Anda di halaman 1dari 17

1

TINJAUAN FILSAFAT ILMU TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI ( TIPIKOR ) DI INDONESIA (Kajian Pendalaman Mata Diklat Percepatan Pemberantasan Korupsi) Oleh : Drs. M. Ladzi Safrony, M.Ag (Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Surabaya)
Pendahuluan Bangsa Indonesia dalam menapaki kemerdekaannya sejak tahun 1945 sampai saat ini mengalami pasang surut dalam melaksanakan pembangunan. Diaman pembangunan itu sendiri merupakan suatu proses menuju pada perbaikan yang lebih baik. Proses pembangunan itu sendiri dapat menimbulkan kemajuan bagi peri kehidupan bangsa dan dapat mengakibatkan perubahan kondisi social masyarakat dari masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat modern sesuai dengan perkemangan jaman. Perobahan ini membawa dampak social, baik positif maupun negative. Dampak neatif yang dapat meresahkan masyarakat adalah berbagai macam tindak pidana, dari pencurian kecilkecilan sampai dengan tindak pidana perampokan disertai dengan pembunuhan, termasuk didalamnya adalah tindak pidana korupsi.Tindak pidana yang satu ini sangat fenomental dan melanda semua Negara diberbagai belahan dunia, terutama di Negara-negara yang berkembang. Dampak yang dapat ditimbulkan dari kurupsi ini, dapat menyentuh dari berbagai kehidupan suatu bangsa dan negra di dunia ini. Korupsi menajadi masalah yang serius, karena dapar membahayakan pembangunan social ekonomi dan juga politik, serta dapat merusak moral bangsa dan sendi-sendi kehidupan suatu bangsa Pembangunan yang dilaksanakan pemerintah bersama masyarakat belum bisa menghasilkan sesuai harapan bangsa Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan tingginya tindak pidana korupsi, terutama yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara Negara dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan baik eksekutif, judikatif maupun Legeslatif. Korupsi di Indonesia sudah membudaya dan telah merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Sebagian lain menyatakan bahwa korupsi belum membudaya, walaupun harus diakui korupsi telah sangat meluas. Sebuah laporan Bank Dunia (Bank Dunia, 2003 : 42), mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki reputasi yang buruk dari 1

2 segi korupsi dan menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Bahkan dari laporan Bank Dunia itu (2003 : 50), menemukan bahwa korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak jaman VOC sebelum tahun 1800, dan praktek itu berlanjut sampai masa-masa pasca kemerdekaan. Dari masa inilah Indonesia mewarisi praktek-praktek seperti membayar untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan, mengharapkan pegawai-pegawai menutup biaya di luar gaji dari gaji mereka dan lain-lain. Pada masa Orde Baru yaitu selama 1967-1998, praktek korupsi ini mendapat dukungan dan kesempatan luas pada masa itu yaitu dengan memberikan dukungan kepada pengusahapengusaha besar dan membangun konglomerat-konglomerat baru dan memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas, bahkan memberikan kesempatan kepada para pengusaha dan kroni Presiden untuk mempengaruhi politisi dan birokrat. Sejak lepasnya pemerintahan Orde Baru, masalah pemberantasan korupsi belum juga tertangani dengan baik. Niat untuk memberantas korupsi cukup kuat. Berbagai peraturan dan reformasi perundang-undangan tentang korupsi dilahirkan, tapi tidak membawa hasil yang memadai. Bahkan banyak korupsi baru yang terungkap justeru terjadi setelah masa reformasi. Fenomena ini membuat kita bertanya kembali dari sisi filsafat, sebenarnya apa yang terjadi dengan korupsi, mungkinkah kita salah mengartikan tentang apa yang dianggap korupsi dan apa yang tidak korupsi. Kita perlu berpikir kembali tentang aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi dari korupsi. Makalah ini akan mengkaji dari sudut pandang filsafat ilmu tentang fenomena korupsi di Indonesia. Tulisan ini mengasumsikan bahwa ada yang salah dalam memahami korupsi di Indonesia yang disebabkan oleh penentuan metodologi pemaknaan / pendefinisian yang tidak tepat sehingga berbagai upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan di Indonesia hingga sekarang ini tetap tidak memuaskan. Ontologi Korupsi Menurut Baharuddin Lopa (Baharuddin Lopa & Moh. Yamin, 1987 : 6), pengertian umum tentang tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain

3 yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU 31/1999), memberi pengertian tentang tindak pidana korupsi adalah perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara atau perbuatan

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Termasuk dalam pengertian tindak korupsi adalah suap terhadap pejabat atau pegawai negeri. Kedua pengertian tersebut hanyalah dapat dimengerti dengan baik oleh para ahli hukum atau pejabat dalam bidang hukum. Kalangan awam menganggap bahwa pengertian korupsi bisa jauh lebih luas dari itu, yaitu segala perbuatan tercela yang dilakukan oleh pejabat dan pegawai negeri yang terkait dengan kekayaan negara. Apakah perbuatan itu merugikan negara atau tidak, hal itu bukanlah persoalan utama. Untuk mengkaji lebih jauh, kita merujuk pada apa yang dimaksud korupsi dalam undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidan korupsi. Beberapa kata kunci yang merupakan unsur tindak pidana yang perlu didalami yaitu kata-kata: - perbuatan, - melawan hukum, - memperkaya diri sendiri atau orang lain, - merugikan keuangangan/perekonomian negara, - menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya, - menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Persoalannya adalah apakah seluruh rangkaian gambaran atau bayangan dalam rumusan tersebut sudah mewakili pemahaman kita yang benar bahwa hal itu adalah korupsi? Atau ada yang salah dari penggambaran tersebut. Karena itu perlu dikaji lebih dahulu tentang hakekat atau makna dari penggambaran tersebut secara lebih mendalam.

4 Korupsi adalah rangkaian unsur-unsur (rumusan) yang tertulis dalam undangundang yang dicocokan dengan tindakan seseorang pada situasi konktrit. Rumusan dan unsur-unsur tersebut masih merupakan gambaran atau bayangan, yang masih berada dalam pikiran atau idea yang ditulis, dipositifkan dan dianggap sebagai sesuatu kebenaran. Rangkaian perbuatan konkrit dari gambaran atau bayangan tersebut adalah merupakan kejahatan, karena itu yang melakukannya dikenai hukuman. Apakah betul rangkaian perbuatan tersebut adalah kejahatan? Dalam kerangka paham positivis gambaran atau bayangan tersebut dianggap benar dan dijadikan landasan dalam mengambil putusan bahwa perbuatan konkrit atas penggambaran tersebut adalah kejahatan, tidak perduli apakah gambaran tersebut bertentangan atau tidak dengan etika atau moralitas dalam masyarakat. Etika dan moralitas menurut pandangan positivis berada di luar sisi hukum dalam penerapannya. Karena itu dari sisi pandangan positivis hal itu tidak perlu dibahas lebih jauh kecuali untuk keperluan ius constituendum (hukum yang dicita-citakan). Sebaliknya walaupun suatu perbuatan seorang pejabat atau pegawai negeri yang oleh masyarakat dianggap tercela tidak dapat dikatakan sebagai korupsi apabila tidak memenuhi unsur-unsur yang ditulis dalam undang-undang atau sedemikian rupa tidak dapat ditafsirkan sehingga cocok dengan rumusan undang-undang. Inilah hal pertama yang harus dipahami tentang korupsi. Apa yang dimaksud perbuatan, tentunya semua orang memahaminya, Yang menjadi soal adalah apakah yang dimaksud adalah perbuatan aktif saja atau perbuatan pasif (atau tidak berbuat). Memperhatikan rumusan berikutnya yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yang merupakan kata kerja maka dapat dipastikan bahwa yang dimkasud itu adalah perbuatan aktif.. Dengan demikian perbuatan seseorang baru dikategorikan korupsi apabila melakukan perbuatan aktif saja dan tidak termasuk perbuatan pasif. Artinya; jika terjadi kerugian negara yang menguntungkan seorang pejabat negara atau orang lain dan dipastikan bukan karena perbuatan aktif dari pejabat negara tersebut , maka si pejabat negara itu tidak melakukan perbuatan korupsi. Perbuatan itu juga harus memperkaya diri sendiri atau orang lain. Karena penggunaan kata atau antara diri sendiri dan orang

