Anda di halaman 1dari 2

ERITROPOIETIN

Eritropoietin, suatu glikoprotein dengan berat molekul 34-39 DA, merupakan fatror pertumbuhan hematopoietik yang pertama kali diisolasi. Eritropoietin merupakan faktor pertumbuhan sel darah merah yang diproduksi terutama oleh ginjal dalam sel peritubuler dan tubuli proksimalis. Dalam jumlah kecil eritropoietin juga diproduksi oleh hati. Untuk kepentingan pengobatan eritropoietin diproduksi sebagai rekombinan eritropoietin manusia yang disebut epoetin alfa. Farmakodinamik Eritropoietin berinteraksi dengan reseptor eritropoietin pada permukaan sel induk sel darah merah, menstimulasi proliferasi dan diferensiasi eritroid. Eritropoietin juga menginduksi pelepasan retikulosit dari sumsum tulang. Eritropoietin endogen diproduksi oleh ginjal sebagai respons terhadap hipoksia jaringan. Bila terjadi anemia maka eritropoietin diproduksi lebih banyak oleh ginjal, dan hal ini merupakan tanda bagi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah lebih banyak. Keadaan anemia dapat diperbaiki bila respons sumsum tulang tidak terganggu oleh adanya defisiensi zat gizi (terutama defisiensi besi), atau oleh adanya gangguan atau penekanan sumsum tulang (misalnya anemia aplastik, leukemia, mieloma multipel). Kadar eritropoietin serum umumnya berbanding terbalik dengan kadar hematokrit atau hemoglobin. Pada pasien tidak anemis kadar eritropoietin serum kurang dari 20 IU/L, tetapi pada keadaan anemia berat dapat mencapai kadar 100-500 IU/L atau lebih. Akan tetapi pada anemia akibat penyakit ginjal seperti gagal ginjal kronik, kadar eritropoietin umumnya rendah karena ginjal tidak dapat memproduksi eritropoietin. Farmakokinetik Setelah pemberian intravena masa paruh eritropoietin pada pasien gagal ginjal kronik sekitar 4-13 jam. Eritropoietin tidak dikeluarkan melalui dialisis. Darbopoietin alfa merupakan eritropoietin bentuk glikosilasi memiliki masa paruh 2-3 kali eritropoietin. Indikasi

Eritropoietin terutama diindikasikan untuk anemia pada pasien gagal ginjal kronik. Pada pasien ini pemberian eritropoietin umumnya meningkatkan kadar hematokrit dan hemoglobin, dan mengurangi/menghindarkan kebutuhan transfusi. Peningkatan jumlah retikulosit umumnya terlihat dalam sekitar 10 hari, dan peningkatan kadar hematokrit sekitar 35% dapat dipertahankan dengan pemberian eritropoietin 50150 IU/kg secara intravena atau subkutan tiga kali seminggu. Pemberian secara subkutan umumnya lebih disenangi karena absorpsinya lebih lambat dan jumlah yang dibutuhkan berkurang 20-40%. Respons pasien dialisis terhadap pemberian eritropoietin tergantung pada beratnya kegagalan ginjal, dosis eritropoietin dan cara pemberian, serta keberadaan besi. Kegagalan respons paling sering disebabkan oleh adanya defisiensi besi, yang dapat diatasi dengan pemberian preparat besi secara oral. Pasien yang mendapat eritropoietin harus dimonitor ketat, dan dosis perlu disesuaikan agar peningkatan hematokrit terjadi secara bertahap untuk mencapai 33-36% dalam waktu 24 bulan. Kadar hematokrit yang dicapai dianjurkan tidak melebihi 36% untuk menghindari kemungkinan infark miokard. Umumnya pasien anemia akibat gangguan primer atau sekunder pada sumsum tulang kurang memberikan respons terhadap pemberian eritropoietin. Respons paling baik bila kadar eritropoietin kurang dari 100 IU/L. Umumnya untuk pasien ini dibutuhkan dosis lebih tinggi, sekitar 150-300 IU/L tiga kali seminggu, dan responsnya biasanya tidak terlalu baik. Efek Samping Yang paling sering adalah bertambah beratnya hipertensi yang dapat terjadi pada sekitar 20-30% pasien, dan paling sering akibat peningkatan hematokrit yang terlalu cepat. Meskipun masih kontroversial dilaporkan peningkatan tendensi trombosis pada pasien dialisis.

Daftar Pustaka Gunawan, Sulistia Gan et al. 2009. Farmakologi FKUI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai