Anda di halaman 1dari 2

Rencana Strategis Bank BUMN

Oleh Sabaruddin Siagian Senin, 26 September 2005

Kalau saja pemerintah, khususnya Kementerian Negara BUMN, mengetahui persis rencana strategis bank-bank BUMN dalam konteks Arsitektur Perbankan Indonesia (API), maka sebenarnya pro-kontra rencana merger dan akuisisi BTN oleh BNI tidak seharusnya berkepanjangan dan menguras energi bangsa ini. Pada dasarnya, rencana merger dan akuisisi sebuah bank harus mengacu pada kriteria bank jangkar, memberikan kontribusi memperkuat setiap strata bank di API serta penguatan bisnis bank tersebut. Sekarang, marilah kita membahas satu per satu rencana strategis bank BUMN. Bank Mandiri adalah bank terbesar di industri perbankan nasional, baik dilihat dari sisi modal maupun aset bank. Karena Bank Mandiri memiliki modal terbesar, Rp 25 triliun, dan infrastrukturnya pun paling besar, maka sangat wajar Bank Mandiri diproyeksikan masuk strata bank internasional, dengan syarat modal minimum Rp 50 triliun. Untuk memperkuat bisnisnya dan untuk mencapai strata bank internasional, dapat saja Bank Mandiri melakukan strategi pertumbuhan an-organik, melakukan merger atau akuisisi dengan bank lainnya. Hanya saja, untuk melakukan merger atau akuisisi tersebut, Bank Indonesia (BI) telah membuat aturan main harus memenuhi kriteria bank jangkar. Kriteria bank jangkar tersebut, antara lain memiliki rasio kecukupan modal 12 persen, rasio return on asset (ROA) minimum 1,5 persen, pertumbuhan kredit minimum 22 persen, loan deposit ratio (LDR) minimum 50 persen. Selanjutnya, memiliki rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) di bawah 5 persen, merupakan perusahaan terbuka berencana go public dalam waktu dekat, dan memiliki kemampuan menjadi konsolidator. Hanya masalahnya, Bank Mandiri saat ini menghadapi kasus kredit macet dan mengalami peningkatan kredit bermasalah akibat penerapan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Tentunya, dengan besarnya peningkatan kredit bermasalahnya, sungguh sulit Bank Mandiri memenuhi kriteria bank jangkar. Pada Juni 2005, NPL netto Bank Mandiri masih mencapai 15,4 persen dan laba bersihnya anjlok sampai 80 persen. Otomatis kinerja keuangan Bank Mandiri untuk mencapai kriteria bank jangkar sungguh sulit dicapai. Pihak Bank Mandiri sadar betul dengan hal itu, maka sampai dengan akhir tahun 2007, Bank Mandiri tidak merencanakan melakukan akuisisi dan merger. Tetapi, Bank Mandiri masih fokus pada strategi bisnisnya, lima Strategi pilarnya. Tujuannya, untuk menyelesaikan kredit bermasalah dan melakukan konsolidasi bisnis corporate banking. Kemudian, meningkatkan penerapan tata-kelola perusahaan (good corporate governance) dan meningkatkan efisiensi bank. Bagaimana dengan BNI? Dengan modal yang dimilikinya, Rp 11,61 triliun, BNI masuk strata bank nasional. Dan, rencananya, pihak BNI tidak berkeinginan masuk strata bank internasional. Dengan demikian pemerintah tidak perlu mendorong BNI melakukan merger untuk memperoleh strata bank yang diinginkankannya. Untuk memperkuat bisnisnya, BNI tidak salah melakukan merger atau akuisisi dengan bank ritel yang universal, tetapi bukan dengan bank fokus pada segmen tertentu seperti BTN. Hanya sebelum melakukan merger dan akuisisi, BNI harus memenuhi dulu kriteria bank jangkar. Kalau sudah memenuhi kriteria tersebut, baru BNI berhak mengajukan proposal ke pemerintah dan BI untuk melakukan merger atau akuisisi. Sebaliknya, kalau belum memenuhi kriteria bank jangkar, sebaiknya BNI perlu bekerja keras. Masalah yang sangat serius yang dihadapi BNI - untuk memenuhi kriteria bank jangkar - sama seperti Bank Mandiri, yakni kredit bermasalah dalam jumlah besar

dan kasus kredit macet yang melilitnya. Kredit bermasalah netto BNI saat ini telah mencapai sebesar 7,84 persen. Begitu juga laba bersih BNI per Juni 2005 menurun tajam, sebesar 40 persen. Penurunan laba bersih tersebut diperkirakan masih berlanjut seiring dengan penerapan PBI Nomor 7/2/2005 dan kebijakan moneter ketat yang diambil BI. Dengan besarnya kredit bermasalah yang dimilikinya, otomatis paling tidak dalam jangka pendek ini, kinerja keuangan BNI tidak mendukung untuk memenuhi kriteria bank jangkar. Bank BUMN yang paling siap untuk memenuhi kriteria bank jangkar adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Semua kriteria bank jangkar yang disebutkan di atas hampir semua dapat dicapai oleh BRI. Dengan modal yang dimilikinya, sebesar Rp 12,42 triliun, BRI masuk strata bank nasional. Di dalam rencananya, BRI juga tidak berkeinginan masuk strata bank internasional, tetapi tetap fokus dalam pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kalau ada rencana untuk menggeluti pembiayaan segmen masyarakat perkotaan, BRI memang dapat melakukan merger dan akuisisi dengan bank ritel yang universal. Tetapi, sebaiknya BRI tetap berkonsentrasi pada pembiayaan UMKM, karena di segmen inilah BRI memeroleh daya saing yang tinggi dan sangat berkontribusi dalam pembiayaan perekonomian pedesaan. Layakkah merger BRI dengan BTN? Dari sisi penguatan bisnis, merger kedua bank tersebut tidak layak, karena BRI memerlukan bank universal yang paham terhadap pembiayaan segmen masyarakat perkotaan, bukan seperti BTN yang hanya fokus pada pembiayaan perumahan sederhana saja. Dari sisi pembiayaan perekonomian nasional, sebaiknya pemerintah tetap mempertahankan peranan setiap bank BUMN dalam pembiayaan setiap sektor perekonomian. Artinya, biarlah BRI tetap berkonsentrasi dengan pembiayaan UMKMnya, sedangkan BTN tetap berkonsentrasi pada pembiayaan perumahan sederhananya. Apabila kedua bank dimerger, terlalu besar risikonya terhadap perekonomian dan terlalu besar beban BRI dalam menjalankan pembiayaan dua sektor perekonomian. Terakhir, untuk BTN. Dengan modal yang dimilikinya, Rp 1,3 triliun, dan fokus bisnis pembiayaan perumahan sederhana, BTN harus diberi "hak hidup" di industri perbankan nasional, dengan masuk strata bank yang fokus pembiayaan bidang ini. Untuk meningkatkan peranannya dalam pembiayaan perumahan sederhana, khususnya untuk mendukung gerakan nasional pembangunan sejuta rumah (GNPSR), sebaiknya pemerintah mendorong BTN untuk menawarkan saham perdananya ke publik (initial public offering/IPO). Dengan melakukan IPO, terbukalah kesempatan BTN mendapatkan sumber penambahan modal dalam jumlah besar. Caranya, dengan melakukan right issue secara berkesinambungan dan menerbitkan obligasi subordinasi (sub-ordinated debt). Dengan demikian, secara otomatis BTN akan terkelola semakin baik. *** Penulis praktisi perbankan, alumnus Pascasarjana Universitas Pancasila, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai