Anda di halaman 1dari 21

ANEMIA HEMOLITIK

1. PENDAHULUAN
Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin atau
kadar hematokrit dalam darah tepi dibawah nilai-nilai normal berdasarkan umur dan
jenis kelamin penderita sehingga kemampuan darah untuk memberikan oksigen ke
jaringan berkurang.1
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity).
Anemia hanyalah sekumpulan gejala yang disebabkan oleh berbagai penyebab. Pada
dasarnya anemia disebabkan oleh gangguan pembentukaan eritrosit oleh sumsum
tulang, kehilangan darah keluar dari tubuh (perdarahan), dan proses penghancuran
eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya.2
Tabel 1 Nilai Ambang Batas Pemeriksaan Hemoglobin

Kelompok
Kelamin

Umur

Darah tali pusat


Hari pertama
2 3 bulan
6 bulan 6 tahun
6 tahun 14 tahun
Sumber : dikutip dari kepustakaan no. 1

Jenis Konsentrasi Hemoglobin (<g/dl)


13,5 20,5
15,0 23,5
9,0 12,5
11,0 14,5
12,0 15,5

2. DEFINISI
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan karena kecepatan
penghancuran sel darah merah (eritrosit) lebih besar dari pada normal. Pada anemia
1

hemolitik, umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal umur eritrosit 100-120 hari).
Pada anemia hemolitik, keadaan anemi terjadi karena meningkatnya penghancuran
dari sel eritrosit yang diikuti dengan ketidakmampuan dari sumsum tulang dalam
memproduksi eritrosit. Untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel
eritrosit tersebut, penghancuran sel eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan
terjadinya hiperplasia sumsum tulang sehingga produksi sel eritrosit akan meningkat
dari normal. Hal ini terjadi bila umur eritrosit berkurang dari 120 hari menjadi 15-20
hari tanpa diikuti dengan anemia. Namun bila sumsum tulang tidak mampu
mengatasi keadaan tersebut maka akan terjadi anemia.1,3,4
Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi dikenal dengan hemolisis yang
dapat disebabkan karena gangguan pada sel darah merah itu sendiri yang
memperpendek umurnya (intrinsik) atau perubahan lingkungan yang menyebabkan
penghancuran eritrosit (ekstrinsik).5
3. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
Penyakit anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:
1. Golongan dengan penyebab hemolisis yang terdapat dalam eritrosit sendiri.
Umumnya peneyebab hemolisis ini adalah kelainan bawaan (kongenital).
2. Golongan dengan penyebab hemolisis ekstraseluler. Biasanya penyebabnya
merupakan faktor yang didapat (acquired).3
3.1. Gangguan intrakorpuskular (kongenital)
Kelainan ini umumnya disebabkan karena adanya gangguan metabolisme
dalam eritrosit itu sendiri. Keadaan ini dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:
2

1. Gangguan pada struktur dinding eritrosit


Gangguan pada struktur dinding eritrosit terbagi menjadi:
a. Sferositosis
Kelainan kongenital ini sering terjadi pada orang Eropa Barat. Biasanya pada
penyakit ini dapat ditemukan riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama.
Sferositosis terbagi menjadi 4 berdasarkan hasil laboratorium, yaitu sferositosis
asimptomatik, sferositosis ringan, sferositosis sedang, dan sferositosis berat.
Hemolisis
Pada

diduga

anak

disebabkan

gejala

karena

anemia

kelainan

lebih

protein

menyolok

membran
dibanding

eritrosit.
ikterus.

