“MEROKOK”
1
SKENARIO
Seorang laki-laki 56 tahun datang ke rumah sakit karena batuk hebat dan
sesak napas. Ia memiliki riwayat sesak berulang sejak 3 tahun lalu dan semakin
memburuk terutama selama 3 bulan terakhir. Hasil pemeriksaan tanda vital:
suhu 370C, denyut nadi adalah 104x/menit, dan pernafasan 34x/menit yang
tampak terengah-engah pada pemeriksaan dada. Dokter melakukan tes
spirometry dan hasilnya menunjukkan PEF 50% dari nilai prediksi. Tes yang
oksimetri 84%. Dia adalah seorang perokok berat yang mulai merokok seja ia
berusia 15 tahun. Dia biasanya merokok 2 bungkus rokok per hari, tapi sejak
gejala penyakitnya makin berat ia hanya merokok 1 bungkus per hari.
2
B. KATA SULIT
1. Tes Spirometry :Pengukuran kapasitas pernapasan (kapasitas
Pernapasan, seperti pada uji fungsi paru.(1)
2. PEF (Peak Ekspiratory Flow) :Kecepatan ekspirasi maksimal yang
bisa dicapai oleh seseorang, dinyatakan dalam liter per menit (L/menit)
atau liter per detik (L/detik).(1)
3. Tes Oksimetri : Tes yang dilakukan untuk mengukur kadar
oksigen dalam darah.(1)
3
Laringitis adalah peradangan pada laring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakteri, atau jamur. Laringitis juga merupakan akibat dari
penggunaan suara yang berlebihan, pajanan terhadap polutan eksogen,
atau infeksi pada pita suara. Refluks gastroesofageal, bronkitis, dan
pneumonia juga dapat menyebabkan laringitis.
c. Tonsilitis Akut
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan jaringan
limfoid yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal
lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s
tonsil). Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak berusia 3 sampai
10 tahun.
4
episodenya banyak yang tidak diketahui. Umumnya pria lebih banyak
dari wanita. Terdapat 2 jenis pneumotoraks, yaitu:
f. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis)
PPOK adalah penyakit paru kronik yang dapat dicegah dan diobati,
dikarakteristikkan dengan hambatan aliran udara yang persisten,
progresif dan berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi
kronis di paru terhadap partikel dan gas berbahaya. PPOK lebih tinggi
pada laki-laki dibanding perempuan dan lebih tinggi di perdesaan
dibanding perkotaan.
g. Emfisema Paru-paru
Emfisema Paru-paru merupakan penyakit paru obstruktif kronik.
Emfisema paru-paru merupakan penyakit yang gejala utamanya
adalah penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara
di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan
yang luas.
h. Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor adalah salah satu bentuk rinitis kronik yang tidak
diketahui penyebabnya (idiopatik), tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat (kontrasepsi oral,
antihipertensi, B-bloker, aspirin,klorpromazin, dan obat topikal hidung
dekongestan). Rinitis non alergi dan mixed rhinitis lebih sering
dijumpai pada orang dewasa dibandingkan anak-anak, lebih sering
dijumpai pada wanita dan cenderung bersifat menetap.
i. Sinusitis (Rinosinusitis)
Rinosinusitis adalah penyakit akibat peradangan pada mukosa sinus
paranasal dan rongga hidung.
5
Rangsangan
↓
Reseptor (serabut saraf non mielin halus di dalam laring, trakea,
bronkus, bronkiolus)
↓
serabut aferen pada cabang nervus vagus mengalirkan dari laring,
trakea, bronkus, bronkiolus, alveolus
↓
Pusat batuk (di medula oblongata, dekat dengan pusat pernafasan dan
pusat muntah) oleh serabut eferen nervus vagus
↓
Efektor
- Tahapan
1. Fase iritasi
Iritasi pada salah satu saraf sensori nervus vagus di laring,trakea,
bronkus / serat afferen cabang faring dari nervus glossopharingeus
dapat menimbulkan batuk. Membawa impuls ke medula oblongata
2. Fase inspirasi
Terjadi kontraksi otot abduktor kartilago arytenoideus yang
mengakibatkan glotis secara refleks terbuka lebar. Volume udara yang
diinspirasi berkisar antara 200-3500 ml di atas kapasitas residu
fungsional
3. Fase kompresi
Terjadi kontraksi otot adduktor kartilago arytenoideus yang
mengakibatkan tertutupnya glotis selama 0,2 detik. Pada fase ini
tekanan di paru dan abdomen akan meningkat 50-100 mmHg
Batuk dapat terjadi tanpa oenutupan glotis karena otot-otot ekspirasi
mampu meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap
terbuka
4. Fase ekspirasi
6
Glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot ekspirasi
sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan
kecepatan tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing
ii.Sesak
Patomekanisme sesak
7
Riwayat Penyakit Sekarang: riwayat penyakit ini/ keluhan yang
dialami mulai dari awal mula munculnya keluhan utama secara runtut.
