Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

DAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

DIABETES MILITUS

OLEH:

Muh Hilmy Adithya C014181058


Muhammad Alif Visyar C014181067
Priady Wira C014181057

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


DAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan global yang


insidennya semakin meningkat. Sebanyak 346 juta orang di dunia
menderita diabetes, dan diperkirakan mencapai 380 juta jiwa pada tahun
2025. Di Amerika Serikat, berdasarkan “2011 National Diabetes Fact
Sheet” sebanyak 25,8 juta orang (8,3% dari populasi) menderita diabetes.
Kasus baru yang didiagnosis pada tahun 2010 sebanyak 1,9 juta kasus
(ADA, 2011; WHO, 2011).
Pada tahun 1995 Indonesia menempati urutan tertinggi ke-tujuh
untuk prevalensi diabetes, sebagian besar merupakan diabetes tipe 2.
Menurut WHO tahun 2000, Indonesia menempati peringkat ke-empat
negara dengan prevalensi diabetes terbanyak di dunia setelah India, Cina,
dan Amerika dengan jumlah penderita sebesar 8,4 juta orang. Jumlah ini
diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2030. Menurut
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diabetes di Indonesia
menempati urutan ke-enam penyakit penyebab kematian (5,8%) setelah
stroke, tuberkulosis, hipertensi, cedera dan perinatal. Diabetes sebagai
penyebab kematian pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan
menduduki peringkat ke-dua yaitu 14,7%, dan daerah pedesaan
menduduki peringkat ke-enam yaitu 5,8% (PERKENI, 2011).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003,
diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak
133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban
dan 7,2%, pada daerah rural, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat
sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 5,5 juta di
daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk,
diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang

2
berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban
(14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang
diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural.
Data-data di atas menunjukkan bahwa jumlah penyandang
diabetesdi Indonesia sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat
untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis atau
bahkan olehsemua tenaga kesehatan yang ada.Mengingat bahwa DM akan
memberikan dampak terhadap kualitassumber daya manusia dan
peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar,maka semua pihak, baik
masyarakat maupun pemerintah, sudahseharusnya ikut serta dalam usaha
penanggulangan DM, khususnya dalamupaya pencegahan.

3
BAB II

IDENTIFIKASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Inisial : Tn. Anshar


Jenis kelamin : laki-laki
Tanggal lahir / Umur : - / 61 tahun
Alamat : Kompleks Perumahan Kantor Gubernur
K8/10
Pekerjaan : wiraswasta
Status perkawinan : Menikah
No. RM :-

B. ANAMNESIS

Keluhan utama : Lemas, banyak kencing

Anamnesa terpimpin

Seorang laki-laki berusia 61 tahun, terdaftar sebagai anggota


program pelayanan terpadu di Klinik Mitra Madising Makassar. Pasien
telah di diagnosa Diabetes sejak tahunn 1991 oleh dokter di rumah sakit
daya, sejak di diagnosis diabetes pasie hannya mengkonsumsi obat obatan
herbal, dan baru dua tahun yang lalu mulai menggunakann insulin.

Pasien juga mengeluh sering kencing pada malam hari, . Pasien


juga terus menerus merasa haus, namun nafsu makannya berkurang
Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah kabur pada mata sebelah kiri
sejak tahun 2004 dan telah menjalani operasi. Pasien mengatakan belum
pernah kontrol untuk keluhan pada matanya.

4
Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat penyakit diabetes diketahui sejak tahun 1991 dan hanya berobat
obataan herbal dan metformin, 2 tahun terakhir baru menggunakan insulin

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat penyakit keluarga tidak diketahui

C. PEMERIKSAAN FISIK

3.1 Status Generalis

Keadaan umum :pasien tampak lemah, kesadaran compos mentis,


GCS E4V5M6.

Tanda vital

Tekanan darah : 130/80 mmHg


Nadi : 80x/menit, isi cukup, kuat angkat normal
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,50C peraxila
IMT : 56/1.682 = 19,84 (Normal)
Status gizi : baik

3.2 Pemeriksaan Kepala dan Leher

Kepala : Normochepali

Mata : Anemis (-), Ikterik (-), edema palpebra (-), reflek pupil
(+/+) isokor, ukuran 3mm

THT : telinga kesan tenang, faring hiperemis (-)

Bibir : Sianosis (-), lidah tidak kotor.

Leher : Pembesaran kelenjar limfe (-), tiroid tidak teraba, JVP R-2
cmH2O.

5
3.3 Pemeriksaan Thoraks

Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, tidak ada ketertinggalan


napas.

Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus kanan
dan kiri sama.

Perkusi : Sonor kanan dan kiri

Auskultasi : Vesikuler seluruh lapang paru, rhonki (-/-), wheezing


(-/-).

Pemeriksaan Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba di apex, regular, kuat angkat


normal.

Perkusi : batas atas jantung ICS 2 PSL sinistra

batas kanan jantung ICS 5 PSL dextra

batas kiri jantung ICS 5 MCL sinistra

Auskultasi :S1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-), opening snap (-),
friction rub (-)

3.4 Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : datar, distensi (-), ascites (-), tanda peradangan (-)

Auskultasi : peristaltic usus 11x/menit, normal

Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen

Palpasi : nyeri tekan di epigastrium (-), massa tumor (-).

Hepar : tidak teraba

Lien : tidak teraba

6
Ginjal : tidak teraba, nyeri ketok ginjal dextra (-).

3.5 Pemeriksaan Ekstrimitas

Inspeksi : Tidak terdapat kelainan

Palpasi : akral teraba hangat

CRT : kurang dari 2 detik

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

3.1 Pemeriksaan laboratorium

E. DIAGNOSIS KASUS

- Diabetes Melitus tipe II

F. PLANNING TERAPI

- Levomir
- Novorapid

7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes

melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

kedua-duanya.

Insulin yaitu hormon penurun glukosa darah, meningkat dalam waktu

beberapa menit setelah makan dan kembali turun ke nilai dasar dalam waktu 3

jam. Insulin berperan penting dalam mengatur metabolisme karbohidrat,

lemak dan protein (Price & Lorraine, 2007). Diabetes melitus (DM) adalah

keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat

gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada

mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis

dalam pemeriksaan dengan mikroskop electron (Mansjoer,2001)

3.2 Etiologi

Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh berbagai faktor antara lain :

bertambahnya usia harapan hidup dengan individu >40 tahun, obesitas,

kurangnya aktifitas fisik, diet tinggi gula, riwayat keluarga diabetes melitus,

8
dislipidemia, riwayat melahirkan bayi >4 kg dan riwayat diabetes melitus pada

saat kehamilan (Depkes RI,2008). Banyak orang yang berpotensi terkena

diabetes melitus tipe 2 menghabiskan bertahun-tahun dalam keadaan pra

diabetes, yaitu suatu kondisi dimana kadar glukosa darah lebih tinggi dari

biasanya tapi tidak cukup tinggi untuk dignosis diabetes melitus tipe 2

(Sutanto,2010). Pada diabetes melitus tipe 2, pada awalnya kelainan terletak

pada jaringan perifer (resistensi insulin) dan kemudian disusul dengan

disfungsi sel beta pankreas, defek pada fase pertama sekresi insulin, yaitu

antara lain, sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup atau kurang namun

terdapat keterlambatan sekresi insulin, jumlah reseptor di jaringan perifer

kurang antara 20.000 sampai 30.000, kadang-kadang jumlah reseptor cukup

tetapi kualitas reseptornya jelek sehingga kerja insulin tidak efektif, terdapat

kelainan di pasca reseptor menyebabkan proses glikolisis intraseluler

terganggu dan adanya kelainan campuran (Tjokroprawiro,2007).

9
3.3 Patofisiologi

Ketika glukosa masuk ke dalam jaringan, keseimbangan antara

produksi glukosa endogen dan ambilan glukosa oleh jaringan pun menjadi

tidak seimbang. Peningkatan glukosa plasma merangsang pelepasan insulin

oleh sel-sel beta, menyebabkan hiperinsulinemia. Kedua keadaan ini,

hiperglisemia dan hiperinsulinemia akan merangsang ambilan glukosa oleh

jaringan splanknik (saluran cerna dan hati) dan jaringan perifer terutama otot

lurik serta menekan produksi glukosa endogen. Sebagian besar glukosa (80-

85%) yang terambil oleh jaringan perifer akan terkonsentrasi pada otot lurik.

Toleransi glukosa akan tetap terjaga normal selama masih dapat dikompensasi

10
oleh peningkatan sekresi insulin. Jadi, sel beta pankreas yang masih berfungsi

normal mampu menduga keparahan resistensi insulin serta mengatur sekresi

insulin untuk mempertahankan kenormalan toleransi glukosa. Kelainan yang

tergambar pada diabetes melitus tipe 2 berupa resistensi insulin dan penurunan

fungsi sekretorik sel-sel beta. Ketidakpekaan insulin dalam merespon

peningkatan gula darah menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh hati

serta penurunan ambilan glukosa oleh jaringan. Peningkatan kadar glukosa

plasma dalam keadaan puasa merupakan cerminan dari pengurangan ambilan

glukosa oleh jaringan atau peningkatan glukoneogenesis. Jika kadar glukosa

darah meningkat sedemikian tinggi, ginjal tidak mampu lagi menyerap balik

glukosa yang tersaring sehingga glukosa akan keluar ke dalam urin

(glukosuria). Ketidakpekaan insulin di sel-sel hati dan jaringan perifer,

terutama otot rangka, mengakibatkan produksi glukosa oleh hati menjadi tidak

terbendung, sementara ambilan dan penggunaan glukosa berkurang.

Mekanisme tersebut terjadi terkait dengan defek pengikatan reseptor insulin

atau penurunan kemampuan insulin post reseptor. Ketidakpekaan insulin

semakin diperberat oleh peningkatan kadar asam lemak bebas dalam darah

dan berdampak lebih buruk pada kinerja sel-sel beta dalam menyekresikan

insulin/ lipotoksisitas (Arisman,2010).

3.4 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna

penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah

11
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.

Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun kapiler tetap dapat

dipergunakan dengan memperhatikan angka angka kriteria diagnostik yang

berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan

hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa

darah kapiler dengan glukometer.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM

seperti di bawah ini (PERKENI, 2011).

1. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia dan


penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur dan disfungsi ereksi (pada pria) serta pruritus vulva (pada
wanita).
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma


sewaktu (GDS)>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa (GDP ) ≥126 mg/dL dengan
adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Kadar gula plasma 2 jam pada
TTGO (GD2PP) ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang
dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 gram glukosa.

12
Table 3.2 Tabel kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan

penyaring dan diagnosis (mg/dl).

Tes Sampel Bukan DM Belum Pasti DM DM

(pre diabetes)

Kadar glukosa Plasma <100 100-199 ≥200


darah sewaktu vena
(mg/dL)
Darah <90 90-199 ≥200
kapiler

Kadar glukosa Plasma <100 100-125 ≥126


darah puasa vena
(mg/dL)
Darah <90 90-99 ≥100
kapiler

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,


bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT).

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO


didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199
mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan
glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9
mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140mg/dl.

Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi


glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM (pre diabetes). Kedua

13
keadaan tersebut juga merupakan faktor resiko untuk terjadinya DM dan
penyakit kardiovaskular dikemudian hari.

Bagan 3.1 Langkah diagnostic DM dan gangguan toleransi glukosa

3.5 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup

penyandang diabetes.

14
- Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda

DM,mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target

pengendalianglukosa darah.

- Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitaspenyulit

mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.

- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas

danmortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa

darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien

secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan

perilaku.

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan

jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah

belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat

hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu,

OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai

indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya

ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya

ketonuria, insulin dapat segera diberikan.

15
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus

1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup

danperilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan

penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga

dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasiendalam menuju

perubahan perilaku sehat. Untuk mencapaikeberhasilan perubahan

perilaku, dibutuhkan edukasi yangkomprehensif dan upaya

peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa

darah mandiri, tandadan gejala hipoglikemia serta cara

mengatasinya harus diberikankepada pasien. Pemantauan kadar

glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat

pelatihan khusus.

2. Terapi gizi medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari

penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM

adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter,ahli

gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dankeluarganya).

Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM

sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip

pengaturan makan pada penyandang diabetes hamper sama dengan

anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang

16
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-

masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan

pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan

jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat

penurun glukosa darah atau insulin.

3. Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara

teratur (3-4 kali) seminggu selama kurang lebih 30 menit),

merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan

sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,

berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk

menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan

memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki

kendali glukosa darah.

Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani

yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging,

dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur

dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif

sehat,intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang

sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan

kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.

17
4. Intervensi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan

dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri

dari obat oral dan bentuk suntikan (insulin) (PERKENI,2011).

a. Obat hipoglikemik oral


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5
golongan yaitu:

1) Pemicu Sekresi Insulin


- Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas,
dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan
berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh
diberikan kepada pasiendengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan
pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan
faal ginjaldan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang (PERKENI, 2011).

Berdasarkan lama kerjanya sulfonilurea (SU)


dibagi menjadi generasi pertama dan generasi
kedua. Sulfonilurea generasi pertama adalah
acetohexmide, tolbutamid, tolazamid dan
klorpropamid. Sulfonilurea generasi kedua adalah
glibenklamid, glimepirid, glipizid, gliburid dan

18
glikazid. Glibenklamid, ada dua dosis, 2,5 mg dan 5
mg. Dosis sehari antara 2,5 sampai 15 mg, obat ini
memiliki efek hipoglikemik yang cukup kuat. Lama
kerjanya termasuk intermediate antara 5-8 jam yang
diberikan 1-2 kali sehari, pagi dan siang hari.
Tolbutamid, biasanya tersedia dalam dosis 500 mg
satu tablet, obat ini bekerja jangka pendek (short –
acting) sekitar 4 jam yang diberikan 1-3 kali sehari,
di pagi, siang dan sore hari. Dosis sehari
Tolbutamid antara 500-2000 mg. Gliklazid, dosis
yang tersedia adalah 80 mg. Lama kerja obat ini
intermediate. Karena itu obat ini memiliki efek
hipoglikemik sedang sehingga jarang menimbulkan
hipoglikemia, dosis sehari antara 80 sampai 320 mg.
Klorpropamid, dosis pemeliharaan rerata
klorpropamid 200 mg/hari, yang diberikan sebagai
dosis tunggal pada pagi hari, tolazamid sebanding
dengan klorpropamid, tetapi lama kerjanya lebih
pendek, jika dibutuhkan dosis 500 mg/hari, dosis
tersebut harus dibagi dan diberikan dua kali sehari.
Sulfoniluria golongan kedua seperti glimepirid telah
disetujui untuk digunakan sekali sehari sebagai
monoterapi, dengan dosis sebesar 1 mg/hari dengan
dosis maksimal 8 mg. Gliburid, dosis awal yang
biasa diberikan 2,5 mg/hari atau lebih kecil dan
dosis pemeliharaan rerata 5-10 mg/ hari, yang
diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari.
Glipizid, dosis awal yang dianjurkan adalah 5
mg/hari yang dapat dinaikkan sampai 15 mg/hari
yang diberikan sebagai dosis tunggal (Katzung,
2011).

19
- Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya
sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan
ini terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid
(derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat
setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara
cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial (PERKENI, 2011).
Repaglinid, obat ini diberikan dengan dosis 0,25-4
mg sesaat sebelum makan dengan dosis maksimum
16 mg/hari (Katzung, 2011).
2) Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidinedion berikatan pada
PeroxisomeProliferator Activated Receptor Gamma
(PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel
lemak.Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa diperifer.Tiazolidinedion dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena
dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati.Pada pasien yang menggunakan
Tiazolidinedion perlu dilakukan pemantauan faal hati
secara berkala (PERKENI, 2011). Terdapat dua
tiazolidinedion kini tersedia yaitu pioglitazon dan
rosiglitazon. Pioglitazion dapat diberikan sekali sehari
dengan dosis awal 15-30 mg. Rosiglitazon diberikan

20
sehari atau dua kali sehari dengan dosis 4-8 mg
(Katzung, 2011).
3) Penghambat glukoneogenesis (biguanida)
Metformin, obat ini mempunyai efek utama
mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes yang
obesitas. Metformin dikontraindikasikan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5
mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-
vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Selain itu harus
diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi
pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk
memantau efek samping obat tersebut (PERKEN, 2011).
Dosis metformin yang diberikan setelah makan sekali
sehari berkisar dari 500 mg sampai maksimum sebesar
2,25 g/hari (Katzung, 2011).
4) Penghambat Glukosidase Alfa (Akarbose)
Penghambat glukosidase alfa seperti akarbose dan
miglitol, diberikan sekali sehari dengan dosis 25-100 mg
sesaat sebelum menelan suapan pertama makanan
(Katzung, 2011).Obat ini bekerja dengan mengurangi
absorbsi glukosa diusus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Acarbose tidak menimbulkan efek samping
hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens (PERKENI,
2011).

21
5) DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu
hormonpeptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa
usus. Peptidaini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada
makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan.
GLP-1 merupakan perangsang kuat pelepasan insulin
dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon.
Namun demikian,secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim
dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-
1-(9,36)-amide yang tidak aktif.Sekresi GLP-1 menurun
pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal
rasional dalam pengobatan DM tipe 2.Peningkatan
konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat
yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat
DPP-4) atau memberikan hormon asli atau analognya
(analog incretin=GLP-1 agonis) (PERKENI, 2011).
Eksentid merupakan inkretin pertama yang tersedia
untuk mengobati diabetes. Eksentid sebagai suatu analog
sintetik polipeptida 1 yang menyerupai glikagon (GLP-
1). Obat ini disuntikkan secara subkutan dalam waktu 60
menit sebelum makan, terapi dimulai pada dosis 5 mcg
dua kali sehari, dengan dosis maksimum 10 mcg dua kali
sehari. Sitagliptin adalah suatu inhibitor dipeptidil
peptidase-4 (DPP-4), obat ini diberikan dengan dosis
sebesar 100 mg yang diberikan per oral sekali sehari
(Katzung, 2011).

b. Suntikan insulin
Pada beberapa kondisi saat kebutuhan insulin sangat
meningkat akibat adanya, Penurunan berat badan yang cepat,
hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik,

22
hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan
asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal,
stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke),
kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal
atau hati yang berat, kontraindikasi dan atau alergi terhadap
OHO (PERKENI, 2011).

Jenis dan lama kerja insulin Berdasar lama kerja, insulin


terbagi menjadi empat jenis, yakni:
o Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
o Insulin kerja pendek (short acting insulin)
o Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
o Insulin kerja panjang (long acting insulin)
o Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah
(premixed insulin).

Dasar pemikiran terapi insulin


 Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan
sekresi prandial. Terapi insulin diupayakan mampu
meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
 Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin
basal, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin
basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan
menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
 Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk
melakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.
 Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah
mengendalikan glukosa darah basal (puasa, sebelum
makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun
insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai

23
sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin
kerja sedang atau panjang).
 Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan
dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4
hari bila sasaran terapi belum tercapai.
 Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah

tercapai, sedangkan A1C belum mencapai target, maka

dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (meal-

related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai

sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat

(rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting).

Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial dapat

diberikan subkutan dalam bentuk 1 kaliinsulin basal + 1

kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kalibasal + 2 kali

prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kaliprandial

(basal bolus).

 Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO

untuk menurunkan glukosa darah prandial seperti

golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek

(golongan glinid), atau penghambat penyerapan

karbohidrat dari lumen usus(acarbose).

 Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan

kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai dari

hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.

24
Bagan 3.2 Memulai pemberian terapi insulin

25
Tabel 3.3 Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja

26
Penilaian hasil terapi

Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2harus

dipantau secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan

jasmani, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan

adalah:

1. Pemeriksaan kadar glukosa darah

Tujuan pemeriksaan glukosa darah:

- Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai

- Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum

tercapai sasaran terapi.

Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan

kadar glukosa darah puasa,glukosa 2 jam post prandial, atau

glukosa darah padawaktu yang lain secara berkala sesuai

dengan kebutuhan.

2. Pemeriksaan A1C

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai

glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat

sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan untuk menilai

efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.Tes ini tidak

dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka

27
pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan,

minimal 2 kali dalam setahun.

Bagan 3 Algoritme pengelolaan DM tanpa dekompensasi

3.6 Komplikasi

Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2

kategori mayor yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular

kronik / jangka panjang (Price & Lorraine, 2007).

28
1. Komplikasi Metabolik Akut

a. KAD ( Ketoasidosis Diabetikum )


Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan

peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),

disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton

(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan

terjadi peningkatan anion gap.

b. Hiperosmolar non ketotik (HNK)

Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat

tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis,

osmolaritas plasma sangat meningkat (330- 380 mOs/mL), plasma

keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.

c. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa

darah < 60 mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada

penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan

terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan

oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin.Hipoglikemia akibat

sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi

sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis.

Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk

pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien

dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan

29
OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan

suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal

atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien.

Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan

memerlukan pengawasan yang lebih lama.

Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergic (berdebar-

debar, banyak keringat, gemetar, dan rasalapar) dan gejala neuro-

glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma).

Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang

memadai. Bagi pasien dengan kesadaran yangmasih baik,

diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman

yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 gram melalui

intra vena.Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah

15menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada

pasien dengan hipoglikemia berat. Untuk penyandang diabetes

yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40% intravena

terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan

penyebab menurunnya kesadaran.

2. Komplikasi Metabolik Kronis


Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melitus

melibatkan pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-

pembuluh sedang dan besar (makroangiopati) (Price & Lorraine, 2007).

30
a) Mikroangiopati
Merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler
dan arteriola retina (retinopati diabetikum), glomerulus ginjal
(nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetikum),
otot-otot serta kulit. Terdapat kaitan yang kuat antara
hiperglikemia dengan insidens dan berkembangnya retinopati.
Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma atau pelebaran
sakular yang kecil dari arteriola retina. Akibatnya, perdarahan,
neovaskularisasi dan jaringan parut retina dapat mengakibatkan
kebutaan. Neuropati disebabkan oleh gangguan jalur poliol akibat
defisiensi insulin. Terdapat penimbunan sorbitol sehingga
mengakibatkan pembentukan katarak dan dapat mengakibatkan
kebutaan (Price & Lorraine, 2007).

b) Makroangiopati
Gangguan vaskular ini dapat disebabkan karena
penimbunan sorbitol dalam intima vaskular, hiperlipoproteinemia,
kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya makroangiopati diabetik
ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai
arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi
vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan gangren
pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang
terkena arteri koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan
angina dan infark miokard.

3.7 KAKI DIABETES


Kaki diabetes adalah kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes mellitus
yang tidak terkendali dengan baik yang disebabkan olah gangguan pembuluh
darah, gangguan persyarafan dan infeksi. Kaki diabetes merupakan gambaran
secara umum dari kelainan tungkai bawah secara menyeluruh pada penderita
diabetes mellitus yang diawali dengan adanya lesi hingga terbentuknya ulkus yang
sering disebut dengan ulkus kaki diabetika yang pada tahap selanjutnya dapat

31
dikategorikan dalam gangrene, yang pada penderita diabetes mellitus disebut
dengan gangrene diabetik (Misnadiarly, 2006).

Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik diabetes


mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya
kematian jaringan setempat. Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada
permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi
vaskuler insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita
yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan
oleh bakteri aerob maupun anaerob (Tambunan, 2006).

Klasifikasi Kaki Diabetes


Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari klasifikasi oleh
Edmonds dari King’s College Hospital London, klasifikasi Liverpool, klasifikasi
wagner, klasifikasi texas, serta yang lebih banyak digunakan adalah yang
dianjurkan oleh International Working Group On Diabetic Foot karena dapat
menentukan kelainan apa yang lebih dominan, vascular, infeksi, neuropatik,
sehingga arah pengelolaan dalam pengobatan dapat tertuju dengan baik
(Waspadji, 2006).

Derajat keparahan ulkus kaki diabetes menurut Wagner


Grade 1 : Ulkus superfisial tanpa terlibat jaringan dibawah kulit
Grade 2 : Ulkus dalam tanpa terlibat tulang / pembentukan abses.
Grade 3 : Ulkus dalam dengan selulitis/abses atau osteomielitis
Grade 4 : Tukak dengan Gangren lokal
Grade 5 : Tukak dengan Gangren luas / melibatkan keseluruhan kaki

Patogenesis Kaki Diabetes


Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang diabetes mellitus
adalah ulkus kaki diabetes. Ulkus kaki diabetes disebabkan adanya tiga faktor
yang sering disebut trias yaitu : iskemik, neuropati, dan infeksi. Pada penderita
diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan terjadi
komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf

32
karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson
menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya reflek otot,
atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa, apabila penderita
diabetes mellitus tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan meneybabkan lesi
dan menjadi ulkus kaki diabetes (Waspadji, 2006).
Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena
kekurangan darah dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini
disebabkan adanya proses makroangiopati pada pembuluh darah sehingga
sirkulasi jaringan menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut
nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin
dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul
ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai. Aterosklerosis
merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan menyempit karena
penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di
kaki dapat mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai darah,
sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka waktu
lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang menjadi
ulkus kaki diabetes. Proses angiopati pada penderita diabetes mellitus berupa
penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer, sering terjadi pada
tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal dari tungkai
menjadi berkurang kemudian timbul ulkus kaki diabetes (Tambunan, 2006).
Pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali kadar gula darahnya
akan menyebabkan penebalan tunika intima (hiperplasia membram basalis arteri)
pada pembuluh darah besar dan pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran
albumin keluar kapiler sehingga mengganggu distribusi darah ke jaringan dan
timbul nekrosis jaringan yang mengakibatkan ulkus diabetika. Eritrosit pada
penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali akan meningkatkan HbA1C yang
menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen di jaringan
oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang menggangu sirkulasi
jaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang
selanjutnya timbul ulkus kaki diabetes. Peningkatan kadar fibrinogen dan

33
bertambahnya reaktivitas trombosit menyebabkan tingginya agregasi sel darah
merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat dan memudahkan terbentuknya
trombosit pada dinding pembuluh darah yang akan mengganggu sirkulasi darah.
Penderita diabetes mellitus biasanya kadar kolesterol total, LDL, trigliserida
plasma tinggi. Buruknya sirkulasi ke sebagian besar jaringan akan menyebabkan
hipoksia dan cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan yang akan
merangsang terjadinya aterosklerosis. Perubahan / inflamasi pada dinding
pembuluh darah, akan terjadi penumpukan lemak pada lumen pembuluh darah,
konsentrasi HDL (highdensity- lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya
rendah. Adanya faktor risiko lain yaitu hipertensi akan meningkatkan kerentanan
terhadap aterosklerosis (Tambunan, 2006).
Konsekuensi adanya aterosklerosis yaitu sirkulasi jaringan menurun
sehingga kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya
terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung
kaki atau tungkai. Pada penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah
tidak terkendali menyebabkan abnormalitas lekosit sehingga fungsi khemotoksis
di lokasi radang terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid
menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan oleh
sistem plagositosis-bakterisid intra selluler. Pada penderita ulkus kaki diabetes, 50
% akan mengalami infeksi akibat adanya glukosa darah yang tinggi karena
merupakan media pertumbuhan bakteri yang subur. Bakteri penyebab infeksi pada
ulkus diabetika yaitu kuman aerobik Staphylococcus atau Streptococcus serta
kuman anaerob yaitu Clostridium Perfringens, Clostridium Novy, dan Clostridium
Septikum (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

34
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2010. Classification and Diagnosis of Diabetes.


Diabetes Care; Vol 38

Bertram G.Katzung.Farmakologi Dasar Dan Klinik Edisi 10.Jakarta. EGC;2010

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan


Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta. 2011

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Petunjuk Praktis: Terapi Insulin Pada


Pasien Diabetes Melitus, PB. PERKENI. Jakarta. 2011 diunduh tanggal 6
november2016http://www.pdui-pusat.com/wp-
content/uploads/2015/12/SATELIT-SIMPOSIUM-6.1-DM-UPDATE-
DAN-Hb1C-OLEH-DR.-Dr.-Fatimah-Eliana-SpPD-KEMD.pdf

Price SA, Wilson LM.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi


6. Jakarta: EGC; 2006

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi V. Jakarta: Interna publishing; 2009.

World Health Organization, 2011. Diabetes Mellitus. Available from:


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/index.html

35

Anda mungkin juga menyukai