Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis energi masih menjadi pembicaraan hangat oleh masyarakat dunia karena
kekhawatiran akan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang semakin bertambah seiring
dengan berkembangnya industri dan populasi penduduk, kebutuhan BBM di tanah air sendiri
setiap tahun meningkat. Apalagi ditambah kenyataan perubahan iklim yang nampak permanen
yang menurut kenyataan badai dingin/ salju, banyak menimpa negara Amerika dan Eropa.
Negara-negara tersebut merupakan non produsen BBM sebaliknya merupakan konsumen
terbesar di dunia. Dengan musim dingin tersebut, maka negara tersebut membutuhkan BBM
yang lebih banyak, oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan dunia dibeberapa tahun akan
datang krisis BBM masih mengancam dunia.
Sejak puluhan tahun silam beberapa negara telah memproduksi dan menggunakan bahan
bakar dari sumber selain BBM, seperti biodiesel dan bioetanol. Namun di tanah air baru
diprogramkan beberapa tahun lalu, dan sekarang sebagian institusi telah menyediakan tansportasi
dengan bahan bakar biodiesel maupun bioetanol.
Biodiesel yang banyak diproduksi berasal dari tanaman jarak dan kapuk, beberapa
sumber lainnya masih kurang dikenal oleh masyarakat umum di tanah air. Setidaknya ada 60
macam tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan baku biodiesel di antaranya adalah jarak,
kelapa sawit, randu, nyamplung, kelapa, jagung, singkong, nimba, kakao, kayu manis, kelor,
kemiri, padi, pepaya, rambutan, sirsak, srikaya, wijen, kecipir, karet, kosambi. Yang sudah
diteliti dan diterapkan sebagai bahan bakar adalah pohon jarak dan kelapa sawit (Anonim. 2008).
Indonesia sebagai negara megabiodiversity, kaya akan keanekaragaman hayati.
Keanekaragaman hayati ini memiliki potensi yang cukup besar namun tidak terlalu
termanfaatkan secara optimal, salah satunya adalah limbah (kalong) dari biji buah matoa. Buah
matoa tidak dapat dinikmati oleh masyarakat secara optimal karena dimangsa oleh kalong.
"Tanaman buah matoa ini layak dikembangkan apalagi tidak memerlukan perawatan khusus.
Cuma perlu diberonjong buahnya, sebab buah ini sangat disenangi kalong. Jadi kalau tidak
dipasang beronjong buahnya pasti dihabisi kalong." kata Indra (Jaya, Djoni Hartawan. 2009)
Buah matoa sering di serang hama kalong sebagaimana pula di Kabupaten
Soppeng, kalong memakan daging buah dan menyisahkan bijinya, limbah kalong tersebut
berserakan dan tidak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat. Limbah dari biji buah matoa yang
dijatuhkan oleh kalong tersebut bisa diolah menjadi biodiesel bahan bakar alternatif bagi
masyarakarat di pedesaan. Hal ini ditunjukkan dalam pengamatan bahwa biji matoa yang kering
bila dipres akan mengeluarkan minyak (nabati).
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka tidaklah berlebihan apabila timbul inspirasi dan
niat positif bagi peneliti untuk melakukan analisis kandungan biodiesel dari limbah (kalong) biji
buah matoa yang sangat melimpah di Kabupaten Soppeng khususnya. Penelitian ini akhirnya
diberi judul Analisis Rendamen Biodiesel Limbah (kalong) dari Biji Buah Matoa (Pometia
pinnata)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, rumusan masalah penelitian ini yaitu,
apakah rendemen (kadar kandungan) minyak nabati di dalam limbah (Kalong) dari biji buah
matoa (Pometia pinnata) cukup tinggi (signifikan) untuk dijadikan biodiesel?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini yaitu, untuk apakah rendemen (kadar kandungan) minyak nabati
di dalam limbah (Kalong) dari biji buah matoa (Pometia pinnata) cukup tinggi (signifikan) untuk
dijadikan biodiesel.





D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Sebagai media untuk memperkaya ilmu pengetahuan. Dengan karya ini, penulis dapat
menjadikan sarana untuk melatih diri mengembangkan bakat menulis dan meneliti.
2. Bagi Masyarakat
a. Memberikan informasi bagi masyarakat bahwa limbah (kalong) biji buah matoa (Pometia
pinnata) dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar berupa biodiesel.
b. Membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat sekaligus dapat meningkatkan pendapatan
ekonomi masyarakat dengan dikembangkannya industri biodiesel di pedesaan.
c. Masyarakat secara langsung ikut program penghijauan dengan memperbanyak dan merawat
tanaman dengan senantiasa memngumpulkan limbah dalam mengurus limbah (kalong) biji buah
matoa (Pometia pinnata).
3. Bagi Pemerintah
Penulisan karya ini dimaksudkan agar pemerintah dapat memprogramkan
teknologi tepat guna yang dapat dimanfaatkan untuk mengelolah limbah, terutama limbah
(kalong) biji buah matoa (Pometia pinnata) yang tidak termanfaatkan, sehingga memberi
tambahan penghasilan bagi masyarakat di pedesaan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Matoa
Tanaman matoa merupakan tanaman khas dari Maluku akan tetapi belum dibudidayakan
oleh masyarakat Papua, hal ini dikarenakan tanaman banyak tumbuh di hutan-hutan secara alami
sehingga masyarakat tidak perlu menanam namun masih bisa mendapatkan buah matoa yang
melimpah (Vitiawan, Santo. 2008).
Adapun klasifikasi tanaman Matoa (Pometia pinnata) yang dikutip dari publikasi
internet, dapat dipaparkan sebagaimana berikut:
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Famili : Sapindaceae
Genus : Pometia
Spesies : Pometia pinnata J.R. & G.Forst
Nama Lokal : Pakam (Batak Karo), kasai (Inggris),matoa (Indonesia), lauteneng
(Simalur), langsek anggang (Minangkabau), leungsir (Sunda), kayu sapi (Jawa), motoa ngaage
(Galileo), Hatobu, Ngaeke (Tobelo).
Pohon Matoa dapat mencapai tinggi 47 m, dengan garis tengah batang 140 cm,
berbanir besar sampai 5,50 m tingginya. Daunnya bersirip dengan 3 - 13 pasang anak daun. Daun
terbawah seringkali menyerupai stipula (daun penumpu). Bagian-bagian yang muda kadang-
kadang berbulu halus. Bunga jantan dan betina. Buah berbentuk elips, ukurannya mencapai 3,5
X 3 cm, dengan berbagai warna kulit, mulai dari kuning, merah tua, ungu atau coklat. Daging
buahnya tipis dan manis. (De Graaf, NR & JW Hildebrand, PB Laming, JM Fundter. 2009)
Matoa termasuk tanaman langka. Pohonnya rindang dengan akar yang kuat dan
buahnya berasa manis. Buah matoa yang tumbuh di Papua umumnya dapat dimakan, Ada yang
menyebut rasa manisnya seperti kelengkeng campur durian, ada pula yang menyebut seperti
rambutan. Matoa asli Papua ternyata mempunyai keistimewaan (Vitiawan, Santo. 2008).
Kayu yang dihasilkan oleh pohon matoa cukup berkualitas dan sangat umum digunakan
sebagai bahan bangunan oleh masyarakat papua dan industri kayu lapis yang kemudian diekspor
ke luar negeri. Juga dapat digunakan untuk peralatan pertanian dan peralatan olah raga serta
bahan pembuat arang. Kulit kayunya juga dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional (De
Graaf, NR & JW Hildebrand, PB Laming, JM Fundter. 2009).
Tanaman itu bisa ditanam melalui biji maupun cangkok. Jika ditanam melalui biji, matoa
bisa mulai berbuah pada umur 3,5 sampai 4 tahun. Namun, jika melalui cangkok, umur 1,5-2
tahun sudah bisa berbuah. Ada keunggulan tersendiri jika menanam matoa melalui biji atau
cangkok. Selanjutnya dikatakan pula bahwa kendala utama hanyalah hama kalong. "Dari
pengalaman yang ada, kendala terbesar adalah kalong dan codot. Jadi, kalau matoa mulai
matang, saya harus membungkus setiap buah matoa di pohon menggunakan kain strimin dari
kawat. Kalau tidak seperti ini jangan harap akan dapat menikmati," kata sesepuh Kelurahan
Hadimulyo Barat itu (Suprayogi. 2008).
B. Biodiesel
Energi alternatif adalah energi pengganti daripada energi yang sering kita gunakan.
Energi ini merupakan energi yang bisa terbarukan atau bisa dipakai terus menerus, mudah
didapatkan dan ramah lingkungan.
Pemerintah diketahui telah memprogramkan pemanfaatan Jarak Pagar sebagai subtitusi
solar dan singkong sebagai subtitusi premium. Kedua komoditas ini diharapakan mengganti
pemakaian solar. Menurut penelitian minyak jarak mengandung banyak oksigen sehingga akan
terjadi pembakaran sempurna, emisi karbon menjadi berkurang (buangan tidak berbahaya,
bersih, dan ramah lingkungan) (Prihandana,Rama. 2005).