5 lain maka rumusan ini bersifat alternatif. Dengan demikian memperkaya orang lain saja walaupun tidak memperkaya diri sendiri adalah termasuk dalam pengertian korupsi ini. Unsur selanjutnya adalah melawan hukum. Artinya perbuatan yang dilakukan untuk meperkaya diri sendiri atau orang lain itu adalah merupakan perbuatan melawan hukum. Apa yang dimkasud dengan melawan hukum, kembali pada pengertian apa yang dimaksud dengan hukum itu. Dalam kerangka pandangan positivis, hukum itu hanyalah undang-undang atau peraturan perundanga-undangan yang telah

diotorisasi/disahkan oleh yang berwenang, di luar itu bukan hukum. Hukum pidana memberikan batasan yang sangat kaku terhadap apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum itu, karena terikat oleh asas nullum delictum, yaitu suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana sebelum diatur dalam undang-undang hukum pidana. Walaupun dalam perkembangan terakhir apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum ini tidak saja perbuatan yang melanggar hukum tertulis tetapi juga hukum yang tidak tertulis (baca Indriarto Seno Adji : 2001). Perluasan pengertian ini telah dimuat secara tegas dalam undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Disamping itu suatu perbuatan yang tidak melawan hukum tetapi menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya untuk tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, juga adalah termasuk perbuatan korupsi. Adanya kata-kata merugikan perekonomian negara memberikan perluasan makna kerugian negara, yaitu baik dalam arti sempit merugikan keuangan negara pada umumnya termasuk kerugian pada badan-badan usaha milik negara atau proyek-proyek yang dibiayai dari anggaran negara, juga kerugian terhadap pereknomian negara secara umum. Artinya akibat perbuatan itu mengganggu perekonomian negara atau membuat kondisi perekonomian negara tidak stabil atau mengganggu kebijakan perekonomian negara. Kesemuanya dianggap telah merugikan negara. Dengan batasan pengertian korupsi yang demikian belum tentu sudah mengakomodir seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap sebagai korupsi. Seperti yang ditulis oleh Jeremy Pope (Jeremy Pope, 2003 : 31) ternyata bahwa

6 pandangan responden tentang apa yang disebut korup dan apa yang tidak sangat berbeda satu sama lain. Seperti dalam laporan penelitian di New South Wales, Australia, dikatakan penting sekali bagi semua orang yang ingin turut mengurangi korupsi untuk menyadari bahwa apa yang diartikan sebagai perilaku korupsi akan berbeda-beda dari satu responden ke responden lain. Bahkan konvensi PBB mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi tidak berani memberikan definisi tentang apa yang disebut korupsi apa yang tidak merupakan korupsi. Karena itu upaya pemberantasan korupsi semakin sulit karena tidak ada pengertian yang sama mengenai apa yang dimaksud dengan korupsi. Demikian juga halnya di Indonesia dengan rumusan, yang demikian rigid dapat mempersempit arti apa yang dimaksud perbuatan korupsi. Karena pengertian yang sempit itu, seorang pejabat atau pegawai negeri yang sebenarnya telah melakukan perbuatan tercela yang seharusnya diputuskan/divonis korupsi, tapi bisa dilepaskan dari tuntutan hukum. Sebaliknya dengan rumusan yang demikian juga dapat memperluas apa yang dimaksud korpsi, sehingga orang-orang yang sebenarnya bekerja baik dan efektif serta efisien, karena dianggap merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain walaupun dirinya tetap hidup miskin dapat divonis sebagai korupsi padahal bisa jadi tidak ada sedikitpun maksud dari yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan tercela yang berupa korupsi. Karena itu, sebenarnya inti dari perbuatan korupsi adalah perbuatan tercela. Untuk menghindari bias pengertian perbuatan tercela ini maka perlu dibuat suatu standar etik yang berlaku dalam birokrasi tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam menentukan suatu kebijakan publik. Bila mempergunakan batasan yang terlalu formil dan kaku akan merumitkan upaya untuk mengurangi korupsi. Suap menyuap sebagai sebuah kejahatan telah dikenal sejak adanya pemerintahan. Dalam cerita Al Quran tentang tingkah laku Firaun yang menindas rakyatnya dan mengumpulkan kekayaan yang berlimpah untuk kesenangannya adalah termasuk korupsi. Demikian juga Nabi Muhammad dalam sebuah hadisnya menyatakan bahwa dilaknat oleh Allah bagi pemberi suap dan penerima suap. Jadi rupanya korupsi bukanlah fenomena baru dalam kehidupan dunia. Persoalannya yang lebih jauh adalah, apa yang dimaksud perbuatan-perbuatan : suap, dengan melawan hukum serta

