Anda di halaman 1dari 37

1

LAPORAN TUTORIAL



SKENARIO 2 BLOK DENTOMAKSILOFASIAL I
SEMESTER GENAP 2013/2014

Oleh :
Ketua : Pungky Anggraini
Scriber Papan : Arini Al Haq
Scriber Meja : Dhystika Zahrah Septania
Anggota :
1. Mochammad Fahmi
2. Canggih Patriot Bangsa
3. Aditya P
4. Galuh Cita Sari R
5. Ari Kurniasari
6. Nur Sita D
7. Farah Firdha Abadhia
8. Cynthia Octavia P S

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2014


2

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul Penyakit Infeksi
Jaringan Periodontal dengan baik serta tepat waktu. Laporan tutorial ini disusun untuk
melengkapi tugas tutorial dengan didukung oleh referensi-referensi yang bisa
dipertanggungjawabkan. Laporan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih
jelas dari materi tutorial. Penulis menyusun laporan tutorial ini melalui berbagai tahap
baik dari pencarian bahan, pembahasan, belajar mandiri, dan lain-lain. Laporan ini tidak
mungkin terwujud tanpa adanya kerjasama yang baik dengan pihak-pihak yang terlibat.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr.drg. I Dewa Ayu Susilawati , M.Kes selaku tutor yang telah banyak membantu
dalam proses tutorial.
2. Teman-teman anggota tutorial IV
Semoga laporan tutorial ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan mohon maaf apabila ada
kesalahan. Apabila ada yang kurang sempurna dalam laporan ini, penulis mengharapkan
kritik dan saran pembaca guna perbaikan lebih lanjut pada masa yang akan datang.

Jember, 31 Mei 2014

Penulis









3

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL ...................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR .................................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................................... 3
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 4
1.2 Skenario ....................................................................................................... ... 5
1.3 Perumusan Masalah ......................................................................................... 6
1.4 Tujuan Pembelajaran ....................................................................................... 6
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Etiologi Penyakit Periodontal ......................................................................... 7
2.2 Patogenesis Penyakit Periodontal .................................................................. 12
2.3 Klasifikasi Penyakit Periodontal ...................................................................... 18
2.4 Gejala Penyakit periodontal ............................................................................. 25
2.5 Metode Penyakit Periodontal ........................................................................... 26
2.6 Dampak Penyakit Periodontal ......................................................................... 36
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 38





4



PENDAHULUAN

BAB I

1.1 Latar Belakang

Penyakit periodontal merupakan penyakit yang disebabkan adanya
infeksi pada jaringan periodontal. Bakteri plak merupakan penyebab
utama terjadinya penyakit periodontal berupa inflamasi seperti
periodontitis kronis. Beberapa faktor lain turut berperan secara tidak
langsung dengan cara memfasilitsasi penumpukan dan perkembangbiakan
bakteri plak seperti Streptococcus mutans, Phorphyromonas gingivalis,
Actinobacillus actinomycetemcomitans dan Bacteriodes melaninogenicus.
Sebagai contoh adalah kalkulus, gigi yang berjejal (crowded), karies gigi
yang berada dekat tepi gingiva, tambalan yang overhanging, dan tepi
restorasi yang tidak baik. Di samping itu, berperan pula faktor-faktor lain
sebagai factor resiko, seperti factor lingkungan, tingkah laku, dan biologis,
yang keberadaannya dapat meningkatkan kemungkinan sesorang
menderita suatu penyakit.
Penyakit periodontal dimulai dari gingivitis, bila tidak terawatt
dapat berkembang menjadi periodontitis dimana terjadi kerusakan jaringan
periodontal berupa kerusakan fiber, ligament periodontal dan tulang
alveolar. Lesi kronis pada periodontitis dapat berkembang menjadi suatu
abses yang sering disebut abses periodontal. Abses periodontal merupakan
lesi inflamatori yang bersifat akut dan dekstruktif pada jaringan
periodontal yang menimbulkan akumulasi pus di dinding gingiva pada
poket periodontal (Topazian, et al., 2002)



5




1.2 Skenario

PENYAKIT INFEKSI JARINGAN PERIODONTAL

Seorang Pasien Wanita Ddatang ke klinik Periodonsia mengeluhkan
gusinya mudah berdarah saat menyikat gigi . Pemeriksaan klinis pada rahang
bawah depan , ginggiva tampak kemerahan , terjadi pendarahan saat
probing(Bleending on Probing,BOP), terdapat loss of attachment gigi 31 goyang
derajad 1 , terdapat kalkulus dan plak bakterial subginggival , dan dari
pemeriksaan radiografis terdapat bone loss (pola horizontal) kira kira setangh
panjang akar gigi . kasus tersebut diklasifikasikan sebagai periodontitis kronis .
klasifikasi penyakit periodontal yang digunakan saat ini adalah yang disampaikan
pada Internasional Workshop for a Classsification of Periodontal Diesease and
Condition tahun 1999 , sebagai berikut.
I Penyakit Ginggival(diinduksi plak dan non plak)
II Periodontitis kronis
III Periodontitis Agresif
IV Periodontitis sebagai manifestasi penyakit sistemik
V Penyakit Periodontal nekrotik
VI Abses Periodonsium
VII Periodontitis terkait lesi endodontik
VIII Deformtas dan kondisi developmental / dapatan









6




1.2 Perumusan Masalah

1. Etiologi jaringan keras periodontal ?
2. Gejala klinis dari masing masing penyakit ?
3. - mekanisme penyakit ginggiva yang diinduksi plak dan non plak
- Mengapa ginggiva tampak kemerahan dan apa dampak yang
ditimbulkan jika tidak dilakukan perawatan ?
4. Metode apa untuk infeksi jaringan periodontal yang digunakan selain
probing ?
5. Kriteria klasifikasi periodontitis ?
6. Bagaimana jika periodontitis kronis dibiarkan ?

1.3 Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi jaringan keras
periodontal
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan gejala klinis penyakit
periodontal
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mekanisme penyakit
periodontal
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan metode yang digunakan
untuk pemeriksaan
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan klasifikasi periodontitis
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan dampak penyakit
periodontal





7




PEMBAHASAN

BAB II

2.1 Etiologi Penyakit Periodontal
Faktor penyebab penyakit periodontal dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu faktor lokal(ekstrinsik) dan faktor sistemik(intrinsik). Faktor lokal
merupakan penyebab yang berada pada lingkungan disekitar gigi, sedangkan
faktor sistemik dihubungkan dengan metabolisme dan kesehatan umum.
Kerusakan tulang dalam penyakit periodontal terutama disebabkan oleh faktor
lokal yaitu inflamasi gingiva dan trauma dari oklusi atau gabungan keduanya.
Kerusakan yang disebabkan oleh inflamasi gingiva mengakibatkan pengurangan
ketinggian tulang alveolar, sedangkan trauma dari oklusi menyebabkan hilangnya
tulang alveolar pada sisi permukaan akar.
Faktor Lokal
1. Plak Bakteri
Plak bakteri merupakan suatu massa hasil pertumbuhan mikroba yang
melekat erat pada permukaan gigi dan gingiva bila seseorang mengabaikan
kebersihan mulut. Berdasarkan letak huniannya, plak dibagi atas supragingival
yang berada disekitar tepi gingival dan plak sub-gingiva yang berada apikal dari
dasar gingival. Bakteri yang terkandung dalam plak di daerah sulkus gingiva
mempermudah kerusakan jaringan. Hampir semua penyakit periodontal
berhubungan dengan plak bakteri dan telah terbukti bahwa plak bakteri bersifat
toksik. Bakteri dapat menyebabkan penyakit periodontal secara tidak langsung
dengan jalan :


8

1. Meniadakan mekanisme pertahanan tubuh.
2. Mengurangi pertahanan jaringan tubuh
3. Menggerakkan proses immuno patologi. Meskipun penumpukan plak bakteri
merupakan penyebabutama terjadinya gingivitis, akan tetapi masih banyak faktor
lain sebagai penyebabnya yang merupakan multifaktor, meliputi interaksi antara
mikroorganisme pada jaringan periodontal dan kapasitas daya tahan tubuh.
2. Kalkulus
Kalkulus terdiri dari plak bakteri dan merupakan suatu massa yang
mengalami pengapuran, terbentuk pada permukaan gigi secara alamiah. Kalkulus
merupakan pendukung penyebab terjadinya gingivitis (dapat dilihat bahwa
inflamasi terjadi karena penumpukan sisa makanan yang berlebihan) dan
lebihbanyak terjadi pada orang dewasa, kalkulus bukan penyebab utama
terjadinya penyakit periodontal. Faktor penyebab timbulnya gingivitis adalah plak
bakteri yang tidak bermineral, melekat pada permukaan kalkulus, mempengaruhi
gingiva secara tidak langsung.
3. Impaksi makanan
Impaksi makanan (tekanan akibat penumpukan sisa makanan) merupakan
keadaan awal yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit periodontal. Gigi yang
berjejal atau miring merupakan tempat penumpukan sisa makanan danjuga tempat
terbentuknya plak, sedangkan gigi dengan oklusi yang baik mempunyai daya self
cleansing yang tinggi. Tanda-tanda yang berhubungan dengan terjadinya impaksi
makanan yaitu
a. perasaan tertekan pada daerah proksimal
b. rasa sakit yang sangat dan tidak menentu
c. inflamasi gingiva dengan perdarahan dan daerah yang terlibat sering
berbau.
d. resesi gingiva


9

e. pembentukan abses periodontal menyebabkan gigi dapat bergerak dari
soketnya, sehingga terjadinya kontak prematur saat berfungsi dan sensitif
terhadap perkusi.
f. kerusakan tulang alveolar dan karies pada akar
4. Pernafasan Mulut
Kebiasaan bernafas melalui mulut merupakan salah satu kebiasaan buruk. Hal ini
sering dijumpai secara permanen atau sementara. Permanen misalnya pada anak
dengan kelainan saluran pernafasan, bibir maupun rahang, juga karena kebiasaan
membuka mulut terlalu lama. Sementara misal pasien penderita pilek dan pada
beberapa anak yang gigi depan atas protrusi sehingga mengalami kesulitan
menutup bibir.Keadaan ini menyebabkan viskositas (kekentalan) saliva akan
bertambah pada permukaan gingiva maupun permukaan gigi, aliran saliva
berkurang, populasi bakteri bertambah banyak, lidah dan palatum menjadi kering
dan akhirnya memudahkan terjadinya penyakit periodontal.
5. Sifat fisik makanan
Sifat fisik makanan merupakan hal yang penting karena makanan yang
bersifat lunak seperti bubur atau campuran semiliquid membutuhkan sedikit
pengunyahan, menyebabkan debris lebih mudah melekat disekitar gigi dan bisa
berfungsi sebagai sarang bakteri serta memudahkan pembentukan karang gigi.
Makanan yang mempunyai sifat fisik keras dan kaku dapat juga menjadi massa
yang sangat lengket bila bercampur dengan ludah. Makanan yang demikian tidak
dikunyah secara biasa tetapi dikulum di dalam mulutsampai lunak bercampur
dengan ludah atau makanan cair, penumpukan makanan ini akan memudahkan
terjadinya penyakit.
Makanan yang baik untuk gigi dan mulut adalah yangmempunyai sifat self
cleansing dan berserat yaitu makanan yang dapat membersihkan gigi dan jaringan
mulut secara lebih efektif, misalnya sayuran mentah yang segar, buah-buahan dan
ikan yang sifatnya tidak melekat pada permukaan gigi.
6. Iatrogenik Dentistry


10

Iatrogenik Dentistry merupakan iritasi yang ditimbulkan karena pekerjaan
dokter gigi yang tidak hati-hati dan adekuat sewaktu melakukan perawatan pada
gigi dan jaringan sekitarnya sehingga mengakibatkan kerusakan pada jaringan
sekitar gigi.
Dokter gigi harus memperhatikan masa depan kesehatan jaringan
periodontal pasien, misalnya :
Waktu melakukan penambalan pada permukaan proksimal (penggunaan
matriks) atau servikal, harus dihindarkan tepi tambalan yangmenggantung
(kelas II amalgam), tidak baik adaptasinya atau kontak yang salah, karena
hal ini menyebabkan mudahnya terjadi penyakit periodontal.
Sewaktu melakukan pencabutan, dimulai dari saat penyuntikan,
penggunaan bein sampai tang pencabutan dapat menimbulkan rusaknya
gingiva karena tidak hati hati
Penyingkiran karang gigi (manual atau ultra skeler)juga harus berhati
hati, karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan gingiva.
7. Trauma dari oklusi
Trauma dari oklusimenyebabkan kerusakan jaringan periodonsium,
tekanan oklusal yang menyebabkan kerusakan jaringan disebut traumatik oklusi.
Trauma dari oklusi dapat disebabkan oleh :
Perubahan-perubahan tekanan oklusal
Misal adanya gigi yang elongasi, pencabutan gigi yang tidak diganti,
kebiasaan buruk seperti bruksim, clenching.
Berkurangnya kapasitas periodonsium untuk menahan tekanan oklusal
Kombinasi keduanya.
FAKTOR SISTEMIK
Respon jaringan terhadap bakteri, rangsangan kimia serta fisik dapat
diperberat oleh keadaan sistemik. Untuk metabolisme jaringan dibutuhkan
material-material seperti hormon, vitamin, nutrisi dan oksigen. Bila keseimbangan
material ini terganggu dapat mengakibatkan gangguan lokal yang berat. Gangguan


11

keseimbangan tersebut dapat berupa kurangnya materi yang dibutuhkan oleh sel-
sel untuk penyembuhan, sehingga iritasi lokal yang seharusnya dapat ditahan atau
hanya menyebabkan inflamasi ringan saja, dengan adanya gangguan
keseimbangan tersebut maka dapat memperberat atau menyebabkan kerusakan
jaringan periodontal.
Faktor-faktor sistemik ini meliputi :
1. Demam yang tinggi
Pada anak-anak sering terjadi penyakit periodontalselama menderita
demam yang tinggi, (misal disebabkan pilek, batuk yang parah).Hal ini
disebabkan anak yang sakit tidak dapat melakukan pembersihan mulutnya secara
optimal dan makanan yang diberikan biasanya berbentuk cair. Pada keadaan ini
saliva dan debris berkumpul pada mulut menyebabkan mudahnya terbentuk plak
dan terjadi penyakit periodontal.
2. Defisiensi vitamin
Di antara banyak vitamin, vitamin C sangat berpengaruh pada jaringan
periodontal, karena fungsinya dalam pembentukan serat jaringan ikat. Defisiensi
vitamin C sendiri sebenarnya tidak menyebabkan penyakit periodontal, tetapi
adanya iritasi lokal menyebabkan jaringan kurang dapat mempertahankan
kesehatan jaringan tersebut sehingga terjadi reaksi inflamasi (defisiensi
memperlemah jaringan).
3. Drugs atau obat-obatan
Obat-obatan dapat menyebabkan hiperplasia, hal inisering terjadi pada
anak-anak penderita epilepsi yang mengkomsumsi obat anti kejang, yaitu
phenytoin (dilantin). Dilantin bukan penyebab langsung penyakit jaringan
periodontal, tetapi hiperplasia gingiva memudahkan terjadinya penyakit.
Penyebab utama adalah plak bakteri.
4. Hormonal


12

Penyakit periodontal dipengaruhi oleh hormon steroid. Peningkatan
hormon estrogen dan progesteron selama masa remaja dapat memperhebat
inflamasi margin gingiva bila ada faktor lokal penyebab penyakit periodontal.
Jurnal penyakit periodontal USU OCW ocw.usu.ac.id di akses pada tanggal 26
Mei
2.2 Patogenesis Penyakit Periodontal
Sebelum ditemukannya elektron canggih, para pakar berpendapat bahwa
bakteri tidak invasi secara aktif ke jaringan periodonsium. Namun dengan
pemeriksaan mikroskop yang canggih, diketahui bahwa bakteri bisa invasi ke
antara sel-sel epitel penyatu dan dinding epitel dari saku, dan diantara jaringan
ikat. Actinobacilus actinomycetem comitans dapat melewati sel-sel epitel dan
masuk ke jaringan ikat di bawahnya, sedangkan porphyromonas gingivalis dapat
berinvasi ke antara sel sel epitel .
- Memproduksi Eksotoksin
Beberapa bakteri plak memproduksi eksotoksin. Actinobacilus
actinomycetem comitans dan camphy lobacter rectus memproduksi eksotoksin
yang diberi nama leukotoksin yang dapat membunuh neutrofil, sehingga
mengganggu mekanisme pertahanan antibakterial yang primer.
- Peranan Kandungannya
Beberapa bahan yang terkandung dalam bakteri gram positif maupun gram
negatif seperti endotoksin,komponen permukaan bakteri, dan komponen kapsular
diduga berperan pada penyakit periodontal. Endotoksin adalah substansi yang
sangat toksik yang mempengaruhi jaringan secara langsung atau dengan jalan
mengaktifkan respon pejamu. Berperannya endotoksin dalam penyakit periodontal
adalah dirasakan pada kemampuannya:
Menyebabkan leukopenia
Mengaktifkan faktor XII (Faktor Hageman), yang mengganggu
koagulasi intra vaskular


13

Mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur alternatif
Memicu fenomena shwartzman yang terlokaliser yang menyebabkan
nekrosis jaringan
Memiliki efek sitotoksik terhadap sel seperti fibroblas
Menginduksi resorpsi tulang
Peptidoglikan yaitu komponen dinding sel yang terdapat pada bakteri gram positif
maupun gram negatif dapat mempengaruhi bebrbagai respon pejamu, termasuk
aktivasi komplemen, aktivitas immunosupresif, stimulasi sistem retikulo
endothelial, dan sifat-sifat mempotensikan immunitas. Disamping itu,
peptidoglikan mampu menstimulasi resorpsi tulang, dan menstimulasi makrofag
untuk menghasilkan prostaglandin dan kolagenase.
- Memproduksi Enzim
Bakteri Plak memproduksi enzym yang turut berperan pada penyakit periodontal.
Enzym tersebut antara lain: Kolagenase, Hyaluronidase, Gelatinase,
Aminopeptidase, Phospolipase dan Phospatase basa dan asam. Kolagenase
berperan dalam degradasi kolagen. Phospolipase berperan dalam perusakan
jaringan superfisial periodonsium. Hyaluronidase mampu mengubah
permeabilitas gingiva.
-Menghindar dari Sistem Imunitas Host
Beberapa faktor bakteri turut membantu dalam menghindari dari pertahanan
pejamu. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi respon immunitas seluler maupun
humoral. Faktor bakterial yang berperan dalam menghindari dari pertahanan
pejamu adalah :
- Menghambat leukosit polimorfonukleus
- Leukotoksin
- Inhibitor Kemotaksis
- Mengurangi fagositosis dan pembunuhan intraseluler
- Mengubah fungsi limfosit
- Endotoksisitas


14

- Degradasi IgA, IgG
- Fibrinolisin
- Dismutasi peroksidase
- Katalase
Plak subgingival dapat terbagi dalam beberapa karakteristik :
a. Tooth Associated subgingival plaque
Bakteri pada plak melekat di permukaan gigi pada sulkus gingiva dan
poket periodontal. Mikroorganisme yang dominan ditemukan adalah
bakteri batang gram positif, seperti streptococcus mitis, S.Sanguis,
Eubacterium, Actinomyces viscosus. Plak ini tidak sampai ke epitel
penghubung pada gingiva akan tetapi memiliki kemungkinan masuk ke
sementum. Plak disertai dengan pembentukan kalkulus dan karies pada
akar gigi.
b. Connective Tissue Associated subgingival plaque
Plak ditemukan di space intercelluler pada stratum spinosum dan
mengalami perpanjangan sampai ke epitel penghubung pada
gingiva. Dapat memasuki epitel dan jaringan connective pada
periodonsium. Plak ini biasanya diikuti dengan terjadinya gingivitis
dan periodontitis.

Tahapan Phatogenesis Gingivitis Berdasarkan Gambaran Histopatologis dan
Perubahan yang Terjafi pada Setiap Tahap Berdasarkan pengamatan
histopatologi,gingivitis dibedakan atas tiga tahapan, yaitu:
Tahap Inisial
Tahap inisial (Initia lesion) merupakan respon inflamasi akut dengan kekhasan
adanya infiltrasi netrofil. Tampak adanya perubahan vaskular, perubahan sel-sel
epitel, dan degradasi kolagen. Perubahan inisial kemungkinan disebabkan oleh:
1. Tertariknya netrofil secara kemotaksis oleh kandungan bakteri.
2. Efek vasodilatasi yang diakibatkan oleh produk bakteri.
3. Aktivasi sistem pertahanan pejamu seperti sistem komplenen dari kinin dan
jalur
asam arahidonat


15

Tahap Dini (early lesion)
Ditandai dengan adanya infiltrat sel limfoid yang didominasi limfosit-T
disertaikehilangan kolagen yang semakin banyak
Tahap Mantap (Established lesion)
Ditandai dari infiltrat yang didominasi oleh limfosit-B dan sel plasma. Kehilangan
kolagen pada tahap ini semakin banyak. Perkembangan lesi dari inflamasi akut
dengan dominasi limfoid (mula-mula sel-T dan sel-B) diduga diatur oleh sitokin
yang bertanggung jawab atas penarikan, diferensiasi dan pertumbuhan tipe sel
yang spesifik sesuai tahapan lesinya. Penyingkiran plak secara tuntas biasanya
disertai redanya lesi gingivitis kronis tanpa ada kerusakan jaringan yang tersisa.

Penjalaran Inflamasi Dari Ginggival Ke Struktur Periodontal Pendukung
(Peralihan Ginggivitis Menjadi Periodontitis)
PATOGENESIS PERIODONTITIS
Penjalaran inflamasi dari gingiva ke struktur periodontal pendukung (atau
peralihan gingivitis menjadi periodontitis) diduga sebagai modifikasi oleh potensi
patogenik plak, atau oleh daya tahan pejamu. Daya tahan pejamu yang dimaksud
disini mencakup : aktifitas imunologis dam mekanisme yang berkaitan dengan
jaringan lainnya seperti derajat fibrosis gingiva, kemungkinan juga lebar gingiva
cekat, dan reaksi fibrogenesis dan osteogenesis yang berlangsung disekitar lesi
inflamasi. Suatu sistem fibrin-fibrinolitik disebut-sebut sebagai berperan
menghambat perluasan lesi.Jalur penjalaran inflamasi sangat penting artinya
karena dapat mempengaruhi pola destruksi tulang pada penyakit periodontal.
Inflamasi gingiva menjalar sepanjang bundel serat kolagen mengikuti lintasan
pembuluh darah (malalui jaringan yang tersusun longgar disekitar pembuluh
darah) sampai ketulang alveolar.
Pada sisi interproksimal inflamasi menjalar melalui jaringan ikat longgar
disekitar pembuluh darah, melewati serabut transeptal, untuk kemudian masuk
ketulang alveolar melalui kanal pembuluh yang menembus krista septum
interdental. Tempat dimana inflamasi menembus tulang adalah tergantung lokasi
kanal pembuluh. Inflamasi bisa masuk keseptum interdental pada bagian tengah
krista, pada sisi krista, atau pada sudut septum. Disamping itu inflamasi bisa


16

masuk ketulang melalui lebih dari satu kanal. Setelah mencapai ruang sum-sum,
inflamasi menuju keligamen periodontal. Dalam keadaan yang jarang, inflamasi
menjalar langsung keligamen periodontal baru ketulang alveolar. Pada sisi
vestibular dan oral, inflamasi dari gingiva menjalar sepanjang permukaan
periosteal sebelah luar dari tulang, dan masuk sum-sum tulang melalui kanal
pembuluh darah pada korteks sebelah luar.
PROSES DESTRUKSI PERIODONTAL




a. Mekanisme Pembentukan Saku Periodontal
Saku periodontal terjadi karena serabut kolagen yang berada persis apical dari
epitel penyatu mengalami penghancuran. Ada dua kemungkinan mekanisme
penghancuran kolagen tersebut:
1. kolagenase dan ensim lisosomal lain dilepas LPN dan makrofag
menghancurkan kolagen
2.fibroblast memfagositosa serabut kolagen dengan cara:
a. menjulurkan processus sitoplasmiknya ke perbatasan ligament periodontal-
sementum
b. meresorpsi fibril kolagen yang tertanam dalam sementum dan fibril matriks
sementum.

b.Mekanisme resorpsi tulang alveolar

Proses resorpsi tulang bisa berlangsung karena aktivitas sel-sel tertentu, mediator
inflamasi seperti PGE2, dan ensim. Dua sel yang terlibat pada resorpsi tulang
adalah:
1. osteoklas, yang menyingkirkan bahan mineral tulang
2. sel mononukleus (monosit), yang berperan dalam degradasi matriks organic
tulang.
peptidoglikan yang merupakan kompenen dinding sel bakteri pada bakteri


17

gram negatif maupun bakteri gram positif juga mampu menstimulasi
resorpsi tulang, dan menstimulasi makrofag untuk menghasilkan
prostaglandin dan kolagenase yang dapat menghancurkan kolagen.

Yang dapat menstimulasi terjadinya resorpsi tulang osteoklastik (disebabkan
aktivitas osteoklas) antara lain:
- endotoksin yang dilepas Bacterioides berpikmen-hitam
- osteoclact activating factor yang sekarang ini termasuk sitokin IL-1
Pembentukan prostaglandin dari prekursornya, misalnya asam arahidonat, diatur
oleh siklooksigenase yang mengubah asam lemak precursor prostaglandin
menjadi endoperoksidase siklik. Ensim proteolitik yang turut berperan dalam
resorpsi tulang antara lain: kolagenase dal hialuronidase. Disamping itu, resorpsi
tulang bisa pula terjadi karena proses reaksi yang berlebihan atau sisi destruktif
dari reaksi imunitas. Reaksi imunitas yang terlibat dalam resorpsi tulang adalah
reaksi imun kompleks dan reaksi yang diperantarai sel (hipersensitivitas lambat).

2.3 Klasifikasi Penyakit Periodontal
1. Penyakit Ginggiva
a. Diinduksi oleh plak
These diseases may occur on a periodontium with no attachment loss or on a
periodontium with attachment loss that is stable and not progressing.
I. Gingivitis associated with dental plaque only
A. Without local contributing factors
B. With local contributing factors (see Box 4-4)
II. Gingival diseases modified by systemic factors
A. Associated with endocrine system
1. Puberty-associated gingivitis
2. Menstrual cycleassociated gingivitis
3. Pregnancy associated
a. Gingivitis


18

b. Pyogenic granuloma
4. Diabetes mellitusassociated gingivitis
B. Associated with blood dyscrasias
1. Leukemia-associated gingivitis
2. Other
III. Gingival diseases modified by medications
A. Drug-influenced gingival diseases
1. Drug-influenced gingival enlargements
2. Drug-influenced gingivitis
a. Oral contraceptiveassociated gingivitis
b. Other
IV. Gingival diseases modified by malnutrition
A. Ascorbic acid deficiency gingivitis
B. Other
b. diinduksi oleh non-plak
I. Gingival diseases of specific bacterial origin
A. Neisseria gonorrhoeae
B. Treponema pallidum
C. Streptococcus species
D. Other
II. Gingival diseases of viral origin
A. Herpesvirus infections
1. Primary herpetic gingivostomatitis
2. Recurrent oral herpes
3. Varicella zoster
B. Other


19

III. Gingival diseases of fungal origin
A. Candida species infections: generalized gingival candidiasis
B. Linear gingival erythema
C. Histoplasmosis
D. Other
IV. Gingival lesions of genetic origin
A. Hereditary gingival fibromatosis
B. Other
V. Gingival manifestations of systemic conditions
A. Mucocutaneous lesions
1. Lichen planus
2. Pemphigoid
3. Pemphigus vulgaris
4. Erythema multiforme
5. Lupus erythematosus
6. Drug induced
7. Other
B. Allergic reactions
1. Dental restorative materials
a. Mercury
b. Nickel
c. Acrylic
d. Other
2. Reactions attributable to:
a. Toothpastes or dentifrices
b. Mouth rinses or mouthwashes


20

c. Chewing gum additives
d. Foods and additives
3. Other
VI. Traumatic lesions (factitious, iatrogenic, or accidental)
A. Chemical injury
B. Physical injury
C. Thermal injury
VII. Foreign body reactions
VIII. Not otherwise specified

2. Periodontitis Kronis

The following characteristics are common to patients with chronic
periodontitis:
Prevalent in adults but can occur in children.
Amount of destruction consistent with local factors.
Associated with a variable microbial pattern.
Subgingival calculus frequently found.
Slow-to-moderate rate of progression with possible periods of rapid
progression.
Possibly modified by or associated with the following:
Systemic diseases such as diabetes mellitus and human
immunodeficiency virus (HIV) infection.
Local factors predisposing to periodontitis.
Environmental factors such as cigarette smoking and emotional stress.
Chronic periodontitis may be further subclassified into localized and
generalized forms and characterized as slight, moderate, or severe based on the
common features described above and the following specific features:


21

Localized form: <30% of sites involved.
Generalized form: >30% of sites involved.
Slight: 1 to 2 mm clinical attachment loss (CAL).
Moderate: 3 to 4 mm CAL.
Severe: 5 mm CAL.
3. Periodontitis Agresif
The following characteristics are common to patients with aggressive
periodontitis:
Otherwise clinically healthy patient.
Rapid attachment loss and bone destruction.
Amount of microbial deposits inconsistent with disease severity.
Familial aggregation of diseased individuals.
The following characteristics are common but not universal:
Diseased sites infected with Actinobacillus actinomycetemcomitans.
Abnormalities in phagocyte function.
Hyperresponsive macrophages, producing increased prostaglandin E2
(PGE2) and interleukin- 1 (IL-1).
In some cases, self-arresting disease progression.
Aggressive periodontitis may be further classified into localized and
generalized forms based on the common features described here and the
following specific features:
a. Localized
Circumpubertal onset of disease.
- Localized first molar or incisor disease with proximal attachment
loss on at least two permanent teeth, one of which is a first molar.
Robust serum antibody response to infecting agents.
b. Generalized
Usually affecting persons under 30 years of age (however, may be older).
Generalized proximal attachment loss affecting at least three teeth other than
first molars and incisors.
Pronounced episodic nature of periodontal destruction.


22

Poor serum antibody response to infecting agents.

4. Periodontitis as a Manifestation of Systemic Diseases
Necrotizing Periodontal Diseases
Necrotizing ulcerative gingivitis (NUG)
Necrotizing ulcerative periodontitis (NUP)
Abscesses of the Periodontium
Gingival abscess
Periodontal abscess
Pericoronal abscess
Periodontitis Associated with Endodontic Lesions
Endodonticperiodontal lesion
Periodontalendodontic lesion
Combined lesion
Periodontitis may be observed as a manifestation of the following
systemic diseases:
1. Hematologic disorders
a. Acquired neutropenia
b. Leukemias
c. Other
2. Genetic disorders
a. Familial and cyclic neutropenia
b. Down syndrome
c. Leukocyte adhesion deficiency syndromes
d. Papillon-Lefvre syndrome
e. Chdiak-Higashi syndrome
f. Histiocytosis syndromes


23

g. Glycogen storage disease
h. Infantile genetic agranulocytosis
i. Cohen syndrome
j. Ehlers-Danlos syndrome (types IV and VIII autosomal dominant
AD])
k. Hypophosphatasia
l. Other
3. Not otherwise specified

5. Developmental or Acquired Deformities and Conditions
a. Localized tooth-related factors that predispose to plaque-induced gingival diseases
or periodontitis
1. Tooth anatomic factors
2. Dental restorations or appliances
3. Root fractures
4. Cervical root resorption and cemental tears
b. Mucogingival deformities and conditions around teeth
1. Gingival or soft tissue recession
a. Facial or lingual surfaces
b. Interproximal (papillary)
2. Lack of keratinized gingiva
3. Decreased vestibular depth
4. Aberrant frenum or muscle position
5. Gingival excess
a. Pseudopocket
b. Inconsistent gingival margin
c. Excessive gingival display
d. Gingival enlargement (see Box 4-2)
e. Abnormal color
c. Mucogingival deformities and conditions on edentulous ridges


24

1. Vertical and/or horizontal ridge deficiency
2. Lack of gingiva or keratinized tissue
3. Gingival or soft tissue enlargements
4. Aberrant frenum or muscle position
5. Decreased vestibular depth
6. Abnormal color
d. Occlusal trauma
1. Primary occlusal trauma
2. Secondary occlusal trauma

2.4 Gejala Penyakit periodontal
Periodontitis kronis
Tampak kemerahan, membekang, terdapat edema pada margin gingival, resesi
gingival, loss of attachment and bone loss, pendarahan spontan ataupun saat
dilakukan probing, terdapat eksudat pada cairan sulkus gingival.

Peridontitis agresif
Terjadi pada orang yang secara klinis sehat, dipengaruhi faktor genetic, pasien
usia 10-30 tahun, loss attachment dan bone loss l3-4x ebih cepat dari kronis,
secara umum memiliki tanda yang hamper sama dengan periodontitis kronis, tidak
tampak plak dalam jumlah besar

Penyakit nekrosis periodontal
Tampak lapisan putih kekuningan/keabu-abuan membentuk seperti kawah pada
papilla marginal gingival, pendarahan saat probing/spontan, terasa nyeri, bau
mulut


25


Lesi periodontal
Loss of attachment dan bone loss, Root exposure, Nekrosis pulpa

Sumber: Caranza periodontology Newman, tesis SKELING DAN TERPINEN-
4-OL TYPE 1% DAPAT MENURUNKAN KADAR KOLAGENASE DAN
IPP LEBIH BANYAK DARIPADA SKELING DAN CHLORHEXIDINE
DIGLUCONATE 0,12% PADA PERIODONTITIS AKIBAT KALKULUS.
PUTU LESTARI SUDIRMAN. UNUD
diagnosis penyakit periodontal terdiri dari analisis sejarah kasus dan evaluasi
tanda dan gejala klinis, sebagai hasil dari beberapa pemeriksaan (misalnya,
evaluasi dengan probe, pemeriksaan kegoyahan gigi, radiografi, tes darah, biopsi)
untuk mengidentifikasi masalah pasien. Diagnosis periodontal menentukan
penyakit pada saat itu, mengidentifikasi jenis penyakitnya, dan menyediakan
pemahaman proses dasar penyakit dan penyebabnya. Diagnosis disusun dengan
sistematik dan teratur untuk tujuan tertentu. Suatu diagnosis tidaklah cukup dari
pengumpulan fakta. Kepingan kepingan temuan harus disatukan sehingga
menjadi penjelasan masalah periodontal pasien
Sumber: (Carranza, 1990)
Secara umum prosedur diagnosa dapat dibagi menjadi empat bagian, antara lain:
(1) melakukan anamnesa dan mencatat riwayat pasien, (2) melakukan
pemeriksaan terhadap pasien (pemeriksaan fisik dan laboratorium), (3) Evaluasi
dari hasil anamnesa dan hasil pemeriksaan fisik serta laboratorium yang akan
menuntun ke arah perumusan suatu diagnosa, (4) Penilaian resiko medis untuk
pasien-pasien gigi
Sumber: (Lynch dkk, 1992).



26

2.5 Metode Penyakit Periodontal
Menurut Carranza (1990), suatu diagnosis penyakit periodontal dapat
ditegakkan melalui diagnosis klinis, radiografi, dan teknik lanjutan.
A. DIAGNOSIS KLINIS
1. Penilaian pasien secara keseluruhan
Seorang operator harus mencoba menilai pasien secara keseluruhan. Hal-hal
yang perlu dipertimbangkan adalah status mental dan emosional pasien,
tabiat, sikap, dan umur fisiologi (Carranza, 1990).
2. Riwayat sistemik
Menurut Carranza (1990), suatu riwayat sistemik akan menolong operator
dalam hal (1) diagnosis manifestasi oral dari penyakit sistemik, (2) penemuan
kondisi sistemik yang dapat mempengaruhi respon jaringan periodontal
terhadap faktor lokal, (3) penemuan kondisi sistemik yang membutuhkan
suatu tindakan pencegahan dan modifikasi dalam perawatannya
3. Riwayat kesehatan gigi
Menurut Carranza (1990), pada saat pengumpulan riwayat kesehatan gigi, harus
ditanyakan pula keluhan utama pasien. Gejala pasien dengan penyakit
gingival dan periodontal berhubungan dengan perdarahan pada gusi,
spacing pada gigi yang sebelumnya tidak ada, bau mulut, dan rasa
gatal pada gusi yang dapat berkurang melalui pencungkilan dengan tusuk
gigi. Selain itu juga terdapat rasa nyeri dengan variasi tipe dan durasi, misalnya
konstan, tumpul, gnawing pain, rasa nyeri yang tumpul setelah makan, rasa
nyeri yang dalam rahang, rasa nyeri akut, sensitif ketika mengunyah, sensitif
terhadap panas dan dingin, sensasi terbakar pada gusi, dan sensitif terhadap udara
yang dihirup.
4. Pemeriksaan rongga mulut
Menurut Carranza (1990), pemeriksaan rongga mulut meliputi oral hygiene, bau
mulut, pemeriksaan rongga mulut, dan pemeriksaan kelenjar getah
bening.
Oral hygiene
Oral hygiene atau kebersihan rongga mulut dinilai dari tingkat akumulasi
debris makanan, plak, material alba, dan stain permukaan gigi. Pemeriksaan
jumlah kualitatif plak dapat membantu menegakkan diagnosis.


27

Bau Mulut
Halitosis atau fetor ex ore atau fetor oris, adalah bau atau aroma
menyengat yang berasal dari rongga mulut. Adanya halitosis dapat membantu
dalam menegakkan diagnosa. Halitosis berhubungan dengan penyakit-
penyakit tertentu, dan dapat berasal dari faktor lokal maupun ekstraoral.
Sumber lokal penyebab halitosis dapat berasal dari impaksi makanan diantara
gigi, coated tongue, acute necrotizing ulcerative gingivitis (ANUG),
dehidrasi, karies, gigi palsu, nafas perokok, dan penyembuhan pasca operasi atau
pencabutan gigi. Karakteristik bau busuk dari ANUG sangat mudah
diidentifikasi. Ekstraoral atau sumber bau mulut yang jauh berasal dari penyakit
atau struktur yang berdekatan berhubungan dengan rhinitis, sinusitis, atau
tonsillitis; penyakit pada paru-paru dan bronkus; dan bau yang dikeluarkan
melalui paru-paru dari substansi aromatik dalam aliran darah seperti metabolit
dari infus makanan atau produk eksretori dari metabolisme sel.
Pemeriksaan Rongga Mulut
Pemeriksaan rongga mulut meliputi bibir, dasar mulut, lidah, palatum, dan daerah
oropharyngeal, serta kualitas dan kuantitas saliva. Walaupun hasil pemeriksaan
tidak berhubungan dengan penyakit peridontal, seorang dokter gigi harus
mendeteksi perubahan patologis yang terjadi.
Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening
Kelenjar getah bening dapat membesar dan/atau mengeras sebagai respon
episode infeksi, metastase malignant, atau perubahan residual fibrotik. Kelenjar
yang inflamasi menjadi membesar, terpalpasi, empuk, dan tidak bergerak.
Acute herpetic gingivostomatitis, ANUG, dan abses periodontal akut
menghasilkan pembesaran kelenjar getah bening.
5. Pemeriksaan gigi
Menurut Carranza (1990), aspek-aspek pada gigi yang diperiksa adalah kariesnya,
perkembangan kecacatan, anomali bentuk gigi, wasting, hipersensitifitas,
dan hubungan kontak proksimal.
Wasting disease of the teeth
Wasting diartikan sebagai pengurangan substansi gigi secara berangsur-
angsur yang terkarakteristik oleh pembentukan permukaan yang halus,
dan mengkilat. Bentuk dari wasting adalah erosi, abrasi, dan atrisi. Erosi
adalah depresi berbentuk baji pada daerah servik permukaan fasial gigi. Abrasi
adalah hilangnya substansi gigi yang disebabkan oleh penggunaan


28

mekanis mastikasi. Atrisi adalah terkikisnya permukaan oklusal akibat kontak
fungsional dengan gigi antagonis.
Dental Stains
Dental stains adalah deposit yang terpigmentasi pada gigi. Dental stain
harus diperiksa dengan teliti untuk menentukan penyebabnya.
Hipersensitifitas
Akar gigi yang terbuka akibat resesi gingiva menjadi sensitif terhadap perubahan
suhu atau stimulasi taktil. Pasien sering menunjuk langsung lokasi yang sensitif.
Hipersensitifitas dapat diketahui melalui eksplorasi dengan probe atau udara
dingin.
Hubungan kontak proksimal
Terbukanya kontak yang tipis menyebabkan impaksi makanan. Hal ini dapat
dicek melalui obeservasi klinis dan dengan dental floss.
Kegoyahan gigi
Kegoyahan gigi dapat diperiksa secara klinis dengan cara: gigi dipegang
dengan kuat diantara dua instrumen atau dengan satu instrumen dan satu jari, dan
diberikan sebuah usaha untuk menggerakkannya ke segala arah (Carranza, 1990).
Trauma dari oklusi
Trauma dari oklusi mengacu pada luka jaringan yang diakibatkan
tekanan oklusal. Tanda pada jaringan periodontal yang dicurigai sebagai
akibat adanya trauma dari oklusi antara lain: kegoyangan gigi yang
berlebihan; pada gambar radiografi terlihat jarak periodontal yang melebar;
kerusakan tulang vertikal atau angular; poket infraboni; dan migrasi patologis,
terutama pada gigi anterior. Tanda lainnya yang dicurigai adanya hubungan
oklusal yang abnormal adalah migrasi gigi anterior yang patologis (Carranza,
1990).
Migrasi gigi yang patologis
Kontak prematur pada gigi posterior yang membelokkan mandibula ke arah
anterior ikut berperan serta terhadap rusaknya periodonsium gigi maksila bagian
anterior dan terhadap migrasi patologis. Migrasi patologis gigi anterior pada
orang muda mungkin sebagai tanda adanya localized juvenile
periodontitis (Carranza, 1990).
Sensitifitas terhadap perkusi


29

Sensitifitas terhadap perkusi merupakan ciri adanya inflamasi akut pada
ligamen periodontal. Perkusi yang keras pada gigi dengan sudut yang berbeda
terhadap aksis gigi membantu menentukan lokasi yang terlibat inflamasi
(Carranza, 1990).
Keadaan gigi pada saat rahang tertutup
Pemeriksaan keadaan gigi pada saat rahang tertutup tidak memberikan informansi
seperti saat pemeriksaan rahang ketika berfungsi, namun pemeriksaan ini
dapat menunjukkan kondisi peridontal. Gigi yang tersusun secara ireguler,
gigi yang ekstrusi, kontak proksimal yang tidak tepat, dan daerah impaksi
makanan merupakan faktor yang mendukung akumulasi bakteri plak.
Misalnya pada kasus hubungan open bite, dimana terdapat celah yang abnormal
antara maksila dan mandibula. Kurangnya pembersihan mekanis oleh
jalan lintas makanan, dapat menyebabkan akumulasi debris, pembentukan
kalkulus, dan ekstrusi gigi (Carranza, 1990).
6. Pemeriksaan periodonsium
Pemeriksaan periodonsium harus sistematik, dimulai dari regio molar baik pada
maksilla maupun mandibula kemudian diteruskan ke seluruh rahang.
Semua temuan pada pemeriksaan periodonsium ini dicatat pada
periodontal chart sehingga berguna sebagai catatan kondisi pasien dan untuk
evaluasi respon pasien terhadap perawatan. Hal-hal yang perlu dilakukan pada
tahap ini adalah pemeriksaan plak dan kalkulus, gingiva, poket periodontal,
penentuan aktivitas penyakit, jumlah gingiva cekat, alveolar bone loss,
palpasi, supurasi, dan abses peridontal (Carranza, 1990).
Plak dan Kalkulus
Pemeriksaan jumlah plak dan kalkulus dapat dilakukan melalui berbagai
macam metode. Pemeriksaan plak dapat menggunakan plak indeks. Jaringan
yang mengelilingi gigi dibagi menjadi 4 bagian, yaitu papilla distofasial,
margin fasial, papilla mesiofasial, dan bagian lingual (Carranza, 1990)
Adanya kalkulus supragingiva dapat terlihat melalui observasi langsung,
dan jumlahnya dapat diukur dengan probe yang terkalibrasi. Untuk mendeteksi
kalkulus subgingiva, setiap permukaan gigi diperiksa hingga batas perlekatan
gingiva dengan menggunakan eksplorer no.17 atau no.3A. Udara yang hangat
dapat digunakan untuk sedikit membuka gingiva sehingga visualisasi
terhadap kalkulus lebih jelas (Carranza, 1990).
Gingiva


30

Gingiva harus dikeringkan terlebih dahulu untuk mendapatkan observasi
yang akurat. Selain melalui pemeriksaan secara visual dan eksplorasi
dengan instrumen, pemeriksaan dilakukan dengan palpasi yang erat namun halus.
Hal ini dilakukan untuk mendeteksi kelainan patologis pada kelentingan
normal dan mengetahui lokasi pembentukan pus. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan pada saat pemeriksaan gingiva antara lain: warna, ukuran,
kontur, konsistensi, tekstur permukaan, posisi, kemudahan untuk berdarah,
dan rasa nyeri. Dari pemeriksaan klinis, inflamasi gingiva menghasilkan dua
respon dasar jaringan, yaitu edematous dan fibrotik. Respon jaringan yang
edematous memiliki karakteristik halus, glossy, halus dan gingiva
berwarna merah. Respon jaringan yang fibrotik memiliki karakteristik seerti
gingiva normal namun lebih kuat, berstippling, dan opaque, walaupun
terkadang lebih tebal dan marginnya terlihat membulat.
Poket Periodontal
Pemeriksaan poket periodontal harus mempertimbangkan: keberadaan dan
distribusi pada semua permukaan gigi, kedalaman poket, batas perlekatan pada
akar gigi, dan tipe poket (supraboni atau infaboni; simple, compound atau
kompleks). Metode satu-satunya yang paling akurat untuk mendeteksi poket
peridontal adalah eksplorasi menggunakan probe peridontal. Poket tidak
terdeteksi oleh pemeriksaan radiografi. Periodontal poket adalah perubahan
jaringan lunak. Radiografi menunjukkan area yang kehilangan tulang dimana
dicurigai adanya poket. Radiografi tidak menunjukkan kedalaman poket
sehingga radiografi tidak menunjukkan perbedaan antara sebelum dan sesudah
penyisihan poket kecuali kalau tulangnya sudah diperbaiki. Ujung gutta
percha atau ujung perak yang terkalibrasi dapat digunakan dengan radiografiuntuk
menentukan tingkat perlekatan poket peridontal.
Menurut Carranza (1990), kedalaman poket dibedakan menjadi dua jenis,
antara lain:
1. Kedalaman biologis
Kedalaman biologis adalah jarak antara margin gingiva dengan dasar
poket (ujung koronal dari junctional epithelium).
2. Kedalaman klinis atau kedalaman probing
Kedalaman klinis adalah jarak dimana sebuah instrumen ad hoc (probe) masuk
kedalam poket. Kedalaman penetrasi probe tergantung pada ukurang
probe, gaya yang diberikan, arah penetrasi, resistansi jaringan, dan
kecembungan mahkota.


31

Kedalaman penetrasi probe dari apeks jaringan ikat ke junctional
epithelium adalah 0.3 mm. Gaya tekan pada probe yang dapat ditoleransi
dan akurat adalah 0.75 N. Teknik probing yang benar adalah probe
dimasukkan pararel dengan aksis vertikal gigi dan berjalan secara
sirkumferensial mengelilingi permukaan setiap gigi untuk mendeteksi daerah
dengan penetrasi terdalam (Carranza, 1990. Untuk mendeteksi adanya
interdental craters, maka probe diletakkan secara oblique baik dari
permukaan fasial dan lingual sehingga dapat mengekplorasi titik terdalam
pada poket yang terletak dibawah titik kontak (Carranza, 1990). Pada gigi
berakar jamak harus diperiksa dengan teliti adanya keterlibatan furkasi.
Probe dengan desain khusus (Nabers probe) memudahkan dan lebih akurat untuk
mengekplorasi komponen horizontal pada lesi furkasi (Carranza, 1990).
Selain kedalaman poket, hal lain yang penting dalam diagnostik adalah penentuan
tingkat perlekatan (level of attachment). Kedalaman poket adalah jarak antara
dasar poket dan margin gingiva. Kedalaman poket dapat berubah dari waktu ke
waktu walaupun pada kasus yang tidak dirawat sehingga posisi margin gingiva
pun berubah. Poket yang dangkal pada 1/3 apikal akar memiliki
kerusakan yang lebih parah dibandingkan dengan poket dalam yang melekat
pada 1/3 koronal akar. Cara untuk menentukan tingkat perlekatan adalah
pada saat margin gingiva berada pada mahkota anatomis, tingkat
perlekatan ditentukan dengan mengurangi kedalaman poket dengan jarak
antara margin gingiva hingga cemento-enamel junction (Carranza, 1990).
Insersi probe pada dasar poket akan mengeluarkan darah apabila gingiva
mengalami inflamasi dan epithelium poket atrofi atau terulserasi. Untuk
mengecek perdarahan setelah probing, probe perlahan-lahan dumasukkan
ke dasar poket dan dengan berpindah sepanjang dinding poket. Perdarahan
seringkali muncul segera setelah penarikan probe, namun perdarahan juga
sering tertunda hingga 30-60 detik setelah probing (Carranza, 1990).
Penentuan aktivitas penyakit
Penentuan kedalaman poket dan tingkat perlekatan tidak memberikan informasi
apakah lesi tersebut berada dalam kondisi aktif atau inaktif. Suatu lesi inaktif
menunjukkan tidak sama sekali atau sedikit perdarahan pada probing dan
jumlah cairan gingiva yang minimal; flora bakteri didominasi oleh bentuk sel
coccoid. Lesi yang aktif berdarah lebih cepat saat probing dan memiliki sejumlah
cairan dan eksudat; bakteri yang dominan adalah spirochetes dan motile.
Pada kasus localized juvenile periodontitis, baik progressing dan
nonprogressing, tidak memiliki perbedaan tempat saat bleeding on
probing. Penentuan aktivitas yang cermat akan langsung mempengaruhi
dignosis, prognosis, dan terapi (Carranza, 1990).


32

Jumlah Gingiva Cekat
Menurut Carranza (1990), lebar gingiva cekat adalah jarak antara
mucogingival junction dan proyeksi pada permukaan eksternal dari
dasar sulkus gingiva atau poket peridontal. Lebar gingiva cekat ditentukan
dengan mengurangi kedalaman sulkus atau poket dari kedalaman total gingiva
(margin gingiva hingga garis mucogingival).
Alveolar Bone Loss
Menurut Carranza (1990), alveolar bone loss dievaluasi melalui
pemeriksaan klinis dan radiografi. Probing berguna untuk menentukan tinggi dan
kontur tulang bagian fasial dan lingual yang kabur pada radiograf akibat
kepadatan akar dan untuk menentukan arsitektur tulang interdental. Pada
daerah yang teranestesi, informasi arsitektur tulang dapat diperoleh dengan
melakukan transgingival probing.
Palpasi
Palpasi mukosa oral pada daerah lateral dan apikal gigi dapat
membantu untuk menunjuk tempat asal rasa nyeri yang tidak dapat
ditunjukkan oleh pasien. Palpasi juga dapat mendeteksi infeksi jauh didalam
jaringan peridontal dan tahap awal abses peridontal (Carranza, 1990).
Abses Periodontal
Abses peridontal adalah akumulasi pus yang terlokalisasi dalam dinding
gingiva pada poket peridontal. Abses periodontal dapat akut dan kronis.
Peridontal abses akut terlihat sebagai peninggian ovoid pada gingiva sepanjang
aspek lateral akar. Gingiva terlihat edematous dan merah, dengan permukaan
yang halus dan mengkilat. Bentuk dan konsistensi pada area yang meninggi
bervariasi; bisa berbentuk seperti kubah, agak keras, dan halus.
Seringkali pasien memiliki gejala peridontal abses akut tanpa tanda klinis dan
radiografi yang terlihat. Peridontal abses akut memiliki gejala seperti
rasa nyeri berdenyut, sensitif terhadap palpasi gigi, kegoyangan gigi,
lymphadenitis, dan sedikit tanda sistematik seperti demam, leukositosis, dan
malaise. Abses peridontal kronis terlihat sebagai sinus yang membuka ke arah
mukosa gingiva sepanjang akar gigi. Abses peridontal kronis biasanya
asimptomatik. Pasien seringkali mengeluhkan rasa nyeri yang tumpul, sedikit
peninggian pada gigi, dan keinginan untuk menggigit dan menggesekkan gigi
(Carranza, 1990).
B. GAMBARAN RADIOGRAFI


33

Radiograf merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosa penyakit periodontal, tetapi radiograf semata tidak
dapat menentukan diagnosa. Beberapa persyaratan umum dalam
pemeriksaan radiografik yang lengkap, yaitu:
1. Rangkaian film yang dibuat, meliputi:
a) Rangkaian foto rontgen periapikal seluruh gigi (full-mouth)
b) Empat foto rontgen sayap gigit periodontal
c) Foto panoramik sebagai tambahan
2. Kualitas foto rontgen yang baik, melipuit densitas, kontras dan pengambilan
sudut yang tepat, serta harus mencakup seluruh detail anatomi daerah yang
dimaksud.
Gambaran yang diperoleh dari foto rontgen, antara lain:
1. Morfologi dan panjang akar
2. Perbandingan mahkota : akar klinis
3. Perkiraan banyaknya kerusakan tulang
4. Hubungan antara sinus maksillaris dengan kelainan bentuk jaringan
periodontal
5. Resorpsi tulang horizontal dan vertikal pada puncak tulang interproksimal.
Harus diingat bahwa tinggi tulang interseptal yang normal biasanya sejajar
dan sekitar 1-2 mm lebih ke apikal bila dibandingkan dengan garis khayal yang
ditarik melalui pertemuan sementoemail gigi-gigi.
6. Pelebaran ruang ligamen periodonsium di daerah mesial dan distal akar.
7. Keterlibatan furkasi tingkat lanjut
8. Kelaianan periapeks
9. Kalkulus
10. Restorasi yang mengemper (overhang)
11. Fraktur akar
12. Karies
13. Resorpsi akar


34

Radiografi tidak dapat memperlihatkan aktivitas penyakit, tetapi dapat
menunjukkan efek penyakit. Hal-hal yang tidak dapat ditunjukan rontgen adalah
1. Ada atau tidaknya poket
2. Morfologi kelainan bentuk tulang yang pasti, khususnya cacat uang berliiku-
liku, dehisensi, dan fenestrasi
3. Kegoyangan gigi
4. Posisi dan kondisi prosesus alveolar di permukaan fasial dan lingual
5. Keterlibatan furkasi tahap awal
6. Tingkat perlekatan jaringan ikat dan epitel jungsional
C. ADVANCE TECHNIQUE
Advance technique diagnostik merupakan pengembangan teknik atau
teknik lanjutan yang digunakan untuk mendiagnosa suatu penyakit, misalnya:
1. Pemeriksaan tingkat inflamasi gingiva.
Pada pemeriksaan klinis, tingkat inflamasi gingiva hanya dilihat berdasarkan
kondisi klinis melalui tanda kemerahan, bengkak dan perdarahan. Namun saat ini
tingkat inflamasi gingiva dapat diketahui dengan pengukuran aliran cairan
crevicular gingiva. Cairan clevicular gingiva dikumpulkan dengan
microcapillary tubes dan dengan menempatkan filter paper strips pada celah jalan
masuk dan mengukur jumlah cairan yang meresap dalam filter paper. Selajutnya
pengukuran dapat dilakukan dengan ninhydrin area methode (NAM) atau dengan
alat elektronik, Periotron 6000 (Carranza, 1990).
2. Pemeriksaan kedalaman poket dengan electronic periodontal probe
Menurut Carranza (1990), kelebihan electronic periodontal probe dibandingkan
periodontal probe klasik, antara lain:
a) Presisi hingga 0.1 mm
b) Jangkauan hingga 10 mm
c) Tekanan saat probing yang konstan
d) Non-invasif, ringan, dan nyaman digunakan
e) Dapat mengakses seluruh lokasi pada semua gigi
f) Sistem panduan untuk menjamin angulasi probe


35

g) Tidak terdapat bahaya material dan shok elektris
h) Output digital
3. Xeroradiography
Xeroradiography adalah sistem penggambaran menggunakan proses duplikasi
xerographic untuk merekam gambaran x-ray. Jika dibandingkan dengan
radiografi intraoral, hasil xeroradiography menunjukkan gambar yang lebih
bagus, terutama pada struktur yang tajam seperti trabekula dan daerah dengan
perbedaan kepadatan misalnya jaringan lunak. Dengan hasil gambar yang
lebih bagus, maka memudahkan operator untuk menilai kerusakan tulang yang
berhubungan dengan periodontitis (Carranza, 1990).
4. ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay)
ELISA digunakan untuk mendeteksi antigen atau antibodi. ELISA terutama
digunakan untuk menentukan serum antibodi pada periodontophatogen
(Carranza, 1990).

2.6 Dampak Penyakit Periodontal
Dampak yang ditimbulkan apabila tidak dilakukan perawatan / dibiarkan
saja ketika terjadi infeksi jaringan periodontal maka :
- Resesi gigi / gigi nampak terlihat panjang
- Bone loss , karena akibat dari proses reabsorbsi
- Dapat menimbulkan penyakit sistemik seperti penyakit jantug koroner
- Diastem gigi








36













PENUTUP
BAB III
3.1 Kesimpulan
Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit yang
sangatmeluas dalam kehidupan masyarakat, sehingga mereka
menganggap penyakit ini sebagai sesuatu yang tidak terhindari.
Seperti karies gigi, penyakit periodontal juga lambat
perkembangannya dan apabila tidak dirawat dapat menyebabkan
kehilangan gigi. Namun, studi epidemiologi menunjukkan bahwa
penyakit ini dapat dicegah dengan pembersihan plak dengan sikat gigi
teratur serta menyingkirkan karang gigi apabila ada.


37

Penyakit periodontal diawali dengan penyakit ginggivitis lalu
ketika sudah terjadi loss of attachment maka penyakit ini sudah
tergolong periodontitis . penyakit periodontitis dapat menjalar ke
seluruh jaringan tubuh , dapat dimungkinkan apabila penyakit
periodontitis menjadi salahsatu penyebab terjadinya penyakit sistemik
seperti jantung koroner .







DAFTAR PUSTAKA

Carranza FA, Newman MG.1996;Clinicaln Periodontology.8th
ed.Philadelphia:WB. Saunders Co
Manson JD, Elley BM.1993.Buku Ajar Periodonti.Edisi ke-
2.Jakarta:Hipocrates
Newman MG, Takei HH, Carranza FA.2002.Carranzas Clinical
Periodontology.9th ed.Philadelphia:WB. Saunders Co
Robbins, Cotran.2008.Buku Saku Dasar Patologis Penyakit.Edisi
ke-7.Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai