Anda di halaman 1dari 22

Teori Dasar Arus Bolak-balik (AC)

Posted on Mei 13, 2012 Updated on Juni 28, 2012 Apa itu alternating current (AC) atau arus bolak-balik? Kebanyakan murid-murid yang belajar listrik (elektro) selalu mengawali pembelajarannya pada materi direct current (DC), dimana listrik yang mengalir memiliki arah yang konstan/tetap, dan memiliki polaritas tegangan yang tetap. DC adalah salah satu listrik yang dihasilkan oleh baterai (dengan terminal positif dan negatif), atau suatu muatan yang dihasilkan dari hasil gosokan antar benda tertentu. DC adalah salah satu listrik yang mudah dipelajari dan sangat berguna dalam kehidupan seharihari, tetapi DC bukanlah satu-satunya jenis listrik yang dapat digunakan. Sumber listrik tertentu (seperti generator elektro-mekanik putar) secara alamiah dapat menghasilkan tegangan yang polaritasnya dapat berubah-ubah/berganti-ganti, polaritas positif dan negatifnya saling berkebalikan dalam waktu. Seperti tegangan yang polaritasnya dapat di-switch (ditukar-tukar) positif dan negatifnya. Atau seperti arus yang arah arusnya dapat di-switch (ditukar-tukar) maju atau mundur. Listrik yang seperti ini disebut dengan arus bolak-balik (alternating current, disingkat AC). Simbol baterai yang umum digunakan untuk melambangkan suatu sumber tegangan DC, untuk suatu sumber tegangan AC dilambangkan suatu lingkaran dengan garis berbentuk gelombang di dalamnya. Mungkin aneh, mengapa orang-orang mau berkompromi dengan macam listrik seperti AC ini. Benar sekali bahwa dalam beberapa kasus, AC tidak mempunyai keuntungan praktis sama sekali bila dibandingkan DC. Dalam beberapa aplikasi dimana listrik digunakan untuk menyerap energi dalam bentuk panas, polaritas atau arah arus adalah tidak dibutuhkan, selama mampu dihasilkan tegangan dan arus tertentu yang disuplai ke beban untuk meenghasilkan panas yang diinginkan (penyerapan daya). Namun dengan AC, sangat memungkinkan untuk membuat generator listrik, motor, dan sistem distribusi daya yang lebih efisien daripada DC, sehingga jenis AC adalah yang lebih dominan digunakan dalam dunia aplikasi listrik daya besar. Untuk menjelaskan secara detail mengapa bisa demikian, dibutuhkan sedikit pengetahuan tentang AC.

DC vs AC Apabila suatu mesin dibuat sedemikian rupa sehingga dapat memutar medan magnet yang melingkari suatu kumparan kawat yang diam/tetap (stasioner) yang melilit suatu jangkar,

tegangan AC akan dihasilkan pada kumparan kawat itu apabila jangkar/angker itu berputar, memanfaatkan hukum Faraday tentang induksi elektromagnet. Ini adalah prinsip operasi dasar pada generator AC, atau dikenal juga dengan nama alternator.

Perhatikan bagaimana polaritas tegangan pada kumparan kawat dapat berubah-ubah , polaritas/kutubnya dapat saling berkebalikan pada magnet yang berputar itu. Dihubungkan ke suatu beban, polaritas tegangan yang berkebalikan ini menghasilkan arus yang arahnya dapat berkebalikan/berubah-ubah juga (arah arusnya maju dan mundur). Semakin cepat angker alternator itu berputar, semakin cepat medan magnet itu berputar, sehingga menghasilkan tegangan dan arus bolak-balik yang arahnya berganti-ganti lebih cepat pula. Generator DC umumnya bekerja dalam prinsip yang sama yaitu memanfaatkan prinsip induksi elektromagnet, tetapi konstruksinya tidak sesederhana seperti pada generator AC. Pada generator DC, kumparan kawatnya dikaitkan pada jangkar yang di sistem AC adalah magnet, sambungan elektris dibuat pada kumparan ini melalui sikat karbon stasioner yang menyentuh potongan tembaga pada jangkar yang berputar. Semua konstruksi ini dibutuhkan untuk membuat output tegangannya memiliki polaritas yang tetap.

Generator pada gambar di atas akan menghasilkan dua pulsa tegangan tiap jangkar satu kali berputar, kedua pulsa tegangan itu memiliki arah yang sama (polaritasnya sama). Agar generator DC menghasilkan tegangan yang konstan, pulsa tegangan hanya dihasilkan sekali tiap setengah kali putaran, ada beberapa set kumparan yang menyentuh sikat ini beberapa saat (pada periode tertentu saling bersentuhan, kemudian tidak bersentuhan, kemudian bersentuhan lagi,tidak bersentuhan lagi, dan begitu seterusnya). Diagram yang ditunjukkan pada gambar di atas hanyalah menunjukkan konstruksi sederhananya saja. Dalam kehiupan yang nyata, tentu lebih rumit lagi. Masalahya, saat kita membuat hubungan putus-sambung pada kumparan gerak untuk menghasilkan tegangan DC, kemungkinan dapat menghasilkan panas dan lompatan bunga api/kilatan listrik, khususnya apabila jangkar pada generator bergerak dalam kecepatan penuh. Apabila udara disekitar mesin penghasil listrik itu mengandung gas yang mudah terbakar atau mudah meledak, masalah praktis seperti ini kemungkinan besar terjadi pada kontak sikat dari generator DC (sikat dan komutator adalah penyearah listrik secara mekanik). Sedangkan pada generator AC, masalah seperi ini kecil kemungkinan terjadi karena generator AC tidak menggunakan sikat dan komutator. Keuntungan AC dari pada DC tidak hanya pada generator listrik, tetapi juga pada motor listrik. Motor DC membutuhkan sikat yang dihubungkan dengan kumparan kawat yang bergerak, tetapi motor AC tidak. Pada kenyataannya, motor AC ataupun DC didisain dalam bentuk yang hampir sama seperti bentuk generatornya. Motor AC menghasilkan medan magnet yang berubah-ubah yaitu dengan cara mengalirkan arus bolak-balik pada kumparan stasionernya sehingga menghasilkan medan putar di sekitar jangkarnya. Motor DC menggunakan kontak sikat untuk menyambung dan memutus sambungan sehingga dapat membalikkan arus yang mengaliri kumparan putar setiap kali putaran (180 derajat). Jadi,kita tahu bahwa motor dan genarator AC lebih sederhana dari pada motor dan generator DC. Kesederhanaan pada konstruksi AC membuat kemampuannya lebih baik dan harganya lebih murah untuk dibuat. Lalu, apakah Cuma itu saja kelebihan AC dari pada DC? Tentu saja tidak. Ada suatu efek pada elektromagnet yang dikenal dengan nama induksi bersama (mutual

induction), dimana dua atau lebih kumparan kawat yang diletakkan saling berdekatan apabila medan magnet diantaranya nilainya berubah-ubah, maka tegangan akan diinduksikan (disalurkan) dari kumparan bertegangan menuju kumparan lainnya. Jadi, apabila kita mengalirkan listrik AC (nilai arus dan tegangannya berubah-ubah) pada salah satu kumparan ini, maka akan menghasilkan suatu medan magnet yang nilainya berubah-ubah. Medan magnet yang berubah-ubah ini, membuat kumparan yang dialiri listrik AC ini akan mampu menginduksikan (menyalurkan) listrik menuju kumparan lainnya (yang letaknya berdekatan). Alat seperti ini disebut dengan transformer/trafo. Tentu saja, trafo hanya bekerja dalam mode AC. Trafo tidak mungkin bisa bekerja pada mode DC.

Kemapuan utama dari trafo ini adalah kemampuannya dalam menaikkan dan menurunkan tegangan dari kumparan yang tidak bernergi menuju kumparan yang tidak bernergi. Tegangan AC diinduksikan menuju kumparan yang tidak berenergi atau disebut kumparan sekunder yang besar tegangannya sama dengan hasil kali antara tegangan pada kumparan primer dikalikan rasio jumlah lilitan kumparan sekunder dengan primer. Apabila kumparan yang sekunder digunakan untuk menyuplai daya ke sebuah beban, akan muncul arus bolak-balik yang mengaliri kumparan, besarnya adalah : nilai arus pada kumparan primer dikalikan dengan rasio jumlah lilitan kumparan primer terhadap kumparan sekunder. Hubungan ini bisa dianalogikan/mirip dengan sistem gear mekanik, torsi menunjukkan tegangan, dan kecepatan menunjukkan arus. Seperti ditunjukkan pada gambar ini:

Apabila jumlah lilitan pada kumparan primer lebih sedikit dari pada jumlah lilitan pada kumparan sekunder, maka trafo tersebut dapat menaikkan tegangan dari suatu sumber menjadi bertegangan lebih tinggi pada kumparan sekunder yang terhubung dengan beban:

Kemampuan trafo untuk menaikkan dan menurunkan tegangan AC menjadi keuntungan tersendiri dari pada sistem DC dalam bidang sistem pendistribusian daya. Ketika daya listrik dikirim/ditransmisikan dalam jarak yang jauh, proses pengiriman ini jauh lebih efisien apabila tegangannya dinaikkan dan arusnya diturunkan (kawat dengan diameter kecil memiliki rugi-rugi daya resistif yang lebih sedikit), lalu tegangan ini diturunkan kembali saat akan digunakan pada tempat-tempat industri, bisnis, atau para konsumen.

