Anda di halaman 1dari 6

CPR ABC to CAB New AHA guidlines for resuscitation

Thursday, 11 November 2010 22:48 administrator


American Heart Association (AHA) telah mengeluarkan panduan Resusitasi Jantung paru (RJP) secara periodik sejak tahun 1966 hingga sekarang. Publikasi panduan AHA tahun 2010 ini mengangkat banyak perhatian karena mengeluarkan sebuah perubahan standarisasi algoritma baru terutama untuk BLS yang cukup berbeda dari publikasi tahun 2005 yang telah dipakai secara universal dalam berbagai elemen. Basic Life Support (BLS) BLS adalah pilar dasar pertolongan pertama henti jantung. Aspek penting dalam BLS adalah pengenalan dini terhadap henti jantung dan mengaktivasi sistem respon darurat untuk memanggil bantuan, RJP dini yang berkualitas, penggunaan alat defibrilasi otomatis sesuai dengan indikasi.

Gambar 1. Chain of Survival3 Perubahan yang terlihat adalah pada algoritma Basic Life Support (BLS) umum untuk dewasa dan anak (terkecuali neonatus), yaitu urutan A-B-C (Airway, Breathing, Chest compression) yang telah lama digunakan kini berubah menjadi C-A-B (Chest compression, Airway, Breathing). Rekomendasi ini berdasarkan studi analisis komprehensif dari literatur mengenai resusitasi yang pernah dipublikasikan. Proses ini berlangsung selama 36 bulan, didalamnya terdapar 356 ahli resusitasi dari 29 negara yang telah menganalisa, mengevaluasi, mendebatkan dan mendiskusikan hal tersebut. Alasan untuk perubahan tersebut adalah : Henti jantung terjadi sebagian besar pada dewasa. Angka keberhasilan kelangsungan hidup tertinggi dari pasien segala umur yang dilaporkan adalah henti jantung dan ritme Ventricular Fibrilation (VF) atau pulseless Ventrivular Tachycardia (VT). Pada pasien tersebut elemen RJP yang paling penting adalah kompresi dada (chest compression) dan defibrilasi otomatis segera (early defibrillation). Pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada seringkali tertunda karena proses pembukaan jalan nafas (airway) untuk memberikan ventilasi mulut ke mulut atau mengambil alat pemisah atau alat pernafasan lainnya. Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka kompresi dada akan dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus kompresi dada (30 kali kompresi dada secara ideal dilakukan sekitar 18 detik). Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan RJP dari orang sekitarnya. Ada banyak kemungkinan penyebab hal ini namun salah satu yang menjadi alasan adalah dalam algoritma A-B-C, pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam Airway adalah prosedur yang kebanyakan orang umum temukan paling sulit. Memulai dengan kompresi dada diharapkan dapat menyederhanakan prosedur sehingga semakin banyak korban yang bisa mendapatkan RJP. Untuk orang yang enggan melakukan ventilasi mulut ke mulut setidaknya dapat melakukan kompresi dada. AHA 2010 dalam panduannya memberikan 2 jenis algoritma BLS bagi korban dewasa yaitu sederhana untuk penolong non petugas kesehatan dan khusus untuk petugas kesehatan. Berikut algoritma terbaru dan penjelasannya.

Gambar 2. Algoritma BLS sederhana2 Algoritma sederhana ini diperuntukan untuk semua penolong untuk mempelajari, mengingat, dan mempraktekkan. Pengenalan dini. Jika seorang penolong menemukan korban dewasa yang tidak ada respon (tidak ada pergerakan atau respon terhadap stimulus luar) atau melihat korban tiba-tiba jatuh pingsan, maka penolong harus memastikan keamanan tempat kejadian lalu mengecek respon dengan menepuk bahu korban selagi meneriakkan nama korban. Jika penolong lebih dari satu orang maka langkah-langkah dalam algoritma ini dapat dilakukan bersamaan dan sinergis. Aktivasi sistem respon darurat. Penolong sebaiknya mengaktivasi sistem respon darurat yang dalam hal ini berarti menghubungi institusi yang mempunyai fasilitas/layanan gawat darurat, hal ini dapat beruba menghubungi rumah sakit, polisi, atau instansi terkait. Penolong non petugas kesehatan harus siap menerima instruksi dan melakukannya.2 Jika melihat korban tidak berespon dan dan tidak bernapas atau hanya sesak terengahengah maka penolong dapat mengasumsikan bahwa korban mengalami henti jantung. Pemeriksaan denyut nadi. Riset menunjukkan bahwa terdapat kesulitan dalam pemeriksaan denyut nadi korban baik dilakukan oleh penolong non petugas ksesehatan ataupun petugas kesehatan sehingga dapat membuang waktu yang berharga. Karena hal tersebut maka terdapat dua rekomendasi baru yaitu : Untuk penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi korban, penolong sebaiknya berasumsi bahwa korban mengalami henti jantung jika melihat gejala yang disebutkan diatas. Untuk petugas kesehatan, pemeriksaan nadi korban sebaiknya tidak lebih dari 10 detik jika lebih dari waktu tersebut tidak didapatkan denyut nadi yang definitive maka petugas sebaiknya memulai RJP dengan kompresi dada. Resusitasi Jantung Paru dini. Berbeda dengan panduan BLS AHA 2005, kompresi dada dilakukan terlebih dahulu sebelum adanya dua kali ventilasi awal sehingga membentuk algoritma C-A-B. Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus (30 kompresi, sekitar 1 8 detik). Untuk mendapatkan kompresi dada yang efektif dalam algoritma tersebut terdapat dua kata kunci yaitu push hard, push fast yang berarti tekan kuat, tekan cepat hal ini

memudahkan penolong non petugas kesehatan dalam melakukan kompresi seefektif mungkin. Dalam RJP yang efektif, kecepatan kompresi diharapkan mencapai sekitar 100 kompresi/menit dengan kedalaman sekitar 5 cm (2 inchi). Lokasi kompresi dilakukan pada tengah dada pasien. Setelah kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus dilanjutkan dengan ventilasi mulut ke mulut sebanyak dua kali ventilasi. Hal yang perlu diperhatikan adalah berikan jarak 1 detik antar ventilasi, perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat, dan perbandingan kompresi dan ventilasi untuk satu siklus adalah 30 : 2. Pengunaan alat defibrilasi otomatis. Algoritma diatas menunjukan adanya langkah terpisah untuk mendapatkan alat defibrilasi otomatis. Jika hanya terdapat satu penolong maka sebaiknya setelah mengaktivasi sistem darurat, penolong diharapkan mencari alat defibrilasi otomatis (jika tersedia dan dekat) lalu kembali ke korban untuk melakukan RJP. Jika ada lebih dari satu penolong maka langkah tersebut dilakukan bersamaan.2 Tipe strategi RJP. Terdapat 3 pola strategi RJP yang dapat diterapkan pada penolong sesuai dengan keadaannya. Pertama, untuk penolong non petugas kesehatan yang tidak terlatih, mereka dapat melakukan strategi Hands only CPR (hanya kompresi dada). Kompresi dada sebaiknya dilakukan hingga petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis tersedia. Kedua, untuk penolong non petugas kesehatan yang terlatih, mereka dapat melakukan strategi RJP kompresi dada dan dilanjutkan dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. RJP sebaiknya dilakukan hingga petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis tersedia. Ketiga, untuk petugas kesehatan, lakukan RJP kompresi dada sebanyak satu siklus yang dilanjutkan dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. Lakukan hal tersebut hingga advanced airway tersedia, kemudian lakukan kompresi dada tanpa terputus sebanyak 100 kali/menit dan ventilasi setiap 6-8 detik/kali (8-10 nafas/menit). Untuk petugas kesehatan penting untuk mengadaptasi urutan langkah sesuai dengan penyebab paling mungkin yang terjadi pada saat itu. Contohnya, jika melihat seseorang yang tiba-tiba jatuh, maka petugas kesehatan dapat berasumsi bahwa korban mengalami fibrilasi ventrikel, setelah petugas kesehatan mengkonfirmasi bahwa korban tidak merespon dan tidak bernapas atau hanya sesak terengah-engah, maka petugas sebaiknya mengaktifasi sistem respon darurat untuk memanggil bantuan, mencari dan menggunakan AED (Automated External Defibrilator), dan melakukan RJP. Namun jika petugas menemukan korban tenggelam atau henti nafas maka petugas sebaiknya melakukan RJP konvensional (A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum mengaktivasi sistem respon darurat. Sama halnya dalam bayi baru lahir, penyebab arrestkebanyakan adalah pada sistem pernafasan maka RJP sebaiknya dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali terdapat penyebab jantung yang diketahui.

