipat untuk mengalami persalinan dengan tindakan (Meiliya dan Wayuningsih, 2010). Frekuensi ANC berisiko pada kasus 6,4% dan kontrol 0,7%, ibu yang frekuensi ANC <4 kali berisiko persalinan dengan tindakan seksio Sesarea. Menurut Supriyati (2001), perilaku ibu hamil dalam perawatan antenatal yang meliputi pengetahuan, sikap dan praktek berhubungan secara bermakna dengan kejadian distosia. KPD merupakan faktor risiko persalinan dengan seksio Sesarea, pada kelompok kasus 16,4%, kontrol 8,6% ini sesuai dengan penelitian Destarina (2010), ibu bersalin dengan tindakan yang mengalami KPD sebesar 52,8% dan yang tidak 47,2%. Ketuban pecah dini dapat disebabkan adanya volume air ketuban yang terlalu banyak, gejala otot-otot mulut rahim yang melemah (sehingga mulut rahim terbuka sebelum waktunya). Hal ini berpotensi menimbulkan penularan bakteri dari vagina dan infeksi rahim, sehingga sangat berbahaya untuk keselamatan bayi dan proses persalinan ibu.

Model Akhir Faktor Risiko Ibu Hamil dengan Kejadian SC Tabel 5. Tabel Klasifikasi Variabel Wald Sig. (p) OR 95%CI (Exp(B) 0,000 0,038 0,0070,207 0,018 0,273 0,1080,691 0,021 0,368 0,1570,859 0,000 2,609

Jarak -3,282 14,188 Kehamilan IMT -1,297 7,519 Penambah--1,001 5,345 an BB Konstanta 7,867 21,266

Persamaan model regresi logistik atau Logit (Y) sebagai prediktor persalinan dengan tindakan seksio Sesarea pada ibu bersalin

51

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

Berdasarkan hasil analisis multivariat didapatkan bahwa untuk memprediksi seksio sesarea pada ibu bersalin dapat diprediksi dari variabel jarak kehamilan, IMT dan penambahan BB. Semua ibu bersalin diprediksi mengalami persalinan seksio sesarea sebesar 7,867x, namun jika jarak kehamilan ibu bersalin normal maka kejadian seksio sesarea berkurang 3,282 kali, jika IMT ibu normal dapat berkurang 1,297 kejadian seksio sesarea dan jika penambahan BB ibu normal dapat berkurang 1,001 kejadian seksio sesarea. Jarak kehamilan. Jarak kehamilan yang optimal menurut kurun waktu reproduksi sehat adalah antara 2-10 tahun. Pada analisis univariat menunjukkan jarak kehamilan >10 tahun merupakan faktor risiko terjadinya seksio Sesarea, pada analisis bivariat kelompok kasus berisiko 17.739 kali lebih besar dari kelompok kontrol. Hasil analisis multivariat Wald test jarak kehamilan nilai 14,188 ; p= 0,000, persamaan model regresi dinyatakan bahwa secara konstanta ibu hamil memiliki risiko akan dilakukan seksio Sesarea, risiko akan berkurang 3,282 kali bila, jarak kehamilannya dikatakan tidak berisiko. Hasil ini sesuai dengan penelitian Kusumawati (2006) yang menyimpulkan jarak kelahiran berisiko (>10 tahun) mempunyai risiko 11,01 kali untuk terjadi persalinan dengan tindakan (OR anjusted: 5,45; 95% CI : 1,2723,32) Indeks Masa Tubuh. Menurut WHO (1992), status gizi yang buruk bagi ibu dan merupakan faktor risiko yang sangat mempengaruhi kehamilan, persalinan dan hasil kehamilan. Pada analisis univariat IMT Overweight merupakan faktor risiko seksio Sesarea, pada analisis bivariat kelompok kasus 3,03x lebih berisiko daripada kelompok kontrol. Hasil analisis multivariat Wald test variabel jarak kehamilan diperoleh nilai 7,519; p=0,018 persamaan model regresi secara konstanta ibu hamil berisiko seksio Sesarea dan risiko berkurang 1,297x jika IMT ibu hamil normal. Pada wanita dengan berat badan kurang (kurus) mempunyai risiko penyakit infeksi dan anemia, serta apabila sedang hamil berisiko tinggi melahirkan BBLR (WHO, 1992). Penambahan BB. Pada analisis univariat penambahan BB Overweight merupakan faktor risiko seksio Sesarea, pada analisis bivariat kelompok kasus berisiko 3,03x. Analisis Wald test jarak kehamilan nilai 7,519; p=0,018, model regresi secara konstanta ibu hamil berisiko seksio Sesarea namun jika penambahan BB sesuai akan berkurang 1,001xi. Hasil penelitian Shepard, Summer menyimpulkan risiko persalinan seksio Sesarea meningkat jika panambahan BB tidak sesuai. Umur. Hasil analisis bivariat ibu yang umurnya berisiko memiliki risiko 2,59x lebih besar daripada kelompok kontrol. Menurut Supriyadi, dkk (2000), umur ibu hamil

merupakan faktor risiko penyulit persalinan yang memerlukan tindakan. Ibu hamil yang berumur <20 tahun dan >35 tahun berisiko 4x terjadi penyulit persalinan dibandingkan kelompok kontrol, namun pada analisis multivariat didapatkan nilai p >0,05 yaitu p=0,187. Dari penelitian yang dilakukan di RSUD Palembang, diperoleh data ibu yang berumur >20 dan 35 tahun lebih banyak dilakukan seksio sesarea dibandingkan dengan ibu yang berumur 20 tahun dan >35 tahun p=0,010. Ibu yang melahirkan berusia lebih dari 35 tahun memiliki risiko seksio Sesarea karena memiliki penyakit berisiko seperti hipertensi, jantung, DM, dan preeklamsia (Justunsi, 2009). Kasus perdarahan sebagai sebab utama kematian maternal yang dapat terjadi pada kehamilan, pesalinan, dan masa nifas (Wiknjosastro, 1999). Paritas. Hasil analisis bivariat maupun multivariat menunjukkan tidak ada pengaruh paritas terhadap persalinan seksio Sesarea. Berbeda dengan hasil penelitian Supriyadi dkk. (2000), bahwa paritas juga berhubungan secara bermakna dengan kejadian penyulit persalinan ibu hamil dengan paritas 1 atau lebih dari 5 memiliki risiko penyulit persalinan 3,86x lebih besar dibandingkan paritas 2 sampai 5. Frekuensi ANC. Hasil analisis bivariat ibu yang frekuensi ANC <4 kali berisiko 10,18x lebih besar pada kelompok kasus daripada kontrol. Menurut Supriyadi, dkk. (2000), ibu hamil yang ANC jelek berisiko 6,2x lebih besar mengalami penyulit persalinan. Namun pada analisis multivariat menunjukkan tidak ada pengaruh frekuensi ANC dengan persalinan seksio Sesarea. Ketuban Pecah Dini (KPD). Berdasarkan analisis bivariat, ibu yang mengalami KPD berisiko 2,36x lebih besar pada kasus daripada kontrol untuk seksio Sesarea. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Kusumawati (2006) yang menyatakan ibu yang mengalami KPD berisiko 1,61x lebih besar seksio Sesarea pada kasus daripada kontrol. Dalam proses persalinan, ketuban biasanya pecah apabila pembukaan sudah lengkap atau terkadang harus dipecahkan pada saat proses persalinan. Hasil analisis multivariat ini sesuai dengan penelitian Kusumawati (2006), insidens persalinan dengan tindakan tidak meningkat secara signifikans pada kasus ketuban pecah dini. SIMPULAN Dari tujuh variabel didapatkan tiga faktor risiko yang memberikan sumbangan besar dan mempengaruhi seksio sesarea yaitu faktor jarak kehamilan, IMT dan penambahan BB, sedangkan faktor risiko yang tidak berpengaruh terhadap seksio Sesarea adalah faktor umur, paritas, ANC dan KPD.

52

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

DAFTAR PUSTAKA Depkes RI. 1995. Pedoman Pelayanan Antenatal di Tingkat Pelayanan Dasar. Jakarta. ---------------. 1996. Program Kesehatan Rujukan dan Rumah Sakit Pelita IV. Jakarta ---------------. 2000. Standart Pelayanan Kebidanan. Jakarta. Destarina, A. 2010. Hubungan Ketuban Pecah Dini dengan Kejadian Partus Macet di RSUD Prabumulih. Palembang: Jurnal Sains Kesehatan. Djaja S, Mulyono LH, Afifah T.2001. Penyakit Penyebab Kematian Maternal di Indonesia. Buletin Kesehatan. Djallalludin, Hakimi, Suharyanto.2004. Faktor Risiko Ibu untuk Terjadinya Partus Lama di RSUD Ulil Banjarmasin dan RSU Ratu Zalecha Martapura. Jurnal Sains Kesehatan, no. 17(1). Kusumawati, Yuli.2006. Faktor Faktor Risiko yang berpengaruh dengan Persalinan Tindakan. Semarang: Jurnal Sains Kesehatan. Lemeshow S, Hosmer DW. et al.1997. Besar sampel dalam penelitian kesehatan. Jakarta: Manuaba, IBG. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC. Mochtar R.1998. Sinopsis Obstetri. Jilid I Edisi 2. Jakarta: ECG. Netty. 2011. Hubungan Tingkat Pendidikan, Paritas, Tinggi Badan Ibu dan Berat Badan Bayi Terhadap Kejadian SC di RSUD Lahat. Palembang: Jurnal Sains Kesehatan. Prawirohardjo, S. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Rochjati, P. 2003. Skrining Natenatal pada Ibu Hamil (Pengenalan faktor risiko deteksi dini ibu hanmil risiko tinggi), Pusat Safe Motherhood Lab/SMF Obgin RSU dr. Soetomo/ FK Unair, Surabaya. Saifuddin, Abdul Bari. 2001. Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: YBPSP. -----------------, 2008. Pelayanan KesehatanMaternal dan Neonatal. Edisi ke.1, cetakan ke.3, Jakarta: JNPKKR. Supariyasa, IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Supriyadi, Doeljachman, Susilowati, 2000. Faktor Sosio Demografi dan Prilaku Ibu Hamil dalam Perawatan Antenatal sebagai Risiko Kejadian Distosia di RSUP dr.Sardjito Yogyakarta, Berisiko Kesehatan Masyarakat, Vol. xv iii, no. 2p: 65-70. Taber, B.2002. Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginokologi (Alih bahasa Supriyadi T. dan Gunawan J. Jakarta: EGC. Wiknjosastro, Hanifa. 2002. Ilmu Kebidanan. ed.3.Jakarta: YBPSP William,dkk.2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan. Yogyakarta: ANDI OFFSET. World Health Organization Pendidikan Kesehatan Bandung: (ITB) Press. (WHO).1992. (terjemahan).

53

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

PENDAHULUAN Dewasa ini, wacana tentang dampak dari radiasi masih menjadi isu kontroversial. Sebagai contoh ekstrim adalah dampak dari radiasi akibat telepon seluler, yang telah melahirkan gugatan Dr. Christopher Newman seorang neurologist dari Baltimore terhadap perusahaan produsen telepon seluler agar bertanggungjawab atas tumor otak yang telah dia derita (Pathak, et al., 2008). Hal yang ironis adalah bahwa hasil-hasil penelitian tersebut tidak konsisten (Anies, 2006). Di bawah koordinasi WHO, negara-negara maju telah melakukan riset mengenai dampak radiasi terhadap kesehatan. Pusat-pusat penelitian dan perguruan tinggi juga melakukan hal yang sama, namun hasilnya masih kontroversial (Anies, 2009). Karena wacana kontroversial ini terus berlanjut, maka isu dampak radiasi terhadap kesehatan tetap menjadi wacana sangat penting untuk dibahas secara ilmiah. Maka, menarik untuk disusun makalah dengan tujuan: 1) menganalisis isu-isu kontroversial mengenai pengaruh radiasi terhadap kesehatan, sehingga bisa menjadi salah satu bahan kajian untuk diskusi ilmiah atau penelitian lebih lanjut, 2) mengajukan solusi terkait dengan dampak yang terjadi sebagai akibat dari pajanan radiasi. METODE KAJIAN Metode yang diterapkan pada penulisan karya ilmiah ini adalah kajian literatur murni, bersumber dari referensi ilmiah dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Selanjutnya bahan kajian ini dibahas sesuai dengan tujuan penelitian. HASIL KAJIAN Pengertian radiasi Radiasi merupakan energi yang dihantarkan, dipancarkan, dan diserap dalam bentuk partikel atau gelombang (Harrington & Gill, 1992). Radiasi dapat berasal dari sumber alamiah maupun buatan. Sumber alamiah contohnya adalah radiasi sinar dari kosmis, radiasi dari unsur-unsur pada lapisan kerak bumi, radiasi pada atmosfer akibat terjadinya pergeseran lintasan perputaran bola bumi dan sebagainya. Sedangkan sumber dari radiasi buatan contohnya adalah radiasi yang ditimbulkan oleh sinar-X, sinar alfa, sinar beta, dan sinar gamma (Boel, 2009). Jenis-jenis radiasi Dikenal dua jenis radiasi yaitu radiasi ionik (radiasi pengion) dan radiasi non ionik (radiasi non pengion). Radiasi ionik dapat menimbulkan ionisasi dan sebaliknya radiasi non ionik tidak

KONTROVERSI DAN SOLUSI SEPUTAR PENGARUH RADIASI IONIK DAN NON IONIK TERHADAP KESEHATAN Heru Santoso Wahito Nugroho (Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Prodi Kebidanan Magetan)

ABSTRACT Background: The purpose of writing this paper is to analyze controversial issues about the effects of radiation on health, and propose solutions related to the effects of radiation exposure. Method: The method used is pure litetatur study, with a discussion of the narrative. Conclusions: as the core of the issue are: 1) the controversy about the effects of radiation on health, more centered on non ionizing radiation, 2) The solution to the effects of ionizing radiation is more aimed at the management of contact time, distance, and use of protective equipment. Solution to the impact of non-ionizing radiation is more aimed at health education for the community. Based on the conclusion, suggestions are proposed: 1) the researchers expected an organized research on the impact of radiation on health, with a consistent method, so that the resulting conclusions with minimal controversy, 2) the government is expected to organize prevention efforts simultaneously and thoroughly, especially health education about radiation. Keywords: ionizing radiation, radiation, health non-ionizing

54

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

dapat menimbulkan ionisasi. Tergolong sebagai radiasi ionik antara lain sinar alfa, sinar beta, sinar gamma, sinar X, netron, serta proton, sedangkan yang termasuk di dalam kelompok radiasi non ionik antara lain sinar ultraviolet, sinar infra merah, gelombang ultrasonik, microwafe, sinar tampak, dan sinar laser (Gabriel, 1996, Jeyaratnam & Koh, 1996, Corwin, 2008). Pemanfaatan energi radiasi Dengan kemajuan dalam bidang fisika inti, khususnya radioisotop, telah dapat dipetik banyak manfaat, antara lain dalam bidang kedokteran atau kesehatan pertanian, teknologi pangan, peternakan, industri, penelitian dasar dan terapan, serta arkeologi (Ruwanto, 2007). Dalam bidang kedokteran, radiasi dimanfaatkan untuk sterilisasi, untuk diagnosis, serta untuk terapi penyakit tertentu (Ruwanto, 2007). Dalam bidang pertanian, energi radiasi dapat digunakan dalam pembuatan bibit unggul tanaman, penentuan waktu pemupukan yang tepat, serta pengendalian hama. (Rahayu, 2009). Dalam bidang teknologi pangan, radiasi sinar gamma dari isotop Co-60 digunakan untuk pengawetan bahan makanan. (Ruwanto, 2007). Dalam bidang peternakan, radioisotop dimanfaatkan untuk pembuatan vaksin koksidiosis ayam yang dihasilkan oleh radiasi ookista. Sistem vaksinasi ternakcukup efektif untuk mencegah penyakit tertentu dan mengurangi tingkat kematian ternak (Ruwanto, 2007). Dalam bidang industri, radiasi telah dimanfaatkan dalam industri polimerasi radiasi, yakni industri pengolahan bahan mentah menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi. (Kamajaya, 2007). Dalam bidang penelitian, radiasi telah dimanfaatkan untuk teknik spektroskopi atom dan NMR (nuclear magnetic resonance). Isotopisotop yang digunakan diproduksi dalam reaktor nuklir (Ruwanto, 2007). Dalam bidang arkeologi, radioisotop dimanfaatkan untuk menentukan umur fosil seperti tulang, batuan, pohon, serta mineral (Kamajaya, 2007). Efek radiasi Bahasan yang terkait dengan efek radiasi meliputi: kerusakan akibat radiasi ionik dan ionik, efek radiasi pada sel, serta efek samping sebagai akibat dari paparan radiasi. 1. Kerusakan akibat radiasi ionik dan non ionik Efek negatif terhadap jaringan hidup yang terjadi akibat paparan radiasi berkaitan

dengan jenis radiasi. Pada umumnya radiasi ionik memberikan dampak lebih berat dibandingkan dengan radiasi non ionik. Ionisasi dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel tubuh kita, bahkan dapat pula menyebabkan kematian sel secara langsung. Hal ini terjadi karena ionisasi dapat merusak membran sel dan menyebabkan pembengkakan intraseluler, sehingga sel mengalami lisis. Ketika sel cedera atau mati, terjadilah stimulasi respon peradangan yang menyebabkan kebocoran kapiler, edema interstitial, akumulasi sel darah putih, dan jaringan parut. Radiasi ionik secara tidak langsung juga merusak ikatan antara pasangan-pasangan basa Nitrogen pada molekul DNA, yang mengakibatkan kesalahan replikasi atau transkripsi DNA (Corwin, 2008). 2. Efek radiasi pada sel Produksi ion dapat menimbulkan reaksi kimia yang tidak terprediksi, misalnya iradiasi + air dapat menghasilkan H dan OH ; beberapa ion merupakan agen pengoksidasi dan pereduksi yang sangat kuat yang dapat menyebabkan interaksi kimia lebih lanjut; beberapa ion akan berinteraksi satu sama lain, dengan oksigen, dengan molekul organik dan sebagainya. Racun sel atau produk yang tidak normal dapat dihasilkan dari reaksi kimia tersebut. Efek dari reaksi dan produk abnormal tersebut dapat meliputi: perubahan senyawa organik yang mengakibatkan perubahan pada struktur dan perilaku sel, sel menjadi steril akibat penuaan dini sehingga tidak berupaya membelah, dan terjadinya kematian sel secara langsung maupun akibat kedua proses sebelumnya (Cree & Rischmiller, 2001). 3. Efek samping radiasi Cree & Rischmiller (2001) menjelaskan bahwa efek samping dari radiasi dapat bersifat akut, subakut, maupun lambat. Efek akut terjadi selama tindakan diberikan dan 6 bulan sesudahnya, efek subakut terjadi 6 bulan setelah tindakan dihentikan, sedangkan efek lambat akan tampak dengan jelas dalam 1 tahun atau lebih setelah tindakan dihentikan. Efek samping akut berhubungan dengan pembelahan sel yang terjadi sangat cepat, misalnya sel-sel usus, sumsum tulang, serta esofagus. Efek subakut dan lambat berhubungan dengan jaringan ginjal, tulang, hati, dan saraf. Efekefek samping di atas dikelompokkan

55

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

menjadi efek genetik, perubahan kesehatan secara umum, dan reaksi kulit. Faktor yang memengaruhi derajat kerusakan akibat radiasi Secara umum ada beberapa faktor yang memengaruhi derajat kerusakan jaringan akibat radiasi yaitu: besarnya radiasi yang diserap oleh tubuh, jenis radiasi, sifat kimia radiasi, konsentrasi oksigen, serta radiosensitivitas (Cree & Rischmiller, 2001). 1. Besarnya radiasi yang diserap oleh tubuh Dosis kecil sekalipun dari radiasi pengion dapat menimbulkan dampak yang serius jika tubuh dipajankan berulang-ulang, misalnya banyak orang yang bekerja pada proyek yang melibatkan riset radioaktivitas akhirnya menderita kanker, terkadang setelah 40 tahun dari pajanan awal terhadap radiasi tersebut. Marie Curie sang peneliti inti atom dan anak perempuannya meninggal akibat leukemia karena pajanan terhadap radiasi. Demikian pula insidensi leukemia di antara mereka yang berhasil selamat dari pengeboman Hiroshima dan Nagasaki ternyata sangat tinggi (Cree & Rischmiller, 2001). 2. Jenis radiasi Partikel sinar alfa memiliki ukuran paling besar sehingga terhalang oleh kulit, sinar beta dapat menembus kulit setebal satu sentimeter, tetapi sinar gamma dapat berpenetrasi seperti halnya cara penetrasi sinar-X (Cree & Rischmiller, 2001). Bencana radiasi terbesar yaitu peristiwa bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, masingmasing ternyata memiliki dampak radiasi yang berbeda, karena perbedaan jenis radiasi yang mendominasi. Di Hiroshima, yang mendominasi adalah efek radiasi neutron, sedangkan di Nagasaki didominasi oleh efek sinar gamma. Karena perbedaan inilah maka dampak radiasi di kedua kota yang terkena bom atom hampir bersamaan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda (Peterson & Seymour, 1998). 3. Sifat kimia radiasi Sifat kimia dari isotop yang terlibat sangat penting. Sebagai contoh adalah perbandingan antara Kripton-85 dan Strontium-90. Kripton-85 dihasilkan selama reaksi nuklir dan dilepaskan ke atmosfer selama pengolahan ulang bahan bakar nuklir. Namun unsur tersebut sangat tidak reaktif dan secara kimiawi tergolong sebagai

unsur mulia. Begitu berada di atmosfer, unsur tersebut dapat memengaruhi kulit dan paru, tetapi, karena secara kimiawi tidak reaktif, unsur tersebut tidak dapat melewati bagian lain dalam tubuh, maupun terakumulasi di dalam tubuh. Sebaliknya, meskipun Strontium-90 juga terbentuk dalam reaksi nuklir, tetapi memiliki kemiripan sifat dengan kalsium, maka Strontium-90 cenderung memasuki tulang, lalu terakumulasi, dan tempat radiasinya akan menyebabkan kanker tulang dan leukemia. Contoh lainnya adalah isotop iodiun yang memasuki kelenjar tiroid (Cree & Rischmiller, 2001). 4. Konsentrasi oksigen Oksigen dalam konsentrasi yang sangat besar pada saat iradiasi (penyinaran) dapat memperbesar kerusakan yang terjadi (Cree & Rischmiller, 2001). 5. Radiosensitivitas Sel dengan sensitivitas tinggi terhadap radiasi mencakup sistem pembaharuan diri seperti kelenjar pada usus, yang dapat membelah dengan cepat dan teratur, dan sel non terspesialisasi di dalam ovarium, testis, sumsum tulang, limfe dan sebagainya dapat memberikan respon yang cepat pada terapi dosis rendah. Sel-sel hati, ginjal, tulang matur dan lain-lain memiliki tingkat sensitivitas menengah yang memerlukan waktu lebih lama untuk berespon dan membutuhkan dosis radiasi yang lebih tinggi. Sel-sel dengan tingkat sensitivitas rendah di antaranya sel otak, sel otot, dan medula spinalis hanya merespon radiasi dengan dosis sangat tinggi (Cree & Rischmiller, 2001). PEMBAHASAN Kontroversi seputar dampak radiasi terhadap kesehatan Radiasi bermanfaat besar bagi peradaban manusia, namun juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan. Dampak yang timbul akibat radiasi besar seperti bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, juga tragedi Chernobyl, tentu lebih mudah diyakini bahwa sumber radiasi tersebut betul-betul berdampak bagi kesehatan masyarakat. Demikian pula radiasi yang diterima oleh para pasien yang menjalani terapi radiasi berulang-ulang, tentu juga akan mudah diyakini bahwa radiasi memang jelas berdampak negatif bagi kesehatan. Secara empiris masyarakat dapat

56

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

melihat sendiri bahwa ternyata para pasien yang menjalani radioterapi banyak yang mengalami kemerahan pada kulit, kerontokan rambut dan sebagainya. Riset untuk membuktikan dampak radiasi pada kasus-kasus di atas tentunya akan lebih mudah dilakukan. Sebagai contoh, tentunya riset akan lebih mudah membuktikan bahwa berbagai efek samping tersebut (eritema, rambut rontok, deskuamasi dll.) betul-betul merupakan akibat dari pajanan terhadap radiasi. Tentunya ini tidak lepas dari jenis radiasi yang berperan dalam kasus-kasus yang berat yakni kelompok radiasi ionik atau radiasi pengion, sebagaimana telah dibahas di atas bahwa radiasi ionik menimbulkan dampak yang lebih berat dibandingkan dengan radiasi non ionik. Karena efek negatif yang timbul lebih berat, maka tanda dan gejala akan lebih mudah diamati, sehingga penelitianpun akan lebih mudah dilakukan. Dengan demikian, validitas dari hasil penelitian tersebut lebih mudah pula untuk diwujudkan. Namun, selain radiasi ionik dengan efek yang lebih berat, ada pula radiasi non ionik dengan efek yang lebih ringan, bahkan mungkin sering tidak dirasakan atau diabaikan oleh masyarakat. Jika kita cermati kajian teori di atas, tampak bahwa kasus-kasus radiasi yang masih menjadi kontroversi lebih mengarah kepada sumber radiasi non ionik. Sebagai contoh, SUTET yang diprotes oleh masyarakat karena diduga menjadi sumber radiasi berupa gelombang elektromagnetik yang ditimbulkannya. Protes SUTET bukanlah peristiwa yang baru-baru ini saja berlangsung. Sejak tahun 1991 telah ada masyarakat yang mengajukan protes. Pada tahun 1995 warga Singosari, Gresik telah menggugat Menteri Pertambangan dan Energi, Gubernur Jawa Timur, juga Direktur PLN. Selanjutnya penduduk di bawah SUTET di Kabupaten Sumedang juga menuntut PLN ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara (Anies, 2006). Jelaslah bahwa kondisi ini harus ditanggapi secara serius. Klaim tentang dampak dari SUTET-pun cukup menarik perhatian. Ada 22 anak yang yang diklaim menderita catat akibat radiasi karena tinggal 5-10 meter dari menara, dengan masa tinggal selama kurang lebih 20 tahun. Ada pula yang mengeluh gatal-gatal, juga timbulnya benjolan di sekujur tubuh. Di lain situasi, banyak pula yang mengeluh pusing, berdebar, sukar tidur serta keluhan-keluhan lainnya (Anies, 2006). Benarkah bahwa yang dikeluhkan oleh masyarakat tadi benar-benar merupakan akibat SUTET? Bukankah bisa saja itu terjadi akibat faktor lain, misalnya kondisi di tempat kerja? Contoh lainnya adalah penggunaan telepon seluler. Tampaknya dalam dekade terakhir ini telah terjadi peningkatan yang

sangat pesat. Sebagai contoh, ketika penulis telah menyelesaikan pendidikan pada tahun 2002, pada saat itu hanya beberapa mahasiswa yang telah menggunakan telepon seluller, padahal ini merupakan komunitas perguruan tinggi. Mari kita bandingkan dengan kondisi saat ini. Bukan hanya masyarakat modern, tetapi hampir seluruh lapisan masyarakat telah menggunakan teknologi telepon seluler yang canggih. Masyarakat sederhana di pedesaanpun mungkin hampir seluruhnya (perlu dibuktikan dengan penelitian) telah memanfaatkan teknologi ini dalam kehidupan sehari-hari. Yang menarik di tanah air kita adalah bahwa jarang terdengar (atau mungkin hampir tidak pernah?) adanya protes masyarakat tentang dampak yang timbul akibat pemakaian teknologi telepon seluler. Padahal di dunia barat, telah ada klaim yang cukup menarik perhatian bahwa radiasi dari telepon seluler telah berdampak pada timbulnya kanker otak pada seorang neurologist (Pathak, et al., 2008). Apakah radiasi dari telepon seluler ini juga memberikan dampak yang signifikan terhadap kesehatan masyarakat? Ini pun masih merupakan wacana yang kontroversial, sama halnya dengan dampak yang ditimbulkan oleh radiasi SUTET. Kedua contoh di atas hanya sebagian kecil dari masalah-masalah radiasi yang kontroversial. Tentunya masih banyak masalah-masalah lain yang identik, dengan kedua contoh di atas, misalnya saja kasus Bhopal di India, juga masalah-masalah lain di belahan dunia ini. Kontroversi tentang dampak dari sumbersumber radiasi non ionik ini tentu saja menjadi hal yang ironis. Sebagai contoh, hasil penelitian tentang SUTET ada yang menunjukkan bahwa SUTET membahayakan kesehatan, namun ada pula yang menyatakan bahwa SUTET relatif aman. Menurut salah satu referensi, kontroversi ini terjadi akibat pemilihan metode penelitian yang tidak konsisten, selain itu juga akibat persoalan publikasi hasil penelitian. Hasil penelitian tentang SUTET misalnya, terkesan mengandung tarik-menarik kepentingan. Kadang-kadang informasi hanya disampaikan secara sepotong-sepotong demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Sungguh ironis jika kajian ilmiah hanya sekedar digunakan untuk alat legitimasi bagi suatu kepentingan jangka pendek (Anies, 2006). Padahal kita mengetahui bahwa keselamatan umat manusia harus kita perhatikan hingga masa jauh ke depan, karena calon-calon pengganti kita akan muncul pada masa-masa mendatang tersebut. Generasi penerus kita dapat terancam dengan adanya kajian ilmiah yang digunakan tidak pada tempatnya. Sejak tahun 1972 gangguan kesehatan akibat radiasi medan elektromagnetik telah diketahui yaitu ketika para peneliti Uni Soviet melaporkan bahwa mereka