Gambar 1. Klasifikasi sferositosis dan indikasi splenektomi

Sumber : dikutip dari kepustakaan no. 15

Gambar 2. Parameter diagnostik sferositosis


Sumber : dikutip dari kepustakaan no. 15
Pengobatan direkomendasikan untuk sferositosis sedang dan berat,yaitu
dengan terapi asam folat, observasi rutin dan pemeriksaan darah rutin. Splenektomi
diindikasikan untuk anak dengan sferositosis sedang dan berat yang berusia diatas 6
tahun dan/atau sebelum memasuki usia pubertas. Namun perlu dilakukan vaksinasi
pre-splenektomi dan kontrol rutin post splenektomi untuk mencegah terjadinya sepsis
post splenektomi. Komplikasi dari sferositosis adalah terjadinya krisis aplastik dan
gagal tumbuh pada beberapa kasus.3,15
b. Ovalositosis (eliptositosis)
Pada penyakit ini 50-90% eritrositnya berbentuk oval, rigid, dan resisten
terhadap invasi parasit penyebab malaria, serta diturunkan menurut hukum Mendel.
Kelainan ini terjadi akibat delesi pada gen SLC4A1 yang mengkode eritrosit band-3.

Mutasi ini menyebabkan delesi 9 asam amino dan rigiditas pada sel eritrosit. Pasien
dengan bentuk gen heterozigot umumnya tidak bergejala. Hemolisis yang terjadi
tidak seberat sferositosis, konsentrasi Hb, dan nilai retikulosit biasanya normal.3,16,17
Splenektomi biasanya dapat mengurangi hemolisis.3
c. A-beta lipoproteinemia
Pada penyakit ini terjadi kelainan bentuk eritrosit. Diduga kelainan bentuk ini
disebabkan oleh kelainan komposisi lemak pada dinding sel. Pada kelainan ini
ditemukan hasil laboratorium yang menunjukkan anemia ringan (Hb 10,8 g/dl),
peningkatan ringan retikulosit (sekitar 3,6%), polikromasi dan poikilositosis.3,18
d. Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah, misalnya pada
panmielopati tipe Fanconi. Panmielopati tipe Fanconi merupakan kelainan autosomal
resesif yang dikaitkan dengan instabilitas kromosom. Penyakit ini ditandai dengan
adanya kegagalan sumsum tulang, malformasi congenital, dapat berupa malformasi
skeletal, hiperpigmentasi, mikrophtalmia, dan anomali jantung, serta merupakan
faktor predisposisi terjadinya AML (Acute Myeloblastic Leukemia). 3,19
2. Gangguan enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam eritrosit
Setiap gangguan metabolisme dalam eritrosit akan menyebabkan umur
eritrosit menjadi pendek dan timbul anemia hemolitik.
a. Defisiensi glucose-6-Phosphate-Dehydrogenase(G-6PD)
Defisiensi G-6PD ditemukan pada berbagai bangsa di dunia.Kekurangan
enzim ini menyebabkan glutation tidak tereduksi. Glutation dalam keadaan tereduksi
5

diduga penting untuk melindungi eritrosit dari setiap oksidasi, terutama obat-obatan.
Penyakit ini diturunkan secara dominan melalui kromosom X. Proses hemolitik dapat
timbul akibat obat-obatan misalnya asetosal, piramidon, obat anti malaria, memakan
kacang fava, infeksi, dan pada bayi baru lahir. Pada defisiensi G6PD kadar NADPH
berkurang, sehingga adanya paparan terhadap stress oksidan akan mempengaruhi
pembentukan ikatan disulfide, mengakibatkan hemoglobin mengalami denaturasi dan
membentuk partikel kental (Heinz bodies). Heinz bodies akan berikatan dengan
membran sel, menyebabkan perubahan isi, elastisitas, dan permeabilitas sel. Sel darah
merah pada kondisi tersebut dikenali sebagai sel darah merah yang rusak dan akan
dihancurkan oleh sistem retikulo-endotelial (lien, hepar dan sumsum tulang). Jika
proses ini terjadi sangat berat akan mengakibatkan hemolisis, sementara bila terjadi
lebih ringan tetapi stres oksidan tidak dapat terkompensasi maka akan mengurangi
kemampuan eritrosit dan menyebabkan eritrosit akan dikeluarkan dari sirkulasi ke
sistem retikuloendotelial kemudian akan dihancurkan. Meskipun gen G6PD terdapat
pada semua jaringan tubuh, tetapi efek defisiensi dalam eritrosit pengaruhnya sangat
besar karena enzim G6PD diperlukan dalam menghasilkan energi untuk mempertahan
umur eritrosit, membawa oksigen, regulasi transport ion dan air kedalam dan keluar
sel, membantu pembuangan karbondioksida dan proton yang terbentuk pada
metabolisme jaringan. Karena tidak ada mitokondria di dalam eritrosit maka oksidasi
G6PD hanya bersumber dari NADPH, bila kadar enzim G6PD menurun, eritrosit
mengalami kekurangan energi dan perubahan bentuk yang memudahkan mengalami
lisis bila ada stres oksidan.3,20
6

b. Defisiensi glutathione reductase


Glutathione reductase memiliki peran penting dalam melindungi hemoglobin,
sel darah merah, dan membran sel dari kerusakan akibat proses oksidatif dengan cara
meningkatkan kadar reduced glutathione (GSSGR) dalam proses glikolisis aerob.
Defisiensi enzim ini disebabkan oleh bebserapa kondisi seperti malnutrisi, luka bakar
berat, infeksi HIV, dan diabetes tipe 1 dan 2. Enzim glutathione reductase melindungi
eritrosit dari paparan hidrogen peroksida yang mungkin berasal dari intrasel atau
ekstrasel, seperti makrofag yang terstimulasi, atau dari bakteri patogen dan parasit
malaria. Kadang kondisi ini disertai trombositopenia dan leukopenia.3,21
c. Defisiensi glutation
Penyakit ini diturunkan secara resesif dan jarang ditemukan.
d. Defisiensi piruvat kinase
Defisiensi piruvat kinase merupakan abnormalitas enzim yang paling sering
terjadi pada jalur glikolisis yang menyebabkan terjadinya anemia hemolitik nonsferositosis. Kelainan ini diturunkan secara autosomal resesif, pada bentuk homozigot
terjadi lebih berat. Derajat anemia bervariasi, mulai dari anemia sangat ringan atau
terkompensasi penuh sampai anemia yang mengancam jiwa yang membutuhkan
transfusi berkelanjutan. Hasil laboratorium menunjukkan kadar Hb berkisar antara 37 g/dl pada pasien yang telah dilakukan splenektomi, dan 8-9 g/dl pada pasien yang
belum dilakukan splenektomi. Kadar retikulosit biasanya meningkat, kadar bilirubin I
7

meningkat <85mol/L. Morfologi sel darah merah umumnya anisositosis,


poikilositosis, dan polikromatofilia. Diagnosis berdasarkan rendahnya aktivitas enzim
piruvat kinase. Tidak ada terapi spesifik untuk kelainan ini. 3,24
e. Defisiensi Triose Phosphate Isomerase
Gejala mirip dengan sferositosis, tetapi tidak terdapat fragilitas osmotik dan
hasil darah tepi tidak ditemukan sferositosis. Pada keadaan homozigot terjadi lebih
berat dan bayi akan meninggal di tahun pertama kehidupannya.
3. Hemoglobinopati
Hemoglobin orang dewasa normal terdiri dari HbA yang merupakan 98% dari
seluruh hemoglobinnya. HbA2 tidak lebih dari 2% dan HbF tidak lebih dari 3%. Pada
bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobinnya (95%), kemudian
konsentrasi HbF akan menurun, sehingga pada umur 1 tahun akan mencapai keadaan
normal. Terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan hemoglobin yaitu:
a. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin
Kelainan hemoglobin ini ditentukan oleh adanya kelainan genetik yang dapat
mengenai HbA, HbA2 atau HbF. Pada penyakit ini terjadi pergantian asam amino
dalam rantai polipeptida pada tempat-tempat tertentu atau tidak adanya asam amino
atau beberapa asam amino pada tempat-tempat tersebut. Kelainan yang paling sering
terjadi pada rantai dan .
b. Gangguan jumlah salah satu atau beberapa rantai globin misalnya talasemia.
Talasemia merupakan kelainan genetik yang diturunkan secara autosomal
resesif. Kelainan ini tersebar luas di dunia dan banyak ditemukan di daerah
8

Mediterania, Afrika, Timur Tengah, India, Burma dan Asia Tenggara. Di Indonesia,
talasemia merupakan penyakit terbanyak di antara golongan anemia hemolitik dengan
penyebab intrakorpuskuler. Secara klinis talasemia dibagi menjadi 4 golongan yaitu
thalassemia mayor, intermedia dan minor serta thalassemia minima yang tidak
memberikan gejala. Gejala klinis thalassemia mayor antara lain anemia berat sejak
usia dini dan ikterus. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai hepatosplenomegali dan
kardiomegali. Tampak pula deformitas tulang terutama pada tulang ceper
seperti pada tulang wajah, tulang frontal, parietal, zigomatikus dan
maksila menonjol hingga gigi-gigi atas nampak dan pangkal hidung
depresi yang memberikan penampakan sebagai facies Cooley. Kelainan
ini

timbul

akibat

hipsserplasia

eritropoiesis

dan

ekspansi

yang

meningkat,

sumsum

tulang

mengakibatkan
sehingga

timbul

deformitas pada tulang. Anemia berat menyebabkan pasien thalassemia mayor


dan penderita heterozigot ganda antara thalassemia dan hemoglobin varian seperti
thalassemia HbE membutuhkan transfusi berulang. 3,22
3.2. Gangguan ekstrakorpuskuler (acquired)
Gangguan ini biasanya didapat yang dapat disebabkan oleh:
1. Autoimun :
a. Warm antibody tipe, yakni suatu keadaan dimana tubuh membentuk
autoantibody yang bereaksi terhadap sel darah merah pada suhu lebih
dari 37C

b. Cold antibody tipe, yakni suatu keadaan dimana tubuh membentuk


autoantibody yang berekasi terhadap sel darah merah dalam suhu
ruangan atau suhu yang dingin.
2. Aloimun
Anemia hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang
disebabkan karena ketidaksesuaian ABO eritrosit (sebagai contoh transfuse PRC
golonga A pada pasien golongan darah O yang memilika antibody IgM anti-A
pada serum) yang akan memicu aktivitas komplemen dan terjadi hemolysis
intravascular yang akan menimbulkan DIC dan infark ginjal.
3. Non-Imun
Obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin, air), toksin
(hemolisin) Streptococcus, virus, malaria, luka bakar.3
4. EPIDEMIOLOGI
Sferositosis herediter merupakan anemia hemolitik yang sangat berpengaruh
di Eropa Barat, terjadi sekitar 1 dari 5000 individu. Sferositosis herediter paling
sering diturunkan secara dominan autosomal. Pada beberapa kasus, sferositosis
herediter mungkin disebabkan karena mutasi atau anomali sitogenik.6
Defisiensi G6PD dilaporkan di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi terjadi pada
daerah tropis dan subtropis. Telah dilaporkan lebih dari 350 varian. Ada banyak
variasi pada expresi klinis pada varian enzim. Di Indonesia insidennya diperkirakan
1-14%. 6
Talasemia merupakan sindroma kelainan darah herediter yang paling sering
terjadi di dunia, sangat umum terjadi di daerah yang sebagian besar wilayahnya
10

merupakan endemis malaria. Gen talasemia sangat luas tersebar dan kelainan ini
diyakini merupakan penyakit genetik manusia yang paling banyak. Di beberapa Asia
Tenggara sebanyak 40% dari populasi memiliki satu atau lebih gen talasemia.7
Insiden anemia hemolitik autoimun kira-kira 1 dari 80.000 populasi. Pada
perempuan predominan terjadi tipe idiopatik. Tipe sekunder terjadi peningkatan pada
umur 45 tahun dimana variasi idiopatik terjadi sepanjang hidup. 6,8
Kelainan hemolitik yang terpenting dalam praktek pediatrik adalah
eritroblastosis fetalis pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh transfer transplasenta
antibodi ibu yang aktif terhadap eritrosit janin, yaitu anemia hemolitik isoimun.9
5. PATOMEKANISME
Proses hematopoesis pada embrio janin terjadi di berbagai tempat, termasuk
hati, limpa, timus, kelenjar getah bening, dan sumsum tulang sejak lahir sepanjang
sisa hidupnya terutama di sumsum dan sebagian kecil di kelenjar getah bening. 10
Dalam keadaan normal, sel-sel darah merah yang sudah tua difagositosis oleh
sel-sel retikuloendotelial, dan hemoglobin diuraikan menjadi komponen-komponen
esensialnya. Besi yang didapat dikembalikan ke transferin untuk pembentukan sel
darah merah baru dan asam-asam amino dari bagian globin molekul dikembalikan ke
kompartemen asam amino umum. Cincin protoporfirin pada heme diuraikan di
jembatan alfa metana dan karbon alfanya dikeluarkan sebagai karbon monoksida
melalui ekspirasi. Tetrapirol yang tersisa meninggalkan sel retikuloendotelial sebagai
bilirubin indirek dan menjadi hati, tempat zat ini terkonjugasi untuk ekskresi di

11

empedu. Di usus, bilirubin glukoronida diubah menjadi urobilinogen untuk eksresi di


tinja dan urin.2,3
Hemolisis dapat terjadi intravaskuler dan ekstravaskuler. Pada hemolisis
intravaskuler, destruksi eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Sel-sel darah
merah juga dapat mengalami hemolisis intravaskuler disertai pembebasan
hemoglobin dalam sirkulasi. Tetramer hemoglobin bebas tidak stabil dan cepat terurai
menjadi dimer alfa-beta, yang berikatan dengan haptoglobulin dan disingkarkan oleh
hati. Hemoglobin juga dapat teroksidasi menjadi methemoglobin dan terurai menjadi
gugus globin dan heme. Sampai pada tahap tertentu, heme bebas dapat terikat oleh
hemopeksin dan atau albumin untuk selanjutnya dibersihkan oleh hepatosit. Kedua
jalur ini membantu tubuh menghemat besi untuk menunjang hematopoiesis. Apabila
haptoglobin telah habis dipakai, maka dimer hemoglobin yang tidak terikat akan di
eksresikan

oleh

ginjal

sebagai

hemoglobin

bebas,

methemoglobin,

atau

hemosiderin.2,11
Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskuler. Pada hemolisis
ekstravaskuler destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena
sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem
retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.2
Sejumlah bahan dan kelainan yang dapat menyebabkan destruksi prematur
eritrosit, yang paling jelas dan telah dipastikan adalah antibodi yang berkaitan dengan
anemia hemolitik. Ciri khas penyakit ini adalah dengan uji Coombs direk positif,
yang menunjukkan imunoglobulin atau komponen komplemen yang menyelubungi
12

permukaan eritrosit. Kelainan hemolitik yang terpenting dalam praktek pediatrik


adalah penyakit hemolitik bayi baru lahir (eritroblastosis fetalis) yang disebabkan
oleh transfer transplasenta antibodi ibu yang aktif terhadap eritrosit janin, yaitu
anemia hemolitik isoimun.2
Pada Eritroblastsis fetalis sering terjadi ketika ibu dengan Rh(-) mempunyai
anak dari seorang pria yang memiliki Rh(+). Ketika Rh bayi (+) seperti ayahnya,
masalah dapat terjadi jika sel darah merah si bayi dengan Rh(+), maka darah bayi
akan dianggap sebagai benda asing oleh tubuh ibu. Sistem imun ibu kemudian
menyimpan antibodi tersebut, dan pada kehamilan berikutnya, janin akan dianggap
sebagai benda asing oleh tubuh ibu sehingga sistem imun ibu akan menyerang sel
darah merah janin.9
Pada anemia hemolitik autoimun, antibodi abnormal menyerang eritrosit,
tetapi mekanisme patogenesisnya belum jelas. Autoantibodi mungkin dihasilkan oleh
respon imun yang tidak sesuai terhadap antigen eritrosit. Atau agen infeksi dengan
suatu cara mengubah membran eritrosit sehingga menjadi asing atau antigenik
terhadap hospes.2
6. DIAGNOSIS
Semua jenis anemia hemolitik ditandai dengan:
1. Peningkatan laju destruksi sel darah merah
2. Peningkatan kompensatorik eritropoiesis yang menyebabkan retikulositosis
3. Retensi produk destruksi sel darah merah oleh tubuh termasuk zat besi.