Kemudian dilanjutkan dengan deskripsi keluhan utama secara detil
seperti onset dan lamanya batuk, sifat dari batuk (kering atau
produktif), warna lendir dan apakah disertai darah, keluhan lain yang
menyertai, sudah pernah berobat atau belum.
Riwayat Penyakit Dahulu: yaitu menanyakan riwayat penyakit
yang pernah diderita, apakah pernah menderita penyakit dengan
keluhan yang sama.
Riwayat Kebiasaan, Sosial Ekonomi dan Budaya: meliputi
aktivitas sebelum sakit, kebiasaan merokok, kebiasaan mengonsumsi
alcohol, penyalahgunaan narkoba obat terlarang lainnya, riwayat
pekerjaan sekarang dan terdahulu, riwayat bepergian di wilayah
endemik suatu penyakit, kondisi tempat tinggal dan lingkungan
sekitar.
8
Gerakan pernapasan dan bernapas menggunakan otot-otot
tambahan; ekspirasi lebih panjang dibandingkan dengan inspirasi pada
pasien asma
Bentuk dada seperti dada burung (barrel chest) pada penderita
asma sejak masabayi
Palpasi
Yang dinilai pada palpasi yaitu :
Pemeriksaan kelenjar getah bening
Pemeriksaan untuk menentukan posisi mediastinum
Memeriksa adanya kelainan dinding dada misalnya adanya nyeri
tekan, krepitasi dan sebagainya
Pemeriksaan vocal fremitus : fremitus yang mengeras terjadi
karena adanya infltrat pada parenkim paru (misal: pneumonia, TB
paru aktif).
Perkusi
Kelainan bunyi perkusi dinilai pada sisi kiri dan kanan dengan
menilai adanya:
Sonorterjadi bila udara dalam alveoli cukup banyak, terdapat pada
paru-paru normal
Hipersonor (Hiperresonant) : terjadi bila udara didalam paru/ dada
menjadi jauh lebih banyak, misalnya pada emfisema paru, kavitas
besar yang letaknya superficial, pneumotoraks dengan bula yang
besar
Redup (dull) : bila bagian yang padat lebih banyak daripada udara
misalnya adanya infiltrate/ kosolidasi akibat pneumonia, efusi pleura
yang sedang.
Pekak (flat/ stony dull) : terdapat pada jaringan yang tidak
mengandung udara didalamnya, misalnya pada tumor atau efusi pleura
masif.
Perkusi juga dilakukan utuk mengetahui batas paru-lambung, dan
paru-hati.
9
Auskultasi
Dilakukan dengan mendengarkan secara langsung dengan
menggunakan stetoskop pada anterior, lateral dan posterior dinding
dada secara sistematis dengan didahului pasien untuk menarik napas
panjang. Pada pemeriksaan ini bisa didengarkan suara napas tambahan
diantaranya:
Ronki basah : ronki basah halus karena adanya cairan pada
bronkiolus, ronki basah yang lebih halus lagi (krepitasi) berasal dari
alveoli (nyaring bila ada infiltrat misalnya pada pneumonia, maupun
tidak nyaring pada edema paru)
Ronki kering : biasanya terdengar bila ada penyempitan pada
saluran napas misalnya bila ada sekret kental. Ronki kering yang
frekuensinya tinggi dan panjang disebut Mengi yang terdengar pada
serangan asma.
Pleural Friction Rub yaitu bunyi yang dihasilkan akibat pleura
parietal dan visceral yang saling bergesekan karena meradang.
Bronkofoni yaitu suara yang terdengar bila ada konsolidasi
dilakukan dengan menginstruksikan pasien menyebutkan Sembilan
puluh Sembilan, yakni terdengar seperti suara kambing yang
menunjukkan batas efusi.
C. Pemeriksaan Radiologi
1. Gambaran Radiologi Asma
10
- Gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang
bertambah
- peleburan rongga intercostalis,
- diafragma yang menurun.
-Dirtychest
-Tramline - Gambaran garis2 paralel yang terpisah 3 mm antargaris.
-Penyempitan trakea
-Airbronkogram (+)
-Corakanbronkovaskuler bertambah
-Diafragma letak rendah dan mendatar
-Tanda emfisema ( hiperlusensi paru bilateral)
11
3. Gambaran Radiologi PPOK
12
penyakit paru; menilai risiko preoperasi; menentukan prognosis penyakit
yang berkaitan dengan respirasi dan menilai status kesehatan sebelum
memulai program latihan.
2. Monitoring: menilai intervensi terapeutik, memantau perkembangan
penyakit yang mempengaruhi fungsi paru, monitoring individu yang
terpajang berisiko terhadap fungsi paru dan efek samping obat yang
mempunyai toksisitas pada paru.
3. Evaluasi kecacatan/kelumpuhan menentukan pasien yang membutuhkan
program rehabilitasi, kepentingan asuransi dan hukum.
4. Kesehatan masyarakat survei epidemiologi (skrining penyakit obstruktif
danr estriktif) menetapkan standar nilai normal dan penelitian klinis.
Interpretasi
a. FungsiParu Normal
Hasil spirometri normal menunjukkan FEV (volume ekspirasi paksa) >80%
dan FVC (kapasitas volume paksa)>80%
13
dapat ditemukan penurunan rasio FEV:FVC, namun nilai FEV dan FVC
tetap normal.
b. Jelaskan DD dan DS
i.PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
Definisi
Etiologi
14
ekstrapulmonal (efek sistemik) terutama pada pasien dengan penyakit
berat. Weight loss sudah lama dikenal dalam perjalanan klinik
penyakit PPOK. Pada tahun 1960an beberapa studi melaporkan bahwa
berat badan (BB) rendah dan penurunan berat badan merupakan faktor
prediktif negatif survival pada PPOK.
Epidemiologi
ManifestasiKlinik
15
Riwayat penyakit
Pemeriksaan fisik
Tata Laksana
16
6. Mencegah dan mengobati eksaserbasi
7. Menurunkan mortalitas
Komplikasi
Gagal napas
Infeksi berulang
Kor pulmonal
17
Prognosis
Pencegahan
Defenisi
18
Terdapat tiga proses yang menyebabkan pasien mengalami asma
yaitu sensitisasi, inflamasi dan serangan asma. Ketiga proses ini
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor genetik dan faktor
lingkungan.
1. Alergi
19
jamur, bulu binatang, tepung sari, beberapa makanan laut
(Muttaqin, 2008). Makanan lain yang dapat menjadi faktor pencetus
adalah telur, kacang, bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan
dan susu sapi (Depkes RI, 2009).
3. Tekanan jiwa
20
Pasien asma biasanya sensitif atau alergi terhadap obat tertentu
(Muttaqin,2008). Obat tersebut misalnya golongan aspirin, NSAID,
beta bloker, dan lain-lain
6. Polusi udara
Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik atau
kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan
oksida fotokemikal serta bau yang tajam (Muttaqin, 2008).
Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa
berat di dada. Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama
malam atau dini hari (PDPI, 2003). Setelah pasien asma terpajan
alergen penyebab maka akan timbul dispnea, pasien merasa seperti
tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha mengerahkan
tenaga lebih kuat untuk bernapas. Kesulitan utama terletak saat
ekspirasi, percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang
selama inspirasi namun sulit untuk memaksa udara keluar dari
bronkiolus yang sempit karena mengalami edema dan terisi mukus.
Akan timbul mengi yang merupakan ciri khas asma saat pasien
berusaha memaksakan udara keluar. Biasanya juga diikuti batuk
produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan (Price & Wilson,
2006).
Tanda selanjutnya dapat berupa sianosis sekunder terhadap hipoksia
hebat dan gejala-gejala retensi karbon dioksida (berkeringat,
takikardi dan pelebaran tekanan nadi). Pada pasien asma kadang
terjadi reaksi kontinu yang lebih berat dan mengancam nyawa,
dikenal dengan istilah “status asmatikus”. Status asmatikus adalah
asma yang berat dan persisten yang tidak berespon terhadap terapi
21
konvensional, dan serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam
(Smeltzer & Bare, 2002). Asma dapat bersifat fluktuatif (hilang
timbul) yang berarti dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu
aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat
bahkan dapat menimbulkan kematian
Klasifikasi Asma
- Asma alergi
Dapat disebabkan oleh alergen, misal serbuk sari, binatang, makanan
dan jamur. Kebanyakan alergen terdapat di udara dan bersifat
musiman, biasanya pasien juga memiliki riwayat keluarga yang
alergik dan riwayat medis eczema atau rhinitis alergik. Pajanan
terhadap alergen mencetuskan asma. Anak-anak dengan asma
alergik sering dapat mengatasi kondisi sampai masa remaja.
- Asma idiopatik atau nonalergik
Jenis asma ini tidak berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor
seperti common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan
polutan lingkungan dapat mencetuskan serangan. Selain itu beberapa
agen farmakologi juga dapat menjadi faktor seperti aspirin dan agen
22
antiinflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, antagonis beta-
adrenergik dan pengawet makanan. Serangan pada asma ini
menjadi lebih berat dan sering, kemudian dapat berkembang menjadi
bronkitis kronis dan emfisema.
- Asma gabungan
Patofisiologi Asma
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel
inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T,
makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan faktor
lain berperan sebagai pencetus inflamasi saluran napas pada
pasien asma (PDPI, 2003). Inflamasi saluran napas pada pasien
asma merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi yaitu
terdapatnya obstruksi saluran napas yang menyebabkan hambatan
aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah
pengobatan (Sundaru, 2009). Obstruksi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkus yang
menyempitkan jalan napas, pembengkakan membran yang melapisi
bronkus dan pengisian bronkus dengan mukus yang kental.
Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf
otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE yang
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase
cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal
dalam jumlah yang besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma
alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan
bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka akan
terjadi fase sensitisasi yang menyebabkan antibodi IgE orang
23
tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE
yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi
mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik
eosinofil dan bradikinin. Ini akan menimbulkan efek edema
lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental
dalam lumen bronkiolus dan spasme otot polos bronkiolus yang
menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah
pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons
terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung
pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8
jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-
kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,
sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel
kunci dalam patogenesis asma (Rengganis, 2008).Pada jalur saraf
otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan
mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan
alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi
yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan
pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan
sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin,
asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi
melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang
terangsang menyebabkan pelepasan neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi,
edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi
24
sel-sel inflamasi (Rengganis, 2008). Sistem saraf otonom
mempersarafi paru, tonus otot bronkial diatur oleh impuls
saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik,
ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor pencetus
maka akan meningkatkan pelepasan jumlah asetilkolin. Ini
menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan
mediator kimiawi (Smeltzer & Bare, 2002).
Penatalaksanaan
Asma
a. edukasi
Pengetahuan yang baik akan menurunkan angka kesakitan dan
kematian. Tujuan dari seluruh edukasi adalah membantu pasien agar
dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma. Edukasi
terkait dengan cara dan waktu penggunaan obat, menghindari
pencetus, mengenali efek samping obat dan kegunaan kontrol teratur
pada pengobatan asma. Bentuk pemberian edukasi dapat berupa
komunikasi saat berobat, ceramah, latihan, diskusi, sharing, leaflet,
dan lain-lain.
25
direview sehingga membantu penanganan asma secara mandiri.
Pemeriksaan faal paru, respon pengobatan saat serangan akut, deteksi
perburukan asimptomatik sebelum menjadi serius, respon pengobatan
jangka panjang, dan identifikasi pencetus perlu dimonitor secara
berkala (PDPI, 2003).
- Glukokortikosteroid inhalasi
Merupakan pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk
mengontrol asma dan merupakan pilihan bagi pengobatan asma
persisten (ringan sampai berat). Berbagai penelitian menunjukkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan serta
memperbaiki kualitas hidup.
26
- Glukokortikosteroid sistemik
Pemberian melalui oral atau parenteral, digunakan sebagai
pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang
sehari), namun penggunaanya terbatas mengingat risiko efek sistemik
yaitu osteoporosis, hipertensi, diabetes, katarak, glaukoma, obesitas
dan kelemahan otot.
- Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
- Teofilin
27
Merupakan anti asma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan latihan berat.
Selain itu juga memiliki efek antiinflamasi.Pelega pada prinsipnya
untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, batuk dan rasa berat di dada, serta tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif
jalan napas. Pelega (reliever) terdiri dari:
- Antikolinergik
- Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai
berat, bila tidak ada agonis beta-2 atau tidak merespon dengan
agonis beta-2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus hati-
hati pada usia lanjut atau pada pasien gangguan kardiovaskuler.
Selain pemberian obat pelega dan pengontrol asma, beberapa cara
digunakan sebagai terapi pelengkap untuk mempercepat proses
28
penyembuhan asma seperti homeopati, terapi herbal, ayuverdik
medicine, ionizer, osteopati dan manipulasi chiropractic, spleoterapi,
teknik pernapasan Buteyko, akupuntur, hipnosis, dan lain-lain
(PDPI, 2003). Salah satu terapi pelengkap untuk pasien asma
adalah teknik pernapasan Buteyko. Teknik pernapasan ini didasarkan
pada usaha mengembalikan cara bernapas yang benar pada pasien
asma
- Menetapkan terapi penanganan terhadap gejala
terapi dilakukan sesuai dengan keadaan pasien, terapi ini dianjurkan
kepada pasien yang memiliki pengalaman buruk terhadap gejala
asma dan dalam kondisi darurat. Penanganan dilakukan di rumah
pasien dengan menggunakan obat bronkodilator seperti β2-agonis
inhalasi dan glukokortikosteroid oral (GINA,\
- Kontrol secara teratur
Penatalaksanaan jangka panjang harus memperhatikan tindak
lanjut (follow up) teratur dan rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau
penanganan lebih lanjut. Pasien dianjurkan untuk kontrol tidak hanya
saat terjadi serangan akut, namun kontrol teratur sesuai jadwal yang
telah ditentukan, interval berkisar 1-6 bulan tergantung pada keadaan
asma. Ini dilakukan untuk memastikan asma tetap terkontrol dengan
mengupayakan penurunan terapi seminimal mungkin.
- Pola hidup sehat
Dalam penatalaksanaan asma, pola hidup sehat sangat penting seperti
melakukan olahraga secara teratur untuk meningkatkan
kebugaran fisik, menambah rasa percaya diri dan meningkatkan
ketahanan tubuh. Bagi pasien yang memiliki jenis asma dimana
serangan timbul setelah exercise (Exercise-Induced Asthma/EIA)
dianjurkan menggunakan beta-2 agonis sebelum melakukan
olahraga. Berhenti atau tidak merokok dan menghindari faktor
pencetus juga dapat dilakukan oleh pasien asma untuk mencegah
terjadinya serangan asma.
29
C. EMFISEMA
A. Pengertian
Emfisema Paru-paru adalah penyakit saluran pernafasan yang berciri
sesak napas terus menerus yang menghebat pada waktu mengeluarkan
tenaga dan sering kali dengan perasaan letih dan tidak bergairah atau
kalau bahasa awamnya disebut “Paru-Paru Basah”. Emfisema Paru-
paru merupakan penyakit paru obstruktif kronik. Emfisema paru-paru
merupakan penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan
(obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru
menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang
luas. Emfisema paru juga dapat didefinisikan sebagai suatu distensi
abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan
dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang
mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun.
KLASIFIKASI
30
arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi
mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas.
C. ETIOLOGI
D. PATOFISIOLOGI
31
Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama disebabkan
elastisitas paru yang berkurang. Pada paru-paru normal terjadi
keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke laur yaitu
disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada dengan
tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas paru..
Bila terpapar iritasi yang mengandung radikal hidroksida (OH-).
Sebagian besar partikel bebas ini akan sampai di alveolus waktu
menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak
paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya
dinding alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi dari anti elastase
pada saluran napas. Sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial
alveolus. Partikel asap rokok dan polusi udara mengenap pada lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus. Sehingga menghambat
aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang.
Sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih
merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah dengan gangguan
aktivitas silia. Bila oksidasi dan iritasi di saluran nafas terus
berlangsung maka terjadi erosi epital serta pembentukanjaringan
parut. Selain itu terjadi pula metaplasi squamosa dan pembentukan
lapisan squamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran
napas yang bersifat irreversibel sehingga terjadi pelebaran alveolus
yang permanen disertai kerusakan dinding alveoli.
32
F. TEST DIAGNOSTIK
33
EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat);
disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III,
AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema).
EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat
disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator,
perencanaan/evaluasi program latihan.
G. PENATALAKSANAAN
34
bertekanan, nebuliser.Bronkodilator mungkin menyebabkan efek
samping yang tidak diinginkan termasuk takikardia, disritmia jantung,
dan perangsangan sisten saraf pusat. Metilxantin dapat juga
menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti mual dan muntah.
Terapi Aerosol
Aerosolisasi (proses membagi partikel mrnjadi serbuk yang sangat
halus) dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan
untuk membantu dalam bronkodilatasi. Aerosol yang dinebulizer
menghilangkan edema mukosa dan mengencerkan sekresi bronkial.
Hal ini mempermudah proses pembersihan bronkhiolus, membantu
mengendalikan proses inflamasi dan memperbaiki fungsi ventilasi.
Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema rentan dengan infeksi paru dan harus diobati
pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi seperti sputum purulen,
batuk meningkat dan demam. Organisme yang paling sering adalah S.
pneumonia, H. influenzae, dan Branhamella catarrhalis. Terapi
antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin atau
trimetoprim-sulfametoxazol (Bactrim) mungkin diresepkan.
Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien
dengan emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi
oksigen rendah untuk meningkatkan tekanan oksigen hingga antara 65
dan 80 mmHg. Pada emfisema berat, oksigen diberikan sedikitnya 16
jam perhari sampai 24 jam perhari.
Fisioterapi
Tujuan dari fisioterapi adalah :
- Membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan efisiensi
batuk.
- Mengatasi gangguan pernapasan pasien.
35
- Memperbaiki gangguan pengembangan thoraks.
- Meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan.
H. KOMPLIKASI
1. Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan
2. Daya tahan tubuh kurang sempurna
3. Tingkat kerusakan paru semakin parah
4. Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
5. Pneumonia
6. Atelaktasis
7. Pneumothoraks
8. Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.
I. PENCEGAHAN
Berhenti merokok
Patuhi perturan keamanan di tempat kerja seperti memakai masker
36
dapat menjadi sumber faktor kemotaktik yang baru dan
memperpanjang reaksi inflamasi paru menjadi penyakit kronik dan
progresif. Makrofag alveolar penderita PPOK meningkatkan
penglepasan IL-8 dan TNF-α. Ketidakseimbangan proteinase dan
antiproteinase serta ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan
berperan dalam patologi PPOK. Proteinase menginduksi inflamasi
paru, destruksi parenkim dan perubahan struktur paru., peningkatan
jumlah neutrofil yang nekrosis di jalan napas penderita PPOK dapat
menyebabkan penglepasan elastase dan reactive oxygen species
(ROS) yang menyebabkan hipersekresi mukus.
Respons epitel jalan napas terhadap pajanan gas atau asap rokok
berupa peningkatan jumlah kemokin seperti IL-8, macrophage
inflamatory protein-1 α (MIP1-α) dan monocyte chemoattractant
protein-1 (MCP-1). Peningkatan jumlah Limfosit T yang didominasi
oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada jaringan paru tetapi juga pada
kelenjar limfe paratrakeal. Sel sitotoksik CD8+ menyebabkan
destruksi parenkim paru dengan melepaskan perforin dan granzymes.
CD8+ pada pusat jalan napas merupakan sumber IL-4 dan IL-3 yang
menyebabkan hipersekresi mukus pada penderita bronkitis kronik
37
Bagi seorang yang telah memiliki kebiasaan merokok,berhenti dari
kebiasaannya tersebut tidaklah mudah. Dibutuhkan komitmen yang
kuat dari perokok dan support dari sekitarnya. Sebanyak 70% perokok
didunia berkeinginan untuk berhenti merokok, sebagian besar hanya
berdasarkan komitmen sendiri tanpa bantuan pihak lain sehingga kecil
kemungkinan untuk berhasil berhenti merokok (3-5%).
38
DAFTAR PUSTAKA
39