menyalahgunakan jabatan atau kedudukannya, untuk kepentingan dirinya atau orang

7 lain serta yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Dalam pemahaman umum tentu saja dengan gampang dapat dijawab bahwa perbuatan-perbuatan tersebut adalah merupakan perbuatan tercela atau tidak bermoral karena merugikan orang lain, karena itu pantas mendapatkan hukuman. Epistemologi Korupsi Metodelogi yang mendasari pengertian korupsi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang pemberantasan korupsi tersebut sangat mempengaruhi rumusan atau batasan apa yang dimaksud korupsi sebagai sebuah kejahatan dan oleh karena itu harus dihukum. Dengan dasar apa rumusan tersebut diatas dibuat, apakah hanya karena anggapan dari pembuatan undang-undang saja atau dari hasil sebuah penelitian yang merangkum pandangan masyarakat tentang korupsi. Nampaknya beberapa persoalan metodologis seperti ini tidak tergambar dengan jelas dalam rumusan undang-undang tersebut. Paling mungkin yang terjadi adalah rumusan tersebut berasal dari pandangan para ahli atau pandangan dari pembentuk undang-undang saja dan tidak melalui sebuah proses penelitian atas pandangan masyarakat tentang korupsi. Apa yang secara tepat disebut korupsi dari sudut pandang pekerjaan berokrasi bisa berbeda dengan sisi pandangan masyarakat. Karena itu, bisa saja suatu perbuatan adalah korupsi menurut pandangan masyarakat tetapi dari pandangan cara kerja birokrasi hal itu bukanlah korupsi. Mengamati kenyataannya yang terjadi di Indonesia, mendapatkan kekayaan dari keuangan negara apakah legal atau tidak legal dapat mengenangkan banyak orang bahkan pelakunya mendapatkan penghargaan, pujian bahkan status sosial yang lebih tinggi karena kekayaannya. Ia dapat memberikan bantuan sosial, sumbangan keagamaan dan dapat membantu keluarga yang kekurangan bahkan dapat membantu negara secara tidak langsung dengan banyak menabung dan menyimpan uang di bank yang sangat bermanfaat untuk memajukan perekonomia negara. Orang kaya akan banyak mendapat pujian dan decak kagum dari masyarakat, tidak perduli apakah kekyaan itu berasal dari pekerjaan legal atau tidak legal. Bahkan banyak anggota masyarakat yang berani mati membela orang kaya. Jadi tidak seluruhnya benar bahwa korupsi merugikan orang lain

8 dan merugikan negara atau merupakan perbuatan tercela. Kita harus melihat dari filsafat apa kita melihatnya. Jika cara pandanganya adalah filsafat materialisme maka ada banyak aspek perbuatan korupsi yang bisa dibenarkan. Mungkin inilah pula kenapa korupsi tidak sepenuhnya dapat diatasi di Indonesia karena bagian terbesar masyarakat kita sudah dirasuki oleh pikiran materialisme dan penghambaan terhadap materi dan kekayaan. Sementara, pada sisi lain cara pandang yang dijadikan dasar untuk mendefinisikan dan memberikan pengertian korupsi pada perundang-undangan kita adalah cara pandang yang didasarkan pada filsafat idealisme, yang hanya mengandalkan dunia ide. Apa yang ada dalam kepala itulah yang diasumsikan sebagai kebenaran, padahal ide tidak bisa menjawab realitas material yang sesungguhnya terjadi. Dalam perumusan tindak pidana korupsi telah menjadikan ide sebagai kebenaran dan ide itu dipositifkan kedalam undangundang. Padahal ide banyak hambatannya dalam melihat suatu kebenaran. Sir Francis Bacon seorang filosof Inggeris, (F.Budi Hardiman, 2004 : 28-29) tidak begitu yakin dengan kebenaran ide, karena ide kadang-kadang terhambat oleh adanya idola, yaitu rintangan yang berupa tradisi-tradisi yang merasuki jalan pikiran kita sehingga kita tidak kritis menilai sesuatu. Menurut F. Bacon, ada 4 macam idola yang menjadi rintangan berpikir kritis itu yaitu, pertama; idola trubus, yaitu semacam prasangka-prasangka yang dihasilkan oleh atas keajekan-keajekan tatanan alamiah sehingga tak sanggup memandang alam secara obyektif. Kedua idola cave, yaitu pengalaman-pengalaman dan minta-minat kita pribadi mengarahkan kita melihat dunia, sehingga dunia obyektif dikaburkan. Ketiga idola fora, yaitu pendapat atau kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan-keyakinan dan penilaian kita yang tak teruji. Dan keempat idola theatra, yaitu sistem-sistem filsafat tradisional yang merupakan kenyataan subyektif dari para filosofnya. Karena itu pengertian korupsi ini harus juga dilihat dari sudut pandang yang berbeda yaitu sudut pandang filsafat materialisme dan empirisme, sehingga dapat dipahami bahwa beberapa perbuatan untuk memperoleh kekayaan agar dapat membantu orang lain, memberikan banyak sumbangan sosial dan keagamaan, membantu keluarga, membantu negara, mendapatkan kehormatan dan kedudukan dalam masyarakat,

9 menguntungka rakyat secara umum atau menguntungkan negara secara tidak langsung dan perbuatan-perbuatan lain yang terpuji seharusnya tidak digolongkan sebagai perbuatan korupsi. Pandangan Immanuel Kant (Mohammad Muslih, 2005 :62), mengenai putusan dapat menjadi acuan untuk melihat epistemologi korupsi, yaitu apa yang disebut oleh Kant dengan putusan sintetis a priori. Kant membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu pertama, putusan analitis a priori; yaitu prediket tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek karena sudah termuat didalamnya (misalnya setiap benda menempati ruang). Kedua, Putusan sintesis aposteriori; misalnya pernyataan meja itu bagus, disini prediket dihubungkan dengan subyek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang telah diketahui. Ketiga, sintesis a priori; disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis namun bersifat a priori juga. Misalnya putusan yang berbunyi segala kejadian mempunyai sebabnya. Putusan yang ketiga ini berlaku umum dan mutlak (jadi a priori) namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab didakam pengertian kejadian belum dengan sendirinya tersirat pengertian sebab. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Pendekatan sintesis a priori dalam memahami korupsi lebih mendekati kebenaran apa sebenarnya korupsi itu. Korupsi harus juga dilihat dari hukum kausalitas, yaitu sesuatu tidak mungkin terjadi kalau tidak ada sebabnya. Sebab itulah yang menimbulkan akibat. Karupsi adalah akibat, yiatu akibat dari sistem yang longgar. Sistem yang memberikan peluang orang untuk melakukan korupsi. Korupsi juga adalah akibat dari kehilangan idealisme dan pengutamaan pada materialisme. Sementara, dengan kondisi pragmatis keuangan pegawai yang bersumber dari gaji adalah tidak mungkin memenuhi kebutuhan material pegawai negeri. Pandangan dan kebutuhan materialistis itulah yang menjadi sebabnya korupsi. Demikian juga persoalan suap. Dari sudut mana kita memandang bahwa suap itu adalah perbuatan tercela yang harus dihukum. Dalam banyak hal suap itu dibutuhkan untuk efisiensi dan efektifitas dalam filsafat kapitalisme dan ekonomi pasar. Pasarlah yang menentukan seseorang untuk mengambil suatu putusan. Persaingan kehidupan modern sekarang selalu diukur dengan kecepatan dan ketepatan dalam bertindak, karena

10 jika tidak, maka pasti akan ketinggalan. Itulah filsafat abad modern. Ketaatan pada aturan main kadang dianggap bisa menghambat kemajuan ekonomi dan persaingan dalam dunia bisnis yang serba cepat. Karena itulah negosiasi pelanggaran lalulintas di jalan antara polisi dan pelanggar lalulintas untuk memberi dan menerima suap adalah lebih efektif dan efisien daripada diproses tilang yang harus datang ke pengadilan menghabiskan waktu dan biaya yang bisa lebih besar. Demikian juga dalam pengurusan ijin-ijin usaha dan lisensi yang membutuhkan kecepatan maka pemberian hadiah dan fasilitas bagi penentu kebijakan akan dapat mempercepat penyelesaian perijinan dan dikeluarkanya kerbijakan itu. Pemegang saham dan atasan di perusahaan akan memberikan apresiasi yang luar biasa atas pekerjaan seseorang atau pimpinan perusahaan yang efektif dan efisien untuk kemajuan perusahaan dan secara tidak langsung akan menguntungkan bagi negara karena negara akan mendapat pemasukan pajak yang lebih besar dan karyawan akan mendapat kesejahteraan lebih baik. Jadi suap dari sudut pandang filsfat ekonomi pasar yang mengedepankan efektifitas dan efisiensi dapat merupakan perbuatan tidak tercela dan tidak merugikan negara atau orang lain. Sedangkan undang-undang anti korupsi melihat masalah suap dari sudut pandang filsat idealisme saja. Perbuatan menyalahgunakan kewenangan atau kedudukan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain walaupun dapat merugikan negara, tidak selalu berkonotasi jahat sehingga harus dihukum dan dianggap korupsi jika dipandang dari filsafat materialisme itu. Dalam banyak kasus korupsi, koruptor merasa telah banyak berjasa pada negara dengan berjuang dan bekerja keras sehingga negara diuntungkan dari kerjanya itu. Negara pada sisi lain tidak memberikan kontra prestasi material kepada yang bersangkutan sehingga yang bersangkutan merasa sah-sah saja mendapatkan uang dari negara dalam berbagai bentuknya seperti tantiem. Dengan demikian perlu dikaji kembali apa yang dimkasud perbuatan korupasi itu sehingga kita dapat memberikan definisi yang tepat tentang yang disebut korupsi dan apa yang tidak korupsi, dan tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang saja pikiran ideal dari para pembentuk undang-undang yang sebenarnya bisa bias kalau dilihat dari sisi empiris. Disamping itu pendekatan hukum untuk memahami korupsi tidak saja

10

11 dilakukan dengan pendekatan dari pandangan positivis, tetapi juga dilihat dari sudut pandang legal realism. Axiologi Korupsi Usaha pemberantasan korupsi jelas tidak mudah.Kesulitan itu kelihatan semakin rumit, Karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat , menjadi berurat berakar dalam masyarakat merupakan suatu epedemi, meski demikian , berbagai upaya tetap mesti dilakukan , sehingga secara bertahap korupsi setidak tidaknya bisa dikurangi jika tidak dilenyapkan sama sekali Komitmen yang ikhlas dan tulus dari kepemimpinan tertingi dan tinggi Negara merupakan komponen sangat krusial bagi keberhasilan kampaye antikorupsi. Kegagalan gerakan anti korupsi di berbagai Negara terletak bukab pada kurang lengkapnya ketentuan legal atau badan badan anti korupsi , tetapi lebih sering karena tidak adanya keseriusan komitmen dan keikhlasan dari kepemimpinan politik. Sering sekali kepemimpinan politik dan birokrasi hanya secara sporadis dan adhoc berbicara tentang pemberantasan korupsi Karena itu terdapat kesan bahwa kepemimpinan politik dan birokrasi berbicara tentang korupsi hanya untuk kepentingan konsumsi politik publik, dan untuk mendapatkan legitimasi tambahan melalui isu anti korupsi . Secara umum terdapat kecendrungan analisis untung rugi politik dari pihak kepemimpinan politik dan birokrasi menjadi faktor menentukan eksistensi dan sebaliknya Ketiadaan / kekurangan kebijakan resmi atau tindakan kongrit terhadap korupsi . Karena itu merupakan tugas lembaga lembaga anti korupsi dan publik umumnya untuk terus melakukan pressure agar selalu muncul kemauan politik dari kepemimpinan politik untuk mengambil berbagai kebijakan dan langkah kongrit bagi pemberantasan korupsi Pada dasarnya terdapat tiga macam kebijakan resmi yang dapat diambil

kepemimpinan politik untuk secara efektif dapat mengurangi jika tidak menghabiskan sama sekali berbagai bentuk korupsi. Pertama mengubah kebijakan yang mendorong

11

12 orang atau memberikan kesempatan bagi terjadi korupsi; Kedua, menata kembali struktur penggajian dan intensif materi lainnya yang berlaku pada lembaga lembaga administrasi birokrasi dan institusi intistusi politik lainnya; ketiga mereformasi lembaga lembaga hukum untuk menciptakan dan kapasitas penegakan hukum ( law enforcement ) dan memperkuat rule of law. Keberhasilan pemberantasan korupsi akan sangat tergantung pada kemampuan melaksanakan ketiga perubahan ini secara simultan, komprehensif dan berkesinambungan Pada tahap berikutnya , ketiga kebijakan di atas dapat dipadukan dengan rekomendasi yang diberikan World Bank ( 1997:105) tentang strategi untuk pemberantsan korupsi secara komrehensif. Ada tiga komponen penting yang tercakup dalam strategi pemberantasan korupsi Pertama , membangun birokrasi yang berdasarkan ketentuan hukum dengan struktur penggajian yang menghargai para pegawai negeri atas kejujuran, Rekrutmen berdasarkan merit dan sistem promosi haruslah diberdayakan sehingga dapat mencegah intervensi politik. Kontrol keuangan yang kredibel juga harus diberdayakan untuk mencegah terjadinya penggunaan dana publik secara arbritrasi. Kedua, menutup kemungkinan bagi para pegawai untuk melakukan tindakan korupsi dengan mengurangi otoritas penuh mereka, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam keuangan , Ketiga menegakkan akuntabilitas para pegawai pemerintah dengan memperkuat monitoring dan mekanisme hukuman, Lembaga lembaga anti korupsi dan publik umumnya hendaklah juga memberdayakan fungsi control dan pengawasan ini. Pertama memperkuat kelembagaan dan mekanisme control resmi untuk memonitor para pegawai , pejabat dan politisi , kedua meningkatkan tekanan publik agar lembaga dan mekanisme control bisa berfungsi baik. Dan ini memerlukan reformasi struktur politik kenegaraan dan partai politik serta lingkungan sosial yang memungkin publik untuk dapat melakukan tekanan.

12

13 Hal terakhir ini dapat dicapai melalui kebebasan pers, desentralisai kekuasan administrative , transparansi yang lebih besar dari pihak pemerintah dan birokrasi dalam proses pengambilan keputusan Ketiga, mendidik publik untuk melakukan tekanan moral dan politik untuk pemberantasan korupsi. Publik perlu mendapat sosialisasi konsep konsep seperti kantor publik dan pelayanan publik berikut dengan konsekwensi konskwensi tentang biaya biaya sosial , ekonomi, politik, moral dan agama yang diakibatkan korupsi. Langkah lain yang dapat diambil oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan efektifitas pemberantasan korupsi adalah melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Sebagai mana yang dijelaskan dalam undang undang nomer 31 tahun 1999 jo. UU no. 20 Tahun 2001 tentang pemberantsana tindak pidana korupsi dalam pasal 41 ( 1 ) masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantsan tindak pidana korupsi . peran serta masyarakat tersebut (2) dapat diwujudkan dalam bentuk ; 1. Hak mencari , memperoleh , dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi; 2. Hak untuk memperoleh palayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan , telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; 3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum yang menangi perkara tindak pidana korupsi ; 4. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 ( Tiga puluh) hari; 5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum . Markas besar kepolisian RI. ( 2002: 9 ) menjelaskan bahwa upaya menigkatkan dalam pemebrantasan tindak pidana korupsi diperlukan profesionalisme dan proporsionalisme, karena kejahatan tersebut dengan cara apapun akan ditempuh dengan jalan jalan kerakusan dalam memenuhi ambisinya, pelaku memandang bahwa dengan

mengumpukan keuangan /materi sebanyak mungkin ia akan dapat melakukan apa saja

13

14 yang ia ingin kan termasuk keinginan untuk mempengaruhi pejabat pejabat public dengan memnggunakan uang yang mereka miliki secara illegal untuk mendukung usaha usahanya yang mereka bangun secara illegal. Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi minimal terapat beberapa komponen , diantaranya : 1. Pemerintah yang bersih bebas dari KKN / Clean Government 2. Dukungan dari pemerintah secara nyata berupa pemberian fasilitas yang memadai berupa kewenangan undang undang yang memadai ektra ordinary kepada penegak hukum dan memberikan perlindungan hukum kepada saksi / Pelapor\ 3. Dukungan dari masyarakat secara aktif, yaitu berani melapor dan memberikan kesaksian didepan penyidik maupun didepan pengadilan. 4. Gaji tinggi terhadap petugas criminal justice system ( Polisi, Jaksa dan Hakim ) untuk menghindari penyuapan karena dalam menangani kasus korupsi rawan terhadap suap. 5. Kode Etik yang harus dijadikan pedoman bagi penegak hukum yang berisi tentang keharusan , larangan dan kebolehan. Berdasarkan uraian tentang langkah langkah pemberantasan korupsi diatas, maka yang penting diingat dalam upaya dalam penerapannya adalah adanya komitmen dari diri sendiri untuk mengimplementasi secara murni dan konsekwen dan bersungguh sungguh menjalankannya dengan menyelaraskan antara rasa, karsa dan karma secara sinergis. Atau dengan perkara lain, berupa untuk menerapkan langkah langkah pemberantsan korupsi itu dengan integritas yang tinggi, kemudian menerapkan strategi strategi

pemberantsan korupsi secara efektif dan efesien Kesimpulan Dari uraian tersebut di atas dari kajian filsafat ilmu terdapat banyak kekurangan yang ditemukan dalam memberikan pengertian tentang korupsi, terutama dari segi rumusan perbuatan pidana korupsi yang tercantum dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Rumusan tersebut ternyata tidak menjangkau seluruh pandangan