13

Karena zat besi dihemat dan mudah didaur ulang, regenerasi sel darah merah
dapat mengimbangi hemolisis. Oleh karena itu, anemia ini hampir selalu berkaitan
dengan hiperplasia eritroid di dalam sumsum tulang dan meningkatnya hitung
retikulosit di darah tepi. Apabila anemia berat dapat terjadi hematopoiesis
ekstramedularis di limpa, hati, dan kelenjar getah bening. Apapun mekanismenya,
hemolisis intravaskuler bermanifestasi sebagai hemoglobinemia, hemoglobinuria,
ikterus dan hemosiderinuria. 1,10,14
Gejala umum penyakit ini disebabkan oleh adanya penghancuran eritrosit dan
keaktifan sumsum tulang untuk mengadakan kompensasi terhadap penghancuran
tersebut. Peninggian kadar bilirubin akibat penghancuran eritrosit yang berlebihan
bergantung pada fungsi hepar sendiri. Sumsum tulang dapat membentuk sel
eritropoietik 6-8 kali lebih banyak daripada biasa, sehingga dalam darah tepi dijumpai
banyak sekali eritrosit berinti, jumlah retikulosit meninggi, dan polikromasi. Bahkan
sering terjadi eritropoiesis ekstrameduler. Kekurangan bahan sebagai pembentuk
seperti vitamin, protein dan lain-lain atau adanya infeksi dapat menyebabkan
gangguan pada keseimbangan antara penghancuran dan pembentukan sistem
eritropoietik, sehingga keadaan ini dapat menimbulkan krisis aplastik.3
Limpa umumnya membesar karena limpa menjadi tempat penyimpanan
eritrosit yang dihancurkan dan tempat pembuatan sel darah ekstrameduler. Pada
anemia hemolitik yang kronis terdapat kelainan tulang rangka akibat hiperplasia
sumsum tulang.3
6.1. Gejala klinik
14

Salah satu dari tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah
pucat. Keadaan ini umumnya diakibatkan karena berkurangnya volume darah,
berkurangnya hemoglobin dan vasokonstriksi untuk memaksimalkan pengiriman
O2 ke organ-organ vital. Dispneu, nafas pendek dan cepat lelah sewaktu melakukan
aktifitas jasmani merupakan manifestasi berkurangnya pengiriman O2. Sakit kepala,
pusing, pingsan dan tinitus (telinga berdengung) dapat mencerminkan berkurangnya
oksigenasi pada sistem saraf pusat.5
Penyakit hemolitik gejala-gejalanya dapat didasarkan atas 3 proses yang juga
merupakan bukti bahwa ada hemolisis 1
1. Kerusakan pada eritrosit
a. Fragmentasi dan kontraksi sel darah merah
b. Mikrosferosit
2. Katabolisme hemoglobin yang meninggi
a. Hiperbilirubinemia
b. Urobilinogenuria/ urobilinuri
c. Hemoglobinemia
d. Hemoglobinuri/ methemoglobinuri
e. Hemosiderinuri
f. Haptoglobin menurun
3. Eritropoesis yang meningkat (regenerasi sumsum tulang)
a. Darah tepi :
- Retikulositosis yang menandakan beratnya derajat hemolisis
15