Gambar 3. Algoritma BLS untuk petugas kesehatan Untuk petugas kesehatan, prinsip dasar langkah-langkah algoritma tetap sama dengan yang sederhana. Pengenalan dini. Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive maka petugas kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan memeriksa respon korban. Tepukan pada pundak dan teriakkan nama korban sembari melihat apakah korban tidak bernafas atau terengah-engah. Lihat apakah korban merespon dengan jawaban, erangan atau gerakan. Korban yang tidak responsif serta tidak ada nafas atau hanya terengah-engah maka petugas kesehatan dapat mengasumsi bahwa korban mengalami henti jantung. Aktivasi sistem darurat. Petugas sebaiknya mengaktivasi sistem respon darurat yang dalam hal ini berarti menghubungi institusi yang mempunyai fasilitas/layanan gawat darurat, contohnya menghubungi rumah sakit, polisi, atau instansi terkait. Hal yang perlu diperhatikan adalah pada AHA 2010 ini ada dua hal yang tidak dianjurkan setelah memeriksa korban tidak responsif yaitu : Memeriksa ada tidaknya nafas pada korban dengan look, feel, listen. Sulitnya menilai nafas yang adekuat pada korban merupakan alasan dasar hal tersebut tidak dianjurkan. Nafas yang terengah dapat disalah artikan sebagai nafas yang adekuat oleh professional maupun bukan. Contohnya pada korban dengan sindroma koroner akut sering kali terdapat nafas terengah yang dapat disalah artikan sebagai pernafasan yang adekuat. Maka tidak dianjurkan memeriksa pernafasan dengan look, feel, listen dan direkomendasikan untuk menganggap pernafasan terengah sebagai tidak ada pernafasan. Memeriksa denyut nadi pasien. Untuk petugas kesehatan, pemeriksaan nadi korban sebaiknya tidak lebih dari 10 detik jika lebih dari waktu tersebut tidak didapatkan denyut nadi yang definitive maka petugas sebaiknya memulai RJP. Kedua hal tersebut tidak lagi dianjurkan bertujuan untuk meminimalisir waktu untuk memulai RJP. Resusitasi Jantung Paru dini. Seperti yang telah disebutkan, mulai RJP dengan

algoritma C-A-B . Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik). Kriteria penting untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah : Frekuensi kompresi setidaknya 100 kali/menit. Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm), sedangkan untuk bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm). Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum). Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping korban jika korban berada di tempat tidur (bila perlu dengan bantuan ganjalan kaki untuk mencapai tinggi yang diinginkan sehingga dan papan kayu untuk mendapatkan kompresi yang efektif selama tidak memakan waktu). Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi. Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi. Menghindari ventilasi berlebihan. Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap 2 menit. Setelah itu melakukan langkah Airway dan Breathing. Kriteria peting pada Airway dan Breathing adalah : Airway. Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui head tilt chin lift. Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust. Breathing. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat. Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya sebagai berikut : Pastikan hidung korban terpencet rapat Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam) Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin Berikan satu ventilasi tiap satu detik Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua selama satu detik.

Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui mulut korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban. Untuk pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask dewasa dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang memenuhi volume tidal sekitar 600 ml. Setelah terpasang advance airway maka ventilasi dilakukan dengan frekuensi 6 8 detik/ventilasi atau sekitar 8-10 nafas/menit dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi. Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2, setelah terdapat advance airway kompresi dilakukan terus menerus dengan kecepatan 100 kali/menit dan ventilasi tiap 6-8 detik/kali. RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau petugas

ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway. Alat defibrilasi otomatis. Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah alat tersedia/datang ke tempat kejadian. Pergunakan program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi kejut atau tidak, jika iya lakukan terapi kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi kejut lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support ) datang, atau korban mulai bergerak. Posisi mantap. Lebih dikenal dengan recovery posisition, dipergunakan pada korban tidak responsive yang memiliki pernafasan dan sirkulasi yang baik. Tidak ada posisi baku yang menjadi standar, namun posisi yang stabil dan hamper lateral menjadi prinsip ditambah menaruh tangan yang berada lebih bawah ke kepala sembari mengarahkan kepala menuju tangan dan menekuk kedua kaki menunjukan banyak manfaat.2
Referensi: John M. Field, Part 1: Executive Summary: 2010 American Heart Association Guidelines forCardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S640-S656. Robert A. Berg, et al. Part 5: Adult Basic Life Support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation2010;122;S685-S705. Andrew H. Travers, et al. Part 4: CPR Overview: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S676-S684 Anggaditya Putra, MD.CPR ABC to CAB New AHA guidlines for resuscitation.http://www.exomedindonesia.com /referensi-kedokteran/artikel-ilmiah-kedokteran/jantung-danpembuluh-darah-cardiovaskular/2010/11/06/cpr-abc-to-cba-new-aha-guidlines-for-resuscitation/

Anda mungkin juga menyukai