Teknologi transformer berhasil membuat range daya listrik yang besar untuk digunakan pada sistem distribusi. Tanpa kemampuan untuk meng-efisien-kan (dengan cara menaik dan menurunkan tegangan) ini, mungkin akan menghabiskan banyak biaya untuk mengkonstruksi sistem distribusi daya listrik. Trafo sangatlah berguna, tetapi mereka hanya bekerja dalam AC, bukan DC. Karena fenomena induksi bersama (mutual induction) yang terjadi akibat perubahan nilai medan megnet, apabila kita menggunakan DC (nilai arus dan tegangannya konstan), maka nilai medan magnet yang dihasilkan, nilainya tetap/konstan/tidak berubah-ubah. Baca juga : Bentuk Gelombang Arus bolak-balik (AC) Menghitung Magnitudo Arus bolak-balik (AC) Perhitungan pada rangkaian AC sederhana (resistif) Beda Fase AC Teori arus bolak-balik (AC) pada gelombang radio
About these ads

Variasi Jurnal Peneltian Online ELEKTRO Ilmu Agama Warta Depan

Bentuk Gelombang Arus bolak-balik (AC)


Posted on Juni 27, 2012 Updated on Juni 28, 2012 Ketika alternator menghasilkan tegangan AC, tegangan ini akan berubah-ubah polaritasnya, tetapi tidak berubah dengan sesederhana itu. Ketika digambar pada grafik dalam fungsi waktu, akan dihasilkan bentuk gelombang dari nilai tegangan ini dalam fungsi waktu, gelombang seperti ini dikenal dengan nama gelombang sinus (sine wave) :

Pada grafik nilai tegangan yang dihasilkan oleh alternator elektromekanik, perubahan dari satu polaritas ke polaritas yang lain terjadi secara halus/mulus, level tegangan berubah-ubah secara cepat melalui nilai/titik nol dan secara perlahan mencapai titik puncaknya. Apabila kita menggambar fungsi trigonometri dari fungsi sinus melalui sumbu horisontal yang bernilai dari nol hingga 360 derajat, kita akan menemukan bentuk yang sama seperti nilai-nilai pada tabel 1.1.

Alasan mengapa output alternator elektromekanik berupa gelombang sinus AC adalah karena operasi fisiknya. Tegangan yang dihasilkan oleh kumparan tetap/stasioner oleh gerakan dari putaran magnetnya adalah proposional dengan laju perubahan nilai fluks magnet yang menembus tegak lurus kumparan (hukum induksi elektromagner Faraday). Laju itu akan semakin besar saat kutub magnet berada pada jarak terdekat dengan kumparan, dan lajunya paling kecil saat kutub magnetnya berada pada jarak terjauh dengan kumparan. Secara matematis, laju perubahan fluks magnet akibat putaran magnet, nilainya sesuai dengan fungsi sinus, sehingga tegangan yang dihasilkan pun memiliki rumus fungsi yang sama dengan fungsi sinus juga. Apabila kita mengikuti perubahan nilai tegangan yang dihasilkan oleh kumparan alternator ini pada titik tertentu dalam grafik gelombang sinus lalu kita berjalan menjejakinya dan kembali pada titik semulanya, itu disebut sebagai satu putaran (1 cycle) gelombang. Cara lain untuk mendapatkan satu putaran ini adalah ditandai dengan jarak antar titik puncak yang identik. Nilai pada sumbu horisontal dari grafik tersebut menunjukkan domain dari fungsi sinus, dan juga sekaligus menunjukkan posisi dari kedua kutub magnet dari jangkar alternator saat ia berputar.

Sumbu horisontal dari grafik ini,selain dapat menunjukkan posisi jangkar juga dapat menunjukkan dimensi waktu. Sehingga satu putaran/ satu cycle seringkali diukur dalam satuan waktu, biasanya dalam orde detik hingga milidetik. Ketika kita melakukan pengukuran, satu putaran per satuan waktu ini disebut dengan periode gelombang. Periode dari suatu gelombang dalam satuan derajat selalu bernilai 360 derajat,tetapi kalau dalam dimensi waktu, nilai periode nya tergantung dari waktu yang dibutuhkan bagi tegangan untuk berosilasi maju dan mundur. Pengukuran yang lebih umum untuk mengukur laju perubahan dari gelombang tegangan atau arus AC ini adalah dinyatakan dalam periode. Tetapi periode jarang digunakan,laju osilasi naikturun ini sering dinyatakan dalam frekuensi. Satuan modern untuk frekuensi adalah Heartz (disingkat Hz), yang menunjukkan jumlah dari gelombang penuh yang terjadi dalam satu detik. Di Amerika, frekuensi standar dari listrik AC pada sistem distribusi daya adalah 60 Hz, berarti tegangan AC berosilasi secara penuh sebanyak 60 kali, naik-turun, dalam satu detik. Di Eropa, frekuensi standar yang digunakan dalam sistem distribusinya adalah 50 Hz, berarti nilai tegangan AC naik-turun secara lengkap sebanyak 50 kali dalam satu detik. Stasiun siaran radio pada frekuensi 100 MHz menghasilkan tegangan AC yang berosilasi sebanyak 100 juta putaran/cycle per detiknya. Satuan hertz itu sama dengan cycle per second (jumlah putaran per detik). Alat ukur elekronik yang lawas seringkali menyatakan satuan frekuensi dalam satuan CPS (cycle per second = jumlah putaran/siklus per detik), bukan Hz. Tetapi antara Hz dan CPS adalah sama saja. Secara matematis, periode dan frekuensi adalah saling resiprok/berkebalikan antara satu sama lain. Jadi, bila suatu gelombang mempunyai periode 10 sekon, maka frekuensinya adalah 1/10 Hz, atau 1/10 CPS : Frekuensi dalam Hz = 1/periode dalam detik Suatu alat yang bernama osiloskop, digunakan untuk menampilkan perubahan nilai tegangan dalam fungsi waktu dalam suatu layar grafik. Mungkin anda lebih familiar dengan tampilan alat ECG atau EKG (elektokardiograf), yang digunakan oleh pakar fisika untuk menggambar osilasi dari detak jantung pasien dalam domain waktu. ECG adalah osiloskop yang dibuat untuk tujuan

khusus yaitu digunakan dalam dunia medis. Tujuan umum dari osiloskop adalah dapat menampilkan nilai grafik tegangan dari sumber tegangan apapun, yang diplot dalam satuan/domain waktu sebagai variabel bebas. Hubungan antara periode dengan frekuensi adalah sangat diperlukan untuk memahami cara membaca hasil pengukuran tegangan atau arus AC berupa gelombang yang ditampilkan pada layar osiloskop. Dengan mengukur periode dari gelombang pada sumbu horisosntal layar osiloskop yang dinyatakan dalam satuan detik, maka kita dapat menghitung frekuensinya dalam satuan Hz.

Alternator elektromekanik bukanlah satu-satunya alat yang mampu menghasilkan fenomena fisik alamiah berupa gelombang sinus, tetapi masih ada jenis gelombang bolak-balik lainnya. Gelombang AC lainnya adalah sinyal yang dihasilkan dalam rangkaian elektronik. Ini adalah beberapa contoh dari bentuk gelombang AC (selain sinus).

Bentuk-bentuk gelombang ini memiliki nama sendiri-sendiri. Walaupun suatu rangkaian didisain sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan bentuk gelombang yang murni sinus, kotak, segitiga, atau gelombang gigi gergaji seperti ditunjukkan pada gambar di atas. Tetapi dalam dunia nyata, rangkaian-rangkaian ini tidak mampu menghasilkan bentuk gelombang yang murni seperti yang diharapkan, tetapi gelombang-gelombang itu biasanya telah terdistorsi (sinyalnya rusak). Secara umum, berbagai macam gelombang AC ini dasarnya dapat dibentuk dari gelombang sinus.Yang perlu diperhatikan adalah jenis dari gelombang AC ini sangatlah bermacam-macam.

Variasi Jurnal Peneltian Online ELEKTRO Ilmu Agama Warta Depan

Menghitung Magnitudo Arus bolak-balik (AC)


Posted on Juni 28, 2012 Updated on Juni 28, 2012 Sejauh ini kita tahu bahwa tegangan AC berubah0ubah polaritasnya dan arus AC berubah-ubah arah arusnya. Kita juga tahu bahwa listrik AC nilainya dapat berubah-ubah dalam berbagai macam cara, dengan men-tracing nilai-nilai yang berubah-ubah ini dalam domain waktu, maka kita akan memperoleh berbagai macam bentuk gelombang AC. Kita dapat mengukur laju pergantian tersebut dengan mengukur waktu yang diperlukan gelombang itu untuk membentuk gunung dan satu lembah (periode),dan menyatakannya dalam jumlah putaran/cycle per satuan waktu, atau frekuensi.

Namun, kita akan menemukan masalah apabila kita mencoba untuk menyatakan seberapa besar atau seberapa kecil nilai AC itu. Dalam DC, dimana nilai tegangan dan arusnya secara umum adalah konstan, adalah mudah untuk menyatakan nilai tunggal tegangan atau arus DC itu. Tetapi dalam AC, kita akan menemukan sedikit masalah saat akan menyatakan nilai arus atau tegangan dalam suatu rangkaian. Bagaimana mungkin kita bisa menyatakan besar nilai AC ini dalam nilai magnitudo tunggal sedangkan nilai AC ini besarnya selalu berubah-ubah? salah satu cara untuk menyatakan nilai AC, atau magnitudo (terkadang disebut juga dengan amplitudo) dari suatu besaran AC adalah dengan mengukur tinggi puncak dari bentuk gelombangnya. Nilai ini dikenal dengan peak atau crest dari gelombang AC. Cara lain untuk mengukur besar nilai AC adalah dengan mengukur tinggi total antara dua puncak yang polaritasnya berlawanan. Atau lebih dikenal dengan nama nilai peak-to-peak (p-p) dari gelombang AC. Sayangnya, diantara kedua cara pengukuran magnitudo ini seringkali menimbulkan kesalahpahaman saat membandingkan dua macam gelombang yang berbeda. Misal, suatu gelombang kotak (square) yang mencapai puncak pada nilai 10 volt, tentu saja memiliki nilai tegangan yang lebih besar dari pada gelombang segitiga (triangle) yang mempunyai puncak 10 volt juga. Kedua macam gelombang ini akan memberikan efek yang berbeda saat menyuplai daya pada suatu beban.

Salah satu cara untuk menyatakan amplitudo dari bentuk gelombang yang berbeda dalam bentuk yang lebih ekivalen adalah dengan cara menghitung nilai rata-rata matematis dari semua titik pada grafik gelombang tersebut menjadi nilai yang tunggal. Pengukuran amplitudo seperti ini dikenal dengan nama nilai rata-rata (average) dari gelombang AC. Apabila kita menghitung ratarata pada semua titiik pada grafik itu secara aljabar (tanda posistif dan negatifnya diperhitungkan juga) maka nilai rata-rata ini secara teknis kebanyakan bernilai nol, karena semua titik yang bertanda positif akan saling mengurangi dengan semua titik yang bertanda negatif dalam satu gelombang penuh.

Luas daerah yang dilingkupi gelombang itu akan memiliki luasan yang sama antara bagian luas yang berada diatas nilai/garis nol dengan luasan yang berada di bawah nilai/garis nol. Tetapi, dalam pengukuran praktis pada suatu gelombang dinyatakan dalam nilai agregat, nilai rata-rata biasanya dinyatakan secara matematis tetapi nilai titik-titik yang diambil adalah nilai absolut (semua nilai dianggap positif semua) dalam satu gelombang penuh.Ini berarti, gelombang tersebut dianggap memiliki nilai-nilai yang positif semua seperti ditunjukkan pada gambar ini:

Alat ukur gerak mekanik yang tidak sensitif terhadap polaritas (alat ukur yang didisain sehingga dapat merespon setengah siklus yang bernilai positif dan negatif secara sama pada listrik AC) akan mampu membaca nilai rata-rata gelombang ini(rata-rata nilai yang absolut), karena inersia dari jarum penunjuk akan melawan gaya pegas secara alami yang besarnya adalah rata-rata dari nilai arus atau tegangan AC pada selang waktu tertentu.Sebaliknya, alat ukur gerak mekanik yang sensitif terhadap polaritas akan menhasilkan pengukuran yang sia-sia apabila digunakan untuk mengukur arus atau tegangan AC, jarum penunjuknya akan berosilasi secara cepat disekitar angka nol, menunjukkan bahwa hasil pengukuran rata-ratanya sama dengan nol (saat digunakan untuk mengukur gelombang AC yang simetris). Pada pembahasan di sini, apabila dinyatakan nilai rata-rata suatu gelombang AC, itu maksudnya adalah rata-rata dari nilai absolutnya. Metode lain untuk mendapatkan nilai agregat dari amplitudo suatu gelombang adalah berdasarkan dari kemampuan gelombang itu untuk melakukan kerja yang berguna/efektif saat dipasangkan pada suatu resistansi beban. Sayangnya, pengukuran AC berdasarkan kerja yang dapat dilakukan gelombang ini tidak sama seperti nilai rata-rata gelombang, karena penyerapan daya oleh beban (kerja yang dilakukan per satuan waktu) tidak berbanding lurus dengan magnitudo dari nilai arus dan tegangan pada beban itu. Tetapi, penyerapan daya oleh beban itu berbanding lurus dengan kuadrat tegangan atau arus yang dipasangkan pada beban itu (P = E2/R dan P = I2 R). Perhatikan dua macam gergaji yang berbeda, yaitu gergaji pita (bandsaw) dan gergaji ukir (jigsaw), dua buah peralatan modern yang digunakan tukangg kayu. Kedua jenis gergaji pemotong ini memiliki bentuk yang tipis, bergerigi, pisau logamnya digerakkan oleh motor listrik digunakan untuk memotong kayu. Kalau gergaji pita, pisaunya bekerja dalam gerakan yang kontinu dan arahnya tetap saat memotong kayu, tetapi untuk gergaji ukir, gerakan pisaunya maju-mundur. Mungkin perbandingan antara AC dan DC dapat dianalogikan dengan perbandingan antara gergaji pita dengan gergaji ukir ini.

Masalah yang timbul saat kita mencoba untuk menyatakan nilai AC dalam nilai tegangan dan arus yang tunggal, masalah yang sama juga ditemui saat kita ingin mengukur analogi gergaji ini : bagaimana kita dapat menyatakan kecepatan dari gerakan pisau gergaj itu? Gergaji pita bergerak dalam kecepatan yang konstan, sama seperti tegangan DC atau arus DC yang memiliki magnitudo yang konstan. Tetapi untuk gergaji ukir, gerakannya maju-mundur, kecepatan dari gerakan pisaunya berubah secara konstan. Gerakan dari pisau gergaji ukir ini mungkin berbedabeda tergantung dari disain mekanik gergaji tersebut. Ada gergaji yang gerakan pisaunya mulus seperti fungsi gelombang sinus, ada juga yang gerakan pisaunya mengikuti fungsi gelombang segitiga. Untuk menentukan rating gergaji ukir ini berdasarkan kecepatan puncak dari gerakan pisau mungkin akan menyebabkan kesalahpahaman ketika membandingkan antara gergaji ukir yang satu dengan gergaji ukir yang lainnya (atau saat dibandingkan dengan gergaji pita). Walaupun pada kenyataannya gergaji-gergaji ini berbeda-beda cara bergeraknya, tetapi tujuannya utamanya sama yaitu mereka semua digunakan untuk memotong kayu. Perbandingan kuantitatif dari fungsi umumnya ini dapat dijadikan dasar untuk menentukan rating gergaji berdasarkan kecepatannya. Berikut ini adalah gambar dari gergaji pita dan gergaji ukir, dilengkapi dengan pisau yang identik (geriginya sama, sudutnya, dll), memiliki kemampuan yang sama dalam memotong kayu yang memiliki ketebalan yang sama dalam laju yang sama. Bisa kita katakan bahwa kedua gergaji ini ekivalen kapasitasnya dalam proses pemotongan. Perbandingan yang mungkin bisa digunakan untuk membedakan kecepatan gerak pisau antara gergaji pita dengan gergaji ukir maju-mundur ini adalah : berdasarkan ke-efektif-annya dalam memotong kayu. Ini adalah dasar yang bisa digunakan untuk menyatakan pengukuran amplitudo suatu tegangan atau arus AC dalam bentuk ekivalen DC nya : berapapun besarnya nilai tegangan atau arus DC akan menghasilkan jumlah penyerapan energi panas yang sama apabila dihubungkan pada suatu nilai resistansi yang sama.

Kedua rangkaian diatas memiliki nilai resistansi beban yang sama (yaitu 2 ) dan mampu menyerap daya panas dalam jumlah yang sama (yaitu 50 watt), tetapi rangkaian yang kanan disuplai daya AC sedangkan yang sebelah kiri disuplai daya DC. Karena sumber tegangan AC pada gambar di atas nilainya adalah ekivalen (dalam artian daya yang disuplai ke beban) dengan baterai DC 10 V, maka kita bisa mengatakannya sebagai sumber tegangan AC 10 V. Lebih tepatnya, kita bisa mengatakan nilai tegangan AC ini : 10 volt RMS. RMS adalah singkatan dari Root Mean Square, suatu algoritma yang digunakan untuk mendapatkan nilai ekivalen DC dari titik-titik yang membentuk suatu gelombang AC (pada dasarnya, langkah-langkahnya adalah : mengkuadratkan semua nilai-nilai/titik-titik baik itu yang positif maupun yang negatif dari gelombang itu, lalu merata-ratakan hasil kuadratnya, kemudian meng-akar kuadrat-kan untuk mendapatkan nilai akhirnya). Terkadang, selain disebut RMS, perhitungan seperti ini disebut juga dengan istilah DC ekivalen, tetapi keduanya sama saja. Pengukuran amplitudo RMS adalah cara terbaik untuk menghubungkan nilai AC terhadap nilai DC, atau hubungan antara berbagai macam gelombang AC, saat kita melakukan pengukuran daya listrik. Untuk pertimbangan lain, terkadang pengukuran amplitudo secara peak-to-peak (puncak ke puncak) lebih dibutuhkan. Misalkan, untuk menentukan ukuran kawat yang pas (ampasitas) yang digunakan untuk mengkonduksikan daya listrik dari sumber menuju beban, lebih baik menggunakan pengukuran nilai RMS, karena prinsip RMS berkaitan dengan arus yang dapat memanaskan kawat (dissipasi daya ditentukan dari arus yang melewati resistansi kawat tersebut). Namun, saat menentukan rating insulator yang akan digunakan pada peralatan AC bertegangan tinggi, pengukuran nilai tegangan puncak (peak) lebih diprioritaskan, karena prinsip pengukuran puncak ini berkaitan dengan nilai tegangan yang tidak bergantung dengan vaariabel waktu. Pengukuran Peak atau peak-to-peak mudah diterapkan apabila kita menggunakan osiloskop, dimana alat ini dapat menangkap nilai puncak dari gelombang dalam keakuratan yang tinggi karena kerja dari tabung cahaya-katoda nya yang cepat dalam merespon perubahan nilai tegangan. Untuk pengukuran RMS, alat ukur analog seperti alat ukur gerak elektromekanik (DArsonval, Weston, iron vane, elektrodinamometer) akan memberikan hasil pembacaan yang telah dikalibrasikan dalam bentuk RMS. Karena inersia mekanik dan efek redaman pada meteran gerak elektromekanik membuat simpangan pada jarum penunjuknya secara alamiah proporsional dengan nilai rata-rata dari AC, bukan nilai RMS, alat ukur analog harus dikalibrasi secara khusus (atau tanpa dikalibrasi, tergantung dari segi mana anda membacanya) untuk menampilkan nilai

tegangan atau arus AC dalam satuan RMS. Keakuratan dari kalibrasi ini bergantung dari bentuk gelombang mana yang kita umpamakan, biasanya yang digunakan sebagai perumpamaan adalah gelombang sinus. Alat ukur elektronik harus didisain secara khusus untuk melakukan pengukuran RMS. Beberapa produsen alat ukur listrik telah mendisain suatu akal/metode untuk dapat menghitung nilai RMS untuk suatu bentuk gelombang. Salah satunya adalah dengan membuat alat ukur RMS dengan memakai elemen resistif kecil. Nilai RMS ini akan proporsional/berbanding lurus dengan daya yang diserap oleh elemen resistif tersebut dalam bentuk panas. Efek pemanasan pada elemen resistif akan diukur secara thermal untuk memberikan suatu nilai RMS tanpa perhitungan matematis,hanya menggunakan hukum fisika untuk mendefinisikan nilai RMS itu sendiri. Keakuratan dalam mengukur nilai RMS-nya tidak bergantung dari bentuk gelombangnya.

Untuk beberapa bentuk gelombang yang murni, ada suatu konversi praktis untuk mengubah nilai-nilai pengukuran amplitudo antara peak, peak-to-peak, rata-rata (praktis/absolut, bukan aljabar),dan RMS. Untuk beberapa bentuk gelombang dasar, ada rasio-rasio proporsional yang dapat digunakan untuk menyatakan hasil pengukuran. Misal, faktor puncak (crest factor) dari suatu gelombang AC adalah rasio antara nilai puncak (peak/crest) dibagi dengan nilai RMS. Form factor dari suatu gelombang AC adalah rasio antara nilai RMS dibagi nilai rata-ratanya. Gelombang berbentuk kotak akan selalu memiliki faktor puncak dan form factor yang bernilai satu, karena nilai puncaknya akan sama dengan nilai RMS dan nilai rata-ratanya. Bentuk gelombang sinus memiliki nilai RMS 0.707 (satu per akar dua) dan form faktor nya sebesar 1.11 (0.707/0.636). Bentuk gelombang segitiga dan gigi gergaji memiliki nilai RMS sebesar 0.577 (satu per akar tiga) dan form factor sebesar 1.15 (0.577/0.5). Tapi yang perlu diingat, rasio-rasio yang telah disebutkan di atas hanyalah berlaku untuk bentukbentuk gelombang AC yang murni (sinus, kotak, segitiga/gigi gergaji). Tetapi untuk bentuk gelombang yang telah terdistorsi (rusak) seperti gambar berikut ini, rasio-rasio di atas tidaklah berlaku.

Ini adalah konsep yang penting untuk dipahami apabila anda melakukan pengukuran arus atau tegangan AC menggunakan alat ukur analog (seperti jenis PMMC, DArsonval). Pergerakan dari jarum penunjuk alat ukur analog ini hanyalah dikalibrasikan untuk mengukur amplitudo gelombang sinus, yang hanya akan menghasilkan pembacaan akurat apabila digunakan untuk mengukur gelombang sinus murni, hasil pembacaan alat ukur ini bukanlah nilai RMS dari geombang itu, karena derajat simpangan dari jarum penunjuknya proporsional dengan nilai ratarata dari gelombnag yang diukur, bukanlah RMS. Pengkalibrasian alat ukur RMS adalah dengan cara menskala ulang skala nilai-nilai yang tertera sehingga nilai-nilai pada skala itu ekivalen dengan nilai RMS-nya, tetapi hanya untuk satu macam bentuk gelombang saja. Karena bentuk gelombang sinus adalah yang paling sering ditemui dalam pengukuran listrik, bentuk gelombang yang diasumsikan dalam proses kalibrasi alat ukur RMS ini adalah gelombang sinus, dan suatu faktor pengali yang kecil digunakan pada angka-angka hasil kalibrasi ini yaitu sekitar 1.1107 (form factor : 0.707/0.636 : rasio yang diperoleh dari nilai RMS dibagi dengan nilai rata-rata gelombang sinus). Untuk bentuk gelombang yang lain (selain bentuk gelombang sinus murni) akan memiliki perbedaan rasio dari nilai RMS dan nilai rata-ratanya, sehingga alat ukur yang telah dikalibrasi terhadap gelombang sinus murni, tidak akan memberikan hasil pengukuran yang akurat apabila digunakan untuk mengukur amplitudo suatu gelombang yang non-sinus.Kesimpulannya, alat ukur AC analog tidak memberikan hasil pembacaan nilai RMS secara alami.

Perhitungan pada rangkaian AC sederhana (resistif)


Posted on Juni 28, 2012 Updated on Juni 28, 2012 Pada pembahasan selanjutnya anda akan menemui perhitungan dan pengukuran rangkaian AC yang sangat rumit karena sifat dasar yang kompleks dari rangkaian AC yang berisi induktansi dan kapasitansi. Namun,pada rangkaian AC yang berisi hanya sumber dengan resistansi saja, hukum dan aturan pada rangkaian ini persis sama seperti rangkaian DC.

Nilai resistansi seri dijumlahkan, resistansi paralel nilainya menjadi berkurang, KCL dan KVL juga sama seperti pada rangkaian DC. Pada rangkaian yang bersifat resistif murni seperti ini, kompleksitas rangkaian AC masih belum ditemui, kita masih dapat melakukan perhitungan sama seperti saat menganalisa rangkaian DC.

Tetapi ada satu hal yang penting: semua pengukuran dalam rangkaian AC (tegangan dan arus) haruslah dinyatakan dalam bentuk amplitudo yang sama (peak, peak-to-peak, rata-rata, atau RMS). Apabila sumber tegangan amplitudi dinyatakan dalam tegangan peak, berarti nilai amplitudo arus dan tegangan pada semua bagian rangkaian itu juga harus dinyatakan dalam peak. Apabila sumber AC nya dinyatakan dalam RMS, berarti semua pengukuran amplitudo arus dan tegangan pada rangkaian iitu juga harus dinyatakan dalam RMS. Konsep ini juga berlaku saat kita melakukan perhitungan berdasarkan hukum tegangan dan arus Kirchhoff (KVL dan KCL). Secara umum apabila tidak disebutkan jenis pengukuran amplitudonya, berarti rangkaian itu dinyatakan dalam RMS. Tetapi dalam beberapa bidang elektronika, yang lebih digunakan adalah pengukuran peak, tetapi dalam kebanyakan aplikasi (khususnya dalam elektronika industri) yang lebih sering digunakan adalah RMS.

Beda Fase AC
Posted on Juni 28, 2012 Updated on Juni 28, 2012

Hal yang memulai kompleksitas pada rangkaian AC adalah saat kita menemui dua atau lebih nilai tegangan atau arus AC dimana antara nilai-nilai tersebut ada satu nilai yang mendahului nilai lainnya. Istilah mendahului, berarti kedua bentuk gelombangnya tidaklah sinkron: titik puncak dan nol dari kedua gelombang tidak terjadi dalam waktu yang bersamaan. Gambar berikut ini dapat mengilutrasikan kondisi tersebut.

Kedua gelombang tersebut (A dengan B) memiliki amplitudo dan frekuensi yang sama, tetapi gelombang yang satu mendahului gelombang yang lainnya. Dalam istilah teknisnya, ini disebut beda fase (phase shift). Pada pembahasan sebelumnya kita dapat mengeplot gelombang sinus dengan cara melakukan perhitungan fungsi trigonometri sinus dari 0 derajat hingga 360 derajat, lingkaran penuh. Titik awal dari gelombang sinus itu dimulai dengan amplitudo nol pada saat nol derajat, bergerak naik pada suatu nilai amplitudo maksimum yang bernilai positif pada 90 derajat, kemudian nol lagi saat 180 derajat, amplitudo maksimum negatif saat 270 derajat, dan kembali ke titik nol awal pada 360 derajat. Kita dapat menggunakan skala sudut ini sepanjang sumbu horisontal dari plot bentuk gelombang untuk menunjukkan seberapa jauh suatu gelombang meninggalkan gelombang yang lain.

Beda fase antara kedua gelombang di atas adalah sekitar 45 derajat, yang A mendahului gelombang yang B. Contoh-contoh lain untuk gelombang-gelombang yang memiliki beda fase ditunjukkan pada gambar ini.

Karena gelombang-gelombang ini memiliki frekuensi yang sama, mereka akan saling mendahului dalam derajat sudut yang sama pada semua titik-titik pada kedua gelombang itu dalam fungsi waktu. Karena alasan ini, kita dapat menyatakan beda fase antara dua atau lebih gelombang yang memiliki frekuensi yang sama dalam nilai yang konstan sepanjang kedua gelombang tersebut. Jadi,bukanlah suatu kesalahan apabila kita mendengar pernyataan ini : tegangan A beda fase sebesar 45 derajat dengan tegangan B. Gelombang yang mendahului proses putarannya dikatakan leading (mendahului) sedangkan yang terbelakang disebut lagging (didahului/terbelakang). Beda fase adalah pengukuran yang relatif yang terukur antara dua gelombang. Tidak ada gelombang yang memiliki nilai fase yang absolut karena tidak ada referensi universal dalam pengukuran fase . Jadi, pengukuran beda fase tidak mungkin ada apabila kita hanya punya satu gelombang karena beda fase adalah hasil pengukuran antara dua gelombang. Tetapi umumnya dalam analisa rangkaian AC, gelombang tegangan dari sumber dayanya digunakan sebagai referensi fasenya, biasanya nilai sumber tegangannya dinyatakan sebagai xxx volt pada 0 derajat. Tegangan atau arus lainnya dalam rangkaian itu akan memiliki beda fase yang diukur relatif terhadap fase sumber tegangan tersebut. Inilah yang membuat analisa rangkaian AC lebih kompleks dibandingkan DC. Ketika kita meggunakan hukum Ohm dan hukum Kirchhoff pada suatu rangkaian AC, nilai arus dan tegangan pada rangkaian AC itu haruslah ditunjukkan nilai amplitudo dan beda fasenya. Perhitungan matematis seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian haruslah meliputi perhitungan amplitudo dan juga perhitungan beda fasenya. Untungnya, ada suatu sistem nilai matematis yang disebut bilangan kompleks (complex number) yang bisa digunakan untuk melaksanakan tugas ini. Karena sistem bilangan kompleks sudah merepresentasikan baik

itu amplitudo dan juga beda fasenya. Jadi, bilangan kompleks sangatlah penting untuk dipejari dalam analisa rangkaian AC.

Anda mungkin juga menyukai