Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN TUTORIAL

“MEROKOK”

Tutor: dr. Nur Yuniarti


KELOMPOK IX
1. Filomena Paula Grasiana Deus K1A1 14 041
2. Nurul Anugrah Wulandari K1A1 14 058
3. Andre Gunawan K1A1 16 128
4. Fika Friezkillah K1A1 16 127
5. Muhammad Nur Rafiq Al Ashar K1A1 16 097
6. Delyana Brilian Hamra K1A1 16 098
7. Mu’Afif Nur Abdillah K1A1 16 059
8. Sri Wula Moni K1A1 16 060
9. Aisyah K1A1 16 061
10. Yelsi Beatrice Patandianan K1A1 16 028
11. Dewi Fortuna Puspitasari K1A1 16 029
12. Zulkarnain Sya’ban K1A1 16 031

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018

1
SKENARIO
Seorang laki-laki 56 tahun datang ke rumah sakit karena batuk hebat dan
sesak napas. Ia memiliki riwayat sesak berulang sejak 3 tahun lalu dan semakin
memburuk terutama selama 3 bulan terakhir. Hasil pemeriksaan tanda vital:
suhu 370C, denyut nadi adalah 104x/menit, dan pernafasan 34x/menit yang
tampak terengah-engah pada pemeriksaan dada. Dokter melakukan tes
spirometry dan hasilnya menunjukkan PEF 50% dari nilai prediksi. Tes yang
oksimetri 84%. Dia adalah seorang perokok berat yang mulai merokok seja ia
berusia 15 tahun. Dia biasanya merokok 2 bungkus rokok per hari, tapi sejak
gejala penyakitnya makin berat ia hanya merokok 1 bungkus per hari.

A. KATA / KALIMAT KUNCI


1. Laki-laki 56 tahun
2. Batuk hebat dan sesak napas
3. Riwayat sesak berulang 3 tahun lalu dan memburuk selama 3 bulan
terakhir
4. Pemeriksaan Tanda Vital :
- Suhu = 370C (Normal)
- Denyut nadi = 104x/menit (Takikardi)
- Frekuensi pernafasan = 34x/menit (Takipneu)
5. Tes Spirometry hasil menunjukkan PEF 50%
6. Tes Oksimetri 84%
7. Perokok berat sejak usia 15 tahun
8. Biasanya merokok 2 bungkus rokok/hari, tapi sejak gejala penyakitnya
makin berat ia hanya merokok 1 bungkus/hari

2
B. KATA SULIT
1. Tes Spirometry :Pengukuran kapasitas pernapasan (kapasitas
Pernapasan, seperti pada uji fungsi paru.(1)
2. PEF (Peak Ekspiratory Flow) :Kecepatan ekspirasi maksimal yang
bisa dicapai oleh seseorang, dinyatakan dalam liter per menit (L/menit)
atau liter per detik (L/detik).(1)
3. Tes Oksimetri : Tes yang dilakukan untuk mengukur kadar
oksigen dalam darah.(1)

C. PERTANYAAN DAN JAWABAN


1. Kandungan apa saja yang terdapat dalam rokok yang dapat mengganggu
sistem pernapasan dan bagaimana mekanismenya ?
Dalam asap rokok terdapat kandungan zat kimia yang paling
berbahaya, yaitu tar, nikotin, dan karbonmonoksida. Tar adalah
campuran beberapa zat komponen yang aditif. Karbon monoksida
adalah racun yang memiliki afinitas yang kuat terdapat hemoglobin
pada sel darah merah yang membentuk karboksihemoglobin.
Disamping itu, rokok juga mengandung senyawa piridin, amoniak,
karbon dioksida, keton, aldehida, kadmium, nikel, zink, dan nitrogen
oksida. Pada tingkat yang berbeda, semua hal yang berhubungan
dengan mulut dan saluran pernapasan. Asap rokok yang tersedia
(PH55) dan nikotin berada didalan tidak dapat melewati membran
secara langsung pada selaput lendir (mukosa) pipi absorpsi nikotin
dari asap rokok.
2. Penyakit-penyakit apa saja yang diakibatkan merokok ?
a. Faringitis Akut
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh
virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain.
Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3-5 kali infeksi
virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis setiap tahunnya.
b. Laringitis Akut

3
Laringitis adalah peradangan pada laring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakteri, atau jamur. Laringitis juga merupakan akibat dari
penggunaan suara yang berlebihan, pajanan terhadap polutan eksogen,
atau infeksi pada pita suara. Refluks gastroesofageal, bronkitis, dan
pneumonia juga dapat menyebabkan laringitis.
c. Tonsilitis Akut
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan jaringan
limfoid yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal
lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s
tonsil). Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak berusia 3 sampai
10 tahun.

d. Asma Bronkial (Asma Stabil)


Asma adalah penyakit heterogen, selalu dikarakteristikkan dengan
inflamasi kronis di saluran napas. Terdapat riwayat gejala respirasi
seperti mengi, sesak, rasa berat di dada dan batuk yang intensitasnya
berberda-beda berdasarkan variasi keterbatasan aliran udara ekspirasi.
Gejala khas untuk Asma, jika ada maka menigkatkan kemungkinan
pasien memiliki Asma, yaitu : Terdapat lebih dari satu gejala ( mengi,
sesak, dada terasa berat) khususnya pada dewasa muda, Gejala sering
memburuk di malam hari atau pagi dini hari, Gejala bervariasi waktu
dan intensitasnya,
Gejala dipicu oleh infeksi virus, latihan, pajanan allergen, perubahan
cuaca, tertawa atau iritan seperti asap kendaraan, rokok (Asap rokok
pada perokok aktif dan pasif),atau bau yang sangat tajam
e. Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah kondisi dimana terdapat udara bebas dalam
rongga pleura. Insiden pneumotoraks sulit diketahui karena

4
episodenya banyak yang tidak diketahui. Umumnya pria lebih banyak
dari wanita. Terdapat 2 jenis pneumotoraks, yaitu:
f. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis)
PPOK adalah penyakit paru kronik yang dapat dicegah dan diobati,
dikarakteristikkan dengan hambatan aliran udara yang persisten,
progresif dan berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi
kronis di paru terhadap partikel dan gas berbahaya. PPOK lebih tinggi
pada laki-laki dibanding perempuan dan lebih tinggi di perdesaan
dibanding perkotaan.
g. Emfisema Paru-paru
Emfisema Paru-paru merupakan penyakit paru obstruktif kronik.
Emfisema paru-paru merupakan penyakit yang gejala utamanya
adalah penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara
di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan
yang luas.
h. Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor adalah salah satu bentuk rinitis kronik yang tidak
diketahui penyebabnya (idiopatik), tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat (kontrasepsi oral,
antihipertensi, B-bloker, aspirin,klorpromazin, dan obat topikal hidung
dekongestan). Rinitis non alergi dan mixed rhinitis lebih sering
dijumpai pada orang dewasa dibandingkan anak-anak, lebih sering
dijumpai pada wanita dan cenderung bersifat menetap.
i. Sinusitis (Rinosinusitis)
Rinosinusitis adalah penyakit akibat peradangan pada mukosa sinus
paranasal dan rongga hidung.

3. Jelaskan patomekanisme dari gejala batuk dan sesak !


i.Patomekanisme batuk
- Mekanisme

5
Rangsangan

Reseptor (serabut saraf non mielin halus di dalam laring, trakea,
bronkus, bronkiolus)

serabut aferen pada cabang nervus vagus mengalirkan dari laring,
trakea, bronkus, bronkiolus, alveolus

Pusat batuk (di medula oblongata, dekat dengan pusat pernafasan dan
pusat muntah) oleh serabut eferen nervus vagus

Efektor

- Tahapan
1. Fase iritasi
Iritasi pada salah satu saraf sensori nervus vagus di laring,trakea,
bronkus / serat afferen cabang faring dari nervus glossopharingeus
dapat menimbulkan batuk. Membawa impuls ke medula oblongata
2. Fase inspirasi
Terjadi kontraksi otot abduktor kartilago arytenoideus yang
mengakibatkan glotis secara refleks terbuka lebar. Volume udara yang
diinspirasi berkisar antara 200-3500 ml di atas kapasitas residu
fungsional
3. Fase kompresi
Terjadi kontraksi otot adduktor kartilago arytenoideus yang
mengakibatkan tertutupnya glotis selama 0,2 detik. Pada fase ini
tekanan di paru dan abdomen akan meningkat 50-100 mmHg
Batuk dapat terjadi tanpa oenutupan glotis karena otot-otot ekspirasi
mampu meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap
terbuka

4. Fase ekspirasi

6
Glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot ekspirasi
sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan
kecepatan tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing

ii.Sesak
Patomekanisme sesak

1. Oksigenasi jaringan berkurang Penyakit yang menyebabkan


kecepatan pengiriman oksigen ke jaringan berkurang seperti
perdarahan
2. Kebutuhan oksigen meningkat Peningkatan kebutuhan oksigen
secara tiba – tiba akan memerlukan oksigen yang lebih banyak untuk
proses metabolisme
3. Kerja pernafasan meningkat Otot pernafasan dipaksa bekerja lebih
kuat karena adanya penyempitan saluran pernafasan
4. Rangsangan pada sistem syaraf pusat Penyakit – penyakit yang
menyerang sistem syaraf pusat
5. Penyakit neuromuskuler Penyakit yang menyerang diafragma

4. Jelaskan langkah-langkah diagnosis pada skenario !

- Langkah-langkah diagnosis dariscenario


A. Anamnesis
 Identitas: tanyakan pada pasien atau wali pasien nama, jenis
kelamin, tanggal lahir, alamat, pekerjaan, status kesehatan dan
keterangan lain yang diperlukan.
 Keluhan Utama dan Keluhan Penyerta: tanyakan keluhan utama
yang membawa pasien meminta pertolongan dokter misalnya pada
skenario yaitu batuk dan keluhan penyerta seperti myalgia, sakit
kepala, anoreksia diare dan sebagainya.

7
 Riwayat Penyakit Sekarang: riwayat penyakit ini/ keluhan yang
dialami mulai dari awal mula munculnya keluhan utama secara runtut.
Kemudian dilanjutkan dengan deskripsi keluhan utama secara detil
seperti onset dan lamanya batuk, sifat dari batuk (kering atau
produktif), warna lendir dan apakah disertai darah, keluhan lain yang
menyertai, sudah pernah berobat atau belum.
 Riwayat Penyakit Dahulu: yaitu menanyakan riwayat penyakit
yang pernah diderita, apakah pernah menderita penyakit dengan
keluhan yang sama.
 Riwayat Kebiasaan, Sosial Ekonomi dan Budaya: meliputi
aktivitas sebelum sakit, kebiasaan merokok, kebiasaan mengonsumsi
alcohol, penyalahgunaan narkoba obat terlarang lainnya, riwayat
pekerjaan sekarang dan terdahulu, riwayat bepergian di wilayah
endemik suatu penyakit, kondisi tempat tinggal dan lingkungan
sekitar.

 Riwayat Keluarga: ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang


pernah atau sedang mengalami keluhan /penyakit yang sama dan
tanyakan kedekatannya dengan pasien.
 Lakukan cek silang
B. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Inspeksi dlakukan dengan melihat kondisi pasien secara langsung
mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Utamanya yang dilihat
pada inspeksi ini yaitu:
 Ketidaksimetrisan pengembangan kedua sisi toraks pada saat
inspirasi; ditemukan pada keadaan hiperinflasi (emfisema),
berkurangnya gerakan toraks ipsilateral (pneumotoraks dan efusi
pleura, penebalan pleura)

8
 Gerakan pernapasan dan bernapas menggunakan otot-otot
tambahan; ekspirasi lebih panjang dibandingkan dengan inspirasi pada
pasien asma
 Bentuk dada seperti dada burung (barrel chest) pada penderita
asma sejak masabayi
Palpasi
Yang dinilai pada palpasi yaitu :
 Pemeriksaan kelenjar getah bening
 Pemeriksaan untuk menentukan posisi mediastinum
 Memeriksa adanya kelainan dinding dada misalnya adanya nyeri
tekan, krepitasi dan sebagainya
 Pemeriksaan vocal fremitus : fremitus yang mengeras terjadi
karena adanya infltrat pada parenkim paru (misal: pneumonia, TB
paru aktif).
Perkusi
 Kelainan bunyi perkusi dinilai pada sisi kiri dan kanan dengan
menilai adanya:
Sonorterjadi bila udara dalam alveoli cukup banyak, terdapat pada
paru-paru normal
 Hipersonor (Hiperresonant) : terjadi bila udara didalam paru/ dada
menjadi jauh lebih banyak, misalnya pada emfisema paru, kavitas
besar yang letaknya superficial, pneumotoraks dengan bula yang
besar
 Redup (dull) : bila bagian yang padat lebih banyak daripada udara
misalnya adanya infiltrate/ kosolidasi akibat pneumonia, efusi pleura
yang sedang.
 Pekak (flat/ stony dull) : terdapat pada jaringan yang tidak
mengandung udara didalamnya, misalnya pada tumor atau efusi pleura
masif.
 Perkusi juga dilakukan utuk mengetahui batas paru-lambung, dan
paru-hati.

9
Auskultasi
 Dilakukan dengan mendengarkan secara langsung dengan
menggunakan stetoskop pada anterior, lateral dan posterior dinding
dada secara sistematis dengan didahului pasien untuk menarik napas
panjang. Pada pemeriksaan ini bisa didengarkan suara napas tambahan
diantaranya:
 Ronki basah : ronki basah halus karena adanya cairan pada
bronkiolus, ronki basah yang lebih halus lagi (krepitasi) berasal dari
alveoli (nyaring bila ada infiltrat misalnya pada pneumonia, maupun
tidak nyaring pada edema paru)
 Ronki kering : biasanya terdengar bila ada penyempitan pada
saluran napas misalnya bila ada sekret kental. Ronki kering yang
frekuensinya tinggi dan panjang disebut Mengi yang terdengar pada
serangan asma.
 Pleural Friction Rub yaitu bunyi yang dihasilkan akibat pleura
parietal dan visceral yang saling bergesekan karena meradang.
 Bronkofoni yaitu suara yang terdengar bila ada konsolidasi
dilakukan dengan menginstruksikan pasien menyebutkan Sembilan
puluh Sembilan, yakni terdengar seperti suara kambing yang
menunjukkan batas efusi.
C. Pemeriksaan Radiologi
1. Gambaran Radiologi Asma

10
- Gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang
bertambah
- peleburan rongga intercostalis,
- diafragma yang menurun.

2. Gambaran radiologi Emfisema

-Dirtychest
-Tramline - Gambaran garis2 paralel yang terpisah 3 mm antargaris.
-Penyempitan trakea
-Airbronkogram (+)
-Corakanbronkovaskuler bertambah
-Diafragma letak rendah dan mendatar
-Tanda emfisema ( hiperlusensi paru bilateral)

11
3. Gambaran Radiologi PPOK

Ini adalah Foto Thorax dengan pasien COPD. Kedualapangan paru


terlihat lebih hitam dan lebih besarsecara volume dibandingkan
dengan gambarannormal. Hemidiafragma terlihat rata dan pada
bagiantengah dan terdapat bullae di bagian tengah paru.Lebih sedikit
pembuluh darah yang terlihat secaraperipheral terutama di bagian atas
dan tengah, tetapiarteri pulmonari terlihat besar di
pertengahan,menandakan adanya perkembangan hipertensi
arterialpulmonari lanjutan.

- Indikasi dan interpretasi tes spirometri

Indikasi spirometri dibagi dalam 4 manfaat,yaitu

1. Diagnostik: evaluasi individu yang mempunyai gejala, tanda, atau hasil


laboratorium yang abnormal; skrining individu yang mempunyai risiko
penyakit paru; mengukur efek fungsi paru pada individu yang mempunyai

12
penyakit paru; menilai risiko preoperasi; menentukan prognosis penyakit
yang berkaitan dengan respirasi dan menilai status kesehatan sebelum
memulai program latihan.
2. Monitoring: menilai intervensi terapeutik, memantau perkembangan
penyakit yang mempengaruhi fungsi paru, monitoring individu yang
terpajang berisiko terhadap fungsi paru dan efek samping obat yang
mempunyai toksisitas pada paru.
3. Evaluasi kecacatan/kelumpuhan menentukan pasien yang membutuhkan
program rehabilitasi, kepentingan asuransi dan hukum.
4. Kesehatan masyarakat survei epidemiologi (skrining penyakit obstruktif
danr estriktif) menetapkan standar nilai normal dan penelitian klinis.
Interpretasi

Sebelue melakukan interprestasi pemeriksaan terdapat beberapa standar yang


harus dipenuhi.American Thoracic Society (ATS) mendefinisikan bahwa
hasil spirometri yang baik adalah suatu usaha ekspirasi yang menunjukkan
(1) gangguan minimal pada saat awal ekspirasi paksa. (2) tidak ada batuk
pada detik pertama ekshalasi paksa dan (3) memenuhi 1 dari 3 kriteria valid
end-of-test: (a) Peningkatan kurva linier yang halus dari volume time ke fase
plateau dengan durasi sedikitnya 1 detik; (b) Jika pemeriksaan gagal untuk
memperlihat kan gambaran plateau ekspirasi, waktu ekspirasi paksa / forced
expiratory time (FET) dari 15 detik; atau (c) ketika pasien tidak mampu atau
sebaiknya tidak melanjutkan ekshalasi paksa berdasarkan alasan medis.

a. FungsiParu Normal
Hasil spirometri normal menunjukkan FEV (volume ekspirasi paksa) >80%
dan FVC (kapasitas volume paksa)>80%

b. Obstructive ventilatory defects


Gangguan obstruktif pada paru, dimana terjadi penyempitan saluran napas
dan gangguan aliran udara di dalamnya, akan mempengaruhi kerja
pernapasan dalam mengatasi resisten sinonelastik dan akan bermanifestasi
pada penurunan volume dinamik. Kelainan ini berupa penurunan rasio
FEV:FVC<70%. FEV akan selalu berkurangp ada OVD dan dapat dalam
jumlah yang besar, sedangkan FVC dapat tidak berkurang. Pada orang sehat

13
dapat ditemukan penurunan rasio FEV:FVC, namun nilai FEV dan FVC
tetap normal.

Derajat Obstruksi % pred FEV


Ringan 70-79%
Sedang 60-69%
Sedang – Berat 50-59%
Berat 35-49%
Sangat – Berat <35%

c. Restrictive ventilatory defects


Gangguan restriktif yang menjadi masalah adalah hambatan dalam
pengembangan paru dan akan mempengaruhi kerja pernapasan dalam
mengatasi resistensielastik. Manifestasi spirometrik yang biasanya
timbul akibat gangguan ini adalah penurunan pada volume statik.RVD
menunjukkan reduksi patologik pada TLC (<80%).

b. Jelaskan DD dan DS
i.PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)

Definisi

Global initiative For chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)


mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang dapat diobati dan
dicegah dengan beberapa efek ekstra pulmonal yang memberi
konstribusi keparahan penyakit. Komponen paru ditandai oleh
hambatan aliran udara yang tidak reversibel sempurna. Hambatan
aliran udara biasanya progresif dan ada hubungan dengan respons
inflamasi paru terhadap berbagai partikel noksa dan gas.

Etiologi

Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit sistemik. Banyak


bukti yang menunjukkan PPOK ada hubungan dengan manifestasi

14
ekstrapulmonal (efek sistemik) terutama pada pasien dengan penyakit
berat. Weight loss sudah lama dikenal dalam perjalanan klinik
penyakit PPOK. Pada tahun 1960an beberapa studi melaporkan bahwa
berat badan (BB) rendah dan penurunan berat badan merupakan faktor
prediktif negatif survival pada PPOK.

Pada beberapa dekade lalu mengobati PPOK dianggap seperti


mengerjakan hal yang sia-sia, sebab PPOK diasumsikan sebagai
penyakit progresif, tidak sembuh dan tidak bisa diobati. Saat ini
pandangan para ahli telah berubah, pendekatan PPOK sama seperti
mendekati penyakit kronik lain.

Epidemiologi

Saat ini penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan masalah


kesehatan global. Data prevalensi, morbiditas dan mortalitas berbeda
tiap negara namun secara umum terkait langsung dengan prevalensi
merokok dan pada beberapa negara dengan polusi udara akibat
pembakaran kayu dan bahan-bahan biomasa lain. Prevalensi PPOK
cenderung meningkat. Menurut the Latin American Project for The
Investigation of Obstructive Lung Disease (PLATINO) prevalensi
PPOK stadium I dan yang lebih parah pada umur > 60 tahun atara
18,4%-32,1%. Di 12 negara Asia Pasifik prevalensi PPOK stadium
sedang-berat pada umur >30 tahun 6,3%. Penyakit paru obstruktif
kronik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas kronis ke 4 di
Amerika Serikat. Global initiative For chronic Obstructive Lung
Disease (GOLD) memperkirakan PPOK sebagai penyebab kematian
ke 6 pada tahun 1990 dan akan meningkat menjadi penyebab ke 3
pada tahun 2020 di seluruh dunia.

ManifestasiKlinik

15
Riwayat penyakit

Batuk, dahak, dan sesak napas merupakan keluhan yang sering


dilaporkan penderita PPOK. Batuk biasanya timbul sebelum atau
bersamaan dengan sesak napas. Dahak umumnya tidak banyak hanya
beberapa sendok teh/hari, bersifat mukoid namun menjadi purulen
pada keadaan infeksi.Sesak napas terutama waktu mengerahkan
tenaga, bila penyakit progresif bergarak sedikit sudah sesak. Sesak
pada PPOK terjadi akibat hiperinflasi dinamik yang bertambah berat
dengan peningkatan jumlah napas (respiratori rare), sebagai
konsekuensinya untuk menghindari sesak banyak pasien menghindari
pengerahan tenaga dan menjadi terpaku di tempat tidur/duduk
(sedentary).

Pemeriksaan fisik

Tidak banyak abnormalitas yang dijumpai pada pemeriksaan fisik.


Wheezing tidak selalu ditemukan dan tidak berkorelasi dengan
keparahan obstruksi. Yang selalu dijumpai pada PPOK simptomatik
adalah waktu ekspirasi memanjang yang paling baik didengar di
depan laring saat maneuver forced expiratory. Ekspirasi yang > 4
detik suatu indikasi yang bermakna dari obstruksi.Jika penyakit
bertambah berat, kelainan fisik bertambah jelas. Tampak barrel chest,
purse-lipped breathing, badan tambah kurus.

Tata Laksana

Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:

1. Mencegah progresi penyakit


2. Menghilangkan gejala
3. Memperbaiki exercise tolerance
4. Memperbaiki status kesehatan
5. Mencegah dan mengobati penyulit

16
6. Mencegah dan mengobati eksaserbasi
7. Menurunkan mortalitas

Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan implementasi 4 komponen


program penatalaksanaan yaitu:

a. Menilai dan monitor perjalanan penyakit


b. Mengurangi faktor-faktor risiko
c. Penatalaksanaan PPOK stabil
d. Penatalaksanaan eksaserbasi

Obat-obatan yang digunakan

- Bronkodilator Diberikan dalam bentuk oral, kombinasi golongan


beta 2 agonis dengan golongan xantin. Masing-masing dalam dosis
subobtimal, sesuai dengan berat badan dan beratnya penyakit sebagai
dosis pemeliharaan. Misal : Dosis : aminofilin/teofilin 100-150 mg
kombinsi dengan salbutamol 1 mg atau terbutalin 1 mg.
- Kortokosteroid Gunakan golongan metilprednisolon/prednison,
diberikan dalam bentuk oral, setiap hari atau selang sehari dengan
dosis 5 mg perhari, terutama bagi penderita dengan uji steroid positif.
- Ekspektoran Gunakan obat batuk hitam (OBH).
- Mukolitik Gliseril guayakolat dapat diberikan bila sputum mukoid.
- Antitusif Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan sangat
mengganggu.

Komplikasi

Komplikasi PPOK diantaranya :

 Gagal napas
 Infeksi berulang
 Kor pulmonal

17
Prognosis

Setelah muncul secara klinik, median survival kira-kira 10 tahun


beberapa faktor yang telah diidentifikasi dapat memprediksi survival
jelek pada PPOK : FEV 1 rendah, masih merokok, hipoksemia, nutrisi
jelek, kor pulmonal, penyakit komorbid dan kapasitas difusi rendah.

Pasien dengan FEV 1 <35% prediksi mempunyai mortalitas 10%


pertahun. Jika pasien mengatakan tidak mampu berjalan 100 meter
tanpa harus berhenti oleh karena sesak napas, five year survival hanya
30%.Indeks prognostic yang multi dimensi adalah BODE INDEX (
body mass index, obstructive ventilator defect severity, dyspneu
severity and exercise capacity).

Pencegahan

Pencegahan utama terhadapChronic Obstructive Pulmonary


Diseaseadalah berhenti merokok. Stop merokok bagi perokok, dan
jangan merokok untuk yang tidak merokok. Memang sulit bagi
perokok untuk berhenti. Tapi berhenti merokok akan tampak jauh
lebih mudah dibandingkan harus menggunakan ventilator untuk
bantuan bernapas nantinya. Bagi mereka yang bekerja di tempat penuh
asap, debu, atau paparan bahan kimia, berhati-hatilah. Gunakan
pelindung dan masker untuk meminimalisir paparan yang terjadi.
ii.Asma

Defenisi

Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang


menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang dapat menimbulkan gejala mengi, batuk, sesak napas dan
dada terasa berat terutama pada malam dan atau dini hari yang
umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa Etiologi

18
Terdapat tiga proses yang menyebabkan pasien mengalami asma
yaitu sensitisasi, inflamasi dan serangan asma. Ketiga proses ini
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor genetik dan faktor
lingkungan.

a. Sensitisasi, yaitu individu dengan risiko genetik (alergik/atopi,


hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras) dan lingkungan
(alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara,
infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya
keluarga) apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer)
maka akan menimbulkan sensitisasi pada dirinya. Faktor pemicu
tersebut adalah alergen dalam ruangan: tungau, debu rumah, binatang
berbulu (anjing, kucing, tikus), jamur, ragi dan pajanan asap rokok.

b. Inflamasi, yaitu individu yang telah mengalami sensitisasi,


belum tentu menjadi asma. Apabila telah terpajan dengan
pemacu (enhancer) akan terjadi proses inflamasi pada saluran
napas. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses
inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan
hipereaktivitas. Faktor pemacu tersebut adalah rinovirus, ozon dan
pemakaian β2 agonis.

c. Serangan asma, yaitu setelah mengalami inflamasi maka bila


individu terpajan oleh pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan
asma (Depkes RI, 2009).

Faktor pencetus asma adalah semua faktor pemicu dan pemacu


ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan
metakolin. Secara umum faktor pencetus serangan asma adalah

1. Alergi

Alergen merupakan zat-zat tertentu yang bila dihisap atau dimakan


dapat menimbulkan serangan asma seperti debu rumah, tungau, spora

19
jamur, bulu binatang, tepung sari, beberapa makanan laut
(Muttaqin, 2008). Makanan lain yang dapat menjadi faktor pencetus
adalah telur, kacang, bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan
dan susu sapi (Depkes RI, 2009).

2. Infeksi saluran pernapasan

Infeksi saluran napas terutama disebabkan oleh virus. Diperkirakan


dua pertiga pasien asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh
infeksi saluran pernapasan (Muttaqin, 2008). Asma yang muncul
pada saat dewasa dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti
adanya sinusitis, polip hidung, sensitivitas terhadap aspirin atau
obat-obat Anti-Inflamasi Non Steroid (AINS), atau dapat juga terjadi
karena mendapatkan pemicu seperti debu dan bulu binatang di
tempat kerja yang mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas
yang berulang. Ini disebut dengan occupational asthma yaitu asma
yang disebabkan karena pekerjaan (Ikawati, 2010).

3. Tekanan jiwa

Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama pada orang


yang agak labil kepribadiannya, ini lebih menonjol pada wanita dan
anak-anak (Muttaqin, 2008). Ekspresi emosi yang dimunculkan
secara berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus asma (Depkes
RI, 2009).

4. Olahraga/kegiatan jasmani yang berat


Serangan asma karena exercise (Exercise Induced Asthma/EIA)
terjadi segera setelah olahraga atau aktivitas fisik yang cukup
berat. Lari cepat dan bersepeda merupakan dua jenis kegiatan
paling mudah menimbulkan serangan asma (Muttaqin, 2008).
5. Obat-obatan

20
Pasien asma biasanya sensitif atau alergi terhadap obat tertentu
(Muttaqin,2008). Obat tersebut misalnya golongan aspirin, NSAID,
beta bloker, dan lain-lain

6. Polusi udara

Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik atau
kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan
oksida fotokemikal serta bau yang tajam (Muttaqin, 2008).

Tanda dan Gejala Asma

Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa
berat di dada. Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama
malam atau dini hari (PDPI, 2003). Setelah pasien asma terpajan
alergen penyebab maka akan timbul dispnea, pasien merasa seperti
tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha mengerahkan
tenaga lebih kuat untuk bernapas. Kesulitan utama terletak saat
ekspirasi, percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang
selama inspirasi namun sulit untuk memaksa udara keluar dari
bronkiolus yang sempit karena mengalami edema dan terisi mukus.
Akan timbul mengi yang merupakan ciri khas asma saat pasien
berusaha memaksakan udara keluar. Biasanya juga diikuti batuk
produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan (Price & Wilson,
2006).
Tanda selanjutnya dapat berupa sianosis sekunder terhadap hipoksia
hebat dan gejala-gejala retensi karbon dioksida (berkeringat,
takikardi dan pelebaran tekanan nadi). Pada pasien asma kadang
terjadi reaksi kontinu yang lebih berat dan mengancam nyawa,
dikenal dengan istilah “status asmatikus”. Status asmatikus adalah
asma yang berat dan persisten yang tidak berespon terhadap terapi

21
konvensional, dan serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam
(Smeltzer & Bare, 2002). Asma dapat bersifat fluktuatif (hilang
timbul) yang berarti dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu
aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat
bahkan dapat menimbulkan kematian

Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan seperti


perubahan temperatur, terpapar bulu binatang, uap kimia, debu,
serbuk, obat-obatan, olahraga berat, infeksi saluran pernapasan, asap
rokok dan stres (GINA, 2005). Pada awal serangan sering gejala tidak
jelas seperti rasa berat di dada, pada asma alergik biasanya disertai
pilek atau bersin. Meski pada mulanya batuk tidak disertai
sekret, namun dalam perkembangannya pasien asma akan
mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih dan terkadang purulen.
Terdapat sebagian kecil pasien asma yang hanya mengalami gejala
batuk tanpa disertai mengi, yang dikenal dengan istilah cough
variant asthma(Sundaru, 2009).

Klasifikasi Asma

- Asma alergi
Dapat disebabkan oleh alergen, misal serbuk sari, binatang, makanan
dan jamur. Kebanyakan alergen terdapat di udara dan bersifat
musiman, biasanya pasien juga memiliki riwayat keluarga yang
alergik dan riwayat medis eczema atau rhinitis alergik. Pajanan
terhadap alergen mencetuskan asma. Anak-anak dengan asma
alergik sering dapat mengatasi kondisi sampai masa remaja.
- Asma idiopatik atau nonalergik
Jenis asma ini tidak berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor
seperti common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan
polutan lingkungan dapat mencetuskan serangan. Selain itu beberapa
agen farmakologi juga dapat menjadi faktor seperti aspirin dan agen

22
antiinflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, antagonis beta-
adrenergik dan pengawet makanan. Serangan pada asma ini
menjadi lebih berat dan sering, kemudian dapat berkembang menjadi
bronkitis kronis dan emfisema.
- Asma gabungan

Merupakan bentuk asma yang paling umum. Asma ini memiliki


karakteristik dari bentuk alergik maupun idiopatik/nonalergik.

Patofisiologi Asma
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel
inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T,
makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan faktor
lain berperan sebagai pencetus inflamasi saluran napas pada
pasien asma (PDPI, 2003). Inflamasi saluran napas pada pasien
asma merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi yaitu
terdapatnya obstruksi saluran napas yang menyebabkan hambatan
aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah
pengobatan (Sundaru, 2009). Obstruksi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkus yang
menyempitkan jalan napas, pembengkakan membran yang melapisi
bronkus dan pengisian bronkus dengan mukus yang kental.
Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf
otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE yang
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase
cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal
dalam jumlah yang besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma
alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan
bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka akan
terjadi fase sensitisasi yang menyebabkan antibodi IgE orang

23
tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE
yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi
mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik
eosinofil dan bradikinin. Ini akan menimbulkan efek edema
lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental
dalam lumen bronkiolus dan spasme otot polos bronkiolus yang
menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah
pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons
terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung
pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8
jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-
kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,
sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel
kunci dalam patogenesis asma (Rengganis, 2008).Pada jalur saraf
otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan
mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan
alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi
yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan
pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan
sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin,
asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi
melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang
terangsang menyebabkan pelepasan neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi,
edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi

24
sel-sel inflamasi (Rengganis, 2008). Sistem saraf otonom
mempersarafi paru, tonus otot bronkial diatur oleh impuls
saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik,
ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor pencetus
maka akan meningkatkan pelepasan jumlah asetilkolin. Ini
menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan
mediator kimiawi (Smeltzer & Bare, 2002).
Penatalaksanaan
Asma

Tujuan utama penatalaksanaan asma menurut PDPI (2003) adalah


meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma
dapat hidup normal kembali tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. Terdapat tujuh komponen program
penatalaksanaan asma yaitu:

a. edukasi
Pengetahuan yang baik akan menurunkan angka kesakitan dan
kematian. Tujuan dari seluruh edukasi adalah membantu pasien agar
dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma. Edukasi
terkait dengan cara dan waktu penggunaan obat, menghindari
pencetus, mengenali efek samping obat dan kegunaan kontrol teratur
pada pengobatan asma. Bentuk pemberian edukasi dapat berupa
komunikasi saat berobat, ceramah, latihan, diskusi, sharing, leaflet,
dan lain-lain.

b. Menilai dan memonitor derajat asma secara berkala

Penilaian klinis berkala antara 1 – 6 bulan dan monitoring asma


oleh pasien dilakukan pada penatalaksanaan asma. Ini dikarenakan
berbagai faktor yaitu gejala dan berat asma berubah sehingga
membutuhkan perubahan terapi, pajanan pencetus menyebabkan
perubahan pada asma, dan daya ingat serta motivasi pasien perlu

25
direview sehingga membantu penanganan asma secara mandiri.
Pemeriksaan faal paru, respon pengobatan saat serangan akut, deteksi
perburukan asimptomatik sebelum menjadi serius, respon pengobatan
jangka panjang, dan identifikasi pencetus perlu dimonitor secara
berkala (PDPI, 2003).

c. Mengidentifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

Pasien asma ada yang dengan mudah mengenali faktor pencetus


namun ada juga yang tidak dapat mengetahui faktor pencetus
asmanya. Identifikasi faktor pencetus perlu dilakukan dengan
berbagai pertanyaan mengenai beberapa hal yang dapat sebagai
pencetus serangan seperti alergen yang dihirup, pajanan lingkungan
kerja, polutan dan iritan di dalam dan di luar ruangan, asap rokok,
refluks gastroesofagus dan sensitif dengan obat-obatan (PDPI, 2003).

d. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang

Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu


inhalasi, oral dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena).
Obat-obatan asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan napas yang terdiri atas pengontrol dan pelega.
Pengontrol merupakan medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol (controllers) sering disebut pencegah yang terdiri dari :

- Glukokortikosteroid inhalasi
Merupakan pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk
mengontrol asma dan merupakan pilihan bagi pengobatan asma
persisten (ringan sampai berat). Berbagai penelitian menunjukkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan serta
memperbaiki kualitas hidup.

26
- Glukokortikosteroid sistemik
Pemberian melalui oral atau parenteral, digunakan sebagai
pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang
sehari), namun penggunaanya terbatas mengingat risiko efek sistemik
yaitu osteoporosis, hipertensi, diabetes, katarak, glaukoma, obesitas
dan kelemahan otot.
- Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)

Merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator


dari sel mast melalui reaksi yang diperantai IgE yang bergantung
kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu
(makrofag, eosinofil, manosit) serta menghambat saluran kalsium
pada sel target. Pemberian secara inhalasi pada asma persisten ringan
dan efek samping minimal berupa batuk dan rasa obat tidak enak saat
melakukan inhalasi.

- Teofilin

Teofilin merupakan bronkodilator yang memiliki efek


ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Digunakan untuk
menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dengan
merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh
darah pulmonal. Efek samping berupa mual, muntah, diare, sakit
kepala, insomnia dan iritabilitas.

- Agonis beta-2 kerja lama


Termasuk agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Memiliki
efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,
menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi
pelepasan mediator dari sel mast dan basofil.
- Leukotriene modifiers

27
Merupakan anti asma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan latihan berat.
Selain itu juga memiliki efek antiinflamasi.Pelega pada prinsipnya
untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, batuk dan rasa berat di dada, serta tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif
jalan napas. Pelega (reliever) terdiri dari:

- Angonis beta-2 kerja singkat


Golongan terdiri dari salbutamol, terbutalin, fenoterol dan prokaterol
yang telah beredar di Indonesia. Pemberian dapat secara inhalasi atau
oral, pemberian inhalasi memiliki kerja lebih cepat dan efek
samping minimal. Efek samping dapat berupa rangsangan
kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia.

- Antikolinergik

Pemberiannya secara inhalasi, mekanisme kerjanya memblok efek


pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan
tiotropium bromide. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan
rasa pahit.

- Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai
berat, bila tidak ada agonis beta-2 atau tidak merespon dengan
agonis beta-2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus hati-
hati pada usia lanjut atau pada pasien gangguan kardiovaskuler.
Selain pemberian obat pelega dan pengontrol asma, beberapa cara
digunakan sebagai terapi pelengkap untuk mempercepat proses

28
penyembuhan asma seperti homeopati, terapi herbal, ayuverdik
medicine, ionizer, osteopati dan manipulasi chiropractic, spleoterapi,
teknik pernapasan Buteyko, akupuntur, hipnosis, dan lain-lain
(PDPI, 2003). Salah satu terapi pelengkap untuk pasien asma
adalah teknik pernapasan Buteyko. Teknik pernapasan ini didasarkan
pada usaha mengembalikan cara bernapas yang benar pada pasien
asma
- Menetapkan terapi penanganan terhadap gejala
terapi dilakukan sesuai dengan keadaan pasien, terapi ini dianjurkan
kepada pasien yang memiliki pengalaman buruk terhadap gejala
asma dan dalam kondisi darurat. Penanganan dilakukan di rumah
pasien dengan menggunakan obat bronkodilator seperti β2-agonis
inhalasi dan glukokortikosteroid oral (GINA,\
- Kontrol secara teratur
Penatalaksanaan jangka panjang harus memperhatikan tindak
lanjut (follow up) teratur dan rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau
penanganan lebih lanjut. Pasien dianjurkan untuk kontrol tidak hanya
saat terjadi serangan akut, namun kontrol teratur sesuai jadwal yang
telah ditentukan, interval berkisar 1-6 bulan tergantung pada keadaan
asma. Ini dilakukan untuk memastikan asma tetap terkontrol dengan
mengupayakan penurunan terapi seminimal mungkin.
- Pola hidup sehat
Dalam penatalaksanaan asma, pola hidup sehat sangat penting seperti
melakukan olahraga secara teratur untuk meningkatkan
kebugaran fisik, menambah rasa percaya diri dan meningkatkan
ketahanan tubuh. Bagi pasien yang memiliki jenis asma dimana
serangan timbul setelah exercise (Exercise-Induced Asthma/EIA)
dianjurkan menggunakan beta-2 agonis sebelum melakukan
olahraga. Berhenti atau tidak merokok dan menghindari faktor
pencetus juga dapat dilakukan oleh pasien asma untuk mencegah
terjadinya serangan asma.

29
C. EMFISEMA

A. Pengertian
Emfisema Paru-paru adalah penyakit saluran pernafasan yang berciri
sesak napas terus menerus yang menghebat pada waktu mengeluarkan
tenaga dan sering kali dengan perasaan letih dan tidak bergairah atau
kalau bahasa awamnya disebut “Paru-Paru Basah”. Emfisema Paru-
paru merupakan penyakit paru obstruktif kronik. Emfisema paru-paru
merupakan penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan
(obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru
menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang
luas. Emfisema paru juga dapat didefinisikan sebagai suatu distensi
abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan
dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang
mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun.

 KLASIFIKASI

Terdapat 2 (dua) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan


berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru.

a. Panlobular (panacinar), yaitu terjadi kerusakan bronkus


pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Semua ruang udara di dalam
lobus sedikit banyak membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi.
Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh
dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat badan.

b. Sentrilobular (sentroacinar), yaitu perubahan patologi terutama


terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus tetap baik.
Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang
menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah

30
arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi
mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas.

C. ETIOLOGI

1. Merokok adalah penyebab utama.


o Rokok secara patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan
silia pada jalan nafas, menghambat fungsi makrofag alveolar,
menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bromkus.
2. Faktor predisposisi.
o Genetik terhadap emfisema yang berkaitan dengan abnormalitas
protein plasma, defisiensi antitripsin alfa-1, yang merupakan suatu
enzim inhibitor. Secara genetik sensitif terhadap faktor lingkungan
(merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, alergen).
3. Bronkhitis Kronis yang berkaitan dengan merokok
4. Polusi.
o Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema.
Insiden dan angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih
tinggi di daerah yang padat industrialisasi, polusi udara seperti halnya
asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat
fungsi makrofag alveolar.
5. Pengaruh usia
6. Infeksi.
o Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih
berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis
akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas,
yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
7. Genetik
8. Paparan Debu

D. PATOFISIOLOGI

31
Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama disebabkan
elastisitas paru yang berkurang. Pada paru-paru normal terjadi
keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke laur yaitu
disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada dengan
tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas paru..
Bila terpapar iritasi yang mengandung radikal hidroksida (OH-).
Sebagian besar partikel bebas ini akan sampai di alveolus waktu
menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak
paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya
dinding alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi dari anti elastase
pada saluran napas. Sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial
alveolus. Partikel asap rokok dan polusi udara mengenap pada lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus. Sehingga menghambat
aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang.
Sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih
merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah dengan gangguan
aktivitas silia. Bila oksidasi dan iritasi di saluran nafas terus
berlangsung maka terjadi erosi epital serta pembentukanjaringan
parut. Selain itu terjadi pula metaplasi squamosa dan pembentukan
lapisan squamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran
napas yang bersifat irreversibel sehingga terjadi pelebaran alveolus
yang permanen disertai kerusakan dinding alveoli.

E. TANDA dan GEJALA

 Pada awal gejalanya serupa dengan bronkhitis Kronis


 Napas terengah-engah disertai dengan suara seperti peluit
 Dada berbentuk seperti tong, otot leher tampak menonjol, penderita
sampai membungkuk
 Bibir tampak kebiruan
 Berat badan menurun akibat nafsu makan menurun
 Batuk menahun

32
F. TEST DIAGNOSTIK

 Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru;


mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal;
penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda
bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi
(asma).
 Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea,
untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau
restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk
mengevaluasi efek terapi, mis., bronkodilator.
 TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada
asma; penurunan emfisema.
 Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.
 Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan
asma.
 FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital
kuat menurun pada bronkitis dan asma.
 GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis
 Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada
inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema);
pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronchitis.
 JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas),
peningkatan eosinofil (asma).
 Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan
defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
 Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi,
mengidentifikasi patogen; pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui
keganasan atau gangguan alergi

33
 EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat);
disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III,
AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema).
 EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat
disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator,
perencanaan/evaluasi program latihan.

G. PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, untuk


memperlambat kemajuan proses penyakit, dan untuk mengatasi,
obstruksi jalan napas untuk menghilangkan hipoksia. Pendekatan
terapeutik mencakup:
a.Tindakan pengobatan dimaksudkan untuk memperbaiki ventilasi dan
menurunkan upaya bernapas
b.Pencegahan dan pengobatan cepat terhadap infeksi
c.Teknik terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi
pulmonari
d.Pemeliharaan kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan
pernapasan
e.Dukungan psikologis
f.Penyuluhan pasien dan rehabilitasi yang berkesinambungan
g.Bronkodilator
Bronkodilator diresepkan untuk mendilatasi jalan nafas karena
preparat ini melawan edema mukosa maupun spasme muskular dan
membantu mengurangi obstruksi jalan nafas serta memperbaiki
pertukaran gas.Medikasi ini mencakup antagonis β-adrenergik
(metoproterenol, isoproterenol) dan metilxantin (teofilin, aminofilin),
yang menghasilkan dilatasi bronkial.
Bronkodilator mungkin diresepkan per oral, subkutan, intravena, per
rektal atau inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan melalui aerosol

34
bertekanan, nebuliser.Bronkodilator mungkin menyebabkan efek
samping yang tidak diinginkan termasuk takikardia, disritmia jantung,
dan perangsangan sisten saraf pusat. Metilxantin dapat juga
menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti mual dan muntah.

Terapi Aerosol
Aerosolisasi (proses membagi partikel mrnjadi serbuk yang sangat
halus) dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan
untuk membantu dalam bronkodilatasi. Aerosol yang dinebulizer
menghilangkan edema mukosa dan mengencerkan sekresi bronkial.
Hal ini mempermudah proses pembersihan bronkhiolus, membantu
mengendalikan proses inflamasi dan memperbaiki fungsi ventilasi.
Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema rentan dengan infeksi paru dan harus diobati
pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi seperti sputum purulen,
batuk meningkat dan demam. Organisme yang paling sering adalah S.
pneumonia, H. influenzae, dan Branhamella catarrhalis. Terapi
antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin atau
trimetoprim-sulfametoxazol (Bactrim) mungkin diresepkan.
Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien
dengan emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi
oksigen rendah untuk meningkatkan tekanan oksigen hingga antara 65
dan 80 mmHg. Pada emfisema berat, oksigen diberikan sedikitnya 16
jam perhari sampai 24 jam perhari.

Fisioterapi
Tujuan dari fisioterapi adalah :
- Membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan efisiensi
batuk.
- Mengatasi gangguan pernapasan pasien.

35
- Memperbaiki gangguan pengembangan thoraks.
- Meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan.

H. KOMPLIKASI
1. Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan
2. Daya tahan tubuh kurang sempurna
3. Tingkat kerusakan paru semakin parah
4. Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
5. Pneumonia
6. Atelaktasis
7. Pneumothoraks
8. Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.

I. PENCEGAHAN
Berhenti merokok
Patuhi perturan keamanan di tempat kerja seperti memakai masker

c. Jelaskan proses imunologi yang berperan !

Sejumlah penelitian menemukan bahwa proses inflamasi pada PPOK


tidak hanya berlangsung di paru tetapi juga secara sistemik, yang
ditandai dengan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP), tumor
necrosis factor-α (TNF- α), interleukin 6 (IL-6) serta IL-8. Respons
sistemik ini menggambarkan progresiviti penyakit paru dan
selanjutnya berkembang menjadi penurunan massa otot rangka
(muscle wasting), penyakit jantung koroner dan aterosklerosis.9
Mekanisme molekuler dan seluler pada PPOK. Pajanan gas beracun
mengaktifkan makrofag alveolar dan sel epitel jalan napas dalam
membentuk faktor kemotaktik, penglepasan faktor kemotaktik
menginduksi mekanisme infiltrasi sel-sel hematopoetik pada paru
yang dapat menimbulkan kerusakan struktur paru. Infiltrasi sel ini

36
dapat menjadi sumber faktor kemotaktik yang baru dan
memperpanjang reaksi inflamasi paru menjadi penyakit kronik dan
progresif. Makrofag alveolar penderita PPOK meningkatkan
penglepasan IL-8 dan TNF-α. Ketidakseimbangan proteinase dan
antiproteinase serta ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan
berperan dalam patologi PPOK. Proteinase menginduksi inflamasi
paru, destruksi parenkim dan perubahan struktur paru., peningkatan
jumlah neutrofil yang nekrosis di jalan napas penderita PPOK dapat
menyebabkan penglepasan elastase dan reactive oxygen species
(ROS) yang menyebabkan hipersekresi mukus.

Respons epitel jalan napas terhadap pajanan gas atau asap rokok
berupa peningkatan jumlah kemokin seperti IL-8, macrophage
inflamatory protein-1 α (MIP1-α) dan monocyte chemoattractant
protein-1 (MCP-1). Peningkatan jumlah Limfosit T yang didominasi
oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada jaringan paru tetapi juga pada
kelenjar limfe paratrakeal. Sel sitotoksik CD8+ menyebabkan
destruksi parenkim paru dengan melepaskan perforin dan granzymes.
CD8+ pada pusat jalan napas merupakan sumber IL-4 dan IL-3 yang
menyebabkan hipersekresi mukus pada penderita bronkitis kronik

d. Bagaimana usaha pencegahan dan penghetian dari rokok ?


 Upaya pencegahan dari rokok
Keluarga merupakan tempat utama dalam melakukan pencegahan
seperti:
 Orang tua menjalin komunikasi yang baik kepada anaknya
 Orang tua memberikan contoh yang baik kepada ananknya
 Memberikan pengawasan yang baik
 Member pengetahuan dan pengarahan tentang bahaya rokok
 Penghentian dari rokok

37
Bagi seorang yang telah memiliki kebiasaan merokok,berhenti dari
kebiasaannya tersebut tidaklah mudah. Dibutuhkan komitmen yang
kuat dari perokok dan support dari sekitarnya. Sebanyak 70% perokok
didunia berkeinginan untuk berhenti merokok, sebagian besar hanya
berdasarkan komitmen sendiri tanpa bantuan pihak lain sehingga kecil
kemungkinan untuk berhasil berhenti merokok (3-5%).

38
DAFTAR PUSTAKA

1. A. price, Sylvia, M. Wilson, Lorraine. 2012. Patofisiologi konsep


klinis proses-proses penyakit, Jakarta : EGC
2. Arif, M. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi III.
Jakarta: Penerbitan Media Aesculapius FKUI

3. Dorland WA, Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland edisi


31. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Gan WQ, Man SFP, Senthilselvan A, Sin DD. Association between
COPD and systemic inflammation: a systematic review and a
metaanalysis. Thorax 2014;59:574-80
5. Setiati, Siti, dkk. 2015. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Ed VI.
Jakarta : InternaPublishing.
6. Tao L & Kendall K. 2013. Sinopsis Organ Sistem :
PULMONOLOGI . Tangerang : Karisma.
7. Tirtosastro,samsuri, dkk. 2010. Kandungan Kimia
TembakaudanRokok. UniversitasTribuanaTunggadewi, Malang
8. W.Sudoya, Aru dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III . Jakarta Pusat : InternaPublishing.
9. W.Sudoya, Aru dkk. 2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I .
Jakarta Pusat : InternaPublishing.

39

Anda mungkin juga menyukai