Anda di halaman 1dari 8

Pengelolaan Limbah Padat dan B3 di Kabupaten Purworejo

Limbah Padat di Kabupaten Purworejo Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai sampah). Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia organik dan anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Limbah padat adalah sampah padat hasil sisa kegiatan manusia yang tidak dapat digunakan lagi. Limbah padat dapat terdiri dari sampah domestik dan kegiatan industri. Limbah padat di Kabupaten Purworejo terdiri dari sampah atau limbah domestik yang berasal dari perumahan, pasar, industri-industri skala kecil dan kegiatan pertanian. Saat ini limbah padat yang dihasilkan di lingkungan Kabupaten Purworejo yang sampai ke TPA adalah sekitar 100 ton/hari. Jumlah limbah padat keseluruhan diperkirakan memiliki nilai yang jauh lebih besar, hal ini disebabkan truk sampah hanya beroperasi di lingkungan perumahan perkotaan saja, padahal sebagian besar kabupaten Purworejo terdiri dari daerah pedesaan. Di daerah pedesaan sampah domestik kebanyakan langsung dibakar oleh warga sehingga tidak termasuk dalam penghitungan.

Permasalahan Pengelolaan Limbah Padat dan Solusinya Pemisahan sampah sudah banyak dilakukan di berbagai instansi dan tempat-tempat umum, namun masih hanya sebatas pemisahan tempat sampah saja, belum ada tindakan lebih lanjut. Hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat dalam pemisahan sampah organik dan anorganik serta kurangnya fasilitas truk sampah yang mencampur kembali sampah yang telah dipisahkan. Pada beberapa instansi seperti sekolah memiliki tempat pengolahan sampah mandiri, mereka telah memisahkan sampah organik dan anorganik, sampah organik kemudian diolah menjadi kompos, sedangkan sampah anorganik yang telah dipisahkan sebagian ada yang dibakar dan sebagian lagi dibuang ke TPA. Kabupaten Purworejo memiliki TPA yang terdapat di Desa Jetis, Kecamatan Loano, dengan luas lahan 4,69 Ha. TPA Jetis mulai beroperasi sejak tahun 1997 dengan sistem controlled landfill atau peralihan dari sanitary landfill ke open dumping. Keterbatasan anggaran dana mengakibatkan sistem pengelolaan beralih dari controlled landfill menjadi teknologi open dumping. Fasilitas yang

terdapat pada TPA ini bisa dibilang masih sangat kurang, tidak adanya jembatan penimbangan, alat berat yang terbatas, IPAL yang masih kurang sesuai dengan standar. Kabid Kebersihan dan Pertamanan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Purworejo Mulyono, menginformasikan, selama ini jumlah sampah yang dibuang ke TPA Jetis sekitar 30 sampai 33 truk/hari. Jika dihitung volumenya sekitar 250 meter kubik (m3)/hari, atau sekitar 90 sampai 100 ton per hari (Anonim, 2013). Pengambilan dan pengankutan smpah dari Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang ada di perumahan dan di pasar dengan menggunakan truk sampah. Sampah yang masuk ke TPA Jetis dilakukan pemilahan oleh pemulungpemulung dengkan memisahkan dan mengambil sampah yang bisa didaur ulang kembali. Selanjutnya sampah ditumpukdan diratakan dengan menggunakan alat berat. Perataan ini bertujuan untuk menghindari terjadinya longsor. Pemilahan sampah yang baik dilakukan sebelum sampah masuk ke TPA dengan memisahkan penanganan sampah domestik mulai dari pembuangan dalam tempat sampah yang dipisahkan serta truk pengankut sampah yang dipisahkan juga. Selanjutnya sampah organik dapat diolah menjadi kompos, sedangkan sampah anorganik dipisahkan kembali beradasarkan bahannya. Untuk sampah anorganik yang dapat didaur ulang dipisahkan untuk didaur ulang kembali, sedangkan yang sudah tidak dapat di daur ulang kemudian di padatkan dan siap untuk dibuang ke landfill. TPA Jetis juga dilengkapi dengan sarana pengelolaan sampah untuk pembuatan kompos dari sampah organik. Disamping itu juga terdapat mesin granulator untuk pembuatan pupuk organik granul dari kompos. Pengelolaan pembuatan kompos dan pupuk organik granul dilakukan oleh pihak ketiga yaitu LPUA2 Mitra Agro Mulia dengan memberdayakan para pemulung sebagai tenaga kerjanya. Namun sekarang rumah kompos ini sudah tidak berfungsi karena berakhirnya kerjasama dengan pihak swasta pengelola, dan tidak ada anggaran dari pemerintah daerah untuk operasional rumah kompos ini. Pengelolaan sampah organik menjadi kompos ini sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan lagi, seharusnya pemerintah daerah dapat memperhatikan hal ini, karena selain dapat mengurangi sampah, kompos yang dihasilkan juga mempunyai nilai tambah yang cukup bagus. Jika pemisahan dilakukan dengan benar, dan sampah organiknya dapat termanfaatkan dengan baik, ini juga dapat mengurangi bau yang disebabkan degradasi bahan-bahan organik dalam sampah. TPA Jetis juga belum memiliki instalasi penanganan metan, sehingga masih rawan terjadi longsor karena tekanan gas metan dari tumpukan sampah. Beberapa TPA di Jawa Tengah dan Yogyakarta sedang dikaji untuk pengadaan penangkapan gas metan sebagai sumber energi, namun belum membuahkan hasil. Gas metan adalah salah satu gas yang berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber energi yang jika diolah dengan baik dapat memenuhi kebutuhan energi listrik untuk lingkungan di sekitar TPA.

Pengelolaan air lindi di TPA Jetis juga belum memadai, sehingga air lindi dari sampah hanya ditampung dan disaring saja, belum ada pengolahan lebih lanjut. Air Lindi adalah cairan yang dikeluarkan dari sampah akibat proses degradasi biologis. Lindi juga dapat pula didefinisikan sebagai air atau cairan lainnya yang telah tercemar sebagai akibat kontak dengan sampah (Rustiawan et al., 1993). Alir indi ini dapat mencemari lingkungan khususnya lingkungan perairan, baik air permukaan maupun air tanah dangkal. Terbentuknya air lindi merupakan hasil dari proses infiltrasi air hujan, air tanah, air limpasan atau air banjir yang menuju dan melalui lokasi pembuangan sampah Nemerow dan Dasgupta , 1991). Dampak yang ditimbulkan air lindi pada lingkungan sekitar diantaranya menambah beban pencemaran bagi perairan umum disekitarnya, bau tidak sedap, munculnya bibit penyakit, dan rusaknya lahan pertanian. Air lindi yang tidak diolah dan dilepas di badan air menyebabkan kualitas air tanah menjadi terkontaminasi dan tercemar sehingga tidak layak digunakan sebagai air bersih. Karakteristik sampah sangat mempengaruhi terbentuknya air lindi. Sebagian besar sampah yang masuk ke TPA Jetis adalah sampah organik sehingga sangat berpotensi menghasilkan air lindi yang cukup pekat. Pengolahan air lindi seharusnya dengan dialirkan dalam kolam IPAL dan selanjutnya dilakukan penanganan terhadap limbah cair. Berikut ini adalah desain untuk IPAL untuk TPA yang ada pada jurnal Evaluasi Instalasi Pengolahan Lindi TPA (Hardyanti 2009).

Air lindi dari landfill dialirkan pada bak penampung wetland dan kemudian masuk ke bak maturasi dan dilanjutkan ke bak fakultatif kemudian masuk ke bak anaerobik. Bak wetland adalah bak penampungan air lindi yang telah dialirkan dari landfill. Pada bak maturasi terjadi tahapan proses untuk menyiapkan karakteristik limbah agar sesuai untuk penanganan sekunder secara mikrobial. Pada bak maturasi ini air limbah yang masih mengandung padatan terlarut akan mengendap dan menghasilkan sludge. Tahapan selanjutnya air limbah masuk ke bak fakultatif, pada bak fakultatif ini terjadi proses degradasi dan detoksifikasi oleh mikroorganisme fakultatif. Selanjutnya masuk ke bak anaerobik untuk lebih menyempurnakan proses secara biologis dengan menggunakan mikroorganisme anaerob. Pada bak anaerobic ini terjadi

pendegradasian limbah yang mengandung senyawa-senyawa kompleks seperti amonia, nitrit, sulfida dan polutan organik lainnya. Pada bak aerobik ini dilakukan analisa untuk mengetahui mutu effluent air sebelum dilepaskan ke badan air. Analisis yang dilakukan adalah pengukuran pH, TSS, minyak dan lemak dan BOD, effluent harus sesuai dengan standar yang telah ada. Berikut adalah Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003 Tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik. Parameter pH BOD TSS Minyak dan lemak Satuan mg/l mg/l mg/l Kadar maksimum 6-9 100 100 10

Pemanfaatan hasil pengolahan air lindi di TPA Jetis saat ini masih belum ada, namun jika pengolahan air lindi sudah berjalan dengan bagus, produk samping hasil olahan aerasi berupa endapan yang mengandung logam mikro berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pupuk cair. Pupuk cair hasil dari pengolahan air lindi ini sudah dibuktikan dapat menyuburkan tanaman holtikultura dan mempunyai nilai tambah cukup tinggi jika dikomersialisasikan.

Permasalahan Limbah B3 di Kabupaten Purworejo Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain. Sumber limbah B3 diantaranya adalah industri dan rumah sakit atau sarana kesahatan lainnya. Limbah B3 dari industri biasanya telah memiliki penanganan dengan jasa pengelola limbah B3. Penanganan sampah medis di Kabupaten Purworejo masih sebatas dilakukan insenerasi untuk memusnahkan sampah medis tersebut. Untuk penanganan sampah medis di Purworejo, terdapat insenerasi di RSUD Saras Husada yang menampung sampah medis dari rumah sakit dan puskemas. Alat insenerasi lainnya yang digunakan untuk sampah medis adalah milik DKK yang ukurannya lebih besar. Sampah medis yang dimusnahkan setiap minggunya mencapai 2 kuintal. Jumlah ini dirasa tidak sebanding dengan jumlah rumah sakit dan unit pelayanan kesehatan di Purworejo. Beberapa puskesmas dan Rumah sakit masih ada yang membuang limbah medis seperti botol infus, selang infus, jarum suntik dan alatnya di TPA. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) tidak dapat begitu saja ditimbun, dibakar atau dibuang ke lingkungan , karena mengandung bahan yang

dapat membahayakan manusia dan makhluk hidup lain. Limbah ini memerlukan cara penanganan yang lebih khusus dibanding limbah yang bukan B3. Limbah B3 perlu diolah, baik secara fisik, biologi, maupun kimia sehingga menjadi tidak berbahaya atau berkurang daya racunnya. Setelah diolah limbah B3 masih memerlukan metode pembuangan yang khusus untuk mencegah resiko terjadi pencemaran. Limbah Medis dan Penanganannya Limbah B3 yang ada di Kabupaten Purworejo sebagian besar adalah limbah medis yang berasal dari Rumah Sakit. Industri di Purworejo jumlahnya sangat sedikit, dan kebanyakan adalah home industri yang mengolah makanan, sehingga tidak menghasilkan limbah B3. Satu-satunya industri yang menghasilkan limbah B3 adalah PT Antam, namun PT Antam memiliki insenerator untuk memusnahkan limbah B3 yang dihasilkan. Limbah medis yang berasal dari rumah sakit membutuhkan beberapa penanganan khusus karena dianggap berbahaya dan berpotensi untuk menularkan penyakit. Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis. Limbah medis sangat penting untuk dikelola secara benar, hal ini mengingat limbah medis termasuk kedalam kategori limbah berbahaya dan beracun. Sebagian limbah medis termasuk kedalam kategori limbah berbahaya dan sebagian lagi termasuk kategori infeksius. Limbah medis berbahaya yang berupa limbah kimiawi, limbah farmasi, logam berat, limbah genotoxic dan wadah bertekanan masih banyak yang belum dikelola dengan baik. Sedangkan limbah infeksius merupakan limbah yang bisa menjadi sumber penyebaran penyakit baik kepada petugas, pasien, pengunjung ataupun masyarakat di sekitar lingkungan rumah sakit. Limbah infeksius biasanya berupa jaringan tubuh pasien, jarum suntik, darah, perban, biakan kultur, bahan atau perlengkapan yang bersentuhan dengan penyakit menular atau media lainnya yang diperkirakan tercemari oleh penyakit pasien. Pengelolaan lingkungan yang tidak tepat akan beresiko terhadap penularan penyakit. Beberapa resiko kesehatan yang mungkin ditimbulkan akibat keberadaan rumah sakit antara lain: penyakit menular (hepatitis,diare, campak, AIDS, influenza), bahaya radiasi (kanker, kelainan organ genetik) dan resiko bahaya kimia. Limbah medis adalah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan, gigi, veterinari, farmasi atau sejenis, pengobatan, perawatan, penelitian atau pendidikan yang menggunakan bahan-bahan beracun, infeksius berbahaya atau bisa membahayakan kecuali jika dilakukan pengamanan tertentu. Bentuk limbah medis bermacam-macam dan berdasarkan potensi yang terkandung di dalamnya dapat

dikelompokkan menjadi limbah benda tajam, limbah infeksinus, jaringan tubuh, limbah radioaktif, limbah sikotoksik, limbah kimia, dan limbah plastic. Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, pisau bedah. Semua benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau radioaktif. Limbah infeksius mencakup limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif). Limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit menular. Limbah jaringan tubuh meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh, biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau otopsi. Limbah sitotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksik. Limbah yang terdapat limbah sitotoksik didalamnya harus dibakar dalam incinerator dengan suhu diatas 1000oc Limbah farmasi ini dapat berasal dari obat-obat kadaluwarsa, obat-obat yang terbuang karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat-obat yang dibuang oleh pasien atau dibuang oleh masyarakat, obat-obat yang tidak lagi diperlukan oleh institusi yang bersangkutan dan limbah yang dihasilkan selama produksi obat-obatan. Limbah kimia adalah limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan medis, veterinari, laboratorium, proses sterilisasi, dan riset. Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radio nukleida. Limbah ini dapat berasal dari antara lain : tindakan kedokteran nuklir, radio-imunoassay dan bakteriologis; dapat berbentuk padat, cair atau gas. Limbah cair yang dihasilkan rumah sakit mempunyai karakteristik tertentu baik fisik, kimia dan biologi. Limbah plastik adalah bahan plastik yang dibuang oleh klinik, rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lain seperti barang-barang dissposable yang terbuat dari plastik dan juga pelapis peralatan dan perlengkapan medis. Metoda yang digunakan untuk megolah dan membuang sampah medis tergantung pada faktor-faktor khusus yang sesuai dengan institusi yang berkaitan dengan peraturan yang berlaku dan aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap masyarakat. Teknik pengolahan sampah medis (medical waste) yang mungkin diterapkan adalah : Incinerasi Sterilisasi dengan uap panas/ autoclaving (pada kondisi uap jenuh bersuhu 121 C)

Sterilisasi dengan gas (gas yang digunakan berupa ethylene oxide atau formaldehyde) Desinfeksi zat kimia dengan proses grinding (menggunakan cairan kimia sebagai desinfektan) Inaktivasi suhu tinggi Radiasi (dengan ultraviolet atau ionisasi radiasi seperti 60o C) Microwave treatment Grinding dan shredding (proses homogenisasi bentuk atau ukuran sampah) Pemampatan/pemadatan, dengan tujuan untuk mengurangi volume yang terbentuk.

Metode pengolahan limbah B3 yang paling sering digunakan adalah insenerasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan apabila insenerator akan digunakan di rumah sakit antara lain ukuran, desain, kapasitas yang disesuaikan dengan volume sampah medis yang akan dibakar dan disesuaikan pula dengan pengaturan pengendalian pencemaran udara, penempatan lokasi yang berkaitan dengan jalur pengangkutan sampah dalam kompleks rumah sakit dan jalur pembuangan abu, serta perangkap untuk melindungi incinerator dari bahaya kebakaran. Keuntungan menggunakan incinerator adalah dapat mengurangi volume sampah, dapat membakar beberapa jenis sampah termasuk sampah B3 (toksik menjadi non toksik, infeksius menjadi non infeksius), lahan yang dibutuhkan relatif tidak luas, pengoperasinnya tidak tergantung pada iklim, dan residu abu dapat digunakan untuk mengisi tanah yang rendah. Sedangkan kerugiannya adalah tidak semua jenis sampah dapt dimusnahkan terutama sampah dari logam dan botol, serta dapat menimbulkan pencemaran udara bila tidak dilengkapi dengan pollution control berupa cyclon (udara berputar) atau bag filter (penghisap debu). Hasil pembakaran berupa residu serta abu dikeluarkan dari incinerator dan ditimbun dilahan yang rendah. Sedangkan gas/pertikulat dikeluarkan melalui cerobong setelah melalui sarana pengolah pencemar udara yang sesuai. Pengolahan limbah B3 yang paling cocok dan mungkin diterapkan di Kabupaten Purworejo adalah dengan insenerasi, namun yang perlu diperhatikan adalah penanganan limbah sebelum diinsenerasi yaitu ketika pemilahan untuk mencegah bercampurnya limbah B3 dengan limbah domestik lainnya. Pemerintah seharusnya dapat memfasilitasi penanganan limbah dengan baik mengingat hal ini sangat erat hubungannya dengan kebersihan dan kesehatan masyarakat. Anonim. 2013. TPA Jetis. http://fokusp.blogspot.com/2013/01/purworejodapat-bantuan-alat-pengolah.html [ 2 Desember 2013] Nemerow, N.L. dan A. Dasgupta. 1991. Industrial and Hazardous Waste Treatment.
Van Nostrand Reinhold, New York. 743 p

Rustiawan, A. I. Ekayanti dan T. Riani. 1993. Kandungan Logam Berat Timah Hitam pada Sayuran di Sekitar Lokasi Pembuangan Akhir Sampah Akhir (LPA) Kapuk Kamal, Cengkareng, Jakarta. Laporan Penelitian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Hardyanti N, Huboyo HS. 2009. Evaluasi Instalasi Pengolahan Lindi. Jurnal PRESIPITASI

Anda mungkin juga menyukai