57

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

yang bekerja di bawah transmisi listrik tegangan tinggi telah menderita sakit dengan gejala terkait sistem saraf seperti sakit kepala, kelelahan, perubahan pola tidur. Riset terkait hal di atas tidak berhasil menarik kesimpulan bahwa telah terjadi dampak berupa gangguan kesehatan seperti itu. Justru hasil yang konsisten sebagai dampak dari medan elektromagnetik adalah kanker, leukemia, tumor otak, serta melanoma. Hasil-hasil penelitian eksperimen tentang dampak medan elektromagnetik juga sangat bervariasi dan kontroversial (Anies, 2005). Dalam menghadapi isu kontoversial seperti ini, penulis berpendapat bahwa sebaiknya peluang untuk menjamin keselamatan masyarakat lebih diutamakan. Kendati efek negatif dari radiasi non ionik masih simpang siur, tetapi setidak-tidaknya ada pernyataanpernyataan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berkompeten dalam bidang ini dapat digunakan sebagai acuan untuk mengambil keputusan yang berpihak pada keselamatan masyarakat. Sebagai contoh, INIRC (International Non Ionizing Radiation Commitee) dari IRPA (International Radiation Protection Association), menyatakan bahwa nilai medan listrik dan medan magnet yang merupakan ciri kondisi pajanan tidak terganggu adalah medan yang apabila semua benda dihilangkan, karena medan listrik pada umumnya akan terganggu jika dekat dengan permukaan suatu benda. Efek biologis dikaitkan dengan pajanan medan pada permukaan tubuh (Anies, 2005). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa radiasi elektromagnetik perlu diwaspadai, sehingga hal ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menerapkan implementasi-implementasi yang diarahkan untuk menjamin keselamatan masyarakat. Sementara itu, mutlak diperlukan riset dengan metode yang lebih konsisten serta diorganisir dengan baik oleh pemerintah, sehingga akan menghasilkan kesimpulan dengan validitas yang tinggi, sehingga benarbenar dapat menjadi dasar pengambilan keputusan secara tepat. Solusi untuk mereduksi dampak radiasi terhadap kesehatan masyarakat Di bagian terdahulu telah diuraikan tentang dampak energi radiasi terhadap kesehatan, baik dari sumber radiasi ionik maupun non ionik. Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa sumber radiasi ionik mampu menghasilkan reaksi ionisasi terhadap struktur kimia, termasuk struktur biomolekul di dalam tubuh kita. Akibatnya adalah terjadinya perubahan biomolekul dalam sistem biologis kita, pada berbagai lokasi misalnya kulit, membran sel, juga komponen yang terdapat di dalam nukleus sel yakni kromosom yang di dalamnya terdapat DNA sebagai materi genetik.

Karena hebatnya pengaruh radiasi ionik ini pada sistem biologis, maka tanda dan gejala akibat radiasi jenis ini lebih mudah dikenali, misalnya eritema, kerontokan rambut, trombositopenia, anemia dan sebagainya. Sehingga dapat kita katakan bahwa dampak dari radiasi ionik lebih jelas atau lebih nyata. Sumber-sumber penyebabnya juga lebih mudah dipastikan, karena bukan merupakan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, melainkan pajanan-pajanan yang didapatkan secara khusus misalnya pasien yang mendapatkan radioterapi berupa radioisotop, petugas reaktor yang terpajan oleh radiasi dari kebocoran reaktor nuklir, dan sebagainya. Dengan penyebab yang jelas, juga dampak yang jelas, maka solusi untuk menghadapinya juga cenderung jelas. Pencegahan merupakan solusi yang utama untuk menciptakan kondisi yang lebih aman, yaitu dengan memperhatikan waktu, jarak, dan pelindung. Untuk menciptakan situasi seaman mungkin, waktu berada di lapangan radiasi harus sesingkat-singkatnya, sehingga pajanan menjadi lebih rendah. Perencanaan yang cermat akan dapat menciptakan waktu pajanan sesingkat mungkin (Cree & Rischmiller, 2001). Hal ini dapat diterapkan dalam berbagai macam situasi, baik di rumah sakit, PLTN, reaktor nuklir di pusat-pusat penelitian dan sebagainya. Jarak juga menentukan tingkat keamanan. Semakin jauh jarak dengan sumber radiasi, maka kondisinya semakin aman. Cree & Rischmiller (2001) menjelaskan bahwa jarak pajanan menganut hukum kuadrat terbalik. Hubungan ini menunjukkan bahwa intensitas radiasi yang diterima dari sumber akan menurun sesuai dengan kuadrat jarak. Jika intensitas radiasi yang diterima dalam jarak 1 meter dari sumber adalah R, maka: intensitas radiasi yang diterima dari jarak 2 m adalah R/22 = R/4, intensitas radiasi yang diterima dari jarak 3 m adalah R/32 = R/9, intensitas radiasi yang diterima dari jarak 4 m adalah R/42 = R/16, dan seterusnya. Dengan demikian, tingkatan radiasi akan berkurang dengan sangat cepat jika jaraknya ditingkatkan. Pelindung merupakan alat yang tidak boleh diabaikan untuk menjamin keamanan. Penurunan pemajanan radiasi dapat dicapai dengan menempatkan material pengurang radiasi di antara sumber radiasi dengan individu yang terlibat. Dalam hal ini, material timbal banyak digunakan sebagai pemancar gamma karena densitasnya yang tinggi dan efektifitas hasilnya terhadap radiasi gamma. Namun perlu diingat bahwa pelindung hanya bersifat mengurangi radiasi gamma yang menembusnya, sehingga ketebalan pelindung harus menjadi pertimbangan penting (Cree & Rischmiller, 2001). Sementara itu, khusus untuk radiasi non ionik juga telah dibahas pada bagian awal