14

15 masyarakat tentang apa yang dianggap korup dan apa yang tidak. Sehingga rumusan tersebut potensial tidak menyentuh seluruh aspek perbuatan tercela yang seharusnya dianyatakan sebagai perbuatan korup, dan bahkan dapat menjerat seseorang sebagai telah melakukan korupsi, padahal sebenarnya bukanlah perbuatan tercela yang seharusnya tidak dapat dihukum. Persoalan tersebut disebabkan oleh tidak jelasnya epistemologi penentuan suatu perbuatan sebagai perbuatan korupsi. Nampaknya pembentuk undang-undang lebih banyak mempergunakan pendekatan dari sisi idealisme dan tidak berdasarkan pendekatan sisi materislisme dan empiris. Disamping itu, dari sisi filsafat hukum pendekatan yang dipergunakan lebih menonjolkan sisi pandang positivis dibanding sudut pandang prgamatis dan legal realisme. Apa yang diuraikan di atas adalah baru dari satu persoalan saja yaitu persoalan rumusan tindak pidana korupsi dan suap belum lagi persoalan-persoalan lain yang diatur dalam undang-undang pemberantasan korupsi itu. Penggunaan pendekatan yang lebih komprehensif dalam melihat korupsi akan sangat berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kesalahan pendekatan berakibat salah persepsi terhadap korupsi dan akan menyebakan terhambatnya pemberantasan korupsi. Untuk penyempurnaan ke depan perlu pendekatan yang lebih komprehensip dalam membuat undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan dalam implementasinya yaitu tidak saja menggunakan pendekatan idealisme, tapi perlu juga pendekatan lainnya yaitu pendekatan dari sudut pandang materialisme dan pragmatisme. Penggunaan pendekatan yang utuh seperti ini akan dapat memberikan pemahaman utuh tentang tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi ( Tipikor) di Indonesia belum bisa diberantas secara segnifikan dikarenakan berbagai hal antara lain (1). tipikor ini telah mengakar di masyarakat bangsa Indonesia sejak jaman kemerdekaan hingga sekarang (2). belum adanya komitmen secara kuat dari para penyidik baik dari kepolisian,kejaksaan maupun KPK untuk membersihkan tipikor di negeri ini sehingga masih terkesan tebang pilih.(3) Kekuatan hukum belum menjadi sebuah panglima di negeri ini,sebagai dampaknya bisa dijual belikan oleh pelaku hukum sehingga objektifitas hukum belum dapat diperlakukan

15

16 sebagai mestinya ( 4) Sanksi hukum belum menciptakan efek jera bagi pelaku tipikor sehingga yang terkesan bagi narapidana tindak pidana korupsi ini merispon dengan santai dan tenang-tenang saja, bahkan bisa keluarmasuk penjara dengan mudah. DAFTAR PUSTAKA Alatas, Syed husein, 1990, Corruption; Its nature, Cause and Consequences, aldershot, Brookfield, Vt. Avebury Bank Dunia (The World Bank), Memerangi Korupsi di Indonesia, Kantor Bank Dunia Jakarta, 2003. Baharuddin Lopa & Moh Yamin, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UndangUndang No. 3 tahun 1971) Breikut Pembahasan serta Penerapannya Dalam Praktek, Alumni, Bandung, 1987. Budi Hardiman, F., Filsfat Modern, Dari Machiavelli Sampai Nietzhe, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004. Conny Semiawan, at.al., Panorama Filsafat Ilmu, Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman, Penerbit Teraju, Jakarta, 2005. Donald Walters, J., Crisis in Modern Thought, Menyelami Kemajuan Ilmu Pengetahuan Dalam Lingkup Filsafat dan Hukum Kodrat, Pt Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. Farah Dewi, Siti Nurfitriah, Analisi pengaruh korupsi terhadap pertumbuhan , Intervensi domestic dan FDI :, Tesis Program PAsca Sarjana UI, Depok 2002 Hamzah , Jur Andi. 2006. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana NAsional dan Internasional.PT. Raja Grafindo Persada Jakarta Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan hukum Pidana, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta, 2001.

16

17 Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integrasi Nasional, Yayasan Obor Indonesia dan Transparency International Indonesia, Jakarta, 2003. Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Cet. Kedua, Penerbit Belukar, Yogyakarta, 2005. Suradi.2006. Korupsi dalam sector pemerintah dan swasta . Mengurangi pengertian Korupsi , Pendeteksian, pencegahannya dan Etika bisnis, Gava Media Yogjakarta United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Korupsi, 2003), Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2004). Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Zainuri, Acmad. 2006. Korupsi berbasis tradisi, Akar cultural penyimpanan kekuasaan di Indonesia, Pligon Graphic. Tangerang

17

Anda mungkin juga menyukai