Anda di halaman 1dari 27

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 1
Manajemen Konflik
By: Erfi Ilyas
erfiilyas@yahoo.com

1. Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, tidak seorangpun bisa hidup sendiri tanpa berinteraksi
dengan orang lain (nobody is island). Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa
interaksi dengan orang lain merupakan kebutuhan dasar manusia setelah kebutuhan
fisiologis, bahkan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis sekalipun seseorang
membutuhkan interaksi dengan orang lain.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, dimana kehidupan masyarakat
berjalan dengan sangat dinamis dengan persaingan yang semakin ketat dan
perubahan lingkungan yang semakin tidak terprediksi, tidak pelak lagi akan
membawa orang pada situasi konflik. Artinya hampir tidak mungkin kita bisa
mengelak dari situasi konflik. Konflik tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang baik
atau jelek, konflik hanyalah fakta kehidupan. Konflik tidak bisa diprediksi dan
dicegah, konflik hanya bisa dikelola. Karenanya harus dimaknai secara wajar
sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri.
Konflik, bila dikelola secara baik akan memberi banyak manfaat. Melalui konflik
kita memperoleh kesempatan memahami sudut pandang orang lain, mendorong
kreativitas untuk keluar dari situasi yang tidak diharapkan. Konflik bisa menjadi
katalis bagi perubahan, memberi pembelajaran dan memperluas perspektif dalam
melihat persoalan. Sementara disisi lain, bila tidak dikelola secara baik, konflik bisa
menjadi sangat merugikan, menyebabkan terjadinya chaos yang sering bermuara
pada tindakan kekerasan dan destruktif. Ada banyak bukti yang dapat ditunjukkan
betapa konflik yang tidak terkelola secara baik telah menghancurkan sendi-sendi
kehidupan masyarakat. Begitu pula dengan kehidupan organisasi, konflik yang
dikelola dengan baik akan memberi banyak manfaat bagi kemajuan organisasi,
konflik dapat mendorong pertumbuhan, kreativitas, kohesivitas, dan sebagainya.
Namun kalau tidak dikelola dengan baik, konflik juga dapat melumpuhkan organisasi.
Sehubungan dengan itu, agar konflik dapat memberi manfaat yang maksimal,
diperlukan kemampuan mengelola konflik dengan cara yang tepat. Untuk dapat
mengelola konflik dengan baik dibutuhkan pemahaman yang baik tentang aspek-
aspek yang berkenaan dengan konflik tersebut, seperti; sumber-sumber konflik,
berbagai pandangan tentang konflik, tipe-tipe konflik, dampak konflik, indikator
adanya konflik, gaya manajemen konflik dan strategi penyelesaian konflik. Dengan
pemahaman tersebut diharapkan konflik dapat dikelola secara konstruktif, sehingga
memberi faedah yang maksimal guna meraih kesempatan untuk terus maju. Kecuali
itu, dengan pemahaman yang baik konflik dapat diselesaikan menggunakan strategi
yang tepat, sehingga dampak negatif konflik dapat ditekan sekecil mungkin.

2. Berbagai definisi tentang Konflik (Conflict definition)
Definisi konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah;
percekcokan; perselisihan; pertentangan. Sementara itu, definisi konflik menurut
Cassell Concise English Dictionary (qtd. In. Lacey, 2003:17) adalah;

a fight, a collision; a struggle, a contest; opposition of interest, opinions or
purpose; mental strife, agony.

Mengacu pada definisi di atas, konflik berarti suatu pertarungan, suatu
benturan; suatu pergulatan, pertentangan kepentingan-kepentingan, opini-opini atau
tujuan-tujuan; pergulatan mental, penderitaan batin

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 2

Sedangkan pengertian konflik menurut Winardi (1994:1) adalah;

adanya oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-
kelompok atau organisasi-organisasi.

Pengertian yang tidak jauh berbeda dengan pengertian konflik menurut
Winardi di atas, dikemukan pula oleh Kusnadi (2001:11), yang memberikan definisi
tentang konflik seperti berikut:

konflik adalah segala bentuk interaksi yang bersifat oposisi atau suatu
interaksi yang bersifat antagonis (berlawanan, bertentangan atau
berseberangan).

Sementara itu, definisi konflik menurut Vecchio et. al (1992:454) adalah:

conflict is the process that results when one person (or a group of people)
perceives that another person or group is frustrating, or about to frustrate, an
important concern. Conflict involves incompatible differences between parties
that result in interference or opposition.

Dengan redaksi yang agak berbeda, Wood et. al (2001:534) memberikan
definisi tentang konflik sebagai berikut:

Conflict is a situation in which two or more people disagree over issues of
organisational substance and/or experience some emotional antagonism with
one another

Definisi konflik yang lebih lengkap diberikan oleh Daniel Webster (qtd. in
Pickering, 2000:1) yang mendefinisikan konflik sebagai:

persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu
sama lain.
keadaan atau perilaku yang bertentangan (misalnya: pertentangan
pendapat, kepentingan, atau pertentangan antar individu).
perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan yang
bertentangan.
perseteruan

Berangkat dari beberapa definisi konflik di atas, dapat disimpulkan bahwa
konflik pada dasarnya merupakan pertentangan, atau perselisihan yang dapat terjadi
dalam diri individu, antar individu, antar kelompok, dan antar organisasi.
Pertentangan atau perselisihan tersebut dapat menyangkut aspek-aspek yang
terkait dengan; kebutuhan, keinginan, pendapat, kepentingan, tujuan, dan lain
sebagainya. Artinya konflik dapat terjadi akibat adanya perbedaan kebutuhan,
keinginan, pendapat, pandangan, persepsi, interpretasi serta kepentingan, baik yang
terjadi dalam diri individu, antar individu, antar kelompok maupun antar organisasi.
Karenanya konflik dapat terjadi bila dalam suatu situasi terdapat perbedaan sudut
pandang terhadap situasi tersebut.

3. Tipe-tipe konflik
Mengelompokkan konflik ke dalam kategori tertentu bukanlah pekerjaan yang
mudah, karena banyak sekali parameter yang dapat dijadikan rujukan. Berangkat
dari pengertian yang terkandung dalam definisi konflik, dapat dipahami bahwa konflik
muncul sebagai akibat dari adanya ketidaksesuaian paham atau perbedaan sudut
pandang pada suatu situasi sosial terhadap suatu persoalan dan/atau adanya

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 3
antagonisme-antagonisme emosional. Ditinjau dari objek yang menjadi konflik,
Winardi (1994:5) membagi konflik ke dalam dua kategori yaitu, (1) Konflik-konflik
substantif (substantive conflict), dan (2) Konflik-konflik emosional (emotional conflict).
Konflik substantif (Substantive conflict) - Konflik substantif adalah konflik yang
terjadi akibat adanya ketidaksesuaian paham tentang hal-hal yang berkenaan
dengan; tujuan-tujuan, alokasi sumber daya, distribusi imbalan, kebijaksanaan-
kebijaksanaan, dan prosedur-prosedur, serta penugasan pekerjaan. Sementara itu,
konflik substantif menurut Wood, et. al (2001:534) adalah; conflict that occurs in the
form of a fundamental disagreement over ends or goals to be pursued and the
means for their accomplishement. Jadi Wood lebih melihat konflik substantif sebagai
konflik yang terjadi akibat tidak adanya kesepahaman tentang tujuan yang akan
dikejar dan sarana untuk memenuhinya.
Konflik emosional (Emotional conflict) - Konflik emosional adalah konflik yang
dtimbulkan karena adanya perasaan-perasaan marah, ketidak-percayaan, ketidak-
senangan, perasaan takut tersaingi, sikap pembangkangan, dan bentrokan-
bentrokan kepribadian. Pengertian yang tidak jauh berbeda diberikan pula oleh
Wood et. al (2001: 534) yang menjelaskan bahwa; emotional conflict is conflict that
involves interpersonal difficulties that arise over feeling of anger, mistrust, dislike,
fear, resentment and the like. Dengan demikian konflik emosional adalah konflik
yang lebih banyak dipicu oleh perasaan marah, tidak suka, tidak percaya, khawatir,
dendam, dan kebencian.
Baik konflik substantif maupun konflik emosional dapat bersifat destruktif
maupun konstruktif, tergantung bagaimana konflik tersebut dihadapi, dimaknai dan
dikelola.
Ditinjau dari tujuan organisasi konflik dapat dibedakan atas konflik fungsional
dan konflik disfungsional (Kusnadi, 2001:22-23).
Konflik fungsional (Functional conflict) - Adalah konflik yang mendukung
pencapaian tujuan organisasi dan karenanya cenderung bersifat konstruktif,
sehingga konflik jenis ini sangat dibutuhkan oleh organisasi.
Konflik disfungsional (Dysfunctional conflict) - adalah konflik yang menghambat
pencapaian tujuan organisasi dan karenanya seringkali bersifat destruktif. Meskipun
konflik disfungsional ini merupakan konflik yang sangat merugikan, namun
keberadaanya dalam suatu organisasi seringkali tak dapat dihindari. Oleh karena itu
harus diupayakan menjadi konflik fungsional atau berbagai penyebab munculnya
konflik disfungsional ini dieliminir semaksimal mungkin.
Melalui perspektif yang agak berbeda, Fred Luthans (1995:270-291)
membagi konflik ke dalam 4 (empat) ketegori yaitu; (1) intra-individual conflict, (2)
interpersonal conflict, (3) Intergroup conflict, dan (4) organizational conflict.
Sementara itu, pengelompokkan konflik yang tidak jauh berbeda dengan
pengelompokkan Fred Luthans dikemukan pula oleh James A.F. Stoner dan Charles
Wankel (qtd. in. Winardi, 1994:68-70) serta Wood et al (2001:535) yang membagi
konflik menjadi empat macam tipe yaitu; (1) konflik di dalam individu, (2) konflik antar
individu-individu, (3) konflik antara kelompok-kelompok, dan (4) konflik antara
organisasi-organisasi.

3.1 Konflik dalam diri individu (Intra-individual Conflict )
Menurut Fred Luthans (1995:270) dalam diri setiap individu biasanya
terdapat; (1) a number of competing needs and roles, (2) a variety of ways that drives
and roles can be expressed, (3) many type of barriers which can occur between the
drive and the goal, and (4) both positive and negative aspect attached to desired
goals. Proses adaptasi terhadap kerumitan inilah yang kemudian dapat menimbulkan
konflik dalam diri individu. Dengan demikian konflik dalam diri individu dapat terjadi

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 4
pada saat individu dihadapkan pada dua kebutuhan atau dua peran yang
bertentangan atau berbenturan satu sama lain. Konflik dapat pula terjadi dalam diri
individu pada saat yang bersangkutan dihadapkan pada dua alternatif yang sama-
sama menarik. Disamping itu, konflik dalam diri individu dapat pula terjadi karena
tidak mampu mengatasi hambatan yang dihadapi dalam mencapai suatu tujuan.
Sehubungan dengan itu, masih menurut Fred Luthans (1995:270), Intra-individual
forms of conflict can be analyzed in terms of the frustration model, goals and roles.

3.1.1 Konflik karena Frustrasi (Conflict Due to Frustration)
Frustrasi terjadi bila dorongan atau motivasi seseorang untuk mencapai
tujuan tertentu terhalang oleh suatu hambatan.


Gambar 1
A Model of Frustration

Sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1, Kebutuhan seseorang akan
sesuatu mendorongnya untuk mencapai suatu tujuan guna memenuhi kebutuhan
tersebut. Namun untuk mencapai tujuan tersebut orang sering menghadapi
hambatan (barrier). Hambatan ini bisa jadi jelas (overt), misalnya hambatan yang
bersumber dari luar diri individu atau bersifat fisik, tetapi dapat pula bersifat tidak
jelas atau tersembunyi (covert) yang bersumber dari dalam diri individu dan bersifat
mental-sociopsychological. Hambatan ini akan membawa seseorang pada situasi
frustrasi. Frustrasi umumnya memicu alat pertahanan (defense mechanism) yang
ada dalam diri seseorang. Pada gambar 1 ditunjukkan bahwa bila seseorang berada
pada situasi frustrasi ada empat hal yang mungkin dilakukan oleh orang tersebut
sebagai reaksi terhadap hambatan yang dihadapi, yaitu; (1) aggression, (2)
withdrawal, (3) fixation, dan (4) compromise.
Contoh sederhana dari situasi frustrasi ini dapat dijelaskan sebagai berikut;
misal, seorang yang kehausan berusaha mencari air untuk mengatasi dahaganya,
kemudian dia menuju dapur tempat air biasanya disimpan. Namun pintu dapur
tersebut terkunci, sehingga dia terhalang untuk mencapai tujuannya memperoleh air,
akibatnya orang tersebut berada pada situasi frustrasi yang kemudian memicu
defense mechanism yang ada dalam diri orang tersebut. Kemungkinan defense
Need
(deficiency)
Drive
(deficiency
with
direction)
Goal/
Incentive
(reduction of
the drives
and
fulfillment of
deficiencies)
Barrier
(1) Overt
(2) Covert
Frustration
Defense mechanisms
(1) Aggression
(2) Withdrawal
(3) Fixation
(4) Compromise
Sumber :Fred Luthans (1995). Organizational Behavior.
McGRAW-HILL. p.271

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 5
mechanism yang akan digunakan orang tersebut sebagai reaksi terhadap hambatan
yang dihadapi, antara lain adalah:
Aggression : bereaksi secara fisik dengan menendang pintu sambil
memaki-maki
Withdrawal : menarik diri, mundur dari pintu sambil mencibir
Fixation : terus menggedor-gedor pintu meskipun dia sudah
tahu bahwa pintu tersebut terkunci
Compromise : meminum air kopi yang ada dalam ruangan atau
memasuki dapur dengan jalan memanjat jendela
Model frustrasi di atas tidak hanya dapat digunakan untuk menganalisis
perilaku secara umum, melainkan dapat pula digunakan untuk menganalisis aspek
khusus pada perilaku kerja dalam suatu organisasi.

3.1.2 Konflik Tujuan (Goal Conflict)
Sumber lain yang juga umum menjadi penyebab konflik dalam diri individu
adalah tujuan (goal). Seseorang akan menghadapi konflik dalam dirinya pada saat
berada dalam situasi harus memilih diantara dua tujuan yang sama-sama atraktif
atau sama-sama tidak atraktif. Konflik tujuan juga dapat terjadi pada saat seseorang
menghadapi dua atau lebih tujuan yang saling bersaing atau bertentangan. Fred
Luthans (1995:274) membagi konflik tujuan (goal conflict) ke dalam tiga kategori,
yaitu; (1) approach-approach conflict, (2) approach-avoidance conflict, dan (3)
avoidance-avoidance conflict.
Approach-approach conflict - Tipe approach-approach conflict ini terjadi pada saat
seseorang berada pada situasi harus memilih diantara dua tujuan yang sama-sama
atraktif. Sebagai contoh, seorang pimpinan dihadapkan pada situasi harus memilih
diantara dua pelamar yang sama-sama kualified untuk ditempatkan pada satu posisi.
Hal yang sama mungkin pula dihadapi oleh seorang pencari kerja ketika harus
memilih salah satu dari dua tawaran pekerjaan yang sama-sama menarik. Karena
itu, approach-approach conflict merupakan masalah untuk periode waktu yang
singkat . Namun demikian, bila tidak ditangani dengan baik konflik in tentu juga dapat
melumpuhkan. Satu aspek yang menarik dari approach-approach conflict ini adalah
perubahan yang terjadi dalam sikap individu kearah penolakan pilihan. Mereka
sering menyesal tidak melakukan pilihan terhadap alternatif yang ada. Misal, bila
seseorang membeli sebuah mobil dari dua alternatif mobil yang berbeda dan setelah
itu merasa bahwa dia telah membuat keputusan yang jelek. Sering sekali, orang
tersebut kemudian mencoba mengurangi rasa penyesalannya melalui rasionalisasi
bahwa pilihan alternatif yang dipilih tersebut lebih baik atau secara aktif menolak
segala informasi yang memberi dukungan terhadap kenyataan bahwa pilihan
tersebut tidaklah lebih baik.
Avoidance-avoidance conflict - Avoidance-avoidance conflict terjadi pada saat
seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama tidak atraktif. Sebagai
contoh, seseorang memiliki penyakit fisik yang tidak mengenakkan, misalnya
penyakit borok. Tetapi pada saat bersamaan yang bersangkutan memiliki perasaan
takut yang sangat kuat untuk pergi kerumah sakit guna operasi. Akibatnya orang
tersebut terjepit diantara dua pilihan. Kebanyakan orang akan terombang ambing
diantara dua pilihan tersebut tanpa penyelesaian konflik. Namun demikian, jika salah
satu dari dua motif menjadi lebih kuat, maka konflik dapat dipecahkan. Misalnya, jika
rasa tidak nyaman penderita borok pada contoh di atas menjadi tidak tertahan, maka
motif menolak perasaan sakit akan mengesampingkan motif menolak pergi kerumah
sakit, sehingga konflik dapat dipecahkan.
Approach-avoidance conflict - Pada approach-avoidance conflict seseorang harus
memutuskan memilih atau menolak satu tujuan yang positif atau atraktif, tetapi pada
saat yang sama juga negatif atau tidak atraktif. Sebagai contoh, misalnya seorang

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 6
karyawan dipromosikan pada suatu jabatan yang atraktif, namun dengan menduduki
jabatan tersebut dia harus menjadi bawahan dari seseorang yang sangat tidak
disukainya. Jika motif untuk meraih tujuan tersebut sama kuat dengan motif untuk
menolaknya, maka karyawan tersebut akan terperangkap dalam kebimbangan.
Pemecahan konflik ini membutuhkan penguatan satu motif melebihi motif yang
lainnya, jika hal ini dapat dilakukan maka akan memungkinkan seseorang mencapai
tujuan. Hal ini dapat diselesaikan jika tujuan dibuat lebih atraktif atau jika individu
lebih rasional untuk mengatasi konflik. Meskipun individu mencapai tujuan, kekuatan
motif untuk menolak tujuan tetap masih tinggi dan individu tetap dalam kecemasan
yang tinggi. Penurunan kekuatan motif untuk menolak tujuan karenanya menjadi
penting dalam menemukan pemecahan konflik yang tolerable.

3.1.3 Konflik Peran dan Kemenduaan (Role Conflict and Ambiguity)
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan ini masing-masing individu
akan memainkan serangkaian peran, khususnya dalam kehidupan sosial seorang
individu akan memainkan urutan peran mulai dari peran anak, teman, pelajar,
remaja, mahasiswa, orang tua, dan kakek. Masing-masing peran ini mempunyai
harapan untuk diwujudkan, ada kalanya seorang individu harus memainkan banyak
peran dalam waktu yang bersamaan. Dalam menjalankan peran-peran tersebut,
tidak jarang terjadi pertentangan atau persaingan antara satu peran dengan peran
lainnya. Seorang wanita karir akan menghadapi banyak sekali pertentangan antara
peran sebagai wanita karir dan peran sebagai ibu rumah tangga. Begitu juga halnya
dalam organisasi, seorang pekerja seringkali harus menjalankan banyak peran
dalam waktu yang bersamaan. Fred Luthans (1995:277) membagi konflik peran ke
dalam tiga kategori, yaitu; (1) person and the role conflict, (2) intra-role conflict, dan
(3) inter-role conflict.
Person and the role conflict - Person and the role conflict adalah konflik yang
terjadi akibat adanya perbedaan antara personaliti seseorang dengan harapan dari
peran yang harus dijalankannya. Sebagai contoh, seorang pekerja bagian produksi
yang juga merupakan anggota serikat buruh dipromosikan menjadi seorang
supervisor. Supervisor yang baru ini tentu tidak akan mampu melakukan
pengawasan yang sangat ketat terhadap para pekerja, karena hal tersebut
bertentangan dengan kepribadiannya. Namun disisi lain, hal itulah yang diharapkan
oleh manajer produksi untuk dilakukannya.

Intra-role conflict - Intra-role conflict adalah konflik yang terjadi ketika seorang
individu harus mewujudkan harapan yang kontradiktif dari peran yang harus
dijalankan. Kembali pada contoh supervisor di atas, haruskah supervisor yang baru
tersebut autocratic atau democratic dalam menghadapi para pekerja.

Inter-role conflict - Inter-role conflict adalah konflik yang tercipta akibat adanya
perbedaan persyaratan dari dua atau lebih peran yang harus dijalankan dalam waktu
yang bersamaan. Sebagai contoh, seorang eksekutif sukses yang sering dituntut
bekerja mulai dari jam 07.00 pagi sampai jam 10.00 malam akan menghadapi
banyak persoalan dengan perannya sebagai orang tua, yang juga menuntut
kehadirannya ditengah keluarga pada saat makan malam. Seorang perawat yang
mempunyai bayi akan menghadapi konflik ketika harus menjalankan tugasnya
sebagai perawat pada malam hari. Banyak contoh lain yang dapat dikemukakan
berkenaan dengan inter-role conflict ini.

3.2 Konflik antar pribadi (Interpersonal Conflict)
Interpersonal conflict atau konflik antar pribadi adalah konflik yang tercipta
akibat adanya perbedaan atau pertentangan antara dua individu atau lebih. Konflik
antar pribadi ini seringkali dipicu oleh adanya perbedaan persepsi, perbedaan
asumsi, perbedaan orientasi, perbedaan status, dan perbedaan prinsip (Kusnadi,

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 7
2001:28). Sementara itu Whetten dan Cameron (qtd. in. Fred Luthans, 1995:278-
279) mengidentifikasi ada empat sumber sebagai pemicu konflik antar pribadi, yaitu;
(1) personal differences, (2) information deficiency, (3) role incompatibility, dan (4)
environmental stress.
Personal differences - Setiap orang adalah unik, artinya tidak ada satu orangpun
didunia ini yang sama dengan orang lain meskipun dilahirkan dari orang tua yang
sama, dibesarkan dengan lingkungan yang sama atau bahkan kembar sekalipun.
Setiap orang memiliki latar belakang budaya, tradisi keluarga, sistem nilai, dan
proses sosial yang berbeda. Tidak ada orang yang datang dari latar belakang
keluarga, pendidikan, pengalaman, sifat, karakter dan nilai yang sama. Perbedaan
inilah kemudian yang dapat menjadi sumber konflik yang utama, karena perbedaan
latar belakang ini menyebabkan setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda
dalam melihat suatu persoalan. Perbedaan ini pulalah yang kemudian menjadi
pemicu pertentangan antar individu.
Information deficiency- Sumber konflik ini adalah merupakan hasil atau akibat dari
putusnya informasi dalam suatu organisasi. Sehingga mengakibatkan dua orang
yang berada dalam situasi konflik menggunakan informasi yang berbeda atau salah
seorang dari mereka atau mungkin keduanya memiliki informasi yang salah. Konflik
yang disebabkan oleh kekurangan informasi ini umumnya tidak merupakan konflik
emosional, sehingga tidak sulit untuk diselesaikan. Sekali konfliknya diselesaikan
tidak lagi akan meninggalkan dendam atau kemarahan yang berkepanjangan.
Namun demikian konflik antar pribadi akan semakin sengit jika diantara individu yang
berkonflik mempunyai derajat komunikasi yang lemah atau kemampuan
berkomunikasi yang dimiliki masing-masing pihak sangat kurang.
Role incompatibility- Konflik antar pribadi yang disebabkan oleh role
incompatibility ini pada dasarnya dapat dipicu oleh konflik peran dalam diri individu
atau konflik antar kelompok. Dewasa ini banyak sekali manajer mempunyai fungsi
dan tugas yang saling terkait satu sama lain. Sehingga peran individu dari manajer-
manajer ini bisa jadi tidak cocok (incompatible). Sebagai contoh, manajer produksi
dan manajer penjualan mempunyai fungsi yang saling terkait, yang satu mendukung
yang lain. Bagaimanapun juga, peran manajer produksi adalah menekan biaya dan
hal itu dilakukan dengan jalan menjaga inventaris pada tingkat yang rendah.
Sedangkan pada sisi lain, manajer penjualan mempunyai peran meningkatkan
pendapatan melalui peningkatan penjualan. Akibatnya manajer penjualan tidak dapat
menepati janji pengiriman kepada pelanggan sebagai akibat rendahnya persediaan
yang disiapkan oleh manajer produksi. Karena itu, konflik yang disebabkan oleh
role incompatibility ini harus diselesaikan oleh level manajemen yang lebih tinggi.
Environmental stress- Konflik antar pribadi dapat pula dipicu oleh environmental
stress sebagai akibat dari langkanya atau menyusutnya sumber daya, downsizing,
tekanan persaingan, atau tingginya derajat ketidakpastian. Sebagai contoh, bila
suatu organisasi mengumumkan bahwa dalam waktu dekat akan melakukan
pengurangan karyawan akibat menurunnya produksi. Hal itu tentu akan
meningkatkan stress dikalangan karyawan, siapakah yang akan terkena pemutusan
hubungan kerja, siapakah yang akan tetap dipertahankan sebagai karyawan,
ketidakpastian tersebut dapat memicu konflik diantara mereka (karyawan).
3.3 Konflik antar kelompok (Intergroup Conflict)
Intergroup conflict atau konflik antar kelompok adalah konflik yang terjadi
antar kelompok atau bagian dalam suatu masyarakat atau dalam sebuah organisasi.
Sama halnya dengan individu, kelompok juga memiliki suatu karakteristik tertentu
yang bisa jadi berbeda dengan kelompok lainnya. Kecuali itu, satu kelompok
mempunyai peran dan fungsi yang berbeda dengan kelompok lainnya. Dalam
menjalankan peran atau fungsi tersebut dapat terjadi pertentangan dengan peran
dan fungsi kelompok lainnya. Sebagai contoh, bagian pemasaran yang mempunyai
peran untuk meningkatkan pendapatan melalui tingkat penjualan yang tinggi akan

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 8
berusaha meraih sebanyak mungkin pelanggan baru melalui berbagai upaya,
seperti; promosi yang gencar, pemberian diskon, hadiah, dan lain sebagainya. Untuk
menjalankan peran tersebut menuntut alokasi dana yang lebih besar. Sementara
disisi lain, bagian keuangan menghendaki dilakukannya efisiensi pada semua
kegiatan untuk mendapatkan profit yang lebih besar. Situasi ini, tidak pelak lagi akan
memicu terjadinya konflik antara bagian pemasaran dengan bagian keuangan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya konflik antar kelompok karena
adanya sejumlah anteseden yang mendahului konflik tersebut. Fred Luthans
(1995:284-285) telah mengidentifikasi sejumlah kondisi anteseden untuk
menjelaskan konflik antar kelompok, yaitu; (1) competition for resources, (2) task
interdependence, (3) jurisdictional ambiguity, dan (4) status struggles.
Competition for resources- Hampir semua organisasi saat ini memiliki sumber
daya yang sangat terbatas. Sehingga masing-masing kelompok dalam organisasi
akan bersaing untuk mendapatkan sumber daya tersebut, baik yang menyangkut
anggaran, ruang kerja, personal, jasa pendukung, dan lain sebagainya. Apalagi bila
dalam organisasi tersebut gaya sentripetal sebagai akibat dari tingginya ego
masing-masing kelompok sangat kuat, maka persainganpun menjadi semakin ketat.
Akibat persaingan tersebut konflik antar kelompok semakin sulit dihindari.
Task interdependence - Jika dua kelompok dalam satu organisasi tergantung satu
sama lain baik secara mutual way atau one way (seperti halnya urutan proses
teknologi) akan lebih cenderung mengalami konflik dibanding kelompok yang tidak
tergantung (independent) satu sama lain.
J urisdictional ambiguity- Jurisdictional ambiguity dapat terjadi karena adanya
tumpang tindih tanggung jawab (overlapping responsibilities) antara satu kelompok
atau bagian dengan kelompok atau bagian lainnya. Sebagai contoh, konflik dapat
terjadi bila satu kelompok mencoba lebih mengambil kendali atau mengambil
aktivitas yang diinginkan, atau memberikan sebagian tanggung jawab untuk kegiatan
yang tidak diinginkan pada pihak lain.
Status struggles- Konflik ini terjadi bila satu kelompok (katakan kelompok A)
berusaha untuk meningkatkan statusnya, sementara kelompok lain (katakan
kelompok B) melihat apa yang dilakukan kelompok A merupakan penghalang
baginya untuk menempati tempat yang diinginkan dalam status hirarki. Konflik juga
dapat terjadi bila satu kelompok merasa mendapat perlakuan tidak adil dibanding
kelompok lain dengan status yang sama, ketidak adilan tersebut dapat menyangkut;
penghargaan, tugas pekerjaan, kondisi kerja, hak istimewa, atau simbol status.

3.4 Konflik organisatoris (Organizational Conflict)
Sebagaimana diketahui bahwa organisasi terdiri dari banyak individu dan
kelompok yang masing-masingnya mempunyai peran dan fungsi yang berbeda.
Pada bagian terdahulu telah dibahas berbagai jenis konflik, mulai dari konflik dalam
diri individu, konflik antara individu, dan konflik antar kelompok. Harus diingat bahwa
konflik-konflik tersebut juga terjadi dalam suatu organisasi, sehingga menjadi inheren
dengan konflik organisasi.
James A.F. Stoner dan Charles Wankel menjelaskan bahwa; konflik
organisatoris merupakan suatu ketidaksesuaian paham antara dua orang anggota
organisasi atau lebih, yang timbul karena fakta bahwa mereka harus berbagi dalam
hal mendapatkan sumberdaya yang terbatas, atau aktivitas-aktivitas pekerjaan, dan
atau karena fakta bahwa mereka memiliki status-status, tujuan-tujuan, nilai-nilai
persepsi-persepsi yang berbeda-beda (qtd. in. Winardi, 1994:62). Konflik organisasi
dapat bersifat vertikal, horizontal dan diagonal.
Konflik vertikal adalah konflik antara tingkatan yang ada dalam organisasi.
Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi antara pihak-pihak yang memiliki status
dan tingkatan yang sederajat. Sedangkan konflik diagonal adalah konflik yang terjadi

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 9
lintas fungsi dan tingkatan. Fred luthans (1995:287) mengenali konflik semacam ini
sebagai structural conflict. Masih menurut Fred Luthans, dalam organisasi klasik
terdapat empat jenis structural conflict yang utama, yaitu; (1) hierarchical conflict,
(2) functional conflict, (3) line-staff conflict, dan (4) formal-informal conflict.
3.4.1 Hierarchical conflict
Hierarchical conflict adalah konflik yang terjadi antara berbagai tingkatan
dalam organisasi. Misalnya konflik antara; direksi dengan para manajer, midle
management dengan supervisor atau mungkin antara manajemen dengan para
karyawan
3.4.2 Functional conflict
Functional conflict adalah konflik yang terjadi antara berbagai fungsi atau
departemen dalam organisasi. Misalnya konflik antara departemen produksi dengan
departemen pemasaran, antara bagian keuangan dengan bagian personalia, dan
lain sebagainya.

3.4.3 Line-staff conflict
Line-staff conflict adalah konflik yang terjadi antara lini dan staf. Konflik ini
sering disebabkan oleh situasi, dimana personel staf tidak memiliki kewenangan
formal terhadap personel lini.
3.4.4 Formal-informal conflict
Formal-informal conflict dapat terjadi antara organisasi formal dan organisasi
informal. Sebagai contoh, norma-norma kinerja suatu organisasi formal bisa jadi
tidak cocok dengan norma-norma kinerja organisasi informal.


4 Sumber-sumber konflik (Resources of conflict)
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, konflik dapat berasal dari berbagai
sumber, Robbins (qtd. in. Vecchio. et. al, 1995:456-459) membagi sumber konflik ke
dalam tiga grup utama, yaitu (1) communication factors, (2) structural factors, dan (3)
personal behaviour factors.

4.1 Communication factors
Banyak sekali bukti yang dapat dikemukakan sehubungan dengan konflik
yang disebabkan oleh komunikasi yang jelek. Bila komunikasi didefinisikan sebagai
creating a mental picture in the mind of a receiver in exactly the same detail as
intended by the sender (Vecchio. et. al, 1992:456), dapat dipastikan bahwa
komunikasi yang benar atau sempurna akan jarang ditemui dan sulit diwujudkan.
Berangkat dari ketidaksempurnaan ini, maka akan banyak sekali ditemui peluang
untuk terjadinya misunderstanding dalam proses berkomunikasi. Kesalahpahaman
inilah kemudian dapat menjadi sumber konflik. Namun demikian, konflik yang
berakar dari komunikasi yang tidak sukses tidaklah serumit konflik yang didasarkan
pada perbedaan-perbedaan substantif. Artinya konflik yang bersumber dari faktor
komunikasi cenderung lebih mudah diatasi dibanding konflik substantif.

4.2 Structural factors
Faktor-faktor struktural yang dapat menjadi sumber konflik, menurut Vecchio.
et. al (1992, 457-458) antara lain adalah; (1) size, (2) participation, (3) line-staff
distinction, (4) reward system, (5) resource interdependence, dan (6) power.

Size - Dari hasil-hasil studi yang dilakukan berkenaan dengan hubungan konflik
dengan ukuran organisasi, temuannya hampir konsisten yaitu konflik yang terjadi

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 10
lebih besar pada organisasi yang besar. Hal ini karena ukuran organisasi yang
semakin besar menyebabkan; tujuan organisasi menjadi kurang jelas, formalitas
semakin tinggi, spesialisasi meningkat, tingkatan supervisi menjadi lebih banyak, dan
peluang untuk terjadinya distorsi komunikasi menjadi semakin besar. Kondisi ini
semua dapat menjadi sumber konflik.
Participation - Dari perspektif hubungan antar manusia, diyakini bahwa
mengundang bawahan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dapat
mendorong bawahan untuk terlibat secara penuh dalam menjalankan keputusan
tersebut. Namun disisi lain, partisipasi bawahan tersebut dapat menjadi sumber
konflik. Hasil penelitian berkenaan dengan topik ini menunjukkan bahwa; when
subordinate participation is greater, levels of conflict tend to be higher (Vecchio. et.
at, 1992:457). Meningkatnya partisipasi staf dalam pengambilan keputusan
menyebabkan meningkat pula kesadaran akan preferensi individu. Namun disisi lain,
karena bawahan mempunyai kewenangan yang sangat terbatas untuk menempatkan
preferensi mereka dalam proses pengambilan keputusan, maka tidak ada jaminan
bahwa sudut pandang bawahan akan terakomodasi dengan baik. Tetapi, meskipun
demikian peningkatan konflik sebagai akibat tingginya partisipasi staf, bukanlah
sesuatu yang harus ditakuti. Karena, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, hal
ini dapat meningkatkan kinerja unit kerja secara keseluruhan, sehingga keberadaan
konflik menjadi sesuatu yang produktif.
Line-staff distinction - Dalam survey-survey yang dilakukan terhadap para manajer,
ditemukan bahwa satu hal yang paling sering disebut sebagai sumber konflik adalah
perbedaan antara lini dan staf dalam organisasi. Departemen lini, seperti misalnya
departemen produksi melakukan pekerjaan yang berhubungan langsung dengan
kegiatan inti organisasi. Sementara staf departemen, misalnya staf pada departemen
riset dan pengembangan, public relation, finance dan personnel melakukan
pekerjaan yang mendukung fungsi lini. Divisi lini umumnya lebih berorientasi praktis,
sementara divisi staf orientasinya jauh dari aktivitas inti organisasi. Kecuali itu,
anggota divisi lini dan staf umumnya juga berbeda dalam hal; cara kerja, tujuan, nilai-
nilai, dan latar belakang pendidikan. Perbedaan-perbedaan inilah kemudian yang
sering membawa mereka pada situasi konflik.
Reward system - Jika salah satu pihak dalam organisasi memperoleh penghargaan
(reward) lebih dari yang diperoleh pihak lainnya, maka dengan mudah konflik akan
terpicu. Konflik jenis ini dapat terjadi antar individu atau kelompok pada seluruh
organisasi sebagai akibat dari tidak jelasnya sistem reward yang dijalankan.
Resource interdependence - Bila sumberdaya yang dimiliki organisasi berlimpah,
seperti; dana, ruang, peralatan, dan material tentu konflik jenis ini tidak akan terjadi.
Namun hampir semua organisasi memiliki sumberdaya yang sangat terbatas,
sehingga masing-masing kelompok dalam organisasi akan bersaing untuk
mendapatkan sumber daya tersebut. Kondisi ini sering membawa berbagai pihak
dalam organisasi dalam situasi konflik.
Power- Distribusi power dalam organisasi juga dapat menjadi sumber konflik. Jika
salah satu kelompok merasa memiliki power yang jauh lebih kecil dari yang
seharusnya, atau kelompok lain memiliki power yang lebih besar, maka munculnya
perasaaan tidak senang dari kelompok yang memiliki power lebih kecil tidak dapat
dihindarkan, yang akhirnya akan membawa mereka pada situasi konflik.

4.3 Personal behavior
Sumber konflik lainnya berasal dari perbedaan-perbedaan yang dimiliki
individu-individu dalam organisasi. Karena masing-masing individu berbeda dalam
hal; budaya, latar belakang keluarga, pendidikan, orientasi, dan nilai sehingga
menghasilkan perilaku yang berbeda satu sama lain. Hal ini tidak pelak lagi dapat
menjadi pemicu konflik ketika mereka berinteraksi satu sama lain. Terutama bila
dalam interaksi tersebut banyak sekali terjadi pelanggaran-pelanggaran verbal.

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 11
Robert Bolton, Hollier, Muray dan Cornelius (qtd. in. Hoda Lacey, 2003:110-114)
telah mengidentifikasi sejumlah pelanggaran verbal yang sering terjadi dalam suatu
interaksi, yaitu:

Mengkritik
Memberi label
Mendiagnosis
Pujian manipulatif
Memerintah
Mengancam
Menggurui
Menginterogasi
Menasihati
Mengambil alih pembicaraan
Membesarkan hati

Perbedaan-perbedaan yang dimiliki antar individu dalam suatu kelompok atau
organisasi tentu dapat pula membawa masing-masing individu pada sudut pandang
yang berbeda dalam melihat suatu masalah. Tidak jarang terjadi kita melihat
berbagai hal bukan sebagaimana mereka adanya, melainkan sebagaimana kita
adanya. Artinya tidak jarang terjadi kita mewarnai kata-kata dan kalimat-kalimat
orang lain dengan krayon emosional kita sendiri dan kemudian bereaksi pada kata-
kata atau kalimat-kalimat itu seakan-akan mereka adalah fakta (Hoda Lacey,
2003:103).
Dalam konteks ini kiranya menarik menyimak cerita Fisher, Kopelmen dan
Schneider tentang seorang kolonel Angkatan Darat Amerika Serikat selama perang
Vietnam. Kolonel tersebut mengatakan perlunya mempertimbangkan suatu konflik
dari sudut pandang musuh. Ia beranggapan bahwa dengan memahami bagaimana
orang lain memandang suatu persoalan bisa membuat kita mempertanyakan baik
buruknya sudut pandang kita. Semakin kita memahami keprihatinan-keprihatinan
dan ide-ide mereka, katanya semakin besar kemungkinan kita akan kehilangan
kepercayaan akan kebenaran tujuan kita sendiri (Hoda Lacey, 2003:102). Oleh
sebab itu, bila dalam melihat suatu persoalan masing-masing individu hanya
bertahan dengan sudut pandangnya tanpa mau bermurah hati untuk mencoba
memahami sudut pandang orang lain, maka dapat dipastikan terjadinya konflik tidak
dapat dielakkan. Lebih lanjut Hoda Lacey (2003:23-24) mengemukan bahwa konflik
sering muncul ketika kita merasa terancam oleh seseorang yang kita pandang:
Bertindak dari perangkat nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan yang
berbeda
Menyerang apa yang kita pandang sebagai wilayah kita
Merampas sesuatu yang kita anggap sah miliki kita
Merugikan kita atau merongrong kita dengan sesuatu cara
Berbeda dari kita dalam suatu hal
Disamping empat faktor utama yang telah diuraikan di atas, sumber konflik
yang juga tidak kalah pentingnya untuk dicermati dewasa ini adalah manajemen
perubahan (manajement of change). Satu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri saat
ini adalah terjadinya perubahan lingkungan yang demikian cepat. Sehingga
organisasi yang tetap ingin survive ditengah arus perubahan yang maha dahsyat ini,
tidak bisa tidak harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Bila
tidak, dapat dipastikan organisasi dimaksud akan tergilas oleh derasnya arus
perubahan tersebut. Sebagaimana terungkap dalam suatu pepatah Seandainyapun
anda berada di jalur yang benar, anda akan tergilas kalau anda duduk saja disana.
Dengan demikian perubahan dalam segala aspek organisasi adalah merupakan hal
yang harus dilakukan untuk menyikapi perubahan lingkungan yang terjadi. Semakin
besar perubahan yang dilakukan, semakin besar pula kecenderungan timbulnya

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 12
penentangan terhadap perubahan tersebut. Hal inilah kemudian yang dapat memicu
terjadinya konflik bila perubahan tersebut tidak dilakukan dengan strategi yang tepat.

5 Perubahan pandangan terhadap konflik
Bersamaan dengan bergulirnya waktu, pandangan para ilmuwan sosial dan
manajer terhadap konflik telah mengalami banyak perubahan. Sampai pada
pertengahan tahun 1940-an, sangatlah popular memposisikan konflik sebagai
sesuatu yang membahayakan dan tidak berguna. Keberadaan konflik pada saat itu
dipandang sebagai sinyal bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak beres dalam
organisasi. Menurut pandangan tradisional ini, konflik sangat merugikan karena telah
menyita banyak perhatian para manajer dan melemahkan energi dan sumberdaya,
oleh sebab itu konflik harus dihindari. Tambahan lagi, konflik dipandang sebagai
hasil dari manajemen yang jelek dan usaha dari orang-orang yang suka berbuat onar
(troublemakers), karenanya konflik harus dieliminasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan pandangan terhadap konflik
mengalami banyak kemajuan. Konflik tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang
merugikan dan karenanya harus dihindari. Pandangan modern terhadap konflik
adalah bahwa konflik di dalam organisasi merupakan hal yang tidak dapat dihindari,
dan bahkan konflik-konflik tersebut justru dibutuhkan untuk kemajuan organisasi.
Jika dikelola secara konstruktif, konflik bisa membuahkan pembelajaran,
pertumbuhan, perubahan, hubungan-hubungan yang lebih baik, dan perasaan
memiliki tujuan bersama (Hoda Lacey, 2003:19). Lebih lanjut Hoda Lacey (2003:33)
mengemukakan bahwa konflik bisa menjadi katalis bagi perubahan, kita bisa
memandangnya sebagai suatu kesempatan untuk belajar tentang sudut pandang
lain, untuk memahami perspektif yang ada. Dengan demikian kita dapat melihat
suatu persoalan melalui berbagai macam sudut pandang. Bisa jadi suatu persoalan
dapat didekati dengan cara yang lebih baik dibanding dengan cara yang selama ini
kita gunakan. Konflik dapat menyebabkan orang mencari pemecahan-
pemecahannya, ia sering kali menjadi sebuah alat untuk mencapai inovasi dan
perubahan organisatoris (Winardi, 1994:64-65).
Perspektif yang tidak jauh berbeda dikemukan pula oleh Vecchio. et. al
(1992:455) yang menyatakan bahwa; conflict can encourage a search for new
tactis and strategies, and help overcome stagnation and complacency. Lebih lanjut
Vecchio mengemukakan bahwa conflict as a device for directing effort is, therefore
sometimes a desirable state. Dengan demikian jelas bahwa konflik tidak selamanya
negatif, bila ditangani dengan baik konflik dapat memberi banyak manfaat kepada
individu dan organisasi. Sebagai mana dikemukan Vecchio di atas, konflik juga dapat
mendorong dilakukannya pencarian untuk menemukan taktik dan strategi baru.
Kecuali itu, konflik juga dapat digunakan sebagai piranti untuk mengatasi stagnasi
dan mengatasi kecenderungan untuk hanya memuaskan diri sendiri. Lebih lanjut
Winardi (1994:65) mengidentifikasi sejumlah perbedaan antara pandangan kuno dan
modern terhadap konflik seperti ditunjukkan dalam tabel 1 berikut ini.
Table 1
Pandangan kuno dan pandangan modern tentang konflik
PANDANGAN KUNO PANDANGAN MODERN
Konflik dapat dihindari Konflik tidak dapat dihindari
Konflik disebabkan karena adanya kesalahan
manajemen dalam hal mendisain dan
mengelola organisasi atau karena adanya
pengacau-pengacau
Konflik muncul karena aneka macam
sebab, termasuk didalamnya struktur
organisatoris, perbedaan-perbedaan dalam
tujuan-tujuan yang tidak dapat dihindari,
perbedaan-perbedaan dalam persepsi-
persepsi serta nilai-nilai personalia yang
terspesialisasi dan sebagainya

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 13
Konflik merusak organisasi yang
bersangkutan, dan menyebabkan tidak
tercapainya hasil optimal
Konflik membantu, kadang-kadang
menghambat hasil pekerjaan organisatooris
dengan derajat yang berbeda-beda
Tugas manajemen adalah meniadakan konflik Tugas manejemen adalah memanaje
tingkat konflik, dan pemecahannya hingga
dapat dicapai hasil prestasi organisatoris
optimal
Agar dapat dicapai hasil prestasi organisatoris
optimal, maka konflik perlu ditiadakan.
Hasil pekerjaan optimal secara
organisatoris, memerlukan konflik moderat
Sumber : Winardi (1994). Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan).
Mandar Maju. h. 67
Perbedaan perspektif dalam melihat konflik antara pandangan tradisionil dan
modern, dikemukakan pula oleh Fred Luthans (1995, 288-289). Perbedaan
pandangan tersebut dapat diringkas sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 2 berikut
ini.
Tabel 2
Perbedaan Asumsi terhadap Konflik antara
Pandangan Tradisionil dan Modern
Traditional Modern
Conflict is by definition avoidable Conflict is inevitable
Conflict is caused by troublemakers, boat
rockers, and prima donnas
Conflict is determined by structural factors
such as the physical shape of a building,
the design of career structure, or the nature
of a class system.
Legalistic forms of authority such as going
through channels or sticking to the book are
empashized
Conflict is integral to the nature of change
Scapegoats are accepted as inevitable A minimal level of conflict is optimal
Sumber: Fred Luthans (1995). Organizational Behavior. McGraw-Hill. p. 288-289
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa pandangan tradisionil melihat konflik
sebagai sesuatu yang harus dihindari. Manajer dengan pandangan seperti ini akan
selalu mencoba mengabaikan konflik atau mencari rasionalisasi untuk membenarkan
sikap bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat dilakukan terhadap konflik tersebut.
Pandangan tradisionil ini juga berpendapat bahwa konflik disebabkan oleh adanya
troublemakers, sehingga menutup diri dari kemungkinan adanya sesuatu yang
harus diperbaiki dalam sistem organisasi. Kecuali itu, penyebab kesalahan diterima
sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Sedangkan pandangan modern melihat
konflik sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakkan, karena konflik tersebut
merupakan bagian integral dari perubahan.
Organisasi yang ingin maju, tidak dapat mengelak dari perubahan dan
konsekuensinya juga tidak dapat mengelak dari konflik. Kalau pandangan tradisionil
menganggap bahwa konflik disebabkan oleh adanya troublemaker, maka
pandangan modern melihat bahwa konflik ditentukan oleh faktor-faktor struktural
seperti; bentuk fisik dari gedung, desain dari struktur karir, atau sifat dari sistem.
Disamping itu, pandangan modern menilai tingkat konflik yang minimum adalah
ketika konflik tersebut optimum, artinya pada tingkat tersebut konflik dapat
menghasilkan kinerja yang maksimal.




Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 14
6. Dampak Konflik
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa konflik dapat bersifat
konstruktif maupun destruktif. Artinya, bila konflik ditangani atau dikelola secara
baik, maka akan memberi banyak manfaat baik bagi individu maupun organisasi.
Karena konflik membuahkan pembelajaran, khususnya dalam melihat suatu
persoalan. Kecuali itu, diyakini pula bahwa konflik dapat memicu inovasi dan
kreativitas. Tyson dan Jackson (2000:62) mengatakan bahwa ada beberapa bukti
yang sangat mendukung bahwa pada tingkat tekanan tertentu, konflik penting bagi
sebuah kelompok untuk bertindak pada tingkat yang tepat. Namun disisi lain, konflik
bila tidak ditangani dengan baik, juga dapat membawa kehancuran. Konflik secara
inheren tidaklah merupakan sesuatu yang diinginkan atau tidak diinginkan. Artinya
konflik tidak dipandang merupakan sesuatu yang dibutuhkan atau dihindari,
melainkan hanya dalam batasan efek dari konflik tersebut terhadap kinerja. Apakah
konflik tersebut dapat memicu peningkatan kinerja pada tingkat yang optimum atau
justru sebaliknya, meluluh lantakkan kinerja pada tingkat yang sangat rendah.
Hubungan antara konflik dan kinerja dapat diilustrasikan seperti ditunjukkan gambar
2.















Gambar 2
Contemporary View of the Relationship Between
Conflict and Performance
Mengamati gambar 2 di atas, dapat dipahami bahwa konflik pada tingkat
yang optimum akan menghasilkan kinerja yang tertinggi. Tetapi apabila tingkat
konflik sangat tinggi dapat mengakibatkan terjadinya chaos atau kekacauan.
Sebaliknya bila tingkat konflik terlalu rendah dapat menghasilkan kinerja yang jelek
dan kecenderungan untuk hanya memuaskan diri sendiri akibat kurangnya inovasi.
Sehubungan dengan itu, bila tingkatan konflik yang eksis terlalu rendah perlu
dilakukan stimulus untuk meningkatkan konflik agar mencapai tingkat yang optimum.
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menstimulasi konflik menurut Winardi
(1994:81-82), antara lain adalah:

Menyertakan orang lain - Metode yang umum digunakan untuk memberi
goncangan pada sebuah unit kerja yang beku adalah dengan memasukkan orang
baru pada unit kerja tersebut, yang memiliki latar belakang, nilai-nilai dan gaya yang
sangat berbeda dengan yang selama ini wujud pada unit kerja tersebut.

Level of Conflict
Low
High
P
e
r
f
o
r
m
a
n
c
e
Low
High
Optimum
Level of
Conflict
Poor Performance
Due to chaos
Poor Performance
Due to Complacency
Sumber : Robert P. Vecchio. et.al (1992). Organisationall Behaviour
Life at Work in Australia. Harcourt Brace. P. 456

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 15
Bertindak bertentangan dengan apa yang umum berlaku - Tindakan tidak
menyampaikan informasi pada individu-individu atau kelompok-kelompok yang
secara normatif harus memperoleh informasi tersebut dapat menstimulasi konflik.
Atau dengan menambahkan kelompok kelompok baru dalam jaringan infomasi
tersebut, sehingga terjadi redistribusi kekuasaan. Hal ini juga dapat menjadi stimulus
terjadinya konflik.
Merestrukturisasi organisasi yang bersangkutan - Tindakan memecah unit kerja
atau departemen lama dan mereorganisasi mereka sedemikian rupa, sehingga
mereka memiliki anggota-anggota yang baru, tanggung jawab baru akan mendorong
terciptanya suatu situasi yang tidak pasti, sehingga masing-masing individu akan
mencoba menyesuaikan diri dengan situasi yang baru tersebut. Pada saat masing-
masing individu mencoba menyesuaikan diri dengan situasi mereka yang baru dapat
mendorong lahirnya metode-metode operasi yang lebih baik.
Merangsang persaingan - Tindakan menawarkan bonus, pembayaran insentif,
pemilihan karyawan berprestasi dapat menciptakan terpeliharanya persaingan.
Apabila iklim persaingan ini dipelihara dengan baik, diyakini dapat menstimulasi
timbulnya konflik produktif. Karena masing-masing individu atau kelompok akan
berusaha lebih menonjol dari individu atau kelompok lainnya.
Memilih manajer-manajer yang tepat - Para manajer yang otoriter, yang tidak mau
mendengar pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pendapat mereka,
seringkali menyebabkan bawahan atau anggota kelompoknya menjadi pasif. Karena
itu diperlukan manajer yang tepat untuk membangunkan mereka dari kepasifan.
Robbins (qtd. In. Vecchio et al, 1992:468) menawarkan pula beberapa
metode yang dapat digunakan untuk menstimulasi konflik, yang tidak jauh berbeda
dengan apa yang telah diuraikan di atas, yaitu sebagai berikut:
Appointing managers who are open to chance - Pada suatu unit kerja, manajer
yang otoriter akan cenderung menekan sudut pandang yang berbeda. Sebagai
hasilnya kelesuan dapat diatasi sampai pada suatu tingkat melalui pemilihan dan
penempatan manajer yang memiliki orientasi perubahan.
Encouraging competition - Pemberian insentif pada individu dan kelompok
terhadap kinerja yang dicapai melalui; peningkatan upah, bonus, dan pengakuan
cenderung meningkatkan persaingan. Persaingan bila dikelola secara baik dapat
menghasilkan creative conflict
Restructuring the work unit - Pergantian anggota tim kerja, rotasi staf, dan
mengubah garis komunikasi dapat dilakukan guna memberi goncangan dalam
organisasi. Restrukturisasi dapat pula menciptakan pekerjaan baru yang diisi oleh
orang luar dengan nilai dan gaya yang berbeda dengan nilai dan gaya sebelumnya.
Dengan mencermati gambar 2 dapat diketahui pula bahwa bila tingkat konflik
terlalu tinggi dapat pula mengakibatkan terjadinya chaos sehingga harus direduksi.
Artinya konflik tersebut harus dikelola sedemikian rupa sehingga situasi yang panas
menjadi dingin. Masing-masing pihak yang terlibat konflik diupayakan agar
mengurangi intensitas pertentangan yang terjadi diantara mereka. Beberapa metode
yang dapat digunakan untuk mereduksi konflik diantaranya adalah; (1)
mensubstitusikan tujuan-tujuan luhur (superior) yang dapat diterima oleh masing-
masing pihak yang terlibat konflik, sehingga mendorong masing-masing pihak untuk
mengerahkan energi dan sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan tersebut.
Kecuali itu, secara tidak langsung tanpa mereka sadari mereka akan berinteraksi
secara lebih inten untuk mengatasi segala rintangan dalam mencapai tujuan
tersebut. (2) menciptakan musuh bersama, artinya kepada kedua belah pihak
dihadapkan musuh bersama dari luar, sehingga mau tidak mau mereka harus
menyatukan kekuatan untuk menghadapi musuh tersebut. Hal tersebut akan
menstimulasi kerjasama diantara mereka dan dengan sendirinya mereka akan
melupakan perbedaan dan pertentangan yang terjadi diantara mereka selama ini.