Adapun proses pembuatan biodiesel cukup sederhana yaitu dengan mencampur minyak
nabati yang didapat dari tumbuhan dengan metanol atau etanol sehingga didapatkan ester metil
atau ester etil dan gliserin. Ester metil ataupun ester etil adalah wujud dari biodiesel itu sendiri.

Pemakaian biodesel untuk otomotif sudah banyak dilakukan di luar negeri seperti,
Jerman, Perancis, Maslyasia dan Jepang. Sedangkan, di Indonesia baru diperkenalkan pada tahun
2005 dan saat ini sudah dipakai untuk otomotif dengan dicampur hingga 5 % dengan solar yang
dikenal dengan Biofuel. Bilamana program pemerintah dan kesediaan masyarakat untuk
menggunakan biodiesel menjadi suatu kenyataan, maka tidak tertutup kemungkinan bahan baku
jarak saja tidak mencukupi. Oleh karena itu, perlu didukung oleh pembudidayaan tanaman yang
berpotensi untuk sumber biodiesel lainnya. Sumber biodiesel selain jarak (Jatropha curcas) dan
biji kapuk yang sudah umum diketahui, beberapa lainnya dapat disebutkan sebagai berikut: Biji
buah kelor (Moringa Oleifera), Nyamplung (Callophyllum inophyllum), Kacang Tanah (Arachis
hypogea), Kemiri (Aleurites moluccana), Alpukat (Persea gratissima). Sedangkan di Kabupaten
Soppeng menurut uji pendahuluan diketahui pohon matoa juga berpotensi menjadi sumber
biodiesel (Prihandana, Rama. 2005).
C. Industri Biodiesel
Ada beberapa negara produsen dan konsumen terbesar biodiesel sebagaimana diuraikan
oleh Fediol dan EBB dalam Rama Prihandhana (2005) yakni untuk peringkat 3 besar adalah
masing-masing Jerman, Perancis, dan Italia dengan produksi pada tahun 2004 masing-masing
1.035, 348, dan 320 ton. Adapun komponen mesin industri biodiesel yang digunakan di negara
maju sebagaimana berikut:
a. Expeller (digunakan untuk memerah biji-bijian)
b. Tangki Degumming (untuk menghilangkan getah hasil perahan dari expeller)
c. Filter press (penyaringan)
Di Indonesia mesin biodiesel berupa pilot plant yang dibangun oleh BPPT tahun 2003
dengan kapasitas 1,5 ton/hari, PT Energi Alternatif INDONESIA tahun 2005 di Jakarta Utara
berkapasitas 1 ton perhari. Sedangkan skala penelitian laboratorium sebagaimana yang dilakukan
di SMAN 1 Liliriaja Kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan, hanya menggunakan alat
laboratorium sederhana dengan metode ekstraksi dengan zat pelarut (maserasi dan soxhlet),
dibantu dengan alat pres ulir, dan penguapan zat pelarut dengan menggunakan alat destilasi.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Tempat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang dilakukan di laboratorium SMAN
1 Liliriaja Kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan, yang didukung dengan studi pustaka
dibeberapa literatur dari internet dan buku.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan yaitu wadah, tabung erlenmeyer, alat distilasi, soxhlet, blender,
corong, gelas ukur, kain kasa, saringan, kompor listrik, panci, timbangan, pres ulir, serta lilin dan
sendok untuk uji daya bakar.
Bahan yang digunakan yaitu biji kering limbah buah matoa , dan pelarut organik (aseton),
serta metanol.
C. Prosedur Penelitian
1. Uji Pendahluan
a. Ampas dari pengambilan bioetanol (56 biji) di campurkan dengan pelarut organik (aseton)
b. Didiamkan dengan interval waktu tertentu
2. Percobaan I (Pertama)
a. Timbang dan haluskan sampel sebanyak 500 gram
b. Maserasi dengan aseton selama 24 jam, kemudian pemisahan zat pelarut dengan pengepresan
alat pres ulir
c. Distilasi untuk memisahkan pelarut aseton dari bahan biodiesel sekitar 3 jam, dan hentikan
ketika hasil distilat tidak menetes lagi dan residu tidak mendidih atau hanya menunjukkan
letupan
d. Biodiesel atau residu dalam botol distilasi dipindahkan dalam gelas ukur kapasitas 50 ml dan
dibiarkan mengendap 6 jam
e. Rendemen biodiesel dihitung menggunakan persentase yaitu volume dibagi berat sampel dikali
100%. Uji daya bakar.

3. Percobaan II (Kedua)
a. Blender sampel 75 gram
b. Ekstrak menggunakan Soxhlet dengan aseton 300 ml
c. Distilasi untuk memisahkan aseton dan biodiesel
d. Distilasi untuk memisahkan pelarut aseton dari bahan biodiesel sekitar 3 jam dan hentikan ketika
hasil distilasi tidak menetes lagi dan residu tidak mendidih atau hanya menunjukkan letupan
e. Biodiesel atau residu dalam botol distilasi dipindahkan dalam gelas ukur kapasitas 50 ml dan
dibiarkan mengendap 6 jam
f. Hitung persentase rendemen
g. Uji bakar hasil biodiesel.
4. Perhitungan rendemen
Perhitungan rendemen dengan rumus matematika sederhana sebagaimana ditunjukkan
berikut ini:
Volume hasil (Ml) . 100%
Berat bahan (Gr)

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian
1. Uji Pendahuluan
Tabel 4.1
Hasil Uji Pendahuluan
Bahan Proses Hasil
56 biji buah matoa(ampas
dari pengambilan
bioetanol)
Dicampurkan dengan bahan
organik (aseton)
Dirasakan
berminyak di
permukaan kulit
Sumber: Hasil penelitian

2. Analisis Rendemen
Tabel 4.2
Jumlah Bahan, Metode, Hasil dan Rendemen Biodiesel Biji Matoa Kering
Percobaan
Bahan
(gr)
Metode
Residu
(ml)
Minyak/Lemak
(ml)
Rendemen
Biodiesel
% (vol/gr)
I 500
Maserasi,
Dipres, dan
Distilasi
48,0

Metanol

37,0 7,4
Sumber: Hasil penelitian, perhitungan

Tabel 4.3
Jumlah Bahan, Metode, Hasil dan Rendemen Biodiesel Biji Matoa Kering
Percobaan
Bahan
(gr)
Metode
Biodisel
(ml)
Lemak
(gliserin)
(ml)
Rendemen
(%)
II 75
Ekstraksi
Soxhlet dan
Distilasi
11,0 9,5 14,6
Sumber: Hasil penelitian, perhitungan
B. Pembahasan
Hasil uji pendahuluan (Tabel 4.1) dengan 56 buah biji segar matoa yang telah
difermentasi untuk bioetanolnya ditambahkan aseton dan terlihat larutannya menjadi keruh, hal
ini menunjukkan bahwa biji buah matoa juga mengandung minyak yang banyak. Sebagai
tambahan, bahwa dari pengamatan atas biji matoa yang kering yang dipres menggunakan alat
pres ulir, minyak yang keluar dapat langsung terbakar dengan residu warna hitam.
Untuk ekstraksi minyak nabati ataupun biodiesel digunakan bahan dari biji matoa yang
sudah dikeringkan, dalam percobaan I (pertama) residu dari distilasi untuk penguapan aseton
didapatkan hasil 48 ml (Tabel 4.2). Hasil ini dibiarkan mengendap 12 jam, ternyata membeku
dalam suhu ruangan, hanya sebagian kecil yang tidak membeku.
Oleh karena tidak bisa dilakukan uji daya bakar, maka diputuskan untuk melarutkan
dengan mencapurkan 60 ml metanol. Campuran ini kemudian dikocok beberapa saat dan
kemudian dipanaskan dalam wadah dengan air mendidih sambil dikocok untuk menguapkan sisa
metanol yang tidak mengurai dengan minyak atau lemak. Perlakuan ini dimaksudkan untuk
mengkonversi residu yang membeku di atas menjadi biodiesel walaupun tanpa menggunakan zat
katalis berupa KOH sebagaimana yang diungkap dalam literatur.
Hasil dari perlakuan di atas kemudian diukur dalam gelas ukur dan memberi hasil 37 ml,
kemudian dilanjutkan dengan uji daya bakar, hasil pembakaran menunjukkan warna api merah
dan sebahagian kecil warna biru, pembakarannya tidak sempurna ditunjukkan oleh dengan residu
yang berwarna hitam.
Dalam percobaan II (kedua) untuk bahan biji matoa yang telah dikeringkan sebanyak 75
gram, digunakan metode ekstraksi dengan menggunakan soxhlet dengan zat pelarut
aseton. Setelah didistilasi, residu yang dihasilkan sebanyal 20,5 ml, kemudian setelah dingin
terbagi menjadi dua layer. Layer (lapisan) yang dibagian bawah berupa larutan minyak sebanyak
11,0 ml, sedangkan yang di atas membeku (kental) seperti mentega (gliserin) sebanyak 9,5 ml
(Tabel 4.3). Uji daya bakar dilakukan terhadap larutan yang berada di bawah, dan hasilnya
menunjukkan pembakaran sempurna, tan residu dengan api berwarna biru.
Terdapat perbedaan hasil dari dua metode yang dilakukan, metode ekstraksi dengan
soxhlet menujukkan hasil yang labih akurat dan hasil uji daya bakarnya juga baik. Dengan
persentase 14,6% biodiesel, maka biji kering buah matoa termasuk salah satu sumber biodiesel
yang menguntungkan.
Oleh karena bahan penelitian ini berupa limbah dari kalong, tidak diupayakan memanen
buah dan mengumpulkan dari pohon matoa, maka untuk dapat mengetahui lebih jauh tingkat
ekonomisnya, diperlukan penelitian lebih lanjut yang mencakup penelitian tentang jumlah
produksi biji buah matoa perpohon yang produktif atau per luas lahan budidaya, dan
membandingkan dengan sumber penghasil biodiesel lainnya seperti jarak dan kapuk.






BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Limbah buah matoa yang selama ini banyak dibiarkan oleh masyarakat ternyata adalah
sumber penghasil biodiesel yang menguntungkan karena rendemennya hingga mencapai 14,6%.
Hasil dari dua percobaan dengan dua metode yang digunakan menunjukkan bahwa biji matoa
dapat dipastikan mengandung minyak yang bisa dikonversi menjadi biodiesel. Percobaan I
(pertama) memberi hasil 7,4% lebih rendah (50%) dari percobaan II (kedua) selain karena jenis
metode yang berbeda juga dimungkinkan adanya kehilangan hasil selama dalam percobaan. Hal
ini disimpulkan mengingat dalam prosedur yang pertama dilakukan pemindahan dari satu wadah
ke wadah lainnya, maka dengan adanya sifat minyak yang melengket pada dinding wadah, maka
selalu ada yang tersisa pada dinding wadah.
B. Saran
1. Perlu adanya suatu penyebaran informasi kepada masyarakat bahwa limbah (kalong) dari biji
buah matoa (Pometia pinnata) dapat diolah menjadi biodiesel.
2. Perlu adanya perhatian dari pemerintah untuk membudidayakan tanaman matoa sebagai
tumpangsari dengan tanaman penghasil biodiesel maupun bioetanol lainnya.
3. Perlu diupayakan pengembangan teknologi tepat guna untuk menghasilkan bahan bakar
alternatif dari tanaman tauapun limbah peranian dengan kualitas dan kunatitas yang optimal.





DAFTAR PUSTAKA

Silaen, Sofar. 2004. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Remaja. Jakarta: CV Jasa Usaha Mulia.
Anonimus. http://iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/index.php?mnu=2&id=102 diakses tanggal 13
September 2010
________. 2008. Para Kandidat Biodiesel. http://imultiply.com diakses tanggal 15 September 2010
De Graaf. NR & JW Hildebrand, PB Laming, JM Fundter. 2009. Detil data Pometia pinnata J.R. & G.
Forster http://www.proseanet.org/ browser.php diakses tanggal 23 September 2010
Jaya, Djoni Hartawan. 2008. Agrobisnis Matoa Rambutan Papua yang Makin Dicari
http://www.lampungpost.com/ kelelawar.htm diakses tanggal 23 September 2010
Prihandana, Rama. 2005. Bukusaku Jarak Pagar. Jakarta
Vitiawan, Santo. 2008. Matoa Papua Memiliki Ekonomis Tinggi. http://multiply.com/26.htm diakses
tanggal 3 Oktober 2010
Suprayogi. 2008. Agrobisnis Sumber Penghasilan Tambahan. http://www.lampungpost.com/
kelelawar.htm diakses tanggal 6 Oktober 2010.

##Karya ini sudah pernah diikut lombakan dalam L-KIMPENA yang diselenggarakan oleh
UNIMUSMUH dan alhamdulillah dapat juara 2 dan juara 1 karya ilmiah yang ada dipostingan
lama (pemanfaatan kluwih sebagai sumber bioetanol

Anda mungkin juga menyukai