- Normoblastemia/ eritroblastemia
b. Sumsum tulang
a. Hiperplasia eritroid
- Rasio myeloid : eritroid menurun/ terbalik
b. Hiperplasia sumsum tulang :
- Deformitas tulang (tengkorak dan panjang)
- Rasio myeloid : eritroid menurun/ terbalik
c. Eritropoiesis ekstramedular
- Splenomegali/ hepatomegali
d. Absorpsi Fe yang meningkat
6.2. Pemeriksaan fisis
- Tampak pucat dan ikterus
- Tidak ditemukan perdarahan dan limfadenopati
- Ditemukan hepatosplenomegali.1
6.3. Pemeriksaan penunjang
Hemoglobin, hematokrit, indeks eritrosit, DDR, apusan darah tepi, analisa Hb,
Coombs test, tes fragilitas osmotik, urin rutin, feses rutin, pemeriksaan enzim seperti
G6PD, glutation reduktase, dan piruvat kinase .1
7. PENATALAKSANAAN
Pasien dengan anemia hemolitik yang ringan mungkin tidak membutuhkan
pengobatan khusus selama kondisinya tidak buruk. Seseorang dengan anemia
hemolitik berat biasanya membutuhkan pengobatan berkelanjutan. Anemia hemolitik
16

yang berat dapat menjadi fatal jika tidak diobati dengan tepat. Tujuan pengobatan
anemia hemolitik meliputi:
Menurunkan atau menghentikan penghancuran sel darah merah.
Meningkatkan jumlah sel darah merah
Mengobati penyebab yang mendasari penyakit.
Pengobatan tergantung pada tipe, penyebab dan beratnya anemia hemolitik.
Dokter mungkin mempertimbangkan umur, kondisi kesehatan dan riwayat kesehatan.
Transfusi darah
Tranfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah dari
seseorang (donor) ke orang lain (resipien). Pada transfusi sel darah merah hampir
selalu diindikasikan pada kadar Hemoglobin (Hb) <7 g/dl, terutama pada anemia
akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimptomatik dan/atau penyakitnya
memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah dapat
diterima.Transfusi darah digunakan untuk mengobati anemia hemolitik berat.
Biasanya kadar Hb dipertahankan umumnya sampai nilai Hb sekitar 5 g/dl. Hal ini
untuk menghindari seringnya dilakukan transfusi darah. 3,23
Obat-obatan
Obat-obatan dapat memperbaiki beberapa tipe anemia hemolitik, khususnya
anemia hemolitik karena autoimun. Kortikosteroid seperti prednison dapat menekan
sistem imun atau membatasi kemampuannya untuk membentuk antibodi terhadap sel
darah merah. Jika tidak berespon terhadap kortikosteroid, maka dapat diganti dengan
obat lain yang dapat menekan sistem imun misalnya rituximab dan siklosporin.
17

8. KESIMPULAN
1. Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan karena kecepatan penghancuran
sel darah merah (eritrosit) lebih besar dari normal.
2. Etiologi anemia hemolitik terbagi menjadi 2 golongan besar yaitu kelainan bawaan
yaitu golongan dengan penyebab hemolisis yang terdapat dalam eritrosit sendiri atau
gangguan intrakorpuskuler, meliputi :
a. Gangguan pada struktur dinding eritrosit
b. Gangguan pada enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam eritrosit.
c. Hemoglobinopati
3. Kedua yaitu golongan dengan penyebab hemolisis ekstravaskuler atau gangguan
ekstrakorpuskuler. Biasanya penyebabnya merupakan faktor yang didapat seperti
obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin, air), toksin (hemolisin)
Streptococcus, virus, malaria, luka bakar, hipersplenisme, anemia oleh karena
terjadinya penghancuran eritrosit akibat terjadinya reaksi antigen antibodi, dan
hemolisis akibat proses autoimun.
4. Diagnosis anemia hemolitik berdasarkan dari gejala klinik, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang.

18

5. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan darah rutin yang menilai


hemoglobin, hematokrit, dan indeks eritrosit, DDR, apusan darah tepi, analisa Hb,
Coombs test, tes fragilitas osmotik, urin rutin, feses rutin, dan pemeriksaan enzim.
6.

Penatalaksanaan

anemia

hemolitik

bertujuan

untuk

menurunkan

atau

menghentikan penghancuran sel darah merah, meningkatkan jumlah sel darah merah,
dan mengobati penyebab yang mendasari penyakit.

19

DAFTAR PUSTAKA
1.

Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNHAS. Anemia Hemolitik. Standar Pelayanan


Medis Kesehatan Anak. Hal 192-193.

2.

Sudoyo, Aru W dkk.Anemia Hemolitik Non Imun. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi
4. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2009. Hal 622,653.

3.

Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Hematologi. Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika.1985.

4.

Koesoema, A.A. Klasifikasi Etiologi dan Aspek Laboratorik pada Anemia Hemolitik
[Cited on January 2015]. Available from http://usu.ac.id

5.

Price, S.A., Wilson L.M. Gangguan Sel Darah Merah. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005.

6.

Schumacher, Harold R; Rock, William A, Stass, Sanford A. Handbook Hematologic


Pathology. New York: Marcel Dekker Inc; 2000.

7.

Yunanda,

Yuki.

Thalasemia.

[Cited

on

January

2015].

Available

from http://repository.usu.ac.id
8.

Wibowo, Satrio. Tesis: Perbandingan Kadar Bilirubin Neonatus dengan dan tanpa
Defisiensi Glukosa-6-Phosphatase Dehydrogenase. [Cited on January 2015].
Available from http://eprints.undip.ac.id

9.

Childrens Hospital of Pittsburgh of UPMC. Hemolytic Disease of Newborn [Cited


on December 2015]. Available from http://www.chp.edu

10. Kumar, Vinay., Ramzi S. Cotran.,Stanley L. Robbins. Red Blood Cell and Bleeding
Disorders. Robbins and Cortran Pathologic Basic of Disease Seventh edition.
Philadephia: Elsevier. 2005.
11. Behrmann, Kliegman, Arvin. Anemia Hemolitik. Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Textbook of Pediatric edisi 15. EGC.

20

12. What is hemolytic anemia?. National Heart Lung and Blood Institute. [cited on
January 2015] Available from http://nhlbi.org
13. How is Anemia Hemolytic Treated?. National Heart Lung and Blood Institude. [cited
on January 2015] Available from http://nhlbi.org
14. Hoffbrand A, Pettit J, Moss P. Eritropoiesis dan Aspek Umum Anemia. Kapita Selekta
Hematologi. Edisi 4. Jakarta : EGC. 2005. Hal. 11-89.
15. P.H.B. Bolton Maggs, et.al., 2004, Guidelines for the Diagnosis and Management of
Hereditary Spherocytosis, British Journal of Hematology, 126: 455474.
16. T.L Coetzer, et.al., 1996, Southeast Asian Ovalocytosis in a South African Kindred
with Hemolytic Anemia, from www.bloodjournal.org. 87: 1656-1657.
17. Garnett. C, Bain. J.B., 2013, South-East Asian ovalocytosis, American Journal of
Hematology,

available

on

http://wileyonlinelibrary.com/cgi-bin/jhome/35105.

88:327- 328.
18. Uslu. N, et.al., 2010, Abetalipoproteinemia in an Infant with Severe clinical
phenotype and a novel mutation, The Turkish Journal of Pediatrics, 52: 73-77
19. Moustacchi. E, 2003, Fanconis Anemia, Orphanet Encyclopedia, available from
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk.FA.pdf
20. Leong. A, 2007, Is There a Need for Neonatal Screening of Glucose-6-Phosphate
Dehydrogenase Deficiency in Canada?, McGill Journal of Medicine, 10(1):31-34
21. Wagiallah. H, Alzohairy. M, 2011, The effect of oxidative stress on human red cells
glutathione peroxidase, glutathione reductase level, and prevalence of anemia among
diabetics, North American Journal of Medical Sciences, Vol 3. No. 7: 344-347
22. Bulan. S, 2009, Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup
anak thalassemia beta mayor, available on http://eprints.undip.ac.id
23. Fauzi. M. R., 2013, Diagnosis dan indikasi transfusi pada anemia aplastik. Available
on http://download.portalgaruda.org/article.php
24. Zanella. A, et.al., 2005, Red cell pyruvate kinase deficiency: molecular and clinical
aspects, British Journal of Haematology, 130, 1125

21

Anda mungkin juga menyukai