58

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

bahwa efek yang ditimbulkan mungkin jauh lebih ringan dibandingkan dengan efek radiasi ionik. Akibatnya adalah bahwa efek dari radiasi ini menjadi sulit untuk dikenali, apalagi untuk pemakaian yang relatif singkat. Oleh karena itu sangat mungkin jika dampak radiasi tidak dihiraukan atau bahkan bisa saja masyarakat tidak menyadari bahwa mereka terpajan oleh radiasi yang merugikan. Kondisi ini menyebabkan tidak jelasnya kondisi keamanan dari masyarakat yang mendapatkan pajanan radiasi non ionik. Sehingga timbullah kontroversi mengenai aman atau tidaknya pemajanan terhadap berbagai macam sumber radiasi non ionik, seperti telepon seluler, medan listrik SUTET, microwave oven, sinar laser, gelombang radio dan sebagainya. Solusi yang ditawarkan-pun belum tentu akan dengan mudahnya diterima oleh masyarakat. Namun penulis berpendapat bahwa harus tetap diberikan solusi pencegahan secara tegas, khususnya berupa pendidikan kesehatan tentang radiasi non ionik dan dampaknya terhadap kesehatan. Tip-tip ringan dan praktis harus mewarnai upaya pendidikan kesehatan ini, supaya lebih mudah diingat, dipahami, diminati, dan diterapkan. Sebagai contoh sederhana adalah propaganda untuk membatasi menempelnya telepon seluler di telinga, misalnya dengan mengaktifkan speaker, sehingga suara telepon seluler dapat didengar dari jarak agak jauh. Contoh tips lain dapat disusun sesuai dengan sumber-sumber radiasi lainnya yang berpotensi misalnya komputer atau laptop. Solusi keamanan terhadap dampak radiasi ionik dan non ionik, kesemuanya harus diorganisir dengan baik. Dalam hal ini, pemerintah harus dapat menghimpun semua pihak yang terkait dengan persoalan radiasi, misalnya lembaga penelitian, rumah sakit, industri yang berbasis nuklir dan lembaga terkait lainnya, sehingga upaya dapat dilakukan secara menyeluruh dan simultan. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan kajian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Kontroversi tentang dampak radiasi terhadap kesehatan, umumnya lebih mengarah pada dampak yang disebabkan oleh radiasi non ionik 2. Solusi pencegahan terhadap radiasi ionik lebih diarahkan pada waktu yang singkat, jarak yang jauh, serta pengguanaan alat pelindung. Sedangkan solusi pencegahan terhadap radiasi non ionik lebih diarahkan pada pendidikan kesehatan bagi masyarakat. Selanjutnya disarankan agar:

1. Para peneliti melakukan riset tentang dampak radiasi terhadap kesehatan secara terorganisir dengan metode yang konsisten, sehingga didapatkan hasil dengan kontroversi minimum. 2. Pemerintah mengorganisir upaya pencegahan secara simultan dan menyeluruh, khususnya pendidikan kesehatan tentang radiasi. DAFTAR PUSTAKA Anies. (2009). Cepat Tua akibat Radiasi? Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Anies. (2005). Electrical Sensitivity. Jakarta: Elex Media Komputindo. Anies. (2006). SUTET: Potensi Gangguan Kesehatan Akibat Radiasi Elektromagnetik SUTET. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Atmakusumah, Iskandar, M., & Basorie, W. D. (1996). Menangkat Masalah Lingkungan ke Media Massa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Boel, T. (2009). Dental Radiografi; Prinsip dan Teknik. Medan: USU Press. Corwin, E. J. (2008). Handbook of Pathophysiology. USA: Lippincot Williams & Wilkins. Cree, L., & Rischmiller, S. (2001). Science in Nursing. Australia: Elsevier Australia. Davey, P. (2012). Medicine at a Glance. Oxford: Blackwell Science Ltd. Gabriel, J. F. (1996). Fisika Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Gruendemann, B. J., & Fernsebner, B. (1995). Comprehensive Perioperative Nursing. Sudbury: Jones and Bartlett Publisher, Inc. Harrington, J. M., & Gill, F. S. (1992). Pocket Consultant Occupational Health. Oxford: Blackwell Science Ltd. James, J., Colin, B., & Helen, S. (2008). Principles of Science for Nurses. Malden: Blackwell Science Ltd. Jeyaratnam, J., & Koh, a. (1996). Texbook of Occupational Medicine Practice. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Kamajaya. (2007). Cerdas Belajar Fisika. Bandung: Grafindo Media Pratama.

59

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Volume III Nomor 1, Februari 2013

ISSN: 2086-3098

Kudryashov, Y. B. (2008). Radiation Biophysics (Ionizing Radiations). New York: Nova Science Publisher, Inc. Mukono, H. J. (2002). Epidemiologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press. Mukono, H. J. (2011). Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press. NCRP. (1987). Ionizing radiation Exposure of The Popyulation of The United States. USA: National Council of Radiation and Measurement. Pathak, R. K., Sinha, A. K., Banerjee, B. G., Vasishat, R. N., & Edwin, C. J. (2008). Biosocial Issues in Health. New Delhi: Northern Book Centre. Peterson, L. E., & Seymour, A. (1998). Effect of Ionizing Radiation. Washington DC: Joseph Henry Press. Pruss, A., Giroult, E., & Rushbrook, P. (1999). Safe Management of Wastes from Health-Care Activities. World Health Organization. Rahayu, I. (2009). Praktis Belajar Kimia. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Ruwanto, B. (2007). Azas-Azas Fisika. Jakarta: Yudhistira. Siahaan, N. H. (2004). Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

60

2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai