Anda di halaman 1dari 53

1

Kasus 2
Sesak Nafas

Seorang lakilaki usia 42 tahun dibawa ke IGD karena keluhan dispneu
sejak lima jam yang lalu. Sesak dirasakan semakin lama semakin berat. Keluhan
disertai nyeri dada kiri seperti ditusuktusuk dan batuk lama. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 92x/menit, frekuensi
nafas 32x/menit, suhu 37,2
o
C. Gerak dada kiri tertinggal, vokal fremitus lebih
terasa dan vokal resonans lebih terdengar di dada kanan, perkusi hipersonor dan
suara nafas menghilang pada dada kiri.

STEP 1

STEP 2
1. Mengapa pasien mengeluhkan dypsnea ?
2. Bagaimana mekanisme terjadinya sesak pada pasien ?
3. Sesak nafas pada pasien masuk ke dalam klasifikasi mana ?
4. Bagaimna penegakan diagnosis pada kasus?
5. Bagaimana penegakan pada kasus?

STEP 3
1. Mengapa pasien mengeluhkan dypsnea ?
- Kebutuhan sel akan O2 menurun
- Merupakan proses dari suatu penyakit (paru, jantung dan
neurogenik)
- Sumbatan atau benda asing
- Trauma benda tumpul
- Kelainan di kompartemen non paru sisten pernapasan
- Lingkungan yang konduktif
2. Bagaimana mekanisme terjadinya sesak pada pasien ?
2



- Trauma dada kebocoran/tusukan laserasi pleura udara
masuk ke dalam ruang pleura volume ruang pleura meningkat
distress pernapasan
3. Sesak nafas pada pasien masuk ke dalam klasifikasi mana ?
- Dipsnea akut onset tiba- tiba, biasanya pada penyakit jantung
- Dipsnea kronis onset lama
4. Anamnesis
Identitas : laki laki, 42 tahun datang dengan keluhan sesak nafas
sejak 5 jam yang lalu. Sesak seperti di tusuk, nyeri dada kiri dan
terdapat batuk
Vital sign : TD 110/70 mmHg, nafas 32x/menit dan suhu 37,2C
Pemeriksaan Fisik
Thorak inspeksi : dada kiri tertinggal saat ngambil nafas
Palpasi : vocal resonans teraba pada dada kanan
Perkusi : hipersonor
Auskultasi : vocal premitus terdengar di dada kanan
5. Penanganan
- Pemberian O2
O
2
dalam darah, hemoglobin sedikit, keracunan oksidatif
Defisiensi sirkulasi
Aliran darah
berkurang/menurun
Pengeluaran CO
2
di jaringan
menurun
Hiperkapnia jaringan
3

- ABCD
- Bronkodilator

STEP 4
1. Jantung :
- infark miokard
- gagal jantung kiri
Gagal jantung kongestif
Paru- paru :
- Edema paru
- Pneumotorax
- COPD
Neurogenik : paralisis organ pernafasan
2.
3. Pasien dypsnea akut onset cepat 5 jam
4. Anamnesis
Identitas : laki laki, 42 tahun datang dengan keluhan sesak nafas
sejak 5 jam yang lalu. Sesak seperti di tusuk, nyeri dada kiri dan
terdapat batuk
Vital sign : TD 110/70 mmHg, nafas 32x/menit dan suhu 37,2C
Pemeriksaan Fisik
Thorak inspeksi : dada kiri tertinggal saat ngambil nafas
Palpasi : vocal resonans teraba pada dada kanan
Perkusi : hipersonor
Auskultasi : vocal premitus terdengar di dada kanan
5. Penanganan
Prinsip dalam penanganan kegawat daruratan sesak





4




























Sesak
napas
Klasifikasi
Keluhan Utama , 42 tahun Penyebab sesak napas
Paru-paru
Ekstra paru
hipoksia jaringan akibat anemia atau
kurangnya pasokan O
2
(penyakit,
lingkungan)
Patofisiologi
sesak napas
Pemeriksaan Penunjang:
1. Laboratorium
2. Radiologi
3. Analisis Gas Darah
Pendekatan klinis
Pemeriksaan Fisik
1. Vital sign
2. Toraks
3. Generalis
trauma dada kebocoran/tusukan
laserasi pleura udara masuk ke
dalam ruang pleura volume ruang
pleura meningkat distress
Gangguan Metabolik
Pneumotoraks
Diagnosis
Banding
Penatalaksanaan
a. Ekspirasi dispnea
b. Inspirasi dispnea
c. Cardiac dispnea
d. Exertional dispnea
e. Expansional dispnea
f. Paroksismal dispnea
g. Ortostatik dispnea
h. Dispnea deffort
i. Trepopneu
j. Paroksismal
nokturnal dispnea
k. Pulmonal dispnea
l. Intermitent episode
of dispnea
a. Organ ( jantung, diafragma, gangguan
muskuloskeletal di toraks, depresi
susunan saraf pusat, gangguan gaster,
gangguan hepar, obstruksi saluran
pernapasan)
b. Gangguan metabolik
c. Trauma
paru, pleura
Anamnesis:
1. Keluhan Utama
2. Riwayat Penyakit
(sekarang,
5

STEP 5
1. Diagnosis banding kasus dipsnea yang meliputi kegawat daruratan
a. Mekanisme
b. Penatalaksanaan
STEP 6
Belajar mandiri
STEP 7
1. ASMA BRONKIAL
PENGERTIAN
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan napas yang melibatkan
berbagai sel inflamasi (Mansjoer, 1999: 476)
Istilah asma dari kata Yunani yang artinya terengah-engah dan berarti
serangan napas pendek. Meskipun dahulu istilah ini digunakan untuk
menyatukan gambaran klinis napas pendek tanpa memandang sebabnya,
sekarang istilah ini hanya ditujukan untuk keadaan-keadaan yang
menunjukkan respon abnormal saluran napas terhadap berbagai rangsangan
yang menyebabkan penyempitan jalan napas yang meluas. (Price, 1995; 689)

ETIOLOGI
Dua tipe dasar: Imunologik dan Nonimunologik
1. Asma Imunologik Atau Asma Alergik (Dulu Disebut Ekstrinsik)
Terjadi pada anak-anak
Biasanya mengikuti penyakit alergi lain seperti: eksim 80-85% anak-
anak dengan eksim mengalami Lay fever atau asma pada usia 6
th. Penderita asma dianggap sebagai atopik.
Serangan dicetuskan oleh kontak dengan allergen pada penderita yang
sensitif.
2. Asma Nonimunologik Atau Nonalergik (Dulu Disebut Intrinsik)
Biasanya terjadi pada orang dewasa diatas 35 th, seringkali serangan
dicetuskan oleh infeksi pada sinus atau cabang bronchial.
6

Beberapa penderita mengalami asma campuran yang serangannya
diawali oleh infeksi virus atau bakteri atau oleh allergen. Pada tipe asma
atau manapun saluran napas mudah mengalami propilak distal.
Serangan mungkin dicetuskan oleh perubahan suhu dan
kelembaban, uap yang mengisitasi, asap, bau-bauan yang kuat, latihan
fisik dan stres emosional. (C. Long, 1996: 509).

TANDA DAN GEJALA
1. Serangan seringkali terjadi pada malam hari.
2. Pasien terbangun dan merasa tercekik.
3. Terdapat wheezing saat ekshalasi.
4. Menggunakan otot-otot pernapasan dan membengkak ke depan.
(C. Long, 1996: 510)

PATOGENESIS
A. Immediated hypersensitivity (type I)
Paparan pertama respon tubuh membentuk IgE spesifik terhadap
antigen.Selanjutnya IgE ini akan melekat pada permukaan sel mast atau
makrofag lewat reseptor permukaan sel mast(IgER) dan reseptor
permukaan makrofag.ikatan ini sangat kuat disebut sensitized sel mast.
Sekian lama terjadi paparan ulang dengan allergen yang sama langsung
menempel pada IgE yang ada pada permukaan sel mast.Ikatan allergen dan
IgE pang ada pada permukaan akan mengakibatkan pengeluaran mediator
farmakologik 9histamin,SRS-A,ECF-A,prostaglandin,serotonin,kinin)dari
sel mast atau sel makrofag.Mediator ini mengakibatkan kontraksi otot
polos,hipersekresi kelenjar mukosa,peningkatan permeabilitas kapiler dan
reaksi inflamasi(mengakibatkan dikeluarkannya mediator-mediator sel
radang).Respon ini mengakibatan serangan asma

B. Adrenergik Reseptor (reseptor adrenergik)
Pada jaringan paru secara farmakologik didapatkan dua tipe
reseptor adrenergic alpha dan beta.Alpha reseptor sebagian besar berada
7

pada otot polos dan kelenjar eksokrin.Beta adrenergic reseptor secara
farmakologik terbagi menjadi beta-1 berada di otot jantung dan beta-2
seluruh permukaan otot polos bronkus dan pembuluh darah.Rangsangan
pada reseptor umumnya bersifat membangkitkan aktivitas otot
polos(vasokonstriksi),sedangkan pada beta reseptor mengakibatkan
relaksasi otot polos bronkus dan membangkitkan peningkatan detak
jantung dan meningkatkan kontraksi.

C. Beta adrenergic blockade.
Rangasangan beta adrenergic mengaktifkan enzim adenyl
cyclase,yang berfungsi sebagai katalase sebagai sintese cyclic adenose
monophosphate(cylic3,5-AMP atau cAMP)dari adenosine
triphosphate.cAMP berada dalam sel berfungsi menghambat kontriksi otot
polos atau memudahkan relaksasi otot.Dalam sel mast cAMP menghambat
pelepasan mediator.Reseptor beta adrenergic merupakan modulator
aktivitas adenylcyclase,yang mengendalikan kadar cAMP.Secara biologik
ada enzim yang bekerja tolak belakang dengan adenylcyclase yang ada
pada permukaan sel yang mengaktifkan cyclus 3,5 guanosine
monophosphate(cGAMP).Bila cGMP meningkat maka terjadi
vasokonstriksi.

D. Pelepasan mediator dan aktivitas mediator
Reaksi imun akan berakibat dilepaskannya bahan farmakologik
baik oleh sel mast jaringan maupun basofil dalam peredaran
darah.Pelepasan mediator tersebut mempengaruhi kadar cAMP dan cGMP
dalam sel.Peningkatan cAMP dapat menghambat pelepasan mediator dan
mencegah terjadinya bronkokontriksi dan mengakibatkan relaksasi otot
polos saluran nafas.Kenaikan kadar cGMP terjadi bila reseptor cholinergic
terangsang oleh acethylcholine.Peningkatan cGMP mengakibatkan
peningkatan pelepasan mediator dari sel mast.


8

FAKTOR PENYEBAB ASMA
Rangsangan alergi
Pada penderita asma alergi timbul dapat akibat menghirup bahan
allergen atau setelah mengkonsumsi bahan alergik tersebut.Airbone
allergen meliputi debu rumah,bulu hewan,animal dander,bagian-bagian
tubuh serangga,bahan pemerindah perabot rumah tangga(cat,plitur),spora
jamur dan macam-macam dari tepung sari.Dan baa allergen yang
dikonsumsi meliputi milk,ikan,telur,kacang-kacangan,coklat,kerang dan
golongan tomat.Namun terkadang sukar diketahui.
Rangsangan Bahan Toksik dan Iritan
Kelompok ini meliputi asap rokok,polutan pembuangan pabrik,asap
obat nyamuk,gasoline,uap cat.Bahan kimia seperti TDI(toluene
diisocynate) dan logam platina atau nikel.
Infeksi
Pada umumnya infeksi virus,jamur,bakteri dapat memicu timbulnya
serangan asma namun dapat pula bertindak sebagai bahan alergen.Sinusitis
bacterial dan infeksi virus(common cold)merupakan faktor utama
terjadinya serangan asma,dan kejadiannya sangat komplek
Obat
Banyak obat yang dikonsumsi dapat menimbulkan seranga
asma.Golongan terbanyak adalah penisilin dan vaksen.

D. PATOFISIOLOGI
Asma dapat dibagi dalam 3 kategori, asma ekstrinsik, atau alergik,
ditemukan pada sejumlah kecil pasien dewasa dan disebabkan oleh
allergen yang diketahui. Bentuk ini biasanya dimulai pada masa kanak-
kanak dengann riwayat keluarga yang mempunyai penyakit atropik
termasuk demam jerami, eczema, dermatitis, dan asma sendiri. Asma
alergik disebabkan karena kepekaan individu terhadap allergen, biasanya
profein dalam serbuk sari yang dihirup, bulu halus binatang, kain
pembalut, atau yang lebih jarang, terhadp makanan seperti susu atau
coklat. Paparan terhadap allergen, meskipun hanya dalam jumlah yang
9

sangat kecil dapat menyebabkan serangan asma. Sebaliknya, pada asma
intrinsic, atau idiopatik sering tidak ditemukan faktor-faktor pencetus yang
jelas. Faktor-faktor non spesifik seperti flu biasa, latihan fisik, atau emosi
dapat memicu serangan asma. Asma intrinsic ini lebih sering timbul
sesudah usia 40 th. Bentuk asma yang oaling banyak menyerang pasien
adalah asma campuran, yang mana terdiri dari komponen-komponen asma
ekstrinsik dan intrinsic. (Price, 1995: 689-690)
Suatu serangan asthma merupakan akibat adanya reaksi antigen-
antibodi yang menyebabkan dilepaskannya mediator-mediator
kimia. Mediator kimia meliputi histamine, slow releasing substance of
naphylaksis (SRS-A), eosinophilic chemotetik faktor of anaphylaksis
(ECF-A) dan lain-lain menyebabkan timbulnya tiga reaksi utama. (1)
Kontriksi otot-otot polos baik saluran napas yang besar maupun saluran
napas yang kecil yang menimbulkan bronkupasme. (2) Peningkatan
prolebilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang
berperan dalam terjadinya edema. Mukosa yang menambah sempitnya
saluran napas lebih lanjut dan (3) Peningkatan sekresi kelenjar mukosa
dan peningkatan produksi mucus. Sebagai akibatnya pasien yang
mengalami serngan akan berusaha untuk bernapas melalui mulut yang
mengakibatkan keringnya mucus dan lebih lanjut akan menghambat
saluran napas.
Selama serangan akut, alveoli mengembang secara progresif
seperti pada emfisen. Sebenarnya tidak dapat dilakukan. Oksigen yang
tak memadai melewati membrane alveolar-kapiler ke dalam darah
(Hipoksemia) dan pasien lebih bertambah sianotik. Pada waktu yang sama
penderita biasanya mengalami hiperventilasi dan mengeluarkan CO
2
dan
karenanya Pa CO
2
biasanya berkurang. Bila Pa CO
2
menjadi meningkat
dan penderita mengalami Hiperkapnia. Hal ini menunjukkan tanda bahaya
karena ini menunjukkan bahwa penderita mengalami kelelahan dan usaha
ventilasi menjadi tidak adekuat intubasi dan ventilasi bantuan meungkin
diperlukan. (Long, 1996: 509 : 511)

10















11

PENATALAKSANAAN
1. Bronkodilator
a) Agonis 2
b) Metilxantin
c) Antikolinergik
2. Anti Inflamasi
a) Kortikosteroid
b) Natrium Kromolin
Terapi awal, yaitu:
1. Oksigen 4-6 liter/menit
2. Agonis 2 (Salbutamol 5 mg/feneterol 2,5 mg atau terbutalin 10 mg)
inhalasi nebulasi dan pemberiannya dapat diulangi setiap 20 menit
sampai 1 jam. Pemberian agonis 2 dapat secara subkutan atau IV dengan
dosis salbutamol 0,25 mg/ terbutalin 0,25 mg dalam larutan dekstrosa 5%
dan diberikan perlahan.
3. Amrofilin bolus IV 5-6 mg /kg BB. Jika sudah menggunakan obat ini
dalam 12 jam sebelumnya maka cukup diberikan setengah dosis.
4. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg IV jika tidak ada respon segera
atau pasien sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat
berat.

Terapi Asma Kronik, yaitu:
1. Asma ringan : Abonis 2 inhalasi bila perlu atau agonis 2 oral
sebelum exercise atau terpapar allergen.
2. Asma sedang : Anti inflamasi setiap hari dan agonis 2 inhalasi bila
perlu.
3. Asma berat : Steroid inhalasi setiap hari, teofilin slow release atau
agonis 2 long acting, steroid oral selang sehari atau dosis tunggal harian
dan agonis 2 inhalasi sesuai kebutuhan. (Mansjoer, 2000: 478-480)



12

Pengobatan Penyakit Asma
Asma tidak bisa disembuhkan, namun bisa dikendalikan, sehingga
penderita asma dapat mencegah terjadinya sesak napas akibat serangan asma.
Kurangnya pengertian mengenai cara-cara pengobatan yang benar akan
mengakibatkan asma salalu kambuh. Jika pengobatannya dilakukan secara dini,
benar dan teratur maka serangan asma akan dapat ditekan seminimal mungkin.
Pada prinsipnya tata cara pengobatan asma dibagi atas:
1. Pengobatan Asma Jangka Pendek
2. Pengobatan Asma Jagka Panjang

Pengobatan Asma Jangka Pendek
Pengobatan diberikan pada saat terjadi serangan asma yang hebat, dan
terus diberikan sampai serangan merendah, biasanya memakai obat-obatan yang
melebarkan saluran pernapasan yang menyempit.
Tujuan pengobatannya untuk mengatasi penyempitan jalan napas,
mengatasi sembab selaput lendir jalan napas, dan mengatasi produksi dahak yang
berlebihan. Macam obatnya adalah:
A. Obat untuk mengatasi penyempitan jalan napas
Obat jenis ini untuk melemaskan otot polos pada saluran napas dan dikenal
sebagai obat bronkodilator. Ada 3 golongan besar obat ini, yaitu:
- Golongan Xantin, misalnya Ephedrine HCl (zat aktif dalam Neo
Napacin)
- Golongan Simpatomimetika
- Golongan Antikolinergik
Walaupun secara legal hanya jenis obat Ephedrine HCl saja yang dapat
diperoleh penderita tanpa resep dokter (takaran < 25 mg), namun tidak
tertutup kemungkinannya penderita memperoleh obat anti asma yang lain.
B. Obat untuk mengatasi sembab selaput lendir jalan napas
Obat jenis ini termasuk kelompok kortikosteroid. Meskipun efek
sampingnya cukup berbahaya (bila pemakaiannya tak terkontrol), namun
cukup potensial untuk mengatasi sembab pada bagian tubuh manusia
13

termasuk pada saluran napas. Atau dapat juga dipakai kelompok Kromolin.
C. Obat untuk mengatasi produksi dahak yang berlebihan.
Jenis ini tidak ada dan tidak diperlukan. Yang terbaik adalah usaha untuk
mengencerkan dahak yang kental tersebut dan mengeluarkannya dari jalan
napas dengan refleks batuk.
Oleh karenanya penderita asma yang mengalami ini dianjurkan untuk minum
yang banyak. Namun tak menutup kemungkinan diberikan obat jenis lain,
seperti Ambroxol atau Carbo Cystein untuk membantu.
Pengobatan Asma Jangka Panjang
Pengobatan diberikan setelah serangan asma merendah, karena tujuan
pengobatan ini untuk pencegahan serangan asma. Pengobatan asma diberikan
dalam jangka waktu yang lama, bisa berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, dan
harus diberikan secara teratur. Penghentian pemakaian obat ditentukan oleh dokter
yang merawat. Pengobatan ini lazimnya disebut sebagai immunoterapi, adalah
suatu sistem pengobatan yang diterapkan pada penderita asma/pilek alergi dengan
cara menyuntikkan bahan alergi terhadap penderita alergi yang dosisnya
dinaikkan makin tinggi secara bertahap dan diharapkan dapat menghilangkan
kepekaannya terhadap bahan tersebut (desentisasi) atau mengurangi kepekaannya
(hiposentisisasi).

2. PPOK/COPD
Pengertian
Penyakit paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang
digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai
oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya. Bronchitis kronik, emfisema paru dan asma bronchial membentuk
kesatuan yang disebut PPOK. Agaknya ada hubungan etiologi dan sekuensial
antara bronchitis kronis dan emfisema, tetapi tampaknya tidak ada hubungan
antara penyakit itu dengan asma. Hubungan ini nyata sekali sehubungan dengan
etiologi, pathogenesis dan pengobatan.
14

PPOK adalah sekresi mukoid bronchial yang bertambah secara menetap
disertai dengan kecenderungan terjadinya infeksi yang berulang dan penyempitan
saluran nafas , batuk produktif selama 3 bulan, dalam jangka waktu 2 tahun
berturut-turut (Ovedoff, 2002). Sedangkan menurut Price & Wilson (2005),
COPD adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit
paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai dengan obstruksi aliran udara
sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Menurut Carpenito (1999) COPD atau
yang lebih dikenal dengan PPOM merupakan suatu kumpulan penyakit paru yang
menyebabkan obstruksi jalan napas, termasuk bronchitis, empisema, bronkietaksis
dan asma. PPOM paling sering diakibatkan dari iritasi oleh iritan kimia (industri
dan tembakau), polusi udara, atau infeksi saluran pernapasan kambuh.
Klasifikasi
Menurut Alsagaff & Mukty (2006), COPD dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Asma Bronkhial: dikarakteristikan oleh konstruksi yang dapat pulih dari
otot halus bronkhial, hipersekresi mukoid, dan inflamasi, cuaca dingin,
latihan, obat, kimia dan infeksi.
2. Bronkitis kronis: ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai
pengeluaran dahak sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu
tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Gejala ini perlu dibedakan dari
tuberkulosis paru, bronkiektasis, tumor paru, dan asma bronkial.
3. Emfisema: suatu perubahan anatomis paru-paru yang ditandai dengan
melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus terminal,
disertai kerusakan dinding alveolus.
Etiologi
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya COPD (Mansjoer,
1999) adalah :
1. Kebiasaan merokok
Menurut buku report of the WHO expert comitte on smoking control,
rokok adalah penyebab utama timbulnya COPD. Secara pisiologis rokok
berhubungan langsung dengan hiperflasia kelenjar mukaos bronkusdan
15

metaplasia skuamulus epitel saluran pernapasan. Juga dapat menyebabkan
bronkokonstriksi akut. Menurut Crofton & Doouglas merokok
menimbulkan pula inhibisi aktivitas sel rambut getar, makrofage alveolar
dan surfaktan.
a. Riwayat Perokok : 1. Perokok Aktif
2. Perokok Pasif
3. Bekas Perokok
b. Derajat berat merokok
( Indeks Brinkman = Jumlah rata-2 batang rokok /hr X lama merokok /th):
1. Ringan : 0 - 200
2. Sedang : 200 - 600
3. Berat : > 600

2. Polusi udara
Polusi zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan brokhitis adalah zat
pereduksi seperti O2, zat-zat pengoksidasi seperti N2O, hydrocarbon,
aldehid dan ozon.
a. Polusi di dalam ruangan : - asap rokok
- asap kompor
b. Polusi di luar ruangan : - Gas buang kendaranan bermotor
- Debu jalanan
c. Polusi tempat kerja ( bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)

3. Riwayat infeksi saluran nafas.
Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada seorang penderita bronchitis
koronis hamper selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, serta
menyebabkan kerusakan paru bertambah. Ekserbasi bronchitis koronis
disangka paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudaian
menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
4. Bersifat genetik yaitu defisiensi -1 antitripsin.


16

4. Patogenesis & Patofisiologi PPOK














Patofisiologi
Walaupun COPD terdiri dari berbagai penyakit tetapi seringkali
memberikan kelainan fisiologis yang sama. Akibat infeksi dan iritasi yang
menahun pada lumen bronkus, sebagian bronkus tertutup oleh secret yang
berlebihan, hal ini menimbulkan dinding bronkus menebal, akibatnya otot-otot
polos pada bronkus dan bronkielus berkontraksi, sehingga menyebabkan
hipertrofi dari kelenjar-kelenjar mucus dan akhirnya terjadi edema dan inflamasi.
Penyempitan saluran pernapasan terutama disebabkan elastisitas paru-paru yang
berkurang. Bila sudah timbul gejala sesak, biasanya sudah dapat dibuktikan
adanya tanda-tanda obstruksi. Gangguan ventilasi yang berhubungan dengan
obstruksi jalan napas mengakibatkan hiperventilasi (napas lambat dan dangkal)
sehingga terjadai retensi CO2 (CO2 tertahan) dan menyebabkan hiperkapnia (CO2
di dalam darah/cairan tubuh lainnya meningkat).
Pada orang noirmal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang
menarik jaringan paru akan berkurang, sehingga saluran-saluran pernapasan
bagian bawah paru akan tertutup. Pada penderita COPD saluran saluran
pernapasan tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat
Inhalasi bahan berbahaya
Inflamasi
Mekanisme
perbaikan
Mekanisme
perlindungan
Kerusakan
jaringan
Hipersekresi mukus
Bronkitis kronis
Penyempitan saluran
nafas & fibrosis
Destruksi Parenkim Paru
Emfisema
Oksidative strees
oksidan
Anti oksidan
17

cepatnya saluran pernapasan menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan
menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung dari
kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada, tetapi
perfusi baik, sehingga penyebaran pernapasan udara maupun aliran darah ke
alveoli, antara alveoli dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama). Timbul
hipoksia dan sesak napas, lebih jauh lagi hipoksia alveoli menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia.
Perjalanan klinis penderita PPOK terbentang mulai dari pink puffers
sampai blue bloaters adalah timbulnya dispnea tanpa disertai batuk dan produksi
sputum yang berarti. Biasanya dispnea mulai timbul antara usia 30 sampai 40
tahun dan semakin lama semakin berat. Pada penyakit lanjut, pasien mungkin
begitu kehbisan napas sehingga tidak dapat makan lagi dan tubuhnya tampak
kurus tak berotot. Pada perjalanan penyakit lebih lanjut, pink puffers dapat
berlanjut menjadi bronktis kronis sekunder. Dada pasien berbentuk tong,
diafragma terletak rendah dan bergerak tak lancar. Polisitemia dan sianosis jarang
ditemukan, sedangkan kor pulmonal (penyakit jantung akibat hipertensi pulmonal
dan penyakit paru) jarang ditemukan sebelum penyakit sampai pada tahap
terakhir. Gangguan keseimbangan ventilasi dan perfusi minimal, sehingga dengan
hiperventilasi penderita pink puffers biasanya dapat mempertahankan gas-gas
darah dalam batas normal sampai penyakit ini mencapai tahap lanjut. Paru
biasanya membesar sekali sehingga kapasitas paru total dan volume residu sangat
meningkat.
Pada keadaan PPOK ekstrim yang lain didapatkan pasien-pasien blue
bloaters (bronchitis tanpa bukti-bukti emfisema obstuktif yang jelas). Pasien ini
biasanya menderita batuk produktif dan berulang kali mengalami infeksi
pernapasan yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum tampak
gangguan fungsi. Akan tetapi, akhrnya timbul gejala dipsnea pada waktu pasien
melakukan kegiatan fisik. Pasien-pasien ini memperlihatkan gejala berkurangnya
dorongan untuk bernapas; mengalami hipoventilasi dan menjadi hipoksia dan
hiperkapnia. Rasio ventilasi/perfusi juga tampak sangat berkurang. Hipoksia yang
kronik merangsang ginjal untuk memproduksi eritrropoetin, yang akan
merangsang peningkatan pembentukan sel-sel darah merah, sehingga terjadi
18

polisitemia sekunder. Kadar hemoglobin dapat mencapai 20gram/ 100 ml atau
lebih, dan sianosis mudah tampak karena Hb dapat tereduksi mudah mencapai
kadar 5 gram/100ml walaupun hanya sebagian kecil Hb sirkulasi yang berada
dalam bentuk Hb tereduksi. Pasien-pasien ini tidak mengalami dispnea sewaktu
istirahat sehingga mereka tampak sehat. Biasanya berat tubuh tidak banyak
menurun dan bentuk tubuh normal. Kapasitas paru total normal dan diafrgma
berada pada posisi normal. Kematian biasanya terjadi akibat kor pulmonal atau
akibat kegagalan pernapasan.
Perjalanan klinis PPOK yang khas berlangsung lama, dimulai pada usia
20-30 tahun dengan batuk merokok, atau pagi disertai pembentukan sedikit
sputum mukoid. Infeksi pernapasan ringan cenderung berlangsung lebih lama dari
biasanya pada pasien-pasien ini. Meskipun mungkin terdapat penurunan toleransi
terhadap kerja fisik, tetapi biasanya keadaan ini tidak diketahui karena
berlangsung dalam jangka waktu lama. Akhirnya, serangan bronchitis akut makin
sering timbul terutama pada musim dingin dan kemampuan kerja pasien
berkurang, sehingga waktu mencapai usia 50-60an pasien mungkin harus berhenti
bekerja. Pada pasien dengan tipe emfisema tosa yang mencolok perjalanan klinis
tampaknya tidak begitu lama yaitu tanpa riwayat batuk produktif dan dalam
beberapa tahun timbul dipsnea yang membuat pasien menjadi sangat lemah. Bila
timbul hiperkapnia, hipoksemia dank or pulmonal prognosisnya buruk dan
kematian biasanya terjadi beberapa tahun sesudah timbul penyakit. Gabungan
gagal napas dan gagal jantung yang dipercepat oleh pneumonia merupakan
penyebab kematian yang lazim. (Sylvia, 2005)
19























(Sumber: Buku Ajar IPD FKUI, 2009)

Tanda dan gejala
Berdasarkan Brunner & Suddarth (2005) adalah sebagai berikut :
1. Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.
2. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat
banyak.
3. Dispnea.
4. Nafas pendek dan cepat (Takipnea).
5. Anoreksia.
20

6. Penurunan berat badan dan kelemahan.
7. Takikardia, berkeringat.
8. Hipoksia, sesak dalam dada.
Pemeriksaan Diagnostik
1. Anamnesa ( Keluhan )
- Umumnya dijumpai pada usia tua ( > 45 th )
- Riwayat PEROKOK / bekas PEROKOK
- Riwayat terpajan zat iritan di tempat kerja ( waktu lama )
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Ada faktor predisposisi pada masa bayi / anak
( BBLR, infeksi nafas berulang, lingkungan asap rokok )
- Batuk berulang dengan / tanpa dahak
- Sesak dengan / tanpa bunyi mengi
- Sesak nafas bila aktivitas berat
2. Pemeriksaan fisik :
o Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shapped chest (diameter
anteroposterior dada meningkat).
o Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada.
o Perkusi pada dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati
lebih rendah, pekak jantung berkurang.
o Suara nafas berkurang.
3. Pemeriksaan radiologi
o Foto thoraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow
berupa bayangan garis-garisyang pararel keluar dari hilus menuju ke
apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
o Pada emfisema paru, foto thoraks menunjukkan adanya overinflasi
dengan gambaran diafragma yang rendah yang rendah dan datar,
penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan corakan kedistal.
4. Tes fungsi paru :
Dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea untuk menentukan
penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah
21

obstimulasi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan
untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.
5. Pemeriksaan gas darah.
6. Pemeriksaan EKG
7. Pemeriksaan Laboratorium darah : hitung sel darah putih.

7. Penatalaksanaan
1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan polusi udara.
2. Terapi ekserbasi akut dilakukan dengan :
o Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi :
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia,
maka digunakan ampisilin 4 x 0,25 0,5 g/hari atau aritromisin 4 x
0,5 g/hari.
Augmentin (amoxilin dan asam klavuralat) dapat diberikan jika
kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Catarhalis
yang memproduksi B. Laktamase. Pemberian antibiotic seperti
kotrimoksosal, amoksisilin atau doksisilin pada pasien yang
mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan
membantu mempererat kenaikan peak flowrate. Namun hanya dalam
7 10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder
atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antiobiotik yang lebih
kuat.
o Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas CO2.
MANFAAT OKSIGEN :
1. Mengurangi sesak
2. Memperbaiki Aktiviti
3. Mengurangi hipertensi pulmonal ( Penyakit jantung )
4. Mengurangi vasokonstriksi
5. Mengurangi hematokrit
6. Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
22

7. Meningkatkan kualiti hidup
INDIKASI PEMBERIAN OKSIGEN :
1. PaO2 < 60 mmHg atau SaO2 < 90 %.
2. PaO2 antara 55 59 mmHg atau SaO2 > 89 % +
adanya :
a. Kor Pulmonale
b. P Pulmonal
c. Hematokrit > 55%
d. tanda gagal janyung kanan
e. Sleep apneu
f. Penyakit paru lain
Macam Terapi Oksigen :
1. Pemberian oksigen jangka panjang
2. Pemberian Oksigen pada waktu aktiviti
3. Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
4. Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal nafas
Alat bantu pemberian Oksigen :
1. Nasal kanul
2. Sungkup venturi
3. Sungkup rebreathing
4. Sungkup Non rebreathing
o Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
o Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan nafas, termsuk
didalamnya golongan adrenergic B dan antikolinergik. Pada pasien dapat
diberikan sulbutamol 5 mg dan g diberikan tiap 6 jam dengan
rebulizeratau protropium bromide 250 atau aminofilin 0,25 05 g IV
secara perlahan.



23

Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
o Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4 x 0,25
0,5/hari dapat menurunkan ekserbasi akut.
o Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien, maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
obyektif fungsi foal paru.
o Fisioterapi.
o Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi akivitas fisik.
o Mukolitik dan ekspekteron.
o Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas
Tip II dengan PaO2 <>
o Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri
dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatna sosialisasi agar terhindar dari
depresi. Rehabilitasi untuk pasien PPOK/COPD: a) Fisioterapi b)
Rehabilitasi psikis c) Rehabilitasi pekerjaan.
3. PNEUMONIA
Definisi
Pneumonia adalah radang paru-paru yang dapat disebabkan oleh
bermacam-macam, sperti bakteri, virus, jamur, dan benda-benda asing.
Pneumonia adalah penyakit inflamasi pada paru yang dicirikan dengan
adanya konsolidasi akibat eksudat yang masuk dalam area alveoli (Axton &
Fugate, 1993).
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
yang mengenai bagian paru (jaringan alveoli) (Depkes RI, 2004 : 4). Pertukaran
oksigen dan karbondioksida terjadi pada kapiler-kapiler pembuluh darah di dalam
alveoli. Pada penderita pneumonia, nanah (pus) dan cairan akan mengisi alveoli
tersebut sehingga terjadi kesulitan pentrapan oksigen. Hal ini mengakibatkan
kesukaran bernapas (Depkes RI, 2007 : 4).
Definisi lain menyebutkan bahwa pada pneumonia terjadi peradangan
pada salah satu atau kedua organ paru yang disebabkan oleh infeksi (Ostapchuk
dalam Machmud, 2006 : 7).
24


Penyebab
Empat sumber utama yang menyebabkan pneumonia :
1. Pneumonia oleh bakteri
Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai
usia lanjut. Orang orang dengan gangguan pernafasan, sedang terinfeksi
virus atau menurun kekebalan tubuhnya, adalah orang yang paling beresiko.
Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum adalah
Streptococcos pneumonia sudah ada di kerongkongan manusia sehat. Begitu
pertahanan tubuh menurun karena sakit, tua, atau malnutrisi, bakteri segera
memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan.
2. Pneumonia oleh virus
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Saat
ini makin banyak saja virus yang berhasil diidentifikasi. Meski virus ini
kebanyakan menyerang saluran pernafasan bagian atas terutama pada balita,
gangguan ini bisa memicu pneumonia.
3. Pneumonia Mikoplasma
Pneumonia jenis ini berbeda gejala dan tanda fisiknya bila dibandingkan
dengan pneumonia pada umumnya. Karena itu, pneumonia yang diduga
disebabkan oleh virus yang belum ditemukan ini sering juga disebut
pneumonia yang tidak tipikal atau atypical pneumonia.
4. Pneumonia jenis lain
Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii pneumonia (PCP) yang
diduga disebabkan oleh jamur.
Sedangkan dari sudut pandang sosial, penyebab pneumonia menurut Depkes RI
(2005) antara lain :
1. Status gizi bayi
2. Imunisasi tidak lengkap
3. Lingkungan
4. Kondisi sosial ekonomi orang tua


25

Patofisiologi


Tanda dan gejala
Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa batuk, takipnue,
ekspektorasi sputum, napas cuping hidung, sesak napas, merintih dan sianosis.
Anak yang lebih besar dengan pneumonia akan lebih suka berbaring pada sisi
yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Tanda Pneuomonia berupa
retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam saat bernafas
26

bersama dengan peningkatan frekuensi nafas, perkusi pekak, fremitrus melemah.
Suara napas melemah, dan ronkhi (Mansjoer, 2000).
Menurut Muttaqin (2008) pada awalnya keluhan batuk tidak produktif,
tapi selanjutnya akan berkembang menjadi batuk produktif dengan mucus purulen
kekuningan, kehijauan, kecoklatan atau kemerahan, dan sering kali berbau busuk.
Klien biasanya mengeluh mengalami demam tinggi dan menggigil (onset
mungkin tiba tiba dan berbahaya ). Adanya keluhan nyeri dada pleuritis, sesak
napas, peningkatan frekuensi pernapasan, lemas dan nyeri kepala.

Cara Penularan
Cara penularan virus atau bakteri Pneumonia sampai saat ini belum diketahui
pasti, namun ada beberapa hal yang memungkinkan seseorang beresiko tinggi
terserang penyakit Pneumonia. Hal ini diantaranya adalah :
1. Orang yang memiliki daya tahan tubuh lemah, seperti penderita
HIV/AIDS dan para penderita penyakit kronik seperti sakit jantung,
diabetes mellitus. Begitupula bagi mereka yang pernah/rutin menjalani
kemoterapy (chemotherapy) dan meminum obat golongan
Immunosupressant dalam waktu lama, dimana mereka pada umumnya
memiliki daya tahan tubuh (Immun) yang lemah.
2. Perokok dan peminum alkohol. Perokok berat dapat mengalami irritasi
pada saluran pernafasan (bronchial) yang akhirnya menimbulkan secresi
muccus (riak/dahak), Apabila riak/dahak mengandung bakteri maka dapat
menyebabkan Pneumonia. Alkohol dapat berdampak buruk terhadap sel-
sel darah putih, hal ini menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh dalam
melawan suatu infeksi.
3. Pasien yang berada di ruang perawatan intensive (ICU/ICCU). Pasien
yang dilakukan tindakan ventilator (alat bantu nafas) 'endotracheal tube'
sangat beresiko terkena Pneumonia. Disaat mereka batuk akan
mengeluarkan tekanan balik isi lambung (perut) ke arah kerongkongan,
bila hal itu mengandung bakteri dan berpindah ke rongga nafas (ventilator)
maka potensial tinggi terkena Pneumonia.
27

4. Menghirup udara tercemar polusi zat kemikal. Resiko tinggi dihadapi oleh
para petani apabila mereka menyemprotkan tanaman dengan zat kemikal
(chemical) tanpa memakai masker adalah terjadi irritasi dan menimbulkan
peradangan pada paru yang akibatnya mudah menderita penyakit
Pneumonia dengan masuknya bakteri atau virus.
5. Pasien yang lama berbaring. Pasien yang mengalami operasi besar
sehingga menyebabkannya bermasalah dalah hal mobilisasi merupakan
salah satu resiko tinggi terkena penyakit Pneumonia, dimana dengan tidur
berbaring statis memungkinkan riak/muccus berkumpul dirongga paru dan
menjadi media berkembangnya bakteri

Kapan klien harus dibawa ke rumah sakit
Bila timbulsalah satu atau lebih gejala dan tanda berikut di bawah ini, maka
penderita harus dibawa ke rumah terdekat :
a. Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa : batuk, napas cepat,
pengeluaran dahak, napas cuping hidung, sesak napas, merintih dan
demam.
b. Tanda berupa : retraksi (penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
saat bernapas bersama peningkatan frekuensi napas), suara napas
melemah, dan terdapat bunyi tambahan saat bernapas seperti mengorok.

Cara pencegahan pneumonia di rumah
Menurut Theresia (2009), Pencegahan Pneumonia dapat dilakukan dengan
cara hidup bersih dan sehat dan memberikan nutrisi yang baik pada balita.
Disamping itu, perlu diberikan vaksin pneumokokus pada bayi dan anak sedini
mungkin.
Menurut Raymondnelson dan bambang (2009), Pencegahan pneumonia dapat
dilakukan dengan cara :
1. Memberikan vaksinasi pneumokokus atau sering juga disebut sebagai
vaksin IPD.
2. Memberikan imunisasi pada anak sesuai waktunya.
3. Menjaga keseimbangan nutrisi anak.
28

4. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara cukup istirahat dan juga
banyak olahraga.
5. Mengusahakan agar ruangan tempat tinggal mempunyai udara yang bersih
dan ventilasi yang cukup.

Komplikasi pneumonia
Pada paru paru penderita pneumonia di penuhi sel radang dan cairan
yang sebenarnya merupakan reaksi tubuh untuk mematikan kuman, tetapi karena
adanya dahak yang kental maka akibatnya fungsi paru terganggu sehingga
penderita mengalami kesulitan bernafas karena tidak adanya ruang untuk tempat
oksigen. Kekurangan oksigen membuat sel sel tubuh tidak bisa bekerja karena
inilah, selain penyebaran infeksi keseluruh tubuh, penderita pneumonia juga bisa
meninggal (Muttaqin, 2008).
Menurut Mansjoer (2000) komplikasi pneumonia yaitu :
1. Abses kulit
2. Abses jaringan lunak
3. Otitis media
4. Sinusitis
5. Meningitis purualenta
6. Perikarditis

Penanganan pneumonia
Menurut Mansjoer penanganan pneumonia berdasarkan klasifikasi pneumonia :
1. Pneumonia berat atau pneumonia sangat berat harus dirawat di RS dan
diberi antibiotik.
2. Pneumonia tidak perlu dirawat dirumah sakit
3. Batuk bukan pneumonia tidak perlu dirawat tidak perlu antibiaotik.




29

4. PNEUMOTORAKS
Definisi
Pneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapatnya udara pada
rongga potensial diantara pleura visceral dan pleura parietal (De Jong). Pada
keadaan normal rongga pleura dipenuhi oleh paru paru yang mengembang pada
saat inspirasi disebabkan karena adanya tegangan permukaaan ( tekanan negatif )
antara kedua permukaan pleura,adanya udara pada rongga potensial di antara
pleura visceral dan pleura parietalmenyebabkan paru-paru terdesak sesuai dengan
jumlah udara yang masuk kedalamrongga pleura tersebut, semakin banyak udara
yang masuk kedalam rongga pleura akanmenyebabkan paru paru menjadi kolaps
karena terdesak akibat udara yang masukmeningkat tekanan pada intrapleura.
(Jain, 2008)
Secara otomatis terjadi juga gangguan pada proses perfusi oksigen
kejaringan atau organ, akibat darah yang menuju kedalam paru yang kolaps tidak
mengalami prosesventilasi, sehingga proses oksigenasi tidak terjadi. (De Jong)
Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan untuk
melakukan proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang, tulang tulang
yang menyusunstruktur pernapasan seperti tulang klafikula, sternum, scapula.
Kemudian yang keduaadalah otot-otot pernapasan yang sangat berperan pada
proses inspirasi dan ekspirasi. Jika salah satu dari dua struktur tersebut mengalami
kerusakan, akan berpengaruh pada proses ventilasi dan oksigenasi. contoh
kasusnya, adanya fraktur pada tulang iga atautulang rangka akibat kecelakaan,
sehingga bisa terjadi keadaaan flail chest ataukerusakan pada otot pernapasan
akibat trauma tumpul, serta adanya kerusakan padaorgan viseral pernapasan
seperti, paru-paru, jantung, pembuluh darah dan organ lainnyadi abdominal
bagian atas, baik itu disebabkan oleh trauma tumpul, tajam, akibat senapan atau
gunshot. (Currie, 2007)
Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses respirasi, udara tidak akan
dapat masuk kedalam rongga pleura. Jumlah dari keseluruhan tekanan parsial dari
udara pada kapiler pembuluh darah rata-rata (706 mmHg). Pergerakan udara dari
30

kapiler pembuluh darahke rongga pleura, memerlukan tekanan pleura lebih rendah
dari -54 mmHg (-36 cmH2O) yang sangat sulit terjadi pada keadaan normal. Jadi
yang menyebabkanmasuknya udara pada rongga pleura adalah akibat trauma yang
mengenai dinding dadadan merobek pleura parietal atau visceral, atau disebabkan
kelainan konginetal adanyabula pada subpleura yang akan pecah jika terjadi
peningkatan tekanan pleura. (Currie, 2007)
Klasifikasi
Beberapa literatur menyebutkan klasifikasi pneumothoraks menjadi 2
yaitu, pneumotoraks spontan dan pneumotoraks traumatik. Ada juga
yangmengklasifikasikannya berdasarkan etiloginya seperti Spontan pneumotoraks
(spontan pneumotoraks primer dan spontan pneumotoraks sekunder),
pneumotoraks traumatik, iatrogenik pneumotoraks. serta ada juga yang
mengklasifikasinya berdasarkanmekanisme terjadinya yaitu, pneumotoraks
terbuka (open pneumotoraks), danpneumotoraks terdesak (tension pneumotoraks).
Seperti dikatakan diatas pneumotoraks dapat diklasifikasikan sesuai dengan dasar
etiologinya seperti Spontan pneumotoraks, dibagi menjadi 2 yaitu, Spontan
Pneumotoraks primer (primery spontane pneumothorax) dan Spontan
Pneumotoraks Sekunder (secondary spontane pneumothorax), pneumotoraks
trauma, iatrogenik pneumotoraks. (Jain, 2008)
Pneumotoraks Spontan Primer ( primery spontaneous pneumothorax)
Dari kata primer ini dapat diketahui penyebab dari pneumotoraks belum
diketahuisecara pasti, banyak penelitian dan terori telah di kemukakan untuk
mencobamenjelaskan tentang apa sebenarnya penyebab dasar dari tipe
pneumotoraks ini. Ada teori yang menyebutkan, disebabkan oleh factor
konginetal, yaitu terdapatnya bula padasubpleura viseral, yang suatu saat akan
pecah akibat tingginya tekanan intra pleura,sehingga menyebabkan terjadinya
pneumotoraks. (Idress M M, 2003)
Bula subpleura ini dikatakan paling sering terdapat pada bagian apeks paru
dan jugapada percabangan trakeobronkial. Pendapat lain mengatakan bahwa PSP
ini bisadisebabkan oleh kebiasaan merokok. Diduga merokok dapat
31

menyebabkanketidakseimbangan dari protease, antioksidan ini menyebabkan
degradasi dan lemahnyaserat elastis dari paru-paru, serta banyak penyebab lain
yang kiranya dapat membuktikan penyebab dari pneumotoraks spontan primer.
(Idress M M, 2003)
Pneumotoraks Spontan Sekunder ( Secondary Spontaneus Pneumothorax)
Pneumotoraks spontan sekunder merupakan suatu pneumotoraks yang
penyebabnya sangat berhubungan dengan penyakit paru-paru, banyak penyakit
paru-paru yangdikatakan sebagai penyebab dasar terjadinya pneumotoraks tipe
ini. ChronicObstructive Pulmonary Disease (COPD), infeksi yang disebabkan
oleh bakteri pneumocity carinii, adanya keadaan immunocompremise yang
disebabkan oleh infeksi virus HIV, serta banyak penyebab lainnya, disebutkan
penderita pneumotoraks tipe ini berumur diantara 60-65 tahun. (Idress M M,
2003)
Pneumotoraks Trauma
Pneumotoraks trauma adalah pneumotoraks yang disebabkan oleh trauma
yang secaralangsung mengenai dinding dada, bisa disebabkan oleh benda tajam
seperti pisau,atau pedang, dan juga bisa disebabkan oleh benda tumpul.
Mekanisme terjadinya pneumotoraks trauma tumpul, akibat terjadinya
peningkatan tekanan pada alveolar secara mendadak, sehingga menyebabkan
alveolar menjadi rupturakibat kompresi yang ditimbulkan oleh trauma tumpul
tersebut, pecahnya alveolar akan menyebabkan udara menumpuk pada pleura
visceral, menumpuknya udara terus menerus akan menyebabkan pleura visceral
rupture atau robek sehingga menimbulkan pneumotorak. (Idress M M, 2003)
Jika pada mekanisme terjadinya pneumotoraks pada trauma tajam
disebabkan oleh penetrasi benda tajam tersebut pada dinding dada dan merobek
pleura parietal dan udara masuk melalui luka tersebut ke dalam rongga pleura
sehingga terjadi pneumotoraks. (Idress M M, 2003)
Iatrogenik Pneumotoraks
32

Banyak penyebab yang dilaporkan mendasari terjadinya pneumotoraks
iatrogenic, penyebab paling sering dikatakan pemasangan thransthoracic needle
biopsy. Dilaporkan juga kanalisasi sentral dapat menjadi salah satu penyebabnya.
Pada dasarnya dikatakan ada dua hal yang menjadi faktor resiko yang
menyebabkan terjadinya pneumotoraks iatrogenic yaitu pertama adalah dalamnya
pemasukan jarum pada saat memasukannya dan kedua, ukuran jarum yang kecil,
menurut sebuah penelitian kedua itu memiliki korelasi yang kuat terjadinya
pneumotoraks. (Idress M M, 2003)
Berdasarkan mekanisme dari terjadinya pneumotoraks dapat
diklasifikasikan menjadi pneumotoraks terdesak (tension pneumotoraks), dan
pneumutoraks terbuka (open pneumothorax),
Pneumotoraks Terdesak (Tension Pneumothorax)
Suatu pneumotoraks yang merupakan salah satu kegawat daruratan pada
cedera dada. Keadaan ini terjadi akibat kerusakan yang menyebabkan udara
masuk kedalam rongga pleura dan udara tersebut tidak dapat keluar, keadaan ini
disebut dengan fenomena ventil ( one way-valve). (Sharma A, 2009)
Akibat udara yang terjebak didalam rongga pleura ssehingga
menyebabkan tekanan intrapleura meningkat akibatnya terjadi kolaps pada paru-
paru, hingga menggeser mediastinum ke bagian paru-paru kontralateral,
penekanan pada aliran vena balik sehingga terjadi hipoksia. (Sharma A, 2008)
Banyak literatur masih memperdebatkan efek dari pneumotoraks dapat
menyebabkan terjadinya kolaps pada sistem kardiovaskular. Dikatakan adanya
pergeseran pada mediastinum menyebabkan juga penekanan pada vena kava
anterior dan superior, disebutkan juga hipoksia juga menjadi dasar penyebabnya,
hipoksia yang memburuk menyebabkan terjadinya resitensi terhadap vaskular dari
paru-paru yang diakibatkan oleh vasokonstriksi. Jika gejala hipoksia tidak
ditangani secepatnya, hipoksia ini akan mengarah pada keadaan asidosis,
kemudian disusul dengan menurunnya cardiac output sampai akhirnya terjadi
keadaan henti jantung. (Sharma A, 2008)
33

Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothoraks)
Keadaan pneumotoraks terbuka ini tersering disebabkan oleh adanya
penetrasi langsung dari benda tajam pada dinding dada penderita sehingga
meninmbulkan luka atau defek pada dinding dada. Dengan adanya defek tersebut
yang merobek pleura parietal, sehingga udara dapat masuk kedalam rongga
pleura. Terjadinya hubungan antara udara pada rongga pleura dan udara
dilingkungan luar, sehingga menyebabkan samanya tekanan pada rongga pleura
dengan udara di diatmosper. Jika ini didiamkan akan sangat membahayakan pada
penderita. Dikatakan pada beberapa literatur jika sebuah defek atau perlukaan
pada dinding dada lebih besar 2/3 dari diameter trakea ini akan menyebabkan
udara akan masuk melalui perlukaan ini, disebabkan tekana yang lebih kecil dari
trakea. Akibat masuknya udara lingkungan luar kedalam rongga pleura ini,
berlangsung lama kolaps paru tak terhindarkan, dan berlanjut gangguan ventilasi
dan perfusi oksigen kejaringan berkurang sehingga menyebabkan sianosis sampai
distress respirasi.
IDENTIFIKASI AWAL
Identifikasi awal tentang gejala pneumotorak sangat diperlukan untuk
memberikan bantuan hidup dasar pada pasien pneumotoraks. Karena penanganan
awal yang tepat pada penderita pneumotoraks sangatlah penting untuk mencegah
terjadi kematian. Dikatakan pada sebuah penelitian penanganan awal pada 85 %
penderita pneumotorak dapat ditangani dengan menggunakan manover bantuan
hidup dasar tanpa memerlukan tindakan pembedahan.
Untuk mengidentifikasi gejala pnemutoraks, terlebih dahulu kita harus
mengetahui manifestasi klinis dan kriteria diagnosis dari pneumotoraks. Pertama
kita melihat penyebab dari terjadinya pneumotoraks untuk mengetahui tipe-tipe
pneumotoraks apa yang kemungkinan terjadi ada penderita. Diluar rumah sakit
mungkin kita akan menemukan lebih banyak kejadian pneumotoraks yang
diakibatkan oleh terjadinya
trauma, trauma yang terjadi bisa secara langsung melukai dinding dada atau pun
secara tidak langsung. Penyebab tersering dari pneumotoraks yang bisa
34

didapatkan akibat kecelakaan lalu lintas, akibat tingginya kecepatan kendaraan
bermotor mengakibatkan resiko terjadinya kecelakaa semakin, sehingga trauma
yang terjadi akan semakin parah.
Jika kita menemukan penderita ditempat kejadian, identifikasi terlebih
dahulu. Akibat benturan yang keras terhadap dinding dada penderita akan
mengeluhkan nyeri pada dinding dadanya. Disamping itu dilihat juga apakah ada
atau tidak perlukaan yang terjadi pada dinding dada, untuk mengetahui apakah
terdapat luka terbuka pada dinding dada penderita yang bisa menimbulkan
pneumotoraks terbuka. Sesak napas akan terjadi pada penderita pneumotoraks
akibat udara yang mulai masuk mengisi rongga pleura.
Jika terus berlanjut penderita akan terlihat gelisah akibat kesulitan
bernapas. Usaha dari tubuh untuk mengkompensasi akibat sesak napas yang
terjadi adalah bernapas yang cepat (takipneu) dan denyut nadi yang meningkat
(takikardia). Udara yang masuk kedalam rongga pleura ini akan menyebakan
terjadi pendesakan pada parenkim paru- paru hingga menjadi kolaps, jadi yang
mengisi rongga dada yang mengalami pneumotoraks adalah udara, pada saat
diperiksa dengan mengetuk dinding dada akan terdengar suara hipersonor, akibat
akumulasi udara pada rongga pleura. Kolapsnya paru-paru yang terdesak oleh
udara yang berada di rongga pleura ini menyebabkan proses ventilasi dan
oksigenasi berkurang atau malah tidak terjadi, sehingga jika didengarkan dengan
stetoskop suara napas tidak terdengar. (Sharma A, 2008)
Keadaan diatas akan bertambah parah jika tidak ditangani secara cepat dan
tepat. Penurunan kesadaran akan terjadi akibat perfusi oksigen ke otak yang
menurun (hipoksia). Penumpukan udara yang semakin banyak disana
menyebabkan terjadinya pendorongan pada mediastinum dan trakea kearah kontra
lateral dari paru-paru yang kolaps. Terjadinya pendesakan pada mediastinum juga
menyebabkan hambatan pada aliran vena balik, sehingga terjadi distensi pada
vena dileher, dan hipotensi. Semakin lama gejala ini berlangsung penderita akan
jatuh fase sianosis.

35

BANTUAN HIDUP DASAR (BASIC LIFE SUPPORT)
Bantuan hidup dasar merupakan suatu tindakan atau penatalaksanaan awal
yang dapat dilakukan pada saat kita menemukan korban diluar rumah sakit.
Penanganan bantuan hidup dasar ini bertujuan untuk dapat mengembalikan atau
mempertahankan oksigenasi pada korban. Bantuan hidup dasar ini digunakan
untuk mempertahankan aliran napas (airway), memberikan bantuan pernapasan
(breathing), dan evaluasi dari sistemsirkulasi darah (circulation) apakah sudah
cukup untuk memberikan perfusi oksigen yang adequat keseluruh jaringan. (Berg
R A, 2010)
Tahapan-tahapan dari pemberian bantuan hidup dasar kepada korban, jika
kita menemukan seorang korban dijalan atau dimanapun, pertama jika sendiri
mintalah pertolongan dari orang-orang sekitar, serta menghubungi pelayanan
kesehatan terdekat. Sebelum kita menolong korban pastikan diri kita sendiri aman
dari lingkungan sekitar, agar kita tidak menjadi korban selanjutnya. Kemudian
setelah meminta pertolongan kepada orang disekitar barulah kita mendekati
korban. Penilaian awal yang dilakukan, mengevaluasi kesadaran korban dengan
memberikan rangsangan suara, seperti memanggil sambil menepuk-nepuk bahu
korban, jika tidak berespon kita berikan rangsangan nyeri seperti cubitan. Jika
berespon segera pindahkan pasien ketempat yang lebih aman. Setelah
memberikan rangsangan suara dan nyeri pasien tidak berespon, pertama kita lihat
aliran napasnya (airway) dengan menggunakan manuver head tilt, menaruh tangan
didahi korban kemudian mendorongnya kebelakang, dan chin lift, mengangkat
dagu korban kedua gerakan ini dilakukan secara simultan dan gentle. Setelah itu
kita evaluasi hembusan napas dan apakah terdengar suara napas tambahan seperti
mengorok. Dilihat apa terdapat benda asing pada jalan napas yang menghambat
jalan napas seperti, sisa makanan, lidah yang terjatuh kebelakang, cairan atau
darah, jika terdapat sumbatan kita bersihkan atau hilang benda asing itu dari jalan
napas. Jika korban dicurigai adanya trauma pada leher (cervical) kita gunakan
manuver jaw thrus, yaitu menempatkan dua atau tiga jari pada sudut kedua
mandibular kemudian mengangkatnya keatas dan kedepan. (Berg R A, 2010)
36

Setelah (airway) jalan napas sudah lapang, kemudian kita menilai
pernapasan(breathing), disini kita mengevaluasi dari pergerakan dada korban yang
naik turun, adakah pergerakan dada yang tertingal (asimetris), pergerakan dada
yang cepat danterdapat retraksi dari otot-otot pernapasan, atau pergerakan dada
yang tidak ada. Jikatidak ada pergerakan dada, kita lakukan pemberian napas
bantuan sebanyak dua kali kepada korban, secara mulut kemulut, 1 kali napas
bantuan dalan satu detik. Pada saat memberi napas bantuan tutup hidung pasien
dengan mempertahankan maneuver head tilt dan chin lift. Tujuan dari pemberian
napas bantuan ini untuk memberikan napas pancingan kepada korban yang henti
napas, karena penyebab utama terjadinya kesulitan bernapas adalah kurang
lapangnya jalan napas. (Berg R A, 2010)
Pada pemberian dua kali napas bantuan, juga tidak berhasil, kita lanjutkan
pada evaluasi dari sirkulasi korban (circulation). Disini kita evaluasi sirkulasi
dengan meraba nadi karotis, brakialis, atau femoralis, dievalusi selama 10 detik.
Jika denyut nadi teraba spontan kita lanjutkan pemberian napas bantuan, satu
napas batuan diberikan setiap 5-6 detik, jadi pada satu menit deberikan 10 sampai
12 kali napas buatan.10 jika pada perabaan tidak teraba denyut nadi dari korban
kita langsung melakukan kompresi (cardiopulmonary resuscitation). Kompresi
dilakukan pada sternum, tepatnya dua atau tiga jari diatas taju pedang (proccesus
cipoideus). Kita taruh telapak tangan kita yang lebih kuat pada titik kompresi
dengan tangan yang lain diletakkan diatas tangan yang menjadi tumpuan, tujannya
agar sebagai pengunci, supaya tidak bergeser pada saat melakukan kompresi.
Kompresi dilakukan sebanyak 30 : 2 yaitu, 30 kali kompresi diselingi dengan
pemberian napas bantuan sebanyak 2 kali. Kompresi ini bertujuan untuk
meningkatkan oksigenasi ke jaringan dan mengeluarkan CO2. Kompresi Ini
dilakukan sampai adanya tanda-tanda kehidupan, dating pengganti untuk
melakukan kompresi, ponolong kelelahan, datang petugas medis yang telah
dihubungi. (Berg R A, 2010)
Fokus utama untuk menilai bagaimana tanda dan gejala klinis dari
pneumotoraks serta untuk memberikan bantuan hidup dasar pada korban di tempat
37

korban tersebut ditemukan, sebelum membawa korban ke pusat pelayanan medis
terdekat.
Pemberian bantuan hidup dasar pada korban yang menderita
pneumotoraks secara garis besar termasuk dalam pemberian bantuan hidup dasar
pada penderita trauma dada. Pada trauma dada ada 3 faktor penyebab yang
menyebabkan nyawa korban terancam yaitu, perdarahan, penurunan cardiac
output, dan distress pernapasan. Pada perdarahan sangat sulit untuk diidentifikasi,
akibat trauma tumpul atau trauma tajam yang mengenai pembuluh darah pada
rongga toraks. Penurunan cardiac output mungkin diakibatkan penekananan yang
disebabkan oleh udara yang menumpuk pada rongga pleura dan mendesak
mediastinum sehingga menekan dari cabang vena cava, penurunan dari aliran
darah balik vena sehingga cardiac output menurun. (Jain, 2008)
Distress respirasi disebabkan oleh desakan dari penumpukan udara pada
rongga pleura sehingga paru-paru yang terdesak akan menjadi kolaps. Penderita
dengan dengan trauma dada, fokus utama yang kita perhatikan pada breathing,
gejala harus dapat ditangani pada awal penilaian.
Bantuan hidup dasar yang diberikan, pertama, melihat lapang tidaknya
jalan napas (airway), dengan melakukan manuver head tilt, chin lift, dan jaw thrus
jika korban dicurigai mengalami cedera cervical. Disini dilihat apakah ada
sumbatan jalan napas, yang diakibatkan oleh trauma, dilihat pergerakan napas
korban ada atau tidak, terdapat sumbatan atau tidak dari jalan napas korban seperti
benda asing atau cairan, sehingga sumbatan jalan napas dari benda asing dapat
dihilangkan. (Sharma A, 2008)
Setelah itu kita berlanjut pada breathing, disini kita evaluasi dari
pergerakan dada korban apakah simetris atau tidak, kita lihat juga distensi dari
pembuluh darah vena pada leher, luka yang terbuka, penderita biasanya akan
terlihat gelisah akibat kesulitan bernapas. Dari gejala-gejalanya kemungkinan
mengarah ke pneumotoraks terdesak (tension pneumothorax) yang merupakan
suatu kegawat daruratan pada trauma dada. Pemberian oksigen terapi sangat
diperlukan pada keadaan ini, karena pemberian terapi oksigen 100% dapat
38

meningkatkan absropsi udara pada pleura, oksigen terapi 100% diberikan untuk
menurunkan tekanan alveolar terhadap nitrogen, sehingga nitrogen dapat
dikeluarkan dan oksigen dapat masuk melalui sistem vaskular, terjadi perbedaan
tekanan antara pembuluh kapiler jaringan dengan udara pada rongga pleura,
sehingga terjadi peningkatan absorpsi dari udara pada rongga pleura. (Sharma A,
2008)
Kemudian penanganan dengan jarum dekompresi yang dilakukan pada
intercostal 2 pada garis midklavikula, ini merupakan metode konvensional. Pada
literatur American College Of Chest Physician (ACCP) dan British Thoracic
Society (BTS) dekompersi dapat dilakukan pada intercosta 5 pada garis anterior
aksila. Pengunaan pipa torakostomi digunakan pada pneumotoraks dengan gejala
klinis sulit bernapsa yang sangat berat, nyeri dada, hipoksia dan gagalnya
pemasangan jarum aspirasi dekompresi. Pada penggunaannya pipa torakostomi
disambungkan dengan alat yang disebut WSD (water seal drainage). WSD
mempunyai 2 komponen dasar yaitu, ruang water seal yang berfungsi sebagai
katup satu arah berisi pipa yang ditenggelamkan dibawah air, untuk mencegah air
masuk kedalam pipa pada tekanan negatif rongga pleura. dan ruang pengendali
suction. WSD dilepaskan bila paru-paru sudah mengembang maksimal dan
kebocoran udara sudah tidak ada. (Sharma A, 2008)
Pada sirkulasi (circulation) kita menilainya dengan meraba denyut nadi,
untuk mengevaluasi kemungkinan tanda-tanda syok pada korban (denyut nadi
cepat dan lemah, akral dingin, laju pernafasan dll) jika denyut nadi tidak teraba
langsung berikan kompresi sebanyak 30 kali dengan memberikan 2 kali napas
bantuan. Pemberian terapi cairan secara intravena dilakukan untuk resusitasi awal
pada penderita pneumotoraks dengan keadaan syok, dengan pemasangan kateter
intravena ukuran besar (minimum 16 gauge) dengan pemberian larutan elektrolit
isotonik, untuk menstabilkan volume vasukuler dengan mengganti cairan pada
ruang interstisial dan intraseluler. Pada pneumotorak terbuka, yang terdapat luka
yang menganga pada dinding dada dan udara masuk melalui perlukaan tersebut.
Penanganan awal yang dapat kita lakukan adalah tutup luka tersebut dengan
menggunakan gaas steril ataupun kain yang bersih yang ditutup pada tiga sisinya.
39

Fungsi dari penutup ini sebagai katup, udara dapat keluar melaluin luka, tetapi
tidak dapat masuk melalui luka tersebut. Karena jika kita tutup pada ke empat
sisinya, pneumotoraks terbuka ini akan berubah menjadi pneumotoraks terdesak,
akibat udara yang masuk tidak dapat keluar, dan terperangkap di rongga pleura.
(Sharma A, 2008)
5. Gagal Jantung
Klasifikasi
Gagal jantung secara klinik diklasifikasikan berdasarkan atas beratnya
disfungsi jantung atau derajat merosotnya kemampuan/toleransi terhadap
latihan jasmani. Klasifikasi yang banyak digunakan adalah klasifikasi New
York Heart Association, yaitu :
a. Klas I: Pasien dengan penyakit jantung namun tanpa keterbatasan pada
aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan keletihan,
palpitasi, sesak, atau nyeri angina.
b. Klas II: Pasien dengan penyakit jantung yang menyebabkan
keterbatasan aktivitas fisik ringan. Pasien merasa nyaman pada waktu
istirahat. Aktivitas fisik biasa mengakibatkan kelemahan, palpitasi,
sesak, atau nyeri anginal.
c. Klas III: Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan
keterbatasan bermakna pada aktivitas fisik. Pasien merasa nyaman pada
waktu istirahat. Aktivitas fisik yang lebih ringan dari biasanya
menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, dan nyeri anginal.
d. Klas IV: Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk menjalani aktivitas fisik apapun tanpa rasa tidak
nyaman. Gejala gagal jantung atau sindroma angina dapat dialami
bahkan pada saat istirahat. Jika aktivitas fisik dilakukan, maka rasa
tidak nyaman semakin meningkat.



40

Mekanisme
Bila terjadi gagal jantung kiri tanpa diikuti kegagalan di bagian kanan,
darah yang dipompa ke dalam paru akan terus di pompa dengan kekuatan
jantung kanana yang biasa, tetapi darah yang keluar dari paru tidak dapat
dipompa secara adekuat oleh jantung kiri ke dalam sirkulasi sistemik.
Akibatnya tekanan pengisian paru-paru rata-rata meningkat karena terjadi
perpindahan sebagian besar darah dari sirkulasi sistemik ke dalam sirkulasi
paru.
Meningkatnya volume darah di paru membuat tekanan kapiler paru
meningkat, bila tekanan ini meningkat hingga sama dengan tekanan osmotik
koloid plasma, cairan merembes keluar dari kapiler dan masuk ke ruang
interstitial paru and alveoli sehingga menimbulkan edema paru.
Gagal jantung kanan dapat menyebabkan kongesti vena sistemik dan
jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantng tidak mampu
mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat
mengakomodai semua darah yang kembali dari sirkulasi vena.
Efek umum adalah salah satu dari output jantung berkurang dan
tekanan meningkat pada jantung. Hal ini meningkatkan risiko serangan
jantung (khusus karena disritmia ventrikel), dan mengurangi suplai darah ke
seluruh tubuh. Pada penyakit kronis output jantung berkurang menyebabkan
sejumlah perubahan di seluruh tubuh, beberapa di antaranya kompensasi
fisiologis, beberapa di antaranya merupakan bagian dari proses penyakit:
Tekanan darah arteri turun. Hal ini destimulates baroreseptor pada
sinus karotis dan arkus aorta yang link ke inti tractus solitarius.
Pusat di otak meningkatkan aktivitas simpatis, katekolamin
melepaskan ke dalam aliran darah. Mengikat untuk alfa-1 hasil
reseptor di vasokonstriksi arteri sistemik. Hal ini membantu
mengembalikan tekanan darah tapi juga meningkatkan resistensi
perifer total, peningkatan beban kerja jantung. Mengikat reseptor
beta-1 dalam miokardium meningkatkan detak jantung dan
membuat kontraksi lebih kuat, dalam upaya untuk meningkatkan
41

output jantung. Ini juga, bagaimanapun, meningkatkan jumlah kerja
jantung harus melakukan.
Stimulasi simpatis yang meningkat juga menyebabkan hipotalamus
untuk mengeluarkan vasopresin (juga dikenal sebagai hormon
antidiuretik ADH atau), yang menyebabkan retensi cairan di ginjal.
Hal ini meningkatkan volume darah dan tekanan darah.
Mengurangi perfusi (aliran darah) ke ginjal merangsang pelepasan
renin - enzim yang mengkatalisis produksi angiotensin vasopressor
kuat. Angiotensin dan metabolitnya menyebabkan vasocontriction
lebih lanjut, dan merangsang sekresi aldosteron meningkat dari
steroid dari kelenjar adrenal. Ini mempromosikan garam dan retensi
cairan di ginjal, juga meningkatkan volume darah.
Tingkat kronis tinggi beredar hormon neuroendokrin seperti
katekolamin, renin, angiotensin, dan aldosteron mempengaruhi
miokardium secara langsung, menyebabkan renovasi struktural
jantung dalam jangka panjang. Banyak dari efek renovasi
tampaknya dimediasi dengan mengubah faktor pertumbuhan beta
(TGF-beta), yang merupakan target hilir umum dari kaskade
transduksi sinyal diprakarsai oleh katekolamin dan angiotensin II,
dan juga oleh faktor pertumbuhan epidermal (EGF), yang target
jalur sinyal diaktifkan oleh aldosteron.











42

































43



Gambar 2.4 gagal jantung
















Gambar 2.4 Gagal Jantung Kongestif


Tanda dan Gejala
Gejala-gejala gagal jantung sebagian besar ditentukan oleh sisi mana
jantung gagal. Sisi kiri memompa darah ke sirkulasi sistemik, sedangkan
sisi kanan memompa darah ke sirkulasi paru. Sementara sisi kiri gagal
jantung akan mengurangi curah jantung ke sirkulasi sistemik, gejala awal
sering menampakkan karena efek pada sirkulasi paru. Pada disfungsi
sistolik, fraksi ejeksi menurun, meninggalkan volume abnormal darah di
ventrikel kiri. Pada disfungsi diastolik, tekanan diastolik akhir ventrikel-
akan tinggi. Kenaikan dalam volume atau tekanan punggung ke atrium kiri
dan kemudian ke pembuluh darah paru. Peningkatan volume atau tekanan di
44

dalam vena paru merusak drainase normal alveoli dan nikmat aliran cairan
dari kapiler ke parenkim paru-paru, menyebabkan edema paru. Mengganggu
pertukaran gas. Jadi, sisi kiri gagal jantung sering menyajikan dengan gejala
pernapasan: sesak napas, ortopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.
Pada kardiomiopati yang parah, efek dari penurunan curah jantung
dan perfusi yang buruk menjadi lebih jelas, dan pasien akan terwujud
dengan ekstremitas dingin dan berkeringat, sianosis, klaudikasio, kelemahan
umum, pusing, dan sinkop
Para hipoksia yang dihasilkan disebabkan oleh edema paru menyebabkan
vasokonstriksi pada sirkulasi paru-paru, yang mengakibatkan hipertensi
pulmonal. Karena tekanan ventrikel kanan menghasilkan jauh lebih rendah
dari ventrikel kiri (sekitar 20 mmHg dibandingkan sekitar 120 mmHg,
masing-masing, dalam individu yang sehat) tetapi tetap menghasilkan
output jantung persis sama dengan ventrikel kiri, ini berarti bahwa
peningkatan kecil dalam resistensi vaskuler paru menyebabkan peningkatan
besar dalam jumlah pekerjaan ventrikel kanan harus melakukan. Namun,
mekanisme utama yang sisi kiri menyebabkan gagal jantung sisi kanan
gagal jantung sebenarnya tidak dipahami dengan baik. Beberapa teori
memanggil mekanisme yang dimediasi oleh aktivasi neurohormonal. Efek
mekanik juga dapat berkontribusi. Sebagai ventrikel kiri mengalami
distensi, busur septum intraventrikular ke ventrikel kanan, penurunan
kapasitas ventrikel kanan.

a. Kriteria Major
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
45

b. Kriteria minor
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea deffort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi (>120/menit)
c. Major atau minor
1. Penurunan BB lebih sama dari 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
2. Diagnosis gagal jantung ditegakan minimal ada 1 kriteria major dan
2 kriteria minor penyebab
TABEL 1.1
Penyebab Seluruh Kegagalan Memompa Jantung
A. Kelainan Mekanik
1. PeningkatanBeban Tekanan
a. Sentral (stenosis aorta, dll)
b. Perifer (hipertensi sistemik, dll)
2. Peningkatan Beban Volume (regurgitasi katup, pirau, peningkatan
beban awal, dll)
3. Obstruksi terhadap pengisisan ventrikel (stenosis mitral atau trikuspidal)
4. Tamponade perikardium
5. Pembatasan miokardium dan endokardium
6. Aneurisma ventrikel
7. Dissinergi ventrikel

B. Kelainan miokardium otot
1. Primer
a. Kardiomiopati
b. Miokarditis
c. Kelainan metabolik
46

d. Toksisitas(alkohol,kobalt)
e. Presbikardia
2. Kelainan disdinamik Sekunder (akibat kelainan mekanik)
a. Deprivasi oksigen (penyakit jantung koronera)
b. Kelainan metabolik
c. Peradangan
d. Penyakit sistemik
e. Penyakit paru obstruktif kronis
C. Perubahan Irama jantung atau urutan hantaran
1. Tenang (Standstill)
2. Fibrilasi
3. Takikardi atau bradikardi ekstrim
4. Asinkronitas listrik, gangguan konduksi

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi
penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis, keduanya
dibutuhkan karena akan saling melengkapi untuk penatlaksaan paripurna
penderita gagal jantung. Penatalaksanaan gagal jantung baik itu akut dan
kronik ditujukan untuk memperbaiki gejala dan progosis, meskipun
penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya
kondisi. Sehingga semakin cepat kita mengetahui penyebab gagal jantung
akan semakin baik prognosisnya.
Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara
lain adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya,
pengobatan serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya
hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita
dengan kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta
pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada
kasus gagal jantung kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk
berolahraga karena mempunyai efek yang positif terhadap otot skeletal,
fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan juga terhadap sensitifitas
47

terhadap insulin meskipun efek terhadap kelengsungan hidup belum dapat
dibuktikan. Gagal jantung kronis mempermudah dan dapat dicetuskan oleh
infeksi paru, sehingga vaksinasi terhadap influenza dan pneumococal perlu
dipertimbangkan. Profilaksis antibiotik pada operasi dan prosedur gigi
diperlukan terutama pada penderita dengan penyakit katup primer maupun
pengguna katup prostesis.
Penatalaksanaan gagal jantung kronis meliputi penatalaksaan non
farmakologis dan farmakologis. Gagal jantung kronis bisa terkompensasi
ataupun dekompensasi. Gagal jantung terkompensasi biasanya stabil,
dengan tanda retensi air dan edema paru tidak dijumpai. Dekompensasi
berarti terdapat gangguan yang mungkin timbul adalah episode udema paru
akut maupun malaise, penurunan toleransi latihan dan sesak nafas saat
aktifitas. Penatalaksaan ditujukan untuk menghilangkan gejala dan
memperbaiki kualitas hidup. Tujuan lainnya adalah untuk memperbaiki
prognosis serta penurunan angka rawat.
Obat obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung kronis
antara lain: diuretik (loop dan thiazide), angiotensin converting enzyme
inhibitors, f blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol), digoxin,
spironolakton, vasodilator (hydralazine /nitrat), antikoagulan, antiaritmia,
serta obat positif inotropik.
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5
2 l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring
jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi
metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan
perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan
diberikan pada pemderita dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik
berat dengan dilatasi ventrikel.
Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis
dispneu, takikardia serta cemas, pada kasus yang lebih berat penderita
tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik <
90 mmHg), oliguria serta cardiac output yang rendah menunjukkan bahwa
penderita dalam kondisi syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat
48

serta syok kardiogenik biasanya timbul pada infark miokard luas, aritmia
yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau adanya problem
mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum ventrikel
pasca infark.
Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi
dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui
penyebab, perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan
perbaikan oksigenasi jaringan.

Menempatkan penderita dengan posisi duduk
dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai
tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi
kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan
dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan,
semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat metabolisme
anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi hipoperfusi
memperbaiki asidosis, pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus
yang refrakter.
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan
menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum
ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin
vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat
antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan.
Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam
penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan
kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga
menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis
pemberian 2 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi
preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan
angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator
vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri
termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga
terjadi keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi
49

jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada pemberian intravena
dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 24 jam
.

Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang
diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung
yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal
ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 0,5 g/kg/menit.
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator.
Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan
ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal,
dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar
epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena
menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung,
meningkatkan stroke volume karena berkurangnya afterload. Dosis
pemberiannya adalah bolus 2 g/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus
0,01 g/kg/menit.
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung
akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau
vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah
85 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/atau
vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan
akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi
perfusi jaringan bila tekanan arteri rata -rata > 65 mmHg.
Pemberian dopamin : 2 g/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 5 g/kg/mnt akan
merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan
curah jantung. Pada pemberian 5 15 g/kg/mnt akan merangsang reseptor
adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung serta
vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang reseptor adrenergik 1
dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi)
dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 3 g/kg/mnt, untuk
meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 15 g/kg/mnt. Pada pasien
50

yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang dibutuhkan lebih tinggi
yaitu 15 20 g/kg/mnt.
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP
menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung.
Yang sering digunakan dalam klinik adalah milrinone dan enoximone.
Biasanya digunakan untuk terapi penderia gagal jantung akut dengan hipotensi
yang telah mendapat terapi penyekat beta yang memerlukan inotropik positif.
Dosis milrinone intravena 25 g/kg bolus 10 20 menit kemudian infus 0,375
075 g/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25 0,75 g/kg bolus kemudian 1,25
7,5 g/kg/menit.
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut
yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita
dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau
terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit. Obat
yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan
infus kontinyu dengan dosis 0,05 0,5 g/kg/mnt. Norepinefrin diberikan
dengan dosis 0,2 1 g/kg/mnt.
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang
menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang
tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila
penderita datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk
menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat seperti lood diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside
intravena maupun natagonis kalsium intravena (nicardipine). Loop diuretik
diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk
menurunkan preload dan afterload, meningkatkan aliran darah koroner.
Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan
afterload tinggi. Penderita dengan gagal ginjal, diterapi sesuai penyakit dasar.
Aritmia jantung harus diterapi.
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra
aorta, pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator,
ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita
51

gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak memberikan respon
terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum
interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk mempertahankan
laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium dan ventrikel,
diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang simtomatik dan blok
atrioventrikular derajat tinggi. Implantable cardioverter device bertujuan
untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist
Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi
ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik yang tidak respon
terhadap terapi terutama inotropik






















52































53

Daftar Pustaka

Acton, Sharon Enis & Fugate, Terry (1993) Pediatric Care Plans, AddisonWesley
Co. Philadelphia
Berg RA, Hemphill R, Abella BS, Aufderheide TP, Cave DM, Hazinski MF,
Lerner EB, Rea TD, Sayre MR, Swor RA. Adult Basic Life Support. 2010.
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care.
Currie G.P, Alluri R, Christie G.L, Legge J.S. Pneumothorax : An Update. Post
Med J. 2007
Dawkins,K.D., Gray, Huon., Morgan, John., dkk. 2007. Lecture Notes Kardiologi
Edisi 4.EMS. Jakarta.
Ganong, W.F. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22.EGC, Jakarta
Gunawan, Sulistia Gan. 2011. Farmakologi Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta
Idress M.M, Ingleby A.M, Wali S.O.2003 Evalution and Managemet of
Pneumothorax. Saudi Med J.
Mansjoer Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mansjoer, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : media aesculapius.
Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses
proses penyakit. Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Edisi 5 Jilid 3.
Jakarta: Interna Publishing FKUI

Anda mungkin juga menyukai