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 16
6.1 Dampak positif konflik
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa konflik dapat memberi
manfaat, bila dikelola dengan baik. Beberapa manfaat yang dapat ditarik dari konflik
menurut Winardi (1994:6-7) antara lain adalah:
Peningkatan kreativitas dan inovasi - Akibat adanya konflik, orang terdorong
untuk melakukan pekerjaannya dengan cara yang lebih baik, menggunakan
sumberdaya yang lebih efisien guna mencapai kinerja yang tertinggi. Kecuali itu,
akibat konflik orang juga terpacu untuk berperilaku lebih baik agar lebih disukai orang
lain.
Upaya yang meningkat (intensitasnya) - Konflik dapat membantu orang mengatasi
perasaan apatis dan mendorong orang yang terlibat konflik untuk bekerja lebih keras.
Ikatan (kohesi) yang makin kuat - Konflik yang terjadi dengan pihak luar, dapat
mendorong semakin diperkuatnya identitas kelompok, diperkuatnya ikatan (kohesi)
dan komitmen anggota kelompok agar dapat memenangkan perseteruan dengan
pihak lawan.
Ketegangan yang menyusut - Konflik juga diyakini dapat membantu menyusutkan
ketegangan-ketegangan antar pribadi
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Carolyn Sherif dan rekan-rekan (qtd.
in. Winardi, 1994: 73-75) terhadap dua kelompok anak muda yang ditempatkan pada
dua buah kamp yang terpisah, kemudian diciptakan situasi konflik intensif diantara
mereka, maka dari studi tersebut ditemukan paling tidak ada dua manfaat dari situasi
konflik tersebut, yaitu:
Kohesi yang semakin meningkat - Anggota suatu kelompok yang terlibat konflik
dengan kelompok lain, akan berusaha membangun identitas kelompok yang lebih
kuat melalui ikatan (kohesi) yang kuat. Karena hanya dengan ikatan yang kuat
tersebutlah, mereka yakin dapat mengatasi kelompok lain yang terlibat konflik
dengan mereka. Karena itu, ketidakcocokkan-ketidakcocokan masa lampau akan
dikesampingkan guna membangun kesatuan yang lebih kuat.
Munculnya pemimpin-pemimpin - Apabila konflik makin memuncak, maka individu-
individu yang dapat memberikan kontribusi terbesar untuk memenangkan
perseteruan tersebut akan semakin dihormati dan dihargai. Makin terlihat
kemampuannya untuk dapat mengalahkan lawan, maka semakin besar kekuasaan
yang diberikan oleh anggota kelompok kepadanya. Sehingga tanpa melalui suatu
prosedur yang rumit dan bertele-tele, orang yang bersangkutan secara otomatis
akan dinobatkan sebagai pemimpin.
Sementara itu Pickering (2000:3) telah pula mengidentifikasi sejumlah
manfaat yang dapat diperoleh dari konflik, diantaranya adalah:
Motivasi meningkat
Identifikasi masalah/pemecahan meningkat
Ikatan kelompok lebih erat
Penyesuaian diri pada kenyataan
Pengetahuan/keterampilan meningkat
Kreativitas meningkat
Membantu upaya mencapai tujuan
Mendorong pertumbuhan
Lebih lanjut, Pickering (2000:95) berpendapat bahwa karena konflik berakar
dalam emosi, sehingga bila seseorang berhasil mengatasi konflik secara efektif,
maka dia akan berkembang dalam tiga aspek, yaitu:


Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 17
Kepribadian - Sukses yang diperoleh seseorang dalam menangani konflik akan
menambah rasa percaya diri orang tersebut yang pada gilirannya akan
meningkatkan harga dirinya. Orang yang mempunyai harga diri tinggi memiliki
kepribadian yang lebih positif.
Kekuatan - Kekuatan pribadi atau kepercayaan terbentuk manakala seseorang
berhasil mengalahkan rasa takut akan terungkapnya kelemahan-kelemahan yang
dimiliki. Bila seseorang berhasil mengatasi konflik, besar kemungkinan orang
tersebut akan membuka diri, sehingga menambah kepercayaan orang lain pada
orang tersebut yang sudah barang tentu akan menambah kekuatannya.
Perspektif - Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa konflik sering terjadi
sebagai akibat dari adanya perbedaan persepsi terhadap suatu persoalan atau
kenyataan. Jika seseorang berhasil mengatasi konflik maka dapat dipastikan
perspektif orang tersebut akan semakin luas.
6.2 Dampak negatif konflik
Sebagaimana telah di uraikan sebelumnya, bahwa konflik disamping memiliki
manfaat dapat pula memberi dampat negatif. Terutama bila konflik tersebut tidak
ditangani atau dikelola dengan baik. Daniel Dana, dari Mediation Training Institute
International, percaya bahwa konflik karyawan yang tidak terkelola merupakan biaya
terbesar yang sebenarnya bisa ditekan di organisasi-organisasi sekarang ini (qtd. In.
Hoda Lacey, 2003:xii). Pada tingkat yang sangat tinggi, sebagaimana diilustrasikan
pada gambar 1, konflik dapat menyebabkan terjadinya chaos yang sudah barang
tentu akan berakibat sangat fatal bagi eksistensi individu, kelompok maupun
organisasi. Pickering (2000:3-4) telah mengidentifikasi beberapa dampak buruk
konflik sebagai berikut:
Produktivitas menurun
Kepercayaan merosot
Pembentukan kubu-kubu
Informasi dirahasiakan dan arus komunikasi berkurang
Timbul masalah moral
Waktu terbuang sia-sia
Proses pengambilan keputusan tertunda

Lebih lanjut Pickering (2000:96), berpendapat bahwa ditinjau dari aspek
emosional dan hubungan antar manusia, konflik dapat membawa tiga dampak
negatif yang merugikan, yaitu:
Momentum - Konflik dapat menjadi hambatan sehingga semua orang mati langkah.
Harga diri - Seseorang yang terlibat konflik dengan orang lain mungkin mencoba
membuat orang lain yang menjadi lawan konflik merasa bersalah, tidak cakap atau
bodoh. Harga diri lawan konflik dijatuhkan sedemikian rupa, sehingga berada pada
posisi yang sangat tidak mengenakkan.
Hubungan antar individu - Tidak pelak lagi, bahwa konflik dapat menyebabkan
hubungan antar individu menjadi tercabik-cabik sebagai akibat putusnya komunikasi,
hilangnya kejernihan fikiran, amarah dan sikap permusuhan.
Sehubungan dengan itu, Wood, et. al (2001:539) menyarankan beberapa hal
yang dapat dilakukan seorang manajer untuk mencegah terjadinya konflik yang
destruktif ditempat kerja, yaitu:
Listen carefully to employees to prevent misunderstanding
Monitor employees work to assist them to understand and coordinate
their action.
Encourage employees to approach you when they cannot solve difficulties
with co-workers on their own.

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 18
Clear the air with regular meetings that give employees a chance to
discuss their grievances
Provide a suggestion box, check it frequently and personally reply to all
signed suggestion.
Offer as much information as possible about decision to minimize
confusion and resentment.
Use employee surveys to identify potential conflicts that have not yet
surfaced.
Dari uraian-uraian di atas, kiranya sangatlah jelas bahwa konflik memiliki sisi
positif dan negatif. Bila dikelola secara baik, konflik dapat memberi banyak manfaat
dan sebaliknya bila tidak dikelola secara baik atau diatasi dengan cara-cara yang
tidak tepat, konflik dapat menimbulkan banyak kerugian dan bahkan kehancuran.
Oleh karena itu hasil akhir suatu konflik tergantung pada bagaimana konflik itu
dikelola.

7. Gaya manajemen konflik (Styles of Conflict Management)
Masing-masing orang atau manajer tentu mempunyai cara yang berbeda
dalam menghadapi konflik. Ken Thomas, seorang pakar yang menulis secara luas
konflik organisasi menyarankan lima gaya utama menajemen konflik yang dapat
diadop oleh para manajer dalam mengelola konflik, yaitu; (1) forcing, (2)
collaborating, (3) compromising, (4) avoiding, dan (5) accomodating (qtd. in.
Vecchio.et. al, 1992:466). Untuk menjelaskan kelima gaya ini, Thomas lebih lanjut
menyarankan digunakannya framework dua dimensi, sebagaimana ditunjukkan
gambar 3.

Gambar 3
A Two-Dimensional Model of Conflict Behavior
7.1 Forcing
Forcing adalah gaya manajemen konflik yang berusaha mengatasi lawan
konflik dengan menggunakan kewenangan formal, ancaman atau power. Dengan
demikian gaya ini lebih condong untuk memuaskan keprihatinan sendiri (assertive)
daripada memuaskan keprihatinan pihak lain (cooperative).

Cooperativenes
s
Uncooperative Cooperative
A
s
s
e
r
t
i
v
e
n
e
s
s
Unassertive
Assertive
Forcing
Sumber : Robert P. Vecchio. et.al (1992). Organisationall Behaviour
Life at Work in Australia. Harcourt Brace. P. 467
Collaborating
Avoiding
Compromising
Accommodating

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 19
7.2 Collaborating
Collaborating adalah gaya manajemen konflik yang menggabungkan
assertiveness dan cooperativeness. Artinya, gaya kolaborasi ini berusaha
memuaskan keprihatinan kedua belah pihak melalui diskusi yang ikhlas dengan
hati yang jujur. Kesuksesan gaya ini dibutuhkan kepercayaan dan keterbukaan
dari seluruh pihak yang terlibat konflik.
7.3 Accomodating
Accomodating adalah gaya manajemen konflik yang lebih mengutamakan
keprihatinan pihak lain dari pada keprihatinan sendiri. Perilaku akomodatif bisa jadi
dimotivasi oleh keinginan untuk menjadi altruistik dan mempertahankan harmoni
yang telah tercipta selama ini. Artinya orang yang menggunakan gaya ini lebih
mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan sendiri, karena
berprinsip bahwa konfrontasi dan kemarahan adalah sesuatu yang buruk.
7.4 Avoiding
Avoiding adalah gaya manajemen konflik yang merupakan kombinasi antara
unassertiveness dan uncooperativenes. Artinya gaya ini mencoba mengabaikan
keprihatinan sendiri dan juga keprihatinan pihak lain. Kedua belah pihak yang terlibat
dalam konflik berusaha untuk menjauhkan diri dari konflik tersebut. Biasanya hal ini
dilakukan untuk menghindari konflik yang lebih luas dan masing-masing pihak
berharap konflik tersebut akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya
waktu.
7.5 Compromising
Compromising adalah gaya manajemen konflik yang mencoba mencari titik
tengah antara keprihatinan sendiri dan keprihatinan pihak lain. Artinya masing-
masing pihak tidak akan mencapai apa yang diinginkan secara maksimal.
Pendekatan ini berhasil apabila masing-masing pihak bersedia saling memberi satu
sama lain.
Lebih lanjut Ken Tomas mencoba meringkas karakteristik kelima gaya
manajemen konflik di atas, sebagaimana tersaji dalam tabel 3 berikut ini.
Tabel 3
Five Conflict-Handling Style
Conflict-Handling
Style
Related Term Proverb
Forcing Competing
Conflictful
Moving against the other
Put your foot down
where you mean to
stand
Collaborating Problem solving
Integrating
Confronting
Come let us reason
together
Compromising Splitting the difference
Sharing
Horse-trading
You have to give some
to get some
Avoiding Moving away from the other
Withdrawing
Losing-leaving
Let sleeping dogs lie
Accomodating Yielding-losing
Friendly-helping
Moving toward the other
It is better to give than
to receive
Sumber : Robert P. Vecchio. et.al (1992). Organisational Behaviour
Life at Work in Australia. Harcourt Brace. P. 466

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 20

Mencermati karakteristik masing-masing gaya manajemen konflik dalam tabel
3 di atas, jelas kiranya bahwa masing-masing gaya mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Meskipun orang dapat tergoda untuk mempertimbangkan satu gaya
manajemen konflik lebih efektif dari gaya lainnya (misalnya collaborating lebih efektif
dari avoiding). Namun harus diyakini bahwa setiap gaya akan bekerja baik pada
situasi tertentu. Artinya, meskipun suatu gaya efektif menyelesaikan konflik pada
suatu situasi belum tentu juga efektif pada situasi yang lain. Melalui survey yang
dilakukannya, Ken Thomas (qtd. in. Vecchio et al, 1992:469) berusaha
mengidentifikasi gaya manajemen konflik yang cocok untuk suatu situasi,
sebagaimana tersaji dalam tabel 3 berikut ini.
Tabel 4
Uses of Five Styles of Conflict Handling
Conflict-Handling Style
Appropriate Situations

Forcing

1. When quick, decisive action is vital, e.g., emergencies
2. On important issues where unpopular actions needing
implementing, e.g., cost-cutting, enforcing unpopular ruler,
discipline
3. On issues vital to company welfare when you know youre
right
4. Against people who take advantage of noncompetitive
behavior

Collaborating 1. To find an intergrative solution when both sets of concerns
are too important to be compromised
2. When your objectives is to learn
3. To merge insights from people with different perspectives
4. To gain commitment by incorporating concerns into a
consensus
5. To work through feelings which have interfered with
relationship


Compromising

1. When goals are important, but not worth the effort or
potential disruption of more assertive modes
2. When opponents with equal power are commited to
mutually exclusive goals.
3. To achieve temporary settlements to complex issues.
4. To arrive at expedient solutions under time pressure.
5. As a backup when collaboration or competition is
unsuccessful .

Avoiding 1. When issues is trivial, or more important issues are
pressing.
2. When you perceive no chance of satisfying your concerns.
3. When potential disruption outweights the benefits of
resolution
4. To let people cool down and regain perspective.
5. When gathering information supersedes immediate
decision.
6. When others can resolve the conflict more effectively.
7. When issues seem tangential or symptomatic of other
issues





Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 21
Lanjutan
Conflict-Handling Style Appropriate Situations

Accomodating

1. When you find you are wrong-to allow a better position to
be heard, to learn, and to show your reasonableness.
2. When issues are more important to others than yourself- to
satisfy others and maintain cooperation.
3. To build social credits for later issues.
4. To minimize loss when you are outmatched and losing.
5. When harmony and stability are especially important.
6. To allow subordinates to develop by learning from
mistakes.


Sumber : Robert P. Vecchio. et.al (1992). Organisational Behaviour
Life at Work in Australia. Harcourt Brace. P. 469

8. Indikator Adanya Konflik
Meskipun konflik pada dasarnya adalah merupakan suatu pertentangan,
namun tidak selamanya konflik dimanifestasikan dalam perselisihan terbuka,
teriakan atau tanda-tanda yang mudah kelihatan. Oleh karena itu intuisi untuk
mengetahui tanda-tanda adanya sesuatu yang tidak beres perlu dipertajam, terutama
bagi yang menduduki posisi sebagai pemimpin. Konflik bisa diekspresikan secara
agresif atau pasif, secara jelas atau tersembunyi atau gabungan dari keempatnya.
Hoda Lacey (2003:25-26) menciptakan suatu model untuk memandang konflik,
seperti diilustrasikan pada gambar 4.

Gambar 4
Tanda-tanda Konflik

JELAS
TERSEMBUNYI
P
A
S
I
F
A
G
R
E
S
I
F
Sumber : Diadaptasi dari Hoda Lacey (2003). How to Resolve Conflict
In the Workplace. Gramedia Pustaka Utama. P. 26

IV

I

III

II

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 22
Gambar 4 di atas menjelaskan bahwa tanda-tanda konflik diidentifikasi melalui empat
kuadran, yaitu; Kuadran I, II, III dan IV
Kuadran I, Konflik dimanifestasikan secara agresif dengan tanda-tanda yang jelas,
misalnya; melalui teriakan, celaan, ejekan, tindak kekerasan, dan sebagainya.
Kuadran II, Konflik dimanifestasikan secara agresif tetapi dengan tanda-tanda yang
tersembunyi, misalnya; melalui komentar-komentar yang merendahkan, pelecehan,
tanpa henti mencari-cari kesalahan, mengkritik atau dengan cara menjatuhkan nama
baik pihak lain.
Kuadran III, Konflik dimanifestasikan secara pasif dan tersembunyi, misalnya; tidak
mau bekerjasama, apatis, membolos dengan alasan sakit, dan sebagainya.
Kuadran IV, konflik dimanifestasikan secara pasif dan jelas, misalnya; sopan santun
yang dibuat-buat, tidak mau berbicara, mengacuhkan lawan konflik, membuat memo
yang berisi kekeliruan lawan konflik dengan tembusan kepada pihak lain, dan
sebagainya.
Lebih lanjut, Hoda Lacey (2003:46) mengidentifikasi sejumlah indikator umum
yang dapat digunakan sebagai petunjuk adanya konflik dalam organisasi, indikator
tersebut antara lain adalah;
Komunikasi semakin mengambil bentuk penulisan memo dan e-mail
Lebih banyak orang bekerja di balik pintu tertutup
Rapat-rapat yang tidak memperoleh hasil apa-apa
Bahasa mereka dan kita
Friksi dan permusuhan antar pribadi
Nada suara tinggi dan air mata
Terbentuknya gang-gang
Rehat makan siang berkepanjangan dan jadwal tidak terjaga
Aksi bolos dan tidak masuk kerja dengan alasan sakit
Moril rendah atau ketegangan
Orang-orang tampak tertekan dan muram
Output/kualitas kerja terpengaruhi

9. Strategi Penyelesaian Konflik
Sebagaimana telah di bahas sebelumnya bahwa kita tidak dapat mengelak
dari konflik karena konflik merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita baik
sebagai individu, anggota kelompok maupun organisasi. Karena itu konflik bukanlah
sesuatu yang harus dihindari, melainkan menyambutnya dengan baik, belajar
darinya dan mengalir bersama konflik tersebut.
Agar konflik memberi manfaat, maka konflik tersebut harus dikelola dengan
baik dan diselesaikan dengan cara-cara yang tepat. Filosofi mendasar dari
pemecahan konflik adalah kepercayaan dan keyakinan bahwa kita dapat
menyelesaikan konflik tersebut dengan baik. Mengingat konflik banyak sekali
jenisnya dan sumber konflik juga sangat beragam, oleh karena itu masing-masing
jenis konflik memerlukan cara penyelesaian yang spesifik. Namun demikian
sebagian besar penyelesaian konflik, tidak hanya konflik antar individu, tetapi juga
konflik antar kelompok dan organisasi bersandar pada tiga strategi dasar, yaitu; (1)
lose-lose (pendekatan kalah-kalah), (2) win-lose (pendekatan menang-kalah), dan
(3) win-win (pendekatan menang-menang).
Lose-lose - Penyelesaian konflik dengan pendekatan kalah-kalah terjadi apabila tak
seorangpun dari pihak yang terlibat konflik berada pada posisi yang menang. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya pendekatan kalah-kalah dapat dilakukan dalam
berbagai cara. Pendekatan-pendekatan yang umum digunakan diantaranya adalah;
melakukan kompromi, memisahkan salah satu pihak dari konflik, menggunakan
pihak ketiga dari luar atau arbitrator, dan yang terakhir adalah menggunakan aturan
yang ada. Sekalipun penyelesaian konflik menggunakan pendekatan ini terkesan

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 23
berhasil, tapi sesungguhnya hanya untuk sementara waktu. Konflik tersebut masih
mempunyai peluang untuk muncul kembali di kemudian hari atau menjadi anteseden
dari konflik lainnya. Karena itu, strategi penyelesaian konflik menggunakan
pendekatan ini kurang disukai dibanding pendekatan lainnya seperti; menang-kalah
atau khususnya menang-menang.
Win-lose - Penyelesaian konflik dengan pendekatan menang-kalah, salah satu pihak
mencapai apa yang diinginkannya dengan jalan mengorbankan kepentingan pihak
lain. Strategi penyelesaian konflik dengan pendekatan ini menjadi sangat umum
pada budaya yang menghargai persaingan. Salah satu pihak yang berada pada
situasi konflik berusaha menyusun kekuatan untuk menang. Strategi menang kalah
dapat berakibat functional dan dysfunctional terhadap organisasi. Fungsional,
karena mendorong kreativitas untuk memenangkan persaingan, dan dapat
meningkatkan kohesivitas dan esprit de corp diantara individu-individu kelompok-
kelompok yang terlibat konflik. Pada sisi disfungsional, strategi menang-kalah
mengabaikan kemungkinan solusi lain seperti; kerjasama, membangun tujuan
bersama dan satu masalah besar dalam penggunaan strategi ini adalah salah satu
pihak tetap berada pada posisi yang kalah. Meskipun orang atau kelompok yang
menderita kekalahan mungkin bisa belajar sesuatu dari konflik tersebut, namun
kekalahan tersebut tetap merupakan sesuatu yang menyakitkan sehingga
mendorong keinginan untuk membalas dendam.
Win-win - Penyelesaian konflik dengan pendekatan menang-menang adalah
penyelesaian yang paling disukai baik dalam konflik individu, kelompok maupun
organisasi. Seluruh tenaga dan kreativitas diarahkan untuk memecahkan masalah
dari pada sekadar mengalahkan pihak lain. Kebutuhan masing-masing pihak yang
ada dalam situasi konflik dipenuhi dan kedua belah pihak menerima hasil yang
diharapkan. Tinjauan terhadap literatur yang relevan menunjukkan bahwa strategi
menang-menang berhubungan erat dengan adanya keinginan untuk membicarakan
persoalan yang memicu konflik secara terbuka dan jujur dan masing-masing pihak
mempunyai posisi tawar yang menyenangkan. Meskipun sangat sulit menerapkan
strategi ini dalam penyelesaian konflik, namun harus menjadi tujuan utama dalam
mengelola konflik.
Khusus berkenaan dengan konflik antar kelompok, Fred Luthans (1995:286)
menyarankan sejumlah strategi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik,
yaitu; (1) avoidance, (2) defusion, (3) containment, dan (4) confrontation.
Avoidance - Jenis strategi ini berusaha untuk membiarkan konflik apa adanya.
Dengan kata lain mengabaikan konflik tersebut. Strategi ini tentu cocok manakala
konflik yang terjadi sepele atau tindakan yang cepat dibutuhkan untuk mencegah
terjadinya konflik.
Defusion - Adalah strategi yang mengupayakan agar konflik menjadi deaktive dan
mendinginkan emosi serta permusuhan diantara kelompok yang terlibat konflik. Hal
ini dapat dilakukan dengan mencoba menurunkan taraf konflik atau menciptakan
superordinat goals untuk mendorong masing-masing kelompok yang terlibat konflik
bekerjasama untuk memenuhi tujuan tersebut. Strategi ini cocok digunakan
manakala kelompok tersebut mempunyai tujuan bersama yang penting.
Containment - Melalui strategi ini, suatu konflik dibiarkan muncul kepermukaan,
tetapi ditahan secara hati-hati melalui pengungkapan isu-isu yang akan didiskusikan
dan bagaimana isu-isu tersebut diselesaikan. Untuk melaksanakan strategi ini,
masalah dan prosedur yang akan digunakan disusun, dan wakil dari pihak-pihak
yang terlibat konflik diizinkan melakukan negosiasi dan tawar-menawar dalam
struktur yang dibangun. Strategi ini cocok digunakan bila diskusi terbuka mengalami
kegagalan dan masing-masing pihak mempunyai kekuatan yang seimbang.
Confrontation - Strategi ini merupakan ujung lain dari kontinum yang merupakan
lawan dari strategi avoidance. Semua isu-isu yang memicu konflik dibawa secara
terbuka kepermukaan, dan pihak-pihak yang terlibat konflik saling menghadapkan

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 24
isu-isu yang diperdebatkan satu sama lain untuk kemudian dicari solusi yang sama-
sama memuaskan. Stretegi ini boleh jadi meliputi pemecahan masalah bersama atau
secara formal mendisain ulang pekerjaan dan tanggungjawab agar supaya konflik
dapat diselesaikan. Konfrontasi cocok digunakan bila tingkat kepercayaan sangat
rendah dan waktu tidak terlalu kritis.
Sebetulnya masih banyak strategi lain yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan konflik antar kelompok disamping strategi yang telah dijelaskan di
atas. Fred Luthans (1995:286), mengidentifikasi strategi lain dalam teknik mengelola
konflik, misalnya melalui; superordinat goal, the reduction of interdependece between
the conflicting group, expanding resources, mutual problem solving, creation of
formal appeals system, dan merging conflicting group.
Dari pembahasan-pembahasan di atas jelaslah terlihat bahwa kemampuan
mengelola dan menyelesaikan konflik akan sangat menentukan, apakah konflik
tersebut akan menghasilkan sesuatu yang konstruktif atau justru destruktif. Terkait
dengan kemampuan menyelesaikan konflik, Wood et al (2001:543) menyarankan
beberapa hal yang dapat digunakan seorang manajer untuk meningkatkan
kemampuannya menyelesaikan konflik, yaitu:
Discover the reason for and meaning of the conflict
Listen actively and openly
Communicate emotions openly and directly
Search for the hidden fears, desires, interest, emotions and intentions, of
the conflicting parties.
Do not seeks to establish who is right and who is wrong, but create a
dialogue between the conflicting parties
Develop your own capacity for empathy and perseverance
Solve problem creatively and commit to action.

10. Strategi Melakukan Perubahan
Sebagaimana telah dijelaskan pada topik sumber konflik, bahwa disamping
faktor komunikasi, struktural dan kepribadian, konflik juga dapat disebabkan oleh
perubahan. Karena dalam melakukan perubahan manajemen suatu organisasi
sering dihadapkan pada kenyataan bahwa perubahan tersebut mendapat tantangan
dari karyawan, terutama bagi mereka yang merasa nyaman dengan situasi yang
tercipta selama ini. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik, tidak tertutup
kemungkinan organisasi akan terpolarisasi menjadi kubu yang mendukung
perubahan dan yang menentang perubahan. Kondisi ini jelas memiliki potensi
memicu terjadinya konflik. Oleh sebab itu, agar perubahan tersebut disatu sisi
membawa organisasi kearah kemajuan tetapi disisi lain juga jangan menimbulkan
konflik yang destruktif, maka perubahan tersebut perlu dilakukan dengan strategi
yang tepat.
Dalam melakukan perubahan, seorang manajer memiliki otoritas melakukan
perubahan, paling tidak ada tiga alternatif yang dapat digunakan seorang manajer,
yaitu; memaksa, memanipulasi atau mempengaruhi (Hoda Lacey, 2003:171).
Pemaksaan adalah pendekatan yang sangat agresif (menang-kalah). Dalam
melakukan pemaksaan seorang manajer akan menggunakan semua
kewenangannya agar orang lain menerima perubahan tersebut, dan sering kali
dengan ancaman, Kerjakan, kalau tidak .................
Manipulasi pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pemaksaan, hanya
saja caranya tidak terang-terangan, dengan kata lain manipulasi adalah agresi yang
terselubung. Namun pendekatannya tetap menang-kalah. Manipulasi sering
dilakukan dengan pujian yang sofistik, misalnya Anda kan hebat dalam hal ini, jadi
kerjakan saja. Berbeda dengan kedua pendekatan di atas, mempengaruhi adalah
pendekatan yang lebih humanistik. Ini adalah pendekatan menang-menang, artinya
perubahan dilakukan dengan meyakinkan orang lain. Kalau manipulasi dan

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 25
pemaksaan dilakukan menggunakan kekuatan dan penipuan. Mempengaruhi
menggunakan integritas dan rasionalitas. Perbedaan antara pendekatan manipulasi
dan pemaksaan dengan pendekatan mempengaruhi dapat diringkas, sebagaimana
tersaji dalam tabel 5 berikut.
Tabel 5
Perbedaan utama antara manipulasi/pemaksaan dan mempengaruhi
Manipulasi dan pemaksaan Mempengaruhi

Kekurangan

Pendekatan menang-kalah
Menghancurkan motivasi dan
komitmen staf
Menimbulkan hubungan/sikap yang
bermusuhan
Menanamkan sinisme dan ketidak-
percayaan
Mengisyaratkan kepemimpinan yang
jelek
Tidak mengizinkan masukan dari staf
Informasi mungkin terbias
Mendorong lahirnya keputusan yang
tergesa-gesa


Kelebihan

Pendekatan menang-menang
Mendorong motivasi dan komitmen staf
Kebutuhan setiap orang dipertimbangkan
Staf merasa didekati dan dihormati
Memberikan waktu untuk diskusi
Membantu membangun hubungan lebih
baik
Mendorong kreativitas
Mendorong lahirnya keputusan-
keputusan yang lebih bermutu

Kelebihan

Mungkin efektif dalam jangka pendek
Mungkin cocok pada keadaan yang
sangat urgen


Kekurangan

Bisa menyita waktu
Sumber: Hoda Lacey (2003). How to Resolve Conflict in the Workplace.
Gramedia Pustaka Utama. P. 172
Lebih lanjut Hoda Lacey (2003:173-174) menawarkan model untuk
mempengaruhi orang lain menggunakan pendekatan PEPSI (position, empathize,
problem, solution, dan influence).
Position - Nyatakan posisi sekarang secara objektif. Apa yang menjadi keberatan
orang lain terhadap perubahan yang akan dilakukan dinyatakan secara jujur dan
objektif.
Empathize - Bersikap positif dan pahami sudut pandang orang lain.
Problem - Nyatakan masalah apa saja yang akan timbul akibat tidak dilakukannya
perubahan yang diinginkan dan siapa saja yang akan terkena dampaknya.
Solution - Menyodorkan alternatif-alternatif solusi yang mungkin ditempuh.
Influence - Gunakan karisma dan nalar yang argumentatif untuk meyakinkan orang
lain agar bersedia menerima solusi yang ditawarkan.

11. Kesimpulan
Konflik adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan umat
manusia, karena konflik tersebut mengalir seiring dengan dinamika kehidupan.
Konflik merupakan bagian integral dari kehidupan itu sendiri baik kehidupan individu,
organisasi atau masyarakat. Karenanya tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa
konflik dapat menjadi indikator bahwa kehidupan masih berlangsung. Konflik
bukanlah sesuatu yang baik atau jelek, konflik hanyalah fakta kehidupan. Konflik bila

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 26
dikelola secara konstruktif, dapat memberi manfaat yang luar biasa, karena konflik
dapat menjadi katalis bagi perubahan kearah yang lebih baik.
Konflik memberikan proses pembelajaran bagi yang mengalaminya, karena
melalui konflik kita memperoleh kesempatan untuk melihat suatu persoalan dari
sudut pandang yang berbeda sehingga menghasilkan perspektif yang semakin luas.
Namun disisi lain, bila tidak ditangani atau dikelola secara baik konflik juga dapat
menjadi perusak yang sangat menakutkan. Konflik yang tidak ditangani dengan baik
dapat mengarah pada hal-hal yang destruktif, memutuskan hubungan, membunuh
kreatifitas, melemahkan semangat dan bahkan pada tingkat yang tinggi konflik dapat
menyebabkan terjadinya chaos yang bila tidak dapat diatasi dapat menghancurkan
sendi-sendi kehidupan umat manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
konflik pada tingkat yang sangat rendah mengakibatkan dinamika kehidupan berjalan
dengan sangat lamban tanpa ada dorongan kearah kemajuan dan pada tingkat yang
sangat tinggi dapat mengakibatkan terjadinya chaos yang juga dapat melumpuhkan
kehidupan. Karena itu konflik harus dipertahankan pada tingkat yang optimum, pada
mana konflik tersebut akan menghasilkan kinerja yang maksimal.
Konflik dapat terjadi dalam diri individu, antar individu, antar kelompok dan
organisasi. Konflik dapat bersumber dari banyak faktor, namun dapat dibagi kedalam
tiga kategori utama yaitu; faktor komunikasi, faktor struktur dan faktor perilaku
manusia. Mengingat jenis konflik dan sumber konflik sangat beragam, maka solusi
penyelesaian konflik juga tentu akan sangat beragam. Agar supaya keberadaan
konflik memberi manfaat pada kehidupan individu, organisasi dan masyarakat, maka
konflik harus ditangani dengan baik dan diselesaikan menggunakan strategi yang
tepat.
Konflik tidak dapat dihindari dan dicegah, tetapi dapat dikelola. Karenanya
konflik bukanlah sesuatu yang harus dihindari atau ditekan, tetapi justru digunakan
atau dimanfaatkan sebagai katalis perubahan. Maknailah konflik secara wajar
sebagai fakta kehidupan dan mengalirlah bersama konflik tersebut kearah yang lebih
baik. Agar konflik betul-betul bisa memberi manfaat, konflik harus dikelola secara
baik dan penyelesaiannya dilakukan dengan menggunakan strategi yang tepat.
Karena itu, dalam kehidupan modern yang sarat dengan persaingan dan dinamika
yang sangat tinggi, yang menyebabkan semakin sedikitnya ruang yang tidak memiliki
potensi terciptanya situasi konflik, maka pengetahuan dan keterampilan tentang
manajemen konflik menjadi hal yang teramat penting untuk diabaikan. Baik sebagai
individu, anggota organisasi, masyarakat apalagi sebagai pemimpin. Pemahaman
yang baik tentang esensi konflik, jenis-jenis konflik, sumber penyebab konflik, dan
penyelesaian konflik akan mendukung kemampuan mengelola konflik, sehingga
konflik dapat memberikan sesuatu yang positif bagi kehidupan individu, kelompok
maupun organisasi.

Ma n a j e m e n K o n f l i k b y : E r f i I l y a s

Page 27
DAFTAR PUSTAKA

Kusnadi dan Bambang Wahyudi. (2001). Teori dan Manajemen konflik (Tradisional,
Kotemporer dan Islam). Malang: Taroda.

Lacey, Hoda. (2003). How to Resolve Conflict in the Workplace. Terj. Bern. Hidayat.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Luthans, Fred. (1995). Organizational Behavior, Seventh Edition. Singapore: McGraw-
Hill International Editions, 1995.

Pickering, Peg. (2000). How to Manage Conflict: Win-win Solution. Terj. Masri Maris.
Jakarta: Penerbit Erlanggan.

Smither, Robert D. (1988). The Psychology of Work and Human Performance.
New York: Harper & Row, Publisher.

Tyson, Shaun dan Tony Jackson. (2001). The Essence of Organizational Behaviour.
Terj. Deddy Jacobus dan Dwi Prabantini. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Vecchio, Robert P., Greg Hearn., Greg Southey. (1992). Organisational Behavior: Life at
Work in Australia. Sidney: Harcourt Brace.

Winardi. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan). (1994). Bandung:
Penerbit CV. Mandar Maju.

Wood, Jack., Joseph Wallace., Rachid M. Zeffane. (2001). Organisational Behaviour:
A Global Perspective. Brisbane: John Willey & Sons Australia, Ltd.

Zwell, Michael. (2000). Creating A Culture of Competence. New York: John Willey &
Sons, Inc.

Anda mungkin juga menyukai