Anda di halaman 1dari 316

70 Tahun Prof.

Soetandyo Wignjosoebroto









H u k u m
Paradigma, Metode dan Masalah








Soetandyo Wignjosoebroto













ELSAM dan HUMA


@ Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Masalah




Tim Editor
Ifdhal Kasim (Editor Utama)
Winarno Yudho
Sandra Moniaga
Noer Fauzi
Ricardo Simarmata
Eddie Sius RL.

Desain Sampul


Tata Letak


Cetakan Pertama, November 2002

Hak penerbitan ada pada ELSAM dan HUMA

Penerbit
1. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
J l. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, J akarta 12510
Tlp. (021) 797 2662, 7919 2564. Faks (021) 7919 2519
Email: elsam@nusa.or.id, advokasi@rad.net.id Website: http://www.elsam.or.id

2. Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HUMA)



DAFTAR ISI


Pengantar Penerbit
Daftar Isi
Pendahuluan

Bagian Pertama
Menyemai Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial
dalam Mempelajari dan Memahami Hukum

1. Optik Sosiologi Hukum dalam Mempelajari Hukum

2. Para Perintis Sosiologi Hukum dari Masa Belahan Akhir Abad
19 dan Awal Abad 20: Dari Alam Pemikiran Eropa Barat ke
Amerika Serikat
A. Alam Pemikiran Eropa Barat
B. Alam Pemikiran Amerika Serikat

3. Topik-Topik Terpilih Sosiologi Hukum: Suatu Tawaran untuk
Perbincangan

4. Perkembangan Pemikiran dalam Sosiologi Hukum sebagai
Respon atas Perkembangan Sosial-Politik

Bagian Kedua
Paradigma, Ancangan Konsep, Teori dan
Metodologi dalam Kajian Hukum


5. Perubahan Paradigma dalam Ilmu Hukum pada Masa Peralihan
Milenium

6. Ilmu Hukum dan Ilmu Sosial tentang Hukum: Perbedaan
Konsepsi dan Konsekuensi Metodenya

7. Penggunaan Metodologi Penelitian Menurut Tradisi Sains dalam
Ilmu Hukum dan Ilmu-Ilmu Sosial: Perbincangan tentang
Masalah Teknis-Operasionalnya

8. Mempelajari dan Memahami Hukum sebagai Realitas Sosial:
Metode Penelitian

9. Konsep dan Teori yang Disebut Hukum: Pendekatan Makro
(Struktural) dan Pendekatan Mikro (Simbolis-Interaksional)

10. Paradigma Penelitian Kualitatif dan Konsekuensinya dalam
Strategi Pelaksanaannya (Sebagaimana Dicontohkan dalam
Grounded Theory)

11. Hukum dan Pemaknaannya Menurut Pengalaman Kebahasaan
Para Penggunanya: Pengantar ke Arah Kajian Hukum dengan
Pendekatan Semiotika


Bagian Ketiga
Hukum dan Perkembangannya yang Seiring dengan
Dinamika Perkembangan Sosial-Politik


12. Transplantasi Hukum ke Negara-Negara yang Tengah
Berkembang, Khususnya Indonesia

13. Pembangungan Hukum Nasional: Tantangan bagi Pemimpin
Lokal

14. Perkembangan Hukum dan Perkembangan Bisnis

15. Masalah Pluralisme dalam Sistem Hukum Nasional

16. Perkembangan Profesi Hukum di Indonesia

17. Fungsi Paralegal dalam Tinjauan Sosio-Historis

18. Pembaruan Hukum untuk Menggalang Kehidupan Masyarakat
Indonesia Baru yang Berperikemanusiaan dan Berkeadilan

19. Membangun Budaya Hukum dalam Pembangunan Hukum



Bagian Keempat
Aspek-Aspek Sosio-Legal Konstitusionalisme, Supremasi
Hukum dan Hak Asasi Manusia


20. Konstitusi dan Konstitusionalisme

21. Hak-Hak Asasi Manusia Konstitusionalisme: Hubungan antara
Masyarakat dan Negara

22. Hak-Hak Asasi Manusia dan Persoalan Hak-Hak Kebebasan
Warga Negara

23. Doktrin Supremasi Hukum: Sebuah Tinjauan Kritis dari
Perspektif Historis Mengenai Perkembangan Hukum Barat

24. Hukum di Bawah Kuasa Paradigma Liberalisme

25. Doktrin Apakah Sesungguhnya yang Terkandung dalam Istilah
Negara Hukum?



Bagian Kelima
Masyarakat Warga, Kebangsaan, Demokrasi dan
Penegasan Kembali Reformasi


26. Dari Masyarakat Kawula-Gusti dalam Old Society ke Masyarakat
Warga dalam New State

27. Konsep Kewarganegaraan dalam Kehidupan Bernegara Bangsa:
Sebuah Penjelasan Ringkas

28. Aspirasi Warga Masyarakat dalam Kehidupan Bernegara

29. Wawasan Kebangsaan dalam Kehidupan Bernegara: Sebuah
Kerangka Pemikiran Teoretis

30. Demokrasi, Demokratisasi, dan Usaha Memberdayakan
Masyarakat di Hadapan Kekuasaan Negara

31. Perkembangan Demokrasi dalam Kehidupan Berbangsa di
Tengah Perkembagan Kehidupan Global

32. Paham Kebangsaan dalam Suatu Masyarakat yang Majemuk
dan Perannya sebagai Kekuatan Pengintegrasi

33. Dilema Nasionalisme pada Peralihan Milenium: Reaktualisasi
Nilai-Nilai Budaya demi Integritas Bangsa, Kasus Indonesia

34. Reformasi Kehidupan Berbangsa demi Terselenggaranya
Pembangungan yang Lebih Berwawasan Kerakyatan dan
Kemanusiaan

35. Reformasi sebagai Proses Pemaknaan Ulang Konstitusi (DAri
Fungsi Pelegitimasi Kekuasaan Negara ke Fungsi Pelegitimasi
Hak-Hak Asasi Manusia Warga Negara)


Pengantar Penerbit

Serva ordinem et ordo servabit te. Ini adalah pepatah Latin kuno yang secara harfiah
berarti layanilah peraturan maka peraturan pun akan melayanimu. Itu berarti ada
internalisasi nilai-nilai yang termaktub dalam peraturan dalam berbagai bentuknya.
Persoalannya, dari manakah asalnya nilai-nilai itu? Dari alam ide atau dari realitas
empiris? Yang mana yang diakui sebagai benar, yang berasal dari dunia ide entah
berentah ataukah yang berasal dari dunia real-empiris? Mengapa sebuah nilai diakui
sebagai norma yang mengikat dan mengapa yang lain tidak?

Itulah beberapa di antara berbagai masalah yang menggelisahkan ilmu hukum yang
anehnya tak bisa dicarikan jawabannya oleh ilmu hukum itu sendiri. Ia membutuhkan
ilmu dan perspektif lain untuk mendapatkan jawabannya, semisal sosiologi dan filsafat
bahkan logika dan psikologi yang kemudian melahirkan ilmu-ilmu baru semisal
sosiologi hukum, filsafat hukum dan psikologi hukum. Kecenderungan ini kemudian
melahirkan kegelisahan bagi ilmuwan hukum yang mapan alias positivis serta
penganut paham legisme dan formalisme. Profesor Soetandyo Wignjosoebroto adalah
satu di antara sedikit ilmuwan hukum beraliran kritis dan non-positivis di Indonesia.
Pemikiran-pemikirannya di satu sisi sangat menantang dan mencerahkan, tetapi di sisi
lain sangat sulit didapatkan karena profesor yang satu ini jarang menuliskan
pemikirannya dalam bentuk sebuah buku utuh; pemikiran-pemikiran briliannya tersebar
dalam bentuk hand out kuliah, esai untuk bahan seminar, training, lokakarya pertemuan
para pakar, dsb. Beruntung bagi yang memiliki akses langsung pada beliau. Bagi yang
tidak, sangat susah mendapatkan beberapa tulisannya. Perlulah kiranya kami
mengetengahkan sebuah kisah tentang hal itu.

Ketika kami sedang berupaya memilah-milah naskah beliau yang jumlahnya ratusan
untuk diterbitkan, seorang kandidat doktor dari Universitas Indonesia menghubungi
kami untuk meminta beberapa tulisan beliau yang menurut kandidat doktor tadi
dianjurkan promotornya sebagai pustaka utama. Bayangkan! Selama ini kata pustaka
utama melekat dalam pikiran kita sebagai buku utuh yang sudah menjadi pegangan
resmi dan bacaan wajib para pakar dan mahasiswa. Ini tidak! Pustaka utama-nya
adalah sekumpulan naskah lepas yang barangkali akan segera dilupakan. Sungguh kisah
ini menjadi energy drink bagi kami yang memang sedang dalam proses menggarap buku
ini. Kekaguman yang bertambah ini mempertegas motivasi awal kami menerbitkan buku
ini.

Memang, rencana menerbitkan buku ini sebagai sebentuk kado ulang tahun untuk
Bapak sudah sejak lama direncanakan oleh teman-teman ELSAM terutama dari bagian
Program Hukum dan Masyarakat (yang sekarang kemudian menjadi lembaga tersendiri
dengan nama HuMa). Waktu itu, motivasinya barangkali murni kado diimbuhi sedikit
ambisi untuk mendiseminasikan berbagai gagasan segar dan pemikiran tajam dari
profesor kita ini. Seiring perjalan waktu, terutama selama proses penggarapannya,
terbersit dan terlontar decak atas daya intelektualitas beliau serta penyesalan tak kunjung
habis yang mungkin muncul jika berbagai pemikiran beliau ini tidak dipublikasikan
untuk kalangan yang lebih luas dari daya jangkaunya selama ini yang hanya terbatas
pada lingkungan akademis tertentu, kesempatan olah-intelektual tertentu, dan
lingkungan pemikir-pemikir kritis muda yang kebanyakan tersebar di lembaga-lembaga
ornop dan kampus tertentu. J adilah, kerja menjadikan beberapa di antara begitu banyak
tuangan pemikiran beliau sebagai sebuah buku penuh dengan kegembiraan dan letupan-
letupan nikmat intelektual terutama karena kedahagaan kami akan karya intelektual yang
berbobot yang sayangnya masih sangat minim di negeri ini.

Nah, berbagai kumpulan tulisan dalam buku ini yang kemudian terkesan bukan lagi
sebuah antologi, karena dijalin dengan begitu apik oleh tim editor termasuk penulisnya
sendiri mencoba menawarkan bukan jawaban final atas berbagai permasalahan hukum
dan masyarakat di mana dan untuk apa hukum itu ada, melainkan terutama sebuah cara
menjawab. Kita toh mengerti betul mengikuti Plato yang mementingkan cara bertanya
yang baik dan benar untuk melahirkan pengetahuan yang sejati bahwa cara menjawab
yang salah dengan sendirinya akan melahirkan jawaban yang salah pula. Artinya, di sini
yang berperan adalah soal perspektif, metode, paradigma, dan logikanya. Sebagai
seorang intelektual kritis tanpa harus kiri, Profesor Soetandyo Wignjosoebroto
mengajak Anda untuk bertamasya ke alam rasio yang serius tetapi mengasyikkan
karena dari sana Anda bisa menyaksikan dunia dengan lebih cerah dan penuh optimis.
Lectori salutem!


J akarta, 19 November 2002
PENGANTAR: CATATAN
PEMBUKA DARI PENYUNTING


Sebuah Awalan


PENGGALAN kisah yang disadur oleh Prof. Soetandyo Wignjosoebroto dari novel terkenal Les
Moserables yang ditulis pengarang terkenal di masanya, Victor Hugo, yang disajikan di bawah
ini, barangkali bisa menjadi semacam pengantar untuk memahami untaian pemikiran Prof.
Soetandyo yang terhimpun di dalam buku ini. Marilah kita ikuti sejenak kisahnya:
Alkisah ada seorang ayah, seorang pengangguran korban PHK yang malang dan melarat,
yang -karena mendengar tangis anak bayinya semalam suntuk- tidak bisa menahan diri
lagi untuk tidak pergi keluar dengan niat untuk mencuri roti. Anak bayi itu sungguh lapar
karena air susu ibunya sudah tidak bisa keluar lagi. Betapa tidak? Si ibu itu sendiri sudah
tiga hari ini tidak makan. Tidak ada kecuali rotipun -remah-remahnya saja juga tidak-
yang tersisa di rumah.
Ayah yang nekat itu menuju ke sebuah toko roti di pojok jalan. Terlihat beberapa
bongkah roti teronggok di belakang kaca estalase. Dipecahnya kaca itu, dan diambil
sebongkah roti, dan segera saja ia larikan pulang. Untuk isteri! Ya, demi anak!
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Bunyi kaca estalase yang pecah
mengundang dengan segera datang seorang polisi ke tempat kejadian. Segera saja polisi
itu mengejar si ayah yang tengah melarikan roti itu. Roti memang sempat diterima si ibu.
Akan tetapi belum sempat si ibu itu memasukkan roti ke mulutnya yang telah terlanjur
menganga, keburu datanglah polisi itu. Polisi merenggut dan merebut roti itu dari tangan
si ibu.
Sekalipun si ibu dan si ayah itu mengiba-iba, dan jerit tangis si anak tidak ada kunjung
redanya, polisi itu tetap saja dengan tegar mengamankan roti itu sebagai barang bukti
telah terjadinya pencurian, dengan si ayah itu sebagai terdakwanya. Bukankah hukum itu
harus ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh? Lagi pula, bukankah pernah ada perintah
Allah 'janganlah kamu mencuri'?
Arkian, polisi meneruskan tugas kewajibannya untuk memproses perkara pencurian itu,
dan menyeret sang ayah ke meja hijau. Hakim pun secara konsekuen menjatuhkan pidana
sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Pidana yang berlaku, yang berbunyi
barang siapa mengambil barang milik orang lain, akan dipidana penjara dengan kerja
paksa karena suatu perbuatan pencurian, setinggi-tingginya enam tahun. Apabila barang
yang diambil itu merupakan barang produksi atau barang dagangan, maka pidana penjara
itu akan diperberat dengan tambahan sepertiganya. Maka si ayah pun terpisah dengan
paksa dari anak-istrinya, karena harus menjalani hukum selama delapan tahun lamanya.
Dibaca sekilas memang tidak ada yang istimewa dari penggalan kisah di atas: bukankah sudah
seharusnya seorang pencuri ditangkap dan diajukan ke meja hijau? Lalu mengapa begitu
istimewa bagi Prof. Soetandyo? Hal inilah yang ingin diungkapkannya melalui tulisan-tulisannya
yang sudah mulai dikenal oleh komunitas akademis di Indonesia pada tahun 1970-an, yaitu
memperkenalkan pendekatan ilmu-ilmu sosial (sosiologi) dalam mempelajari dan memahami
hukum. Kisah tentang pencuri dalam novel Les Moserables di atas, apabila dilihat dari kacamata
Jurisprudence (ilmu hukum) semata, terutama mazhab yang lebih menitikberatkan pada seni
menemukan dan menerapkan aturan-aturan dalam suatu kasus (in concreto) -yang dikenal
dengan mazhab positivisme, si ayah jelas bersalah telah melakukan pencurian walaupun
dilakukannya secara terpaksa demi menyelamatkan hidup anak-istrinya. Tetapi bila dilihat dari
kacamata sosiologi hukum, maka kisah tersebut bisa bermakna lain. Sosiologi hukum tidak
berurusan dengan law as what ought to be, tetapi berurusan dengan pertanyaan law as what it is
(functioning) in society.

Kisah Les Moserables itu sekaligus dapat menggambarkan pula orientasi intelektual Prof.
Soetandyo. Seperti diketahui, dalam karir akademisnya ia tidak hanya sibuk bekerja di menara
gading universitasnya, tetapi juga berusaha terlibat dengan persoalan-persoalan riel
masyarakatnya. Disinilah terlihat concern-nya yang besar pada kaum marginal yang
terpinggirkan itu. Apakah itu kaum miskin kota, kaum buruh, atau bahkan masyarakat adat yang
terpencil di pelosok-pelosok nusantara. Ketika ia menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM), keprihatinannya terhadap masalah-masalah yang dihadapi kaum
marginal tersebut menjadi lebih mudah disuarakannya. Begitu pula dengan keterlibatannya di
dalam berbagai kegiatan seminar atau lokakarya yang diadakan oleh berbagai Organisasi
Nonpemerintah (Ornop).

Sensitivitas terhadap keadilan kaum marginal itu pula yang ingin ia kembangkan kepada calon-
calon akademisi atau peneliti. Makanya ia menganjurkan kepada mereka untuk lebih
menitikberatkan pada penelitian-penelitian nondoktrinal-kualitatif, ketimbang penelitian-
penelitian doktrinal. Tujuannya adalah agar kaum akademisi dapat merespon terpenuhinya rasa
keadilan massa awam. Dikatakannya: dalam alam kehidupan yang kian demokratik dan people
centered dewasa ini, yang amat mengharapkan terwujudnya signifikansi sosial setiap produk
perundang-undangan, kiranya kajian-kajian yang kualitatif tentang berbagai permasalahan dan
kebijakan sosial di dalam kehidupan manusia --agar dapat lebih merespon setiap kebutuhan
hukum dan terpenuhinya rasa keadilan massa awam-- pantaslah kalau lebih banyak dianjurkan
dan lebih banyak dicoba. Penelitian-penelitian nondoktrinal-kualitatif dengan ancangan
paradigmatiknya yang mikro dan bertendensi pro populus itu dapat kiranya banyak memberikan
sumbangan yang berarti.


Isu Pokok Buku Ini

Seperti sudah disinggung di muka, buku ini memang ingin menyajikan kajian-kajian ilmu sosial
tentang hukum (social science on law), khususnya sosiologi hukum (sociology of law).
Bukannya hendak menyajikan kajian-kajian hukum dari sudut Jurisprudence atau Rechtsleer --
yang mempelajari hukum sebagai perangkat norma atau sejumlah kaidah (rules and logic).
Tetapi ingin menyajikan kajian-kajian tentang hukum sebagai fakta sosial yang empirik, dan
ihwalnya sebagaimana terwujud sebagai bagian dari pengalaman sehari-hari dalam kehidupan
bermasyarakat dengan menggunakan metode yang lazim dikenal dalam ilmu-ilmu sosial. Inilah
yang menjadi isu pokok buku ini. Sementara dari sisi yang lain, melalui buku ini kita sekaligus
dapat menyaksikan rentang pergumulan pemikiran Prof. Soetandyo selama karir akademisnya di
bidang pengkajian sosiologi hukum, yang telah dimulainya sejak tahun 1970-an.

Kajian-kajian ilmu sosial tentang hukum tersebut -yang melihat hukum sebagai fakta empirik,
berbeda dengan kajian mazhab Sociological Jurisprudence yang tumbuh di dalam lingkungan
kajian-kajian ilmu hukum (Jurisprudence). Mazhab Sociological Jurisprudence yang diprakarsai
oleh Roscoe Pound pada tahun 1930-an di Amerika Serikat, yang muncul sebagai bentuk
pembangkangan terhadap kajian ilmu hukum murni yang posivistis, sebenarnya hanyalah
menggambil pendekatan sosiologis ke dalam kajian-kajian ilmu hukum. Karena itu aliran
Sociological Jurisprudence tersebut tetaplah berada dalam ranah Jurisprudence, bukan berada
dalam ranah kajian-kajian ilmu sosial tentang hukum, khususnya sociology of law. Kajian yang
terakhir ini tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan kajian ilmu-ilmu sosial. Perbedaan
yang tipis ini seringkali mengaburkan, sehingga orang seringkali pula menyamakan keduanya.
Karena itu pula orang tidak membedakan kajian-kajian sosiologi hukumnya Prof. Satjipto
Rahardjo, guru besar sosiologi hukum dari Universitas Diponegoro, Semarang, dengan kajian-
kajian hukum yang diprakarsai oleh Prof. Soetandyo.

Untuk menampilkan secara koheren dan sistematik apa yang ditandaskan di atas, kami (para
penyunting buku ini) menyeleksi dengan sungguh-sungguh seluruh karya tulis Prof. Soetandyo
yang berhasil kami kumpulkan -yang jumlahnya hampir mencapai 200 tulisan. Akhirnya kami
menyeleksi tulisan-tulisan yang kini terhimpun di dalam buku ini, yang kami anggap tepat
menggambarkan tema pokok yang ingin kami tampilkan. Dan, untuk memudahkan pembaca
mengikuti buku ini, kami memilah-milah tulisan tersebut ke dalam lima bagian. Kelima bagian
itu masing-masing kami beri sub-judul, sebagai berikut: pertama Menyemai Pendekatan Ilmu-
Ilmu Sosial dalam Mempelajari Hukum; kedua Paradigma, Ancangan Konsep, Teori dan
Metodologi dalam Kajian Ilmu Sosial tentang Hukum; ketiga Hukum dan Perkembangannya
Seiring dengan Dinamika Perkembangan Sosial Politik; keempat Aspek-aspek Socio-Legal
Konstitusionalisme, Supremasi Hukum dan Hak Asasi Manusia; dan terakhir kami beri judul
Masyarakat Warga, Kebangsaan, Demokrasi dan Penegasan Kembali Reformasi.

Pembahasan mengenai sosiologi hukum ditempatkan pada bagian pertama, karena dari perspektif
inilah penulisnya menganalisis berbagai aspek hukum, konstitusionalisme, hak asasi manusia,
dan demokrasi sebagaimana yang berkembang di Indonesia. Pembahasan pada bagian pertama
ini dengan demikian lebih merupakan uraian deskritif tentang apa itu sosiologi hukum, tokoh-
tokoh pemikirnya baik yang datang dari Eropa Barat maupun yang berasal dari Amerika Serikat,
topik-topik yang penting dikaji dalam sosiologi hukum, dan perkembangan pemikiran
kontemporer yang terjadi di lingkungan sosiologi hukum itu sendiri. Secara singkat diuraikan
disini tentang kemunculan Critical Legal Studies --sebuah aliran pemikiran post-realist. Selain
itu, penulisnya juga berusaha menunjukkan perbedaan antara sosiologi hukum dengan aliran
Sociological Jurisprudence yang berkembang dalam kajian-kajian ilmu hukum (jurisprudence)
di Amerika Serikat pada tahun 1930-an, yang di sini seringkali dicampur-baurkan sebagai
sesuatu yang sama.

Pada bagian yang kedua masuk ke isu-isu yang lebih spesifik, yaitu menyangkut soal paradigma,
ancangan konsep, teori dan metodologi. Disini penulisnya membahas mengenai perubahan-
perubahan paradigma di dalam ilmu hukum, dimulai dari paradigma positivisme, pasca
positivisme sampai kepada paradigma hermeneutik. Perubahan-perubahan paradigma tersebut
sangat terkait erat dengan perubahan-perubahan di dalam masyarakat karena kemajuan-kemajuan
di bidang pasar, tehnologi, dan sebagainya. Dari masalah perubahan paradigma itu, penulisnya
kemudian masuk ke isu yang lebih spesifik lagi, yaitu menyangkut peralatan analisa dalam
memahami hukum sebagai fakta empirik. Disinilah kita bicara mengenai metodologi. Disini
penulis memperkenalkan metodologi ilmu sosial dalam mempelajari hukum yang disebutnya
dengan metode non-doktrinal. Sehubungan dengan metode ini pula, ia kemudian
menganjurkan digunakannya pendekatan mikro dan metode kualitatif atau grounded dalam
mempelajari realitas hukum yang hidup dalam masyarakat. Isu-isu ini memang isu yang langka
dibahas oleh kalangan hukum, khususnya di kalangan academic jurists-nya. Inilah sumbangan
terpenting Prof. Soetandyo terhadap jurisprudence di Indonesia.

Kalau pada bagian pertama dan kedua isu-isu yang dibahas lebih terfokus pada perspektif teoritik
dari kajian sosiologi hukum dan metodologinya, maka pada bagian-bagian selanjutnya ini akan
ditampilkan pembahasan terhadap berbagai aspek hukum dalam kaitannya dengan dinamika
perubahahan sosial politik di lingkungannya dengan menggunakan perspektif sosiologis. Tetapi
tidak terbatas pada aspek hukum yang disungguhkan dalam buku ini, melainkan mencakup pula
isu-isu seperti konstitusionalisme, hak asasi manusia, masyarakat warga, dan demokrasi.
Pembahasan mengenai hukum dalam kaitannya dengan perubahan dinamika sosial politik itu,
secara spesifik, ditempatkan pada bagian ketiga. Pada bagian ini penulisnya menunjukkan
bagaimana proses hukum kolonial menjadi hukum nasional, melalui proses yang disebutnya
sebagai transplantasi hukum. Hukum nasional yang kita pahami sekarang, yang mengikat dan
mengatur kita, dihasilkan oleh suatu perkembangan sejarah yang panjang di Eropa Barat.
Pembahasan ini membuat kita memahami historisitas dari proses pembentukan hukum di
Indonesia. Di dalam bab ini juga dibahas isu-isu menyangkut pembangunan hukum nasional,
soal pluralitas hukum, kesadaran hukum masyarakat, masalah legal gap, dan pertumbuhan
profesi hukum di Indonesia.

Selanjutnya pada bagian empat dan lima, gilirannya dibahas isu-isu menyangkut
konstitusionalisme, supremasi hukum atau negara hukum, dan hak asasi manusia. Sementara
pada bagian lima, pembahasan difokuskan pada isu-isu masyarakat warga (civil society),
kebangsaan, demokrasi dan reformasi -yang kini menjadi agenda politik nasional. Oleh
penulisnya, semua isu-isu itu dibahas dengan menggunakan perspektif sosiologis. Yang menarik
dari setiap pembahasan terhadap isu-isu tersebut adalah, penulisnya senantiasa menjelaskan
terlebih dahulu asal-muasal atau historisitas setiap konsep yang dibahas (misalnya seperti
konstitusionalisme), sehingga diperoleh pemahaman yang luas tentang topik yang dibahas.
Begitu juga ketika membahas isu civil society (masyarakat warga), penulisnya mencoba
melihatnya dari persoalan old society menjadi masyarakat warga dalam the new state. Aspek-
aspek kesejarahan masyarakat lama Indonesia coba disingkap untuk kemudian dilihat
kemungkinan transformasinya ke dalam new state, dimana masyarakat disini bukan lagi kawula
tetapi merupakan masyarakart warga yang mempunyai hak yang sama dengan semua warga.



Penutup Kata

Rangkaian tulisan-tulisan tersebut kami harapkan bisa menampilkan secara koheren isu pokok
buku ini -sekaligus menampilkan secara koheren pemikiran Prof. Soetandyo di bidang sosiologi
hukum. Tentu saja tidak semua tulisan yang ditampil disini merupakan suatu perbincangan
dalam perspektif sosiologi hukum, tetapi secara keseluruhan itulah yang menjadi isu pokok
rangkai tulisan di dalam buku ini.

Bukan berarti tidak ada kelemahan dalam penyuntingan buku ini. Tidak bisa kami pungkiri,
bahwa terkadang terjadi pengulangan pembahasan atas beberapa isu yang termuat di dalam
rangkaian masing-masing bab. Selain itu, kami juga menyadari adanya perbedaan konteks
lahirnya tulisan-tulisan itu. Tulisan-tulisan yang ditulis pada kurun waktu 1970-an, tentulah
mencerminkan suasana dan isu yang menjadi concern intelektual saat itu, yang tentu saja
berbeda dengan kurun waktu 1990-an. Apalagi dalam kurun waktu saat ini. Karena itu
mengintegrasikan masing-masing tulisan tersebut, tentu akan menghilangkan suasana intelektual
ketika tulisan itu ditulis. Namun demikian, apabila konteks jaman tulisan-tulisan itu dipahami,
justru kita akan melihat perjalanan intelektual yang menarik dari penulisnya.

Akhirnya, kami ucapkan selamat membaca! ***

BAGIAN PERTAMA

MENYEMAI PENDEKATAN ILMU-ILMU SOSIAL DALAM MEMPELAJARI
DAN MEMAHAMI HUKUM


Ilmu hukum telah lama menjadi body of knowledge yang diiringi oleh mapannya profesi
hukum (juris atau lawyer) yang mempraktikkan disiplin pengetahuan itu, serta kehadiran
perguruan tinggi hukum yang merawat, mereproduksi pengetahuan dan memperbanyak
para penganutnya. Gejala inilah yang kemudian dikaji oleh ilmu sosial tentang hukum,
khususnya sosiologi hukum. Dengan mempergunakan ilmu sosial untuk mempelajari dan
memahami hukum sebagai kenyataan sosial, perhatian diarahkan pada pengetahuan
hukum, para profesional hukum dan perguruan tinggi hukum dalam konteks sosialnya.
Bagian pertama ini, dimulai dengan sajian ringkas tentang pendekatan ilmu sosial
dalam mempelajari hukum. Lantas dilanjutkan dengan sajian tentang pemikiran para
perintis sosiologi hukum di Eropa maupun Amerika, topik-topik terpilih dalam
perbincangan sosiologi hukum dan perkembangan pemikiran sosiologi hukum sebagai
respon atas perkembangan sosial-politik.


1
OPTIK SOSIOLOGI HUKUM
DALAM MEMPELAJARI HUKUM




Pendahuluan

SOSIOLOGI hukum adalah cabang kajian sosiologi. Sebagai bagian dari cabang kajian
sosiologi, sosiologi hukum tentu saja akan banyak memusatkan perhatiannya kepada
ihwal hukum sebagaimana terwujud sebagai bagian dari pengalaman dalam kehidupan
bermasyarakat sehari-hari. Berbeda dari kajian-kajian ilmu hukum (yang murni), yang
disebut jurisprudence dalam bahasa Inggris atau reine Rechtslehre dalam bahasa J erman,
sosiologi hukum tidaklah hendak membatasi kajian-kajiannya pada ihwal kandungan
normatif peraturan perundang-undangan berikut sistematika dan doktrin-doktrin yang
mendasarinya belaka. Dengan perkataan lain, sosiologi hukum akan mempelajari dan
memerikan hidup hukum sebagaimana ada dan terwujudkannya di tengah-tengah
masyarakat, dan tidak akan puas kalau hanya mempelajari hukum sebagai aturan-aturan
yang tertulis dalam keadaannya yang abstrak di dalam kitab-kitab undang-undang.

Objek Kajian Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum tidak pertama-tama hendak mempelajari hukum sebagai
perangkat norma atau sejumlah kaidah khusus yang berlaku. Itu adalah bagian dari
kajian-kajian ilmu hukum yang dikonsepkan dan dibataskan sebagai jurisprudence.
Sosiologi hukum adalah cabang kajian khusus dalam keluarga besar ilmu-ilmu sosial
yang disebut sosiologi. Kalaupun sosiologi hukum juga mempelajari hukum sebagai
seperangkat kaidah khusus, maka yang dikaji bukanlah kaidah-kaidah itu sendiri
melainkan kaidah-kaidah positif dalam fungsinya yang diperlukan untuk menegakkan
ketertiban di dalam kehidupan bermasyarakat dengan segala keberhasilan dan
kegagalanya. Di sini, yang dimaksudkan dengan hukum sebagai kaidah atau norma
positif ialah sebagai kaidah atau norma sosial yang telah ditegaskan sebagai hukum
dalam bentuk perundang-undangan. Artinya, hukum yang demikian itu hanya akan dilihat
sebagai dasar pembenar yang dibenarkan untuk dirujuk oleh para penguasa pemerintahan
ketika penguasa ini bekerja mengendalikan perilaku-perilaku masyarakat (dengan tujuan
agar keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat dapat terwujud). Tak ayal lagi, di dalam
kajian-kajian sosiologi hukum ini hukum akan selalu dibicarakan dalam hubunganya
yang amat erat dengan persoalan kontrol sosial dan sanksi (yang dilaksanakan oleh
pemerintah). Maka tidaklah salah kalau Donald Black, dalam buku The Behavior of Law,
mendefinisikan hukum dari sudut pandang sosiologis, atau mungkin juga dari sudut
pandang ilmu politik sebagai government social control.
2
Dalam kajian-kajian sosiologis, perbincangan mengenai kontrol sosial itu amat
erat bersangkut-paut dengan persoalan sosialisasi. Sosialisasi adalah suatu proses untuk
menjadikan insan-insan sosial menjadi sadar akan adanya kaidah-kaidah, dan sehubungan
dengan itu juga untuk menjadikan insan-insan ini menjadi insan-insan yang sanggup
menaati sepenuh hati (to obey) atau setidak-tidaknya menyesuaikan perilakunya (to
conform) dengan ketentuan-ketentuan kaidah-kaidah itu; dan bahwa melanggari kaidah-
kaidah hukum itu adalah perbuatan yang salah. Maka, pengertian sosialisasi dalam
sosiologi telah terlihat sebagai suatu proses yang mendahului, dan menjadi prakondisi,
bagi kemungkinan kontrol sosial untuk dilaksanakan dengan efektif. Itulah penjelasanya
mengapa dalam kajian-kajian sosiologi hukum ihwal sosialisasi hukum juga menempati
pembicaraan yang sentral. Kemudahan dan kesulitan mensosialisasikan hukum, dengan
segala faktor penyebabnya, akan banyak diulas dalam studi-studi sosiologi hukum.
Topik pokok yang ketika yang juga banyak diperbincangkan dalam sosiologi
hukum setelah topik tentang kontrol sosial dan sosialisasi hukum adalah hal stratifikasi.
Adapun yang disebut stratifikasi (stratum =lapisan) adalah proses dari hasil terjadinya
pelapisan-pelapisan dalam kehidupan bermasyarakat, yang menyebabkan warga-warga
masyarakat memiliki kedudukan yang tidak selalu setara, melainkan acap dalam
hubungan superordinasi-subordinasi. Yang diulas di sini nanti adalah ihwal akibat
kuatnya stratifikasi sosial terhadap pelaksanaan hukum. Beroperasi di tengah-tengah
masyarakat yang terstratifikasi yang dalam kenyataannya memang mengenal perbedaan
dan perbedaan perlakuan antara yang berstatus tinggi bagaikan Gusti-Gusti dan mereka
yang berstatus rendah bagai kawula-kawula, hukum sekalipun secara normatif diidealkan
tak pernah memandang bulu dan selalu bersikap adil. Akan tetapi, acap kali hukum itu
toh tidak dapat menghindarkan diri dari keterlibatannya pada sejumlah tindakan yang
diskriminatif. Masalah kesenjangan antara apa yang diidealkan dan diharuskan ini dengan
apa yang dinyatakan ada di tengah pengalaman kenyataan ini lalu banyak dijadikan
sasaran kajian sosiologi hukum.
Sebenarnya harus diakui bahwa tindakan-tindakan diskriminatif di dalam
penerapan hukum itu tidak berawal mula dari karakteristik alami hukum itu sendiri.
Hukum (sebagai kaidah) sejak awal mula selalu dinyatakan berlaku umum untuk siapa
saja dan di mana saja dalam wilayah negara, tanpa hendak bersengaja membeda-bedakan.
Pengecualian-pengecualian, kalaupun ada, akan dinyatakan secara eksplisit dan
berdasarkan alasan tertentu yang dapat diterima dan dibenarkan. Maka yang
sesungguhnya hendak berlaku diskriminatif itu bukanlah hukumnya itu sendiri,
melainkan aparat atau organisasi penegaknya, atau pula punggawa-punggawa-nya yang
perorangan (yang di dalam perbincangan sehari-hari disebut oknum). Karena apa yang
disebutkan dalam kalimat terakhir ini adalah suatu kenyataan sosial yang mudah
ditemukan dan diamati dalam kehidupan sehari-hari, maka seluk-beluk perilaku aparat
yang dikenali sebagai aspek struktural hukum telah dimasukkan pula sebagai bagian dari
kajian-kajian sosiologi hukum. Perbincangan tentang organisasi, birokrasi serta
birokratisasi, dan profesi serta profesionalisasi hukum dan peradilan lalu ikut dimasukkan
ke dalam topik perbincangan sosiologi hukum.
Setelah tuntas berbincang tentang persoalan struktur hukum dan fungsinya,
sosiologi hukum itu pun sejak tahun 1980-an akan berbincang tentang perubahan-
perubahan. Konsentrasi studi banyak ditujukan ke arah persoalan hubungan antara
3
perubahan masyarakat dan perubahan hukum sebagai salah satu institusi sosial.
Sebaliknya studi juga akan berarah ke persoalan hubungan antara upaya pendayagunaan
hukum dan perubahan-perubahan sosial yang dapat direalisasikan secara efektif. Sejajar
dengan kesadaran dan keyakinan bahwa perubahan sosial itu dapat dikendalikan dan
direncanakan, orang banyak mempelajari kemungkinan-kemungkinan pendayagunaan
hukum sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat. Maka dikatakanlah bahwa hukum
di dalam kajian-kajian sosiologi hukum itu tidak hanya dapat dikonsepkan sebagai sarana
kontrol sosial untuk mempertahankan tertib-tertib status quo yang telah ada, melainkan
juga sebagai a tool of social engineering. Apabila dalam perbincangan tentang hukum
sebagai sarana kontrol sosial, sosiologi hukum itu akan ikut banyak merujuk ke kajian-
kajian antropologik maka dalam perbicaraan-pembicaraan tentang hukum sebagai sarana
rekayasa sosial, sosiologi hukum itu justru akan banyak merujuk ke kajian-kajian ilmu
politik dan pemerintah negara.
Topik-topik tersebut berturut-turut di muka itu adalah kajian-kajian yang terbilang
dalam kajian sosiologi hukum yang memperhatikan aspek struktural kehidupan hukum
dalam masyarakat. Kajian-kajian yang menekankan aspek struktural ini dahulu, (pada
tahun 1960-1970-an), dikenal dengan nama studi law in society. Sementara itu, kini,
(sejak tahun 1980-an), sosiologi hukum juga meminati aspek lain dalam kehidupan
hukum di dalam masyarakat, yaitu aspek makna dan pemberian makna kepada hukum
(hukum sebagai simbol) oleh para pelaku hukum (yang disebut aktor) dalam hubungan
antar-mereka dalam masyarakat. Berbeda dengan kajian sosiologi hukum yang lebih
menekankan aspek struktur, yang lebih suka mempelajari pola-pola perilaku sosial
sebagai hasil penstrukturan oleh kaidah-kaidah hukum yang berlaku, sosiologi hukum
yang lebih menekankan aspek makna ini akan lebih banyak mengkonsentrasikan kajian-
kajianya pada proses-proses terjadinya makna bersama di dalam interaksi antar-pelaku
hukum yang berlangsung relatif bebas, dengan hasil yang tidak selamanya terbukti sama
dan sebangun dengan apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh pembuat undang-
undang. Pada saatnya soal makna dan pemaknaan hukum ini juga akan diangkat sebagai
salah satu topik dalam kajian sosiologi hukum ini.

Sosiologi Hukum Aliran Sosiologis dalam Ilmu Hukum

Siapapun yang pernah mempelajari ilmu hukum, ia akan mengetahui bahwa ada
berbagai aliran di dalam ilmu hukum, salah satu di antaranya adalah aliran sosiologis.
Sosiologi hukum di lingkungan pengaji ilmu hukum acap kali disamakan begitu saja
secara keliru dengan paham aliran sosiologis dalam ilmu hukum. Sebenarnya tidak betul
apabila disamakan demikian itu. Aliran sosiologis dalam ilmu hukum yang karena
berasal dari pemikiran orang Amerika bernama Roscoe Pound yang dalam bahasa
asalnya disebut The Sociological Jurisprudence adalah suatu aliran pemikiran dalam
jurisprudence yang berkembang di Amerika Serikat sejak tahun 1930-an. Aliran dalam
ilmu hukum ini disebut sociological karena dikembangkan dari pemikiran dasar seorang
hakim bernama Oliver Wendel Holmes perintis pemikiran realisme dalam ilmu hukum
yang mengatakan bahwa sekalipun hukum itu memang benar merupakan sesuatu yang
dihasilkan lewat proses-proses yang dapat dipertanggungjawabkan menurut imperativa-
imperativa logika, namun the life of law has not been logic, it is experience. Adapun
4
yang dimaksudkan dengan experience oleh Holmes di sini tak lain adalah the social atau
mungkin pula the socio-psychological experience. Maka dapatlah dimengerti mengapa
dalam sociological jurisprudence ini sekalipun fokus kajian tetap dalam persoalan
kaidah positif (berikut doktrin-doktrinnya yang logis untuk mengembangkan sistem
normatif hukum berikut prosedur-prosedur aplikasinya guna kepentingan praktik
profesional) faktor-faktor sosiologis lalu secara realistis (dan tak selalu harus secara
normatif-positvistik) mesti senantiasa ikut diperhatikan di dalam setiap kajian.
Bertolak dari doktrin sistem Common Law sebagaimana diikuti di Amerika yang
mengajarkan suatu asas bahwa hakim harus proaktif dalam setiap penyelesaian perkara
dengan cara menciptakan hukum apabila perlu, dan tidak berlaku cuma bagaikan mulut
yang membunyikan bunyi undang-undang sebagaimana yang di doktrinkan dalam
sistem civil law aliran sosiologis yang dirintis Pound ini mengajarkan pula bahwa hakim
tatkala bekerja proaktif membuat keputusan guna menyelesaikan perkara harus pula ikut
memperhatikan kenyataan-kenyataan sosial. Lain tidak! Itu semua dimaksudkan agar
keputusan-keputsan hakim selalu membumi, dan oleh sebab itu juga relevan dengan
kebutuhan hukum di dalam masyarakat yang selalu berubah, dan seterusnya juga akan
selalu fungsional di tengah perkembangan masyarakat. Dari kebijakan pendayagunaan
fungsi kehakiman seperti inilah datangnya doktrin yang terbilang baru dalam sociological
jurisprudence, yaitu bahwa law is a tool of social engineering. Sementara itu, karena
menekankan pentingnya fungsi hukum sebagai tool itu, sociological jurisprudence ini
pada saatnya kemudian juga diperkenalkan dan dikenal dengan nama baru yaitu the
functional jurisprudence.
Dari penjelasan-penjelasan di muka ini dapatlah dimengerti dengan mudah
mengapa kajian-kajian hukum di Amerika Serikat tak hanya dalam program-program
akademik akan tetapi juga dalam praktik-praktik peradilan terbilang cukup sensitif dalam
persoalan-persoalan sosiologis. Dalam kajian maupun dalam praktiknya, peradilan
cenderung mempertimbangkan tuntutan dan kenyataan yang terdapat dalam konteks-
kontek sosialnya. Konsekuensinya ialah bahwa hukum positif baik yang berupa status
maupun yang berupa preseden lalu menjadi cenderung dikonsepkan sebagai kaidah-
kaidah yang constituendum daripada yang constitutum. Proses transformasinya dari yang
constituendum ke yang constitutum itu lalu tak lagi cuma merupakan permainan logika
yang deduktif melulu, melainkan lalu ikut pula harus mempertimbangkan pengaruh
faktor-faktor dan proses-proses sosial yang ada (yang tak selamanya dapat dijelaskan
berdasarkan silogisme logika deduktif itu semata). Sentimen rasial dan ideologi jender,
misalnya, sering dipertimbangkan dalam persoalan apakah warna kulit dan atau jenis
kelamin sang hakim (atau para juri) diprakirakan akan bias memperikan pengaruh dan
kalau ya seberapa besar kemungkinannya itu dalam ihwal produk-produk
keputusannya. Adalah kesadaran dan ajaran di sini bahwa dalam realitas dan demi
realistisnya keputusan-keputusan hukum itu kini bagaimanapun juga mesti diupayakan
agar keputusan hukum itu signifikan atau fungsional secara sosial.
Namun demikian, bagaimanapn juga sociological jurisprudence itu bukanlah
sociology of law. Ilmu hukum pada awal mulanya adalah bagian dari ajaran filsafat moral
(prudential), yang karenanya pada dasarnya hendak berseluk-beluk dengan soal nilai
kebaikan dan keadilan. Tak salah kalau dikatakan bahwa ilmu hukum itu sejak awalnya
adalah ilmu tentang dan/atau kiat yang dimaksudkan sebagai etika terapan. Bahkan
5
menurut alirannya yang klasik sebagaimana dikembangkan pada mulanya di Perancis
dengan nama aliran positivisme dalam ilmu hukum, atau yang dikembangkan lebih
lanjut dalam pemikiran Hans Kelsen sebagai ajaran hukum murni menolak
perbincangan tentang soal keadilan dan etika, apalagi yang sosiologis, dalam masalah
pengambilan keputusan hukum atau tentang apa yang harus disebut hukum. Aliran ini
menghendaki agar pengertian hukum ditegaskan dan dibataskan semata pada pengertian
hukum sebagai kaidah sosial yang telah dipositifkan (artinya kaidah-kaidah sosial yang
oleh penguasa yang berdaulat telah diperintahkan secara tersurat dengan memenuhi
prosedur-prosedurnya yang formal untuk ditaati warga masyarakat) tanpa perlu
mempersoalkan apakah itu kaidah-kaidah yang diperintahkan itu bernilai benar dan adil
ataukah tidak.
Maka, kalaupun apa yang disebut positive jurisprudence ini pada suatu ketika
dikritik oleh Holmes dan para pengikutnya yang dikenal sebagai kaum legal realist, dan
pula oleh Pound dan para pengikutnya yang mengajarkan pentingnya memperhatikan dan
mempertimbangkan faktor-faktor yang tak selamanya murni yuridis, namun
bagaimanapun juga sociological jurisprudence yang dikembangkan sebagai alternatif itu
tetaplah harus dibilangkan sebagai jurisprudence, dan bukan sosiologi. Hanya saja, apa
yang dinamakan sociological jurisprudence ini (dengan mengkritik aliran positivisme itu)
tidak menghendaki diperlakukannya hukum dalam praktik sebagai suatu proses yang
murni hukum. Bagi sociological jurisprudence, hukum bukanlah sesuatu yang berproses
secara asosial dan akultural, dan karena itu lalu juga steril. Ajaran aliran sosiologis ini
muncul untuk mengkritik dan mengkoreksinya, dan sekaligus mendorong kajian-kajian
hukum dan praktik pelaksanaan hukum untuk membuka diri dan bersedia menyerap hasil
kajian-kajian lain yang melibatkan variabel-variabel sosio-kultural. Sekalipun demikian,
harus dikatakan sekali lagi di sini bahwa bagaimanapun juga sociological jurisprudence
adalah jurisprudence. Aliran sosiologis dalam ilmu hukum ini tak serta-merta mengubah
diri atau meleburkan diri ke dalam kajian sosilogi. Namun harus diakui bahwa aliran
sosiologis kaum realis inilah yang menyebabkan diakuinya arti penting studi-studi
sosiologi hukum (dan ilmu-ilmu sosial yang lain tentang masalah hukum) bagi
perkembangan jurisprudence dan praktik pelaksanaan hukum baik yang litigasi maupun
yang bukan litigasi.
Berbeda dengan sociological jurisprudence yang telah diuraikan di muka,
sosiologi hukum yang terbilang salah satu cabang khusus sosiologi ini sejak awal mula
memang hanya memfokuskan perhatiannya secara khsusus kepada ihwal ketertiban
sosial. Kalaupun ketertiban sosial ini bersangkut-paut erat sekali dengan persoalan
kaidah-kaidah sosial (termasuk di dalamnya kaidah hukum) namun bukanlah kaidah-
kaidahnya itu sendiri yang akan diterus sebagai prioritas studi, melainkan aktualisasinya
berikut variable-variabel kondisional dan/atau penyebabnya. Maka dalam hubungan ini
sosiologi hukum tidaklah berkenaan dan tidak pula berkenan dengan kaidah-kaidah
hukum perundang-undangan ataupun dengan keputusan-keputusan hakim (berikut teknik-
teknik untuk mensitematiskan serta menginterpretasikannya sebagaimana selama ini
didoktrinkan dalam ilmu hukum). Sekalipun demikian, mengikuti perkembangan
mutakhir, kajian-kajian sosiologi hukum mampu memberikan kontribusi cukup besar
bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya juga berkat advokasi sociological
jurisprudence yang risau dengan persoalan upaya memfungsionalkan peran hukum dalam
masyarakat.
6
Kini, di masyarakat-masyarakat industri yang amat cepat berubah, dan juga di
negara-negara dunia ketiga yang tengah berkembang lewat berbagai upaya pembangunan,
pengaruh ajaran sosiologis dalam ilmu hukum, dan dengan demikian juga sosiologi
hukum dengan cepat telah menjadi mengedepan. Pengaruh ini kian besar tak lain karena
di dalam suatu kehidupan yang amat cepat berubah, dan menjadi kian majemuk dan
heterogen, hukum tak hanya akan berfungsi sebagai sarana pengontrol yang koservatif
serta berorientasi normatif-tekstual, melainkan juga akan kian berfungsi sebagai sarana
merancang kehidupan masa depan, dengan visi-misinya yang futuristis dan berorientasi
faktual-kontekstual. Dalam hal ini, sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lain yang berkenaan
dengan permasalahan hukum (hukum sebagai realitas sosial) menjadi kian bermakna.


Metode Kajian

Karena sosiologi hukum adalah cabang khusus sosiologi, maka metode kajian yang
dikembangkan adalah metode yang telah dilazimkan dalam sosiologi itu. Sebagaimana
diketahui, sosiologi mencoba melihat objek-objek kajiannya dengan kacamata
penglihatan deskriptif. Artinya, ia pertama-tama hanya hendak mengetahui dan
memahami ihwal nyata objeknya itu, tanpa memberikan penilaian apa-apa tentang baik
buruknya. Dari kacamata itu Sosiologi dan Sosiologi Hukum hanya akan memberikan
keadaan kualitas dan/atau kuantitas objeknya sebagaimana apa adanya. Sosiologi hanya
akan mempertanyakan apakah kualitas tertentu ada atau tak ada dalam objek yang tengah
diteliti itu; dan kalau ada, berapa besarnya kuantitasnya itu?

Penggunaan metode peninjauan dalam Sosiologi Hukum seperti yang dipaparkan di
muka itu bukanya tanpa kesulitan atau hambatan. Ada dua hal yang menjadi biang
penyebabnya. Pertama, objek kajian Sosiologi Hukum yang dikenali dengan nama
hukum itu dalam kenyataan sehari-hari-sebagaimana digeluti oleh orang-orang awam
hampir selalu di mengerti oleh orang-orang awam itu sebagai manifestasi nilai keadilan.
Dengan perkataan lain, orang-orang awam dalam kehidupan sehari-hari yang nyata ini
boleh dibilang tidak pernah melihat hukum sebagai objeknya yang lepas atau dapat
dilepaskan dari manusia peninjaunya melainkan sebagai bagian juga dari penghayatan
sang subjek. Maka, penelitian-penelitian hukum dari kalangan sosiologi hukum acap kali
harus berusaha secara khusus mengembangkan metode dan cara studinya itu tanpa bisa
mengharapkan pengertian dan bantuan para awam yang kehidupan hukumnya
tengah dijadikan objek kajian itu. Bahkan, apabila para awam itu terlalu dilibatkan di
dalam kajian-kajian penelitian, para awam ini salah-salah malah bisa bersalah pengertian
atau bersalah paham yang pada akhirnya akan mempersulit upaya untuk memperolah
informasi atau data yang akurat, handal dan sahih.

Tidak hanya orang-orang awam yang beroptik preskriptip ini saja yang bisa
mempersulit kerja para peneliti Sosiologi Hukum yang beroptik deskriptif. Sang
peneliti sendiri acap kali bisa meragukan apakah betul suatu objek seperti hukum (yang
dalam kenyataan berupa paduan antara fakta dan nilai itu) dalam konsep-konsep
penelitian memang dapat diperlakukan begitu saja sebagai fakta belaka. Lagi pula apakah
betul bahwa ia, sebagai manusia yang tak hanya berakal tetapi juga berperasaan itu, bisa
7
selalu meninjau objeknya dengan hanya mendayagunakan indra dan akalnya semata,
tanpa sedikit pun dipengaruhi oleh perasaan dan keyakinannya. Dengan perkataan lain,
dapatkah ia secara sempurna hanya bekerja secara deskriptif saja tanpa membangunkan
keyakinan-keyakinan preskriptif yang mestinya ada juga di dalam dirinya. Betapa tidak?
Karena, bagaimanapun juga, ia itu adalah manusia jualah adanya; manusia seutuhnya
yang tak hanya bermata fisik melainkan juga bermata hati. Inilah masalah metodologis
kedua yang harus dihadapi oleh para peneliti atau ilmuwan Sosiologi Hukum.

Namun, apa pun juga kesulitannya, hingga kini metode penelitian dan kajian
sosiologi (yang hendak mencoba menggali pengetahuan tentang objek dengan cara
menempatkan sang subjek peneliti sebagai pengamat di luar objeknya) masih tetap
mengedepan dalam penelitian-penelitian dan kajian-kajian Sosiologi Hukum itu. Ahli-
ahli hendak membicarakan baik-buruknya kaidah-kaidah dalam sistem hukum. Sosiologi
Hukum tetaplah hendak membicarakan hukum dengan sikap yang buta-nilai saja; yang
hendak dibicarakan tetaplah terbatas pada ihwal eksistensi dan fungsi (atau disfungsi)
hukum dalam masyarakat, berikut seluk-beluk mekanisme bekerjanya. Oleh sebab itulah
metode penelitian dikembangkan untuk mengontrol subjektivitas yang berasal dari para
subjek yang ditaruh sebagai objek studi. Metode dikembangkan untuk mencegah
terpolusinya dan terdistorsinya objektivitas objek oleh subjektivitas subjek (para
sumber informasi dan tentu saja si peneliti sendiri). Pertama-tama upaya itu dilakukan
dengan merumuskan masalah penelitiannya secara jelas dan tegas, lalu segera
mengidentifikasi unsur-unsur yang akan diuji ada-tidaknya, kemudian menetapkan cara
bagaimana mengujinya itu dengan instrumen apa saja dalam jumlah berapa, dan pada
akhirnya juga menentukan cara bagaimana pula prosedur menganalisis serta
menyimpulkan hasil-hasilnya.

Dalam kajian-kajian sosiologi hukum tentang struktur yang sebagaimana kita
ketahui lebih mengkonsentrasikan diri pada pola-pola perilaku sosial yang lahiriah
sebagai objeknya metode yang dikembangkan memang dimaksudkan dan dilaksanakan
untuk mencegah dan mengontrol subjektivitas yang sering mengedepan. Pandayagunaan
metode seperti itu dimaksudkan agar hasil-hasil kajian dan penelitian tetap terjaga
objektivitasnya, artinya, agar hasil-hasil itu benar-benar berbicara tentang hal-ihwal
objek, dan bukan hal-ihwal subjek peneliti atau pemberi informasinya. Akan tetapi, di
dalam kajian-kajian dan penelitian-penelitian Sosiologi Hukum yang berkonsentrasi pada
makna-makna yang banyak bekerja untuk menangkap ungkapan-ungkapan interpretatif
para subjek (yang tengah dijadikan objek studi) sepanjang proses interaksi antar-mereka
atas berbagai realitas-realitas simbolis justru subjektivitas itulah yang akan dijadikan
sasaran kajian-kajian dan penelitian-penelitian. Hanya saja, harus tetap diingat bahwa
subjektivitas yang dimaksud di sini adalah subjektivitas para subjek yang tengah dikaji.
Bagaimanapun juga subjektivitas sang peneliti tetaplah harus dikontrol dengan berbagai
metode dan teknik. Memang itulah kegunaan metode dan teknik.


2

PARA PERINTIS SOSIOLOGI HUKUM DARI MASA
BELAHAN AKHIR ABAD 19 DAN AWAL ABAD 20
Dari Eropa Barat ke Amerika Serikat


A. Alam Pemikiran Eropa Barat (Marx, Maine, Durkheim dan Weber)

PERBINCANGAN mengenai teori-teori sosial tentang hukum yang dipulangkan balik ke
buah pikiran Marx, Maine, Durkheim, dan Weber sesungguhnya adalah perbincangan
tentang apa yang disebut oleh Luhman (Rechtsoziologie, 1972) sebagai awal
perkembangan sosiologi hukum yang klasik. Teori-teori sosial tentang hukum yang
dikemukakan oleh para pakar pada belahan akhir abad 20 ini yaitu seabad atau hampir
seabad setelah masa hidup keempat tokoh perintis tersebut di muka tentu saja sudah kian
lanjut lagi, dan tak mudah untuk masih dibilangkan sebagai awal yang klasik. Namun
begitu, asas-asas teori sosial yang mutakhir tentang hukum ini umumnya memang bisa
pula kita pulangkan balik ke buah pikiran keempat pakar (atau lima kalau saja Eugen
Ehrlich juga ikut dimasukkan ke dalam barisan) yang dibilangkan sebagai perintis-
perintis dengan pemikiran-pemikirannya yang klasik itu. Maka tak salahlah kiranya kalau
untuk mengetahui teori-teori yang telah tumbuh-kembang hingga stadiumnya yang
mutakhir kini orang bersedia menengok dan mengkaji ulang apa yang pernah dirintiskan
oleh para peletak dasar Sosiologi Hukum yang modern itu.

Hukum dalam konsepnya sebagai hukum positif sesungguhnya telah dikaji para
pakar teoretisi hukum, cukup lama sebelum Marx, Maine, Durkheim dan Weber itu
mencoba mengkajinya dalam konsepnya yang baru sebagai bagian dari kompleks
variable sosial yang empiris. Dalam konsepnya sebagai hukum positif, hukum pada
waktu itu telah diartikan sebagai norma-norma baku yang terumus secara eksplisit dalam
bentuk perundang-undangan nasional, dengan berkekuatan sebagai apa yang dikatakan
Austin the command of the sovereign, dan bukan lagi sebagai asas-asas moral dan
keadilan yang implisit dan diklaim berlaku secara universal oleh para penganut aliran
filsafat tentang hukum alam. Kajian-kajian tentang hukum dari perspektif sosial memang
baru mungkin bermula dan berkembang tatkala para pemikir sosial (seperti Marx dan
lain-lainnya itu) telah terbebaskan dari konsep monisme lama yang bertahan bahwa
hukum adalah tertib kehidupan dan bahwa tertib kehidupan itu sesungguhnya adalah
tertib moral. Tak adalah pemisahan analitis antara apa yang normatif dan apa yang
positif dan/atau yang empiris di sini.

Tatkala para teoritisi hukum menelaah dan memikirkan ulang konsep monisme
masyarakat sebagai tertib moral yang kodrati (yang selama itu dikukuhi para penganut
aliran hukum alam), maka apa yang telah dihasilkan barulah sampai pada konsep
masyarakat sebagai tertib moral positif yaitu tertib yang manifestasinya yang nyata
tampak dalam wujud sistem kaidah perundang-undangan nasional yang bulat, utuh dan
tuntas. Maka, masyarakat pun dengan begitu sebenarnya masih saja tetap terkonsepkan
9
sebagai model yang normatif. Tetap terkonsepkan sebagai model normatif, sekalipun
telah digambarkan sebagai suatu yang tertib yang positif yang tak hendak lagi
mempersoalkan masalah buruk baik atau adil-lalim akan tetapi sifat masyarakat sebagai
tatanan yang preskriptif dalam konsep ini tetap saja bertahan. Dalam konsep ini,
konsistensi alias ketaatan perilaku sosial kepada model-model normatif yang telah
ditetapkan oleh the sovereign dan dimaklumatkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan tetap saja merupakan suatu yang secara moral bersifat harus.

Di tengah-tengah dominasi konsep yang baru berubah dari konsep lama yang etis-
falsafati (bahwa law ought to be society) ke konsep baru yang yuridis-positivistis (bahwa
law is society) seperti itu, pemikiran-pemikiran teoretis yang lebih lanjut untuk
mengintroduksi simpulan pemikiran sosilogis (bahwa law is not society) rupanya belum
dapat begitu saja mudah berkembang dan tampil ke depan. Dalam tahap pemikiran itu,
pemikiran yang optimal baru mencapai dan sampai pada pemahaman bahwa hukum
adalah suatu kompleks preskripsi positif yang sama dan sebangun dengan deskripsi
sosialnya yang empiris; dan bahwa kalau sampai terjadi kesalahan yang menyebabkan
terdistorsinya gambaran yang deskriptif sehingga tak lagi sama dan sebangun dengan
gambaran yang preskriptif maka yang diskriptif itulah yang harus dikoreksi dengan
berbagai kebijakan, kalau perlu secara koersif.

Barulah pada peralihan abad (dari abad 18 ke abad 19), ketika masyarakat sudah
mulai dikonsepkan oleh para teoretisi seperti Saint Simont dan August Comte sebagai
kompleks hubungan sosial yang lebih bersifat kontingen dari pada sebagai hubungan
hukum yang laten orang dapat mengkaji masyarakat sebagai objek dan variabel
tersendiri, dan kemudian daripada itu juga dapat mengkaji hukum tidak lagi dalam
konsep law is society melainkan dalam konsep law is not society, dan bahwa law is in
society. Dalam ujung-ujung masa perkembangan pemikiran konseptual-analitis seperti
itulah pemikiran-pemikiran dari sudut telaah ilmu sosial yang empiris-deskriptif dan
eksplanatif bersaranakan metode induktif, dan tak cuma akan berhenti pada penggunaan
sarana metode deduktif (yang sesungguhnya cuma bisa dipakai untuk memberikan
pembenaran-pembenaran logis atau legitimasi-legitimasi saja itu) mulai berkesempatan
untuk marak.

Perbedaan dan pemilahan konseptual yang dualistis antara apa yang harus disebut
hukum dan apa yang harus disebut masyarakat itu sebenarnya bukannya terjadi karena
proses-proses yang tanpa sebab. Ide untuk membedakan secara analitis antara hukum dan
masyarakat berkoinsidensi dengan pembedaan antara negara dan masyarakat sipil itu
erat berhubungan dengan perubahan-perubahan kondisi-kondisi sosial-politik yang terjadi
di Eropa Barat. Tumbuh-kembangnya negara-negara nasional terteritori di bagian benua
ini tempat para pakar yang nama-namanya disebut-sebut di muka itu berefleksi dan
mengembangkan konsep beserta teori-teorinya berseiring dengan terasanya kebutuhan
akan suatu tertib hukum baru yang dasar legitimasinya tak lagi dipandang cukup kalau
cuma ditumpukan pada asas-asas moral-religius yang implisit atau institusi-institusi
sosial yang informal.

10
Maka terjadilah di sini nasionalisasi, positivisasi, formalisasi, dan (pendek kata)
politisasi sistem hukum, yang secara analitis lalu bisa dibedakan dari tertib masyarakat.
Sejalan dengan terjadinya pemisahan dan pemilahan konseptual antara law state yang
supra dan civil society yang infra telah memungkinkan kajian tentang hubungan antara
hukum dan masyarakat; dan juga tentang kemungkinan menggarap hukum dan
masyarakat masing-masing sebagai variabel empiris yang berfungsi di dalam suatu
konteks atau ajang-ajang tempat bekerjanya berbagai kekuatan sosial yang makro.

Dengan rujukan pemahaman hukum dan masyarakat sebagai variable-variabel
yang tak lagi bersifat moral normatif melainkan sekular, relatif dan temporal seperti
itulah kajian-kajian sosiologi hukum yang mengungkap dan menggarap hukum dan
masyarakat masing-masing sebagai entitas yang dependen dan interdependen mulai
marak. Diemansipasikan dan dilepas dari tambatan imperativa moralnya, hukum dan
masyarakat dapatlah dikaji bersaranakan metode-metode saintifis guna menemukan
simpulan-simpulan yang logis tentang ada-tidaknya hubungan-hubungan yang kausal
atau korelatif antar-komponen, dan tak lagi sebatas kajian-kajin doktrinal untuk
menemukan simpulan-simpulan tentang benar-salahnya (legal) judgements.

Di atas dasar konseptual dan metodologis seperti itulah perintis-perintis kajian
hukum dalam konsepnya sebagai variable sosial (pada tataran analisisnya yang makro)
mulai dirintiskan orang. Empat di antaranya yang namanya amat tenar dan dikenal
sampai kini adalah Karl Marx, Henry S. Maine, Emile Durkheim, dan Max Weber.
Variasi pemikiran mereka berempat itu, berikut kekhususan-kekhususan sumbangan
pemikiran mereka dalam persoalan hukum dan masyarakat dapatlah dipaparkan berturut-
turut di bawah ini.


Karl Marx (1818-1883): Masyarakat sebagai Satuan Tertib Ekonomi,
dan Fungsi Hukum di dalamnya

Pemikiran-pemikiran teoretis mengenai hukum dan/dalam masyarakat di tengah-
tengah pengalaman perubahan peradaban Eropa Barat pada abad 19 adalah pemikiran-
pemikiran yang amat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi evolusionisme. Marx pun terbilang
salah satu dari pemikir evolusionis yang mengasumsikan selalu adanya dinamika
perubahan dalam masyarakat. Diasumsikan bahwa perubahan itu adalah selalu berupa
suatu perubahan transisional yang tak terelakkan sehubungan dengan adanya keniscayaan
dialektika yang kodrati, dan termanifestasi dalam sejarah dari suatu model kehidupan
tertentu ke suatu model kehidupan tertentu yang lain. Sejalan dengan perubahan itu,
hukum pun sebagai komponen sistem kehidupan akan ikut pula berubah secara
fungsional.

Melepaskan diri tak hanya dari keterikatannya pada paradigma moral, akan tetapi
juga dari keterikatannya pada paradigma politik, dalam kerangka teoretis Marx itu
perubahan dialektis tersebut tidaklah berpangkal pertama-tama dari sebab-sebab yang
ideal politik sifatnya, melainkan yang ekonomis. Yang dianggap menjadi pemicu
perubahan dalam seluruh tatanan masyarakat dan hukum adalah kontradiksi-kontradiksi
11
yang terakumulasi dalam hubungan-hubungan produksi, yang berkait secara timbal-balik
dengan kesenjangan distribusi dan konsumsi produk-produknya. Kesenjangan dalam
ihwal kemampuan berproduksi dan berkonsumsi telah menyebabkan terjadinya
kesenjangan milik, dan kesenjangan milik akan menyebabkan sebagian orang akan
menguasai modal, sedangkan yang lain tak akan memiliki sisa apa pun kecuali tenaganya
saja. Tak pelak lagi yang menguasai harta milik dan/atau modal akan selalu memperoleh
kesempatan yang lebih luas dan kemampuan yang lebih besar untuk mengendalikan
produksi daripada mereka yang tak menguasai apa pun kecuali tenaga. Pemilik-pemilik
modal yang disebut para kapitalis akan menjadi penguasa-penguasa pembuat keputusan
yang berposisi menentukan dalam setiap proses produksi, dan dengan begitu juga dalam
penentuan pola konsumsi.

Para kapitalis ini akan selalu memperoleh keuntungan, dalam arti selalu
memperoleh nilai lebih yang tertambahkan ke dalam nilai produk atas jasa faktor
produksi yang disebut tenaga (bukan modal). Maka tak ayal lagi para kapitalis ini selalu
berupaya agar struktur produksi dan distribusi seperti itu tetap dapat dipertahankan dan
dilanggengkan. Di sinilah hukum akan dimanfaatkan oleh para kapitalis sebagai
instrumen untuk maksud itu, serta pula untuk membenarkan eksistensi lembaga
pemilikan modal, dan kemudian juga untuk mengamankannya. Dengan demikian, jelas
sudah bahwa dalam pandangan Marx, hukum (dan kekuasaan politik) itu adalah sarana
para kapitalis yang penguasa di bidang ekonomi untuk dengan sikapnya yang konservatif
melanggengkan kegunaan harta kekayaan sebagai sarana produksi yang (sehubungan
dengan klaim-klaimnya atas nilai lebih) juga sekaligus berfungsi sebagai sarana
eksploitasi. Karena kuatnya vested interest seperti itulah maka menurut Marx perubahan-
perubahan tatanan sosial dan ekonomi hanya mungkin dilakukan bukan melalui
perubahan hukum, melainkan melalui revolusi. Dalam proses inilah harta milik dan
modal akan secepatnya disita oleh negara (atas nama kelas proletar yang cuma punya
tenaga itu,) dan disosialisasi atau disosialisasi untuk dijadikan milik kolektif masyarakat.

Dari kajian Marx ini bolehlah disimpulkan bahwa hukum bukan sekali-kali model
idealisasi moral masyarakat, atau setidak-tidaknya bahwa masyarakat adalah manifestasi
normatif apa yang telah dihukumkan, sejalan dengan cita-cita yang ideal. Dalam
pandangan Marx, hukum adalah pengemban amanat kepentingan ekonomi para kapitalis
yang tak segan memarakkan hidupnya lewat eksploitasi-eksploitasi yang lugas. Dalam
konsep Marxian ini, hukum tidaklah cuma sebagai fungsi politik belaka, melainkan
benar-benar merupakan fungsi ekonomi. Dapat dimengerti, Marx memang hidup dalam
suatu era awal industrialisasi yang penuh dengan proses-proses transisional, di mana
makna-makna ekonomi mulai marak, mengatasi makna-makna moral dan politik dalam
kehidupan bermasyarakat. Pada akhirnya, Marx tidak sekadar hendak membuat deskripsi-
deskripsi dan eksplanasi-eksplanasi saja mengenai fungsi hukum di dalam masyarakat,
melainkan juga memprotes dan mengecamnya. Pada akhirnya, ia pun percaya bahwa
dalam masyarakat yang akan datang, di mana sosialisme dapat ditegakkan menggantikan
kapitalisme, hukum akan layu dan luruh, serta tidak akan diperlukan lagi.


12
Henry S. Maine (1882-1888): dari Hubungan Hukum Kuno yang
Bersifat Antar-Status ke Hubungan Hukum Progresif yang Bersifat Kontraktual

Henry S. Maine walaupun berumur sedikit lebih muda dan mengemukakan buah
gagasannya sedikit lebih kemudian daripada Karl Marx boleh dibilang hidup dan bekerja
sezaman dengan Marx ini. Hanya saja, apabila Marx amat reaktif terhadap perkembangan
transisional yang dialami dan diamatinya, Maine tampaknya cuma hendak mencoba
mengerti dan menjelaskan perkembangan-perkembangan yang terjadi, dan dengan
demikian juga mengesankan kalau ia cenderung hendak membenarkan keadaan. Maka,
apabila pada tahap perkembangan pemikiran yang kemudian Marx dianggap sebagai
tokoh kontroversial yang meletakkan dasar teori-teori konflik, Maine tetap terpandang
sebagai pengukuh teori evolusi klasik yang melihat proses-proses perubahan sebagai
suatu yang alami, dengan arahnya yang selalu menuju ke situasi-situasi yang serba
adaptif dan meningkatkan mutu survival bagi siapa pun.

Namun, seperti halnya dengan Marx, tentu saja Maine ini juga melihat
masyarakat bukan sebagai sesuatu model atau tipe ideal yang permanen, melainkan
sebagai suatu sistem variable yang tak pernah bisa terbebas dari berlakunya dinamika
proses. Masyarakat bukanlah suatu yang serba laten, melainkan suatu yang serba
kontingen. Dalam alam yang serba kontingen yang karena itu serba berkepastian untuk
terjadi namun serba tak berketentuan dalam hal wujudnya itu, masyarakat akan
berkambang secara progresif dari yang awal dan kuno ke yang kompleks dan modern.
Seiring dengan progresif seperti itu, hukum pun berubah dari fungsinya untuk
mengukuhkan hubungan-hubungan lama dalam masyarakat yang bersifat antar-status ke
hubungan-hubungan baru yang bersifat kontraktual.

Maine mengungkapkan bahwa di dalam masyarakat-masyakat tradisional yang
beruang-lingkup sempit dan lokal di mana asas-asas kekerabatan (dan kemudian feodal)
yang tradisional dengan ketatnya menstratifikasi masyarakat ke dalam lapisan-lapisan
sosial yang serba berjenjang ragam dan batasan luar sempitnya hak dan kewajiban
warga masyarakat akan sangat ditentukan oleh posisi masing-masing warga tersebut di
dalam struktur sosial yang terstratifikasi itu. Karena posisi-posisi sosial itu sifatnya
askriptif, yang karena itu pada asasnya bukan diperoleh sebagai hasil upaya dan usaha,
maka hak dan kewajiban yang nanti akan menentukan ragam dan luas-sempitnya
pastisipasi para warga ini di dalam kehidupan bermasyarakat itu pada dasarnya juga akan
didistribusikan kepada masing-masing warga berdasarkan askripsi-askripsi pula.

Karena apa yang disebut askripsi itu sesungguhnya berhakikat penganugerahan
atribut dan kapasitas kepada warga masyarakat bersangkutan dengan posisi masing-
masing warga di dalam tatanan status yang telah ditradisikan di dalam masyarakat, maka
di sini nyata kalau penganugerahan posisi atau status secara askriptif kepada para warga
di dalam masyarakat akan menentukan pula kapasitas hukum yang akan dianugerahkan
kepada mereka. Di sini hak dan kewajiban dibagi-bagikan secara diskriminatif menurut
kriteria sosial, yaitu menurut diferensiasi posisi dan status warga di dalam masyarakat,
dan tidak menurut kriteria lain yang lebih individual sifatnya (misalnya kehendak
dan/atau rasionalitas kepentingan yang dipertimbangkan secara pribadi). Maka,
13
tergantung dari status askriptif si subjek yang konkret itulah hukum akan
mempreskripsikan (misalnya saja!) siapa yang boleh kawin dengan siapa, siapa yang
berhak memiliki kuda dan mengenakan pakaian kebesaran tertentu, siapa yang berhak
membuka usaha dan mengepalai suatu organisasi, siapa yang harus mendahulu dalam hal
perbuatan hukum tertentu dan siapa pula yang harus tidak boleh mendahulu, siapa yang
boleh diangkat dalam jabatan yang ini atau yang itu dan siapa pula yang tidak, dan
demikian seterusnya.

Kenyataan menjadi berubah tatkala masyarakat bertransisi ke situasi-situasi baru
sehubungan dengan telah kian membesarnya agregasi kehidupan dan kian meningkatnya
interdependensi antara segmen-segmen sosial dalam kehidupan ekonomi. Di tengah-
tengah kenyataan yang telah amat berubah ini, hubungan-hubungan sosial dan hubungan-
hubungan hukum yang lebih luwes dan adaptif demi dimudahkannya upaya memobilisasi
sumberdaya guna memenuhi berbagai kepentingan dan tuntutan yang sudah mulai lebih
banyak bersifat situasional itu sangatlah dirasakan perlunya. Maka, kebutuhan akan
kebebasan dan mobilitas (dalam ihwal melaksanakan hubungan-hubungan hukum guna
merespons perubahan-perubahan besar dalam kehidupan sosial dan ekonomi yang telah
kian ekstensif namun juga kian kompleks) seperti itu telah memaksakan tekanan-tekanan
ke arah terjadinya pembubaran bentuk-bentuk organisasi kehidupan lama yang kompak,
dan yang terlalu amat terstruktur di dalam wujud jaringan-jaringan hubungan antar-status.

Dengan luruh dan runtuhnya struktur-struktur kekerabatan dan/dalam masyarakat
feodal yang sangat berorientasi pada pentingnya keciscayaan atas dasar hubungan-
hubungan antar-status yang dibangun atas dasar askripsi-askripsi itu bermulalah tatanan
baru di mana berlaku adagium ius connubii ac commercii. Di sini, warga-warga
masyarakat tak lagi diapresiasi terutama berkat status-status atau atribut-atribut sosialnya
yang lain, melainkan karena mereka itu telah terakui sepenuhnya sebagai sosok-sosok
manusia bebas yang berkehendak bebas untuk mengikatkan diri atau tidak mengikatkan
diri ke dalam hubungan-hubungan hukum (guna mendukung atau menolak mendukung
hak dan kewajiban). Di sini hubungan-hubungan hukum yang merefleksikan distribusi
hak dan kewajiban tidak lagi terpola secara tetap dan pasti dalam wujud struktur-struktur
sosial yang membakukan hubungan antar-status itu. Lembaga baru yang berfungsi
sebagai pendistribusi hak dan kewajiban kini muncul dan amat dikenal dengan penamaan
kontrak.

Gambaran perkembangan dari model hubungan-hubungan hukum lama yang
terlalu dibakukan secara struktural ke modelnya yang baru sebagai hubungan-hubungan
yang secara struktural bisa lebih bervariasi dan bersifat kontingen sebagaimana
dipaparkan di atas itu oleh Maine dinyatakan secara ringkas dengan formula movement
from status to contract. Dari perkembangan itu dapat ditengarai dengan nyata-nyata
bagaimana hukum tak lagi disamakan begitu saja dengan realitas diferensiasi serta
diskriminasi sosial yang oleh legitimasi tradidisi telah dibekukan dan dibakukan ke dalam
struktur-struktur sosial yang terlalu stabil. Lembaga kontrak yang ditumbuhkan di atas
konsep tradisi baru telah amat memungkinkan terjadinya elastisitas dan dinamika
kegiatan sosial-ekonomi. Elastisitas seperti itu memang amat diperlukan, karena
masyarakat yang tengah berubah kian kompleks pada waktu itu memang telah amat
14
menuntut kemungkinan terwujudnya hubungan-hubungan antar-warga yang bisa sangat
adaptif, nota bene adaptif ke berbagai situasi baru, berdasarkan disposisi-disposisi dan
keputusan-keputusan yang lebih terdesentralisasi di tangan para subjek hukum sendiri.


Emile Durkheim (1858-1917): Hukum sebagai Ekspresi Solidaritas Sosial

Ketika buah pikiran Marx dan Maine tentang Sosilogi Hukum telah banyak dibaca dan
dikaji orang, nama Durkheim sama sekali belum dikenal dan tentu saja juga belum
diperhitungkan orang. Ketika itu Durkheim tengah menikmati masa kanak-kanaknya.
Pikiran-pikiran Durkheim baru marak di lingkungan para pengkaji sosiologi hukum
setelah terbitnya buku karangannya berjudul De la Division du Travaille (1983), 32 tahun
setelah terbitnya buku Ancient Law (1861) oleh Maine.

Agak mengagetkan juga bahwa di tangan Durkheim itu hukum memperoleh
warna moralnya lagi, sekalipun moral yang dimaksud di sini bukanlah moral dalam
artinya yang normatif melainkan dalam menifestasinya sebagai realitas sosial. Dalam
konsep Durkheim, hukum sebagai moral sosial pada hakikatnya adalah suatu ekspresi
solidaritas sosial yang berkembang di dalam suatu masyarakat. Hukum adalah cerminan
solidaritas. Tak ada masyarakat di mana pun yang dapat tegak dan eksis secara berterusan
tanpa adanya solidaritas ini, sekalipun bentuk solidaritas tersebut bisa bervariasi,
berbeda-beda dari suatu tahap perkembangan ke suatu tahap perkembangan berikutnya.

Tentang bentuk soldaritas ini, Durkheim mengajukan tipologi yang hendak
membedakan secara dikotomis dua tipe solidaritas: yang mekanis dan yang organis.
Masyarakat berkembang dari yang lama dengan tipenya yang mekanis ke yang baru
dengan tipenya yang organis. Perkembangan itu bersejalan dan berseiring dengan kian
terdiferensiasinya pembagian kerja di dalam masyarakat itu, yaitu diferensiasi dari yamg
segmental ke yang fungsional. Dalam konsep Durkheim, diferensiasi pembagian kerja ini
tanpa dapat diabaikan lagi merupakan tema sentral yang akan menjelaskan terjadinya
berbagai macam perubahan dalam ihwal struktur dan restrukturasi masyarakat, tipe
solidaritasnya, dan pula fungsi hukumnya.

Diteorikan oleh Durkheim bahwa ketika masyarakat masih berada pada tahap
berdiferensiasi secara segmental, masyarakat tampak semisal himpunan sekian banyak
satuan pilahan yang masing-masing berformat kecil dan antara yang satu dengan yang
lain amat berkesamaan. Solidaritas yang dominan (sebagai penyatu pilahan-pilahan
menjadi suatu kesatuan himpunan) dalam masyarakat yang terdiferensiasi secara
segmental ini dikategorikan sebagai solidaritas yang bersifat mekanis. Alasannya ialah
karena dalam masyarakat yang segmental seperti ini satuan pilahan yang satu itu akan
dapat dilepas dari dan untuk tak lagi berhubungan dengan yang lain tanpa akan
mengganggu fungsi keseluruhan sistem. Halnya berubah tatkala masyarakat telah
berubah dan beralih ke tahap berikutnya yang mengesankan telah adanya diferensiasi
secara fungsional. Pada tahap ini masyarakat sudah bertumbuh-kembang menjadi suatu
kesatuan sistem yang tunggal dan lebih koheren, berformat besar dan berkeadaan
kompleks, degan satuan-satuan komponen yang heterogen, masing-masing dengan
15
fungsinya sendiri yang spesifik namun yang terintegrasi menjadi satu kesatuan agregasi
yang bersifat amat organis. Disebut demikian kerena di masyarakat yang telah
terintegrasi secara fungsional ini satuan-satuan pembangun struktur di dalamnya tak akan
dapat dilepaskan dari ikatan fungsionalnya dengan yang lain tanpa mengganggu
kelestarian seluruh sistem kehidupan.

Dikatakan oleh Durkheim lebih lanjut bahwa sesungguhnya apa yang
dinamakannya solidaritas organik itu berfungsi sebagai fasilitas untuk melicinkan jalan
berkembangnya koherensi dan kohesi antara berbagai bagian atau sektor kehidupan yang
(mulai) tumbuh heterogen di masyarakat. Maka, di sini hukum yang (seperti dikatakan di
muka ) dalam hakikat moralnya merupakan ekspresi solidaritas sosial tak akan mungkin
lagi ditopang oleh kekuatan-kekuatan sanksi yang bersifat represif, yang tujuan utamanya
adalah untuk melampiaskan dendam pembalasan. Alih-alih begitu, hukum dan sanksi-
sanksinya akan kian dituntut untuk lebih bersifat restitutif. Hukum yang represif yang
konkretnya tampak dalam wujud hukum delik atau hukum pidana amat dominan dalam
kehidupan masyarakat dengan solidaritas mekanis untuk menanggulangi ancaman-
ancaman dan pelanggaran-pelanggaran terhadap apa yang disebut kesadaran nurani
kolektif. Dalam kehidupan masyarakat lokal yang homogen dan belum mengenal
diferensisasi yang lanjut itu setiap perbuatan jahat dianggap mencederai nurani kolektif
masyarakat, dan untuk mereaksi perbuatan semacam itu pemidanaan diperlukan, karena
hanya dengan reaksi pembalasan yang spontan demikian itu sajalah solidaritas sosial
akan dapat dilindungi dan dilestarikan. Tentang rehabilitasi si pelaku kejahatan, hukum
tidaklah usah merisaukannya.

Dalam masyarakat yang telah berkembang menjadi modern, heterogen dan penuh
diferensiasi di mana solidaritas organik mengatasi solidaritas lama yang mekanis, hukum
represif tak lagi berfungsi secara dominan. Perannya akan digusur dan banyak digantikan
oleh hukum restitutif, yang menekankan arti pentingnya restitusi, pemulihan, atau
kompensasi untuk menjaga kelestarian masyarakat. Penjelasannya yang logis ialah,
karena sesungguhnya hanya lewat proses-proses penyelesain restitutif secara individual,
dari kasus ke kasus yang demikian itu sajalah kerugian dan kerusakan yang terlanjur
terjadi sebagai akibat pelanggaran-pelanggaran akan dapat dipulihkan, dan dengan begitu
juga kan berefek terus terpeliharanya fungsi-fungsi di dalam masyarakat yang kini telah
terlanjur berkoherensi tinggi, bagaikan organisme yang harus tetap hidup itu. Tak pelak,
dalam perkembangan yang demikian itu hukum perjanjian dan praktik-praktik kontrak
akan lebih marak.

Dengan mengajukan konstruksi pemikiran tentang hal bagaimana pelanggaran-
pelanggaran yang mengganggu integritas solidaritas sosial diproses dan diselesaikan
(secara represif ataukah secara restitutif?), Durkheim serta merta diakui sebagai pembuka
pemula lembaran baru dalam kajian-kajian sosiologi hukum yang makro. Di tangan
Durkheim itulah hukum sebagai norma sosial berhasil dikonsepkan sebagai suatu realitas
yang objektif. Durkheim ini pulalah yang terbilang sebagai orang pertama yang berani
berkata bahwa dengan norma-norma yang telah diobjektivisasikan itu hukum akan dapat
diuji secara empiris untuk mengungkap ada tidaknya hubungan ko-variasi (yang
kuantitatif) antara gejala diferensiasi dalam struktur sosial dan sifat-sifat hukumnya.
16
Dengan pernyataannya yang demikian itu, boleh dikatakan bahwa Durhkeim telah
menyiratkan klaim terwujudnya kajian hukum sebagai kajian sosiologi yang empiris,
pada tataran analisisnya yang makro.


Max Weber (1864-1920): Telaah tentang Rasionalisasi Hukum Modern

Sebagaimana Durkheim yang hidup sezaman dengannya, Weber adalah juga
seorang teoretisi klasik dalam kajian sosiologi hukum yang mencoba menegaskan dan
menerangkan liku-liku sistem sosial dari esensinya yang dikonsepkan sebagai sebuah
struktur normatif. Dalam pandangan Weber, hukum adalah suatu tatanan yang koersif.
Dikatakan demikian karena tegaknya tatanan hukum itu berbeda dengan tatanan-tatanan
dan norma-norma sosial lain yang bukan hukum ditopang sepenuhnya oleh kekuatan
pemaksa yang dipunyai negara.

Hidup di Eropa, di tengah-tengah suatu transisi peradaban di mana pemikiran-
pemikiran evolusionisme belum kehilangan posisi dominasinya, Weber juga mencoba
membuat deskripsi-deskripsi analitis tentang tahap-tahap perkembangan hukum,
dijelaskan sehubungan dengan perkembangan masyarakatnya. Dalam amatan Weber itu,
hukum tampak berkembang dari wujudnya sebagai fatwa-fatwa normatif para kyai atau
pendeta yang karismatis ke wujudnya yang baru sebagai hasil penggarapan yang
sistematis, dengan cara-cara pengelolaanya yang profesional oleh personil-personil yang
dilatih secara khusus untuk berkemampuan menerapkan hukum secara formal
berdasarkan asas-asas logika. Dalam hubungan ini Weber membedakan berbagai sistem
hukum atas dasar rasionalitasnya: yang substantif dan yang formal.

Oleh Weber hukum dikatakan memiliki rasionalitasnya yang substantif tatkala
substansi hukum itu memang terdiri dari aturan-aturan umum in abstracto yang siap
dideduksikan guna menghukumi berbagai kasus-kasus yang konkret. Sebaliknya, hukum
dikatakan tak memiliki rasionalitasnya yang substantif tatkala dalam tatanannya setiap
perkara diselesaikan atas dasar kebijaksanaan-kebijaksanaan politik atau etika yang unik,
bahkan mungkin juga emosional, tanpa bisa merujuk sekalipun dan sedikit pun ke aturan-
aturan umum yang secara objektif ada. Sementara itu, hukum dikatakan memiliki
rasionalitasnya yang formal apa bila aturan-aturannya disistematisasikan dan prosedur
pendayagunaanya untuk menyelesaikan berbagai perkara telah dipolakan demikian rupa
demi terjaminnya kepastian dan ke-panggah-an dalam hal penggunaannya. Hukum yang
memiliki rasionalitas yang formal tentulah akan memungkinkan optimalisasi
penggunaannya oleh para praktisi, dan memungkinkan pula optimalisasi kontrol-
kontrolnya sebagaimana akan diefektifkan secara intelektual oleh para ahli. Sebaliknya
hukum tak sekali-kali boleh dikatakan memiliki rasionalitas yang formal melainkan yang
irasional saja tatkala hukum itu cuma diperoleh lewat ilham-ilham saja, atau lewat
bisikan-bisikan wangsit yang konon diterima oleh para pemuka karismatis, yang karena
itu juga tak bisa diuji secara objektif dalam hal kebenaran dan kelaikannya.

Seraya merujuk kembali ke konsepnya tentang rasionalitas hukum itu, baik yang
formal maupun yang substantif, Weber menengarai adanya tiga tipe penyelenggaraan
17
peradilan di dalam masyarakat. Yang pertama adalah peradilan Kadi atau peradilan
dengan fungsi pendamaian atas dasar kearifan dan kebijaksanaan sang pengadil; yang
kedua adalah peradilan empiris; dan yang ketiga adalah peradilan rasional. Menurut
Weber, peradilan Kadi adalah peradilan yang sangat arbitrer dan karena itu juga dinilai
sebagai peradilan yang paling tidak rasional. Keputusan-keputusan peradilan Kadi ini
sepenuhnya dipercayakan kepada kearifan sang pengadil. Tanpa dirasakan perlunya
untuk dikontrol oleh keniscayaan sistem. Tentang peradilan tipe kedua, yaitu peradilan
empiris, Weber mengatakan bahwa peradilan ini terbilang peradilan yang lebih rasional,
sekalipun belum sepenuhnya. Dalam peradilan empiris ini sang hakim memutusi perkara-
perkara dengan cara beranalogi; keputusan-keputusan terdahulu dalam perkara-perkara
serupa dicoba-cari dan dirujuk, untuk kemudian ditafsir guna menemukan relevansinya
dengan perkara-perkara yang tengah ditangani.

Dalam tipologi Weber, peradilan dalam hukum modern sebagaimana dapat
disimak dalam pegalaman dan perkembangan di Dunia Barat adalah peradilan yang harus
dinilai paling rasional. Dalam definisi Weber, peradilan rasional adalah peradilan yang
bekerja atas asas-asas kerja sebuah organisasi birokrasi, yang hasilnya pada galibnya
memiliki daya berlaku yang universal; tidak seperti halnya peradilan Kadi dan peradilan
yang sifatnya lebih partikularistis-kasuistis. Menurut Weber pula, hukum Barat yang
berkembang sejauh ini adalah hukum yang paling rasional, ditangani oleh ahli-ahlinya
yang profesional di bidang kehakiman dan kepengacaraan. Pengorganisasian dan
penegakannya amat mengandalkan kesahihan analisis-analisis yang logis (menurut
silogisme deduksi) guna menggali makna-makna dari konsep-konsep dan aturan-aturan
umum yang berlaku. Dalam perkembangannya, hukum Barat yang modern itu akan kian
terlembagakan melalui proses-proses birokratisasi yang berlangsung di tubuh aparat-
aparat negara, dan dengan begitu juga kian rasional sifatnya, dengan isi keputusan-
keputusan yang boleh didugakan kelugasan dan kepastiannya.

Lebih lanjut lagi dari Durkheim yang konon tak berhasil membuat konstruksi-
konstruksi teoretis yang lebih jauh, melampaui konsep-konsepnya tentang imperativa
normatif yang berfungsi sebagai pengintegrasi tatanan sosial Weber ternyata menjadi
tenar karena pemikiran inovatifnya yang berbalik secara radikal tentang tindakan (aksi)
manusia di dalam masyarakat, yang tentunya juga meliputi tindakan-tindakan hukumnya.
Adalah tesis Weber bahwa tindakan-tindakan atau aksi-aksi manusia itu hanya bisa
dipahami dengan baik kalau dijelaskan tidak cuma secara terbatas atas dasar
karakteristik-karakteristiknya yang alami saja, akan tetapi juga terutama dari makna-
maknanya sebagaimana dipahami oleh para subjek pelakunya itu sendiri. Karena apa
yang disebut aksi itu selalu dikerjakan orang berdasarkan rasionalitas para subjek
pelakunya sendiri, maka sifat aksi itu kontingen; tentu saja dalam batas-batas yang
dimungkinkan oleh tatanan sosial yang ada, antara lain tatkala sang subjek pelaku
terpaksa harus mempertimbangkan secara rasional makna-makna yang mendasari aksi-
aksi subjek lain dengan siapa ia berhubungan dan berinteraksi dalam situasi-situasi
tertentu yang konkret. Dari konstruksi pemikiran Weber yang berbalik secara radikal
demikian itu tampak bahwa aksi-aksi para subjek antar-subjek itulah yang melalui proses
produksi dan reproduksinya akan mewujudkan terjadinya tatanan sosial, dan bukan
sebaliknya.
18

Teori Weber mengenai kontingensi aksi subjektif inilah yang kemudian
dielaborasi lebih lanjut oleh Talcott Parsons dalam teori tentang aksi sosial (Toward a
General Theory of Action, 1951) dan oleh para teoretisi angkatan berikutnya yang
mencoba mengkaji masyarakat (dan hukum) pada peringkat analisisnya yang mikro.
Maka, apabila Durkheim dengan konsepnya tentang objektivitas struktur normatif yang
sosial boleh dianggap sebagai peletak dasar kajian-kajian tentang law in society
(dengan pendekatannya yang makro-struktural, dan dengan metodenya yang pada
galibnya kuantitatif), Weber degan demikian boleh dianggap sebagai peletak dasar bagi
kemungkinan-kemungkinan kajian-kajian tentang law in action (dengan pendekatannya
yang mikro, dan dengan metodenya yang pada galibnya kualitatif). Di Indonesia, kajian-
kajian law in society, yang umumnya dikembangkan dengan merujuk ke teori-teori
tentang sistem sosial melengkapi ajaran hukumam murni yang dikenali juga sebagai
kajian law in books mulai berkembang pada tahun 1970-an, sedangkan kajian-kajian
tentang law in (human) action baru dicoba dimulai dalam beberapa tahun terakhir ini.


B. Alam Pemikiran Amerika Serikat (Holmes, Cardozo, dan Pound)


Latar Belakang

Teoretisi Eropa yang buah-buah gagasannya telah kita kaji secara berturut-turut pada
acara perbincangan yang lalu (yaitu Marx, Maine, Durkheim, dan Weber) adalah
pengkaji-pengkaji hukum yang mencoba mengamat dan menganalisis hukum (sebagai
institusi) dari perspektif sosial, as what it is. Dengan begitu tanpa ayal mereka semua itu
tepat-tepat saja kalau digolongkan ke dalam bilangan perintis-perintis sosiologi hukum
yang tak lagi bekerja dan berpikir dalam alur ilmu hukum yang bertradisi reine
Rechtslehre. Mereka semua itu memang selama itu dan selama ini terbilang sebagai
sosiolog-sosiolog, sekalipun ada di antara mereka yaitu Weber pernah juga belajar
hukum.

Sementara itu, sezaman dengan Durkheim dan Weber yang boleh dikatakan
mengedepan sebagai representasi alam pemikiran Eropa, di Amerika Serikat muncul pula
pemikiran-pemikiran baru tentang hukum dan fungsi hukum di tengah masyarakat yang
sedang berubah cepat. Pemikiran-pemikiran baru ini juga mencoba mengedepankan tesis
bahwa hukum itu tidaklah akan dapat dipahami dengan cukup sempurna apabila tidak
dikaji dalam hubungannya dengan realitas-realitas sosial. Tiga dari pakar pemikir
pembaru Amerika ini ialah Oliver W. Holmes, Benjamin N. Cardozo, dan Roscoe Pound.

Sekalipun para pemikir pembaru dari Amerika ini juga mencoba mengintroduksi
analisis-analisis sosial ke dalam kajian-kajian mengenai permasalahan hukum, akan tetapi
berbeda dengan rekan-rekan sezamannya yang dari Eropa mereka semua itu
sesungguhnya bukanlah akademisi murni yang mencoba menteorikan model-model
sistem sosial (dan hukum!) yang transisional. Mereka itu adalah konseptor-konseptor
yang mencoba secara normatif memberikan citra baru kepada hukum, dan nafas stamina
19
baru kepada fungsinya, dengan bertolak secara sadar dari kebutuhan-kebutuhan praktik
(praktik hukum tentu saja!), atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang pragmatis.
Maka, agak berbeda dengan apa yang telah berkembang di Eropa dalam alur tradisi ilmu-
ilmu sosial sebagai sosiologi hukum, apa yang berkembang di Amerika ini tetaplah
berada di dalam ruang lingkup jurisprudence, dan karena itu lebih tepat kiranya kalau
buah gagasan yang berkembang ini disebut seterusnya sebagai sociological jurisprudence
daripada sebagai sebagai sosiologi hukum.

Pendekatan Eropa yang sosiologis dan struktural dan terfokus pada societal level
itu dapat mudah dimengerti apabila diingat bahwa perkembangan hukum di Eropa
(Daratan) itu sejak semula memang berlangsung dalam kerangka dominasi peran hukum
perundang-undangan yang berformat nasional (civil law system), yang terintegrasi ke
dalam suatu institusi politik yang supra, yang dikenali dalam identitasnya sebagai negara.
Dengan demikian, di Eropa ini konsep-konsep tentang hukum lalu serta merta cenderung
lebih gampang berasosiasi dengan analisis-analisisnya yang serba makro dan struktural
pada societal/institutional level itu. Analisis-analisis seperti ini, setidak-tidaknya pada
tahap-tahap awalnya, terbukti cenderung pula bersifat eksplanatif, teoretis dan akademis.

Sementara itu, berbeda dengan apa yang terjadi di Eropa Daratan itu,
perkembangan praktik dan konsep-konsep hukum di Amerika Serikat mengikuti tradisi
Anglo-Saxon pada galibnya berlangsung dalam kerangka dominasi berlakunya sistem
common law. Sebagaimana diketahui, di dalam sistem ini hakim diakui berperan aktif
sebagai pembuat hukum lewat keputusan-keputusannya, dari kasus ke kasus, dan tidak
cuma sebagai penemu hukum, atau bahkan tidak cuma sebagai mulut yang
membunyikan bunyi undang-undang sebagaimana didoktrinkan dalam sistem civil law
Eropa Daratan. Maka, di sini, masalah perlunya analisis-analisis sosial dalam dan untuk
kajian hukum sangat lebih dirasakan oleh para praktisi hukum khususnya para hakim
yang terlibat di dalam dan/atau harus membuat keputusan-keputusan yang bermutu, guna
memenuhi tuntutan masyarakat yang terus berubah dan berkembang.

Tak pelak lagi, pemikiran-pemikiran inovatif para pemerhati masalah-masalah
hukum di Amerika Serikat pada masa yang penuh transisi sosial waktu itu dan juga di
Inggris, seperti yang diwakili oleh pemikiran Albert V. Dicey di sekitar tahun 1905an
adalah pemikiran-pemikiran yang berkecambah terutama di lingkungan para ahli dan
praktisi hukum itu sendiri. Mereka adalah para hakim atau pengacara, atau mantan-
mantannya, yang tak kunjung putus berupaya mengerjakan rekonseptualisasi hukum,
khususnya hukum yang dibuat dalam proses-proses peradilan sebagai judge-made law,
dengan cita-cita utama agar hukum dapat dicipta (tidak cuma sebatas ditemukan) sebagai
hukum yang memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu,
ditangani oleh ahli-ahlinya yang tetap bersetia di lingkungan profesi hukum yang
eksklusif itu, aliran pemikiran di Amerika Serikat di bidang permasalahan hukum dan
masyarakat ini tetaplah kental berwarna jurisprudence (dikenali dengan nama
sociological jurisprudence yang analitis-evaluatif) daripada berupa sosiologi (dikenali
sebagai sosiologi hukum yang lebih analitis-deskriptif) sebagaimana yang terjadi dalam
perkembangan di Eropa. Tiga tokoh perintisnya yaitu Holmes, Cardozo, dan Pound
20
berikut ide-ide gagasannya, akan diketengahkan berturut-turut dalam paragraf-paragraf
berikut ini.

Kajian-kajian hukum di Amerika Serikat yang menyertakan telaah telaah sosial
demi terciptanya hukum yang fungsional dan termutakhirkan ini di kemudian hari
berkembang pula menjadi kajian-kajian yang berfokus pada masalah-masalah perilaku
manusia yang terlibat dalam proses terciptanya keputusan-keputusan peradilan. Kajian-
kajian tentang dinamika kelompok juri dan apa yang disebut court atau judicial behavior
terlihat berkembang dan marak antara lain di Universitas Chicago, di tangan Hans Zeisel,
pada tahun 1950-an. Dalam perkembangan yang lebih kemudian lagi, bermula di
Amerika Serikat dan Inggris, seluruh kajian hukum yang mengikutkan analisis-analisis
sosial sebagai bagian dari metodenya entah yang sosiologi hukum, entah pula yang
sociological jurisprudence dan the study of judicial behavior dicakup dalam satu satuan
nama genus, yaitu apa yang hingga kini dikenal dan terkenal dengan nama the study of
law and/in society.


Oliver Wendell Holmes (1841-1935)

Semasa hidupnya, Holmes bekerja sebagai editor majalah hukum, penulis, dan akhirnya
hakim, mula-mula pada Massachusetts Supreme Judicial Court dan kemudian juga pada
Mahkamah Agung Amerika Serikat. Pada akhir hayatnya ia sudah sangat terkenal dan
terpandang hormat di negerinya. Buah gagasannya terbilang ganjil pada zamannya, dan
karena itu pada masa jabatannya sebagai hakim Mahkamah Agung itu ia juga terkenal
sebagai seorang hakim yang acap bertindak sebagai dissenter. Namun dari gagasan-
gagasannya yang ia tulis dalam berbagai publikasi itu pulalah ia dianggap dan diakui
sebagai perambah aliran baru dalam ilmu hukum di Amerika Serikat. Aliran baru inilah
yang kemudian dikenal dengan nama mazhab legal realism, sebuah aliran yang menolak
penerapan logika hukum yang terlalu kaku. Mazhab ini dengan tegas menolak
pencampuradukan moral dan hukum, dengan menyadari realitas adanya proses-proses
psikologis yang mengawali setiap proses pembuatan keputusan hukum di lembaga
peradilan.

Adalah pokok pikiran dan pendirian Holmes bahwa setiap hakim yang
bertanggung jawab memformulasi hukum lewat keputusan-keputusannya itu harus
selalu sadar dan yakin benar akan kebenaran pernyataan bahwa hukum itu sesungguhnya
bukan sesuatu yang "omnipresent in the sky", melainkan sesuatu yang senantiasa hadir
dalam situasi-situasi konkret "to meet the social need". Dalam bukunya Common Law
(1881) tentang pendirian itu, ia juga menuliskan lebih lanjut dengan ungkapannya yang
terkenal bahwa "the life of law is not logic; it has been experience". J uga bahwa

the felt necessities of the time, the prevalent moral and political theories, intuitions of public
policy, ... even the prejudices which judges share with their fellow-men have had a good deal more
to do than the syllogism in determining the rules by which men should be governed. The law ...
cannot be dealt with as if it contained only the axioms and corrolaries of a book of mathematics.

21
Maka, bukan logika hakim yang digunakan untuk berlogika secara deduktif-
matematis dari pangkal-pangkal premis yang dinamakan preseden hukum formal yang
harus mengedepan di sini demi kepastiannya. Kemampuan sang hakim menangkap
makna yang ia artikan sebagai kebenaran sebagaimana dipengaruhi antara lain oleh
nilai-nilai yang ia kukuhi, latar belakang pengalaman pribadinya, serta pula
kecenderungan pilihannya itulah sesungguhnya yang harus mengedepan dan dominan
di dalam setiap proses pembuatan keputusan dan penciptaan hukum. Hanya hakim yang
mengenal secara benar aspek-aspek sosial, sejarah, dan ekonomi dalam permasalahan
hukum sajalah yang akan mampu memenuhi fungsinya dengan semestinya. Semua itu
berkesan dan berarah ke soal kegunaan atau kemanfaatan hukum.

Dengan menekankan arti pentingnya sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya
sebagai faktor pemengaruh yang tak dapat diabaikan di dalam kehidupan hukum, dan
sementara itu tak hendak terlalu mementingkan unsur-unsur etis atau apa pun lainnya
yang ideal, Holmes sesungguhnya tengah memandang hukum sebagai sejumlah
keputusan dan maklumat yang pada hakikatnya merupakan cerminan kepentingan mereka
yang mampu berdominasi di dalam masyarakat, yang seterusnya untuk menjamin
realisasinya akan ditegakkan dengan bantuan sarana-sarana pemaksa. Sekalipun di
dalam penciptaan hukum nanti asas-asas moral toh bisa saja ikut dipertimbangkan, akan
tetapi moralitas yang sesungguhnya mengedepan di sini adalah moralitas yang menjadi
pilihan kelompok-kelompok berkekuatan dan berkekuasaan, yang di tengah masyarakat
tanpa hentinya saling menggusur untuk memperebutkan posisi-posisi yang
memungkinkan dominasi.

Dengan lebih mendahulukan arti pentingnya variabel-variabel sosial yang
bermain secara lugas di dalam masyarakat daripada menekankan pentingnya peran
etika dan pengaruh moral seperti itu, Holmes secara jelas-jelas ditengarai oleh banyak
orang sebagai seorang penganut Darwinisme sosial yang tegas. Sebagai seorang
Darwinis, Holmes yakin bahwa seluruh upaya dalam peradaban manusia itu tidak akan
lain daripada serangkaian perjuangan untuk menegakkan eksistensi dan kelestarian
bangsa atau ras, dan bukan setakat hendak merealisasi tujuan-tujuan yang sifatnya cuma
etis. Pendekatan Holmes dalam permasalahan ini memang benar-benar merupakan
pendekatan yang pragmatis. Dalam hubungan ini ia mengajak kita menyimak kenyataan
dalam kehidupan yang nyata sehari-hari.

Menghadapi permasalahan atau perkara hukum demikian dikatakan oleh
Holmes di dalam artikelnya, The Path of Law (1897) setiap pihak yang terlibat dalam
realitasnya yang lugas tak akan banyak peduli mengenai apa sesungguhnya bunyi asas-
asas moral atau bunyi doktrin-doktrin hukumnya yang secara abstrak mengkaidahi
penyelesaian perkara itu. Yang nyatanya nanti akan paling dipandang penting serta
menentukan oleh pihak-pihak yang berperkara tidaklah akan lain daripada apa yang akan
diputuskan oleh hakim di pengadilan. Maka, dengan mempertimbangkan kebenaran
realitas yang lugas seperti inilah Holmes mengulang kembali pokok pendapatnya bahwa
hakim itu harus benar-benar memperhatikan dan mempertimbangkan tujuan dibuatnya
keputusan hukum, alasan dan nalar yang akan diberikan sebagai dasar pembenar hukum
22
yang telah diputuskannya itu, seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh dan
sepadankah itu dengan besar bea atau tebusan yang harus dikorbankan.



Benjamin Nathan Cardozo (1870-1938)

Sebagaimana Holmes, Cardozo adalah juga hakim; mula-mula pada New York
Supreme Judicial Court, dan baru sesudah itu pada Mahkamah Agung Amerika Serikat,
menggantikan Oliver Holmes. Ikut berpartisipasi di dalam dan sekaligus juga
dipengaruhi oleh teori-teori sociological jurisprudence Cardozo juga menekankan
perlunya ditumbuhkembangkan kepekaan peradilan dan lembaga legislatif pada realitas-
realitas sosial yang ada berikut segala perubahannya. Sebagaimana halnya dengan
pendukung-pendukung sociological jurisprudence yang lain pada umumnya, Cardozo
juga selalu bersiteguh pada pendapat bahwa berbagai kekuatan sosial yang ada dalam
kehidupan seperti logika rakyat, sejarah, adat kebiasaan, pertimbangan kemanfaatan,
dan standar moralitas yang disepakati dalam kehidupan berfungsi secara riil sebagai
faktor-faktor instrumental ke arah terciptanya hukum.

Bagi Cardozo, perkembangan hukum tak pelak lagi adalah suatu proses kejadian
sejarah yang berlangsung di bawah kondisi perubahan-perubahan sosial dan pengaruh
pendapat-pendapat masyarakat tentang apa yang harus diadatkan dan apa pula yang
dipandang sebagai moral. Oleh sebab itu, hakim dan pembuat undang-undang yang tak
dapat mengingkari kewajibannya untuk berperan serta dalam perkembangan ini (lewat
penciptaan-penciptaan hukum) haruslah dengan sungguh-sungguh dan secara terus-
menerus memperhatikan kondisi-kondisi sosial dan kondisi-kondisi eksternal lainnya,
berikut segala permasalahannya yang terkait.

Hukum haruslah tetap sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan sosial dan apa yang
diidealkan di dalam tatanan sosial yang kontemporer. Maka hukum pun secara luwes
harus bisa mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Tak ayal para
penciptanya harus juga paham betul mengenai liku-liku perubahan itu, dan
mempelajarinya dari pengalaman serta renungannya yang mendalam; atau, pendek kata,
dari kehidupan yang dialaminya itu sendiri. Menurut Cardozo, membuat hukum untuk
memutusi suatu perkara bukanlah suatu proses mekanis untuk sebatas menemukan apa
yang telah menjadi preseden, dan kemudian sekadar "mencocokkan warna". Acap kali
terbukti bahwa apa yang telah dihukumkan sebelumnya itu tidak jelas bisa menjawab
permasalahan yang tengah dihadapi hakim yang sedang harus memutusi perkara,
sehingga dengan begitu hakim harus berani menciptakan asas-asas baru atau
memodifikasi asas yang lama untuk menjawab permasalahan yang baru.

Konsekuen dengan pendapatnya yang demikian itu, ketika masih menjabat hakim
pada Supreme Court of New York, Cardozo pernah menolak dalih seorang pengacara
yang membela Buick Motor Company, yang menjadi tergugat dalam perkara tuntutan
ganti rugi akibat cacatnya mobil buatannya. Pengacara itu berdalih dengan merujuk ke
preseden lama bahwa karena kontrak pembelian itu dilakukan oleh penggugat dengan
23
toko penyalurnya, maka tuntutan ganti rugi itu harus ditujukan kepada penyalur, dan
tidak kepada pabrik. Cardozo menolak dalih itu dengan menyatakan dalam amar
keputusannya bahwa

Precedents drawn from the days of travel by stage-coach do not fit the conditions of travel today.
The principle that danger must be imminent does not change, but the things subject to the principle
do change. They are whatever the needs of life in a developing civilization require them to be.

Menurut Cardozo, hakim sebagai seorang pencipta hukum memang harus terus
berupaya mengarahkan hukum ke tujuan utamanya, yaitu memenuhi kebutuhan banyak
orang yang harus hidup di tengah masyarakat yang sedang mengalami transformasi
(sebagai akibat perubahan-perubahan teknologi dan proses industrialisasi). Hakim
sebagaimana ahli-ahli hukum modern lain pada umumnya harus tanpa ragu dan tanpa
kunjung putus menilai kegunaan sosial setiap ayat hukum yang berlaku dan yang akan
diberlakukan. "The final cause of it is the welfare of the society", demikian katanya
dalam The Nature of The Judicial Process (1921).

Sekalipun telah demikian nyata sikap Cardozo yang luwes menangani proses
perkembangan hukum di tengah masyarakat yang sedang bertransisi, namun menuruti
sikapnya yang agak lebih moderat apabila dibandingkan sikap Holmes yang menjadi
pendahulunya, Cardozo toh tetap juga mencoba menggarisbawahi kembali pendapat
bahwa (sampai kapan pun!) apa yang dinamakan hukum itu tak akan mungkin
membebaskan diri dari keniscayaan berlakunya kaidah-kaidah umum yang mendasarinya.
Dalam hubungan ini, keputusan-keputusan hukum terdahulu yang berstatus sebagai
preseden pada asasnya haruslah tetap dihormati dan diikuti dalam penyelenggaraan
peradilan dari masa ke masa, dan hanya akan boleh diingkari dalam kasus-kasus tertentu
yang sifat perkecualiannya memang ada dan dengan alasan yang kuat bisa dibenarkan.
Apa yang disebut preseden ini barulah boleh serta merta diabaikan tatkala kepatuhan
untuk mengikutinya akan dinilai berlawanan dengan perasaan keadilan dan/atau
bertentangan dengan upaya-upaya memajukan kesejahteraan masyarakat.

Cardozo menyangkal pendapat bahwa hukum itu bisa saja eksis tanpa mempunyai
koherensi dan konsistensi, dan cuma berupa sehimpunan keputusan-keputusan dari kasus
ke kasus yang tak perlu bersambungan atau berhubungan satu sama lain. Menurut
Cardozo, bagaimanapun juga, dalam setiap tubuh hukum itu selalu bisa ditemukan asas-
asas baku yang bersifat dasar dan telah diterima oleh masyarakat, atau pula pola-pola
nilai yang objektif, yang bekerja untuk (sampai batas-batas tertentu) menjaga integrasi
dan konsistensi hukum, sekalipun sesekali keputusan-keputusan subjektif oleh hakim tak
selamanya bisa dihalangi.

Adalah keyakinan Cardozo yang kuat bahwa kepastian hukum itu tetap diperlukan
untuk kelestarian hidup hukum, asal saja kepastian itu tidak terlalu dikukuhi sebagai
sesuatu kebenaran yang mutlak, sampai-sampai boleh menghalangi dinamika-dinamika
perubahan menuju ke kemajuan. Sekalipun moderat, dan sedikit banyak mengesankan
sikap kompromistis, pendapat Cardozo ini sudah amat berbeda dengan pendapat Holmes,
yang pernah menyatakan bahwa kepastian hukum itu sesungguhnya merupakan suatu
ilusi belaka.
24



Roscoe Pound (1870-1964)

Setara dengan Holmes, Pound adalah juga seorang tokoh sociological
jurisprudence bahkan ia juga sering dipandang sebagai perintis dan pendirinya yang
hingga kini tenar dengan ajarannya bahwa proses hukum pada hakikatnya adalah suatu
proses rekayasa sosial. Maka, dengan demikian, hukum itu pada hakikatnya adalah juga
sarana yang dapat didayagunakan untuk mengontrol dan merekayasa masyarakat.
Banyak karya yang ditulis Pound, yang ternyata tak hanya terbatas pada persoalan
sociological jurisprudence saja, akan tetapi juga yang berkaitan dengan serta yang juga
sekaligus telah memperkenalkan dan memopulerkan sosiologi hukum di kalangan para
pengkaji dan pengguna hukum di Amerika Serikat.

Pound menempuh awal kariernya sebagai pengacara dan sebagai auxilliary judge
pada Nebraska Supreme Judicial Court, dan kemudian sampai akhir hayatnya mengajar,
menjadi dekan, dan akhirnya menduduki jabatan guru besar hukum pada Universitas
Harvard. Karena di Amerika Serikat Fakultas Hukum itu terbilang sebagai apa yang
disebut professional school, maka perhatian Pound kepada kajian hukum sebagai bagian
dari aktivitas profesi (lebih daripada sebagai upaya kegiatan akademis semata) tetaplah
saja besar. Tentu saja, sebagaimana telah dikatakan di muka, wawasan-wawasan
akademisnya yang memasuki ranah sosiologi hukum tak pula dapat diabaikan begitu saja.

Bagi Pound hukum itu diselenggarakan dengan tujuan untuk memaksimumkan
pemuasan kebutuhan dan kepentingan (interest). J uga seperti halnya Holmes yang
bersikap membelakangkan etika dan membelakangi moral dalam konstruksi-konstruksi
konseptualnya tentang hukum, Pound pun cenderung melihat kepentingan (dan bukan
etika atau moral itu) sebagai unsur paling hakiki di dalam percaturan hukum, dan yang
karena itu pantas dijadikan konsep dasar untuk membangun seluruh teori sociological
jurisprudence. Dikatakan bahwa pada hakikatnya, hukum itu diperlukan karena dalam
kehidupan ini banyak terdapat kepentingan yang minta dilindungi. Pada hakikatnya, hak
itu pun tak lain daripada kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Lebih lanjut Pound
mendefinisikan kepentingan (dalam buku Social Control Through Law, 1942) dengan
kalimat a demand or desire which human beings, either individual or through groups or
associations or in relations seek to satisfy.

Ada tiga macam kepentingan yang perlu diketahui, yaitu kepentingan individu,
kepentingan umum (yaitu kepentingan badan-badan pemerintah sebagai pemilik harta
kekayaan), dan kepentingan sosial (yaitu kepentingan untuk melindungi dan menegakkan
nilai-nilai yang dijunjung tinggi di dalam masyarakat, seperti misalnya keamanan umum,
perlindungan sumber daya alam, kemajuan dalam kehidupan politik dan budaya, dan
sebagainya). Kalau pada abad 19 hukum boleh ditengarai terlalu banyak mengakui hak-
hak individu (yang malah acap kali malah dinilai sebagai sesuatu yang bersifat asasi dan
kodrati) untuk melindungi kepentingan-kepentingan individu, maka demikian Pound
pada abad 20 ini seyogianya hukum ditelaah ulang untuk lebih mendahulukan kebutuhan,
25
tuntutan dan kepentingan sosial. Di sini pembatasan hak atas harta kekayaan dan
pengurangan ruang gerak kebebasan berkontrak, serta diganda-gandakannya produk
perundang-undangan sosial, dinilai sebagai langkah kebijakan yang amat diseyogiakan.
Kalau kebijakan yang demikian ini dapat diwujudkan, menurut Pound perkembangan
hukum dalam sejarah bolehlah dibilang sudah memasuki tahapnya yang kelima, yaitu
tahap terakhir dalam teori Pound tentang tahap-tahap perkembangan hukum dalam
sejarah yang mengisyaratkan adanya proses menuju ke kesempurnaan.

Sehubungan dengan apa yang diketengahkan sebagai kepentingan sosial itu,
Pound menunjukkan bahwa hukum dapat difungsikan sebagai alat rekayasa sosial untuk
melindungi kepentingan-kepentingan sosial. Yang harus diangkat sebagai persoalan di
sini ialah bagaimana usaha-usaha bersama manusia dapat lebih diefektifkan dengan jalan
merealisasi apa yang menjadi tujuan hukum (dikemukakan dalam Outlines of Lectures on
Jurisprudence, 1903). Pembuat hukum haruslah mempelajari apa efek sosial yang
mungkin ditimbulkan oleh institusi dan doktrin hukum, berbanding dengan efek yang
mungkin ditimbulkan oleh sarana kontrol atau sarana rekayasa lain yang bukan hukum.
Dengan anjurannya yang demikian ini sesungguhnya Pound telah mengajak khalayak
ramai pemerhati kajian-kajian hukum di Amerika Serikat untuk juga memperhatikan
sosiologi hukum.

Di lain kesempatan, Pound juga mengetengahkan pikirannya bahwa penyelesaian-
penyelesaian perkara yang adil itu dapat diselenggarakan menurut hukum, akan tetapi
dapat pula tidak. Apabila diselesaikan menurut hukum, maka penyelesaian itu akan
berlangsung dalam forum pengadilan, sifatnya sangat lugas, kecenderungannya menuntut
perlakuan yang sama, dan cara capainya dilakukan dengan upaya menerapkan kaidah-
kaidah umum yang baku (ditulis di dalam Jurisprudence, 1959). Sementara itu, apabila
penyelesaian perkara dilakukan tidak menurut hukum akan tetapi menurut intuisi bebas
seseorang pengadil yang tak merasa terikat pada kaidah-kaidah umum macam apa pun,
maka penyelesaian itu akan bercorak administratif. Menurut Pound, kedua corak itu
yang yudisial maupun yang administratif selalu sama-sama ditemukan dalam sistem
hukum mana pun juga. Mana dari keduanya yang akan lebih banyak dipraktikkan, itu
tidaklah dapat dikatakan. Sesekali corak yang yudisial itulah yang mengedepan, dan
sesekali lagi justru yang administratif itulah yang lebih populer. Keseimbangan yang
diterima khalayak itulah yang tentunya harus dinilai sebagai cara dan corak yang terbaik.

3

TOPIK-TOPIK TERPILIH SOSIOLOGI HUKUM
Suatu Tawaran untuk Perbincangan



SOSIOLOGI HUKUM jangan dikacaukan begitu saja dengan Sociological
Jurisprudence adalah studi sosiologi, dan tidak sekali-kali seranah dengan studi
rechtsleer atau jurisprudence. Oleh sebab itu, tatkala studi-studi rechtsleer lebih
merupakan ajaran kaum positivis (seperti Kelsen) tentang how law as it is written in the
books lebih merupakan ajaran yang diprakarsai oleh Roscoe Pound tentang how law as it
by taking social progress into considerations should be decided in courts, maka sosiologi
hukum adalah suatu anak cabang ilmu-ilmu sosial yang berkenaan dengan kajian tentang
law as it is observed in society. Karena merupakan bagian dari studi sosiologi, maka tak
pelak lagi sosiologi hukum itu dikembangkan dengan atau atas dasar paradigma-
paradigma serta teori-teori sosial yang telah teruji atau yang akan bisa diakui
bersaranakan metode-metode yang telah dilazimkan dalam sains pada umumnya dan
dalam sains sosial pada khususnya. Paradigma-paradigma, teori-teori dan metode-metode
itu umumnya tak banyak dikenal oleh para mahasiswa dan para sarjana hukum, karena
jarang sekali ketiga tiang pokok yang penting dalam sains sosial (dan dengan demikian
penting pula dalam sosiologi hukum) itu pernah diajarkan secara lengkap dan tuntas di
Fakultas-Fakultas Hukum.

Keterasingan para mahasiswa dan para sarjana hukum dari paradigma, teori dan
metode sosiologi (hukum) itu lebih diperkuat lagi tatkala pendidikan hukum di Indonesia
hingga kini masih saja dimaksudkan secara kurang realistis sebagai studi profesi yang
monolitik semata, yang meyakini bahwa kehidupan bermasyarakat yang kompleks ini
dapat begitu saja diatur secara apriori menurut model-modelnya yang normatif-positif,
yang ditegakkan berdasarkan prosedur-prosedur bersanksi. Bermaksud begitu,
pendidikan hukum di Indonesia menganut tradisi Civil Law dari Eropa Kontinental lalu
cenderung memperlakukan hukum sebagai kaidah-kaidah positif (yang terumus secara
eksplisit dan terinterpretasi secara konsisten) yang terorganisasi di dalam suatu sistem
normatif yang tertutup, dengan metodenya yang monismus yang ternyata dimaksudkan
untuk hanya bisa mengenali prosedur-prosedur penalaran yang formal-deduktif saja.
Karena metode deduksi ini hanya bermanfaat untuk menemukan dasar pembenaran atau
dasar legitimasi (itu pun hanya yang formal saja), dan tidak sekali-kali mampu
menemukan hubungan antarvariabel di alam amatan sebagaimana halnya metode induksi,
maka tak pelak lagi ilmu hukum ini sulit digolongkan ke dalam bilangan ilmu; yaitu
ilmu dalam artinya yang khusus sebagai (empirical) science.

Maka, siapa pun dari kalangan mahasiswa atau sarjana hukum yang ingin
mempelajari sosiologi hukum, pertama-tama haruslah ia sadar bahwa yang akan dimasuki
itu adalah suatu olah kecerdasan pikir yang tak (lagi) dimaksudkan untuk bersifat serba
judgemental, sebagaimana yang semula dianut dalam rechtsleer atau jurisprudence.
20
Sosiologi, dan dengan demikian juga sosiologi hukum, adalah suatu intelectual exercise
yang akan (lebih) bersifat eksplanatif, berawal dari suatu upaya pengamatan yang
bermetode, yang karena itu juga terkontrol, untuk menghindarkan para pengkajinya dari
segala bentuk interupsi subjektivitas. Kalaupun tidak mengarah ke pembuatan eksplanasi-
eksplanasi mengenai hubungan antargejala kehidupan, sosiologi itu akan beraktivitas
membuat diskripsi-diskripsi; namun jelas tidak akan sekali-kali membuat preskripsi-
preskripsi.

Memang benar, sebagaimana halnya dengan rechtsleer yang berkembang di
kalangan para legal professionals di Eropa Kontinental itu sosiologi dan sosiologi hukum
juga berkembang dari pemikiran filsafati kaum positivis (atau yang juga disebut kaum
empiris kalau di Inggris); yaitu paham kefilsafatan yang amat meyakini suatu prinsip
ontologis bahwa persepsi indrawi atas alam pengalaman itu sajalah yang paling laik
untuk dipakai sebagai dasar pengetahuan dan gagasan manusia yang kebenarannya paling
berkepastian atau berkeniscayaan. Positivisme inilah yang menolak kebenaran-kebenaran
yang bersifat metafisik atau teologis, hanya saja, kalau sosiologi (dan karena itu juga
sosiologi hukum) penolakan itu mendorong para pengkajinya untuk segera
mengkonstruksikan realitas sosial dan hubungan antara realitas itu sebagai suatu
objektiva di alam amatan (yang ada tidaknya hanya dapat disimpulkan lewat metode
logika induksi), dalam rechtsleer yang positivistis itu apa yang disebut rechtsfeiten dan
hubungannya dengan rechtsgevolgens-nya adalah suatu konstruksi-konstruksi normatif,
hasil political judgements yang dipositifkan dalam wujud hukum perundang-undangan
(yaitu lex atau lege yang menggantikan peran jus).

Dengan perspektif positivisme atau empirisme yang berlanjut seperti terpapar di
atas ini, dengan berbagai dan sejumlah kegiatan kerja yang banyak mengandalkan dan
mendahulukan pengamatan serta pengukuran dunia eksternal yang diperlakukan sebagai
alam objektiv (guna mendapatkan data yang dapat dianalisis dan disimpulkan untuk
mengkonstruksi teori-teori, yang pada gilirannya dapat difungsikan sebagai sumber
hipotesis), sosiologi dan sosiologi hukum seperti ini telah berhasil membangun suatu
sistem pengetahuan yang tak hanya relatif lengkap akan tetapi yang juga masih
berpotensi untuk terus bertumbuh-kembang. Sebagaimana studi-studi sosiologis yang
klasik pada umumnya, sosiologi hukum sebagai studi tentang institusi sosial yang khusus
telah juga pertama-tama meminati dan kemudian membuat eksplanasi-eksplanasi tentang
perubahan-perubahan yang terjadi. Perubahan-perubahan yang mendominasi realitas
kehidupan di Eropa pada masa itu, nota bene perubahan-perubahan transformatif sosial
dari situasi kehidupan yang semula agraris-feodal-tradisional ke yang modern-nasional-
industrial.

Itulah perubahan-perubahan yang diabstrakkan dalam konsep teoretis oleh Maine
sebagai perubahan dari kehidupan serba status ke kehidupan baru yang serba
kontrak. Atau yang dikatakan oleh Durkheim sebagai perubahan yang menurut
modelnya bergerak dinamis secara evolusioner ataupun revolusioner dari kehidupan
yang bersolidaritas mekanis ke yang bersolidaritas organik. Begitu pula yang dijelaskan
oleh Weber sebagai perubahan yang nyata-nyata mengubah tatanan (yang ekonomi
maupun yang hukum) yaitu yang modern-rasional. Perubahan-perubahan seperti ini,
21
lewat kajian-kajian yang lebih mutakhir juga kemudian yang tak hanya termanifestasi
sebagai transformasi-transformasi sosial yang berhakikatkan persoalan struktur dan
fungsi, melainkan juga sebagai perubahan-perubahan yang relevan dengan persoalan
hubungan transaksional antara penguasa negara (state) dan warga masyarakat (Society)
dalam kapasitasnya sebagai warga negara, yang sesungguhnya berhakikatkan persoalan
transaksi penuh konflik.

Perkembangan yang patut dicatat pula dalam kajian-kajian sosiologi hukum
adalah mulai ditinggalkannya kemudian sikap dan wawasan yang Eropa-sentris atau
Amerika sentris yang semula mendominasi kegiatan para pengkajinya. Seusai Perang
Dunia ke II, para pengkaji sosiologi hukum mulai memperhatikan pula apa yang terjadi
dalam konteks cultural encounters antara sistem hukum Eropa yang eksis dan
terteruskan sebagai struktur supra yang modern dan nasional di negeri-negeri
berkembang dan basis-basis kultural yang dikukuhi oleh masyarakat bumi-puteranya
sebagai bagian dari kekayaan tradisionalnya. Perhatian ini telah mengalahkan kajian-
kajian baru yang mendekatkan kajian-kajian bergaya sosiologis ke kajian-kajian yang
lebih bergaya antropologis. Inilah kajian-kajian yang harus lebih dikenali sebagai kajian-
kajian tentang transplantasi kultural daripada sebagai kajian-kajian tentang transformasi
sosial.

Sesungguhnya perkembangan yang terjadi tidaklah hanya berhenti di situ. Selewat
dasawarsa 1980-an abad 20 ini, tatkala proses globalisasi berlangsung sebagai peristiwa
yang tak lagi gampang ditahan dan diingkari, dan pula tatkala modernisme yang
memberikan dasar legitimasi pada peran negara dan hukum nasional mulai dicabar oleh
paham-paham posmo (postmodernism) yang dalam paradigmanya hendak lebih
mendahulukan arti pentingnya eksistensi manusia daripada strukturnya dengan
pengakuannya bahwa manusia itulah yang sesungguhnya aktor yang memproduksi dan
mereproduksi masyarakat, dan bukan sebaliknya, sosiologi (dan tentu saja sosiologi
hukum) mengalami masa krisis dalam teori-teorinya. Terjadilah dekonstruksi-
dekonstruksi dan/atau rekonstruksi-rekonstruksi baru dalam teori-teori dan metodologi
sosiologi dan sosiologi hukum, bertolak dari paradigma baru yang dikenali sebagai
paradigma sosiologi mikro (dengan teori-teori aksi dan interaksi simbolisnya). Sosiologi
dan sosiologi hukum dengan paradigma baru ini menuntut pengakuan akan eksistensinya,
di samping teori-teori klasik yang kini dikenali juga sebagai sosiologi makro (dengan
teori-teori strukturalnya, baik yang fungsional maupun yang konfliktual).

Bagi para mahasiswa dan sarjana hukum yang baru memulakan minat dan niatnya
untuk mempelajari sosiologi hukum, lebih-lebih mereka yang pernah mempunyai
pengalaman dalam studi-studi tentang keefektifan hukum nasional di dalam kerangka
studi law and society, memilih atau mendahulukan kajian sosiologi hukum yang makro
sangatlah lebih dianjurkan. Kajian sosiologi yang makro ini berparadigma kajian yang
labih positif-empiris daripada yang simbolis. Maka kajian yang makro ini pun akan lebih
nyata bertolak dari pemahaman tentang hukum sebagai sistem dan struktur yang
memprioritaskan norma baku (normologis ataupun nomologis) daripada yang bertolak
dari pemahaman fenomenologis tentang kebebasan otonomi perilaku individu (sebagai
22
komponen sistem) yang sangat kreatif dan variatif. Pengorganisasian topik-topik
perbincanganya dapatlah diusulkan sebagai berikut:

I. Studi tentang Hukum sebagai Suatu Model Institusi
a. Kaidah Sosial, Kaidah Hukum, dan Kaidah Hukum Negara
b. Sosialisasi Hukum sebagai Proses Kontrol Sosial I
c. Ancaman dan Penerapan Sanksi sebagai Proses Kontrol Sosial II
d. Lembaga Pengada, Penegak, dan Penerap Hukum dan Tempat serta
Perannya dalam Sistem Politik
e. Profesi Hukum dan Pendidikan Hukum

II. Studi tentang Hukum sebagai Proses Konflik yang Dinamis
a. Ketaatan dan Keefektifan Hukum
b. Stratifikasi dan Keefektifan Sanksi Hukum
c. Proses Legislasi: Antara Regulasi dan Deregulasi
d. Proses Peradilan dan Perilaku Yudisial dalam Kerangka Upaya
Penyelesaian Konflik
e. Hukum dan Revolusi
f. Hak-Hak Asasi Manusia dan Konstitusionalisme dalam Kehidupan
Hukum dan Politik

III. Studi tentang Hukum di Tengah-Tengah Konteks Perubahan
a. Hukum sebagai Realitas dalam Proses Transformasi sosial: Dari
Hukum Rakyat ke Hukum Nasional yang Positif
b. Hukum Sebagai Realitas dalam Proses Transaksi Politik dalam
Kehidupan Nasional: Modernisasi Hukum
c. Hukum sebagai Realitas dalam Proses Transplantasi Kultural
d. Hukum Sebagai Realitas dalam Proses Transformasi Ekonomi-Bisnis:
Menuju Global Market

IV. Metode-Metode dalam Kajian Sosiologi Hukum Kontemporer
a. Teori-Teori Struktur dalam Sosiologi Hukum dan Metodenya yang
Klasik-Kuantitatif
b. Teori-Teori Aksi dalam Sosiologi Hukum dan Metodenya yang
Kualitatif
c. Variasi Metode Kualitatif dari Teori Agency dalam Sosiologi Hukum.

Untuk keperluan perbincangan dalam topik-topik tersebut di muka, buku bacaan
tersebut berikut ini dapatlah dianjurkan dengan sangat: Cottrell, Reger. The Sociology of
Law: An Introduction, (London: Butterworths, 1984); Vago, Steven. Law and Society,
Edisi Ketiga (Englewood Cliffs, N.J .: Prentice-Hall, 1991). Sesungguhnya kedua buku
bacaan ini sekalipun boleh dinilai bagus untuk bacaan para pemula harus dinilai sudah
agak outdated. Maka, kecuali masih akan dicek ulang apakah ada edisinya yang lebih
mutakhir, dosen juga akan meng-update bahan dan persoalan yang akan dijadikan objek
perbincangan dengan menuliskan dan membagikan handouts pada (kalau perlu!) pada
setiap awal perkuliahan.

4

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM SOSIOLOGI HUKUM
SEBAGAI RESPON ATAS PERKEMBANGAN SOSIAL-POLITIK




Perkembangan ke arah masyarakat industri telah menumbuhkan kebutuhan akan
berlakunya tatanan hukum baru yang lebih memberikan kepastian-kepastian yang
memungkinkan prediksi dan perencanaan usaha. Lebih tergerak untuk berorientasi ke
masa depan daripada hendak berpaling dan bertahan saja secara konservatif ke
keselamatan masa lampau, masyarakat industrial amat mengharapkan terciptanya norma-
norma hukum yang tertulis dan berkepastian, tidak hanya dalam hal rumusan-
rumusannya belaka akan tetapi juga dalam hal pemaknaan interpretatifnya. Masyarakat
industrial modern yang dikelola secara rasional memang tidak akan dapat bertahan tanpa
konsistensi-konsistensi yang mantap. Di tengah kenyataan seperti itulah tampil
mendesaknya kebutuhan dan tuntutan akan dikembangkannya sistem hukum yang
dibangun di atas landasan paradigma paham legisme yang mementingkan formalisme
sebagaimana dianut kaum positivis.

Sementara itu, tumbuh-kembangnya berbagai organisasi kerja yang terspesialisasi
di dalam masyarakat industrial akan serta merta meningkatkan heterogenitas kehidupan
di dalamnya. Tumbuhnya berbagai aktivitas di dalam masyarakat industrial ini tak akan
mungkin dilangsungkan tanpa kemampuan pengelolaan sentral yang terorganisasi dengan
bersaranakan rujukan normatif yang berotoritas sentral pula. Kemampuan
mengorganisasi kehidupan yang tinggi ini pulalah yang menyebabkan masyarakat
industri mampu mengembangkan atau setidak-tidaknya menenggang hadirnya
heterogenitas pada tataran unsur yang heterogen itu ke dalam suatu sistem yang
berformat besar. Multiplikasi organisasi ini pulalah yang menyebabkan masyarakat
industrial kian bersifat struktural, dan berseiring dengan itu juga kian memerlukan
pengendalian oleh hukum yang telah dipositifkan. Hanya hukum yang telah dipositifkan
dalam bentuk-bentuknya yang formal-tekstual (dalam arti tidak hanya terumus jelas akan
tetapi juga berlaku dan diberlakukan baku) ini sajalah keniscayaan-keniscayaan perilaku
manusia (yang kini telah terpaksa hidup dalam situasi yang heterogen dan
berkemajemukan) akan dapat diprakirakan.

Kebutuhan akan kontrol oleh hukum yang baku dan menurut doktrinnya menjamin
kepastian ini pada gilirannya berbalik mengharuskan terkembangnya organisasi-
organisasi dalam institusi hukum, yaitu berbagai badan yang secara klasik dibedakan atas
badan legistalif, badan eksekutif dan badan yudisial. Kompeksitas kehidupan dari yang
lokal praindustrial ke yang nasional industrial telah menyebabkan pula hadirnya
kompleksitas dalam konfigurasi institusional hukum. Maka benarlah kiranya apa yang
25
dikatakan oleh Black
1
sebagai salah satu tesisnya, bahwa law varies directly with
organization. Ini berarti bahwa kian berganda-ganda jumlah dan ragam organisasi di
dalam suatu kehidupan akan semakin tinggi pula fungsi hukum sebagai rujukan resmi
dalam setiap penyelesaian perkara, baik yang rekonsiliatif maupun yang edukatif.
Semakin kecil ragam organisasi dalam suatu kehidupan lokal yang sedenter dan
tradisional (seperti misalnya yang terjumpai di dalam komunitas-komunitas praindustrial
yang tak kompleks) akan kian kecil pula jumlah ragam hukum yang ada dan digunakan di
dalamnya. Maka dalam kenyataan seperti itu, komunitas-komunitas tradisional akan lebih
banyak dikuasai oleh norma-norma sosial yang tidak terlalu banyak diformalkan dan
dibakukan.

Berbeda dengan apa yang tersimak dalam kehidupan masyarakat pra-industrial yang
tradisional dan berkeadaan lebih sedenter (tidak banyak bergerak pindah), kehidupan
bermasyarakat industrial dalam tatanan kehidupan bernegara nasional yang modern itu
terbilang bermobilitas tinggi. Hidup di tengah kehidupan bermasyarakat industrial
memungkinkan (atau bahkan mengharuskan) setiap orang untuk selalu bergerak dan
berpindah sepanjang waktu, tidak hanya dalam maknanya yang geografis untuk melintasi
perbatasan negeri, akan tetapi juga acap kali dalam maknanya yang sosial dan
okupasional. Orang-orang kini tidak hanya akan mudah berpindah tempat tinggal, akan
tetapi juga kian berambisi dan berobsesi untuk selalu berpindah kegiatan atau pekerjaan,
diiringi oleh perubahan posisi serta status sosial yang melekat pada jenis kegiatan dan
pekerjaan itu.

Maka, berbeda dengan kehidupan dalam komunikasi lokal yang praindustrial yang
condong memaku orang di suatu tempat dan di suatu posisi atau status tertentu,
kehidupan yang telah berubah itu akan serta merta mencenderungkan terjadinya pola
hubungan antar-manusia di situ ke sifatnya yang kini menjadi serba kontraktual. Inilah
perkembangan yang oleh Maine dikatakan sebagai a movement from status to contract
yang menggambarkan bagaimana hak dan kewajiban yang semula melekat pada orang
sehubungan dengan status keluarganya dalam stratifikasi kelas sosial, dan/atau
sehubungan dengan status dirinya dalam keluarga, kini beralih melekat ke kapasitasnya
sebagai individu yang bebas namun yang juga demi kebebesannya itu dan berdasarkan
pilihannya sendiri telah memasuki dan berada di dalam hubungan-hubungan kontraktual
dengan sesamanya.
2


Menyimak kenyataan mengenai tipe kehidupan yang berbeda seperti yang terpapar
di muka itu dapatlah dengan segera dimengerti mengapa nyata pula perbedaan asal-
muasal dan fungsi hukum di kedua tipe kehidupan itu. Sebagaimana dikatakan untuk
pertama kalinya oleh Henry Maine, hukum dalam masyarakat tradisional itu berorientasi
pada status, karena selalu memandang dan memperlakukan seseorang pada posisi atau
status tertentu yang telah dipastikan untuknya, dengan segala hak dan kewajiban yang
telah ditetapkan untuk dan melekat pada masing-masing status itu. Sementara itu, hukum
dalam masyarakat industrial yang modern itu boleh dipastikan akan selalu berorientasi
pada terwujudnya kontrak, karena hukum di sini seperti bersengaja hendak memberikan

1
Donald Black, The Behavior of Law (New York: Academic Press, 1976) hlm. 86ff.
2
Sir Henry S. Maine, The Ancient Law (London: Dent & Sons, 1861), hlm 175ff.
26
keleluasaan kepada masing-masing pelaku hukum untuk secara dinamis menetapkan
sendiri posisi hak dan kewajiban mereka masing-masing, sesuai dengan pilihan mereka
masing-masing atas dasar kesepakatan yang suka dan rela. Maka tidak salahlah apabila
dikatakan di sini secara kategorikal bahwa berbeda dengan hukum dalam komunitas lokal
yang cenderung berkekuatan internal sifatnya yang hendak memaksakan, hukum modern
akan cenderung lebih berkekuatan internal (karena berasal dari para pihak sendiri).


Doktrin Hukum Modern Kaum Legis-Positivis

Perkembangan hukum yang secara fungsional memenuhi kebutuhan hukum dalam
kehidupan masyarakat bernegara nasional yang modern dalam suatu rentang waktu
tertentu ternyata mengundang pemikiran-pemikiran penjelas dan pelegitimasinya, yang
pada gilirannya tertranformasi sebagai doktrin. Sesungguhnya, tertransformasikannya
praktik dan pemikiran yang mendasari hukum modern ini yang semula cuma
dimaksudkan untuk merespon kebutuhan hukum yang berkembang seiring dengan
perubahan zaman menjadikan doktrin itu tak pernah pula lepas dari kenyataan berikut ini.
Bahwasanya model hukum yang hendak difungsikan untuk kepentingan kehidupan
bernegara nasional yang modern itu adalah juga hasil realisasi cita-cita. Tak ayal lagi,
sehubungan dengan hal itu, dapatlah dikatakan bahwa hukum modern itu adalah
sesungguhnya suatu konstruksi konseptual. Sebagai suatu konstruksi di alam konsep,
hukum modern tidaklah hanya bernilai dan bermakna sebagai tradisi semata. Hukum,
dalamper kembangannya untuk merespon kebutuhan kehidupan nasional yang modern,
ternyata tidak terwujud sebagai hasil pengalaman dan perkembangan realitas kehidupan
semata. Alih-alih, hukum yang tersujud itu adalah juga merupakan hasil aktualisasi
pemikiran dominan yang tengah merefleksikan suatu cita-cita mengenai suatu model
kehidupan baru yang diidealkan.

Sangat mencita-citakan terwujudnya jaminan akan kepastian, mengatasi kesemena-
menaan para penguasa otokratis di masa lalu dalam ihwal penciptaan dan pelaksanaan
hukum, para pemikir filsafat dan ilmu hukum mengetengahkan dan memperjuangkan ide
hukum yang harus berstatus positif. Dikatakan berstatus positif karena setiap norma
hukum itu kini harus dirumuskan jelas-jelas dan tegas-tegas, yang karena sifatnya yang
eksplisit seperti itu, norma-norma hukum lalu tak akan terdefinisikan secara beragam
yang pada akhirnya hanya akan mencerminkan subjektivitas dan perselisihan dalam hal
mengartikan. Positivisasi hukum yang amat dianjurkan oleh kaum positivis ini diyakini
akan menghindarkan terjadinya debat-debat berkepanjangan mengenai apa yang telah
harus dihukumkan dan dibentuk secara resmi sebagai hukum (ius constitutum) dan apa
pula yang tidak atau belum (ius constituendum), yang karena itu masih harus dibilangkan
sebagai norma-norma sosial yang berstatus informal biasa (ius). Kaum positivis ini sering
pula disebut sebagai kaum legis (lege = undang-undang) karena kuatnya pendirian
mereka untuk menolak berlakunya norma-norma sosial yang materinya belum
dipositifkan alias belum dibentuk ke dalam produk perundang-undangan.

Demikian itulah pemikiran positivisme yang amat marak pada belahan kedua abad
18 yang berambisi untuk terus dipraktikkan dalam kehidupan nasional sepanjang abad 19
27
pasca-revolusi Perancis. Itulah pemikiran yang berangkat dari penolakan segala
pemikiran yang serba metafisik dan dalam alam pemikiran dan praktik hukum yang serba
metayuridis. Itulah era tatkala orang dalam teori maupun dalam praktik hukum tak lagi
mau bicara mengenai hukum sebagai ius, melainkan hukum sebagai lege atau lex (alias
ius yang constitutum). Inilah konstruksi dasar hukum modern yang liberal, yang
disiapkan untuk menata kehidupan bernegara nasional dengan membukakan peluang luas
bagi individu-individu warga negara untuk secara bebas berdasarkan hak-hak mereka
yang asasi berperanserta dalam setiap aktivitas politik yang berefek pada pengembangan
hukum, baik di ranahnya yang publik maupun di ranahnya yang privat. Itulah pula
konstruksi dasar yang membawa konsekuensi pada tumbuh kembangnya hukum modern
dalam hal substansi maupun dalam hal struktur institusionalnya.

Dalam hal substansinya, hukum modern tak cuma mengalami positivasinya
melainkan juga sistematisnya sebagai suatu yang corpus juris yang berkoherensi tinggi
sebagaimana dirasionalisasikan lewat pengembang teori atau (tepatnya) doktrin-
doktrinnya. Mengalami positivisasi dan sistematisasi, hukum modern yang berlaku dalam
tataran nasional ini pun serta merta menuntut pengelolaan dan perawatannya untuk
kepentingan ajudikasi dalam proses-proses yudisial yang tidak asal-asalan. Hukum
modern memerlukan pengelolaan oleh para ahlinya yang profesional. Inilah ahli-ahli
yang disebut jurists di Eropa Kontinental atau lawyers di Amerika. Pada gilirannya,
pengadaan ahli-ahli hukum ini menuntut didirikannya pusat-pusat pelatihan dan
pendidikan pada tatanannya yang paling tinggi, yaitu tatanan universitas. J aminan akan
berlakunya kepastian hukum dengan langkah-langkah positivisasi dan sistematisasi
sebagaimana diutarakan di muka pada akhirnya memerlukan pengukuhan dan
penegakannya pada ranahnya yang politik, dan tidak cukup kalau cuma disokong oleh
legitimasi-legitimasinya dari dunia akademis dan/atau profesi.

Dari sinilah awal mula lahirnya ide atau dimulainya upaya untuk menghidupkan
kembali ide negara hukum.
3
Inilah ide bahwa hukum yang diwujudkan yang kemudian
berlanjut dengan positivasinya dalam kosep Kelsenian mengenai hierarki perundang-
undangan, dengan suatu norma dasar (Grundnorm) yang ditegaskan dalam konstitusi-
konstitusi. Inilah pemikiran yang mampu mengubah konfigurasi tatanan sosial-politik
pada dasawarsa-dasawarsa peralihan abad 18-19, namun yang (sayang!) kemudian
selewat suatu rentang waktu tertentu tumbuh kukuh untuk menghegemoni banyak alam
pikiran para praktisi hukum. Menghegemoni alam pikiran banyak praktisi dan pengguna
hukum, pemikiran-pemikiran di seputas permasalahan hukum dan fungsi hukum ini pun
selalu tertahbiskan tidak lagi cuma sebagai teori yang progresif mengenai kedudukan
hukum yang terunggul dalam tatanan sosial-politik. Lebih lanjut dari itu, gagasan-
gagasan itu menjadi terangkat dan tidak lagi cuma sebatas sebagai ajaran (atau Lehre
dalam bahasanya Kelsen), akan tetapi sudah menjelma sebagai ideologi atau bahkan juga

3
Istilah "negara hukum" yang dikenal umum di Indonesia ini sebenarnya adalah terjemahan dari istilah
bahasa Belanda, Rechtstaat, atau yang juga dikenal di dalam kosa kata bahasa Inggris: lawstate. Boleh
diduga kata staat dalam bahwa Belanda atau state dalam bahasa Inggris bermula dari kata status yang
berarti kedudukan dan cukup jauh dari pengertian staat/state sebagai "negara". Seyogianya
diperhatikan dalam hubungan ini dikenalnya ungkapan supremacy state of law atau supremacy law
state dalam bahasa Inggris yang memaknakan kedudukan hukum yang lebih tingi daripada kedudukan
(kebijakan) politik.
28
sudah sebagai dogma (yang oleh sebab itu lalu gampang terdegradasi ke dalam suatu
konservatisme yang tak ilmiah).


Masalah Perubahan Sosial dan Terjadinya Legal Gap, dan Lahirnya Doktrin-
Doktrin Pemikiran baru yang Non-positivisme

Akan tetapi, baik sebagai konsep mau paun sebagai doktrin, apa yang selama ini
diketengahkan oleh kaum legis profesional yang liberal dengan aliran positivismenya itu
bukannya bisa berlangsung begitu saja tanpa cabaran. Perkembangan kehidupan yang riil
sepanjang abad 19 ternyata telah berubah pesat, menjauhi kenyataan dan model
kehidupan yang diidealkan pada awal abad. Dalam perkembangan seperti ini pemikiran
filsafati dalam ilmu hukum yang dikonstruksi oleh kaum liberal dengan mengakui
paradigma legisme yang positivistis itu menjadi kurang realistis lagi dan terkesan gagal
menjawab berbagai permasalahan yang timbul di tengah perubahan. Kesahihan doktrin
positivisme dalam pemikiran ilmu hukum mulailah dipertanyakan. Paradigma everybody
is equal before the law, atau bahwa everybody is born free to pursuit its happiness, atau
pula bahwa hukum dan hakim itu adalah sesungguhnya suatu institusi yang netral dan
independen, kian nyata kalau hanya merupakan keinginan kosong yang karena itu terlalu
idiil dan hanya benar dalam semboyan dan retorika belaka, dan tidak sekali-kali pernah
menjadi kenyataan. Perubahan-perubahan dalam tertib kehidupan sosial tak tersimak dari
kacamata ilmu hukum. Bersikukuh pada doktrin positivismenya, mendekati akhir abad 19
hukum nyata kalau secara berangsur mulai kehilangan kemampuannya yang fungsional
sebagai alat kotrol sosial guna mengawal dan/atau merealisasi apa yang telah dicita-
citakannya itu.

Maka terjadilah selisih yang melebar antara apa yang dimodelkan di alam ide
normatif suatu kebijakan hukum dan realitas yang sesungguhnya di alam kehidupan yang
nyata. Ide equal before the law, misalnya, alih-alih terealisasi malah harus tercabar oleh
maraknya inequality. Ide freedom dalam kehidupan kontraktual, sebagai misal yang lain,
ternyata tidak kunjung melestarikan berlakunya nilai-nilai kebebasan itu sendiri, alih-alih
demikian, yang terjadi malah lahirnya subordinasi-subordinasi dan hegemoni-hegemoni
baru, yang pada gilirannya berkembang mantap ke dalam wujud struktur-struktur kelas
sosial-ekonomi yang nyatanya tak lagi bisa digambarkan secara normatif-idiil seperti itu
telah mulai mengundang berbagai kritik terhadap kemapanan doktrin-doktrin dalam ilmu
hukum yang sudah bertahan secara konservatif dalam paradigmanya yang positivistis dan
legistis itu. Kritik-kritik itu sekali pun sering diilhami dari kajian-kajian ilmu
pengetahuan sosial yang empiris tak kurang-kurangnya berkembang di alam pemikiran
para pengkaji ilmu hukum dan praktisi hukum itu sendiri. Terbangunkanlah kesadaran
bahwa tertib hukum yang normatif dan tertib sosial yang aktual tidak lagi sama dan
sebangun. Akibat perubahan kehidupan dapatlah disimak telah terjadinya selisih yang
melebar antara apa yang dituntut secara normatif demi tegaknya hukum formal dan apa
yang senyatanya terjadi dalam faktanya yang aktual dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara ini.

29
Ruang selisih yang memisahkan ide normatif yang terdapat dalam doktrin dan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan dari kenyataan kehidupan yang sesungguhnya
telah berubah itu yang dengan begitu sekaligus menggambarkan betapa besar perbedaan
antara yang ideal dan yang riil (dalam istilah bahasa Inggris the legal gap). Tuntutan
untuk meniadakan the legal gap inilah yang untuk seterusnya menjadi bahan polemik
yang tak kunjung henti dalam arena politik hukum. Secara ekstrem, pikiran-pikiran
koservatif di lingkungan kaum positivis mengisyaratkan perlunya hukum itu
(bagaimanapun juga) dihormati dan ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh. Kekuatan
sanksi akan banyak didayagunakan di sini, yang pada akhirnya akan menjadikan hukum
terkesan berkarakter represif. Sementara itu, pikiran-pikiran yang lebih pragmatis namun
juga progresif di lingkungan para pengkaji dan praktisi hukum (khususnya di Amerika
Serikat) lebih memilih kebijakan legal reform untuk meniadakan atau mengurangi the
gaps itu. Pembaruan hukum dipercaya akan menjadikan substansi hukum akan selalu
dapat dimutakhirkan mengikuti perubahan dan perkembangan kehidupan yang ada.
Dengan demikian, hukum pun serta merta akan lebih terkesan berkarakter responsif.
4

Sementara itu, lebih lanjut dari sekadar menengarai ihwal karakteristiknya, kebijakan
pembaruan hukum juga boleh diharapkan akan bisa berfungsi dalam kemampuan yang
jauh lebih efektif daripada yang sudah-sudah.

Dalam perkembangan pemikiran ilmu hukum yang pragmatis di Amerika Serikat
mengenai keefektifan bekerjanya hukum dalam fungsinya sebagai sarana pengontrol dan
pengelola tertib kehidupan bermasyarakat ada tercatat sekurang-kurangnya tiga arus
pemikiran utama. Yang pertama adalah aliran pemikiran yang disebut the sociological
jurisprudence sebagaimana dirintis sejak tahun-tahun 1910-an oleh Roscoe Pound dari
Universitas Harvard, dan masih terus pengaruhnya sampai tahun-tahun 1920-1930-an.
Yang kedua adalah apa yang disebut legal realism atau the realist jurisprudence
sebagaimana yang masih terasakan pada dasawarsa 1960-an. Surutnya pemikiran
realisme pada akhir pemikiran paham baru berikutnya yang menyebut dirinya the critical
legal study movement dengan sokongan para teoretisinya yang menahbiskan lahirnya the
critical jurisprudence pada awal tahun 1980-an. Apa yang kemudian dikenali sebagai the
feminist jurisprudence seakan hilang dari percaturan hukum. Maka hukum seperti ini
sudah harus boleh dituduh sebagai seperangkat norma kontrol yang sudah sangat
dicenderungkan untuk kepentingan kaum lelaki.


The Sociological Jurisprudence

The Sociological J urisprudence dengan Roscoe Pound yang diakui banyak kalangan
sebagai bapak pendirinya tumbuh-kembang pada dasawarsa-dasararsa awal abad 20. The
Sociological Jurisprudence ini dirintis oleh Pound sebagai reaksi atas apa yang sejak
tahun 1870-an diajarkan oleh C. Langdell dari Universitas Harvard. Pound, yang juga
dari Universitas Harvard, menyerang keras apa yang diajarkan Langdell selama itu.
Merujuk ke paham formalisme klasik dalam ilmu hukum, Langdell berpendapat bahwa
ilmu hukum adalah ilmu yang terbilang ke dalam golongan ilmu eksakta, tak ada beda

4
Philippe Nonet dan Philip Selzneck, Toward Responsive Law, Law & Society in Transition, New
Brunswick, Transaction Publisher, 2001.
30
dengan ilmu fisika yang bekerja atas dasar temuan hubungan sebab-akibat. Menurut
Langdell, para yuris itu harus mendayagunakan perpustakaan hukum sebagaimana para
ilmuwan fisika menggunakan laboratoriumnya, sebagaimana para ilmuwan fisika dapat
menemukan hubungan sebab-akibat di laboratoriumnya itu demikian pulalah para yuris
itu dengan melakukan analisis-analisis kasus di perpustakaannya idealnya akan dapat
dengan mudah menemukan hubungan antara suatu perbuatan hukum yang berfungsi
sebagai penyebab dan apa yang akan menjadi akibat hukumnya.
5


Mereaksi keras atas ajaran Langdell yang diwacanakan seperti itu, Pound
6
bangkit
untuk mengedepankan pendapat bahwa sesungguhnya ada hubungan fungsional antara
hukum dan masyarakat. Bersetuju pada alur pemikiran seorang sosiolog Amerika
bernama Edward Ross yang amat berpengaruh pada masa itu, Pound mengatakan bahwa
pada hakikatnya hukum itu adalah sarana kontrol sosial. Hukum adalah suatu bentuk
sarana kontrol sosial yang khusus, yang harus diefektifkan berdasarkan seperangkat
norma kewenangan sebagaimana didayagunakan dalam proses-proses yudisial dan/atau
administratif.
7
Berfungsi sebagai sarana kontrol sosial, hukum akan dapat menjaga
stabilitas dan keseimbangan-keseimbangan dalam masyarakat. Bukan proses terjadinya
putusan-putusan hukum lewat proses deduksi yang dikatakan mekanika, menurut
irasionalitas formal itu yang harus dipandang penting. Bagi Pound yang lebih penting
untuk dicermati adalah hasil kerja hukum itu. Seberapa jauh putusan-putusan hukum itu
berpengaruh positif pada kehidupan orang-orang dalam masyarakat. Dari argumen yang
berkembang seperti inilah lahir pendapat Pound yang terkenal bahwa law is a tool of
social engineering.

Di sini Pound berpendapat bahwa hakim haruslah diberi ruang cukup luas dalam
setiap penyelesaian kasus untuk menetapkan apa yang adil dan apa yang kurang adil
dalam setiap penciptaan amar putusan hukum. Aturan-aturan hukum haruslah dipandang
hanya sebagai pedoman dan pengarah saja bagi hakim dalam membuat amar putusan.
Lebih-lebih tatkala perkara yang tengah ditangani itu bukan perkara yang itu-itu saja
(seperti antara lain dalam kasus-kasus transaksi harta kekayaan dalam hubungan
perniagaan), melainkan perkara yang menyangkuti persoalan moralitas dan yang oleh
sebab itu amat diharapkan dapat diakhiri dengan suatu penyelesaian yang ternilai paut
dan adil. Dikatakan oleh Pound bahwa seseorang alim yang memutuskan untuk hidup
terkucil di tengah-talam kehidupan hukum yang murni, di mana dunia kehidupan
manusia yang sesungguhnya tak lagi tertengok dan tersapa olehnya, tidaklah ia itu akan
mungkin menemukan prinsip-prinsip yang secara praktis akan dapat didayagunakan
olehnya guna mengatasi keresahan dunia yang sesungguhnya terbangun dari darah dan
daging
8
.


5
C. Langdell, Harvard Celebration Speeches, dalam Law Quaterly Review, Th. 1887 No. 3, hlm 123-
125.
6
Roscoe Pound, Mechanical J urisprudence, dalam Colombia Law Review, Th 1908 no 8, hlm 605-
623.
7
Roscoe Pound, Social Control Through law (New York: Archon Books, 1968), hlm 41-49.
8
Roscoe Pound, The Need of a Sociological J urisprudence, dalam Green Bag, Th 1907 no 19.
31
Dapatlah disimpulkan di sini bahwasanya Pound memang benar-benar harus diakui
sebagai kekuatan pemikiran baru yang mencoba menngkonsepsikan ulang bagaimana
hukum dan fungsi hukum harus dipahami. Dialah ilmuwan hukum yang terbilang orang
pertama yang berani menganjurkan agar ilmu pengetahuan sosial didayagunakan demi
kemajuan teori-teori yang harus diperbarui dan dibangun dalam ilmu hukum.
Sociological Jurisprudence memang tak bisa dipisahkan dengan nama Roscoe Pound,
Sekalipun baru selewat tahun 1930 pemikiran-pemikiran Pound yang merintiskan aliran
sosiologi di dalam ilmu hukum itu mulai dperbincangkan dan diperdebatkan dalam
forum-forum yang lebih terbuka. Pada saat itu suatu gerakan baru dalam perkembangan
ilmu hukum di Amerika yang kemudian dikenali dengan nama The Realistic
Jurisprudence mulai tersimak berkecambah dan marak untuk mengundang perhatian.
Kesamaan dan perbedaan cara pandang mengenai hukum dan fungsi hukum antara para
ahli yang sociologist dan yang realist mulai banyak diperbedakan dan dipertanyakan.


The Realistic Jurisprudence

The Realistic Jurisprudence yang juga sering disebut aliran Legal Realism dalam ilmu
hukum tumbuh-kembang sebagai penerus alam pemikiran yang telah dibuka dan dirintis
oleh Pound, dan yang sepanjang tiga dasawarsa pertama abad 20- telah berhasil dibela
oleh para penganutnya. Kalaupun ada perbedaan di sana sini antara the realist dan the
sociologist, perbedaan itu cumalah perbedaan yang tak menyentuh prinsip-prinsip
dasarnya. Barangkali benar apa yang dikatakan oleh Milovanovic
9
bahwa sesungguhnya
apa yang dikenali sebagai the Realistic Jurisprudence ini lebih merupakan gerakan sosial
menuju ke pembaharuan hukum daripada merupakan suatu rintisan baru yang akan dan
terbukti telah meahirkan suatu mazhab baru. Karl Llewellyn yang menganut aliran politik
garis tengah yang terbilang moderat, dan J erome Frank yang terkesan lebih kekiri-kirian,
adalah nama-nama yang dapat disebut sebagai eksponen-eksponen utama dalam gerakan
legal realism yang tersimak amat marak antara tahun-tahun 1920-1940 di Amerika
Serikat.
10
Agenda utama kaum realis ini ialah upaya penyadaran akan perlunya
memperhatikan fakta kemajemukan masyarakat dalam setiap proses pelaksanaan hukum.

Kaum realis adalah kaum pembaru yang amat berkesungguhan dalam ihwal
memfokuskan perhatian pada perubahan masyarakat. Masyarakat berubah dan
berkembang secara progresif menuju wujudnya yang kian kompleks dan kian banyak
diintervensi oleh kebijakan negara. Menjunjung tinggi ide pluralisme, kaum realis
mengasumsikan kehidupan bermasyarakat ini sebagai suatu realitas kolektif dinamis yang
terdiri dari jutaan individu, yang masing-masing memiliki beragam kepentingan. Itulah
individu-individu yang terpaksa harus memasuki dunia persaingan guna memperebutkan

9
Dragan Milovanovic, A Primer in The Sociology of Law (New York: Harrow and Heston, 1994) hlm.
89-90.
10
Buah pikiran Llewellyin yang awal dapatlah disimak antara lain dalam karya-karyanya: A Realistic
J urisprudence: The Next Step, dalam Colombia Law Review, Th XXX (1931), hlm 431ff, dan Some
Realism About Realism, dalam Harvard Law Review, Th, XLIV (1931) No hlm. 1222ff. Sementara
itu buah gagasan Frank dapat ditemukan antara lain dalam karyanya Are J udges Human?, Th
LXXX (1931) hlm. 17-53 yang berlanjut di halaman 233-267; dan Courts on Trial: Myth and Reality
in American Justice (Princeton:Princeton University Press, 1949).
32
sumber daya yang tak sekali-kali berjumlah melimpah. Kerja hukum yang dibangun
berdasarkan rasionalitas formal yang deduktif boleh saja dikehendaki oleh paham-paham
kaum liberal yang mendahulukan kapitalisme, individualisme dan konstitusionalisme.
Akan tetapi itu tidaklah berarti bahwa tuntutan untuk lebih mendahulukan rasionalitas
yang lebih substantif guna menemukan kebenaran materiil yang lebih riil dalam suatu
perkara boleh diabaikan. Dengan pernyataan seperti itu, terungkapkanlah sudah posisi
kaum realis yang tak berbeda dengan para penganut doktrin sociological jurisprudence
untuk menentang gaya pemikiran formalisme. Mendahulukan rasionalitas yang
substantif, kaum realis pun menolak cara kerja para hakim dan administrator yang
mementingkan abstraksi-abstraksi dan yang secara eksklusif juga begitu mementingkan
jalan proses bernalar yang sepenuhnya berlangsung lewat keniscayaan silogisme deduksi.
Kepastian menuntut bunyi norma hukum yang formal lalu lebih dipentingkan daripada
kemaslahatan yang didambakan secara riil oleh mereka yang harus hidup di dunia yang
nyata ini.

Kaum realis, khususnya Llewellyn dan Frank, mengedepankan kritik-kritiknya yang
keras terhadap kaum positivis-formalis dan cara bekerjanya yang mekanis-deduktif itu
pada dua tataran, yang keduanya mengandung skeptisisme yang kuat. Pertama-tama rasa
skeptis ditujukan pada kebenaran premis mayor dalam silogisme deduksi, yang oleh
kaum ini diperkenalkan dengan apa yang disebut rule-skepticism dan berikutnya rasa
skeptis itu ditujukan ke kebenaran premis minornya yng diistilahi fact-skepticism.
Berkenaan dengan skeptisisme yang pertama, kaum realis dengan tegas mengatakan
bahwa ada perbedaan yang nyata antara norma aturan resminya sebagaimana yang ditulis
di atas kerja dengan norma aturan sebagaimana dalam realitasnya yang diartikan oleh
sang pengambil keputusan. Aturan yang dirujuk boleh saja satu dan sama, akan tetapi
arah putusan bisa saja bermuara ke hasil yang berbeda dari hakim ke hakim. Demikian
juga halnya dengan fakta yang terumus sebagai duduk perkaranya dan menjadi
pengisi premis minornya. Kejadian yang dirujuk sebagai perkara bisa saja sama, akan
tetapi pengungkapannya sebagai fakta hukum yang relevan bagi pengambilan keputusan
bisa berlainan dari apa yang semula disangkakan oleh pihak yang berperkara.

Dalam perkembangan berikutnya di sekitar tahun 1940, kaum realis terbelah ke
dalam dua puak dengan posisi yang berbeda dalam soal kebijakan hukum, sekalipun
keduanya tetap tanpa dapat ditawar merupakan penentang paham legal mechanism yang
mendasarkan kerjanya pada rasionalitas formal. Llewellyin dan para realis pada
umumnya menganggap perlu tetap terjaganya prediktibilitas dalam proses-proses hukum.
Setiap orang pencari keadilan harus tetap memperoleh jaminan bahwa hasil akhir suatu
proses peradilan, apa pun kesulitannya, harus tetap bisa diprakirakan. Kesulitan
memprakirakan hasil akhir suatu putusan hukum memang akan lebih banyak terjadi
tatkala perkara sudah berlanjut di tingkat banding atau di tingkat mahkamah, yaitu tatkala
fakta-fakta tentang duduk perkaranya tak lagi terkaji dan tak mungkin ditinjau kembali
pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi itu. Padahal, justru pada peradilan tingkat pertama
itulah keraguan mengenai tuntasnya fakta sebagai dasar menetapkan ihwal duduk
perkaranya terjadi. Di tingkat peradilan yang lebih tinggi permainan formalisme hukum
justru akan lebih banyak berlangsung dengan melupakan atau mengabaikan peran
33
pentingnya apa yang disebut the frozen record untuk dibuka kembali guna meninjau
ulang kebenaran fakta yang menjadi dasar konfigurasi duduk perkaranya.

Namun demikian, apa pun permasalahannya, kaum realis ini dengan mengecualikan
Frank tetap percaya bahwa prediktibilitas itu sungguh perlu dalam setiap proses hukum.
Dengan mengikuti kembali (namun dengan kecermatan dan kehati-hatian yang lebih
baik) metode sains yang mendasarkan diri pada rasionalitas formal, tuntutan
prediktibilitas itu menseleksi dan melatih lebih sungguh-sungguh mereka yang akan
berkhidmat sebagai hakim pada tingkat banding. Ada 14 faktor pencegah kegoyahan
proses di pengadilan pada tingkat pertama harus bisa dibuka dan dicairkan kembali.
Profesionalisme hakim harus lebih ditingkatkan, sedangkan pengembangan jabatan karier
hakim sebagai jabatan seumur hidup harus dimungkinkan.
11


Sementara itu, Frank secara oposisional tetap berpendirian bahwa, apa pun langkah
yang diambil, hakim itu tetap saja harus diprasangkakan sebagai seorang yang
berperilaku seperti pengguna perkakas meknis saja laiknya, dan apa yang diidentifikasi
sebagai perkakas mekanis itu tak lain ya hakim itu. Maka, setiap hakim haruslah mampu
melakukan otokritis untuk memahami prasangka-prasangkanya sendiri demikian rupa
sehingga ia tidak lagi berulah laku sebagai pengguna mesin mekanis dan memandang
sistem hukum sebagai suatu sistem yang bekerja menurut keniscayaan-keniscayan yang
mekanis pula. Setiap hakim harus menyadari bahwa tidaklah ada apa yang namanya
hukum dengan aturan-aturan abstrak yang berlaku umum untuk siapa pun dan kapan pun.
Hukum adalah aturan-aturan umum yang dalam penerapannya harus bisa disosokkan dan
disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan kasusnya dan keperluan-keperluannya yang
konkret, sekalipun untuk maksud itu prediktibilitas hukum lalu menjadi tak selalu
dimungkinkan.
12



The Critical Jurisprudence

Selama kurang lebih 30 tahun, terhitung sejak tahun 1920-an, The Realistic
Jurisprudence tampil merajai perbincangan-perbincangan untuk menyuarakan pendapat
yang berseberangan dengan paham formalisme sebagaimana dianut para lawyers
profesional Amerika. Setelah itu hampir 30 tahun pula lamanya, suara-suara keras anti-
formalisme terdengar kian lirih dan hampir-hampir seperti tak akan terdengar lagi. Akan
tetapi, seperti tiba-tiba saja, gerakan-gerakan sosial politik yang sebagian dipicu oleh
memuncaknya Perang Vietnam meningkat garang pada tahun 1970-an untuk
mengekspresikan perlawanan kepada kebijakan pemerintah, yang pada waktu itu serasa
aman-aman saja di bawah naungan hukum yang tetap tegak kukuh di atas landasan ajaran
formalisme. Kebijakan-kebijakan yang sekalipun dibenarkan secara formal oleh hukum
namun ternyata tidak berselaras dengan tuntutan realitas yang ada pada waktu itu dengan
segera saja mengundang tampilnya sejumlah ahli hukum yang kritis untuk
mempertanyakan kebenaran dan dasar legitimasi kebijakan-kebijakan itu. Mereka yang

11
Karl Lewellyn, Jurisprudence: Realism ini Theory and Practice (Chicago: University of Chicago
Press, 1962), hlm. 19-51.
12
J erome Frank, op. cit. 1949, hlm. 129 dan 143-144.
34
tampil kritis itu, sekalipun boleh dikesan sebagai penerus ajaran kaum realis, ternyata
kemudian bisa bergerak lebih lanjut dalam pemikiran-pemikiran untuk memberikan
perlawanan yang lebih keras di ranah praktik maupun di ranah teori kepada kaum
formalis yang berkubu di jajaran birokrasi dan militer, yang dalam bahwa populer pada
waktu itu dinamakan the establishment.

Milovanovic menyebutkan adanya tiga tahap perkembangan pemikiran kritis di
bidang praktik dan teori hukum
13
(yang sejak pertengahan dasawarsa 1980-an kian
dikenal dengan nama The Critical Legal Studies Movement) yang dikenali juga dalam
inisialnya CLS). Dikatakan olehnya bahwa pada awalnya, sepanjang belahan pertama
dasawarsa 1970-an, gerakan CLS ini barulah merupakan suatu seri serangan awal yang
penuh kritik pada praktik dan ajaran klasik kaum formalis. Pada tahapnya yang kedua,
yaitu sepanjang belahan kedua dasawarsa 1970-an itu, gerakan CLS sudah mulai
berprakarsa mengkritiki kasus-kasus lewat berbagai analisis, yang hasilnya pada tahap
berikutnya telah diinterasikan untuk menghasilkan konsep, teori dan metodi baru dalam
kajian hukum CLS tidak lagi hanya sebatas suatu gerakan akan tetapi juga tumbuh-
kembang sebagai suatu aliran baru dalam ilmu hukum. Apabila dalam tahap awalnya
nama Kennedy
14
yang disebut-sebut sebagai tokoh eksponennya, dan pada tahap kedua
nama Kairys
15
yang dikedepankan, pada tahap ketiga nama Ungerlah
16
yang sering
disebut-sebut sebagai nama penting.

Sekalipun tidak dapat dikatakan bahwa pemikiran para eksponen CLS itu
merupakan pemikiran yang solid dan monolitis, namun demikian sejumlah kesamaan
atau kesejajaran tesis mereka dapatlah dikemukakan di sini. Pertama-tama para eksponen
CLS ini tidak percaya akan paradigma kaum positivis-formalis yang mengidealkan
hukum sebagai suatu institusi yang dapat dikonstruksi dan dikelola sebagai suatu otoritas
yang mampu bertindak netral. Idealisasi hukum sebagai hasil positivisasi norma-norma
yang telah disepakati, yang dengan demikian akan memiliki kekuatan internal guna
mengikat siapa pun dan dari pihak mana pun (termasuk yang menciptakan hukum itu
sendiri), tidaklah bisa diterima begitu saja. Amat dipertanyakan apakah hukum formal
seperti itu, sekalipun merupakan hasil kesepakatan (baik sebagaimana terjadi di ruang
publik sebagai undang-undang maupun di ruang privat sebagai kontrak) akan benar-benar
bersifat netral dan akan dapat ditegakkan lewat suatu silogisme yang objektif oleh badan
yudisial yang konon diidealkan sebagai institusi yang juga berposisi independen dan
tidak akan memihak. Semua itu demikian menurut para eksponen CLS tidak hanya
merupakan mitos yang bukan realitas, melainkan juga suatu kebohongan besar.


13
J erome Frank, op. cit., hlm. 94-95.
14
Tulisan Kennedy terdapat dalam karya-karyanya: "How The Law School Fails: A Polemic dalam
Yale Review of Law and Social Action, Th. 1970 No.1 hlm.71-90; Legal Formaly, dalamThe
Journal of Legal Studies, Th. 1973 no. 2 hlm 351-398, Legal Education as Training for Hierachy,
dalamD. Kierys (ed.), The Politics of Law, (New York: Pantheon Books, 1992).
15
Kairys menyunting hasil analisis-analisis kritis atas berbagai kasus dalam bukunya The Politics of Law
yang telah disebutkan dalam catatan kaki di atas.
16
Unger menulis berbagai karya, antara lain: Law in Modern Society (New York: The Free Press, 1976);
The Ctirical Legal Studies Movement (Cambridge, Mass, Harvard University Press, 1987); dan What
Should Legal Analysis Become? (London: Verso, 1996).
35
Adalah mereka yang mengembangkan kajian secara kritis ini yang secara kritis
menyoroti kenyataan bahwa formalisasi hukum itu sesungguhnya hanya akan banyak
berdaya guna untuk melegitimasi dominasi para elite yang tengah berkekuasaan. Rakyat
banyak terkecoh oleh formalisasi pemikiran bahwa mereka itu tengah hidup di bawah
prinsip Rule of Law dan bukan Rule of Men. Eksponen CLS mencoba mengkaji sungguh-
sungguh bagaimana institusi hukum bisa didayagunakan untuk mempengaruhi kesadaran
rakyat banyak agar selalu berketaatan penuh pada suatu rezim kekuasaan. Tak ayal,
sejauh ini hukum dengan teori-teori klasiknya lalu demikian dinyatakan antara lain oleh
Kreuish
17
terubah menjadi terhakikat sebagai suatu ideologi dengan fungsinya sebagai
pelegitimasi. Adapun pelegitimasian ini berlangsung melalui proses-proses reifikasi dan
proses hegemoni. Dalam proses reifikasi yang direncanakan dan diusahakan, para subjek
hukum dibikin percaya bahwa berbagai prinsip yang dikenal dalam ajaran hukum (seperti
misalnya asas "supremasi hukum") itu sesungguhnya bukan hanya berada di dunia
konsep dan teori, melinkan benar-benar sudah merupakan kenyataan yang terwujud di
dalam praktik-praktik hukum. Sementara itu, dalam dan melalui proses hegemoni, ajaran-
ajaran hukum terdayagunakan untuk membentuk terciptanya suatu rezim kekuasaan yang
sesungguhnya otokratis bisa memerintah dengan leluasa, justru atas dasar kesetujuan
rakyat yang tengah dizalimi namun yang tidak sekali-kali pernah merasa dizalimi.

Kajian para eksponen CLS mencatat bahwa dengan arah kerja yang demikian itu
batas pemisah antara hukum dan politik itu sebenarnya tak pernah ada. Hukum bekerja
sebagai agenda politik atau setidak-tidaknya bekerja dengan menyembunyikan banyak
agenda politik. Adalah kenyataan bahwasanya hukum dalam praktik itu, baik tatkala
masih dalam tahap penerapannya sebagai hukum in concreto, selalu saja merupakan hasil
proses yang amat sarat dengan muatan motif-motif politik yang tersembunyi. Di sini para
lawyers yang baik adalah segolongan dari mereka yang sanggup bekerja dalam suatu
hierarki kekuasan namun dengan syarat akan memperoleh sejumlah imbalan yang
menarik. Betapapun juga taraf ketenaran dan tingginya posisi mereka dalam suatu
hierarki, sesungguhnya mereka itu tak lebih tak kurang hanyalah beridentitas sebagai
robot-robot yang tetap saja dengan gembiranya dan tanpa mengenal rasa lelah terus saja
bekerja pada suatu sistem normatif yang mekanis, suatu sistem kerja yang dipenuhi
rambu-rambu norma prosedural yang disebut "juklak-juklak" dan "juknik-juknik".

Berapapun kerasnya kritik dan perlawanan para eksponen CLS terhadap praktik
hukum yang selama ini dikuasai oleh para formalis yang tak terlalu mementingkan
rasionalitas substantif, tidaklah itu berarti bahwa para eksponen ini hendak bertindak
memporak porandakan sistem hukum nasional yang selama ini telah berhasil dibangun.
Alih-alih demikin, mereka hanya bermaksud memangkasi cabang-cabang praktik yang
kurang menguntungkan. Dekonstruksi dilanjutkan untuk dilanjutkan dengan
18
suatu
upaya untuk mengkonstruksikannya kembali. Pada arah kerja seperti ini, para eksponen
CLS (antara lain yang paling mengemuka tak lain adalah Roberto Unger) mulai mencoba
mengetengahkan visi-visi mereka mengenai tatanan masyarakat dan tatanan hukum di
masa mendatang. Tak ketinggalan dalam upaya dekonstruksi dan rekonstruksi ini adalah
mereka yang berfokus pada masalah perempuan dalam percaturan hukum, yaitu

17
V. Kreuish, Jurisprudence as Ideology ( New York: Rotledge, 1991).
18
R. M. Unger. False Necessity (New York: Cambridge University Press 1987).
36
kelompok yang hendak mencoba mengembangkan teori-teori kritik yang secara lebih
khusus membahas masalah perempuan, dengan konsep-konsep dan teori-teorinya
tersendiri yang kemudian diperkenalkan sebagai teori-teori The Feminist Jurisprudence.

Dekonstruksi yang dianjurkan dan dikerjakan di sini berlangsung berdasarkan
kebijakan pembalikan hierarki dan upaya penemuan metode baru untuk menafsir ulang
maksud yang terkandung dalam norma hukum. Mengenai kebijakan yang disebut the
reversal of hierarchies dalam bahasa aslinya itu, Balkin
19
mengetengahkan terlebih
dahulu kenyataan bahwa setiap norma hukum itu selalu mengoposisikan dua nilai
kepentingan, di mana nyatanya yang satu didudukkan sebagai suatu yang dominan untuk
lebih dihadirkan dan untuk lebih diutamakan, sedangkan yang lain disusulkan sebagai
suatu yang tidak diutamakan dan oleh sebab itu juga tidak tertampilkan. Dekonstruksi
harus bekerja untuk segera menampilkan pihak yang selama ini kepentingannya tidak
tertampilkan dan karena itu juga tidak terbicarakan. Dicontohkan, apabila hukum
perkawinan hendak ditegakkan, maka tidak hanya hak-hak suami saja yang seperti yang
selama ini terus lebih ditampakkan di depan. Hak-hak perempuan mestilah mulai ikut
banyak dibicarakan dan tidak bisa secara terus-menerus ditahan di posisi yang
tersembunyi untuk tidak hendak dihadirkan di tengah wacana. Dalam proses
dekonstruksi, hak dan kepentingan para pihak harus dikonstruksi ulang sebagai dua
entitas yang interdependen. Tidaklah konstruksi itu bertahan pada norma-norma bahwa
hak dan kepentingan pihak yang satu berkedudukan dominan, sedangkan kepentingan
pihak yang lain terpandang sebagai wujud yang dependen.

Dekonstruksi melalui penafsiran ulang isi kandungan sebuah norma hukum yang
ada dilakukan berdasarkan ide the free play of the text. Dikatakan bahwa suatu teks
undang-undang atau teks amar putusan hakim itu begitu selesai dirumuskn akan begitu
terbebas dari maksud perumusannya yang semula. Setiap teks akan mempunyai riwayat
hidupnya sendiri. Setiap generasi akan mengubah isi teks itu kembali lesat berbagai
kesempatan berijtihad, sedangkan generasi terdahulu penciptanya tidaklah lagi ada
dayanya untuk mencegahnya. Bagaimanapun juga makna setiap teks itu selalu
menemukan dirinya dalam suatu situasi kesejarahan, yang sesungguhnya menjadikan
setiap isi teks itu berhakikat sebagai norma-norma yang nisbi. Maka kerja
mendekonstruksikan teks haruslah bermodal kesediaan untuk memaknakan isi teks secara
berbeda menurut konteks yang nyatanya telah berbeda pula. Mengartikan suatu isi teks
berdasarkan makna aslinya dalam suatu pekerjaan tak hanya akan sia-sia akan tetapi juga
tak perlu. Kerja dekonstruksi tentu saja harus dicegah agak tidak terus berlanjut ke sikap
dan tindakan yang terbilang tindakan kaum nihilis. Kerja-kerja rekonstruksi haruslah
tetap menjadi bagian dari strategi kerja-kerja dekonstruksi.

Berbicara mengenai soal rekonstruksi, nama Roberto Unger amatlah mengemuka
sebagai penulis yang sungguh visioner. Dalam buku-buku yang ditulisnya dan terbit pada
tahun 1986 dan 1987;
20
Unger menuliskan agenda rekonstruksinya dalam bentuk ajakan
untuk melakukan gerakan menuju ke apa yang ia namakan empowered democracy dan

19
J .M. Balkin, Deconstrutive Practice and Legal Theory, Yale Law Journal Th 1987 no. 4 hlm. 743-
786.
20
R. M. Unger, loc. cit.
37
keterkembangkannya transformative politics. Unger berangkat dari asumsi bahwa pada
dasarnya struktur kekuasaan dalam masyarakat itu merupakan suatu bangunan hierarkis
yang amat kaku dan tak gampang responsif pada tuntutan publik. Suatu gerakan harus
dilancarkan untuk membikin struktur itu dapat berubah lebih responsif, demokratis, peka
pada permasalahan manusia, dan kemudian daripada itu lalu juga bersedia untuk dimintai
pertanggungjawaban. Gerakan akan dikembangkan melalui apa yang ia sebut aktivitas
transformatif; yaitu aktivitas untuk secara berencana dilakukan atas dasar "hak-hak
individu yang dilindungi hukum untuk melakukan destabilisasi dari waktu ke waktu".
Inilah aktivitas yang berdasarkan hak-hak yang mestinya boleh diakui itu boleh diduga
kuat akan menggugah dan membangunkan birokrasi kekuasaan dari kelelapannya, yang
kemudian dari pada itu boleh diharapkan akan segera menyadarkan birokrasi kekuasaan
itu untuk segera mulai bekerja, sesuai dengan tanggung jawabnya.

Apakah yang bisa dibilangkan sebagai "hak-hak untuk melakukan destabilisasi
yang menggugah" itu? Unger menyebutnya dalam suatu senarai beberapa darinya,
sekalipun ia tidak sempat menguraikan secara terinci bagaimana hak-hak seperti itu bisa
direalisasi.
21
Dua di antara hak-hak yang disebut itu ialah "hak imunitas" dan "hak
melakukan destabilisasi". Hak imunitas adalah hak yang akan menjamin seseorang
individu memperoleh suatu kekebalan, yang memungkinkan ia tetap menikmati suatu
ruang kebebasannya sekalipun ia telah melakukan kerja-kerja penggoyangan-
penggoyahan. "Hak untuk melakukan destabilisasi" adalah hak yang memungkinkan
individu dengan dengan gerakan dekonstruktif-rekonstruktifnya mencabar struktur kaku
hierarki yang tengah bertahan. Bagaimanapun juga, bukanlah maksud Unger untuk
memporakperandakan birokrasi kekuasaan yang ada. Dalam keadaan apa pun juga
birokrasi dan/atau sistem kekuasaan pemerintahan itu memang perlu dan diperlukan
dalam kehidupan. Namun, yang lebih diperlukan lagi adalah adanya suatu sistem yang
peka dan responsif pada tuntutan sekitar. Maka untuk itulah destabilisasi yang diprakarsai
itu harus dimaknakan tidak hanya sebagai bagian dari proses dekostruksi yang murni
melainkan juga termaknakan sebagai bagian dari upaya rekonstruksi yang positif.


21
Dalam Milovanovic, op. cit., hlm 103-104.
BAGIAN KEDUA

PARADIGMA, ANCANGAN KONSEP, TEORI DAN METODOLOGI DALAM
KAJIAN ILMU SOSIAL TENTANG HUKUM


Ilmu apa pun, termasuk ilmu hukum dan ilmu sosial tentang hukum, tidak hanya ada satu
aliran atau mazhab. Masing-masing aliran atau mazhab itu mempunyai paradigma,
konsepsi, teori dan metodologi yang berbeda satu sama lainnya. Bagian ini akan
menyajikan perubahan-perubahan paradigma ilmu hukum, perbedaan antara ilmu hukum
dengan ilmu sosial tentang hukum, metode-metode penelitian hukum, dan keragaman
konsepsi tentang hukum.
Para pengkaji hukum, secara sadar maupun tidak, sesungguhnya memilih
paradigma, konsep hingga teori yang dianut dan kemudian dipergunakan
seseorang/sekelompok orang untuk berpikir dan menghasilkan judgement, maupun untuk
menjelaskan eksistensi hukum sebagai suatu kenyataan sosial. Pilihan paradigma, konsep
dan teorinya itu memiliki konsekuensi pada metode dan praktik dari penggunanya.
Pembaca yang berlatar belakang akademis tentunya akan mendapat keuntungan dengan
membaca tulisan-tulisan pada bagian ini.


5
PERUBAHAN PARADIGMA DALAM ILMU HUKUM
PADA MASA PERALIHAN MILENIUM






HUKUM nasional yang kita kenal dalam praktik maupun teori hukum di Indonesia dewasa ini
adalah praktik dan teori (atau tepatnya: doktrin) yang dihasilkan oleh suatu perkembangan sejarah
yang panjang, yang apabila diturutkan balik akan terpulang ke masa sejarah abad-abad
pertengahan Eropa Barat. Berbeda dari apa yang sering dipersangkakan oleh banyak ahli hukum di
Indonesia yang mengatakan bahwa hukum Barat modern, sebagaimana juga dipraktikkan
sebagai hukum nasional Indonesia itu pada dasarnya berasaskan hukum Romawi Harold Berman
dengan data sejarahnya yang relatif lengkap menyimpulkan bahwa hukum modern sebagaimana
banyak dipraktikkan di banyak negara nasional pada abad XX ini, juga di negeri-negeri bekas
jajahan, adalah hukum yang karakteristik utamanya terbentuk lewat dan oleh berbagai revolusi
penting di negeri-negeri Eropa yang dahulu berada dalam kawasan Katolik Barat.

Dalam kajiannya itu Berman ternyata tidak terlalu mengedepankan pentingnya peran
hukum Romawi dalam proses pembentukan tradisi hukum Barat. Doktrin-doktrin yang
berkembang dan terawat dengan segala modifikasinya dalam tradisi hukum nasional Barat yang
modern itu justru bermula dari perkembangan-perkembangan sejarah yang justru bermula amat
lama sesudah era Romawi. Berman menunjukkan berdasarkan data sejarah bahwa genesis tradisi
hukum Barat bermula dari dimaklumatkannya dekrit (edict) Paus Gregorius VII pada tahun 1075
yang mengumumkan bahwa Paus sajalah yang di dunia ini berstatus universal dan oleh karena itu
tak akan terikat pada ucapan dan ikrarnya sendiri. Dekrit yang terkenal dengan judul Reformatio
Totius Orbis (Reformasi Atas Seluruh Tatanan Dunia) ini memperoleh perlawanan simbolis
maupun fisik yang dilakukan oleh raja-raja dunia, khususnya oleh Kaisar Heinrich IV dari
Sachsen.

Itulah peristiwa yang kemudian dikenal dengan nama The Papal Revolution, yang
berlangsung secara agak berkepanjangan akan tetapi juga tak berkeputusan, untuk cuma berakhir
dengan terjadinya deadlock. J ustru impase inilah yang kemudian berpusat di Roma. Ialah doktrin
yang mendasari pengakuan adanya dualisme atau mungkin malah pluralisme yurisdiksi hukum
yang koeksisten secara integratif, dengan imperativa bahwa masing-masing harus berdasarkan
prinsip the supremacy state of law. State of law alias law state alias rechtstaat seperti inilah yang
diperlukan demi dapat diketahui dan diakuinya secara pasti secara saling-silang oleh para aktor
yang sekalipun masing-masing itu tunduk dalam lingkungan yurisdiksinya sendiri namun toh
harus terus berinteraksi dengan mereka yang berasal dari yurisdiksi lain.

Berman juga mengisahkan berdasarkan data sejarah bagaimana doktrin demi doktrin
hukum berproses sepanjang sejarah revolusi-revolusi di negeri-negeri Barat itu. Ide dan doktrin
40
konstitusionalisasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara atas dasar perjanjian antar-manusia
berikut ideologinya (yang dikemudian dikenali dan disebut konstitusionalisme), misalnya,
mulai memperoleh bentuknya yang kian nyata pada dan sesudah terjadinya The Glorious
Revolution di Inggris (1688-1689). Selanjutnya mendasari bentuk negara Republik seratus tahun
kemudian, pada masa revolusi kemerdekaan Amerika (1776) dan revolusi kerakyatan Prancis
(1789). Positivasi hukum ke dalam wujud hukum perundang-undangan nasional yang dituliskan
ke dalam kitab-kitab (corpus iuris) yang berlaku bagi seluruh warga negara tanpa kecualinya
(tidak seperti ius romanum, yang hanya berlaku untuk orang-orang Romawi saja) tak salah lagi
kalau didoktrinkan demi kepastian hukum pada suatu era revolusi pula, yaitu revolusi Prancis.

Positivasi hukum adalah suatu proses politik hukum yang amat menentukan perkembangan
hukum sebagai suatu applied art (yang di dalam bahasa Inggris disebut jurisprudence, yang di
Indonesia secara salah kaprah disebut ilmu hukum). Positivisasi hukum beserta dasar-dasar
rasionalisasinya yang sarat dengan sistematisasi doktrin-doktrinnya sebagaimana dianjur-anjurkan
menjelang pecahnya revolusi kerakyatan 1789 di Prancis, benar-benar dilaksanakan sepanjang
masa pergolakan revolusi dan diteruskan cukup lama sesudah masa itu. Paradigma liberalisme
dengan jabaran-jabarannya yang dikembangkan sebagai doktrin-doktrin dan/atau ajaran semisal
doktrin kebebasan individu (a.l. untuk membuat kontrak yang akan berlaku sebagai
undang-undang bagi dirinya), netralitas dan objektivitas hukum (dengan konsekuensi tidak boleh
diberlakukan surut undang-undang, karena akan mengganggu kepastian hukum) sudah menjadi
demikian standar pada awal abad 19 dan sudah dapat dijadikan pendukung gerakan politik di
setiap negara nasional untuk mengubah praktik pendayagunaan kekuasaan pemerintah yang
otoritarian ke yang demokratis.

Model standar seperti itu tidak hanya menyebabkan terjadinya reformasi ketatanegaraan di
negeri-negeri Eropa, akan tetapi juga sekalipun masih dalam taraf percobaan di negeri-negeri
jajahannya. Di negeri jajahan Hindia Belanda, yang dikemudian hari berhasil mencapai
kemerdekaannya dengan nama Indonesia, paradigma liberalisme dengan doktrin-doktrin
positivismenya telah dicoba pula dikembangkan lewat proses-proses replikasi, yang kelak dalam
literatur hukum dengan pendekatan sosiologis diistilahi dengan proses transplantasi. Perubahan
Regeringsreglement Hindia Belanda pada tahun 1854, menyusul perubahan Grondwet Kerajaan
Belanda pada tahun 1848, menunjukkan betapa ambisiusnya kebijakan upaya transplantasi itu.
Kodifikasi dan unifikasi hukum yang toh melahirkan polemik-polemik pada masa itu
membuktikan betapa keras usaha memperluas berlakunya hukum Barat yang berparadigma
libertarian dan dikemas serta dikonfigurasi atas dasar doktrin-doktrin yang positivistis-legistis itu.

Pada era pascakolonial, berlakunya hukum yang berparadigma libertarian dengan
doktrin-doktrinnya yang positivistis di sadari atau tidak ternyata bertahan kuat sekalipun
semangat dan sikap anti-Barat pada masa-masa pasca-kolonial itu demikian kuatnya. Ada
semacam fakta pengakuan telah terjadinya biaya kultural yang besar sehingga penanganannya
dengan memulai yang baru akan menghadapi perhitungan sunken cost yang tak tertanggungkan.
Sekalipun pada tahun 1950-an berbagai pihak menyarankan dipertimbangkan model hukum
nasional yang lain, entah bertolak dari asas-asas (paradigmatis?) hukum adat entah pula dari yang
hukum Islam, dan bahkan Presiden waktu itu juga mencanangkan perlunya dikembangkan sistem
hukum revolusi, tidaklah semua mampu menggeser apalagi menyingkirkan dominasi ajaran
hukum positif yang berkukuh menuruti konfigurasi ajarannya yang libertarian dan individualistis.
41

Model pendidikan hukum yang lebih cenderung ke upaya pengajaran aplikasi teknis, ialah
the dos and the don'ts, mengenai bagaimana hukum harus ditelusur dan diterapkan serta
ditafsirkan berdasarkan doktrin positivisme kaum liberal, telah mendominasi praktik
pelaksaksanaan hukum di Indonesia sejak zaman bewuste rexchtspolitiek penguasa-penguasa
kolonial sampai era Orde Baru. Tatkala hukum (hukum perundang-undangan, dan bukan the
judge-made laws) difungsikan sebagai tools of social engineering. Tatkala dalam kenyatan
perkembangan politik di Indonesia kian menuju ke praktik-praktik yang anti-liberalisme untuk
(sebaliknya) kian tertransformasi ke praktik-praktiknya yang bercorak otokratis. Mula-mula guna
memenangkan revolusi (pada era Orde Lama), dan kemudian guna mensukseskan pembangunan
nasional (pada Orde Baru) tiba-tiba saja bisa tersimak dan tercatat bahwa ajaran positivisme
yang bertolak dari paradigma liberalisme itu secara berbalik tak lagi bersemangatkan pro populus
yang menjadi dasar komitmennya semula, melainkan mendegradasi dirinya menjadi alat atau
sarana yang teknis-prosedural formal yang acap bisa ditawarkan pada tarif terentu untuk melayani
siapa pun yang mampu membayar harga jasanya.

Realitas sosial mengenai terjadinya pengkhianatan kaum profesional hukum dengan
bersembunyi di balik doktrin legisme ialah doktrin bahwa hukum yang telah dipositifkan dalam
wujud lege itu adalah hasil konsensus rakyat dan karena itu merupakan suatu objectified
subjectivities yang telah dinetralkan sebagai suatu rule of law (yang objektif) dan bukan lagi rule
of manusia (yang subjektif) sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja, akan tetapi juga di
banyak negeri. Penjelasan para pakar, seperti misalnya yang diberikan oleh Marc Galanter
bertahun yang lalu, why the haves always come out ahead adalah gambaran mengenai kenyatan
ini. Nyata bahwa hukum dimana-mana, tatkala dipositifikan menjadi ius constitutum alias lege
atau lex, tak lain akan menjadi agenda politik tersembunyi yang akan bisa difungsikan untuk
melindungi kepentingan mereka yang berkuasa, dan sekaligus lalu menjadi legitimasi segala
perilaku, yang tak jarang koruptif.

Maka hukum positif yang telah berubah semangat dan komitmen seperti itu, dua abad
setelah terjadinya revolusi Prancis yang dikenal sebagai pemutakhir ajaran supremasi hukum
kaum liberal, lalu serta merta mengalami cabaran teoretis (yang akan berimbas pada praktik
pelaksanaannya juga). Cabaran antitesis yang mengingkari kenetralan hukum, bangkit ketika
muncul aliran lain dalam ilmu hukum yang tidak lagi berparadigma liberalisme. Ada pun aliran
lain ini adalah aliran kritis dalam ilmu hukum Amerika yang mulai dikenal pada akhir tahun
1970-an dengan memaklumkan diri sebagai aliran pendukung pengkajian hukum secara kritis,
yang dinamakan the critical legal studies. Pendukung aliran ini mengembangkan pemikirannya
dengan bertolak dari suatu keprihatinan melihat kenyataan betapa banyaknya problema
sosial-politik dan hukum yang disebabkan oleh pengambilan-pengambilan keputusan yang
kontroversial oleh para eksekutif pengontrol kebijakan politik, yang amat sepihak, demi
kepentingan politik the industrial and military establishment, yang tidak lagi mudah dikontrol oleh
rakyat pencari keadilan.

Aliran ini, dengan merujuk ke teori-teori Neo-Marxian, menyarankan perlunya mengkaji
permasalahan hukum sebagai permasalahan yang sarat dengan persoalan politik. Pada akhirnya
orang harus mau meyadari bahwa hukum dalam praktiknya tidaklah senetral seperti yang
dipersangkakan oleh paradigma-paradigma dan teori alias doktrin hukum, yang ada sebelumnya,
42
sebagai diyakini oleh kaum positivis yang juga liberalis itu. Sekalipun tidak bermaksud untuk
menyatakan bahwa prinsip rule of law dan supremasi hukum itu sebagai sesuatu "omong kosong",
aliran yang berakronim CLS ini tetap secara konsisten mengetengahkan pendapat bahwa setiap
permasalahan hukum tidak akan menemukan pemecahannya yang realistis tatkala tidak dianalisis
terlebih dahulu sebagai permasalahan politik. Bagaimanapun juga, hukum itu bukan terproses
menuruti silogisme-silogisme logika yuridis para pakar saja melainkan sesungguhnya merupakan
sejumlah kepentingan politik yang manifes di dalam kehidupan yang konkret sebagaimana yang
dapat disimak dalam kenyataan pengalaman sehari-hari.

Maka, berpikir secara nomologis, oleh para penganut paradigma yang neo-Marxian, orang
diajak untuk mau beralih dari cara berpikir formalisme yang deduktif ke cara berpikir yang lebih
mengapresiasi proses-proses yang induktif. Di sini fakta sosial dijadikan premis-premis partikular
sebelum tiba pada kesimpulan umum, yang boleh difungsikan sebagai premis mayor dalam
pemikiran logika formal yang deduktif-matematis itu. Peralihan model berpikir yang demikian ini
boleh dibilang radikal, yang oleb sebab itu akan menyebabkan dunia kajian hukum serasa
digoncang gerakan pembaru yang sekaligus juga terasakan sebagai ancaman eksistensi dunia
profesi hukum yang selama ini bertahan dan bersikukuh pada keyakinan adanya netralitas hukum
dan kemandirian hakim beserta badan peradilannya. Kenapa begitu? Tak lain karena beralih ke
secara berpikir nomologis dengan bertolak pada nomos-nomos (=keajegan atau kepanggahan
yang tersimak di dalam kenyatan) orang akan dipaksa untuk lebih berpikir secara kontekstual
daripada tekstual.

Sekalipun mengajak berpikir pada jalur induktif dengan banyak memperhatikan
realita-realitas kontekstual, namun demikian para eksponen aliran kritis neo-Marxian ini
sesungguhnya tetaplah berkehendak untuk tetap bergerak dalam ranah jurisprudence untuk
mempertahankan peran kaidah-kaidan hukum dalam proses-proses adjudikasi. Kritik-kritiknya
pada praktik hukum yang bertolak dari paradigma lama tak lain disebabkan oleh keprihatinannya
yang amat sangat tatkala menyimak kenyataan betapa tidak berdayanya hukum dalam
penyelesaian-penyelesaian perkara yang berkonsekuensi struktural dan berimbas ke kepentingan
publik. Tatkala kajian sosial tentang hukum (yang bertolak dari the Marxian grand theory
sekalipun) bersifat eksplanatif tentang apa yang terjadi, realisme kaum penggerak kajian hukum
secara penuh kritik ini mendorong dikembangkannya suatu gerakan baru dalam kerja
pemberdayaan dan penegakan hukum.

Gerakan ini, menilik riwayat kelahirannya mungkin saja terilhami sedikit atau banyak
paham Marxisme (bukan komunisme), namun ranah gerakannya tetaplah berada di ranah
jursiprudence yang (bagaimanapun juga) tetap merupakan bagian dari historisitas tradisi hukum
Barat. Medannya tetaplah dalam kerangka proses-proses adjudikasi, yang dengan amat
bersemangatnya hendak melawan ideologi kaum legis yang positifisi dan liberal, nota bene kaum
yang kini ini mungkin saja secara sah boleh dituduh sebagai pendukung aliran konservatif yang
amat membuta pada tanda-tanda zaman. Bukankah zaman telah amat banyak berubah,
menyaksikan betapa banyaknya orang di tengah khalayak terkesan tidak lagi terlalu banyak
dirisaukan oleh masalah kelanjutan masa depan negara-negara bangsa. Alih-alih demikian, banyak
orang telah lebih risau karena dihadapkan ke persoalan datangnya kehidupan global milenium
ketiga Masehi, ialah kehidupan yang tak lagi diintegrasikan ke dalam banyak negara bangsa
seperti awal mulanya, melainkan yang tiba-tiba saja telah terberai-berai sebagai akibat
43
bangkrutnya banyak negara nasional berikut rontoknya kemampuan hukum nasional mereka
masing-masing.

Dalam kenyataan yang telah amat banyak berubah seperti itu, jutaan manusia tiba-tiba saja
menemukan dirinya tidak lagi berada dalam pasungan akan tetapi juga perlindungan para
despot yang menguasai negara-negara nasional dengan perangkat hukumnya yang koersif dan
koruptif, namun dilegitimasi sebagai kewenangan publik. J utaan manusia tiba-tiba saja merasa
teralienasi dalam kehidupan yang kian majemuk, serta pula pada skala global yang tidak mereka
kenali sebelumnya, yang (setidak-tidaknya oleh Philip MacMichael) disebut the global market
place yang amat dikontrol pula oleh kekuatan-kekutan despotik yang kali ini lebih sering tak
menampak daripada tampak. Dalam keadaan dan situasi perasaan keterasingan seperti itu jutaan
manusia toh akan kembali mencari apa yang disebut Roland Robertson the center that hold. Maka,
tatkala yang dimaksudkan kekuatan pusat yang berkemampuan mengontrol integrasi kehidupan di
abad ke-21 millenium ketiga Masehi ini pada tatarannya yang global ini toh tak lain daripada
hukum, hukum yang tatkala dengan paradigmanya yang mana pulakah itu?


Positivisme dalam Ilmu Hukum dan Fungsi Politisnya dalam Kehidupan Bernegara

Postivisme adalah suatu aliran paham filsafat yang berkembang di Eropa Kontinental, khususnya
di Prancis dengan dua eksponennya yang terkenal, Henri Saint-Simon (1760-1825) dan August
Comte (1798-1857). Positivisme adalah suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang
dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang
eksis, sebagai suatu objek, yang harus dilepaskan dari sembarang macam prakonsepsi metafisis
yang subjektif sifatnya (Gordon, 1991:301). Diaplikasikan ke dalam pemikiran tentang hukum,
positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum sebagaimana
dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Karena itu, setiap norma hukum haruslah eksis
dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma yang positif, ditegaskan sebagai wujud
kesepakatan kontraktual yang konktrit antara warga masyarakat (atau wakil-wakilnya). Hukum
tidak lagi mesti dikonsepsi sebagai asas-asas moral metayuridis yang niskala (abstrak) tentang
hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna
menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum dan apa pula yang sekalipun normatif
harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.

Paham positivisme dan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara untuk segera
mengupayakan positiviasi norma-norma keadilan (ialah hukum yang dikonsepkan sebagai ius)
agar segera menjadi norma perundang-undangan (ialah hukum yang dikonsepsikan sebagai lege)
sesungguhnya fungsional untuk mempercepat terwujudnya negara bengsa yang diidealkan punya
struktur yang terintegrasi kukuh secara sentral dan berotoritas sentral yang tak pula banyak bisa
dicabar. Tak pelak lagi, dalam pengalaman, positivasi hukum selalu memperoleh prioritas utama
dalam setiap upaya pembangunan hukum di negara-negara yang tengah tumbuh modern dan
menghendaki kesatuan dan/atau penyatuan, tak cuma yang menuju ke nation state melainkan juga
yang dulu menuju ke colonial state. Tak ayal pula, positivisasi hukum selalu berakibat sebagai
proses nasionalisasi dan etatisasi hukum, dalam rangka penyempurnaan kemampuan negara dan
pemerintah (sebagai pengemban kekuasaan negara) untuk memonopoli kontrak sosial yang
formal, melalui pemberlakuan atau pendayagunaan hukum positif (Luhman, 1985:103-105).

44

Ilmu Hukum dengan Hukum Positif sebagai Objek Satu-satunya

Tidak hanya ada satu aliran atau mazhab dalam ilmu hukum. Sekali pun di negeri-negeri
Anglo-Saxon berkembang positivisasi hukum lewat keputusan-keputusan pengadilan in concreto,
yang menyebabkan tradisi hukum di negeri-negeri ini lebih dikelola dan didinamisasi secara
pragmatis oleh para professional lawyers (yang memungkinkan terkembangnya berbagai variasi
aliran pemikiran hukum lain yang kemudian diaplikasikan dalam praktik, seperti aliran legal
realism dan sociological atau functional jurisprudence), namun di Eropa Kontinental pemikiran
hukum yang dikontrol oleh para academic jurists tidak banyak bergeming dari ajaran
jurisprudence positivism yang menkonsepsikan ilmu hukum sebagai ajaran yang murni tentang
penyelengaraan hukum. Sedangkan yang dimaksud hukum di sini tentu saja tak lain daripada
hukum yang positif (lege atau constitutum) yang merupakan produk positivisasi.

Produk positivisasi yang disebut hukum positif itu sekalipun terbilang positif dalam arti
objektivitasnya di-ya-kan dengan tegas pada hakikatnya adalah tetap merupakan sesuatu yang
terbilang fenomena normatif. Proses positivisasi pada hakikatnya adalah suatu proses objektivisasi
sejumlah norma metayuridis menjadi sejumlah norma yang positif. Prosesnya tetap saja
berlangsung dalam ranah normatif, sehingga ilmu hukum yang terbangun daripadanya adalah tetap
saja berdasarkan logika normologi, dan tidak berlogika nomologis yang induktif, untuk
menemukan berjumlah-jumlah nomos yang eksis sebagai fenomena empiris yang signifkan dalam
kehidupan sosial dan kultural. Bagaimanapun juga hubungan kausal antara fakta (fakta hukum)
dan akibat (akibat hukum) dalam ilmu hukum aliran positivisme ini adalah hasil normative
judgements, bukan hasil obervasi-observasi yang mendayagunakan metode sains guna menjamin
objektivitas dan realibilitas (Gordon, 1991: 33-51).

Berkutat dengan sikapnya yang konsevatif secara berketerusan untuk menamakan
positivisme sebagai paham pembenaran suatu proses judgemental yang bernuansa politik, ialah
proses untuk menentukan secara pasti mana yang dalam ranah normatif harus dinyatakan sebagai
fakta hukum (dengan segala akibat hukumnya) dan mana pula yang bukan.. Kritik terhadap
pendekatan dengan paradigma positivisme dalam ilmu hukum bermula dari suatu pemikiran kritis
yang mencoba mempertanyakan pengertian fenomena positif dalam paham positivisme itu
sendiri. Kritik seperti ini memang pertama-tama muncul tidak di lingkungan filsafat hukum itu
sendiri, melainkan di kalangan para ilmuwan dan pemikir filsafat ilmu serta para matematisi yang
pada tahun 1920-an bertemu, bekerja sama, berwacana dan menamakan diri Kelompok Wina
(The Vienna Circle). Hasil kerja para cendekiawan yang mendekonstruksi positivisme sebagai
paradigma keilmuan inilah yang kemudian, langsung atau tak langsung, turut berpengaruh pada
perubahan pendekatan paradigam positivsme dalam ilmu hukum.


Redefenisi Pengertian Positif dalam Paham Filsafati Positivisme, dan Akibat Kritisnya
pada Paradigma The Positive Jurisprudence

Diceritakanlah bahwa pada tahun 1929, para pemikir filsafat ilmu yang berhimpun dalam
Kelompok Wina menyiarkan sebuah manifesto yang mereka namakan sebagai The Scientific
Conseption of the World (Neurath, 1973). Dalam manifesto ini, para pemikir filsafati, matematisi
45
dan ilmuwan, yang bergabung dalam Kelompok Wina itu, menyatakan bahwa metode ilmu-ilmu
alam kodrat adalah satu-satunya sumber (atau prosedur?) yang rasional lewat pengukuran dan
manipulasi statistika, untuk memperoleh pengetahuan yang universal; bahwa oleh sebab itu
metode ini harus dipakai dalam setiap kerja penelitian, juga dalam penelitian sosial, apa pun
sungguhnya keragaman realitas sosial yang diperkirakan adanya; bahwa setiap pernyataan yang
dianggap memiliki kebenaran harus setidak-tidaknya; pada asasnya ditentukan oleh
bukti-bukti yang empiris; dan bahwa setiap penelitian itu harus benar-benar objektif, dengan
mewajibkan si peneliti untuk mengontrol keberpihakannya yang subjektif dengan berkomitmen
pada nilai-nilai kenetralan asasi (Hammersley, 1995:2-7). Adalah komitmen moral akademi setiap
ilmuwan demikianlah manifesto mazhab Wina ini untuk mencari kebenaran keilmuan tanpa
melibatkan emosi dan keberpihakan apa pun dan tugasnya memang hanyalah membuat studi. Sine
ira et studio!

Membedakan diri dari positivisme Prancis yang dirintiskan oleh Saint Simon dan Comte
pada dua-tiga dasawarsa pertama abad 19 yang masih cenderung bersifat lebih ideologis
daripada empiris, yang karena itu oleh Toulmin (dalam Achinstein dan Baker, 1969:50) dikatakan
tanpa ragu sebagai suatu "conservative obscurantism of idealist philosophy positivisme
Kelompok Wina dari abad 20 ini berseru agar paham filsafat positivismenya ini dikenal sebagai
The Logical Positivism. Inilah paham filsafat positivisme mutakhir yang boleh ditengarai sebagai
gerakan intelektual yang progresif untuk membebaskan dunia keilmuan dari ideologi rezim-rezim
pemerintahan otokratis, untuk pada tahap berikutnya memfungsikan ilmu pengetahuan sebagai
sumber kebenaran (the original source of empirical truth) yang dikelola para akadmisi, bukan
sebagai sumber-sumber pembenar (the normative source of legal justification) yang ditangani oleh
pakar-pakar tukang.

Maka, diproyeksikan ke alam pemikiran filsafati dan ilmu hukum, dalam hubungan ini
orang pun mulai mewacanakan kembali persoalan asas paradigmatis berlakunya hukum. Di sini
orang pun tidak lagi cuma hendak memahami hukum secara episotemeologi sebagai produk
positivisme yang bertolak dari keputusan politik rezim-rezim yang tengah berkuasa dan
berhegemoni, baik lembaga-lembaga yang eksekutif maupun di lembaga-lembaga yang legislatif
(atau bahkan yang yudisial). Alih-alih demikian, orang pun mulai memahami hukum sebagai fakta
sosial, ialah sebagai law as what it is empirically observed in society. Alih-alih membatasi ilmu
hukum sebagai ajaran murni yang doktirnal untuk keperluan seni peradilan kaum profesional, ilmu
hukum pun lalu serta merta memperoleh redefinisinya yang lebih luas, tak lagi sebatas reine
Rechtslehre atau positive jurisprudence yang Kelsenian, melainkan juga sebagai (socio) legal
studies, dengan menempatkan hukum sebagai fenomena empiris yang menjadi objek kajian yang
dapat saja diukur-ukur sebagai variabel yang dikuantifikasikan (Black, 1976:19), berdasarkan
metodologi yang bertumpu pada paradigma epistemologis the logical positivism yang dirintis
Kelompok Wina sebagai telah disebutkan di muka.


Perkembangan Berikutnya: Kritik terhadap Epistemologi Logical Positivism dan
Konsekuensinya pada Pencarian Paradigma Baru dalam Ilmu Hukum

Tesis pokok dalam epistemologi kaum logical positivist berpangkal pada keyakinan pada adanya
objektivitas yang universal, berikut logika serta metode yang dapat diaplikasikan untuk
46
merekonstruksikannya secara netral (apa adanya) ke dalam teori-teori yang akan berlaku universal
pula. Dalam kajian ilmu hukum, baik yang dianut eksponen aliran hukum kodrat maupun yang
dianut kaum positivis pada periode berikutnya, doktrin universalisme ini sesungguhnya bukan
sekali-sekali barang baru. Maka diintroduksikan dan diaplikasikannya epistemologi positivisme
yang berlogika nomologis (tidak lagi normologis) menurut kelompok Wina ini tidaklah
pertama-tama melahirkan wacana seru apa pun mengenai soal ruang lingkup berlakunya temuan.
Wacana yang berkembang pertama-tama mengenai objek ilmu hukum, ialah norma-norma positif
as it is written in the book atau nomos-nomos alias behavioral regularities as it is observed as
social realities.

Maka universalisme yang diyakini oleh Kelompok Wina dan terbawa ke dalam
kajian-kajian tentang hukum oleh kaum strukturalis dan/atau behavioralis yang mencoba
menerapkan the universal method of science rintisan Kelompok Wina ke dalam kajian-kajian
tentang hukum dapat dimengerti kalau memperoleh cabaran dan gugatan tidak hanya dari kaum
positivis klasik Austinian maupun yang Kelsenian. Cabaran juga datang dari kaum pasca-positivis
yang dengan sangat lantang mempertanyakan kebenaran pernyataan kaum positivis tentang apa
yang disebut the verifiability principle dan the theory neutrality of observation (Hammersley,
1995:18). Dalam hal ini, kaum pasca-positivis mempertanyakan apakah benar norma-norma
hukum itu baik yang diperoleh sebagai hasil proses positifisasi (atas wibawa institusi-institusi
pemerintahan dan/atau politik) ataupun yang diperoleh melalui proses observasi dalam wujud pola
perilaku (yang signifikan secara statistikal sebagai realitas sosial) benar-benar bersifat netral,
dan oleh sebab itu lalu boleh berlaku atau diberlakukan dalam suatu ruang lingkup yang universal?
Ataukah, sesungguhnya setiap norma hukum itu selalu dirasuki berbagai kepentingan yang relatif
dan karena itu sejak awalnya, pada aras dan wujudnya yang in abstracto sampai ke ujung
akhirnya, pada aras dan wujudnya yang in concrecto selalu menjadi objek interpretasi dan
konstruksi para pelaku, pengguna dan/atau pemanfaat hukum.


Paradigma Pasca-Positivisme: Fakta Sosial sebagai Realitas yang Dikonstruksi Lewat
Interaksi Antar-Manusia

Penolakan paradigma positivisme dalam kajian-kajian sosial dan humaniora dan kemudian juga
dalam bidang kajian hukum (khususnya yang menjadi bagian dari kajian ilmu-ilmu sosial yang
terbilang the legal studies, bukan yang terbilang Rechtslehre atau (positive jurisprudence) bertolak
dari suatu premis bahwa berbeda dari fakta alami fakta sosial itu pada hakikatnya adalah
sejumlah realitas yang terwujud sepanjang berlangsungnya interaksi-interaksi antara manusia di
dalam kehidupan sosialnya. Dengan perkataan lain, fakta sosial itu bukanlah sesuatu yang objektif
yang eksis di luar sana, melainkan suatu konstruksi yang berada di dalam ranah subjektivitas
manusia yang tengah berinteraksi (entah interaksi yang diadik entah pula yang sekelompok atau
sekaum). Maka tidaklah di sini, menurut paradigma pascapositisme ini, akan ada kemungkinan
yang besar bagi terjadinya realitas sosial yang berlaku universal. Maka tidak pula di sini akan ada
fakta atau konstruksi realitas sosial yang dapat divertifikasi validitasnya melalui metode-metode
kajian yang berparadigma positivisme.

Melepaskan diri dari posisi paradigmatis kaum positivis, tak pelak lagi para pasca-positivis
ini yang oleh Collin (1997: 23) disebut kaum social constructivist, meminjam untuk digunakan
47
secara luas dari Berger dan Luckmann (1996) menguasai diri untuk mendefinisikan ulang apa
yang sesungguhnya di maksudkan dengan realitas sosial. Lebih lanjut lagi, tidak cuma hendak
mendefinisikan ulang apa yang disebut relitas sosial itu, kaum konstruktivis sosial ini juga
mengemukakan argumentasi-argumentasinya mengenai posisinya. Diketahui bahwa sekalipun
mereka semua itu boleh dibilang sebagai kaum konstruktivis, tetapi argumentasi mereka ternyata
amatlah beragam. Collin (1997) menengarai dan mendeskripsikan setidak-tidaknya 8 posisi
argumentatif kaum konstruktivis ini, yakni: entnometodologi, relativisme budaya,
konstruktivisme sosial Bergerian, relativitas linguistik, fenomologi, simbolisme fakta sosial,
paradigma konvensi, dan tak ayal juga posisi argumentatif yang hermeneutik.

Melanjutkan perkembangan yang telah ada (dari pendekatan doktrinal-jurisprudencial
kaum positivis ke pendekatan non doktrinal-interdisipliner kaum behavioralis yang berjalan di atas
tradisi metodologisnya mazhab Wina), aplikasi paradigma konstruktivisme sosial di bidang kajian
hukum nyata-nyata terkesan banyak bertolak dari posisi hermeneutik. Barangkali saja hal itu
terjadi karena jasa Habermas dengan teori communicative actions-nya (1981), yang
dikembangkan lebih lanjut olehnya dengan perbincangannya yang intens dan rinci mengenai
persoalan epistemologi yang berwacana "antara fakta dan norma" (1992) (Deflem, ed., 1996).
Mengenai perkembangan hermeneutik dalam kajian hukum ini lengkap dengan perdebatan pro
dan kontranya dapatlah dibaca dalam buku bunga rampai yang disunting oleh Leyh (1992).


Paradigma Hermeneutik dalam Kajian Hukum

Sebagaimana halnya dengan kajian-kajian pasca-positivistis lain yang menggunakan paradigma
social constructionism, kajian sosial dan kajian hukum dengan pendekatan hermeneutik ini pun
secara jelas dan tegas menolak paham universalisme dalam ilmu, khususnya ilmu yang
berseluk-beluk dengan objek manusia berikut masyarakatnya. Akan gantinya, relativisme itulah
yang harus diakui dan diterima. Pendekatan hermeneutik adalah pendekatan untuk memahami
objek (produk perilaku manusia yang berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesamanya), dari
sudut pelaku aksi-interaksi (yang disebut aktor) itu sendiri. Maksudnya ialah tatkala mereka itu
tengah terlibat atau melibatkan diri di/ke dalam suatu proses sosial, termasuk proses-proses sosial
yang juga relevan dengan permasalahan hukum. Pendekatan hermeneutik berasumsi secara
paradigmatis bahwasannya setiap bentuk dan produk perilaku antar-manusia itu dan karena itu
juga produksi hukum, baik yang in abstracto maupun yang in concreto akan selalu ditentukan
oleh interpretasi yang dibuat dan disepakati para pelaku yang tengah terlibat dalam proses itu,
yang tengah terlibat dalam proses itu, yang tentu saja akan memberikan keragaman maknawi pada
fakta yang sedang dikaji sebagai objek.

Pendekatan hermeneutik alias pendekatan interpretatif dalam kajian hukum ini dengan
demikian tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otorianisme para yuris positif
yang elit, (yang di masa lalu selalu mengklaim dirinya sebagai satu-satunya pusat yang
berkewenangan akademis dan profesional untuk menginterpretasi dan memberikan makna kepada
hukum), tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau behavioralis yang terlalu
emiris sifatnya. Pendekatan hermeneutik dalam kajian hukum membuka kesempatan kepada para
pengkaji hukum untuk tak hanya berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata
menggunakan paradigma positivisme dan metode logikal formal melulu. Pendekatan ini, dengan
48
strategi metodologisnya menganjurkan to learn from the people, mengajak para pengkaji hukum
agar juga menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perpsektif para pengguna dan/atau
pencari keadilan, sebagaimana dikatakan oleh Sarat (1992), " as an alternative, or addition, to
(the study of legal) behavior.

Memang benar, kajian hukum dengan pendekatan hermeneutik (atau dengan pendekatan
konstruksi sosial pada umumnya) itu tidak dimaksud untuk menggantikan sepenuhnya
pendekatan-pendekatan lain. Pendekatan hermeneutik ini tidak hendak mengklaim diri sebagai
satu-satunya pendekatan yang sah dalam kajian-kajian sosial dalam ilmu hukum, sebagaimana
halnya pendekatan kaum positivis baik yang berkhidmat di lingkungan jurisprudence maupun
yang berkhidmat di lingkungan legal studies yang tidak sekali-kali pernah dapat mengklaim
paradigma dan metode serta teknik penelitiannya sebagai satu-satunya yang sah untuk
mempelajari hukum. Benarlah apa yang dikatakan Sarat (1992) tersebut, bahwa pendekatan baru
hanyalah merupakan alternatif yang akan menambah kekayaan khazanah kajian-kajian tentang
hukum. Bukanlah pendekatan hermeneutik ini tidak memiliki kekurangan juga, antara lain
seperti dikatakan oleh Fish (dalam Sarat dan Kearns, eds., 1991: 316) bahwasannya pendekatan
hermeneutik itu akan mengharuskan orang untuk selalu mengkaji fakta sosial dan fakta hukum
melalui interpretasi, padahal the only thing to know about interpretation is that it has to be done
every time. Dan, sementara itu, bukankah hukum itu "wishes to have a formal existence"?


Pustaka

Achinstein, P. dan S.F. Baker (1969). The Lagacy of Logical Positivism. Baltimore: J ohn Hopkins.
Berger, Peter L. dan Thomas Lukmann (1966). The Social Construction of Reality. New York:
Anchor Books.
Berman, Harold J . (1983). Law and Revolution: The Formation of The Western Legal Tradition.
Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Black, Donald (1976). The Behavior of Law. New York: Pegassus.
Collin, Finn (1997). Social Reality. London: Routledge.
Deflem, Mathieu (1996). Habermas, Modernity and Law. London: Sage.
Gordon, Scott (1991). The History and Philosophy of Social Science. London: Toutledge.
Habermas, J uergen (1981). Handlungs-rationalitaet und Gesellschaftliche Rationalisierung, Band
I: Tehorie Des Komunikativen Handelns. Fankfurt: Suhrkpamf.
- (1991). Faktizitaet und Geltung: Beitraege Zur Diskurstheorie Des Rechts und Des
Demokratischen Rechtstaats. Frangkfurt: Suhr-kampt.

Hammersley, Martyn (1995). The Politics of Social Research. London: Sage
Luhman, Niklas (1985). A sociological Theory of Law. London: Routledge & Kegan Paul.
Leyh, Gregory (1992). Legal Hermeneutics: History, Theory, and Parctice. Berkeley: University
of California Press.
Neurath, Otto (1973). Empiricism and sociology. Dordrecht: Reidel.
Sarat, Austin (1992). Legal Hermeneutics by Gregory Leyh, The Law And Politics Book
Review, Th. II No. 8, H. 112-115
Sarat , Austin dan Thomas R. Kearns, eds. (1991), The Fate of Law. Ann Arbor, Mich.: University
of Michigan Press.
49
Wignjosoebroto, Soetandyo (1994). Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional Suatu Kajian
Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia (1949-1990). J akarta:
Raja Grafindo Persada.

6

ILMU HUKUM DAN ILMU SOSIAL TENTANG HUKUM
Perbedaan Konsepsi dan Konsekuensi Metodenya




Ilmu Hukum sebagai Seni Berpikir

Mengikuti tradisi reine Rechtslehre atau rechts-geleerdheid atau jurisprudence, ilmu hukum
sebagaimana diajarkan di fakultas-fakultas hukum di Indonesia sesungguhnya tidaklah terbilang
ke dalam kerabat sains. Ilmu hukum (di) Indonesia tidaklah ditradisikan dalam alur sains sebagai
legal science. Sekalipun ilmu ini memang benar bekerja dengan berpangkal dari serta
berseluk-beluk dengan proposisi-proposisi hukum yang positif, akan tetapi apa yang dimaksud
dengan positive legal di sini bukanlah hasil observasi-observasi dan/atau pengukuran-pengukuran
atas gejala-gejala dunia empiris, melainkan hasil positive judgements baik in abstracto maupun
in concreto oleh otoritas-otoritas tertentu yang berkewenangan. (Kata positif di sini nyata
kalau lebih dekat ke makna non-moral atau netral daripada ke makna empiris atau sesuatu
yang observable).

Berihwal demikian, ilmu hukum dalam artinya sebagai reine Rechtslehre itu sesungguhnya
tak memiliki (dan merasa tak perlu memiliki) data, yang dipunyai sebagai kekayaan intelektualnya
adalah suatu khazanah proposisi dan/atau premis yang masing-masing lewat silogisme deduksi
dan silogisme induksi dapat menghasilkan konklusi-kongklusi, baik yang praktis dan berfungsi
sebagai sumber hukum yang bersifat formil (yang di negeri-negeri penganut Civil Law dihimpun
sebagai yurisprudensi dan di negeri-negeri penganut Common Law dihimpun dalam wujud
judge-made law), maupun yang teoretis dan berfungsi sebagai sumber hukum yang bersifat
materiil (berupa asas-asas).

Tak pelak lagi, dalam tradisi Rechtslehre seperti ilmu hukum lalu lebih banyak terlihat
sebagai suatu seni berpikir khusus yang dimaksudkan guna menemukan aturan-aturan yang dapat
diterapkan in concreto dari dalam sistem peraturan-peraturan positif yang telah disusun secara
logis, koheren, dalam jenjang-jenjang hierarki (stuffen), namun terkucil dan terasing insulated dari
alam amatan. Maka, mengembangkan seni berpikir menurut ajaran (ilmu) hukum yang dahulu
disebut juridisch denken adalah semisal berpikir menurut logika aturan main catur
(schaakdenken), di mana dunia berpikir menurut aturan ini bersifat tersendiri dan eksklusif, dan
karena itu pun tak perlu bertaat asas pada prinsip-prinsip logika yang menguasai alam kenyatan
(the natural logic).



Hukum dan Sains, Bagaikan Minyak dan Air

52
Beberapa dari tradisi rechtslehre atau jurisprudence, ilmu-ilmu sosial bekerja dalam tradisi
berpikir dan bermetode sains (dan karena itulah ilmu-ilmu sosial sejak awal mula tanpa ragu
menamakan dirinya social science). Perbedaan berpikir dan bermetode dalam Rechtslehre dan
social sciences sesungguhnya tidaklah terletak pada silogisme-silogisme logika yang dipakainya.
Dalam hubungan ini perlu tetap diperhatikan bahwa kedua-duanya, lebih-lebih yang berkembang
dalam sistem Common Law, sebenarnya sama-sama menggunakan cara-cara silogisme deduksi
dan induksi. Perbedaan asasinya rupanya harus dicari tidak pada metodenya itu, melainkan pada
asumsi-asumsi dasarnya mengenai postulat apa yang seharusnya dipakai sebagai pangkal tolak
berpikir itu. Dalam ajaran hukum di fakultas-fakultas hukum, premis-premis itu haruslah
merupakan hasil judgements otoritas yang berkewenangan dan/atau derivat-derivat yang bisa
diperoleh daripadanya, ipso jure. Sementara itu, dalam kajian ilmu-ilmu sosial di fakultas-fakultas
ilmu sosial dan ilmu politik, premis-premis itu haruslah merupakan hasil amatan (yang dijaga agar
berkecermatan, berketerandalan, dan sahih, dengan bantuan instrumen-instrumen perekam atau
pengukur), dan/atau derivat-derivat yang bisa ditarik daripadanya, ipso facto.

Dari penjelasan ini nyata sudah bahwasannya ajaran (hukum) dan sains (sosial) itu
merupakan dua dunia yang terpisah. Dalam ajaran hukum tidaklah akan ada hukum yang mungkin
terbit begitu saja, ipso facto. Sedangkan dalam kajian-kajian sains sosial tidaklah akan dan/atau
statemen-statemen yang boleh dinilai betul (true) begitu saja lantaran adanya tuntutan-tuntutan
otoritas, ipso jure. Pemisahan demikian ini memang tanpa dapat dihindari terjadi sebagai
akibat kepercayaan berlakunya metodendualismus Kantian dalam dunia berpikir Barat modern
yang sekular, yang secara setia dianut di kalangan intelektual Barat berikut anak-anak didiknya
yang juga membiak secara merata di negeri-negeri Dunia Ketiga (dan tak kurang-kurangnya juga
di Indonesia). Bersetia kepada paham berpikir metodendualismus ini (tak salah lagi) ajaran hukum
dan sains sosial akan terus ko-eksis walaupun sudah amat berdekatan bagaikan minyak dan air.


Perbedaan Konsep dan Konsekuensi Praktiknya

Apabila orang cuma mau berkiblat ke kepentingan-kepentingan kesarjanaan secara miopik
dan egosentris, metodendualismus yang fungsional dalam kajian-kajian teoretis murni itu pastilah
akan terbawa-bawa pula ke dunia praktiknya kaum praktisi (yang mestinya sudah harus lebih sadar
untuk berkiblat ke alam permasalahan, berikut realita pemecahannya). Ini telah sering kali terjadi,
bukan karena sebab kecemburuan atau kompetisi status yang berkelanjutan dan dalam kadarnya
yang terkadang keterlaluan, melainkan lebih bersebab pada tiadanya pengenalan terhadap sistem
konseptual masing-masing, dengan akibat tiadanya kemampuan mereka bersama untuk saling
menyapa secara konstruktif.

Perspektif yang berbeda tak hanya akan melahirkan konsep-konsep epistimologis yang
berbeda, akan tetapi juga metode-metode berpikir dan metode-metode penelitian yang berbeda
pula. Dan bahkan mungkin juga perbedaan perspektif seperti itu akan dapat melahirkan
kepribadian yang berbeda pula, yaitu antara yuris yang umumnya gampang tampil dalam sosok
kepribadian seorang eksponen yang sensitif, dan ilmuwan sosial yang umumnya gampang tampil
dalam sosok kepribadian seorang narator atau analis tulen akan bercenderung mempercayai dan
mengukuhi model-model perilaku tertentu, dan dengan semangat universalisme yang cukup tinggi
mau memaksakan dunia kehidupan sehari-hari agar selalu patuh mengikuti imperatif model-model
53
itu. Sementara itu seorang analis sosial yang tulen akan cenderung mempersepsi pola-pola
perilaku dalam kehidupan sehari-hari sebagai variabel-variabel historis yang sifatnya
partikularistis, dan oleh karena itu harus dipandang lumrah kalau sifatnya juga nisbi.

Digambarkan lebih lanjut secara dikotomis seperti itu, tampaknya juga menunjukkan
polarisasi sikap dan pemihakan di kalangan para yuris di satu pihak dan para ilmuwan sosial di
pihak lain dalam hubungan mereka dengan para penguasa pemerintahan. Para yuris yang
cenderung bersetia pada model-model sentral umumnya bersedia pula dengan suka-cita dan penuh
cita-cita menerima (dan malahan mungkin bersikap memihak) hadirnya otoritas-otoritas sentral
(yang otoritarian sekalipun) yang telah menugasi diri untuk secara koersif merekayasa ketertiban
dan ketenteraman umum. Dalam konsep kelompok ini, apa yang disebut social order itu tak lain
daripada a normative pre-established order.

Sementara itu, di pihak lain, para ilmuwan sosial (yang sosiologi ataupun yang
antropologi) tanpa enggan cenderung menenggang keragaman gerak arus bawah yang sering
menafikan model-model yang dipaksakan berlakunya dengan topangan kekuasaan-kekuasaan
sentral yang acap bersifat eliter dan otoritarian. Di mata analitis ilmuwan sosial itu, lebih-lebih
yang penganut pandangan teori simbolis-interaksionis, di zaman yang ditengarai sudah masuk ke
dekapan paham postomodernisme, setiap penyimpangan dan pelanggaran boleh jadi malahan
tampak sebagai ulah-ulah improvisasi yang tak cuma kreatif dan spontan (yang tentulah akan
melahirkan perubahan dan pembaruan yang unik dan menarik), akan tetapi juga amat efektif demi
survival pada peringkat lokal. Maka, kalau para yuris klasik cenderung untuk berpandangan
bahwa pelaku-pelaku dalam struktur-struktur supra pemerintahan yang harus ditegakkan, maka
para ilmuwan sosial lebih-lebih yang secara progresif mengikut pemikiran-pemikiran
kontemporer amat gampang untuk bercenderung memilih posisinya sebagai penggembira
terjadinya perkembangan-perkembangan struktur-struktur infra dalam masyarakat dan
komunitas-komunitas.


Perbedaan Asal Usul

Tradisi pendidikan hukum untuk penegakan hukum (di) Indonesia berakar pada tradisi
penyelenggaraan tata hukum dan pendidikan hukum Negeri Belanda, yang pada gilirannya berakar
pada sistem hukum yang terbilang kerabat hukum Romano-Germanic (yang sudah pada abad 18
menjadi hukum legislatif-positif berformat nasional). Para bestuursambtenaaren dan
rechtsambtenaaren kolonial yang akan dikirim ke Indonesia (dahulu: Tanah Hindia atau Hindia
Belanda), sekalipun sebelum dinyatakan lulus groot-ambtenaar examen, harus sudah pernah
belajar sampai khatam dalam mataajaran-mataajaran non-hukum (seperti bahasa daerah, budaya
serta adat-istiadat pribumi, pranata-pranata Islam, dan sebagainya), pada dasarnya mereka itu
harus lebih banyak mempelajari hukum positif sebagaimana telah ditulis secara rapi dalam
kitab-kitab (law as it is written in the books),. Hukum beserta konsep-konsepnya yang
dipelajari ini sekali-kali bukanlah hukum Islam atau hukum tradisi masyarakat Timur melainkan
yang Romano-Germanic sebagaimana telah disepuh dengan ide-ide liberal Revolusi Prancis abad
18).

54
Ketika sebagian dari program pendidikan hukum mulia diselenggarakan di Indonesia
untuk menciptakan sebarisan Inlandsche Rechtskundingen (yang diperlukan guna mengawaki
peradilan landraad), gravitasi pendidikan hukum pun tak ayal lagi masihlah tetap saja berorientasi
ke hukum abad dan tradisi sistem hukum Barat yang bertegak untuk menegakkan kekuasaan
kolonial di bumi Timur. Bisa dimengerti (sine ira et studio) bahwasannya tradisi berpikir dan
pelaksanaan praktik dalam hukum di Indonesia ini adalah tradisi kolonial yang otoritarian dan
sentralistis, dengan berbagai metode berpikirnya yang deduktif-matematis yang lugas, bertolak
tanpa ayal barang sedikitpun dari norma-norma yang diperlakukan sebagai premis mayor, yang
dasar kesahan formalnya maupun hakikat kebenaran substanstifnya sudah tak boleh
diperbantahkan lagi.

Bagaimana dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial? Ilmu-ilmu sosial berkembang juga
sejak zaman pemerintahan kolonial, namun sebagai bagian dari upaya pengembangan
sarana-sarana bantu saja, yaitu sehubungan dengan kebijakan kolonial Belanda yang mencoba
menguasai tanah jajahannya melalui cara indirect rule yang melahirkan dengan segera suasana
dualisme, dengan struktur supra yang Barat dan dengan struktur infra yang pribumi. Ilmu-ilmu
sosial (khususnya antropologi yang waktu itu juga mencakup ilmu bahasa dan pengetahuan
budaya pada umumnya dan ekonomi bangsa-bangsa Timur) dipakai untuk mengkaji dan
memahami serta mengelola masyarakat dan budaya pribumi, sedangkan ilmu hukum dipakai
untuk menyelenggarakan pemerintah kolonial yang Eropa-sentris. Maka komitmen ilmu-ilmu
sosial untuk lebih memperhatikan kesejahteraan the civil society daripada kepentingan the state di
negeri ini bolehlah dibilang sudah bermula sejak lama, setidak-tidaknya sudah sejak tahun-tahun
menjelang Van Vollenhoven "menemukan hukum adat", yaitu ketika kaum partikularis (seperti
misalnya, antara lain, Snouck-Hurgronje) menentang kebijakan-kebijakan politik kolonial kaum
universalis.

Kebiasan untuk lebih menengok dan melongok ke perisitiwa-peristiwa yang berproses di
ranah struktur-struktur infra daripada berpartisipasi di ranah struktur-struktur supra ternyata terus
bersinambung selepas berakhirnya kekuasaan kolonial di Indonesia. Banyaknya para pelajar
Indonesia yang mulai banyak mengalir ke Amerika Serikat daripada ke Negeri Belanda pada
tahun-tahun 1950-an dan 1960-an, dan massalisasi pendidikan di dalam negeri dengan diverifikasi
ilmu yang ditempuh, yang tak semata-mata dimaksudkan untuk berkhidmat ke kepentingan
pemerintah dan pemerintahan secara langsung, telah melanjutkan kecenderungan seperti itu.
Ilmu-ilmu sosial yang pada masa kolonial cuma dikaji dan dipelajari dalam kedudukannya sebagai
bagian saja dari kemahiran yang disyaratkan untuk menempuh groot-ambtenaar examen, dan
tidak sebagai bagian yang integral dan dominan di dalam ilmu hukum, kini telah memperoleh
status dan peranannya sendiri yang otonom serta bermakna. Dan tatkala ilmu-ilmu sosial ini (entah
teorinya entah metodenya) juga didayagunakan untuk mengindentifikasi dan memecahkan
permasalahan hukum dan ketertiban sosial, maka berbagai cabang ilmu ini mempelajari hukum
sebagai law as it is in society.


Mengaburnya Batas

Perkembangan selepas saat lahirnya Orde Baru, yaitu ketika seluruh usaha nasional
dikonsentrasikan untuk membangun ekonomi Indonesia dengan tolok keberhasilan yang dapat
55
diukur dengan melihat indikator empiris yang disebut GNP dan/atau Indeks Gini, langkah-langkah
untuk merekayasa masyarakat tak lagi hendak didominasi oleh imperatif-imperatif ideologis atau
yang serba formal yuridis. Pertimbangan dan perhitungan yang harus mendasarkan diri pada
hukum sebab-akibat, tidak hanya dalam soal mengantisipasi perilaku ekonomi dan politik akan
tetapi juga dalam soal mengantisipasi perilaku sosial dan budaya, kini banyak menyeruak ke
depan.

Dalam suasana pemikiran profesional dan intelektual seperti itu, kecenderungan berpikir
para yuris untuk tidak lagi menyempitkan wawasan ke gaya yang serba formal legistis tercatat
mulai nyata dan membesar. Dunia kerja para yuris (yang pada masa itu mulai lebih dikenal sebagai
sarjana hukum daripada Mester in de Rechten, suatu pergantian sebutan yang mestinya tak cuma
bermakna nominal), pun tak lagi dibatasi pada dunia kehukuman aplikatif dan kehakiman saja.
Kenyataan-kenyataan ini telah mengharuskan para yuris kalau toh tak harus belajar di
fakultas-fakultas mencoba mencari tambahan wawasan dan kajian di luar kampus, yaitu semasa
mereka telah harus bergelut dengan masalah-masalah praktis di tengah masyarakat (yang pada era
Republik ini telah menjadi kian kompleks, dengan perkembangan-perkembangan yang tak
selamanya mudah diduga).

Perkembangan demikian menjadi lumrah, tatkala hukum tidak lagi merupakan ilmu dan
kiat seni kehakiman yang berpusar di seputar persoalan litigasi semata. Tatkala hukum telah pula
berkembang menjadi ilmu dan kiat kemahiran membela hak-hak warga masyarakat sipil, tidak saja
dalam perkara-perkara pidana di sidang-sidang pengadilan akan tetapi juga sebagai bagian dari
upaya-upaya bantuan yang ruang lingkupnya menjejas permasalahan struktural di luar
proses-proses litigasi? Tatkala hukum juga mulai amat jelas terlibat sebagai bagian dari
bargaining power yang dinamis, namun di lain pihak juga telah kian nyata terlihat tidak cuma di
ruang-ruang sidang parlemen akan tetapi juga lama sebelumnya di ladang-ladang dan tanah lapang
sebagai bagian dari ekspresi kolektif warga bangsa dalam soal keadilan. Tatkala hukum mulai
dicabar dengan dalih bahwa hukum selama ini cuma merefleksikan ide-ide dan kepentingan para
elite di kota-kota yang maunya cuma memaksakan rekayasa, dan bukannya nurani dan kearifan
massa ramai di desa-desa?

Dari sinilah mulai lahir perhatian orang untuk melihat hukum tidak cuma sebagai
permainan juridisch denken akan tetapi juga sebagai kekuatan riil yang berproses ke arah
tertatanya kehidupan yang lebih demokratis dan adil. Konsep law as what it is written in the books
secara berangsur mulai dilengkapi dan diimbuhi dengan konsep komplementernya law as what it
is functioning in society. Kajian-kajian ilmu hukum sekalipun di kampus-kampus dan di kurikula
fakultas-fakultas hukum hingga kini masih terkesan memberatkan aspek-aspeknya yang klinis
dalam praktik mulai banyak juga mengungkap matra-matranya yang struktural, institusional dan
bahkan akhir-akhir ini juga yang behavioral (yang mengkonsepkan hukum sebagai law is it is
embedded in human mind, and manifested in their actions and interactions).

Untuk memahami lebih jauh liku-liku permasalahan hukum yang bermanifestasi sebagai
peristiwa sosial atau perilaku interaktif antar-warga masyarakat ini para pengkaji mau tak mau
harus mulai mau bersikap untuk mendayagunakan teori-teori sosial, dengan berbagai variasi
paradigmatisnya, mulai dari teori struktur Durkheimian yang makro dan klasik sampai ke teori
aksi dan interaksi simbolis yang mikro, terus ke teori strukturasi Giddensian yang mutakhir.
56
Adapun metode kajian/penelitian yang hendak dipakai tentu saja juga bukan lagi metode normatif
(atau yang tepatnya seyogianya dinamakan metode doktrinal) yang dikembangkan untuk
kajian-kajian reine Rechtslehre yang klasik itu, yang sesungguhnya juga amat berpengaruh di
dalam dunia pemikiran serta penelitian hukum adat.

Apabila hukum juga sudah dikonsepkan sebagai institusi alias gejala sosial yang empiris,
atau sebagai makna-makna simbolis yang termanifestasi tidak di kitab-kitab undang-undang atau
berkas-berkas keputusan hakim melainkan di dalam tindakan/aksi serta interaksi warga
masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari, maka tak terelakkan lagi metode penelitian
sosial yang empiris-kualitatif atau simbolis-kualitatif itulah yang akan dipakai. Dalam hubungan
ini, kajian-kajian dan penelitian-penelitian hukum rakyat pun tak akan lagi berlangsung menuruti
metode klasik yang dikembangkan ter Haar dan murid-muridnya (bertolak dari beslissingsleer
yang diintroduksi Logemann), atau apalagi yang dipakai oleh Djajadiningrat yang terbukti amat
normatif dan bersetia pada cara berkonsepsi kaum yuris-positivis. Alih-alih begitu, kajian-kajian
dan penelitian-penelitian hukum rakyat akan lebih dilakukan bersaranakan metode-metode
antropologi yang mutakhir. Apabila hukum rakyat (yang dulu lebih populer disebut hukum adat)
telah mulai banyak dikonsepkan sebagai produk (inter) aksi-(inter) aksi sosial yang sarat dengan
makna-makna yang berasal dari dunia simbolis para pelaku sosial (bukan dari dunia simbolis para
penguasa pembuat undang-undang atau refleksi kebijakan para elite politik atau para elite
kehakiman, baik yang berkedudukan sebagai aparat pusat yang formal maupun yang berstatus
sebagai elite lokal yang informal) maka tak ayal lagi metode penelitian yang refleksif dan
interpretatif-kualitatif-lah (yang tak cuma untuk mencoba pengobservasi apa yang tengah
diperlakukan melainkan untuk memahami apa sesungguhnya yang tengah digagas dan menjadi
sumber-sumber motif menentukan keputusan), yang akan banyak dipakai.


Keniscayaan Saling Menyapa dan Transaksi

Gambaran adanya polarisasi wawasan, cara kerja, dan sikap pemihakan yang berbeda antara para
yuris/sarjana hukum dan para ilmuwan sosial dari berbagai aliran paham kini di banyak kegiatan
profesi telah kian mengabur. Banyak yuris telah menerima kenyataan dan lebih lanjut lagi
bahkan juga telah mengakui bahwa mempelajari hukum sebagai bagian dari logika, tanpa
mengkaji relevansinya dengan dunia pengalaman, baik pengalaman kehidupan yang makro
maupun yang mikro, adalah suatu aktivitas yang (di tengah-tengah era pembangunan yang penuh
perubahan dan pergolakan sosial dewasa ini) akan merupakan kegiatan yang amat steril. Adagium
pada awal abad (berasal dari lingkungan common law lewat ucapan Holmes) bahwathe life of law
is not logic, but experience menjadi terpopulerkan, sekalipun bersamaan dengan itu adagium law
is a tool of social engineering yang terkesan kontradiktif (lewat ucapan Pound) ikut dipopulerkan
juga. Studi-studi law and society, sosiologi hukum, antropologi hukum, law and behavior, metode
penelitian hukum (tidak hanya yang doktrinal, melainkan juga yang non-doktrinal, baik yang
kuantitatif maupun yang kualitatif), mulai memperoleh perhatian, sekalipun dalam porsi yang
masih terbatas, dan yang sayangnya akhir-akhir ini malah agak tergusur dan terabaikan dari
kurikulum di banyak fakultas hukum. Topik-topik socio-legal justru telah banyak pula dipilih,
tidak hanya untuk dan di dalam skripsi-skripsi para mahasiswa para mahasiswa Fakultas Hukum,
melainkan sudah mulai marak dalam berbagai diskusi, seminar, dan berbagai polemik di luar
kampus.
57

Maka bolehlah diduga bahwa pendekatan atau ancangan sosial dalam ilmu hukum, yang
akan mengubah kajian hukum (dalam arti ajaran hukum alias Rechtslehre) menjadi bagian integral
ilmu-ilmu sosial, untuk sementara ini masih dipandang terlalu berlebihan. Upaya untuk
mempertahankan ilmu hukum dalam karakternya sebagai Rechtslhere, sekalipun tak lagi mesti
rein, masih sangat kuat bertahan karena bagaimanapun juga menurut paham ini, ilmu hukum
masihlah harus dipertahankan sebagai kiat kemahiran profesi kehukuman dan kehakiman, dan
tidak terdeprofesionalisasi menjadi bagian dari massa awam di lapangan, di luar tembok-tembok
pengadilan dan/atau di luar kantor-kantor pengacara. Namun, mengabaikan sama sekali hasil-hasil
penelitian sosial dan kajian-kajian ilmu sosial (khususnya sosiologi dan antropologi hukum)
sebagai masukan untuk membuat legal judgements yang lebih realistis dan menjamin
rechtsdoelmatigheid-nya (sekalipun mungkin akan sedikit menganggu rechtszekerheid-nya),
adalah juga kurang bijaksana.

Pendekatan untuk saling menyapa dan bertransaksi antara ilmu hukum dan ilmu sosial
terjadi di sana sini, dari waktu ke waktu dan dalam wujud lintasan-lintasan dua arah. Para sarjana
dan praktisi hukum telah banyak dipaksa dan terpaksa menimba fakta-fakta temuan yang
berketerandalan tinggi dari berbagai upaya penelitian sosial untuk membuat legal judgements
yang lebih realistis, tidak hanya dalam proses-proses penciptaan hukum in abstracto akan tetapi
juga dalam proses-proses penemuan (atau bahkan juga penciptaan?) hukum in concreto.
Sementara itu, di pihak lain, kini mulai banyak juga ilmuwan sosial yang memikirkan upaya-upaya
agar hasil-hasil temuan penelitian sosial, yang bermakna untuk menata dan meningkatkan taraf
kesejahteraan masyarakat, dapat mencapai dan diperhatikan para pengambil keputusan. Sehingga
temuan-temuan yang baik itu tidak hanya terhenti dalam wujudnya sebagai fakta semata, akan
tetapi juga ikut terproses menjadi sejumlah judgements yang tak hanya sah menurut hukumnya
akan tetapi juga jujur menurut kriteria moral sosialnya, untuk mempengaruhi perilaku dan pola
perilaku sosial.


Penutup: Menuju Integrasi?

Simpulan yang dapat ditarik dari seluruh uraian di muka ialah, bahwa ilmu hukum tidaklah akan
mungkin menggunakan ancangan, perspektif, atau cara pendekatan yang ditradisikan dalam
ilmu-ilmu sosial secara lengkap dan konsekuen, kecuali apabila ilmu hukum itu siap
ditransformasikan menjadi suatu cabang ilmu sosial (dengan variabel hukum sebagai objek
khususnya). Atau, kalau tidak demikian, ilmu hukum tetap saja ditampilkan dalam kepribadiannya
yang semula jadi sebagai jurisprudence atau Rechtslehre, namun dengan kesediaan untuk
menanggalkan tekad dan komitmennya yang sudah ketingalan zaman sebagai ajaran hukum yang
murni, agar dengan begitu bisa mulai berubah wujud dan berkepribadian sebagai apa yang
diintroduksi oleh Pound dengan nama sociological jurisprudence.

Di tengah-tengah situasi krisis yang menuntut kesediaan beradaptasi, ilmu hukum dewasa
ini harus bersedia mengembangkan tata hukum yang menjadi objek kajiannya tetap dalam
konsepnya sebagai suatu sistem norma yang tak lagi berwatak positif yang sempit, dan
dimodelkan sebagai sistem perkaidahan yang tertutup, melainkan suatu sistem yang terbuka.
Sebagai sistem terbuka, hukum akan mudah bertransaksi dengan lingkungan sosial (yang menjadi
58
objek kajian ilmu-ilmu sosial), dalam ihwal meng-input-kan fakta sosial, memprosesnya di dalam
sistem sebagai through-puts yang secara sosial relevan, untuk kemudian meng-output-kan kembali
ke tengah masyarakat sebagai suatu socio-legal judgements yang benar-benar fungsional.

Pertanyaan apakah di masa mendatang ilmu hukum akan berkembang menjadi ilmu/sains
sosial, ataukah "hanya" berkembang sejauh capaiannya sebagai sociological jurisprudence,
haruslah dijawab oleh para yuris sendiri. Namun perlu dicatat dan diingatkan terlebih dahulu,
bahwa yang dimaksudkan dengan para yuris di sini bukanlah hanya mereka yang berkhidmat di
kampus-kampus fakultas hukum dan di semua jurusannya yang klasik tapi juga mereka yang
berkhidmat di profesi-profesi praktis, yang di dalam menghadapi masalah-masalah hukum tidak
hanya harus mendayagunakan logika berpikirnya yang formal-deduktif. Menghadapi
masalah-masalah hukum yang riil dan beraspek sosio-kultural, kemahiran metodologis untuk
melakukan observasi berikut analisis-analisisnya entah yang kuantitatif entah pula yang
kualitatif mesti pula benar-benar taat kepada silogisme induksi.




7

PENGGUNAAN METODOLOGI PENELITIAN
MENURUT TRADISI SAINS DALAM
ILMU HUKUM DAN ILMU-ILMU SOSIAL
Perbincangan tentang Masalah Teknis-Operasionalnya



Sientisme, Sains dan Metode

Penelitian atau riset itu bermakna pencarian, yaitu pencarian jawab mengenai suatu
masalah. Maka dengan demikian apa yang disebut metode penelitian itu pada asasnya
akan merupakan metode (atau cara dan/atau prosedur) yang harus ditempuh agar orang
bisa menemukan jawab yang boleh dipandang benar (dalam arti true, bukan atau tidak
selalu dalam arti right atau just) guna menjawab masalah tertentu itu. Apa yang harus
dipandang benar dan bagaimana prosedur yang benar untuk memperoleh kesimpulan
yang benar guna menjawab sang masalah secara benar itu merupakan persoalan filsafati
yang banyak dibahas dalam pemikiran ontologi dan epistemologi. Dalam hal ini, ilmu
modern (sains) meneruskan tradisi olah pikir Yunani yang berkehendak menyimpulkan
kebenaran dari suatu proses berpikir yang prosedur-prosedurnya ditunjukkan oleh
Aristoteles dalam format-format yang disebut silogisme. Ada dua silogisme yang dikenal,
yaitu silogisme deduksi dan silogisme induksi. Penggunaan masing-masing ditentukan
oleh keyakinan orang mengenai apa yang harus dipandang sebagai sumber kebenaran.
Aliran idealisme yang mengkonsepkan kebenaran sebagai suatu yang berada dan berawal
dalam alam ide in abstracto akan banyak mendayagunakan silogisme deduksi (berawal
dari premis umum dan berakhir pada suatu kesimpulan yang khusus); sedangkan aliran
empirisme yang mengkonsepkan kebenaran sebagai suatu yang berada dan berawal
dalam alam pengalaman dan pengamatan indrawi in concreto akan banyak
mendayagunakan silogisme induksi (berawal dari premis khusus dan berakhir pada suatu
kesimpulan yang umum). Sains pada dasarnya tetap menganut paham bahwa kebenaran
pada hakikatnya adalah hasil pikir dan bermukim sepenuhnya di alam ide. Deduksi
dipakai untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (hipotetis) dari kebenaran-
kebenaran induk (yang teoretis). Tetapi sains juga memberikan posisi penentu kepada
kebenaran yang bersumber dari alam empiris, nota bene alam pemersembah kebenaran
lewat observasi (dan tidak lewat kontemplasi). Di sini metode induksi memegang peranan
besar. Metode ini menjadi metode penentu untuk menguji apakah temuan-temuan
deduksi (hipotesis) boleh disahkan dan dipromosikan menjadi tesis.

Saintisme lahir pada abad rasionalisme ketika orang mulai berani dan bersedia
mendunia dengan melihat alam yang terbentang di hadapan amatan indrawi ini sebagai
kebenaran-kebenaran logis juga. Alam semesta yang tampil secara fisik pada hakikatnya -
- demikian manurut paham mereka adalah manifestasi nyata sebuah ide logika: ia adalah
a natural logic. Tak pelak saintisme lahir sejalan dan sewaktu dengan lahirnya empirisme
(atau yang di negeri-negeri kontinental waktu itu lebih sering disebut positivisme). Di
sini nyata kalau pada arus saintisme objek kajian adalah atau terkonsepkan sebagai objek-
objek yang menggejala di alam pengalaman indrawi (empiris) dan/atau di alam
pengamatan yang kebenarannya dapat ditangkap secara indrawi (alam positif).
Sesungguhnya saintisme masih tetap meneruskan tradisi klasik untuk tetap mempercayai
bahwa kebenaran ini harus pula memperoleh pembenaran dari alam empiris yang positif
itu. Saintisme meluangkan dialog yang dialektis secara berkesinambungan antara alam
ide (yang berfungsi sebagai asas-asas pembenar dan teroperasikan lewat prosedur logika
formil atau deduksi) dan alam empiris (yang berfungsi sebagai pengungkap realitas
hubungan antar-objek variabel, dengan generalisasi-generalisasi yang berfungsi menguji
kebenaran setiap kontemplasi deduktif, dan teroperasikan lewat prosedur logika materiil
atau induksi).

Mengkonstruksi metode dan prosedur penemuan kebenaran atas dasar logika yang
demikian, sains dalam epistemologi saintisme sesungguhnya bersifat sinkretis. Alam ide
teoretik in abstracto akan terus lewat deduksi menghasilkan konklusi-konklusi hipotetis.
Sementara itu hasil-hasil amatan in concreto (informasi atau kalau lebih terukur disebut
data) akan terus lewat induksi menghasilkan generalisasi-generalisasi. Saling menguji
antara hipotesis (konklusi deduksi yang beranjak dari teori) dan hasil generalisasi
(konklusi induksi yang beranjak dari alam empiris) akan menghasilkan kebenaran-
kebenaran saintis. Prakarsa teori) dan hasil generalisasi kebenaran-kebenaran saintis.
Prakarsa pemulanya bisa sang teori itu akan tetapi bisa juga sang data; tak dapat
dikatakan mana yang harus lebih dahulu, seperti halnya orang yang sulit menyatakan
mana yang harus eksis terlebih dulu, ayam ataukah telur. Tak pelak teori-teori sains akan
selalu bersifat sinkretis, dalam arti akan selalu mengandung kebenaran empiris (jadi
sifatnya tidak atau tidak selalu aksiomatis/dogmatis melainkan grounded atau
corroborated, sebagaimana disyarati oleh data empiris-positif); sedangkan data akan
selalu bersifat sinkretis pula dalam arti selalu mengandung kebenaran apriori yang
teoretis (jadi sifatnya tidak atau tidak sepenuhnya objektif melainkan subjektif
konseptual, sebagaimana disyarati oleh presumsi-presumsi teori yang dianut dan diyakini
para subjek).


Metode Sains dalam Ilmu Hukum dan Ilmu-Ilmu Sosial

Saintisme dan metode sains yang memberikan posisi dan porsi natural logic serta
prosedur induksi secara bermakna dan menentukan kepada setiap upaya menemukan
kebenaran lahir pertama-tama di kalangan para pakar piawai yang tekun di luar tembok-
tembok biara, pakar-pakar ini adalah kelompok pencari kebenaran yang karena bergerak
di luar tembok-tembok biara umumnya berpandangan sekular, praktis-pragmatis,
doktriner, tekstual, serta serba kontemplatif dan meditatif. Di Inggris mereka sering
dikenal sebagai profesor-profesor tak berjubah. Kelompok ini amat memperhatikan liku-
liku perilaku alam kodrat, dengan keyakinan bahwa kebesaran Illahi tak hanya
bermanifestasi dalam bentuk wahyu akan tetapi juga dalam bentuk alam semesta yang
terhampar, dan yang karena itu juga dalam keadaan selalu siap untuk dibaca asal saja
manusia menguasai bahasanya, yaitu the language of the natural logic. Maka mulailah
orang mencoba menemukan kebenaran-kebenaran baru, tidak dalam bentuk imperatifa-
imperatifa moral yang verbal melainkan dalam bentuk manifestasi-manifestasi in
concreto-nya dalam rupa hubungan-hubungan imperatif yang penuh keniscayaan, yang
kalau dituruti dan dipatuhi oleh manusia akan memberikan kepada manusia kesejahteraan
hidup yang mempertinggi daya eksistensial manusia di dunia. Maka lahirlah sains utama
dalam sejarah perkembangan peradaban intelektualisme manusia, yaitu apa yang kini kita
kenal sebagai the natural science. Dalam sains tentang alam kodrat ini orang menerapkan
metode sains yang telah mulai dirapikan untuk mengungkap kebenaran-kebenaran yang
mengatur perilaku gejala-gejala anorganis di alam semesta, dan berhasil. Keberhasilan
sains dan aplikasinya untuk kesejahteraan hidup duniawi tampak nyata dalam
perkembangan teknologi, yang dengan cepat disebut revolusi pada waktu itu mengawali
datangnya abad industri dalam sejarah manusia.

Keberhasilan pendayagunaan metode sains untuk mengungkap misteri-misteri alam
kodrat, dan kemudian daripada itu memberikan kemampuan kepada manusia untuk tidak
hanya sekadar memahami dan mengagumi, akan tetapi juga untuk memanipulasi
proses-proses alam kodrat demi kesejahteraan umat manusia, mendorong para pakar
untuk memperluas perdayagunaan metode ini juga ke bidang-bidang amatan lain. Yang
pertama-tama memperoleh giliran ialah bidang amatan yang berupa gejala-gejala
organisme. Maka bermulalah sains di bidang kehayatan (the life sciences) dengan segala
anak cabang spesialisasinya. Sains ini dengan cepat berkembang maju, dan pada abad 20
ini sudah mencetuskan revolusi biologi melalui aplikasi-aplikasi dalam wujud
bioteknologi yang canggih. Giliran berikutnya, di abad 19 upaya penerapan dan
pendayagunaan metode sains untuk mengungkap liku-liku perilaku superorganisme (yang
dalam perbincangan sehari-hari lebih kenal dengan penamaan masyarakat dan/atau
budaya manusia). Sebagaimana perkembangan dalam bidang-bidang amatan dan kajian
saintifis yang lain, dalam social science ini pun perkembanganyang akan digalakkan
harus berawal dan diawali terlebih dahulu oleh suatu krisis konseptual. Masyarakat dan
model-model struktur normatif sebagaimana tergambar dalam cita (ide) dan cita-cita, kini
harus pula dapat dikonsepkan sebagai segugus realitas empiris yang positif, sine ira et
studio dan value free. Superorganisme, sebagaimana anorganisme dan organisme, harus
disekularkan lebih dahulu sebagai variabel-variabel objektif yang tak akan dinilai
melainkan akan diukur. Superorganisme, sebagaimana anorganisme dan organisme yang
telah lebih dahulu dijadikan objek sains, adalah sekadar peristiwa dan proses peristiwa as
it is, dan bukan suatu gejala as it ought to be.

Krisis konseptual yang menarik namun juga jelas untuk diikuti terjadi dalam studi-
studi tentang penataan tertib sosial. Masyarakat yang semula dikonsepkan ulang sebagai
moral order yang value bound mulai dikonsepkan ulang sebagai legal order yang value
free. Di sini apa yang harus dikenali sebagai hukum dalam konsep legal order dan rule of
law (untuk penegakan tertib sosial) itu adalah hukum yang telah dipositifkan sebagai
lege/lex yang harus dirumuskan secara eksplisit. Hukum tidak lagi dikonsepkan sebagai
premis keadilan yang implisit dan yang karenanya tak terumus secara pasti; hukum
positif bisa saja dinilai tak adil, namun yang penting di sini bukan soal adil-tidaknya
melainkan soal sah tidaknya sebagai the command of the covereign.

Namun, lebih jauh dari sekadar mempositifkan hukum, dalam praktik peradilan dan
di dalam kajian-kajian tentang perangkat hukum positif (sebagaimana diperlukan untuk
kepentingan praktik peradilan), pemahaman orang akan hukum ini masih sepenuhnya
berjalan menurut jawaban tentang kaidah in abstracto apa yang harus dipakai sebagai
dasar pembenar suatu keputusan pengadilan, dan/atau keputusan konklusif in concreto
apa yang harus ditarik sebagai jawab untuk menyelesaikan perkara di pengadilan.
Berkenyataan demikian, tidaklah salah kalau kajian-kajian tentang hukum ini (dikatakan
dalam istilah Inggris) sebelum akan disebut atau belum boleh dipandang telah mencapai
taraf legal science melainkan masih harus disebut sebagai jurisprudence dengan segala
kiat dan teknik yang di dalam Bahasa Belanda disebut juristerij. Berpikir yuridis di sini
akan sama dan sebangun dengan berpikir deduktif.

Dalam kajian-kajian hukum yang berlangsung menurut dalil-dalil logika deduksi
(formil) seperti itu, kaidah-kaidah hukum positif (menggantikan asas-asas moral yang
implisit) dipraktikkan dalam fungsinya sebagai premis-premis mayor in abstracto yang
kebenaran dan keabsahannya tak lagi boleh dicabar, yang-lewat penyimpulan deduksi-
melahirkan premis-premis conclusio dan premis-premis conclusio inilah yang dicari
orang untuk dipakai (atau diusulkan untuk dipakai) sebagai dasar benarnya keputusan
peradilan in concreto; dalam keputusan ini memang ada juga penyimpulan tentang akibat
(hukum) tertentu yang diperbuat orang; namun hubungan sebab-akibat yang
dikonstruksikan di sini bukanlah hubungan kausal yang ditarik sebagai kesimpulan
induktif melainkan sebagai hasil pernyataan pilihan (judgement) yang dideduksikan
untuk keperluan konkret. Keniscayaannya pun bukan keniscayaan objektif yang bekerja
di alam empiris melainkan suatu kepastian hukum yang hendak diupayakan realisasinya
melalui sanksi-sanksi kekuasaan. Karena tidak mengenal silogisme induksi dan prosedur-
prosedur penerapannya, apa yang disebut ilmu hukum sampai pada taraf ini bukanlah
ilmu hukum yang berkualifikasi sebagai sains. Ilmu hukum memiliki keunggulannya
tersendiri sebagai bagian dari keyakinan dan kiat profesi yang hadir dalam peradaban
manusia; namun tidak sebagai sains. Mengharuskan penggunaan metodologi sains untuk
memahami dunia hukum positif dan jurus-jurus kepiawaian jurist yang berkembang di
kalangan profesi kaum juris (di luar maupun di dalam arena peradilan) adalah suatu
pemaksaan. legal order bukanlah empirical order yang sifatnya deterministis secara
objektif dan universal. Positive legal order bukanlah fenomen alami yang karenanya akan
dapat diukur dengan hasil-hasil pengukuran yang secara kuantitatif cermat serta
berketerandalan, yang kemudian daripada itu boleh dianalisis yang sahih guna
memprediksi kejadian-kejadian di masa mendatang.

Krisis konseptual dalam kajian-kajian tertang tertib masyarakat tampaknya lebih
mudah diatasi dan mendatangkan hasil tatkala orang di sini menggunakan perspektif atau
pendekatan struktural. Di sini orang bisa lebih melihat masyarakat sebagai suatu fenomen
natural, dan bukan sebagai suatu ideal order. Masyarakat dikonsepkan sebagai struktur
yaitu suatu model sistem dinamis yang tersusun dari elemen-elemen aktif yang disebut
peranan (roles) dan interrelasi antar-peranan. Pendekatannya sangat deterministis, dengan
presumsi bahwa manusia-manusia itu sepenuhnya eksis sebagai social dopes (hasil
sosialisasi yang total) dan karena itu hanya dapat berfungsi (ketika berkooperasi maupun
ketika berkonflik) dalam bingkai-bingkai struktur belaka. Struktur adalah totalitas
pengendali yang bekerja sebagai determinan yang sulit diingkari sehingga seluruh
perilaku oknum dalam masyarakat dilihat dalam konteksnya yang makro akan selalu
tunduk kepada pola dan keajegan yang sangat koersif. Oknum sebagai individu adalah
role players atau role occupants yang posisinya di hadapan struktur adalah demikian
terkondisi sehingga ia jarang sekali mampu membantah program-program sosial-
kultural yang bekerja sebagai proses yang natural dan impersonal dalam kehidupan
manusia. Rekonseptualisasi masyarakat yang lebih tergambar sebagai bagian dari
objective system/stucture in a natural set-up daripada sebagai suatu moral order yang
normatif, telah memungkinkan upaya orang menduduki masyarakat ini sebagai objek
kajian yang mendayagunakan metode dan prosedur saintifis. Stuktur, proses, dan
perubahan sosial adalah konstruksi-konstruksi rasional yang terkonsep sebagai fenomen,
yang karenanya setidak-tidaknya memperhatikan indikator atau proksinya akan dapat
diukur, didata, dikuantifikasikan, disimpulkan melalui analisis-analisis dan sintetis-
sintesis menjadi generalisasi-generalisasi, teori-teori dan hipotesis-hipotesis. Metode
saintifis dan prosedur-prosedur teknisnya yang selama ini diterapkan dengan sukses
untuk mengungkap misteri-misteri di alam anorganik dan alam organik akan serta merta
dinilai workable pula untuk mengungkap keniscayaan-keniscayaan yang ada di dalam
alam superorganik.

Mengkaji hukum sebagai model hubungan sosial yang ideal, dengan kekuatan sanksi
penunjang yang berfungsi sebagai kekuatan koersif yang sekalipun langit akan runtuh
harus diterapkan guna menjamin secara pasti terciptanya kehidupan yang adil
berdasarkan prinsip-prinsip dasar tertentu, adalah bagian dari upaya olah kebiasaan
profesional. The do and the dont akan banyak mencoraki kajian (atau lebih tepatnya
pelatihan) hukum di sini, dan bukan upaya-upaya menemukan the what and the why.
Namun dewasa ini kajian tentang hukum telah bercabang berbatang-batang ke
perkembangan lain yang lebih dicoraki oleh corak-corak yang menggolongkannya ke
dalam bilangan sains sosial yang bermetode saintifis itu. Berkembang menurut cabang
aliran perkembangan ini, para eksponen pendukungnya tanpa ragu telah mengkonsepkan
hukum sebagai bagian dari unsur kekayaan struktur (dalam makna yang tak lagi terbatas
pada ihwal substansi normatifnya saja akan tetapi juga mencakup seluruh aspeknya
sebagai suatu institusi sosial). Maka hukum ditinjau dari perspektif ini akan segera
menampak tidak lagi sebagai sistim normatif yang tertutup dan ekslusif melainkan
sebagai suatu sistem empiris yang terbuka, dan eksis dalam suatu proses pertukaran
inputs-outputs dengan berbagai faktor dan vektor yang ada di tengah suprasistem sosial.
Dilihat dari perspektif yang menempatkannya pada suatu konteks yang lebih luas seperti
itu, hukum pun lalu dapat tergarap sebagai bagian dari sains sosial, dengan teori-teori
sosial yang dapat dipakai untuk mengkonseptualkan permasalahannya dan dengan
metode saintifis dan prosedur penelitian sosial yang dapat pula dipakai untuk menguji
segala praduga mengenai bekerjanya hukum sebagai variabel sosial.

Penggunaan metode saintifis berikut prosedur-prosedur operasional untuk riset-
risetnya guna menemukan jawab atas masalah-masalah sosial, dan pula masalah-masalah
hukum yang telah dikonsepkan sebagai masalah empiris, pada dasarnya tidaklah akan
menimbulkan kesulitan apa-apa. Pokok-pokok metode dan prosedur-prosedur teknis
penelitian saintifis yang diterapkan untuk sains alam kodrati dan alam hayati pada
dasarnya boleh diterapkan juga untuk riset-riset sosial (baik yang berobjekkan hukum
ataupun yang bukan). Kesulitan baru akan timbul kalau orang tidak hendak menyadari
perbedaan yang sesungguhnya ada sekalipun mungkin tidak kualitatif melainkan hanya
kuantitaitf saja antara apa yang disebut natural phenomenon dan social phenomenon.
Pertama-tama perlu disadari bahwa social phenomena adalah suatu konstruksi rasional,
dan bukan fenomen yang sepenuhnya bersifat empiris atau positif. Apa yang disebut
peranan, status, kelas, sosialisasi, sanksi, status sosial, pendapat nasional, kemiskinan,
lembaga, keadilan, dan apa pun juga lainnya lagi adalah konsep-konsep yang
terkonstruksi di dalam alam pikiran manusia. Konstruksinya sebagai konsep dan variabel,
serta penyiapan kerja untuk pengukurannya karena diperlukan pemilihan dan penegasan
indikator-indikatornya yang observable dan measurable jelas kalau akan lebih rumit dan
penuh komplikasi daripada penerapan metode dan prosedur serupa yang dipakai untuk
mengkaji dan menguji fenomena anorganik dan organik yang semakin banyak lebih
bersifat fisik dan empiris. Kedua objek-objek yang dikaji oleh sains sosial adalah ihwal
kejadian-kejadian dan perbuatan-perbuatan yang gampang terkait pada pilihan, penilaian
dan emosi manusia; objek-objek itu bukanlah peristiwa-peristiwa netral belaka. Tak pelak
kepentingan manusia akan selalu tersangkut dan mengintervensi setiap upaya
pengukurannya, dan kalau ternyata mengganggu maka jelaslah kalau data yang diperoleh
akan sulit dicermatkan, akan sukar dijaga keterandalannya, dan akan sulit pula dijaga
kesahihannya. Objek-objek seperti itu akan sulit pula diukur dengan menggunakan
instrumen-instrumen biasa; acap kali pembuatan dan penggunaan instrumen itu harus
dilakukan dengan mengingati kesediaan objek-objek (sebenarnya subjek-subjek) untuk
berkooperasi. Opini politik, misalnya, tak mungkin diukur sekalipun tidak untuk
menghasilkan data yang kuantitatif tanpa kooperasi yang sungguh-sungguh dari pihak
subjek yang beropini politik itu. Rancangan pengujian yang mendasarkan diri pada
rancangan eksperimental akan jelas pula sulit dikerjakan; bukannya hal itu secara
metodologis mahal, melainkan karena secara etis atau menurut hukum hal itu tak
mungkin dikerjakan. Di sini, akan gantinya, peneliti secara kreatif harus mendesain ulang
atau memodifikasi bagan-bagan prosedur eksprimentalnya sehingga diperoleh cara yang
paling laik untuk penelitian sosial. Penarikan sampel secara random pun tak selamanya
mudah dilaksanakan karena alasan-alasan non-metodologis, dengan konsekuensi bahwa
inferensi-inferensi dalam penelitian sosial sulit dikerjakan. Dalam penarikan sampel
secara random, subjek sumber data yang tersampel belum tentu bersedia menjadi
responden atau menjadi sumber data yang diperlukan. Penelitian mengenai perilaku
seksual dalam masyarakat, misalnya, (atau mengenai perilaku-perilaku lain yang selalu
menimbulkan keberatan tatkala terdedah ke khalayak) acap kali harus dikerjakan dengan
pemeriksaan sampel yang dilakukan melalui prosedur avaliable sampling. Komplikasi-
komplikasi dalam praktik pengoperasiannya inilah yang condong menyebabkan
penelitian-penelitian sosial akan lebih terpandang sebagai kiat daripada sebagai teknik
dan rosedur yang baku. Kepintaran peneliti dalam penelitian sosial untuk selalu
membaca situasi akan selalu dituntut, umumnya lebih banyak dikerjakan oleh dan di
kalangan para peneliti sosial daripada oleh dan di kalangan peneliti sains hayati atau sains
kodrati.

Kesulitan-kesulitan menerapkan prosedur-prosedur teknis penelitian saintifis secara
baku untuk segala macam fenomena, sebagaimana yang terurai dalam paragraf di atas,
memperkuat pernyataan bahwa sekalipun apa yang disebut metodologi sains itu berwujud
satu, namun aplikasi operasionalnya tak akan mungkin dipertahankan satu dan baku.
Keragaman aplikasi operasional tak hanya bersebab pada keragaman situasi medan
operasionalnya (laboratorium ataukah lapangan) atau pada keragaman jumlah
kejadiannya einmalig ataukah frequent), akan tetapi juga terutama pada perspektif,
konseptualisasi dan teroretisasi permasalahannya. Beranjak dari kenyataan seperti itu
memang sulitlah kalau orang mengajarkan atau memepelajari materi atau substansi teori-
teorinya. Kesulitan ini jelas akan bertambah-tambah tatkala dalam pengajaran dan
pembelajaran itu orang sudah tiba pada persoalan prosedur-prosedur aplikasinya guna
keperluan operasi-operasi pengukuran atau penghimpunan informasi (apa yang akan
diobservasi dan diukur, berapa banyak yang akan di observasi dan diukur, dengan cara
dan alat apa pengamatan dan pengukuran itu akan boleh dikerjakan, dan untuk apa semua
observasi dan pengukuran itu dilakukan).

Pada masa yang lalu, pada awal-awal perkembangannya, ketika sains sosial baru
berkesempatan berbenah dengan menata konsep-konsep dan teori-teori dasarnya,
kesulitan dalam hal aplikasi metode dan penjabarannya ke dalam rupa prosedur penelitian
menurut tradisi sains untuk menjawab permasalahan sosial tidaklah banyak dirasakan dan
dikesankan orang, analogi-analogi dari konsep dan teori biologi banyak didapati tanpa
keberatan dalam sains sosial. Analogi-analogi seperti ini seperti struktur dan fungsi
(berikut permasalahannya) serta perubahan masyarakat yang beranalog dengan anatomi,
fisiologi, patologi dan evolusi tidaklah atau belum membangkitkan kesadaran akan
adanya kesulitan-kesulitan metodologi. Penelitian sosial dalam format makro, dengan
survei-survei yang mendayagunakan apa yang dikatakan orang sebagai a large mass of
data yang akan mengundang analisis-analisis statistikal, tidaklah pula membangkitkan
kerisauan orang akan kemungkinan timbulnya kesulitan-kesulitan metodologis tatkala
dilakukan untuk segala jenis penelitian. Para peneliti sosial di sini malahan amat bangga
manakala mampu mengembangkan studi-studi yang amat kuantitatif seperti ditradisikan
dalam sains alam kodrat.

Tetapi tatkala penelitian sosial mulai sedikit turun ke kajian-kajian yang sedikit
banyak memfokus ke studi-studi yang hendak lebih mengungkap perilaku aksi dan
interaksi (dalam konteks waktu dan tempat) dari pada pola-pola atau model-modelnya
(yang bertaraf sistem ataupun yang sudah sampai bertaraf struktur), maka akan mulailah
terasa kesulitan itu. Pengukuran dan kuantifikasi hasil-hasilnya yang menjamin
kecermatan lalu bukan lagi menjadi penentu utama; justru konseptualisasi dan kualifikasi
yang menjamin kesahihan data yang lalu akan menjadi penentu kebenaran hasil riset.

Sejauh perkembangan ini, sementara metodologi pun lalu berani pula mencabar
bahwa metode dan prosedur yang baik untuk riset-riset sains alam kodrat dan sains alam
hayat tak selamanya akan laik untuk mengkaji masalah-masalah sosial. Penemuan dalil-
dalil umum mengeni hubungan-hubungan antar-variabel, lewat analisis-analisis statistikal
yang teramat kuantitatif, adalah usaha yang tak selalu dapat menggambarkan kenyataan
sosial secara sahih dan benar. Cara seperti ini pun kurang dapat mengungkap kenyataan
sosial dalam wujudnya yang sesungguhnya holistik, dan yang kebenarannya pun
sesungguhnya hanya mungkin ditangkap lewat metode yang akan memungkinkan orang
verstehen dan tidak sekadar berkonklusi dan menjadi tahu pada suatu titik akhir yang
disebut generalisasi. Sains yang berhenti pada kajian-kajian stuktur, dan pada
peringkatnya yang makro pun akan gampang menguburkan dimensi manusia yang utuh,
dan melenyapkan eksistensinya dalam tumpukan data yang sangat impersonal itu;
padahal manusia itu sesungguhnya bukanlah sekadar bola permainan yang mudah
dipermainkan kekuatan-kekuatan struktur, dan tenggelam tanpa makna di balik
keutamaan struktur, melainkan suatu subjek yang pantas dikhususkan karena memiliki
kesadaran kreatif dan kekuatan (self). Apabila demikian keadaannya, dapatlah dikatakan
bahwa sains sosial telah terbelenggu oleh saintisme picik yang kurang termodifikasi
untuk tujuan mengkaji secara khusus alam kehidupan manusia. Dengan demikian, sains
sosial lalu menjadi sains tentang struktur, sistem peranan, dan kekuatan-kekuatan perubah
yang impersonal dan non-manusiawi belaka sifatnya, dengan objektivisasi dan
kuantifikasi yang jelas tak sahih dan kurang realistis. Sains sosial lalu bukan lagi sains
tentang manusia dan kehidupannya. Warna humanisme dalam sains sosial lalu menjadi
tiada.

Problema metodologis dalam sains sosial, yang muncul karena munculnya kehendak
untuk tak mau mengekor di belakang kesederhanaan metodologi sains alam kodrat,
sesungguhnya berawal dari atau tepatnya mengiringi perkembangan teori dalam sains
sosial, yaitu terpengaruhnya teori yang bermaksud hendak lebih mengungkap eksistensi
manusia dalam kehidupan bermasyarakat sebagai aktor yang kreatif, dan tidak sekadar
sebagai role occupants yang doped. Kajian dan penelitian sosial yang terlampau
kuantitatif pada peringkat makro direaksi olehnya sebagai kajian yang telah gagal
mempelajari masyarakat manusia sebagai totalitas interaksi antar-person yang bermakna,
dengan makna yang diberikan oleh siapa lagi kalau tidak oleh aktor-aktor yang terlibat
dan karenanya tidaklah sekali-kali interaksi itu boleh diasumsikan sepenuhnya sebagai
hasil objektivikasi yang non-manusiawi sifatnya). Kajian-kajian sosial semacam ini,
walaupun muncul dalam berbagai variasi dan aliran yang mungkin dengan cara terlampau
menyederhanakan dapatlah digolongkan ke dalam dua puak besar, yaitu puak aliran
symbolic interactionism dan puak aliran ethnomethodology. Dan untuk lebih
menyederhanakan lagi, paham-paham aliran ini sama-sama mendudukkan pikiran
manusia sebagai aktor yang paling mampu memberikan makna kepada interaksi-interaksi
yang mengalami subjektivikasi berikut reproduksinya yang memungkinkan terjadinya
sistem sosial inilah justru sesungguhnya harus dipandang sebagai sasaran perhatian utama
sains sosial.

Perspektif seperti ini membawa konsekuensi metodologis yang akan lebih membawa
orang ke arah penelitian-penelitian kualitatif, yang tujuan utamanya tak lain daripada
verstehen atau subjective understanding, perkembangan seperti ini tentulah harus diikuti
secara khusus dan dengan cermat. Perkembangan seperti ini jelas mencabar dan
membedakan diri dari tradisi metodologi yang selama ini lazim diterapkan dalam
lingkungan sains alam kodrat dan sains alam hayat (yang selalu bekerja untuk membuat
eksplanasi-eksplanasi yang dipercayai mampu berlaku universal di alam objektif, yaitu
alam yang terbebaskan dari kekuatan-kekuatan yang bersifat subjektif dan personal).

In conclusio dan in summarium, tak pelak mereka yang harus mempelajari dan
menerapkan metode sains untuk mencari kebenaran-kebenaran mengenai fakta sosial
pada akhirnya akan harus lebih banyak menghadapi dilema dan kontroversi daripada
mereka yang harus memperlajari dan menerapkan metode sain untuk mengejar
kebenaran-kebenaran mengenai peristiwa-peristiwa alam kodrat dan peristiwa-peristiwa
alam hayat. Sebabnya bukanlah pertama-tama terpulang ke lebih kompleksnya metode
melainkan pada lebih sulitnya orang dalam riset-riset sosial untuk mengandalkan satu
perspektif saja untuk menciptakan konsep-konsep dan untuk membangun teori sosial.
Alam superorganik memang amat kompleks dan menggunakan ekspresi yang dipinjam
dari bahasa Inggris so treacherous.


8
MEMPELAJARI DAN MEMAHAMI HUKUM
SEBAGAI REALITAS SOSIAL
Metodologi Penelitian Hukum




Hakikat Penelitian

Penelitian yang di dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah research pada hakikatnya
adalah sebuah upaya pencarian. Lewat penelitian (research) orang mencari (search)
temuan-temuan baru, berupa pengetahuan yang benar (truth, true knowledge), yang dapat dipakai
untuk menjawab suatu pertanyaan atau untuk memecahkan sesuatu masalah. Dengan menemukan
pengetahuan baru yang benar, berdasarkan metode-metode yang dipatuhi secara penuh disiplin,
orang akan mencoba meniadakan ketidaktahuannya dan/atau mengatasi keragu-raguan yang
selama ini menggelisahkan jiwanya dan mengganggu pikirannya. Seperti halnya dalam
upaya-upaya pencarian lain yang diharapkan memberikan hasil, orang pertama-tama harus
mengetahui terlebih dahulu informasi apa yang sesungguhnya ingin peroleh, dan di mana
gerangan kira-kira letak sumber-sumber yang dapat digali untuk menghasilkan informasi atau data
yang diperlukan, yang kemudian dapat digunakan untuk menyimpulkan
pengetahuan-pengetahuan baru. Berikutnya, orang pun harus paham akan cara-cara metode
pencarian/penemuannya, beserta keterampilan untuk mengaplikasikan metode itu.

Tentang sumber-sumber ini, orang dapat membedakannya menjadi dua, yaitu sumber
penyedia pengetahuan yang siap pakai dan sumber yang cuma menyediakan materi-materi mentah
(data), yang masih harus diolah terlebih dahulu melalui metode tertentu, sebelum bisa
menghasilkan pengetahuan yang bisa dipakai untuk menjawab masalah yang diajukan. Sumber
utama yang sering banyak dikenal oleh mereka yang pemula atau awam adalah para guru, atau
tokoh-tokoh berwibawa lain yang dipandang serba tahu dan mahatahu. Mereka yang pemula dan
awam ini tinggal bertanya saja secara langsung apa yang tak mereka ketahui. Pengetahuan yang
mereka peroleh menurut dan lewat cara ini umumnya dapat diduga adalah juga
pengetahuan-pengetahuan hasil olahan yang telah jadi dan telah disiapkan (atau yang disebut
parate kennis dalam bahasa Belanda).

Sumber lain dengan cara yang memerlukan motivasi dan aktivitas pencari pengetahuan
yang sedikit lebih besar adalah pencarian jawab untuk mengatasi ketidaktahuan lewat cara
mencari dan membaca buku-buku referensi atau buku-buku teks (yang umumnya juga ditunjukkan
oleh guru). Mencari dan membaca buku untuk menelusuri informasi-informasi yang termuat di
dalamnya, untuk kemudian juga menseleksi mana yang akan diperlukan, merupakan kegiatan
yang lebih bersifat individual, dan karena itu juga jelas memerlukan ketekunan yang lebih bersifat
pribadi. Sekalipun pengetahuan yang diperoleh di sini adalah pengetahuan yang umumnya juga
bersifat siap pakai, namun berbeda dengan cara bertanya langsung mencari informasi dari
sumber-sumber pustaka akan memberikan kesempatan kepada para pencari informasi ini untuk
membuktikan kemandiriannya, menguji ketekunannya, mengembangkan imanjinasinya di dalam
abstracto, dan merasakan kepuasan, buah hasil suatu self-achievements.
60

Apabila yang hendak dicari suatu kompleks informasi untuk menjawab permasalahan yang
sifatnya kompleks pula, acap kali sumber bacaan yang dicari tidaklah sebatas satu-dua buku saja,
melainkan sumber-sumber pustaka dalam jumlah yang banyak dan saling merujuk. Pencarian
sumber dan informasi yang dikandungnya memerlukan kemampuan metodis untuk menelusuri
sumber dan informasi itu sebagaimana telah dikoleksi dan disimpan di perpustakaan. Metode
penelusuran sumber di perpustakaan untuk menemukan data, informasi dan pengetahuan terolah
disebut penelitian kepustakaan (library research).

Pada tingkat kemahiran yang lebih lanjut, bertanya langsung kepada guru atau responden
atau informan atau pula menelusuri dan membaca buku-buku sumber yang diduga kaya dengan
berbagai informasi, tidaklah hendak dimaksudkan sebagai kegiatan final. Kegiatan-kegiatan itu
hanyalah dimaksudkan sebagai kegiatan awal saja, yaitu kegiatan untuk memperoleh
informasi-informasi sementara (alias bahan mentah atau yang secara populer disebut data) guna
diolah lebih lanjut secara kritis. Dengan demikian, pengetahuan-pengatahuan yang benar dan
sahih, tidaklah dianggap telah diperoleh bagitu saja sewaktu diucapkan atau dituliskan oleh
(nara)sumber, melainkan dianggap baru diperoleh setelah selesai diolah dengan cara-cara
tambahan melalui prosedur dan proses tertentu yang bersifat lanjutan.

Adapun cara orang mencari pengetahuan yang dinilai benar dan sahih untuk menjawab
suatu permasalahan entah lewat cara yang masih dikatakan awal dan sederhana, entah pula lewat
cara yang lebih kritis dan canggih menurut definisinya semua itu adalah upaya-upaya yang boleh
dan bahkan harus dikualifikasi sebagai usaha pencarian alias usaha search and research.
Mengapa begitu? Karena dalam upaya ini menurut kadar masing-masing, nyata-nyata
terefleksikan adanya serangkaian aktivitas searching yang diawali oleh keinginan seseorang
individu secara independen untuk ingin tahu dan ingin bertanya serta (bahkan) mempertanyakan.
Di sini tersimak adanya upaya aktif seseorang untuk belajar, dan tidak untuk sebatas diajar dan
diajar-ajari saja dalam posisinya yang pasif. Maka peran narasumber di sini tidak lagi terpandang
sebagai pemuka yang harus diikuti dan dipercya serta diturut, melainkan sebagai pembimbing
belaka, dengan fungsinya yang jelas-jelas "cuma" sebagai fasilitator.

Dalam tahap-tahap pendidikan keilmuan yang dini, meminta para pemula untuk searching
for the true answer sudahlah cukup apabila mereka itu tergalakkan untuk banyak bertanya. Akan
tetapi, amatlah lebih dipujikan lagi tatkala mereka ini tidak hanya hendak bertanya saja dalam
kerangka searching for the true answer itu kepada guru-guru atau sumber-sumber yang berada
dekat di seklilingnya. Alih-alih begitu, mereka bergerak juga untuk banyak bertanya ke berbagai
sumber (manusia ataupun bahan-bahan pustaka) yang berada dalam suatu kalangan yang luas,
yang masih harus dikontak lewat usaha penelusuran yang penuh jernih. Hasil dari berbagai sumber
itulah yang kemudian diperbandingkan, dinilai keakuratan serta keterandalannya, guna kemudian
dianalisis sampai menghasilkan simpulan akhir yang teruji sebagai tesis yang bernilai sebagai the
true answer.

Pada tahap yang sudah boleh dibilang lanjut, minat menemukan pengetahuan yang benar
itu tentulah ikut diseyogyakan apabila usaha seperti itu juga diiringi dengan reserve untuk tidak
begitu saja menerima kebenaran apa yang dikabarkan sang sumber. Pada tahapan yang masih lebih
tinggi lagi, mereka yang membilangkan diri ke dalam golongan peneliti (searcher/researcher)
61
juga amat diharapkan selalu bisa bersikap kritis dengan membangkitkan keberanian serta
kemampuannya untuk senantiasa mau menimbang-nimbang terlebih dahulu kecermatan,
keterandalan dan kesahihan informasi-informasi yang diberitakan oleh sang sumber itu. Pada
tahap ini, para peneliti perlu dibantu secara bersungguh-sungguh untuk mengembangkan
kemampuannya agar tidak hanya sebatas cakap mengajukan pertanyaan dalam rangka proses
tanya-jawab.

Maka alih-alih demikian lebih jauh dari itu amat diharapkan bahwasannya para peneliti
itu juga mampu serta berani bersoal-jawab untuk menguji keterandalan sumber atau narasumber
yang telah dipilihnya itu. Tak salah lagi, modal utama dalam langkah pertama suatu penelitian itu
bukanlah "tak tahunya sama sekali" si peneliti mengenai jawaban atas sesuatu masalah, begitu
rupa sehingga ia menggantungkan diri pada informasi yang diberikan sepenuhnya oleh sumber
atau narasumber. Modal penggerak pertama suatu proses pencarian itu tak lain yaitu
"keragu-raguan" si peneliti apakah pengetahuan atau jawaban yang ia punyai tentang suatu
masalah memang sudah betul ataukah masih mengandung cacat kekeliruan.

Pada taraf pendidikan keilmuan yang lebih tinggi lagi, cara searching diharapkan sudah
akan meningkat lebih lanjut lagi. Metode searching-nya pun sudah lebih prosedural lagi, dengan
strategi-strategi yang dikontrol ketat dan tunduk penuh pada hukum-hukum logika serta disiplin
pengamatan dan/atau pengukuran. Tidak hanya sampai di situ saja, temuan-temuan empiris itu
masih harus dilanjutkan lagi dengan proses-proses analisis yang tak hanya logis tapi juga
imajinatif untuk pada akhirnya tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang lebih abstrak dan lebih
umum sifatnya. Proses abstraksi demikian ini kadang-kala bahkan dapat demikian teoretis dan
imajinatif sifatnya sehingga hasilnya seolah-oleh "berambisi" hendak menjurus dan menjangkau
ke kasimpulan-kesimpulan yang tidak cuma berlaku untuk menjawabi masalah-masalah setempat,
akan tetapi juga berlaku "umum" untuk menjawab permasalahan serupa di tempat lain dan di
kerangka waktu yang lain.

Model searching for true answers sebagaimana yang telah dipaparkan secara berurut-turut
di muka mulai dari yang awam sampai ke yang ilmiah sesungguhnya mempunyai derajat
kesulitan yang sifatnya tidak prinsipil, melainkan cuma kuatitatif atau gradual saja. Sekalipun
demikian, researching untuk kepentingan ilmiah jelas kalau mempersyaratkan tak hanya metode
dan instrumen yang lebih tergarap akan tetapi juga disiplin dalam hal berpikir dan dalam hal
mendayagunakan metode serta teknik. Semua itu demi kecermatan, keterandalan dan kesahihan
hasil-hasilnya. Metode diperlukan guna mengontrol sepanjang proses, apakah data, informasi dan
seluruh kesimpulan yang didapat benar-benar merupakan kebenaran (truth) yang
sungguh-sungguh berkebenaran alias objektif, dan bukan cuma merupakan proyeksi-proyeksi
subjektivitas para penelitinya saja.

Maka, kemahiran metodologis para peneliti yang hendak mencari kebenaran ilmiah
tidaklah dapat diabaikan. Maka siapa pun ilmuwan ataupun praktisi yang bermaksud secara
bersungguh-sungguh mencari kebenaran ilmiah untuk menjawab masalah yang tengah ia dihadapi,
mau tak mau dan dapat tak dapat, mestilah menguasai metode penelitian itu dengan benar.
Sekalipun demikian, betapapun pentingnya penguasaan metode demi terjaminnya hasil penelitian
yang tak hanya akurat dan berketerandalan (reliable) akan tetapi juga sahih (valid) untuk
menjawab masalahnya. Ketegasan definitif mengenai "apa sesungguhnya yang tengah dijadikan
62
masalah dan dicarikan jawabannya" itu haruslah ada terlebih dahulu. Orang harus menegaskan
dulu "apa" yang jawabannya tengah dicari sebelum metode untuk menemukan jawaban itu
dipastikan.

Itulah sebabnya mengapa setiap penelitian selalu diawali dengan upaya menegaskan dulu
konsep dan/atau definisi objek atau objek-objek yang akan diteliti (alias yang "misteri"nya akan
diungkap dengan jalan mencari jawaban kejelasan-kejelasannya). Penegasan konsep dimaksudkan
agar orang tidak sampai salah memilih cara atau metode penelitian/pencariannya, suatu kesalahan
yang akan menyebabkan kebenaran-kebenaran yang telah diperoleh melalui
penelitian/pencariannya, suatu kesalahan yang akan menyebabkan kebenaran-kebenaran yang
telah diperoleh melalui penelitian itu sekalipun akurat dan berketerandalan tidak "laku" lagi
(alias tidak sahih atau tidak valid) untuk menjawab masalah yang tengah diajukan. Peringatan
tentang hal itu amat perlu untuk diperhatikan, khususnya dalam penelitian sosial dan lebih khusus
lagi di dalam penelitian-penelitian hukum, mengingat kenyataan bahwa dalam ilmu dan kajian
kedua bidang ilmu itu orang lebih banyak membicarakan objek-objek yang tidak berwujud materi
yang empiris dan kasat mata, melainkan berupa fenomena-fenomena yang eksistensinya berada di
suatu alam abstrak yang dibangun lewat konstruksi-konstruksi rasional.


Metode Penelitian Hukum

Terjadinya pengkotakan kajian hukum ke dalam spesialisasi yang amat dipisahkan seperti itu
sebenarnya bermula dari kehendak untuk membuat dan menegakkan batas yuridiksi kewenangan
yang jelas dan tegas demi kepentingan profesionalisme mereka yang membilangkan diri ke dalam
golongan the legal professionals atau the lawyers yang spesialis pengkaji dan pengguna hukum
yang murni alias hukum yang formal-positif itu. Pengkotakan yang berawal dari persoalan
yurisdiksi kewenangan professional ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan persoalan
keilmuan, berikut metode dan metodologinya, yang harus dipertimbangkan dan dibobot
berdasakan makna akademisnya. Sekalipun demikian, akan kita ketahui nanti bahwa pembedaan
antara hukum yang terbentuk secara formal sebagai norma positif dan hukum yang terbiarkan
bebas sebagai nomos sosial ini akan ada juga imbasnya dalam dunia pembelajaran hukum dan
penelitian hukum.

Namun demikian, asal saja orang bersedia mencermati liku-liku metodologi sains yang
diperlukan untuk kajian-kajian saintik yang berobjek hukum sekalipun, orang akan sadar dan
mengetahui bahwa metode penalaran yang diperlukan baik untuk mempelajari norma (dengan
mengikuti alur pemikiran kaum profesional yang positivis) maupun untuk mempelajari nomos
(dengan mengikuti alur pemikiran para social scientists yang sebagian besar dari mereka
sesungguhnya terbilang kaum positivis juga) tidaklah sekali-kali berbeda secara mutlak.
Keduanya diprasyaratkan untuk bekerja menurut disiplin prosedur logika yang sama. Perbedaan
hanyalah ada dalam ihwal prosedur teknis-teknisnya saja, yaitu tatkala metode jenis kedua mulai
harus dirancangkan dan dilaksanakan untuk keperluan mencari informasi yang akurat,
berketerandalan dan sahih.

Dari sinilah awal pembedaan model penelitian hukum, yang terspesialisasi pula menjadi
dua, yaitu antara penelitian hukum yang dikatakan normatif (khusus untuk meneliti hukum sebagai
63
norma positif as it is written in the books) dan penelitian hukum yang dikatakan empiris (khusus
untuk meneliti hukum dalam wujudnya sebagai nomos, at it is observed in society). Sekalipun
pembedaan dua jenis penelitian hukum dengan penyebutan penelitian normatif dan penelitian
empiris ini telah terlanjur populer dan terus dipopulerkan dalam wacana keilmuan hukum di
Indonesia, namun sejak awal orang harus mengetahui bahwa penyebutan seperti itu kurang tepat
benar. Akan kita ketahui nanti bahwa apa yang disebut penelitian normatif itu acap kali
meninggalkan tataran normatifnya yang positif untuk menggapai tataran-tataran doktrin (atau
ajaran) hukumnya juga. Sedangkan apa yang disebut penelitian empiris acap kali mengajuk
ranah-ranah simbolis yang ada di balik nomos yang tersimak itu. Penyebutan penelitian
doktrinal dan penelitian nondoktrinal yang pada kenyataannya nanti akan merupakan
penelitan sosial mengenai hukum kiranya akan lebih tepat.


A. Penelitian Hukum Doktrinal

Penelitian hukum doktrinal adalah penelitian-penelitian atas hukum yang dikonsepkan dan
dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengkonsep dan/atau sang pengembangnya.
Ada berbagai doktrin yang pernah dianut dan dikembangkan dalam kajian-kajian hukum, mulai
dari doktrin klasik yang dikenali sebagai doktrin (atau aliran) hukum alam kaum filosof dan
doktrin (atau aliran) positifisme para yuris-legis sampai ke doktrin historis dan doktrin
realisme-fungsionalisme para ahli hukum yang terbilang kaum realis. Berikut ini akan dipaparkan
berturut-turut metode doktrinal yang dikenal dalam aliran hukum alam, metode doktrinal yang
dianut kaum positivis (yang juga disebut kaum legis itu), dan kemudian juga metode doktrinal
yang ditradisikan di kalangan para ahli hukum yang berpaham fungsionalis-realisme. Di
Indonesia, metode doktrinal ini terlanjur secara lazim disebut sebagai metode penelitian yang
normatif, untuk melawankan dengan metode penelitian yang dikatakan terbilang empiris (yang di
dalam literatur internasional disebut penelitian nondoktrinal).


Metode Kajian Hukum dengan Hukum yang Dikonsepkan sebagai Asas Keadilan dalam Sistem
Moral Menuruti Doktrin Aliran Hukum Alam

Konsep hukum tersebut pertama adalah konsep yang amat berwarna moral dan fisolofis, atau tak
jarang pula dalam masyarakat-masyarakat tertentu amat berwarna religius. Konsep hukum yang
demikian ini tak pelak lagi akan melahirkan cabang kajian hukum yang amat religius (seperti
semasa jaya-jayanya peran hukum kanonik Eropa pada abad-abad pra-renesans) atau amat
filosofis (seperti semasa merebaknya ajaran hukum alam), atau yang moralistis (seperti pada era
pengaruh ajaran hukum positif tatkala orang mendambakan koreksi-koreksi terhadap kelugasan
ius constitutum dengan mengkonstruksikan apa yang mereka sebut ius constituendum).

Dalam perkembangan alam pemikiran Barat, konsep hukum sebagai asas moral keadilan
itu adalah konsep yang terbilang paling tua. Konsep ini berasal-mula dari masa jaya-jayanya
kekuasaan gereja dengan hukum kanonik atau ius novum-nya, sepanjang era sebelum lahirnya
negara-negara nasional di negeri-negeri Eropa Barat. Asas dipungut dari dunia nilai (yaitu nilai
moralitas) yang sekalipun tak selamanya dirumuskan secara tegas dan pasti oleh
lembaga-lembaga kekuasaan negara tetap saja selalu diakui oleh masyarakat sebagai segugus
64
pedoman normatif yang hidup untuk menuntut perilaku-perilaku yang dipandang amat patut di
dalam masyarakat. Dalam kehidupan komunitas-komunitas lokal yang otohton, yang di Indonesia
dikenali sebagai masyarakat-masyarakat adat, asas-asas yang hidup di dalam sanubari warga
masyarakat sebagai bagian dari yang oleh Eugen Ehrlich disebut das lebend recht the living
law. Inilah yang di dalam literatur-literatur hukum di Indonesia disebut hukum adat (dalam
asas-asasnya).

Asas-asas keadilan (atau kearifan atau pula kepantasan) yang berada pada ranah moral ini
umumnya terumus amat umum, dan acap pula tidak tertulis, serta terbuka untuk sembarang tafsir
oleh siapa pun ketika akan diperlukan untuk menghukumi sesuatu perkara yang konkret.
Sekalipun terumus umum sebagai asas-asas belaka, namun demikian norma-norma abstrak itu
dalam praktik kehidupan dapat berfungsi juga sebagai pedoman (kalaupun bukan sebagai aturan
atau perintah berperilaku yang eksplisit untuk memberi arahan tentang apa yang harus dilakukan
para warga dalam perilaku mereka sehari-hari). Kehidupan masyarakat awam dalam
kesehariannya, umumnya dipedomani oleh asas-asas umum semacam ini, seperti misalnya janji
harus ditepati, suami-isteri harus saling mencintai, jangan gampang-gampangan memutus
persahabatan, menutut ilmu itu sesungguhnya merupakan bagian dari ibadah dan karena itu
harus dikerjakan sepanjang umur, dan seterusnya.

Di tangan para elite pemuka masyarakat yang tampil sebagai eksponen-eksponen penegak
moral sosial entah yang tetua adat, entah yang ulama atau yang dikenali sebagai kaum brahman
di India, entah filosof semua asas-asas itu dihimpun (kalaupun tak dikitabkan tentulah direkam
dalam ingatan), untuk difungsikan sebagai kekayaan rohani masyarakat, dan akan selalu dirujuk
sebagai ajaran dan pembenaran cara-cara bertingkah laku dan/atau tatacara-tatacara berperilaku.
Dalam riwayat berbagai bangsa, tak jarang ajaran-ajaran asasi ini dikabarkan sebagai sesuatu yang
sebenarnya tak sekali-kali berawal dan berasal dari ranah-ranah manusiawi, melainkan dari
ranah-ranah yang kodrati, supranatural, superhuman, atau bahkan sesungguhnya Illahi. Dalam
perkembangan kehidupan di negeri-negeri Eropa Barat, para era sebelum lahirnya negara-negara
nasional yang tersentralisasi, asas-asas itu memiliki sifatnya sebagai asas-asas yang kodrati dan
berikut semua hasil jabarannya dipercaya sebagai bagian dari hukum kodrat atau hukum alam.

Di tangan ahli-ahli filsafat hukum alam, asas-asas yang diyakini sebagai bagian dari
hukum kodrati itu demi keterpakaiannya untuk mengkaidahi perilaku warga masyarakat dalam
situasi-situasi konkret masihlah harus diupayakan dan diputuskan dengan melihat
permasalahannya dari kasus ke kasus. Upaya intelektual di ranah normatif ini dari normanya
yang abstrak (pada tataran asas) ke normanya yang sungguh lebih konkret (pada tataran aturan
berperilaku) berlangsung lewat proses-proses yang tunduk penuh pada aturan logika formal yang
disebut silogisme deduksi. Deduksi yang dikenal juga sebagai logika matematika ini terdiri dari
tiga premis: yang umum (mayor), yang khusus (minor) dan dan yang simpulan (konklusi). Apabila
semua manusia mesti mati (premis mayor), dan Socrates adalah manusia (premis minor),
maka Socrates mesti mati (premis konklusi).

Dalam konstruksi silogisme deduksi sebagaimana digunakan dalam kajian hukum
bermoral keadilan ini, asas-asas atau postulat-postulat moral yang dipungut dari hasil kontemplasi
para pemikir filsafati (atau yang tak jarang sesungguhnya juga dipungut dari moral masyarakat
setempat) namun yang sering kali dinyatakan sebagai sesuatu yang self-evident dan berlaku
65
universal, akan diposisikan sebagai premis mayor. Sementara itu, kasus-kasus perilaku yang
hendak dipertanyakan nilai normatifnya akan didudukan sebagai presis minornya. Maka, tak ayal
lagi, konklusi yang dapat ditarik sebagai premis penutup dalam silogisme itu akan menyatakan apa
yang menjadi norma hukum atau norma moralnya untuk kasus perilaku yang ditanyakan itu.
Sebagai ilustrasi dapatlah dikemukakan contoh berikut ini. Apabila orang menanyakan: apakah
dasar moral dan/atau bunyi hukumnya yang harus dipakai untuk membenarkan atau menyalahkan
seseorang yang tak menepati janji dalam kasus jual-beli karena ia merasa tertipu?, lalu apakah
kira-kira jawabnnya? Dapatkah dicarikan (search and research) jawaban untuk pertanyaan itu?

Di sini akan dicari melalui konstruksi silogisme. Diketahui fakta bahwa ada orang yang tak
menepati janji karena ia merasa tertipu. Fakta khusus ini tak pelak harus diposisikan sebagai
premis minor. Asas moralnya yang berlaku umum harus dicari melalui penelusuran. Search!
Ditemukan asas moral bahwa semua janji dan perjanjian harus dilandasi itikat baik agar
melahirkan ikatan moral atau ikatan hukum yang bermoral antara pihak-pihak. Maka
simpulannya dapat diharapkan dari konstruksi silogisme deduktif berikut ini: Semua perjanjian
harus dilakukan atas dasar itikat moral yang baik agar dapat mengikat; a concreto, semua
perjanjian yang tak dilakukan atas dasar itikat moral yang baik tidaklah akan mengikat. Ini premis
mayornya. Si A mengikat diri ke dalam ikatan perjanjian itu karena tertipu. Ini premis
minornya! Maka, premis konklusinya adalah: Si A yang tertipu (menurut asas moralnya) tak akan
terikat oleh perjanjian itu.

Metode Kajian Hukum dengan Hukum yang Dikonsepkan sebagai Kaidah
Perundang-Undangan Menurut Doktrin Aliran Positivisme dalam Ilmu Hukum

Berseiring dengan pertumbuhan dan perkembangan negara-negara bangsa yang terpisahkan dari
kekuasaan Gereja di negeri-negeri Eropa Barat, yang dengan demikian telah menyebabkan
terjadinya proses sekularisasi kekuasaan negara di negeri-negeri itu, terjad pula sekularisasi
hukum-hukumnya. Hukum negara yang disebut juga hukum nasional kini tak lagi
mengutamakan kandungan moral dan kebenaran moral atau nilai rchtswaardigheid untuk
menjamin legitimiasinya, melainkan lebih mengutamakan kekuatan kepastian berlaku atau nilai
rechtzekerheid. Inilah proses sekularisasi yang disebut juga proses positivisasi hukum. Hukum
hanya akan boleh dipandang dan diakui sebagai hukum tatkala hukum itu secara jelas merupakan
perintah eksplisit. Hukumlah yang berdaulat, seperti yang dikatakan Austin bahwa (positive) law
is the command of the sovereign. Hukum bukan lagi asas-asas abstrak yang tak dapat ditunjukkan
di mana dan bagaimana rumusannya yang jelas dan tegas, dan bagaimana pula ciri-cirinya yang
menengarai bahwa hukum itu memang benar-benar hukum. Hukum dan konsep kaum positivis
ini bukan lagi cuma berupa ius, melainkan harus benar-benar berciri sebagai lex
atau lege.

Sekalipun dalam soal konsep tentang substansi hukum ada perbedaan yang cukup
mendasar antara puak pembela hukum dalam yang moralistis dan puak positivis yang menyebut
hukum adalah benar-benar the command of the sovereign yang oleh sebab itu dapat ditunjukkan
bagaimana isi rumusannya dan kapan serta di mana diperintahkannya (diundangkannya) itu
namun dalam soal metode searchings and researchings-nya tidaklah ada perbedaan antara
keduanya itu. Baik penganut aliran hukum alam, maupun para penganut aliran positif, keduanya
sama-sama berlogika normatif dan karena itu kedua-duanya juga sama-sama mendayagunakan
66
silogisme deduktif untuk menemukan jawab mengenai apa hukumnya untuk mengkaidahi suatu
kasus tertentu. Hanya saja, tatkala para eksponen aliran hukum alam mencari dan menemukan
premis-premis mayornya dalam wujud asas-asas yang terdapat dalam ajaran moral atau asas-asas
filsafati yang konon berlaku universal, para eksponen aliran positivisme hanya mau menggunakan
pasal-pasal dan ayat-ayat yang terdapat dalam undang-undang atau hukum perundang-undangan
(tentu saja secara selektif) sebagai premis-premis mayor.

Lepas dari soal apa yang akan dijadikan premis mayor, tak adalah beda lebih jauh
mengenai pendayagunaan silogisme deduksi itu, oleh mereka yang berada di pihak paham hukum
alam dan mereka yang berada di pihak paham hukum positif. Dengan menempatkan fakta duduk
perkaranya sebagai premisnya yang minor, kaum positivis dengan mudah akan menemukan lewat
penarikan simpulan (premis konklusi) mengenai apakah bunyi hukumnya in concreto untuk suatu
perkara tetentu. Peragaannya dalam sidang-sidang pengadilan yang menaati ajaran hukum kaum
positivis (yang di dalam bahasa Hans Kelsen disebut reine Rechtslehre) adalah sebagai berikut:
apabila hakim menemukan bunyi hukumnya in abstracto seperti misalnya yang kira-kira
dirumuskan dalam pasal 362 KUHP bahwa barangsiapa mengambil barang milik orang lain,
sebagai atau seluruhnya, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, maka ia akan dihukum karena pencurian sebanyak-banyaknya X tahun (ini
premis mayor), dan dalam pemeriksaan perkara sang hakim ini menerima bukti bahwa si A
mengambil sebagian dari milik orang lain dengan maksud untuk menguntungkan anaknya (ini
logikanya) bahwa si A harus dihukum karena mencuri.

Pada masa awal perkembangan kehidupan bernegara, yaitu tatkala positivisasi hukum baru
berada pada tahap-tahap awalnya, dan ketika tertib kehidupan bermasyarakat masih pula lebih
banyak dikuasai oleh tuntutan-tuntutan asas-asas moral dan mores sebagaimana yang lebih banyak
dikontrol oleh elite-elite masyarakat ulama dan tokoh-tokoh penegak moral sosial daripada oleh
the positive command of the sovereign sebagai dikontrol oleh the legal professional (juristen
dan/atau lawyer), kebutuhan untuk menginventarisasi bahan-bahan hukum primer, yang dapat
difungsikan sebagai sumber formil bagi setiap usaha penciptaan hukum baru (yang abstrak
maupun yang konkrit) tidaklah sekali-kali terasa mendesak. Sementara itu, jumlah produk hukum
perundang-undangan belum seberapa banyak, dan belum terasa perlu diinventarisasi, dikoleksi
dan diorganisasi dengan teknik-teknik dan prosedur-prosedur yang khusus. Sehubungan dengan
kenyataan itu, kebutuhan untuk mengembangkan metode dan teknik guna keperluan pembinaan
serta pendayagunaan koleksi bahan-bahan primer pun lalu tak terlampau banyak dirasakan.

Namun kini keadaan telah berubah. Perkembangan hidup bernegara dan berhukum (yang
tak hanya menghendaki keadilan akan tetapi juga kepastian), telah kian kompleks dan telah
menyebabkan meningkatnya produksi perundang-undangan dan seterusnya juga meningkatkan
pergandaannya dalam bentuk peraturan-peraturan pelaksanannya dan dalam berbagai bentuk
keputusan pengadilan yang menetap sebagai yurisprudensi. Positivisasi hukum, dengan penolakan
untuk mengakui asas-asas moral dan asas-asas filsafat sebagai hukum yang berlaku, telah
meningkatkan produksi hukum positif. Multiplikasi hukum positif (yang terumus in abstracto
maupun yang terlafalkan in concreto) dan meningkatnya kebutuhan akan informasi hukum positif
untuk praktik maupun untuk studi, tentu saja akan meningkatkan pula kebutuhan akan metode dan
teknik yang tepat guna menjamin terwujudnya koleksi bahan-bahan hukum yang lengkap. Seluruh
kerja inventarisasi itu tentu saja meliputi pula usaha-usaha untuk mengorganisasi bahan-bahan
67
hukum itu ke dalam suatu sistem informasi yang komprehensif dan yang terkembang demikian
rupa sehingga memudahkan penelusuran kembali bahan-bahan hukum tersebut secara efisien.

Kecuali mengerjakan inventarisasi bahan-bahan primer dalam wujud hukum
perundang-undangan, untuk kemudian mengorganisasinya ke dalam suatu koleksi yang
memudahkan penelusurannya kembali kajian-kajian doktrinal dalam ranah hukum positif ini
juga meliputi usaha-usaha untuk mengkoleksi bahan-bahan hukum lain yang sekalipun tak
terbilang primer. Akan tetapi dibilangkan sebagai bahan-bahan hukum yang sekunder bernilai
penting juga untuk mengembangkan hukum dan ilmu hukum. Bahan-bahan sekunder ini
umumnya terdiri atas karya-karya akademis mulai dari yang diskriptif sampai yang berupa
komentar-komentar penuh kritik yang memperkaya pengetahuan orang tentang hukum positif
yang berlaku (ius constitutum) dan/atau yang seharusnya berlaku (ius constituendum). Dalam
maknanya yang formil, bahan-bahan hukum yang sekunder ini memang bukan hukum yang
berlaku akan tetapi, dalam maknanya yang materiil, bahan-bahan sekunder itu memang
bahan-bahan yang berguna sekali untuk meningkatkan mutu hukum positif yang berlaku.

Bahan-bahan sekunder itu berguna untuk dirujuk pertama-tama sebagai sumber guna
meningkatkan mutu interpretasi atas hukum positif yang berlaku. Lebih lanjut lagi, bahan-bahan
sekunder itu juga berguna untuk mengembangkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang
komprehensif dan tuntas, baik dalam maknanya yang formil maupun dalam maknanya yang
materiil. Bahan-bahan sekunder adalah hasil kegiatan teoretis-akademis yang mengimbangi
kegiatan-kegiatan praktik legislatif (atau praktik yudisial juga), sedemikian rupa sehingga
produk-produk praktik yang nampaknya fragmentaris dan mosaik itu akhirnya bisa terpola
menjadi suatu sistem yang utuh dengan komponen-komponen yang tak saling bertentangan, dan
karena itu menyebabkan seluruh sistem hukum positif menjadi bersifat rasional serta pasti.
Sementara itu, hasil-hasil studi yang telah terkoleksi sebagai hahan-bahan sekunder ini lazim pula
dikaji para praktisi, yang akan mampu merawat serta mengembangkan kaidah positif secara lebih
baik.

Inventarisasi dan koleksi bahan-bahan hukum tersebut dimuka (baik yang primer untuk
difungsikan sebagai sumber formil maupun yang sekunder untuk difungsikan sebagai sumber
materiil) banyak dikerjakan oleh para pekerja yang bertugas dalam bidang perpustakaan,
dokumentasi dan informasi, serta pengarsipan hukum. Menggembirakan sekali, akhir-akhir ini
perkembangan metode dan teknik untuk maksud itu telah banyak terbantu oleh prekembangan
teknik dan prosedur di dalam cabang ilmu khusus yang dinamakan informatika, dan kemudian
juga setelah meluasnya penggunaan teknologi elektronik oleh salah satu cabang kajian yang
khusus tetapi penting di dalam Metodologi Penelitian Hukum, yaitu apa yang disebut-sebut
dengan nama yurimetri. Namun, dalam soal pendayagunaan kemampuan informatika dan
yurimetri. Namun, dalam soal pendayagunaan kemajuan informatika dan yurimetri itu, (sayang
sekali), di Indonesia usaha-usaha di bidang itu ini belum banyak ditangani secara serius, dan
prosedural serta struktur koleksinya pun belum dibakukan secara cukup tuntas. Komputerisasi
koleksi malahan belum dimulai secara berarti, sedangkan personil-personilnya yang terlatih untuk
bidang itu pun belum pula memadai, baik dalam hal jumlah maupun dalam hal mutu
ketrampilannya.


68
Metode Kajian Hukum dengan Hukum yang Dikonsepkan sebagai Keputusan Hakim in
Concreto Menuruti Doktrin Fungsionalisme Kaum Realis dalam Ilmu Hukum

Kegiatan jenis ketiga dalam penelitian-penelitian hukum, dengan hukum yang menurut doktrinnya
dikonsepkan sebagai hukum positif ini, adalah penelitian-penelitian dan kajian-kajian yang
dikerjakan dengan hukum yang dikonsepkan pertama-tama sebagai keputusan hakim in concreto.
Inilah hukum yang dikenali sebagai judge-made law, yang sekalipun semula dimaksudkan hanya
untuk memutus perkara hukum yang tengah menjadi kasus, akan tetapi karena adanya doktrin
stare decisis berikut asas precedencenya maka hukum seperti itu pada saat tertentu juga bisa
berlaku in abstracto. Hukum dan kajian hukum yang dikembangkan atas dasar doktrin seperti itu
dikenal marak di negeri-negeri yang bersistem common law (khususnya di Amerika Serikat), di
mana hakim menurut doktrinnya tidak cuma hendak menemukan hukum akan tetapi terlebih-lebih
harus dapat menciptakan hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum in concreto. Kegiatan
penelitian hukum jenis ketiga di Amerika Serikat ini umumnya dilakukan oleh para ahli hukum
praktisi, khususnya para pengacara, serta pula para teoretisi yang mem-back-up para pengacara itu
untuk melakukan studi-studi guna memperkirakan apa kira-kira yang akan diputuskan hakim olah
pengadilan dan/atau juri, lewat studi-studi. Berbeda dengan apa yang dipraktikkan di negeri-negeri
penganut tradisi civil law system Eropa Kontinental, di mana para ahli hukum dengan sepenuhnya
hati memandang law as it is in the books sebagai model normologis yang sempurna untuk
mengontrol seluruh kehidupan, dengan kewajiban hakim untuk (bak mulut yang tugasnya cuma
membunyikan apa yang tertulis dalam undang-undang) memutus perkara-perkara dengan
menemukan hukum dari produk-produk legislatif di negeri-negeri Anglo-Saxon (lebih-lebih di
Amerika Serikat yang terkenal pragmatismenya itu) yang hendak dipentingkan bukanlah the
codified law itu, melainkan the judge-made law.

Maka searching for law dalam tradisi penelitian hukum di Amerika Serikat ini akan segera
bermakna sebagai the searching for what the judge will decide as law. Kerja pencarian hukum di
sini lalu tak cuma hendak dilakukan untuk menemukan apakah bunyi hukumin abstracto-nyasaja,
untuk kemudian mendeduksikannya berdasarkan silogisme logika formal, melainkan dengan cara
menspekulasikan secara teoretis dan kemudian menghipotesiskan apa kira-kira yang akan
diputuskan oleh juri dan hakim. Diketahui bahwa hakim di mana-mana tidak akan mungkin dan
memang juga tidak akan diharapkan untuk cuma sekadar menemukan lafal-lafal hukum in
abstracto tersebut menjadi lafal-lafal yang in concreto, sine ira. Di mana-mana hakim itu selalu
mengimbuhkan suatu pertimbangan pribadi yang extra-legal sifatnya, dengan cita-cita bahwa
keputusan-keputusan yang dibuatnya itu akan lebih fungsional bagi kehidupan. Maka pengalaman
yang tersimak dalam kehidupan akan dapat lebih mampu menjawab persoalan hukum dan akan
dapat lebih cermat menduga arah keputusan hakim-hakim daripada logika-logika hukum.
Berkatalah Holmes yang merintis aliran realisme dalam ilmu hukum di Amerika Serikat dalam
hubungan ini bahwa the life of law has not been logic, it is experience.

Ajaran legal realism atau the functional jurisprudence rintisan Holmes ini bukannya
mengabaikan sifat kajian-kajian hukum yang normatif-deduktif dan doktrinal, akan tetapi
sesungguhnya cuma hendak menegaskan bahwa dalam setiap penciptaan hukum in concreto itu
selalu terjadi apa yang disebut judgements, yaitu keputusan-keputusan yang diinfiltrasi oleh
pertimbangan-pertimbangan pribadi yang bersifat extra legal (bukan yang illegal). Roscoe Pound
dengan paham sociological jurisprudence-nya malahan menganjurkan dikerjakannya
69
judgements seperti itu oleh para hakim agar hukum dan keputusan-keputusan hukum tidak hanya
fungsional dalam masyarakat akan tetapi juga secara pro-aktif dapat merekayasa perubahan
masyarakat. Tak pelak lagi, di negeri-negeri dengan tradisi common law di mana para hakim akan
agak terbebaskan dari imperatif silogisme deduktif, agar dapat lebih memenuhi fungsi
menyelesaikan sengketa dari kasus ke kasus daripada melebihkan fungsinya sebagai penerap
atau bahkan penegak hukum bersumberkan perintah undang-undang (sekalipun langit akan
runtuh), kemungkinan mencapai kesimpulan dengan cara induksi, seraya banyak
mempertimbangkan tuntutan kenyataan akan menjadi lebih besar. Maka, mungkin saja bukan
hal yang kebetulan apabila dasar-dasar ide paham sociological jurisprudence atau the functional
school of jurisprudence itu lebih mudah diterima dan dimengerti, untuk kemudian berkembang
marak di negeri-negeri dengan sistem common law lebih-lebih lagi yang berpaham pragmatis,
seperti Amerika Serikat.

Kajian-kajian yang induktif-nomologis mengenai proses sosio-psikologis terjadinya
judgements hakim banyak muncul dalam penelitian-penelitian tentang apa yang didalam literatur
Amerika Serikta disebut court behaviors. Kondisi-kondisi sosio psikologis yang riil dan
berpengaruh pada perilaku para juri dan hakim atau pula pada para pengacara serta pula
proses-proses interaktif antara-mereka, telah menjadi topik-topik utama dalam kajian-kajian
court/judicial behaviors. Studi tentang afiliasi politik para hakim (demokrat ataukah republikan),
misalnya, dikaji dalam kaitan dengan keputusan-keputusan yang akan dijatuhkan dalam perkara
diskriminasi dan segregasi rasial. Perbedaan jenis kelamin atau golongan etnis/ras para anggota
juri atau hakimnya, sebagai misal yang lain, dikaji apakah akan ada pengaruh dalam ihwal
keputusan-keputusan yang akan dijatuhkan dalam perkara perkosaan. Demikian seterusnya.

Sejauh studi-studi itu berkaitan erat dengan soal opini-opini (hakim) tentang substansi
hukum perundang-undangan dan/atau keputusan-keputusan para hakim terdahulu yang
berkekuatan sebagai preseden-preseden, tidaklah ada salahnya kalau studi-studi tersebut tetap
dikategorikan sebagai studi-studi doktrinal. Akan tetapi, studi-studi tentang perilaku hukum di
ruangan-ruangan pengadilan sulitlah kalau dikategorikan sebagai studi tentang doktrin-doktrin
hukum. Variabel-variabel yang extra-legal itu jelaslah kalau eksis ke luar ranah doktrin, dan
penelitian-penelitian serta studi-studinya tak ayal lagi sudah terbilang ke dalam kategori non
doktrinal, dengan menggunakan metode-metode dan idiom-idiom yang non doktrinal pula. Dalam
perkembangan berikutnya, metode-metode nondoktrinal ini dimanfaatkan oleh ilmu hukum, tidak
hanya untuk mengkaji the extra-legal factors, akan tetapi juga untuk mempelajari the real social
factors dalam konteks legal hehaviors as it is in society. Dengan sekali langkah, the sociological
jurisprudence sudah menjadi the sociology of law dengan segala konsekuensinya. Tidak cuma
konsekuensi paradigma substantifnya akan tetapi juga konsekuensi metodologisnya.


2. Metode Penelitian Non-doktrinal

Di dalam kehidupan yang mulai banyak mengalami perubahan-perubahan transformatif yang amat
cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak dapat berfungsi efektif untuk menata perubahan
dan perkembangan. Tak ayal lagi, berbagai cabang ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi yang
akhir-akhir ini mulai banyak mengkaji dan meneliti ihwal perubahan-perubahan sosial
"dipanggil" untuk ikut menyelesaikan berbagai masalah dan perubahan sosial yang amat relevan
70
dengan permasalahan hukum. Ilmu-ilmu sosial yang mulai "ditengok" dalam kerangka ajaran
sociological jurisprudence mulai banyak pula dimanfaatkan untuk memungkinkan usaha
memperbaharui dan memutahirkan norma-norma hukum. Kajian-kajian sociology of law dengan
metode sosialnya yang nomologis-induktif kini dikembangkan dan dimanfaatkan untuk
menganalisis dan memberikan jawaban tentang masalah keefektifan bekerjanya seluruh struktur
institusional hukum.

Maka di sini, tak terelakan lagi hukum pun lalu dikonsepkan secara sosiologis sebagai
suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan. Hukum tidak lagi dikonsepkan secara
filosofi-moral sebagai norma ius constituendum atau law as what ought to be, dan tidak pula secara
positivistis sebagai norma ius constitutum atau law as what it is the books, melainkan secara
empiris yang teramati di alam pengalaman. Hukum tidak lagi dimaknakan sebagai norma-norma
yang eksis secara eksklusif di dalam suatu sistem legitimasi yang formal. Dari segi substansinya,
kini hukum terlihat sebagai suatu kekuatan sosial yang empiris wujudnya, namun yang terlihat
secara sah, dan bekerja dengan hasil yang mungkin saja efektif akan tetapi mungkin pula tidak
untuk memola perilaku-perilaku aktual warga masyarakat. Sementara itu, dari segi strukturnya,
hukum kini terlihat sebagai suatu institusi peradilan yang kerjanya mentransformasi
masukan-masukan (tegasnya materi hukum in abstracto, yaitu produk sistem politik) menjadi
keluaran-keluaran (tegasnya keputusan-keputusan in concreto), yang dengan cara demikian
mencoba mempengaruhi dan mengarahkan bentuk serta proses interaksi sosial yang berlangsung
di dalam masyarakat.

Karena dikonsepkan sebagai gejala yang berada, bergerak atau beroperasi di dunia empiris,
hukum baik sebagai substansi kekuatan sosial maupun sebagai struktur institusi pembuat
keputusan in concreto yang berkekuasaan dari perspektif ini kini hukum akan menampakkan diri
sebagai fakta alami yang tentunya akan tunduk kepada keajegan-keajegan (regularities, nomor)
atau keseragaman-keseragaman (uniformities). Dengan demikian, menurut konsepnya, hukum
akan dapat diamati. Kalau demikian halnya, hukum yang dikonsepkan secara sosiologis ini akan
dapat dijadikan objek penelitian yang dikerjakan secara saintifik, non-doktrinal, dan tidak akan
lagi dijadikan "sekadar" objek penggarapan untuk menyusun sistem normatif yang koheren belaka
(atas daar prosedur logika yang deduktif semata-mata, dengan premis-premis yang diperoleh dari
bahan-bahannya (yang primer atau yang sekunder) atau dari sumber-sumbernya di ranah normatif
(baik yang formil maupun yang matriil). Perubahan konsep hukum dari konsep positivistis ke
konsep empiris-sosilologi ini tak pelak akan menimbulkan konsekuensi metodologis yang cukup
jauh juga, yaitu digunakannya metode saintifik untuk pengkajian dan penelitiannya.

Adapun ciri metode yang saintifik ini tampak jelas perama-tama pada peran logika induksi
yang amat mengedepan untuk menemukan asas-asas umum (empirical uniformities) dan
teori-teori (baik yang miniatur atau yang middle range maupun yang grand) melalui silogisme
induksi. Dalam silogisme induksi ini, premis-premis (kecuali tentu saja konklusinya) selalu berupa
hasil pengamatan yang diverifikasi. Di sinilah letak bedanya dengan model penelitian doktrinal
yang dikerjakan oleh para filosof-moralis ataupun teoretis positivis untuk menemukan asas-asas
umum hukum positif. Penelitian-penelitian doktrinal selalu bertolak secara deduktif dari
noma-norma yang kebenarannya bernilai formal, dan tidak berasal dari hasil pengamatan yang
kebenaran materialnya selalu dipersoalkan dan karenanya selalu dicek. Kedua, karena
menggunakan silogisme induksi dan memperoleh simpulan-simpulan dari suatu proses induksi,
71
simpulan-simpulan yang diperoleh sebagai conclusio di dan dari dalam silogisme induksi,
selalulah berupa diskripsi atau eksplanasi tentang ada-tidaknya hubungan (entah kausal atau entah
korelatif) antara berbagai variabel sosial-hukum.

Ilustrasi berikut ini dapatlah dikemukakan untuk menggambarkan perbedaan ancangan
antara metode doktrinal yang normatif-normologis pada silogisme deduktif itu dengan metode
nondoktrinal yang empiris-nomologis pada silogisme yang induktif. Dengan metode yang
normologis-deduktif itu, bertolak dari premis peradilan harus cepat dan murah (bunyi pasal 14
Undang-Undang Pokok Kehakiman), orang akan menyimpulkan bahwa peradilan dalam perkara
warisan, pun di mana-mana di Indonesia, akan berlangsung cepat dan murah. Namun, dengan
metode yang nomologis-induktif, orang akan menemukan simpulan hubungan kausal antara
kecepatan proses peradilan itu dengan gejala-gejala lain di dalam masyarakat, yang mungkin
sekali lain dengan apa yang telah disimpulkan lewat proses deduksi di muka. Sebagai contoh:
apabila di alam amatan besar (atau kecil)-nya, jumlah harta warisan yang dipersengketakan di
muka pengadilan selalu berseiring atau selalu diikuti oleh fakta cepat (atau lambat) nya
penyelesaian perkara warisan, maka dengan mengamati frekuensi keseiringan itu di berbagai
situasi, maka dapat disimpulkan bahwa ada buhungan antara jumlah harta warisan yang
dipertaruhkan dengan kecepatan pengadilan untuk menyelesaikan perkara.

Penelitian-penelitian nondoktrinal yang sosial dan empiris atas hukum akan menghasilkan
teori-teori tentang eksistensi dan fungsi hukum dalam masyarakat, berikut perubahan-perubahan
yang terjadi dalam proses-proses perubahan sosial. Teori-teori ini dikembangkan dari hasil-hasil
penelitian yang beruang lingkup luas, makro, dan umumnya juga amat kuantitatif untuk mengelola
data amat massal, terorganisasi dalam suatu gugus yang disebut the social theories of law. Seluruh
hasil kajian disistematisasikan ke dalam suatu cabang kajian khusus yang terkategorikan tidak
hanya sebagai cabang kajian ilmu-ilmu sosial akan tetapi juga tengah diperjuangkan agar boleh
juga diaku sebagai bagian dari kajian ilmu hukum, yang disebut dengan nama kajian Law in
Society yang di Amerika Serikat lebih dikenal dengan nama Law and Society. Penelitian-penelitian
empiris cabang kajian ini lazim disebut socio-legal research, yang pada hakikatnya seperti telah
disebutkan berulangk ali di muka merupakan bagian dari penelitian sosial. Di sini metode
penelitian yang konvensional, seperti yang banyak dipraktikkan di berbagai cabang ilmu-ilmu
sosial, yang suka mengkuantifikasi datanya, akan lazim dipakai.

Pendekatan Makro Teori Struktural-Fungsional: Hukum Dikonsepkan sebagai Institusi Sosial
yang Objektif

Dalam kajian-kajian ilmu hukum, penganut paham positivisme yang mengkonsepkan law in book
sebagai model nomologis untuk mengontrol kehidupan yang riil, yang karena itu demi
terwujudnya tertib sosial hukum harus diaati penuh, entah karena sanksi-sanksi koersifnya, entah
karena kesadaran warga untuk bersikap patuh secara volunter. Dalam kajian hukum yang
sociological jurisprudence maupun yang sosilogis-nondoktrinal, konsep mengenai fungsi hukum
yang demikian itu terasa tetap dominan juga, sehingga paham sosiologis tentang hukum yang
demikian entah paham konseptual yang mengatakan bahwa law is a tool of social engineering,
entah yang berpaham bahwa law is governments social control, dalam perkembangan teori-teori
sosial tentang hukum sekarang ini digolongkan ke dalam kelompok paham kaum strukturalis yang
berwawasan teknokratis. Menurut konsep kaum ini, hukum sebagai alat dan sarana untuk
72
merekayasa tertib kehidupan dalam masyarakat adalah hukum perundang-undangan yang telah
dibuat secara baik dan layak sebagai refleksi kebijakan proaktif yang lahir dari pemikiran para
pakar dan pemuka yang tentunya tak akan (banyak) mengandung cacat cela. Dalam hubungan ini,
kewajiban rakyat awam tidak lain adalah menerima dan menaati hukum undang-undang yang
telah dibuat dan diundangkan secara benar.

Akhir-akhir ini, seiring dengan perkembangan teori-teori sosial yang lebih melebihkan
makna aksi-aksi individual dan interaksi-interaksi antar-individu (daripada melebih-lebihkan
makna struktur kekuasaan) sebagai determinan utama eksistensi kehidupan bermasyarakat,
berkembang pula teori-teori sosiologi hukum yang berparadigma baru, dengan konsekuensi
metodologinya yang karena hendak lebih mengkaji aksi-aksi individu dengan makna-makna
simbolis yang direfleksikannya akan lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif. Kelompok
teoretis yang terbilang ke dalam aliran paham aksi dan interaksionisme ini berpendapat bahwa
realitas kehidupan itu tidaklah muncul secara empiris dalam alam amatan, dan menampak dalam
ujud perilaku yang terpola dan terstruktur secara objektif (apalagi normatif), dan karenanya bisa
diukur-ukur. Menurut kaum interaksionis ini, realitas kehidupan itu sesungguhnya hanya eksis
dalam alam makna yang simbolis, yang karena itu akan sulit ditangkap lewat pengamatan dan
pengukuran begitu saja dari luar. Alih-alih begitu demikian menurut kaum
interaksionis-simbolis ini realitas-realitas itu hanya mungkin ditangkap lewat pengalaman dan
penghayatan-penghayatan internal yang membuahkan gambaran kemafhuman yang utuh dan
lengkap (verstehen), dan tidak cukup kalau cuma diperoleh lewat ukuran beberapa indikator yang
cuma terlihat di permukaan.

Karena realitas adalah bagian dari alam makna/simbolis yang hanya dapat dipahami lewat
pengalaman intern para subjek pelaku, maka menurut para interaksionisme ini tidaklah akan
mungkin lain daripada apa yang dijumpai para subjek pelaku lewat partisipasi, pengalaman dan
penghayatan mereka dalam kehidupan yang dijalani. Maka, masalah yang akan terlihat oleh
subjek-subjek pengamat (bukan pelaku) yang non-partisipan, betapapun tinggi keahlian, dan
betapapun pula besar kewenangannya di dalam hal pengendalian sistem, bukanlah hasil yang
mereka peroleh lewat pengamatan. Dalam hal demikian, kaum interaksionis mengklaim bahwa
masalah yang sebenar-benarnya masalah tidaklah akan mungkin didefinisikan oleh para pengamat
dan penganalisis, melainkan hanya akan mungkin dipaparkan dan dijabarkan oleh mereka yang
mengalami dan menjalaninya dalam kehidupan untuk kemudian melilitnya. Maka yang harus ia
lakukan adalah masuk dan berpartisipasi di dalam kehidupan yang akan dikajinya itu guna
menemukan masalah dari dalam lewat pengalaman dan penghayatan dalam kehidupan setempat.
Atau, kalau tak ingin menempuh proses panjang berlama-lama lewat partisipasi seperti itu,
dapatlah ia menanyai secara intensif dan in depth para warga yang menjadi partisipan budaya dan
kehidupan sosial dan kehidupan hukum setempat, dengan sikap-sikap yang empatik.

Perbedaan dan silang selisih konseptual antara kedua paham yang berbeda paradigma
sebagaimana diutarakan di atas, dapatlah diilustrasikan dengan jelas dalam persoalan berikut ini.
Dalam kasus-kasus hukum berkaitan dengan pencabutan hak atas tanah penduduk di kota-kota
yang dilaksanakan dalam rangka peningakatan fungsi kota dalam tatanan ekonomi nasional, para
pejabat yang duduk di kursi pemerintah umumnya melihat setiap masalah hak penguasaan atas
tanah dari sudut hukum positif dan hak-hak yuridis (yang terelasisasi ipso jure). Sementara itu,
73
orang-orang awam kebanyakan melihat dari sudut tradisi bahwa hak menguasai tanah ditentukan
oleh ketekunan dan jerih orang (ipso facto) menggarap dan/atau merawat tanahnya itu.

Perbedaan metodologi yang tak dapat dielakkan sehubungan dengan perbedaan
paradigmatis dalam hal mengkonsepkan masalah sebagaimana dipaparkan berulangkali di muka
kini telah banyak disadari orang. Orang pun menyadari pula bahwa sehubungan dengan kenyataan
itu dua metode yang pada prinsipnya memiliki asumsi, strategi dan prosedur berbeda, haruslah
dikembangkan secara tersendiri; yaitu metode kuantitatif yang theory testing untuk meneliti dan
memecahkan masalah-masalah yang dikonsepkan pada tingkat analisa yang makro sebagai realitas
empiris, dan metode kualitatif yang theory building untuk meneliti dan memecahkan
masalah-masalah yang dikonsepkan pada tingkat analisis mikro sebagai realitas simbolis. Metode
kuantitatif adalah metode yang klasik dan konvensional, dikenal orang sejak masa silam yakni
semasa orang menganalogkan sistem kehidupan manusia ke sistem kehidupan non manusia, yang
alami atau kodrati dan yang hayati maupun yang non hayati (anorganik). Metode ini semula
memang terbukti efektif untuk meneliti fenomena alam yang tak memiliki kehendak bebas di
dalam berbagai cabang ilmu alam kodrat dan ilmu hayat. Penerapan metode ini tanpa reserve juga
untuk memahami liku-liku dan permasalahan kehidupan manusia pada mulanya juga disambut
dengan baik dan dipandang efektif juga, namun di bawah kondisi bahwa manusia-manusia boleh
diasumsikan sebagai oknum-oknum yang tak akan mengembangkan kemauan pribadi yang
berkebebasan untuk melawan kodrati dan sistem kehidupan.

Metode kuantitatif yang klasik itu bukannya tak mampu mengungkapkan pola-pola yang
berkepanggahan tingi dalam tatanan perilaku dan kehidupan manusia juga perilaku dan
kehidupan hukumnya di tengah masyarakatnya, dan kemudian daripada itu juga melahirkan
asa-asas, dalil-dalil, atau teori-teori. Akan tetapi, ketika studi-studi tentang masyarakat manusia
hendak mengungkapkan pula aspek-aspek nilai, ide, makna, kepercayaan dan keyakinan (dan
hukum itu sesungguhnya tak cuma berupa realitas struktural melainkan juga nilai, ide, makna dan
keyakinan yang individualized), dan apa pun pula yang tersembunyi di dalam benak dan
relung-relung perasaan para warga yang menjadi partisipan-partisipan budaya dan subjek-subjek
hukum di dalam masyarakat, dan pula ketika studi-studi sosial kian banyak yang bersifat
lintas-kultural atau lintas-etnis, metode kuantitatif yang klasik itu terbukti tidak lagi dapat banyak
membantu. Untuk mengkompensasikannya orang pun serta merta mulai mencoba
mengembangkan metode-metode penelitian yang baru, yakni metode penelitian yang kini dikenal
dengan nama metode penelian kualitatif.

Berbeda dengan metode kuantitatif yang telah mulai lebih awal, metode penelitian
kualitatif umumnya merupakan inovasi baru, yang baru memperoleh kemapanannya pada akhir
tahun 1970-an, dan belum begitu banyak dipelajari dan dikenal orang. Membedakan diri dari
metode kuantitaif yang efektif untuk mereduksi gejala kehidupan manusia ke dalam angka-angka
untuk kemudian digarap dalam analisis-analisis statistikal, metode kualitatif dikembangkan untuk
mengkaji kehidupan manusia dalam kasu-kasus terbatas, kasuistis sifatnya, namun mendalam (in
depth) dan total/menyeluruh (holistik). Dalam arti tak mengenal pemilahan-pemilahan gejala
secara konseptual ke dalam aspek-aspeknya yang eksklusif, yang kita kenali dengan sebutan
variabel. Dalam hubungan ini, metode kualitatif juga dikembangkan untuk mengungkap
gejala-gejala kehidupan masyarakat seperti yang dipersepsi oleh warga-warga masyarakat dan dari
kondisi mereka sendiri yang tak diintervensi oleh pengamat penelitinya (naturalistis). Metode
74
kualitatif ini tak sekali-kali menganjurkan dikembangkannya perspektif konseptual dari sudut
amatan para pakar penelitian, atau dari sudut penglihatan/kepentingan para elite pengendali
struktur, yang dikhawatirkan sekali akan selalu mengandung bias teoretis dan mungkin juga
asumsi-asumsi pemecahan masalah secara a priori.

Karena memiliki kegunaan sendiri-sendiri, dengan keefektifan masing-masing yang
digantungkan dari asumsi paradigmatis teori-teori, yang dipilih dan dipakai, temuan-temuan kedua
jenis metode itu tentu saja akan mensugestikan jawaban permasalahan yang terkonsepkan secara
berbeda pula. Maka apabila langkah yang pertama bersifat teknokratis dan penuh intervensi
perekayasaan secara sepihak terhadap objek, langkah yang kedua lebih cenderung bersifat
kondusif dan cuma bermaksud menginputkan faktor-faktor yang diduga akan menimbulkan
keberdayaan yang mandiri dalam diri si objek. Langkah kedua ini berkesan lebih partisipatif dan
mengundang partisipasi pelaku-pelaku sosial secara berkerelaan (volunter). Manakah dari dua
pilihan itu yang paling tepat diambil khususnya di dalam ranah kehidupan hukum yang telah
berformat nasional dewasa ini tentulah akan amat bergantung tidak hanya pada paradigma awal
yang kita pilih, akan tetapi juga pada pemihakan moral kita. Dalam alam kehidupan yang kian
demokratis dan people centered ini, kiranya kajian-kajian yang kualitatif tentang berbagai
permasalahan sosial dan kehidupan manusia agar dapat lebih mengungkap alam pikiran dan isi
nurani massa awam pantaslah kalau lebih banyak dicoba. Penelitian-penelitian hukum yang
nondoktrinal-kualitatif dengan ancangan paradigmatisnya yang beranjak dari teori yang mikro dan
pro populus, dapatlah kiranya banyak memberikan sumbangannya yang berarti.


Ada Tidaknya Hubungan Berdasarkan Logika Induksi Analisis

Telah kita ketahui dari kajian-kajian terdahulu mengenai penelitian hukum, bahwa ada berbagai
aliran paham dalam ilmu hukum, masing-masing dengan metode kajiannya sendiri yang khusus.
Aliran positivisme mengembangkan pemahamannya tentang hukum dengan metode khusus, yang
oleh alam kepustakaan internasional disebut metode doktrinal. Metode ini bertumpu pada
kebenaran-kebenaran formal yang diproses melalui hukum logika deduksi. Tak pelak ilmu hukum
begini ini hanya mungkin berkembang kalau proses pengkajinya bersedia berasumsi secara
menyebelah bahwa hukum positif adalah premis nonmetif yang kebenarannya tak boleh dibantah,
dan keputusan-keputusan hukum hanya dapat disimpulkan melalui silogisme deduksi dari premis
tersebut.

Perbincangan kita hari ini tidak berkaitan dengan seluk-beluk pendekatan positivistis
dengan metodenya yang doktrinal itu. Kita akan sedikit keluar dari tradisi materi dan metode
kajian hukum aliran positivisme ini, untuk juga mempelajari hukum sebagai kenyataan sosial dan
"bermain" sebagai salah satu kekuatan yang dipakai dalam berbagai proses interaksi dalam
masyarakat (ekonomi, politik, sosial, ataupun budaya). Sebagai kenyataan, hukum adalah suatu
variabel (suatu gejala dengan nilai yang bisa bervariasi) dengan keefektifan yang tentu saja belum
tentu bisa dipastikan. Keniscayaan menurut logika formal (deduksi) acap kali tidak terbukti
demikian adanya berdasarkan amatan dan penyimpulan menurut logika materiil (induksi) yang
berangkat dari penyimakan ke alam kenyataan.

75
Celah yang menggambarkan adanya selisih (gap) antara apa yang secara normatif diyakini
sebagai sesuatu yang niscaya dengan apa yang secara aktual dan faktual teramati sebagai sesuatu
yang ternyata nisbi dan tak menentu (tak mesti logika), akhir-akhir ini mengundang banyak
pengkaji hukum untuk juga mempelajari dari perspektif lain. Tidak cuma menurut ajaran hukum
murni, pengkaji-pengkaji hukum baru ini mulai mencoba melihat hukum sebagai institusi sosial
yang "perilaku"-nya tunduk pada pola-pola yang harus dipelajari secara tersendiri.

Dalam kajian baru seperti ini, pertanyaan-pertanyaan yang mengedepan bukan lagi
tersusun dalam pertanyaan "bagaimana seharusnya" menurut ketentuannya yang formal atau
hipotetis, akan tetapi yang secara kritis mempertanyakan, "apakah gerangan sesungguhnya yang
menjadi sebab-musababnya sebagaimana tersimak di alamnya yang empiris". Cara bepikir dan
berlogika lalu berubah dari upaya mencari dasar-dasar pembenaran dan keabsahan ke upaya
mencari penjelasan apa disebabkan apa dan/atau apa menyebabkan apa.

Cara berpikir tersebut akhir inilah yang disebut berpikir eksplanatif dan "larinya" akan tak
pelak lagi akan menuju ke upaya menemukan hubungan sebab akibat, hubungan pengaruh.
Eskplanasi seperti ini tak akan mungkin diperoleh dengan/melalui logika deduksi. Akan gantinya,
orang harus segera beralih ke silogisme induksi yang (sayang) belum masuk ke dalam silabus
pengajaran dan pembelajaran logika di fakultas-fakultas hukum atau fakultas-fakultas lain yang
tidak terbilang fakultas sains. Di fakultas-fakultas hukum hal ini terjadi sehubungan masih
diabaikannya kajian-kajian hukum sebagai realitas sosial.

Berpikir korelatif atau kausal alias berpikir dalam rantai hubungan antar variabel
adalah berpikir menurut pola pikir silogisme induksi. Formulanya tergambar sebagai berikut:




Premise I
Si A diancam sanksi, si B diancam sanksi, si C diancam sanksi, si D diancam
sanksi, si E diancam sanksi, si F diancam sanksi, (dan seterusnya).

Premise II
Si A menjadi taat, si B menjadi taat, si C menjadi taat, si D menjadi taat, si E
menjadi taat, si F menjadi taat, (dan seterusnya).

Premise III (kesimpulan)
J adi, di mana ada ancaman sanksi, di situ akan ada ketaatan (artinya, ada
hubungan antara ancaman sanksi dan ketaatan).

Formula demikian itu disebut formula "cannon of agreement". Hadirnya suatu variabel
tertentu (X), apabila dalam situasi apa pun selalu seiring atau selalu diikuti oleh munculnya
variabel tertentu yang lain (Y), maka berdasarkan logika dapatlah disimpulkan bahwa X
menyebabkan Y, atau setidak-tidaknya ada hubungan antara X dan Y. Formula serupa, juga dalam
bentuk silogisme, cuma saja dengan ekspresi negatif (disebut "negative cannon of agreement"),
dapat pula dipakai untuk menguji ada tidaknya hubungan antara X dan Y itu. Apabila tiadanya
76
sesuatu variabel tertentu selalu diikuti atau selalu berseiring dengan tiadanya sesuatu variabel
tertentu yang lain, maka secara logika dapatlah disimpulkan bahwa antara kedua variabel itu ada
hubungan (kausal ataupun pengaruh).

Prinsip atau formula ketiga adalah formula "cannon of difference" atau "cannon of joint
occurrence". Formula ini adalah formula gabungan kedua cannon yang disebut dimuka.
Dikatakan, bahwa tatkala ada X akan ada Y, sedangkan kalau tidak ada X akan tidak ada Y, maka
menurut logika induksi ada hubungan antara X dan Y. Formula ketiga ini dapat pula disebut
"cannon of concomittance variation", terjadi tatkala variabel-variabel yang tersimak dan dijadikan
anasir dalam silogisme itu bisa diukur secara kuantitatif. Apabila demikian halnya, maka
formulanya terbaca sebagai berikut: Apabila makin tinggai kuantitas X akan makin tinggi (atau
rendah) kuantitas Y, sedangkan makin rendah kuantitas X akan makin rendah (atau tinggi) pula
kuantitas Y.

Hubungan antara dua variabel yang masing-masing disebut X dan Y itu dapat pula
digambarkan di dalam bentuk suatu bagan (dan tidak sekadar diuraikan secara verbal dalam
bentuk kalimat atau uraian saja). Bagan itu tampak dalam bentuk tabel (disebut tabel silang,
sebagaimana dapat dilihat pada gambar 1 di dalam lampiran naskah ini). Sementara itu, tatkala
variabel-variabel X dan Y masing-masing memiliki nilai yang bisa dikuantifikasikan, (tercatat
sebagai data interval atau data rasio berdasarkan logika concomintant co-variation), dan
tidak/bukan terbatas sebagai data kualitatif yang tak bisa dikuantifikasikan (tercatat sebagai data
nominal atau data ordinal berdasarkan logika joint occurrence), maka bagan itu malah dapat
dilukiskan dalam bentuk bagan grafik (lihat gambar 2)

Apa pun formulanya, semua prinsip itu menyatakan bahwa hubungan tersebut hanya
mungkin terjadi dalam hubungan antar-variabel. Di sini semua prinsip bisa dikembalikan ke
prinsip dasar bahwa logika hanya bisa menyimpulkan ada-tidaknya hubungan kalau amatan
menemukan data adanya perubahan pada variabel yang satu yang lain berseiring dengan adanya
perubahan pada variabel yang lain. Maka, logika induksi ini hanya bisa didayagunakan dan
dioperasikan untuk menggerakkan pengujian-pengujian dalam penelitian-penelitian keilmuan,
tatkala objek bisa dikonsepkan terlebih dahulu sebagai suatu variabel yang tentu mempunyai
nilai-nilai atau kualitas-kualitas yang dapat divariasikan. Sebagai contoh, dapatlah dikemukakan
mengenai ihwal hakim sebagai berikut.

Hakim, misalnya, hanya bisa dikaji secara induksi (dalam hubungannya dengan fakta lain)
tatkala bisa "divariabelkan". Dalam eksistensinya sebagai variabel, hakim itu, misalnya saja, bisa
adil tetapi juga bisa tak adil, kalau hakim harus dikonsepkan sebagai sosok yang menurut
ketentuan normatifnya yang pasti niscaya dan selalu secara kontan adil (tak mungkin tidak),
maka hakim yang dikonsepkan seperti itu tidaklah akan mungkin dijadikan objek penelitian
induktif. Sejauh-jauhnya hanya dapat dijadikan rujukan pemerkuat keyakinan. Sedangkan apa
yang sudah keyakinan yang sudah dikukuhkan tidaklah mungkin dijadikan unsur dalam kajian
dengan langkah silogisme induksi untuk menemukan faktor penyebab (penyebab mengapa adil
mengapa tidak adil).

Mengubah-ubah nilai variabel dalam banyak penelitian empiris yang mendayagunakan
logika induksi itu dilakukan lewat rancangan-rancangan kerja yang disebut rancangan
77
eksperimental. Penelitian seperti ini dapat dilakukan secara fisik-manipulatif, dengan memasukan
suatu variabel fisik ke dalam suatu proses yang sengaja diupayakan, dan dapat pula dilakukan
secara statistik (terhadap kejadian-kejadian yang telah berlangsung scara"alami", ex post facto).

Penelitian-penelitian dengan/tentang objek-objek non-manusia umumnya dapat dikerjakan
secara eksperimental dengan cara memanipulasi secara fisik masuk-tidaknya (untuk
memungkinkan terlihat ada-tidaknya) variabel X, untuk mengamati akan terjadinya atau tidak
akan terjadinya variabel Y. Eksperimen seperti ini sempurnanya dikerjakan dengan membuat dua
kelompok yang serupa ( kalaupun tak mungkin sama sepenuhnya). Yang satu disebut (kelompok
kontrol) akan dikontrol agar tidak kemasukan variabel X, sedangkan yang satunya lagi (disebut
kelompok eksperimental) akan dengan sengaja dimasuki atau dibiarkan agar dimasuki variabel
X, untuk kemudian disimak lewat pengukuran atau assessments apakah variabel Y akan muncul
dalam the after situation of the experimental group itu. Apabila dalam after situation di kelompok
eksperimental itu terbukti "ada X dan Y", sedangkan dalam after situation di kelompok kontrol itu
"tidak ada X dan tidak ada Y" maka menurut logikanya yang induksi ini antara X dan Y ada
hubungan. Dan karena hadirnya Y lebih kemudian dari pada X. Maka boleh disimpulkan lebih
lanjut bahwa X alalah sebab hadirnya Y, yang harus dibilang sebagai akibat.

Sementara itu, penelitian mengenai objek-objek manusia sungguhnya sulit untuk bisa
dikerjakan dengan eksperimen-eksperimen yang manipulatif. Maka, akan ganti operasionalisasi
prinsip-prinsip logika induksi menurut strategi ekperimental, sebagaimana dikatakan di muka,
yang dikerjakan dengan cara memanipulasi kelompok-kelompok. Apa yang bisa dikerjakan dalam
penelitian dengan/tentang manusia dan perilakunya (termasuk perilaku hukum) tidak lain adalah
upaya untuk tetap mengoperasionalisasikan prinsip-prinsip induksi itu, namun menurut strategi
yang kuasi-eksperimental saja, yang tidak berangkat dari before situation ke after situation,
melainkan "bergerak mundur", ex-post facto, dari yang after ke yang before. Umumnya berupa
amatan-amatan saja atas suatu peristiwa yang non-manipulatif, dengan hasil-hasil amatan (data)
yang diorganisasi (secara manipulatif-imajinatif) atas dasar prinsip-prinsip logika yang disebut
cannon di muka.

78

Gambar 1


Ketaatan (Y)
-
Besar Sedang Kecil


berat


Sanksi sedang


Ringan



Gambar 2

100
X *
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
0 100
Y




9
KONSEP DAN TEORI YANG DISEBUT HUKUM
Pendekatan Makro (Struktural) dan
Pendekatan Mikro (Simbolis-Interaksional)





Tentang Konsep

SEPERTI halnya teori yang pada hakikatnya adalah unsur atau the building block suatu teori
(dan pada gilirannya teori adalah the building block suatu cabang ilmu) konsep adalah juga suatu
realitas yang berada di ranah atau tataran idea manusia, hadir sebagai konstruksi yang
menggambarkan dalam wujudnya yang abstrak yang simbolis suatu realitas empiris. Konsep
(berasal dari kata Latin conceptus yang berarti buah gagasan) berhubungan dengan benda atau
gejala, bukan gejala atau benda faktual itu sendiri, melainkan gambaran yang diimajinasikan dan
didefinisikan saja. Demikian juga halnya dengan konsep hukum. Dari konsep dasar mengenai apa
yang disebut hukum ini seluruh bangunan teori hukum dikembangkan, mungkin sebagai doktrin
dan mungkin pula sebagai teori yang grounded on (empirical) data. Tergantung dari konsep yang
ditegaskan apakah hukum itu suatu konsep doktrinal/normatif ataukah konsep yang diangkat
dari realitas nondoktrinal/empiris itulah teori-teori hukum akan dikualifikasikan.

Dalam konsepnya yang paling klasik (dalam pemikiran maupun dalam praktik), hukum per
definisi adalah seperangkat norma moral-sosial. Apa yang disebut hukum itu adalah realitas
yang eksis di alam Sollen dengan posisinya yang a priori di hadapan segala bentuk perilaku
manusia di alam pengalaman. Hukum adalah realitas kodrati, bagian dari keniscayaan alami yang
tertanamkan dengan kekuatannya yang universal di dalam setiap idea dan budi nurani manusia,
tanpa dapat dielakkan oleh manusia itu sendiri. Hukum menurut logikanya yang normatif seperti
ini lalu senantiasa, dan niscaya pula, harus dipandang (ditheasthai alias diteorikan) sebagai
sesuatu realitas kodrati yang internal, sudah tertanam di dalam sanubari yang merupakan bagian
integral eksistensi manusia, dan yang karena itu pula niscaya sudah eksis sebelum perilaku hukum
manusia diwujudkan di alam pengalaman yang nyata. Dalam posisi yang logis-normatif seperti itu
hukum adalah pengarah atau pengontrol atau pula tolok guna menilai benar-salahnya setiap bentuk
perilaku manusia.

Pada era pertumbuhan negara-negara nasional di Eropa Barat, konsep klasik ini mulai
mengalami modifikasi, menuju ke apa yang disebut positivisasi norma. Berseiring dengan
maraknya ideologi liberalisme dan demokrasi yang memuncak pada akhir abad 18, yang
mendudukan rakyat dalam kesamaan derajat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam
penciptaan hukum nasional, hukum lalu mulai tidak lagi dikonsepkan sebagai norma moral yang
hadir di luar kuasa manusia. Alih-alih sebagai sesuatu yang internal dan kodrati, dan yang hanya
dapat dikatalisasi lewat renungan kontemplatif para elite yang filosof, hukum sebagai bagian dari
national order lalu mulai dikonsepkan dan diteorikan sebagai norma yang dibuat atas kuasa
manusia-manusia sendiri, bahkan oleh yang awam sekalipun, lewat kesepakatan-kesepakatan
83
dalam suatu musyawarah perwakilan. Inilah teoritisasi yang dalam pemikiran
kotemplatif-spekulatif J ean J . Rousseau dinamakan Contract Sociale. Hanya hukum yang telah
ditegaskan alias di"iya"kan alias pula dipositifkan via kesepakatan legislatif (yang merupakan
realisasi sosial) yang akan diakui sebagai hukum nasional, yang akan mengikat warga negara
tanpa kecualinya, dalam suatu kesatuan yang insklusif.

Namun demikian, positivisasi seperti itu tidak atau belum mengubah konsep hukum
(sekalipun sudah terbilang positif) sebagai norma. Di sini hukum tetap norms, as it is written in the
codes, dan tidak atau belum sampai ke tatarannya as it is observed in the empirical world.
Dikatakan orang, bahwasanya positivisasi hukum seperti itu baru mentransformasi konsep hukum
dari pengertiannya yang semula metayuridis-normatif (serta substansif karena bersubstansi moral)
ke pengertiannya yang yuridis-normatif (serta formal karena berformalitas lugas dan netral).

Lebih lanjut dari sekadar norma-norma, dalam konsep positivisme yang normatif,
norma-norma sebagai unsur diintegrasikan ke dalam suatu aransemen, konfigurasi, atau tatanan
oleh seperangkat ajaran (leer, Lehre, prudence), yang dikembangkan secara khusus. Berbeda
dengan hukum dalam konsepnya sebagai norma-moral, hukum yang dikonsepkan sebagai hukum
positif mensyaratkan adanya suatu legium ahli-ahli yang profesional untuk merawat dan
mengelolanya, dengan mengembangkan data-data ajaran yang diperlukan agar apa yang disebut
hukum ini dapat difungsikan sebagai suatu sistem. Sistem yang dimaksud adalah suatu sistem
hukum (legal system, taat hukum) yang tunduk pada suatu konsistensi yang logis, dengan
kepastian yang tinggi dengan hubungan antar-norma yang sungguh rasional.

Sekalipun ajaran itu sebenarnya masih boleh dipandang sebagai realitas yang masih berada
di ranah Sollen yang karena itu seluruh ajaran tentang bagaimana norma-norma hukum positif
itu harus ditata dan dikelola secara rasional (berdasarkan logika hukum) disebut rexhtsleer,
Rechtslehre, atau jurisprudence namun dalam bahasa Indonesia seluruh ajaran itu telah terlanjur
dilazimkan dengan menyebutnya sebagai ilmu hukum, berikut doktrin-doktrinnya yang terlanjur
disebut pula teori (seperti misalnya teori von Buri, teori Stuffenbau Kelsen, dan lain
sebagainya). Kalaupun disepakati, dan karena itu tidak perlu diperbantahkan lagi penggunaan
istilah ilmu hukum atau teori hukum seperti itu, para pengkaji ilmu haruslah bersedia
memperoleh klarifikasi terlebih dahulu, bahwasannya ilmu dan teori yang dimaksud di sini
bukanlah ilmu dan teori yang a posteriori, yang kehadiran dan kebenarannya harus didahulukan
oleh kehadiran dan kebenaran sejumlah data yang terlebih dahulu berasal-muasal dari alam
indrawi.

Kalaupun disepakati agar masing-masing tetap disebut ilmu hukum dan teori hukum,
hendaklah jelas terlebih dahulu demi kepentingan wacana akademis, bahwa ilmu hukum
bukanlah legal science melainkan jurisprudence atau rechtsleer, dan bahwa teori hukum
bukanlah the scientific theory of law melainkan legal doctrine. Lain halnya tatkala apa yang
disebut hukum itu tidak lagi cuma dikonseptualisasikan dan didefinisikan secara klasik sebagai
realitas yang hanya bisa eksis di alam moralis atau di alam norma-norma (di alam yang
metafisis/metayuridis atau yang positif sekalipun) saja. Tatkala apa yang disebut hukum ini juga
dikonseptualisasikan dan didefiniskan sebagai suatu realitas empiris, yang bisa tersimak di alam
pengalaman sebagai pola perilaku atau hasil penstrukturannya dalam wujud suatu pranata atau
institusi, maka alih-alih memasuki kajian jurisprudence itu, orang pun akan memasuki ranah
84
kajian the (social) science of law atau yang lebih populer dikenal sebagai the socio-legal study atau
juga legal study. Teori-teorinya pun akan lebih dikenal dan dikategorikan sebagai the social theory
of law.

Kini, tatkala disadari bahwa kehidupan manusia yang menjadi objek kajian keilmuan telah
menjadi kian majemuk, dengan perubahan-perubahan kontekstual yang dengan cepat telah
merelatifkan segala macam ragam teks norma, ternyatalah bahwa social theory yang dibangun
berdasarkan kebenaran empiris menurut prosedur scientific method kian pula memperoleh
perannya yang penting. Kalaupun doktrin/teori hukum masih harus dipandang penting untuk
mengkoherensikan norma-norma hukum positif ke dalam suatu sistem yang logis, implementasi
yang kian mendambakan signifikansinya di tengah-tengah kehidupan yang riil ini telah kian harus
menyadari berlakunya teori-teori sosial mengenai kehidupan hukum ini. Seorang yuris positivis
sekalipun, seperti misalnya Holmes yang kemudian mengidentifikasi dirinya sebagai seorang
realis terpaksa harus mengatakan bahwa sekalipun hukum itu bekerja atas dasar logikanya
sendiri, namun the life of law has not been logic; it is experience. Adapun yang dimaksud
experience di sini sudahlah pasti tak mungkin lain daripada the social experience, Yaitu
pengalaman yang hanya bisa dikaji dengan bersaranakan the social science method untuk
menghasilkan social theories of law.

Di sini kajian-kajian hukum yang mengkonsepkan dan menteorikan hukum sebagai fakta
sosial yang positif dan empiris, dan tidak cuma sebagai norma hukum nasional yang formal dan
positifis, akan tidak lagi dibilangkan ke dalam kajian-kajian yang berkategori jurisprudence (ilmu
hukum). Akan gantinya, kajian-kajian tentang hukum sebagai fakta sosial yang empiris seperti itu
akan dimasukkan ke dalam bilangan ilmu pengetahuan sosial tentang hukum (social science on
law), semisal sosiologi hukum, antropologi hukum, politik(ologi) hukum dan/atau psikolog
hukum. Kajian-kajian ilmu pengetahuan (yang di dalam bahasa Inggris disebut science, yang di
Malaysia dan yang kini di Indonesia mulai juga dipopulerkan dengan istilah sains) tentu saja akan
lebih berkonsentrasi pada liku-liku pendayagunaan teori sebagai sarana analisis untuk berakhir
pada simpulan induktif yang menyatakan ada tidaknya suatu peristiwa atau pola perbuatan hukum,
berapa banyak dan/atau berapa sering berkorelasi-tidaknya perbuatan hukum itu dengan variabel
sosial yang lain, apa saja. Kajian-kajian seperti ini tentu saja tidaklah akan mendayagunakan
norma-norma hukum (sepositif dan seformal apa pun statusnya) berikut doktrin-doktrinnya (yang
setinggi apa pun nilainya sebagai substansi yang terawat di sumber-sumber hukum yang materiil)
untuk menyimpulkan suatu keputusan mengadili (judgement) mengenai benar-salahnya suatu
perbuatan.




Tentang Teori

Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti perenungan, yang pada
gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang berarti cara atau hasil pandang
adalah suatu konstruksi di dalam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk
menggambarkan secara refleksi fenomena yang dijumpai di alam pengalaman. Dari kata dasar
thea ini pulalah datang kata modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonan.
85
Didefinisikan dalam rumusan yang demikian, berbicara tentang teori tak pelak lagi orang
niscaya akan diperjumpakan dengan dua macam realitas. Yang pertama adalah realitas in
abstracto yang ada di dalam idea yang imajinatif, dan yang kedua adalah padanannya yang berupa
realitas in concreto yang berada di alam pengalaman yang indrawi.

Ada dua paham yang berdebat di sini, mengenai mana dari kedua realitas tersebut yang
harus diperlakukan sebagai kebenaran pertama, dan mana pula yang harus dipahamkan cuma
sebagai derivat-nya saja. Apakah konstruksi di alam idea manusia itu yang harus dipandang
sebagai kebenaran pertama, yang orisinal dan mutlak sifatnya, sedangkan realitas di alam
pengalaman itu hanya refleksinya yang virtual alias maya saja? Ataukah sebaliknya, bahwasannya
kebenaran sejati itu bermukim di dalam yang indrawi, sedangkan konstruksi yang disebut teori
di alam idea manusia itu harus dimengerti sebagai refleksinya saja, sebagaimana dibangun
berdasarkan hasil-hasil amatan indrawi. Debat antara dua paham seperti itu berlangsung sepanjang
sejarah pemikiran manusia, seperti tidak akan berkesudahan mengenai apa yang eksis sebagai
realitas yang memprasyarati terlebih dahulu, alam ideal ataukah alam indrawi. Debat seperti ini
adalah bagaikan debat yang tak pula berkesudahan mengenai persoalan mana yang ada terlebih
dahulu: ayam ataukah telur.

Debat seperti itu nyata tidak cuma berkenaan dengan persoalan ontologis saja, tatkala orang
bersoal-jawab tentang ihwal hakikat kebenaran yang asli (orisinal) dan sejati dan yang dikatakan
pula bersifat mutlak itu. Debat demikian juga berkenaan dengan persoalan metodologi, yakni
persoalan mengenai asal-muasal kebenaran itu dan kemudian juga mengenai cara apa yang harus
ditempuh guna menemukan, atau menemukan kembali, kebenaran yang dikatakan orisinal dan
sejati itu. Karena debat seperti ini tidak akan ada keputusannya, dan hanya akan berkepanjangan
tanpa ada ujung-pangkalnya, maka yang dapat dilakukan agar debat bisa berkeputusan adalah:
terserahlah pada pilihan masing-masing. Hasil pilihan yang tak perlu diperdebatkan lagi
kebenarannya ini disebut paradigma.

Paham berparadigma yang pertama yang bersikukuh pada proposisi bahwa alam idea
itulah sumber segala kebenaran, dan karena itu disebut paham idealisme mengatakan bahwa
"teori" yang eksis sebagai kontruksi di dalam cita manusia itu adalah kebenaran yang tak berasal
dari mana-mana, dan hanya dapat "ditangkap" melalui proses kontemplasi. Kebenaran ini adalah
kebenaran kodrati, inheren alias melekat secara kodrati pada sosok makhluk manusia yang tidak
hanya berjasmani akan tetapi secara kodrati juga beridea. Kapasitas indrawi manusia yang
memungkinkan manusia menyimak alam pengalaman hanyalah berfungsi mengkatalisasi atau
membangkitkan saja ingatan manusia akan segala kebenaran yang sebenarnya sudah eksis dalam
alam ide dan sanubarinya itu. Sudah sejak zaman Yunani Kuno (di tangan para pemikir seperti
Plato) dan zaman abad pertengahannya kaum skolastika (seperti yang dikembangkan antara lain
oleh Thomas Aquino), yang berlanjut ke zaman yang lebih mutakhir (seperti yang dikemukana
antara lain oleh Hegel), paham ontologis tentang asal kebenaran akhir ini, ada dan bertahan.

Sementara itu, paham berparadigma yang kedua secara berlawanan mengawali seluruh
proses pemikirannya dari suatu preposisi bahwa alam pengalaman itulah yang harus dipandang
sebagai sumber segala kebenaran yang akhir dan sejati. Paham ontologi mengenai the ultimate
truth tersebut kedua ini yang dalam sejarah pemikiran modern disebut paham positivisme
(dengan eksponennya August Comte di Prancis) atau empirisme (dengan eksponennya David
86
Hume di Skotlandia) ini mengatakan bahwa teori yang benar itu hanya mungkin dibangun
secara konstruktif jika orang bersedia menangkap terlebih dahulu realitas indrawi, dengan
hasil-hasilnya (disebut data) yang akan dipakai sebagai dasar pembenaran. Teori yang
dikonstruksi menurut kotemplasi dan imajinasi semata, belumlah boleh dianggap teori yang
penuh, melainkan masih "setengah jadi". Itu bukanlah tesis, melainkan baru hipotesis saja.
Pada zaman Yunani kuno, filosof seperti Democritus dan muridnya Epicurus haruslah dibilangkan
sebagai perintis pemikiran yang cenderung materialistis dan positivistis, serta mendudukkan diri
dalam posisi yang berseberangan terhadap segala pemikiran yang terlalu bersifat metafisik. Di
zaman yang lebih mutakhir kini, pemikiran ontologi seperti ini amat diwakili oleh pemikiran kaum
Marxian dan neo-Marxian.

Dalam kerangka pemikiran kaum penganut paham idealisme, karena teori itu tidak
hanya bersifat orisinal akan tetapi juga mutlak, maka teori yang terbilang a priori (alias berada di
alam keharusan/Sollen, mendahulukan fakta-fakta empirisnya) seperti itu, acapkali disebut saja
doktrin (yang imperatif) atau sekurang-kurangnya ajaran yang normatif. Sementara itu, dalam
kerangka pemikiran mereka yang menganut paham positvisme, teori itu harus dipandang sebagai
sesuatu yang terwujud dalam hakikatnya yang a posteriori. Maka, sekalipun berada di alam sang
Sollen, keniscayaan berlakunya teori seperti itu masih akan amat ditentukan pada saat yang lebih
kemudian oleh adanya simpulan dari hasil kajian tentang ada-tidaknya keniscayaan realitas di
alam indrawi/sein yang menjadi tumpuan/dan/atau rujukan teori yang dikonstruksi di alam Sollen.

Teori-teori a priori yang berkategori imperatif atau normatif yang oleh sebab itu juga
disebut doktrin atau ajaran (leer, lehre, prudence) adalah suatu statemen mengenai kebenaran
yang kebenarannya dikatakan telah jelas dalam realitas kehadirannya sendiri. Ini adalah teori-teori
yang kebenarannya "sudah benar dengan sendirinya", yang di dalam bahasa asingnya dikatakan
sudah self-evident. Sudah jelas dan benar dengan sendirinya! Ini adalah kebenaran yang diklaim
sudah jelas, yang karena sudah demikian jelas maka kejelasannya tidak lagi memerlukan
penjelasan atau pembuktian lain lagi. Bagaikan menyaksikan lilin yang sudah menyala terang,
perlukah orang bersusah payah untuk menyalakan lilin lagi untuk melihat sesuatu yang sudah
terang seperti itu?

Sementar itu, berbeda dengan teori-teori a priori seperti yang telah yang dipaparkan di
muka, teori-teori a posteriori berkategori positif atau empiris. Istilah positif berasal
pertama-tama dari pemikir-pemikir Prancis, seperti Saint Simon atau August Comte, sedangkan
istilah empiris berasal-musal dari pemikir-pemikir Skotlandia, seperti misalnya David Hume.
Sekalipun berbeda dalam pemilihan istilah, namun keduanya sesungguhnya mempunyai kesamaan
dalam hal pemahaman mereka mengenai hakikat kebenaran dan mengenai sumber kebenaran.
Keduanya sama-sama berposisi bahwa teori adalah kebenaran menurut kenyataan empirisnya
(truth) dan karena itu yang harus dicari tidak akan lain daripada pengetahuan yang objektif, yang
kebenarannya akan dibuktikan berdasarkan tolok "betul atau keliru (true or untrue/false)". Tidak
seperti apa yang dipahamkan dalam lingkungan kaum idealis, kaum positivis yang juga disebut
kaum empiris ini tidak akan menolak pengetahuan atas dasar tolok subjektivas, yaitu tolok yang
harus dianut mengenai ihwal "benar atau salahnya (right or wrong)" suatu keputusan akal atau
suatu simpulan (yang ditarik pada ujung akhir proses pemikiran).

87
Dari perbincangan tentang adanya dua tipe teori yang dibedakan secara dikotomis,
sebagaimana dipaparkan dimuka itu, dapatlah sekarang dibicarkan soal "terbilang ke dalam jenis
teori manakah teori-teori hukum itu"? Apakah terbilang ke dalam teori-teori yang normatif,
imperatif dengan sifatnya yang a priori (mendaului kenyatanya), ataukah masuk ke dalam
bilangan teori-teori yang positif alias empiris dengan sifatnya yang a posteriori (terkonstruksi
setelah menyimak kenyataan)? J awaban atas pertanyaan ini sebenarnya tergantung dari jawaban
yang harus sudah dapat diberikan terlebih dahulu mengenai "konsep apakah yang harus dikenali
dan didefenisikan sebagai hukum. Penegasan konsep inilah yang akan menjawab apakah
teori-teori hukum itu sebenarnya terbilang doktrin-doktrin, ataukah teori-teori tersebut sebenar
terbilang ke dalam kategori teori-teori yang bertumpu pada kebenaran empiris. Yakni kebenaran
yang tesimak secara indrawi dari pengalaman kehidupan manusia yang riil di dalam masyarakat
(entah masyarakat yang lokal dan tradisional, entah masyarakat yang berskala nasional dan
berformat negara).


Pendekatan Makro (Struktural)

Di dalam kehidupan yang mulai banyak mengalami perubahan-perubahan transformatif yang amat
cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak berfungsi efektif untuk menata kehidupan.
Dikesankan bahwa hukum bahkan selalu tertinggal di belakang segala perubahan dan
perkembangan. Tanpa ayal lagi, berbagai cabang ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi yang
akhir-akhir ini mulai banyak mengkaji dan meneliti ihwal perubahan-perubahan sosial
dipanggil untuk ikut menyelesaikan berbagai permasalahan sosial yang amat relevan dengan
permasalahan hukum, yang terjadi sebagai akibat perubahan-perubahan sosial yang berlangsung
dengan amat cepatnya. Menghadapi perubahan-perubahan sosial yang berlangsung amat pesat,
dengan konteks-konteks sosial-kultural yang menjadi kian majemuk dan heterogen, ajaran hukum
positif yang cuma berkutat pada persoalan law as it is written in the book dengan doktrin kepastian
hukumnya berikut metode logikanya yang formal deduktif serta merta menjadi kurang dapat
memenuhi harapan.

Dalam lingkungan sistem hukum kontinental yang terbilang civil law system, cabaran
terhadap ajaran hukum positif yang terlalu menekankan kepastian hukum datang pertama-tama
dari Friedrich Karl von Savigny, dan hampir bersamaan dengan itu juga dari Eugen Ehrlich. Kedua
kritisi ini sama-sama mereaksi berlakunya hukum yang dibuat dan diberlakukan secara universal
dari atas, tanpa mengindahkan kenyataan-kenyataan sosial-kultural yang ada dan hidup di tengah
masyarakat. Von Savigny dari J erman, yang kemudian dikenal sebagai perintis mashab sejarah,
berprinsip bahwa hukum itu harus berbasis pada adat kebiasaan sesuatu bangsa, karena hanya
berdasarkan kenyataan yang sajalah hukum itu akan tercipta bersamaan dengan perkembangan
sejarah sesuatu bangsa. Dikatakan olehnya dengan ucapan yang terkenal bahwa Recht ist nicht
gemacht; es is und wird mit dem Volke. Sementara itu, Ehrlich dari Austria, yang kemudian
terkenal dengan ajaran das lebende Recht-nya, menyatakan tegas-tegas bahwa esensi kultural yang
berfungsi sebagai kekuatan pengembang hukum yang benar-benar hidup haruslah dicari tidak di
dalam sistem yudisial yang dibangun oleh pemerintah, melainkan di dalam kehidupan masyarakat
sehari-harinya.

88
Sementara itu, di dalam sistem common law (sebagaimana dipraktikkan di Amerika
Serikat) datang juga cabaran terhadap positivisasi hukum yang telah berakibat terlalu jauh.
Positivisasi hukum yang didoktrinkan untuk lebih mendahulukan tercapainya kepastian hukum
daripada kemanfaatannya telah acap didakwa sebagai penyebab timbulnya karakter hukum yang
amat berkesan koersif dan represif, dan kurang responsif pada tuntutan zaman. Cabaran datang
sejak awalnya dari seorang hakim senior, Oliver Wendell Holmes namanya. Holmes mengatakan
bahwa hukum itu kalaupun memang berproses sebagai logika, namun dalam kehidupannya yang
nyata, hukum itu bukanlah lagi sebuah silogisme logika. Dalam kehidupan yang nyata, hukum
adalah suatu kenyataan yang hanya bisa dijumpai dalam pengalaman manusia sehari-hari. Pada
hakikatnya, demikian kata Holmes, hukum itu bukanlah suatu kepastian atau keniscayaan logika
deduksi, melainkan suatu kemungkinan yang wujud akhirnya mestilah harus diprakirakan terlebih
dahulu berdasarkan penduga-dugaan yang cerdas serta pengalaman yang realistis mengenai apa
kira-kira yang nanti akan diputuskan hakim.

Maka sudah sejak belahan kedua abad 19 doktrin kepastian hukum kaum positivis, yang
sebenarnya baru mulai marak pada awal abad, telah mulai terkoreksi oleh lahirnya doktrin-doktrin
baru dalam ajaran hukum yang hendak lebih berorientasi ke kebenaran konteks sosial daripada
kebenaran teks-teks yang normatif-positivistis. Aliran paham kesejarahan von Savigny
menawarkan kebenaran-kebenaran historis, sedangkan Ehrlich dengan living law-nya
menawarkan kebenaran sosial untuk dipertimbangkan dalam setiap upaya membangun hukum
perundang-undangan baru. Sementara itu, paham legal realism Holmes yang dikembangkan
oleh Roscoe Pound pada tahun 1930-an di Universitas Harvard menjadi sociological atau
functional jurisprudence yang menyarankan kesediaan hakim dalam setiap pembuatan
keputusan (the judge-made law menurut doktrin sistemcommon law) untuk memperhatikan
realitas-realitas sosial yang telah berkembang dan berubah. Hanya dengan kearifan yang demikian
itu sajalah setiap keputusan yang dibuat hakim akan dapat memutakhirkan keputusan-keputusan
ataupun produk-produk perundang-undangan yang terdahulu, dan dengan demikian hukum akan
dapat berfungsi secara sosiologis, sebagai tool of social engineering.

Tak terelakan, paham-paham baru dalam ajaran hukum mulai mengajak para sarjana dan
praktisi hukum untuk ikut menengok kajian-kajian dan hasil-hasil kajian nonyuridis yang
nomologis sifatnya. Hasil-hasil kajian itu diperlukan untuk memperbaharui dan memutakhirkan
norma-norma hukum positif yang ada, entah lewat pembentukan undang-undang baru entah lewat
interpretasi-interpretasi baru yang teleogis atas produk-produk perundang-undangan, yang masih
dinyatakan berlaku. Semua usaha itu dimaksudkan agar setiap produk hukum itu dapat dinyatakan
bermakna secara sosial, dalam arti bahwa pada akhirnya produk-produk normatif itu benar-benar
terwujud dalam kenyataan sebagai pola-pola perilaku sosial yang riil. Efek pemanfaatan
kajian-kajian sosial yang non-atau ekstra-yuridis untuk kepentingan legislasi maupun untuk
kepentingan pembuatan keputusan-keputusan hukum apabila memang benar-benar
dikembangkan dan dimanfaatkan akan mengubah citra hukum negara (yang juga disebut hukum
nasional itu), dari citranya yang serba represif ke citranya yang baru sebagai hukum yang
responsif.

Dikembangkan dan dimanfaatkan untuk menganalisis dan menemukan, serta memberikan
jawaban tentang masalah keefektifan bekerjanya seluruh struktur institusional hukum di dalam
masyarakat, maka kajian-kajian sosial tentang hukum yang semula dikucilkan dari kurikula
89
pendidikan hukum, mulai memperoleh tempat di dalam kurikula tersebut. Apa yang di dalam
bahasa Indonesia sebagai ilmu hukum kini mulai bisa dipertanyakan apakah masih bisa dibatasi
hanya sebagai apa yang di dalam bahasa Inggris dikenal sebagai jurisprudence; yaitu ajaran
tentang pendayagunaan hukum secara arif (apa pun juga aliran pahamnya), untuk meneyelesaikan
perkara-perkara hukum secara profesional di dalam atau lewat proses-proses peradilan. Ataukah
ilmu hukum itu kini harus didefinisikan dalam batasannya yang lebih luas meliputi kajian apa
pun sosiologi, antropologi, psikologi, kriminologi, filsafat yang karena itu tidak cuma terbatas
sebagai jurisprudence yang mempelajari hukum as it is positively written in the book, melainkan
juga sudah meliputi apa yang disebut (socio-) legal studies yang akan juga mengkaji hukum as it is
in society.

Dalam kajian-kajian hukum as it is observed as living institution in society, tak terelakan
lagi hukum pun lalu dikonsepkan secara sosiologis sebagai suatu gejala empiris yang akan dapat
diamati di dalam kehidupan. Hukum tidak lagi dikonsepkan secara filosofis-moral sebagai norma
ius constituendum atau law as what ought to be, dan tidak pula secara positivistis sebagai norma
ius constitutum atau law as what it is in the books, melainkan secara empiris sebagai law as what it
is (functioning) in society. Dikonsepkan sebagai gejala empiris yang teramati di dalam
pengalaman, hukum jelas tidak lagi diamankan sebagai norma-norma yang eksis secara eksklusif
di dalam suatu sistem legitimasi yang formal. Dari segi substansinya, kini hukum terlihat sebagai
suatu kekuatan sosial yang nyata di dalam masyarakat dan empiris wujudnya, yang bekerja
dengan hasil yang mungkin saja efektif akan tetapi mungkin pula tidak untuk memola
perilaku-perilaku aktual warga masyarakat. Sementara itu, dari segi strukturnya, hukum kini
terlebih sebagai suatu institusi peradilan yang kerjanya mentransformasi masukan-masukan
(tegasnya keputusan-keputusan in concreto), yang dengan cara demikian mencoba mempengaruhi
dan mengarahkan bentuk serta proses interaksi sosial yang berlangsung di dalam masyarakat
(tentu saja dengan memperhitungkan pengaruh faktor-faktor lain non-hukum yang sekaligus juga
non-noramtif, yang juga bekerja di dalam masyarakat).

Karena dikonsepkan sebagai gejala yang berada, bergerak atau beroperasi di dunia yang
empiris, hukum baik sebagai substansi kekuatan sosial maupun sebagai struktur institusi
pembuat keputusan in concreto yang berkekuasaan dari perspektif ini kini hukum akan
menampakkan diri sebagai realitas sosial yang kasat mata, yang tentunya akan bisa dikategorikan
berdasarkan keajegan-keajegan (regularities, nomos) atau keseragaman-keseragaman
(uniformities) peristiwanya. Dengan demikian, menurut konsepnya, hukum akan dapat diamati.
Maka, kalau memang demikian, hukum yang dikonsepkan secara sosiologis akan dapat dijadikan
objek penelitian yang dikerjakan secara seintifis, non-doktrinal, dan tidak akan lagi dijadikan
sekadar objek penggarapan-penggarapan untuk menyusun sistem normatif yang koheren belaka
(atas dasar prosedur logika yang deduktif semata-mata, dengan premis-premis yang diperoleh dari
bahan-bahannya (yang primer ataupun yang sekunder) atau dari sumber sumbernya di ranah
normatif (baik yang formil maupun yang materiil). Pengalihan (atau tepatnya: penambahan!)
konsep hukum dari konsep positivistis ke konsep empiris sosiologi tak pelak akan membawa
konsekuensi metodologis yang cukup jauh juga, yaitu digunakannya metode saintifis untuk
pengkajian dan penelitian.

Adapun ciri metode yang saintifis ini tampak jelas pertama-tama pada peran logika induksi
yang amat mengedepan untuk menemukan asas-asas umum (generalities atau empirical
90
uniformities) dan teori-teori (baik yang miniatur atau yang middle range maupun yang grand)
melalui silogisme-silogisme. Dalam silogisme induksi ini, premisa-premisa (kecuali tentu saja
konklusinya) selalu berupa hasil pengamatan yang diverifikasi. Di sinilah letak bedanya dengan
model penelitian doktrinal yang dikerjakan oleh para filosof-moralis ataupun teoritisi positivis
untuk menemukan asas-asas umum hukum positif. Penelitian-penelitian doktrinal selalu bertolak
secara deduktif dari norma-norma yang kebenarannya bernilai formal, dan tidak seperti dalam
penelitian-penelitian nondoktrinal tatkala mendeduksikan simpulan hipotetis berasal dari hasil
pengamatan yang kebenaran materialnya selalu dipersoalkan dan karenanya selalu dicek. Kedua,
karena menggunakan silogisme induksi dan memperoleh simpulan-simpulan dari suatu proses
induksi, simpulan-simpulan yang diperoleh sebagai conclusio di dan dari dalam silogisme induksi,
dalam penelitian-penelitian nondoktrinal itu selalulah berupa diskripsi atau eksplanasi tentang
ada-tidaknya hubungan (entah kausal atau entah korelatif) antara berbagai variabel sosial yang
relevan dengan soal kehidupan.

Ilustrasi berikut ini dapatlah dikemukakan untuk menggambarkan perbedaan ancangan
antara metode doktrinal yang normatif-normologis pada silogisme deduktif dengan metode
nondoktrinal yang empirisme-nomologis, pada silogisme yang induktif. Namun, dengan metode
yang nomologis-induktif, orang akan menemukan simpulan hubungan kausal antara kecepatan
proses peradilan itu dengan gejala-gejala lain di dalam masyarakat, yang mungkin sekali lain
dengan apa yang telah disimpulkan lewat proses deduksi. Sebagai contoh: apabila di dalam amatan
besar (atau kecil)nya jumlah harta warisan yang dipersengketakan di muka pengadilan selalu
berseiring atau selalu diikuti oleh fakta cepat (atau lambat)nya penyelesaian perkara warisan itu),
maka dengan mengamati frekuensi keseiringan itu diberbagai situasi dapatlah disimpulkan bahwa
ada bubungan antara jumlah harta warisan yang dipertaruhkan dengan kecepatan pengadilan
menyelesaikan perkara itu. Dikatakan bahwa makin besar jumlah harta warisan yang
dipertaruhkan akan makin segera pula persidangan menyudahi perkara dan sebaliknya, makin
kecil jumlah harta warisan yang dipertaruhkan akan makin lamban pula persidangan mengakhiri
perkara itu.

Hasil penelitian yang nondoktrinal ini jelas kalau bukan berupa imperativa (yang tentu saja
bersifat formal pula) Penelitian-penelitian nondoktrinal yang sosial dan empirisme atas hukum
akan menghasilkan teori-teori tentang eksistensi dan fungsi hukum dalam masyarakat, berikut
perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses-proses perubahan sosial. Teori-teori ini
dikembangkan dari hasil-hasil penelitian yang beruang lingkup luas, makro, dan umumnya juga
amat kuantitatif untuk mengelola data yang amat massal, terorganisasi dalam suatu gugus yang
disebut the social theories of law. Seluruh hasil kajian disistematisasikan ke dalam suatu cabang
kajian khusus yang terkategorikan tidak hanya sebagai cabang kajian ilmu-ilmu sosial akan tetapi
juga tengah diperjuangkan agar boleh juga diakui sebagai bagian dari kajian ilmu hukum (dalam
arti dan batasannya yang luas dan luwes), yang disebut dengan nama socio legal studies (atau yang
pada dan sejak tahun 1970-an dahulu disebut juga kajian law in society) Penelitian-penelitian
empirisme cabang kajian ini pun lazim disebut socio-legal research, yang pada hakikatnya
seperti telah juga disebutkan berulangkali di muka merupakan bagian dari penelitian sosial.


Pendekatan Mikro

91
Dalam kajian-kajian ilmu hukum, penganut paham positivisme yang mengkonsepkan law in book
sebagai model normologis kehidupan yang riil, demi terwujudnya tertib sosial hukum harus ditaati
penuh, entah dengan cara mengedepankan sanksi-sanksi koersifnya, entah pula dengan cara
menggugah kesadaran warga untuk bersikap patuh secara sukarela. Dalam kajian hukum yang
sociological jurisprudence maupun yang sosiologis-nondoktrinal, konsep mengenai fungsi hukum
yang demikian itu terasa tetap dominan juga. Tak ayal lagi, oleh sebab itu, paham sosiologis
tentang hukum yang demikian itu baik yang berpaham bahwa law is a tool of social engineering,
maupun yang berpaham bahwa law is governments social control dalam perkembangan
teori-teori sosial tentang hukum lalu digolongkan ke dalam kelompok paham kaum strukturalis
yang berwawasan teknokratis. Menurut konsep kaum ini, hukum sebagai alat dan sarana untuk
merekayasa tertib kehidupan dalam masyarakat adalah hukum perundang-undangan yang telah
dibuat secara baik dan layak, sebagai refleksi kebijakan proaktif yang lahir dari pemikiran para
pakar dan pemuka yang tentunya tak akan (banyak) mengandung cacat cela. Dalam hubungan ini,
kewajiban rakyat awam tidak lain kecuali menerima dan menaati hukum undang-undang yang
telah dibuat dan diundangkan secara benar itu.

Akhir-akhir ini, berseiring dengan perkembangan teori-teori sosial yang melebihkan
makna aksi-aksi individual dan interaksi-interaksi antara individu (daripada melebih-lebihkan
makna struktur kekuasaan) sebagai determinan utama eksistensi kehidupan bermasyarakat,
berkembang pula teori-teori sosiologi hukum yang berparadigma baru, dengan konsekuensi
metodologisnya yang karena hendak lebih mengkaji aksi-aksi individu dengan makna-makna
simbolis yang direfleksikannya akan lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif. Kelompok
teoritisi yang terbilang ke dalam aliran paham aksi dan interaksionisme ini berpendapat bahwa
realitas kehidupan yang sesungguhnya itu tidaklah eksis dalam alam empiris yang juga alam
amatan itu, dan menampak dalam wujud perilaku yang terpola dan terstruktur secara objektif
(apalagi normatif) dan karenanya bisa diukur-ukur untuk menghasilkan data-data yang kuantitatif.
Menurut kaum interaksionis ini, realitas kehidupan itu sesungguhnya hanya eksis dalam alam
makna yang menampak dalam bentuk simbol-simbol yang hanya bisa dimengerti sesudah ditafsir.
Maka realitas yang demikian itu tidaklah dapat dengan mudah (begitu saja!) "ditangkap" lewat
pengamatan dan pengukuran dari luar. Alih-alih begitu realitas-realitas itu hanya mungkin
"ditangkap" lewat pengalaman dan penghayatan-penghayatan internal yang membuahkan
gambaran kemafhuman yang lengkap (verstehen).

Karena realitas adalah bagian dari alam makna/simbolis yang hanya dapat dipahami lewat
pengalaman internal para subjek pelaku, maka menurut para interaksionisme ini apa yang akan
terpersepsi dan terindentifikasi sebagai masalah tidaklah akan lain daripada apa yang dijumpai
oleh para subjek pelaku lewat partisipasi, pengalaman dan penghayatan mereka dalam kehidupan
yang dijalani. Maka, masalah yang akan terlihat oleh subjek-subjek pengamat (bukan pelaku) yang
non-partisipan, betapapun tinggi keahliannya, dan betapapun besar kewenangannya di dalam hal
pengendalian sistem, hasil yang mereka peroleh lewat pengamatan itu tidak akan (selalu) sama
dengan apa yang terpersepsi dan terindentifikasi oleh subjek-subjek pelaku yang berpartisipasi
dalam aksi-aksi dan interaksi-interaksi setempat. Dalam konsep yang nonempirical, kaum
interaksionis mengklaim bahwa masalah yang sebenarnya merupakan masalah, tidaklah akan
mungkin didefinisikan oleh para pengamat dan penganalisis, melainkan hanya akan mungkin
dipaparkan dan dijabarkan oleh mereka yang mengalami dan menjalaninya dalam kehidupan.

92
Maka kalau seseorang peneliti ingin mengidentifikasi sebuah masalah yang relevan dalam
kehidupan untuk kemudian menelitinya, maka yang harus ia lakukan adalah "masuk" dan
berpartisipasi di dalam kehidupan yang akan dikajinya itu, guna menemukan masalah "dari dalam"
lewat pengalaman dan penghayatannya dalam kehidupan setempat. Atau, kalau tak ingin
menempuh proses panjang berlama-lama lewat partisipasi seperti itu, dapatlah ia menanyai secara
intensif dan in depth para warga yang menjadi partisipan budaya dan kehidupan sosial dan
kehidupan hukum setempat, dengan sikap-sikap yang empatik. Inilah strategi untuk pertama-tama
mengupayakan how to get in and how to get along, untuk pada saat nanti to get out. Hanya dengan
cara demikian para peneliti "yang bersedia bergerak dari sebelah dalam " dan akan dapat lebih
mengajuk secara dalam ke dalam alam simbolis para subjek warga masyaraka, yang akan dan
tengah dikaji, berikut alam simbolis yang "tersimpan" di sanubari mereka itu.

Perbedaan dan silang selisih konseptual antara kedua paham yang berbeda paradigma teori
sebagai diutarakan di atas dapatlah diilustrasikan dengan jelas dalam persoalan berikut ini. Dalam
kasus-kasus hukum berkaitan dengan pencabutan hak atas tanah penduduk di kota-kota yang
dilaksanakan dalam rangka upaya peningkatan fungsi kota dalam tatanan ekonomi nasional, para
pejabat yang duduk di kursi pemerintahan umumnya melihat setiap masalah hak penguasaan atas
tanah dari sudut hukum positif dan hak-hak yuridis (yang terealisasi ipso jure). Sementara itu,
orang-orang awam kebanyakan melihatnya dari sudut tradisi bahwa hak menguasai tanah
ditentukan oleh ketekunan dan jerih orang (ipso facto) menggarap dan/atau merawat tanahnya itu.
Bagi mereka itu, tanah bukanlah gundukkan materi pasir atau batu, melainkan simbol-simbol yang
harus dimaknakan sebagai hasil jerih-payah orang-tua atau moyang yang diturunkan demi
kesejahteraan anak-cucu. Atau mungkin pula bagi sebagian orang tanah itu dimaknakan sebagai
uang, dan tanah adalah simbol kekayaan sosial yang disebut status. Dalam kasus seperti ini, mana
sebenarnya yang harus dikonsepkan sebagai realitas untuk ditelaah dengan metoda tertentu yang
dinilai lebih tepat (yang objektif-kuantitatif ataukah yang objectified dan kualitatif), akan menjadi
polemik yang ramai.

Perbedaan metodologi yang tak dapat dielakkan sehubungan dengan perbedaan
paradigmatis dalam hal mengkonsepkan masalahnya, sebagaimana dipaparkan berulangkali di
muka kini telah banyak disadari orang. Orang pun menyadari pula bahwa sebubungan dengan
kenyataan itu dua metode yang pada prinsipnya memiliki asumsi, strategi dan prosedur yang
berbeda haruslah dikembangkan secara tersendiri; yaitu metode kuantitatif yang theory testing
untuk meneliti dan memecahkan masalah-masalah yang dikonsepkan pada tingkat analisis yang
mikro sebagai realitas empiris, dan metode kualitatif yang theory building untuk meneliti dan
memecahkan masalah-masalah yang dikonsepkan pada tingkat analisis mikro sebagai realitas
simbolis. Metode kuantitatif adalah metode yang klasik dan konvensional, dikenal orang sejak
masa yang awal, yakni semasa orang menganalogikan sistem kehidupan manusia ke sistem
kehidupan nonmanusia yang alami atau kodrati, baik yang hayati maupun yang nonhayati
(anorganik). Metode ini semula memang terbukti efektif untuk meneliti fenomena alam yang tak
memiliki kehendak bebas di dalam berbagai cabang ilmu alam kodrat dan ilmu hayat. Penerapan
metode ini tanpa reserve untuk juga memahami liku-liku dan permasalahan kehidupan manusia,
yang pada mulanya juga disambut dengan baik dan dipandang efektif juga, namun di bawah
kondisi bahwa manusia-manusia boleh diasumsikan sebagai oknum-oknum yang tak akan
mengembangkan kemauan pribadi yang berkebebasan untuk melawan kodrat dan sistem
kehidupannya.
93

Metode kuantitatif yang klasik itu bukannya tak mampu mengungkapkan pola-pola yang
berkepanggahan tinggi dalam tatanan perilaku dan kehidupan manusia juga perilaku dan
kehidupan hukumnya di tengah masyarakatnya, dan kemudian daripada itu juga melahirkan
asas-asas, dalil-dalil, atau teori-teori. Akan tetapi, ketika studi-studi tentang masyarakat manusia
hendak pula mengungkapkan pula aspek-aspek nilai, ide, makna, kepercayaan dan keyakinan (dan
hukum itu sesungguhnya tak cuma berupa realitas struktural begitu itu, melainkan juga nilai, ide,
makna dan keyakinan yang individualized), dan apa pun yang tersembunyi di dalam benak dan
relung-relung perasaan para warga yang menjadi partisipasi-partisipasi budaya dan subjek-subjek
hukum di dalam masyarakat, dan pula ketika studi-studi sosial kian banyak yang bersifat lintas
kultural atau lintas-etnis, metode kuantitatif yang klasik itu terbukti tidak lagi dapat banyak
membantu. Untuk mengkompensasikannya orang pun serta merta mulai mencoba
mengembangkan metode-metode penelitian yang baru, yakni metode penelitian yang kini dikenal
dengan nama metode penelitian kualitatif.

Berbeda dengan metode kuantitatif yang telah bergerak maju lebih awal, metode penelitian
kualitatif ini umumnya merupakan inovasi baru dari tahun 1970-an, dan belum begitu banyak
dipelajari dan dikenal orang. Membedakan diri dari metode kuantitatif yang efektif untuk
mereduksi gejala kehidupan manusia ke dalam angka-angka untuk kemudian digarap dalam
analisis-analisis statistik, metode kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan manusia
dalam kasus-kasus terbatas, kasuistis sifatnya, namun mendalam (in depth) dan total/menyeluruh
(holistik), dalam arti tak mengenal pemilahan gejala secara konseptual ke dalam aspek-aspeknya
yang eksklusif, yang kita kenali dengan sebutan variabel. Dalam hubungan ini, metode kualitatif
juga dikembangkan untuk mengungkap gejala-gejala kehidupan masyarakat seperti apa yang
terpersepsi oleh warga-warga masyarakat itu sendiri dan dari kondisi mereka sendiri yang tak
diintervensi oleh pengamat penelitinya (naturalistis). Metode kualitatif ini tak sekali-kali
menganjurkan dikembangkannya perspektif konseptual dari sudut amatan para pakar penelitian,
atau juga dari sudut penglihatan/kepentingan para elite pengendali struktur, yang dikhawatirkan
sekali akan selalu mengandung bias teoretis dan mungkin juga asumsi-asumsi pemecahan masalah
secara a priori.


Penutup

Karena memiliki kegunaan sendiri-sendiri, dengan keefektifan masing-masing yang digantungkan
dari asumsi paradigmatis teori-teori yang dipilih dan dipakainya (strukturalisme yang makro
ataukah interaksionisme yang mikro), temuan-temuan kedua jenis metode itu tentu saja akan
mensugestikan jawaban atas permasalahan, yang terkonsepkan secara berbeda pula. Maka apabila
langkah yang pertama bersifat teknokratis dan penuh intervensi perekayasaan secara sepihak
terhadap objek, langkah yang kedua lebih cenderung bersifat kondusif dan cuma bermaksud
meng-input-kan faktor-faktor yang diduga akan menimbulkan keberdayaan yang mandiri dalam
diri si objek. Langkah kedua ini berkesan lebih partisipatif dan mengundang partisipasi
pelaku-pelaku sosial secara suka rela.

Manakah dari dua pilihan itu yang paling tepat untuk diambil, khususnya di dalam ranah
kehidupan hukum yang telah berformat nasional dewasa ini? J awaban atas pertanyaan itu tentulah
94
akan amat bergantung tidak hanya pada paradigma awal yang kita pilih, akan tetapi juga pada
pemihakan moral kita. Dalam alam kehidupan yang kian demokratis dan people centered ini, yang
amat mengharapkan terwujudnya signifikansi sosial setiap produk perundang-undangan, kiranya
kajian-kajian yang kualitatif tentang berbagai permasalahan dan kebijakan sosial di dalam
kehidupan manusia agar dapat lebih merespon setiap kebutuhan hukum dan terpenuhinya rasa
keadilan massa awam pantaslah kalau lebih banyak dianjurkan dan lebih banyak dicoba.
Penelitian-penelitian hukum yang nondoktrinal-kualitatif dengan ancangan paradigamtisnya yang
mikro dan bertendensi pro populus itu, dapat kiranya banyak memberikan sumbangan yang
berarti.


10

PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF DAN KONSEKUENSINYA
DALAM STRATEGI PELAKSANAANNYA (Sebagaimana Dicontohkan
dalam Metode Grounded Theory)





Lepas tahun 1970-an, di dunia kajian ilmu-ilmu sosial mulai maraklah apa yang disebut teori-teori
mikro. Adapun yang disebut teori mikro ini ialah teori yang dibangun di atas landasan paham
paradigmatis bahwa di dalam kehidupan manusia yang kian bersifat semiotik dewasa ini objek
ilmu-ilmu sosial yang sesungguhnya itu bukan lagi (cuma) perilaku-perilaku sosial manusia yang
kasat mata saja, tapi nota bene adalah perilaku-perilaku yang pada dasarnya hanya merupakan
refleksi pola-pola struktural dunia sosial yang makro dan normatif. Objek kajian ilmu-ilmu sosial
yang sesungguhnya tak lain adalah seluruh makna kultural yang simbolis dan acap pula
berpenampilan nonverbal yang ada di balik semua gerak tindakan manusia yang kasat mata itu.

Seiring dengan perkembangan teori-teori mikro yang menekankan arti pentingnya
tindakan-tindakan atau aksi-aksi individual manusia warga masyarakat, atas dasar asumsi bahwa
aksi-aksi inilah yang telah menyebabkan masyarakat eksis dalam konsep, dan seterusnya
memperoleh maknanya marak pulalah metode-metode baru dalam ilmu-ilmu sosial ini. Itulah
metode-metode yang dewasa ini dikenali dan disebut-sebut sebagai rumpun keluarga metode
kualitatif. Apa pun variannya, metode-metode kualitatif itu dikembangkan atas dasar keyakinan
epistimologis bahwasannya realitas-realitas simbolis yang kualitatif serta cenderung subjektif
dalam aksi-aksi manusia , yang tentu saja juga nonempiris sifatnya, tidaklah akan mungkin
didatakan dan dianalisis begitu saja dengan menggunakan metode-metode konvensional yang
telah ada dan dipakai orang selama ini. Metode konvensional adalah metode yang sekarang ini
dikembangkan secara khusus untuk melakukan pengamatan-pengamatan dan
pengukuran-pengukuran terhadap alam empiris yang konon juga objektif, seperti sudah sejak dulu
dikembangkan oleh para pakar di lingkungan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu hayat, (dan yang pada
awalnya sekalipun dengan berbagai modifikasi telah dicoba pula dipakai oleh para pakar
ilmu-ilmu sosial).

Uraian berikut ini ditulis dan disajikan dalam dua bagian. Bagian pertama dimaksudkan
untuk memaparkan ihwal paradigma epistemik mengenai apa yang harus dikenali sebagai realitas
(realitas sosial), yang secara ontologis harus diakui sebagai objek kajian keilmuan sosial; dan
bagian kedua dimaksudkan untuk memaparkan pokok-pokok strategi metodologis penelitian
kualitatif. Metode kualitatif adalah strategi penelitian yang dikembangkan sebagai konsekuensi
pengkonsepan realitas sosial sebagai hasil proses intersubjektif antar-pelaku sosial. Inilah strategi
penelitian untuk membangun teori, dan tidak untuk menguji teori sebagai dilazimkan di dalam
penelitian-penelitian empiris yang konvensional.


119
Realitas Sosial dalam Konsep dan Teori Ilmu-Ilmu Sosial

Ilmu adalah seluruh informasi yang mengandung pengetahuan (yang telah teruji benar secara
benar menurut prosedure sains), tentang sesuatu kejadian yang terjadi di alam empiris. Informasi
seperti itu diperoleh melalui proses-proses pengamatan yang disusul oleh proses-proses persepsi
atas kejadian-kejadian yang berkenaan karena ilmu.

Kejadian-kejadian yang juga disebut fenomena atau gejala itu terjadi dan ada di alam
empiris yang kasat mata, sedangkan informasi atau pengetahuan itu (baik yang telah teruji
menurut prosedur sains maupun yang belum) adalah imajinasi subyektif yang berada di alam
pikiran (yang juga disebut alam ide). Di alam imajinasi ini apa yang disebut fenomena di alam
kasat mata itu mengalami transformasi reflektif sebagai realitas-realitas. Sekalipun dimaksudkan
untuk merefleksikan secara utuh dan penuh, setiap gejala yang berada di alam empiris yang
objektif, realitas (namun demikian) tak selamanya berhasil menggambarkan secara sempurna
kejadian-kejadian yang terjadi di alam empiris. Bagaikan benda dan bayangannya yang ada di
kaca cermin yang belum tentu sama dan sebangun, demikian pulalah halnya dengan fenomena di
alam empiris dan realitas yang ada di alam imajinasi.

Di alam ide yang imajinatif itu yang apabila tak dikontrol oleh suatu metode yang ketat
akan gampang diganggu subjektivitas gejala yang telah tertransformasi secara perseptual
menjadi realitas itu akan memperoleh batasan-batasan dan penamaannya yang definitif.
Batasan-batasan dan penamaan yang definitif mengenai realitas-realitas itulah yang disebut
konsep. Maka dapatlah dimengerti bahwasannya para ilmuwan itu pada akhirnya tak hendak
berbicara langsung tentang fenomena yang kasat mata, melinkan senantiasa berbicara tentang
fenomena sebagai realitas dalam batasan-batasannya yang definitif sebagai konsep.

Ilmuwan pemerhati gejala-gajala alam kodrat yang juga dikenali sebagai alam anorganik
tak pelak akan mengenali gejala-geala alam itu sebagai realitas-realitas alam dengan batasan
masing-masing yang definitif, sebagai konsep-konsep serba-fisik. Ilmuwan pemerhati alam hayat
pun tak salah lagi akan pula memahami alam hayati yang juga dikenali sebagai alam organik
sebagai realitas-realitas yang tergambar secara definitif di alam konsep-konsep serba-bilogis.
Demikian pula pemerhati gejala-gejala sosial, tentu saja mereka ini akan memahami dunia
kehidupan masyarakat manusia sebagai realitas-realitas sosial, sebagaimana berkembang di peta
konseptual mereka.

Realitas alam kodrat dan realitas alam hayat adalah realitas-realitas yang dapat menunjuk
langsung ke gejala-gejala anorganik dan organik dalam dunia empiris yang sungguh konkret
sifatnya, sehingga dengan demikian konsep-konsep untuk menggambarkan gejala di alam
anorganik dan organik, lalu menjadi terbilang lebih bergatra nyata dan konkret pula. Tidak
demikian halnya dengan realitas-realitas yang dikonstruk untuk merepresentasi gejala-gejal
sosial-budaya yang menjadi perhatian para ahli ilmu-ilmu sosial budaya. Gejala-gejala
sosial-budaya adalah gejala-gejala supraorganik yang sifatnya amat lebih abstrak dan bersifat
lebih tak teraba (tak terlihat pula), dari pada gejala-gejala alam yang anorganik dan gejala-gejala
hayati yang organik, yang lebih konkret sifatnya itu. Maka, berbeda dengan realitas-realitas
anorganik dan organik yang lebih empiris-observatif sifatnya, realitas supraorganik amat lebih
berupa suatu konstruksi rasional yang amat lebih imajinatif. Itu pula sebabnya mengapa, berbeda
120
dengan konsep-konsep yang menjadi representasi gejala-gejala anorganik dan organik,
konsep-konsep sosial-budaya yang menjadi representasi fenomena supraorganik itu hanya dapat
dikatakan, akan tetapi tidak akan segera dapat ditunjukkan mana wujud fenomenanya. Itulah
sebabnya bukan perkara mudah untuk dapat menyimak secara langsung dengan indera-indera
dan instrumen penginderaan manusia, (untuk kemudian diukur-ukur secara langsung fenomen
manusia yang berada di ranah-ranah supraorganik itu.

Kemiskinan, kesejahteraan, keadilan, demokrasi, status sosial, kekuasaan, in-group
feelings, kohesi kelompok, perilaku menyimpang, atribut gender, hukum yang responsif, pelarian
modal, adalah beberapa saja dari sekian ribu contoh fenomena sosial-budaya (termasuk pula yang
ekonomi dan politik), yang karena sifatnya yang supraorganik akan jauh lebih sulit untuk
ditegaskan dan dijelaskan dalam konsep dan dengan definisi apa pun. Mendefinisikan secara
konseptual untuk mengidentifikasi planet dan untuk membedakannya dari bintang, misalnya,
adalah jelas- relatif lebih mudah daripada mendefinisikan (misalnya) kemiskinan. Apalagi untuk
mengkonseptualkan guna mengidentifikasi jenisnya: Apakah itu kemiskinan struktural ataukah itu
kemiskinan yang nonstruktural . Mendefinsikan secara konseptual untuk mengidentifikasi Fiscus
Elastica dan untuk membedakannya dari Fiscus Religiosa. Sebagai misal yang lain adalah jelas
relatif lebih mudah pula daripada mendefinisikan (misalnya) konstitusionalisme, apalagi untuk
mengkonseptualkan guna mengidentifikasi jenisnya: apakah itu konstitusionalisme dalam
maknanya sebagai rule of law ataukah itu konstitusionalisme dalam maknanya yang terdistorsi
sebagai rule by law.

Pada konsep-konsep yang hendak menegaskan realitas-realitas anorganik dan organik,
sebagaimana dicontohkan di muka, kalaupun penegasan itu tak jelas dari bunyi definisi atau
rumusan konsepnya yang verbal, wujud-wujudnya yang fisik dan kasat mata dapatlah ditunjukkan.
Tidak demikian halnya dalam konsep-konsep yang hendak menegaskan realitas-realitas
supraorganik. Mengenai kemiskinan atau konstitusionalisme sebagaimana dicontohkan di muka,
misalnya, tidaklah ada wujud-wujud fisik yang akan dapat ditunjuk dan ditunjukkan agar bisa
lebih diamati cermat secara indrawi. Yang dapat ditunjukkan hanyalah beberapa manifestasinya
saja (itu pun mungkin saja tidak bisa lengkap) dan bukan fenomena atau realitasnya yang utuh.

Dari uraian-uraian yang dibentangkan di muka, menjadi jelas mengapa studi-studi sosial
yang harus belum berseluk dengan realitas-realitas sosial, pada galibnya adalah lebih bersifat serba
verbal, dan lebih banyak pula bermain-main dengan konsep-konsep (apabila dibandingkan
misalnya dengan studi-studi biologi, kimia atau fisika). Sementara itu verbalisme dalam
studi-studi sosial acap kali pula terjadi tanpa dapat dielakkan karena gejala-gejala sosial itu tak
hanya bersifat relatif abstrak, akan tetapi juga karena bersifat kompleks dan multidimensi. Karena
berhal seperti maka konsep yang benar-benar komprehensif lalu sulit dikonstruksi secara verbal.
Mendefinisikan batas-batas suatu realitas sosial ke dalam satu konsep yang benar-benar
komprehensif akan mengharuskan para pendefinisi mengenali betul-betul seluruh aspek varibel
gejala itu secara imajinatif, lewat suatu proses abstraksi sebagai realitas yang kemudian
memformulasikannya secara verbal menjadi suatu rational construct yang disebut konsep.

Mereduksi fenomena sosial yang multidimensi lewat proses abstraksi menjadi suatu
realitas-realitas, yang seterusnya menjadi suatu konsep, mau tak mau akan memaksa para peneliti
sosial untuk menengarai apa saja manifestasi empiris fenomena sosial yang tengah menjadi objek
121
kajiannya, yang tak hanya bersifat multidimensi akan tetapi yang juga tak selalu kasat mata.
Manifestasi-manifestasi yang mencuat ke permukaan yang dikenali sebagai indikasi (dan karena
itu disebut indikator) yang kemudian secara selektif akan dijadikan anasir untuk mengkonstruksi
sebuah konsep.

Dapat dimengerti mengapa karena alasan-alasan tersebut kajian-kajian dalam ilmu-ilmu
sosial dengan demikian, pada akhirnya, hanya akan berkenaan dengan indikasi-indikasi dan
indikator-indikator saja, tidak mendalam ke gejalanya itu sendiri. Adalah kenyatan dalam praktik
bahwa mana yang terlihat sebagai indikator oleh pengkaji sosial tertentu tidak dilihat begitu oleh
pengkaji yang lain. Maka, kenyataan yang demikian ini menjelaskan mengapa konsep-konsep
dalam ilmu-ilmu sosial itu dan pada akhirnya juga teori-teorinya (karena konsep itu
sesungguhnya merupakan the building blocks of theories) lalu gampang bersifat varitatif dari
kajian-ke kajian. Perbedaan konsep tak pelak lagi akan menghasilkan perbedaan temuan data, dan
perbedaan temuan data akan menghasilkan perbedaan hasil analisis yang disebut simpulan, dan
akhirnya perbedaan-perbedaan simpulan akan tidak memudahkan terbangunnya teori yang
komprehensif dan berkoherensi tinggi.

Kajian-kajian sosial yang bertolak dari paradigma kaum strukturalis nyata memihak ke
pendapat bahwa para peneliti yang berkepakaran, yang harus mengenali gejala-gejala sosial yang
hendak dikajinya untuk kemudian mendefinsikan dan mereformulasikan konsepnya. Bukan orang
lain! Sementara itu, di lain pihak, kajian-kajian sosial yang bertolak dari paradigma kaum
interaksionis nyata memihak ke pendapat bahwa konsep yang harus dipakai untuk menegaskan
secara definitif apa objek sesungguhnya yang hendak dikaji, haruslah tak lain daripada apa yang
dipersepsi pada pelaku sosial sebagai realitas-realitas. Argumentasi kaum interaksionis ini ialah
bahwa dalam kajian-kajian ilmu-ilmu sosial yang sebenarnya hendak dikaji orang bukanlah
kejadian-kejadian di alam empiris sebagaimana yang dipersepsi para penelitinya (yang
salah-salah malah mengandung cultural bias) melainkan peristiwa-peristiwa itu sebagaimana
dipersepsi dan kemudian dimaknakan (atau termaknakan) sebagai realitas-realitas oleh para
pelaku sosial warga masyarakat.

Tak pelak lagi, kajian-kajian dari perspektif mikro kaum interaksionis ini lalu tak lagi
tampil sebagai kajian tentang kejadian atau tentang hubungan antara-kejadian (seperti yang
dikerjakan dari perspektif makro kaum strukturalis). Alih-alih begitu, kajian-kajian kaum
interaksionis ini akan lebih berfokus ke realitas-realitas sebagaimana dipahami dan diyakini oleh
warga-warga masyarakat kebanyakan. Menurut kaum interaksionis ini, apa yang hidup di dalam
alam kepahaman warga-warga masyarakat (yang harus dipandang sebagai aktor-aktor sosial yang
sesungguhnya), itulah yang harus dimengerti sebagai realitas-realitas sosial yang sebenarnya. Oleh
karena itu harus dipandang sebagai yang paling sah untuk objek kajian ilmu-ilmu sosial.

Memang benar kalau dikatakan bahwa seluruh realitas sosial yang berada di alam imajinasi
pikiran manusia-manusia kebanyakan itu sesungguhnya merupakan segugusan subjektivitas awam
yang tak pernah diuji kebenarannya, yang objektif menurut kaidah-kaidah keilmuan atau menurut
logika. Tetapi, betapapun subjektifnya, semua sesungguhnya adalah subjektivitas unik yang
justeru harus di tempatkan sebagai objek kajian ilmu-ilmu sosial yang pertama-tama dan paling
utama. Itu bukanlah subjektivitas sembarang subjektivitas, melainkan suatu objectified
subjectivies. Bagi para ilmuwan yang berparadigma interaksionisme, the objectified subjectivities
122
inilah dan bukan sekali-kali the subjectified objectivities menurut tradisi kaum strukturalis itu
yang harus dipandang secara ontologis sebagi objek kajian ilmu-ilmu sosial yang akan
menjanjikan hasil yang paling sahih (valid).

Dari sini pulalah maraknya keyakinan para penganut paham interaksionisme bahwa tugas
ilmu-ilmu sosial masa kini bukan lagi to learn about the people, akan tetapi to learn from the
pople untuk menemukan dan memperoleh gambaran-gambaran yang total-holistik, dengan penuh
kamfhuman (verstehen), tentang realitas-realitas sosial yang sesungguhnya. Realitas sosial
bukanlah cuma tergambar secara sederhana sebagai korelasi-korelasi antar-variabel. Apalagi yang
kemudian masih harus direduksi ke dalam angka-angka. Sesungguhnya kehidupan masyarakat dan
manusianya yang lebih banyak bermanifestasi di dalam realitas-realitas supraorganiknya
daripada di dalam realitas- amat lebih kompleks daripada yang bisa diduga.

Pijakan kaum interaksionis tak pelak lagi akan pula membawa konsekuensi metodologis
yang cukup jauh. Berkonsentrasi untuk memperoleh kemafhuman yang mendalam, kajian-kajian
kaum interaksionis ini akan selalu mencoba menyelami in depth alam simbolis (yang
supra-organik) masyarakat-masyarakat yang tengah menjadi objek studi. Karena alam simbolis itu
memang benar-benar merupakan realitas-realitas kualitatif yang amat unik, tidak mudah untuk
dikuantifikasikan, melainkan hanya akan siap untuk diinterpretasikan.


Realitas Kualiatif Sebagaimana Dicontohkan oleh The Method of Grounded Theory

Salah satu metode (bukan satu-satunya) yang terhitung ke dalam bilangan keluarga
metode-metode kualitatifnya adalah metode grounded theory. Inilah metode yang dikembangkan
oleh Barney Glaser dan Anselm Strauss pada pertengahan dasawarsa 1960-an dan muncul dalam
karya bersama mereka Awareness of Dying (1965) dan The Discovery of Grounded Theory (1967).
Sekalipun pada tahun-tahun berikutnya Glaser dan Strauss tak lagi bersejalan dalam
mengembangkan discovery mereka Strauss (bersama J uliet Corbin) menulis Basics of
Qualitative Research (1990) dan Glaser menulis Basic of Grounded Theory Analysis (1992)
namun metode penelitian yang dimaksudkan secara khusus untuk mengembangkan teori-teori
sosial yang grounded (on qualitative data) ini tetaplah menarik perhatian orang, entah untuk
diikuti entah untuk dikritik.

Sekalipun oleh Glaser apa yang dikemukakan olah Strauss (dan Corbin) tak lagi tepat
disebut sebagai metode grounded theory, melainkan lebih tepatnya disebut saja metode conceptual
description, namun metode yang disarankan dan diajarkan oleh Strauss tetaplah taat pada asas dan
strategi metode penelitian grounded theory. Yakni bahwa tujuan dari setiap penelitian sosial
bukanlah pertama-tama menguji teori (bersaranakan data kuantitatif atau yang dikuantifikasikan
sedapat mungkin), melainkan membangun teori berdasarkan informasi kualitatif tentang dunia
simbolis masyarakat (yang diperoleh lewat berbagai interpretasi dari aksi-aksi serta
interaksi-interaksi yang merefleksikan alam subjektivitas warga-warga masyarakat). Tentu saja
sebagaimana telah dikatakan di muka penelitian kualitatif dengan metode yang dikembangkan
oleh Strauss dan Corbin bukanlah satu-satunya jenis penelitian kualitatif yang pernah ada. Namun
pada kesempatan kali ini baiklah kita kaji bersama sebagai salah satu contoh bagaimana penelitian
kualitatif pada asasnya dikerjakan orang untuk membangun (bukan menguji) teori.
123

Strategi membangun teori sebagaimana dimaksudkan di muka, namun demikian,
tidaklah berarti bahwa peranan teori dalam penelitian/pencarian boleh dikesampingkan atau
diabaikan. Strauss mengajarkan bahwa dalam penelitian kualitatif para peneliti dapat mengontrol
dirinya agar mampu menganalisis dengan penuh kritik situasi yang tengah dikajinya untuk
kemudian melakukan abstraksi-abstraksi mengenai apa sesungguhnya yang tengah terjadi di
hadapannya. Maka di sini, teori diperlukan untuk memaknakan realitas dan data, dan kepekaan
sosial (merujuk ke pengalamannya pribadi dalam social settings serupa dengan apa yang tengah
dihadapi dan dikaji) dan kepekaan teoretik sang peneliti pun tak pelak lalu menjadi amat berperan
penting di sini.

Menurut Strauss (dan Corbin), pada pokoknya ada tiga komponen utama dalam setiap penelitian
kualitatif. Komponen pertama adalah data, yang kedua adalah prosedur-prosedur analitis dan
interpretatifnya, dan yang ketiga adalah laporannya yang verbal. Komponen pertama dan kedua
secara konseptual memang bisa dibedakan, akan tetapi dalam praktek boleh dibilang akan selalu
bersangkut-sangkutan secara erat. Data diperoleh lewat observasi dan wawancara, dan bersamaan
dengan itu analisis dan interpretasi menurut prosedur tertentu mestilah telah diupayakan. Tak ayal
lagi, data yang diperoleh adalah data atau informasi hasil analisis (lewat berbagai proses codings
dan penulisan dalam wujud memos) yang pada tahap berikutnya masih harus dianalisis lagi
(lagi-lagi lewat proses coding) untuk tersusun menjadi suatu diskripsi atau story yang dapat
disajikan sebagai suatu laporan penelitian.

Apa yang dikemukakan Strauss (dan Corbin) tersebut di tentu saja tidak selamanya sama
dan sebangun dengan srategi metodologis penelitian kualitatif yang lain. Perbedaan yang ada
dapat pula bersebab dari tujuan penelitian yang berbeda. Ada penelitian kualitatif yang
dimaksudkan tidak untuk memberikan secara holistik suatu realitas sosial per se yang ada,
melainkan hanya untuk memberikan ilustrasi tambahan verbal yang lebih rinci namun
fragmentaris atau parsial kepada berbagai temuan yang telah diperoleh lewat prosedur
kuantitatif. Di sini, data tidak boleh diinterpretasikan dan dianalisis, melainkan diketengahkan apa
adanya, tanpa melebihkan atau mengurangi apa yang telah dikemukakan para informan. Dalam
kegiatan seperti ini, tugas peneliti tak lebih tak kurang hanyalah melihat dan mendengar dan
kemudian melaporkan apa adanya, bak kerja seorang wartawan yang harus membuat laporan
pandangan-mata tentang apa yang ada, tanpa kehendak sedikit pun untuk mengimbuhkan
kesan-kesan subjektifnya, yang mungkin malah akan memberikan nuansa-nuansa opini.

Strategi the research method of grounded theory tentulah tidak demikian itu.
Penelitian-penelitian kualitatif menurut aliran Strauss (dan Glaser) adalah penelitian untuk
membangun teori, dan tidak cuma berhenti pada pemaparan data mentah belaka. Itulah sebabmya
dalam penelitian kualitatif yang bermaksud menemukan teori yang grounded on,
kegiatan-kegiatan koleksi data, analisis data, dan membangkitkan sensitivitas teori haruslah
dilaksanakan secara berbarengan. Dalam penelitian yang satu ini, sang peneliti diharapkan bisa
memilih suatu area studi tertentu dan mengupayakan tergalinya informasi-informasi apa pun yang
relevan dalam kualitasnya yang total (holistik) dari berbagai fenomena yang terkenali dalam area
studi itu.

124
Memilih area studi dan membatasinya sebagai masalah penelitian dalam
penelitian-penelitian grounded theory pada asasnya tidaklah banyak berbeda dengan pembatasan
masalah dalam penelitian-penelitian lain pada umumnya. Hanya saja dalam penelitian yang satu
ini sang peneliti diharapkan bisa memfokuskan perhatiannya pada suatu fenomena atau sejumlah
fenomena tertentu, dan tidak buru-buru mereduksi secara konseptual fenomena yang dihadapi ke
dalam sejumlah kategori variabel, atau bahkan ke sejumlah indikator yang diasumsikan akan bisa
merepresentasikan si fenomen in toto. Penelitian grounded theory ini sebagaimana umumnya
penelitian-penelitian kualitatif lainnya yang ingin memperoleh pemahaman yang komprehensif
tentang objek kultural-simbolis yang tengah dikaji dengan demikian akan bekerja lebih jauh dan
lebih lanjut dari sekedar mengamat-amati dan mengukur indikator-indikator, melainkan akan
bekerja tanpa tanggung-tanggung untuk membongkar seluruh black box.

Bekerja dengan niatnya seperti itu, para peneliti penganut aliran grounded theory akan
mengembangkan metode koleksi data dan informasi yang amat fleksibel, yang kira-kira akan bisa
memberikan kebebasan kepada dirinya untuk menjelajahi dan mendalami seluruh
permasalahannya. In extenso maupun in intenso. Asumsi dasarnya ialah bahwa setiap kategori
fenomen yang ada dalam area studi berikut atribut-atributnya (yang oleh Strauss dan Corbin
disebut property) dan dimensinya belum pernah dikenal (apalagi kaitan-kaitan antar-kategori
itu), yang oleh karena itu pada setiap penelitian grounded theory haruslah sejak dini
kategori-kategori itu bisa dikenali dulu, untuk kemudian diungkap lebih lanjut.

Bertolak dari premis metodologis yang demikian itu, problema atau pertanyaan yang
diajukan dalam setiap penelitian grounded theory mestilah berupa statemen mengenai identifikasi
semua fenomena yang hendak dikaji. Fenomena dalam suatu social setting yang diidentifikasi
dalam statemen-statemen inilah yang dalam penelitian konvensional disebut variabel yang
secara khusus akan ditaruh sebagai fokus seluruh studi, baik untuk diungkap guna mendedah
anasir anatominya maupun untuk diungkap guna diketahui dinamika aksi-aksinya dalam proses.

Penelitian tentang reaksi para kiai bergabung dalam Bassra terhadap industrialisasi
Madura, misalnya, akan berfokus pada ihwal para kiai di tengah suatu setting. Memang benar
bahwasannya industrialisasi akan dikaji di sini, akan tetapi industrialisasi yang dikaji itu adalah
industrialisasi sebagaimana terlihat dari perspektif para kiai, mula-mula yang perseorangan dan
kemudian juga yang kolektif sebagai satuan kelompok. Maka, apabila perspektif dan persepsi
pihak lain yang bukan kiai toh dipandang relevan juga untuk diungkap, pengungkapan itu selalu
saja mestilah dipertimbangkan sehubungan atau dalam hubungan yang interaktif dengan aksi-aksi
para kiai yang terjadi sepanjang proses. Semua fenomena yang hendak didedah atribut (unsur) dan
dimensi (kualitas)nya mestilah bisa dipulangkan ke pokok atau fokus studinya, yaitu ihwal sang
kiai. Dalam penelitian kualitatif (seperti contohnya penelitian grounded theory ini) orang memang
tak hendak to learn about the kiais, melainkan hendak to learn from the kiais.

Berangkat dari masalah yang satu itu, tergantung dari kepekaan sosial dan kepekaan
teoretis sang peneliti, pertanyaan-pertanyaan berikutnya dapatlah dikembangkan. Misalnya, apa
yang akan terjadi dalam wujud tindakan (para) kiai apabila reaksi keberatan terhadap
industrialisasi Madura tak diperhatikan oleh ketua BPPT? Apa yang akan disiapkan dan
dikerjakan para kiai agar keberatannya itu terdengar dan terperhatikan oleh aparat pejabat yang
berwenang? Adakah reaksi keberatan dan upaya agar keluhan-keluhan didengar pemerintah itu
125
terucap dalam bunyi sama dan didorong oleh motivasi yang sama, di antara para kiai itu; ataukah
ada perbedaan-perbedaan antara kiai yang satu dari kiai yang lain? Nyata bahwa dari satu pokok
permasalahan dapat ditarik jabarannya ke berbagai arah permasalahan, seperti yang dicontohkan
di atas, ialah ke arah permasalahan interaksi, pengorganisasian berbagai upaya tatkala hendak
mengejar hasil, dan/atau pula biografi perkembangan pribadi-pribadi tertentu.

Dalam prosesnya untuk tiba pada teorinya yang grounded, proses penelitian menurut
strategi Strauss (dan Corbin) harus dilaksanakan melalui penerapan-penerapan teknik koding.
Teknik koding ini ada tiga: open coding, axial coding dan selective coding. Dalam open coding,
suatu fenomena (misalnya dalam hal ini reaksi kiai) akan diidentifikasi kategori-kategorinya
untuk kemudian sesudah diberi sebutan istilah (named, labelled) diidentifikasi atribut dan
dimensinya. Misalnya, salah satu kategori dalam fenomena reaksi kiai itu adalah aktivitasnya
melakukan pertemuan untuk membahas masalah. Pertemuan ini kemudian boleh dilihat
atribut-atributnya (misalnya: frekuensinya, ruang lingkup bahasannya, intensitas kajiannya, lama
penyelenggaraannya, dan sebagainya). Dan seterusnya dimensi masing-masing atribut itu
(sering-tidaknya, luas-sempitnya ruang lingkup bahasan, dalam-dangkalnya kajian, lama atau
hanya sebentar penyelengaraannya, dan seterusnya) masih bisa ditambah-tambah lagi sejalan
dengan daya imajinasi dan kepekaan teoretis sang peneliti.

Dalam axial coding, kategori-kategori fenomena yang berhasil diungkap akan
dihubung-hubungkan satu sama lain. Kategori-kategori itu ada yang bisa diposisikan sebagai (a)
kondisi yang dianggap penyebab, yakni kejadian apa pun yang menyebabkan terjadinya suatu
fenomen; (b) fenomen itu sendiri, yakni peristiwa sentral yang akan menggerakan terjadinya
serangkaian aksi/tindakan atau juga interaksi; (c) konteks, yakni suatu kompleks kondisi lokasi
dan/atau waktu tertentu yang menjadi ajang berlangsungnya suatu aksi atau interaksi; (d) kondisi
pengintervensi, yakni kondisi-kondisi struktural yang memudahkan atau menyulitkan jalannya
proses dalam suatu konteks tertentu; (e) aksi atau interaksi, yakni strategi tindakan yang dilakukan
untuk merespons atau mengatasi permasalahan yang ada; dan (f) konsekuensi, yakni hasil yang
diperoleh lewat penyelenggaran aksi atau interaksi.

Rangkaian kategori yang sambung menyambung dari (a) sampai (f), masing-masing
dengan segenap gambaran mengenai atribut dan dimensinya tersebut mewujudkan suatu
kategori baru (supra) dalam suatu tata hubungan yang tunggal. Kembali pada contoh di muka,
kategori supra itu akan menggambarkan bagaimana kurang tanggapnya pejabat pusat kepada
keberatan para kiai pada industrialisasi Madura sehingga: (a) telah menimbulkan rasa gundah pada
diri kiai (b), khususnya yang memiliki pesantren di daerah-daerah yang terkena proyek (c),
sedangkan diketahui bahwasannya PPP dan NU (sebagai misal saja, lho!) tak bisa diharapkan
bantuannya untuk memenangkan lobi-lobi politik (d), sehingga para kiai Bassra itu harus
mengambil langkah yang lebih akomodatif dengan harapan akan terbukanya kesediaan pemerintah
untuk berkompromi (e), untuk pada akhirnya diperoleh hasil yang boleh dinilai melalui
assessment para kiai itu sendiri apakah memuaskan atau tidak (f).


Penutup

126
Dalam praktek, melalui penelitian yang lebih ekstensif dan intensif, penemuan kategori yang supra
lewat konstruksi hubungan antar-kategori infra tentulah tak sesederhana itu. Dalam penelitian
yang ekstensif dan intensif jumlah kategori tidaklah cuma yang dicontohkan itu saja. Rinciannya
ke dalam subjektivitas-subkategori tentulah lebih banyak serta beragam pula. Demikian pula
halnya dengan informasi tentang atribut dan dimensinya. Seluruh kategori axial itu pun belum
tentu hanya terjadi satu kali dan tergambar dalam satu model. The causal conditions mungkin saja
terjadi berulang, dengan fenomen dan dalam konteks serta dengan kondisi intervensi yang
berbeda-beda pula.

Sementara itu, hasil axial coding yang telah diperoleh lewat cara yang tak selamanya
gampang masih harus dikembangkan lagi dalam suatu konstruksi yang lebih holistik dan
bermakna teoretis, melalui suatu proses koding yang disebut selective coding. Dalam selective
coding suatu proses untuk menseleksi kategori-kategori guna menemukan kategori mana yang inti
atau sentral, yang secara sistematis dapat dipakai secara konsepsional untuk merangkai dan
mengintegrasikan kategori-kategori lain dalam suatu jaringan kisah. Kisah panjang-lebar yang
merupakan paparan diskriptif tentang realitas sosial yang diletakkan dalam fokus kajian ini disebut
dengan story. Proses mengintegrasikan kategori-kategori dalam selective coding yang berakhir
dengan story yang bisa dilaporkan ini tentu saja berlangsung dalam suatu tataran analisis yang
jauh lebih abstrak daripada apa yang berlangsung sepanjang proses axial coding. Tak pelak,
kepekaan teoretis seseorang peneliti, yakni ketajaman imajinasinya untuk mereka-reka bangunan
teoretis dari data dan kategori data yang telah diperolah, sungguh amat lebih diharapkan di sini.


11

HUKUM DAN PEMAKNAANNYA MENURUT
PENGALAMAN KEBAHASAAN PARA PENGGUNANYA
Pengantar ke Arah Kajian Hukum dengan Pendekatan Semiotika




Pengantar

Pada suatu waktu, beberapa tahun yang lalu, seorang mantan hakim militer pernah
menceriterakan suatu kasus kepada saya tentang terpidananya seorang bintara TNI. Bintara itu
didakwa dan dipidana karena ia terbukti menembak mati seseorang yang dicurigai sebagai
anggota Fretilin, yang dilakukannya di luar prosedur hukum. Bintara itu beralasan bahwa ia
melakukan tindakan yang didakwakan itu hanya karena ia itu bermaksud mematuhi perintah
atasannya dalam kedudukannya sebagai perajurit bawahan. Dikatakan oleh si bintara terpidana
itu di hadapan sidang, bahwa perwira atasannya itu setelah menerima laporan tertangkapnya
seorang penduduk desa yang patut dicurigai sebagai anggota Fretilin telah memerintahkan
kepadanya agar tawanan itu segera diberesi. Taat pada perintah atasan, serta merta ia
memberesi tawanannya itu dengan menggiringnya ke pinggir desa dan kemudian
menembaknya sampai mati.

Di hadapan sidang, dalam kedudukannya sebagai saksi, sang perwira mengakui apa yang
didalihkan sang bintara itu. Ia mengakui bahwa ia waktu itu memang benar telah memerintahkan
agar tawanan itu segera diberesi. Akan tetapi, demikian dijelaskan olehnya, yang ia maksud
diberesi dalam perkara itu tidak lain daripada diberesi urusannya, bukan diberesi
orangnya. Mana mungkin seorang perwira memerintahkan dilakukannya suatu perbuatan keji
yang bertentangan dengan norma-norma hukum humanitarian. Demikian dikatakan olehnya.
Oleh sebab itu, kesalahan mengartikan perintah yang membawa akibat hukum yang serius itu
mestilah menjadi tanggung jawab dan harus dipertanggungjawabkan oleh si bintara itu. Hakim
rupanya bersetuju dengan keterangan perwira yang bersaksi itu, barangkali saja atas dasar dalih
bahwa kata istilah diberesi dalam arti dibunuh memang tidak didapati dan tak dikenal dalam
kamus hukum dan kamus hukum militer (yang resmi) mana pun juga. Maka berdasarkan
keyakinannya itu hakim pun memidana bintara yang malang itu dengan pidana penjara serta
memecatnya dari dinas kemiliteran dengan tidak hormat.

Kasus ini telah lama ditutup. Perbincangannya sebagai perkara yang direview dari
perspektif teori-teori (atau tepatnya doktrin) positive jurisprudence juga praktis telah tertutup.
Akan tetapi kasus ini menarik untuk dibuka dan dikaji kembali dari perspektif lain yang tidak
sepenuhnya mesti legalistis menurut doktrin-doktrin kaum positivis. Perspektif yang dimaksud
ini adalah perspektif linguistik, yang sesungguhnya asal orang tidak berpandangan teoretis
yang sempit cukup relevan juga dalam permasalahan hukum. Dapat dikatakan relevan, asal
saja orang tidak membatasi diri pada kajian-kajian yang formal-legalistis, dan yang oleh karena
itu lalu suka juga beralih ke kesediaan untuk mengakui bahwa apa yang disebut norma-norma
hukum itu sebenarnya berhakikat sebagai suatu set (atau organisasi) simbol-simbol, khususnya
simbolisme bahasa. Adapun yang dimaksud dengan bahasa di sini bisa saja meluas sampai
meliputi segala bentuk signs/tanda-tanda atau isyarat-isyarat lainnya, di mana hasil-hasil
interpretasi para subjek hukum (the interpretants) yang tengah berdialog mengenai suatu objek
hukum (the referrant) menjadi amat penting untuk diperhitungkan. Di sinilah awal bekerjanya
para pengkaji hukum, yang sebagian dari mereka dikenali sebagai penerus penganut aliran the
realistic jurisprudence dan aliran the critical jurisprudence, yang hendak mendalami ihwal
hukum dengan pendekatan semiotika.

Apakah semiotika itu? Apa pulakah relevansinya dengan permasalahan hukum, yang
kemudian daripada itu telah mengundang lahirnya analisis-analisis hukum dari perspektif
semiotika ini? Adakah relevansi kajian semiotika untuk kepentingan analisis-analisis terhadap
permasalahan hukum ini bisa membenarkan lahirnya aliran baru dalam ilmu hukum, yang boleh
disebut the semiotic jurisprudence, atau yang kini sudah mulai dipopulerkan dengan nama the
legal semiotics?


Semiotika: Apakah Itu?

Semiotika secara bebas bolehlah didefinisikan sebagai suatu cabang kajian mengenai tanda-tanda
kebahasaan yang masing-masing tanda itu entah yang berupa kata-kata yang diucapkan atau
dituliskan, entah yang berupa isyarat-isyarat simbolis lainnya (seperti misalnya antara lain warna
atau gerakan anggota tubuh dalam pola tertentu) merupakan hasil konseptualisasi oleh subjek-
subjek yang tengah berwacana mengenai realitas yang ditemui dan dialami.
1
Adapun yang
dimaksudkan dengan tanda-tanda kebahasaan (atau yang dalam istilah teknis aslinya disebut
linguistic signs) di sini ialah kata-kata yang diucapkan secara lisan, atau isyarat-isyarat lain yang
seperti halnya dengan kata-kata lisan memaknakan sesuatu maksud atau objek.

Sebagai metode, semiotika adalah suatu prosedur yang terpakai untuk menganalisis suatu
dialog guna mengungkap pesan-pesan yang tengah diimbal-balikkan oleh para pebincang yang
terlibat dalam dialog itu. Dalam dialog itu masing-masing pewacana tersimak mendayagunakan
sejumlah signs, berikut sistem sign yang memungkinkan signs yang terpakai itu terkoordinasi
secara sintagmatis ke dalam suatu pesan yang punya arti. Dalam hubungan ini tidaklah terlampau
keliru apabila Roberta Kevelson mengatakan secara ringkas bahwa semiotika itu tak lain adalah
a method of inquiry into the process of inquiry,
2
juga seperti yang akan diketahui nanti dalam
permasalahan hukum. Di sini ada tiga ihwal yang perlu diperhatikan. Pertama, bahwa setiap
tanda bahasa itu akan tergunakan dalam maknanya yang tidak sekali-kali netral-objektif. Kedua,
bahwa dalam masyarakat yang telah berkembang ke dalam strukturnya yang kompleks,
kenisbian pemaknaan setiap tanda bahasa akan terjadi, yang kemudian daripada itu akan

1
Sebenanya terdapat banyak definisi tentang semiotika ini, semua itu tergantung dari perspektif dan/atau latar
pengkajinya. Banyak ragamnya definisi ini disebabkan oleh kenyataan bahwa semiotika itu bukan atau belum
merupakan suatu cabang kajian yang telah berhasil diunifikasikan dan karena itu bisa diberangkatkan dari satu
titik pandang yang sama. Untuk keterangan lebih lanjut baca: Winfried North, Handbook of Semiotics
(Bloomington, Ind. : Indiana University Press, 1990), khususnya hlm. 3-4.
2
Roberta Kevelson adalah salah seorang teoretisi terkemuka dalam usaha merintiskan pendekatan semiotika
dalam kajian-kajian hukum. Karyanya antara lain: The Law as a System of Signs (New York: Plenum, 1988).
Sebagai editor ia menyunting sejumlah tulisan dalam Law dan Semiotics (New York: Plenum, 1987).
berakibat pula pada terjadinya kemajemukan pada alam kebahasaan masyarakat. Ketiga, alam
kebahasaan yang berganda-ganda itu tidak hanya akan ko-eksis melainkan juga terlibat dalam
suatu persaingan untuk memperebutkan posisi dominan dalam ihwal pendayagunaannya sebagai
sarana kontrol.


Setiap Tanda Bahasa Itu Tidak Sekali-kali Bermakna Netral

Dalam kajian semiotika akan terungkap bahwa tanda-tanda kebahasaan khususnya signs yang
berwujud antara lain dalam bentuk kata-kata atau istilah-istilah itu tidaklah akan pernah
bersifat objektif dan/atau netral. Dikatakan bahwa tidak akan didapati adanya kata-kata dalam
bahasa mana pun juga yang bisa bekerja bagaikan cermin yang mampu memantulkan secara
eksak arti suatu realitas objektif macam apa pun. Bagaimanapun juga arti setiap kata yang
diucapkan dan gerak isyarat lain apa pun yang ditampakkan (dalam fungsinya sebagai sign) itu
selalu saja berubah-ubah, tergantung dari proses kognitif sang subjek yang
mengucapkan/mengungkapkan. Setiap tanda selalu mensinyalkan adanya muatan nilai dan/atau
maksud subjektif mereka yang tengah berwacana. Perhatikan misalnya kata anjing, yang dapat
mengasosiasikan pikiran sementara orang pada model hewan yang dapat dididik sebagai kawan
setia manusia, namun yang dalam pikiran dan penilaian sementara orang dari khalayak yang lain
lagi justru mengundang model yang sebaliknya, yaitu sebagai hewan yang lebih baik disingkiri
karena salah satu unsurnya yang najis. Penilaian positif atau negatif ini jelas kalau tidak bersebab
dari sesuatu yang objektif dan melekat pada si anjing itu, melainkan muncul sebagai bagian dari
proses penilaian para subjek pengguna language sign (yang disebut kata atau istilah) yang
tidak netral itu.

Lepas dari pengalaman dalam kehidupan sehari-hari (seperti misalnya tatkala orang
diperjumpakan dengan hewan yang namanya anjing itu), demikian jugalah halnya dengan
persoalan tidak netralnya setiap kata (istilah) atau tanda-tanda kebahasaan lain yang dipakai
dalam wacana-wacana politik atau bahkan juga yang dijumpai dalam wacana-wacana hukum).
Istilah individu dan individualisme, atau materi dan materialisme, misalnya, bukanlah
sekali-kali tanda-tanda kebahasaan yang netral. Itulah istilah-istilah yang dimaksudkan untuk
mengedepankan suatu ide yang positif dan diterima dalam nilainya yang positif pula, namun
mungkin juga di kalangan-kalangan tertentu tak jarang kata-kata itu melambangkan hadirnya
objek-objek yang dimakruhkan atau bahkan diharamkan. Istilah demokrasi adalah istilah yang
pada mulanya bahkan oleh sang pencipta istilah itu sendiri, yaitu Plato amat berwarna
negatif, namun kini dalam lintasan waktu dan ruang telah mengalami perubahan dan
menjadikannya amat berwarna positif.

Diketahui bahwa makna sebuah kata atau isyarat bisa juga berubah atau bergeser dari
yang dimaksudkan semula dari setting sosial-kultural yang satu ke setting sosial-kultural yang
lain. Kata panggilan bapak yang digunakan untuk menyapa seseorang pejabat di kantor,
misalnya, sudah barang pasti akan mengandung makna dan akan terasa mengandung nuansa
emosi yang berbeda apabila digunakan untuk menyapa seseorang tua di tengah kehidupan
keluarga. Kata panggilan bapak ini pula, yang apabila di Indonesia biasa diletakkan di depan
suatu kata nama jabatan, misalnya Presiden (yang lalu menjadikannya terucap Bapak
Presiden), bisa mengherankan banyak warga dari suatu negara lain. Merekapun bertanya
mengapa tidak digunakan saja kata sebutan yang tidak terlalu bernuansa mempribadi. Di negeri
mereka, yang dilazimkan adalah menggunakan kata mister di depan kata nama jabatan
tersebut, (yang lalu menjadikannya terucap Mister President). Sapaan Mister President
mereka rasakan lebih bernuansa suasana politis yang publik dan zakelijk (karena ini merujuk ke
makna urusan orang banyak yang inklusif dan terbuka serta menyangkuti kepentingan umum)
daripada bersuasana kekeluargaan yang privat dan persoonlijk (yang terkesan lebih merujuk ke
makna urusan kalangan sendiri yang eksklusif dan karena itu tidak perlu ada campur tangan
orang luar yang asing).


Masyarakat yang Majemuk dan Alam Kebahasaan yang Majemuk Pula

Di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang kian berkembang majemuk yaitu tatkala wacana-
wacana dan dialog-dialog menyertakan subjek-subjek dari berbagai latar sosial dan budaya serta
pula latar kepentingan yang berbeda-beda, tidak hanya sebagaimana yang terjadi pada tataran
global dan regional akan tetapi yang terjadi pada tataran nasional dan lokal tak ayal lagi akan
berlangsunglah pluralisasi alam kebahasaan dalam kehidupan yang telah kian bertambah
kompleks ini. Maka, di tengah kehidupan yang telah kian berkembang majemuk seperti itu,
tersimaklah betapa banyaknya bahasa-bahasa eksklusif yang berlaku sebagai specialities. Itulah
specialities antar-pihak yang sama-sama gagal mendengar dan memahami pesan lawan
bicaranya.

Permasalahan "wacana yang tak nyambung" seperti itu akan bisa menjadi kian rumit lagi
tatkala kegagalan pendayagunaan tanda-tanda bahasa dalam proses imbal wacana itu tidak cuma
terjadi pada tataran semantik (yang baru terbatas pada pengertian kata-kata atau arti tanda-tanda
bahasa yang lain) akan tetapi juga sudah terjadi pada tatarannya yang sintaktis atau sintagmatis
(yang berarti sudah mengena pada soal struktur atau tatanan gramatikal bahasa). Tatkala
diketahui lebih lanjut bahwa gramatika itu sebenarnya juga berfungsi sebagai apa yang disebut
(linguistic) coordinate system yang akan menentukan konstruksi mental para pengguna bahasa
yang bersangkutan mengenai apa yang sebenarnya tengah atau telah disimaknya maka
permasalahannya akan menjadi lebih rumit dan rawan lagi. Penggunaan berbagai metafora yang
khas yang terekspresi dalam ungkapan yang beragam dari kalangan ke kalangan atau dari
situasi ke situasi akan menambah-nambah kesulitan lagi.

Kata sikat, misalnya, apabila diucapkan dengan nada memelas oleh seorang anak
penyemir sepatu yang tengah menawarkan jasa di suatu terminal tentulah akan berbeda arti
dengan kata yang sama itu apabila diteriakkan oleh seorang perwira dengan nada perintah tatkala
berada pada suatu situasi penyerbuan di medan pertempuran. Berbeda pula arti apabila kata yang
sama ini diserukan oleh seorang ayah yang dengan gembiranya menghampiri meja makan (yang
telah dikerumuni anak-isterinya), banyak makanan, nih; sikat terus sampai habis!. Kata sikat
yang diucapkan anak penyemir sepatu memunyai arti harafiah, sedangkan yang diucapkan sang
perwira dan sang ayah dalam situasi yang lain tentu saja terinterpretasi dalam makna metaforis
yang akan berefek lain, yang tentu saja hanya bermakna sebagai interpretant
3
bagi mereka yang
mempunyai pengalaman kebahasaan yang sama.

3
Interpretant adalah suatu istilah teknis yang diciptakan oleh Charles Sanders Peirce untuk menyebut
berbagai tanda isyarat sebagaimana yang tercipta dan terkembang secara interpretatif dalam alam pikiran

Kesulitan memahami arti kata-kata di luar konteks, dan/atau oleh mereka yang berada di
luar pengalaman kebahasaan komunitas bahasa yang bersangkutan, memang gampang terjadi. Di
tengah kehidupan yang telah berkembang kian heterogen dan majemuk besarlah kemungkinan
banyak orang untuk tidak tersosialisasi ke/di dalam pengalaman kebahasaan yang sama. Padahal
bahasa dengan seluruh tanda-tanda simbolisnya baik yang berupa kata-kata untuk diucapkan
maupun yang berupa isyarat-isyarat simbolis untuk diperlihatkan adalah semacam partitur bagi
para pemain musik. Inilah partitur yang entah yang dituliskan untuk disimak, entah yang
dihafalkan untuk diingat akan memungkinkan sebuah permainan bisa terkoordinasi dalam
suatu keselarasan yang baik. Berperan sebagai apa yang disebut the linguistic coordinate system,
bahasa dengan segenap tanda-tanda simbolisnya sebagai teks gramatikal berikut konteks-
konteksnya adalah partitur luar kepala yang memungkinkan kehidupan dalam suatu
kolektiva sosial menjadi terkoordinasi dalam suatu keselarasan, bahkan juga tatkala terjadi
gangguan-gangguan konflik (yang mendambakan pemulihan susana keselarasan) sekalipun.


Alam Kebahasaan dengan Fungsinya sebagai Sarana Kontrol yang Dominan

Perbedaan-perbedaan penggunaan dan pemaknaan tanda-tanda kebahasaan baik yang berupa
kata-kata peristilahan maupun yang berbentuk isyarat-isyarat gerak itu dalam kenyataan
bukanlah perbedaan sembarang perbedaan yang menggambarkan adanya posisi berbagai
specialities yang ko-eksis. Dalam kenyataan, posisi berbagai specialities itu lebih acap
menggambarkan adanya hubungan dominasi-terdominasi. Di sini alam kebahasaan yang
berjumlah banyak ini (dengan fungsinya sebagai linguistic coordinate system sebagaimana
disebutkan di muka) acap kali tampak bersaing untuk merebut posisi-posisi dominan, tidak
jarang dengan kesadaran tinggi. Dalam hubungan ini tidaklah salah apabila Ben Anderson
pernah mengulas-ulas kenyataan bahwa sesungguhnya language is power (dalam perpolitikan
Indonesia).
4
Di sini kata-kata atau istilah-istilah dan tanda-tanda bahasa lain secara sengaja
diproduksi, disirkulasikan dan dipilih secara rasional untuk didayagunakan dalam setiap wacana
oleh para penggunanya demi terpenuhi maksud melindungi kepentingan yang mereka
pertaruhkan. Di sini tanda-tanda kebahasaan lalu banyak didayagunakan sebagai bagian dari
strategi dan taktik untuk memenangkan persaingan, dan dengan demikian juga untuk
mengunggulkan suatu kepentingan ke posisinya yang dominan, mengatasi kepentingan-
kepentingan lain yang tengah diketengahkan para pesaing. Berikut ini adalah beberapa contoh:

Tatkala Pemerintah DKI-J akarta melakukan pemindahan secara paksa penghuni-
penghuni bantaran sungai, atau pula tatkala melarang beroperasinya becak di ibu kota Republik
ini, para pejabat yang bertanggung jawab dalam masalah ini secara konsisten selalu
menggunakan kata istilah dan/atau isyarat lain yang hendak memperkuatkan kesan bahwa yang
tengah mereka tindakkan adalah sesungguhnya suatu penertiban (yang mempunyai dasar
hukum). Di lain pihak, mereka yang tengah merasa menjadi korban segala keputusan dan
tindakan para pejabat itu secara konsisten pula selalu menggunakan dan mengedarkan kata istilah

seseorang. Penejelasan lebih lanjut tentang definisi ini dapat disimak dalam J . Buchler, ed. The Philosophy of
Peirce: Selected Writings (London: Routledge and Paul Keagan, 1956), hlm. 98-119.
4
Benedict Anderson, ed., Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell
Universty Press, 1990).
yang hendak meneguhkan kesan dan gambaran bahwa yang tengah dilakukan para pejabat dan
aparatnya itu benar-benar merupakan serangkaian tindakan penggusuran dan penggarukan
(yang tak berperikemanusiaan). Demikian pulalah halnya dengan penggunaan istilah penjarahan
tanah yang selalu diucapkan oleh para pejabat pemerintah tatkala mereaksi usaha massa
petani memasuki lahan-lahan perkebunan di berbagai daerah di J awa yang dilawan oleh para
petani dan aktivis pembelanya dengan penggunaan kata istilah reclaiming hak untuk
membenarkan segala tindakan memasuki tanah-tanah perkebunan.

Serangan dan serangan balik bersaranakan tanda-tanda bahasa baik yang terucap dalam
retorika maupun yang terekspresikan dalam bentuk gambar dan/atau isyarat lain oleh para
pihak yang tengah bertikai agar memperoleh posisi yang lebih dominan, dan yang kemudian
daripada itu memungkinkan pihaknya mendominasi lawan, tentu saja akan ikut ditentukan oleh
kesediaan media massa untuk mensirkulasikan alias mempopulerkan tanda-tanda atau salah satu
dari tanda-tanda itu. Yang lebih terpilih untuk kemudian tersirkulasi dan menjadi populer dalam
penggunaan tentulah akan lebih mendominasi wacana. Perhatikan misalnya penggunaan istilah
kafir (dalam suatu perang retorika dalam kehidupan beragama) yang lebih dominan daripada
penggunaan kata istilah beragama lain, atau istilah murtad yang lebih mendominasi kata
istilah beralih atau memilih agama sesuai dengan keyakinannya. Sekali lagi hendak dinyatakan
dan hendak dibuktikan di sini bahwa tanda-tanda bahasa itu tak satu pun yang netral, dan bahkan
lebih dari itu berbagai tanda itu secara sengaja diciptakan dan disirkulasikan luas-luas untuk
mempengaruhi dan menguasai alam pikiran orang dalam jumlah massal, dalam rangka usaha
memperebutkan posisi-posisi sosial-politik ataupun kultural yang dominan.


Semiotika dan Kedayagunaannya untuk Menganalisis Masalah-Masalah Hukum

Dari paparan terurai di muka dapatlah disimpulkan sekurang-kurangnya tiga ihwal berikut ini.
Pertama-tama diketahui bahwa setiap kata istilah dan isyarat atau tanda-tanda bahasa lainnya itu
tidaklah sekali-kali bernilai netral dan objektif melainkan selalu tergunakan secara subjektif guna
memihak maksud atau kepentingan tertentu. Kedua, diketahui bahwa setiap kata istilah dan
isyarat atau tanda-tanda kebahasaan lainnya itu baik secara bersendiri yang semantik maupun
dalam suatu aksis sintagmatis amat boleh diduga selalu juga merefleksikan alam pengalaman
sosial-kultural para pewacana penggunanya (yang secara ringkas boleh disebut saja pengalaman
kebahasaan), yang sekaligus sesungguhnya juga merefleksikan keberpihakan sosial-kultural
dan/atau kepentingannya yang eksklusif. Ketiga, di tengah kehidupan yang kian bersifat
majemuk dengan berbagai keberpihakan dan kepentingan yang bersaing-saingan, akan terjadi
proses mendominasinya pengalaman kebahasaan kalangan-kalangan tertentu dengan
kepentingan-kepentingan tertentu di hadapan dan terhadap kalangan-kalangan lain dengan
kepentingan-kepentingan lain.

Tak perlu banyak diperdebatkan lagi bahwa ketiga simpulan tersebut di muka ini dapat
berdaya guna untuk menganalisis berbagai permasalahan hukum, baik yang terjadi tatkala masih
dalam proses penciptaannya in abstracto di lembaga-lembaga legislatif maupun yang timbul
kemudian tatkala berlangsung sepanjang proses konkretisasinya (sebagai putusan-putusan) di
lembaga-lembaga eksekutif-administratif dan lembaga-lembaga yudisial. Bagaimanapun juga,
hukum itu adalah sejumlah teks, yang baik yang positif dan tertulis maupun yang implisit dan
lesan selalu terdiri dan terbangun dari kata-kata istilah berikut hasil abstraksi-abstraksinya ke
dalam wujud konsep, asas dan/atau doktrin. Berkenyataan sebagai teks yang terorganisasi ke
dalam suatu sistem norma yang terintegrasi berkat bekerjanya sejumlah doktrin, hukum
menampilkan sekian banyak tanda dan isyarat yang hanya dapat dipahami dalam berbagai
maknanya tatkala pendekatan semiotika pada teks-teks itu baik tatkala teks-teks itu masih
berada dalam bentuk aslinya maupun tatkala sudah dalam bentuk interpretatifnya dapat
dikerjakan.


Setiap Unsur dalam Teks Hukum Mengandung Makna yang Tak Sekali-kali Netral

Tatkala diketahui bahwa semua istilah dan seluruh bangunan yuridis itu sebenarnya
berhakikat sebagai tanda-tanda kebahasaan, dan tanda-tanda ini dikatakan tak pernah bersifat
netral melainkan mencenderungkan pemihakan, maka sungguh lebih realistislah tatkala orang
mengatakan berdasarkan kesadaran yang dikonstruksi dengan perspektif semiotika yang kritis
bahwa tidaklah ada ceriteranya bahwa hukum itu bersifat netral dan independen untuk tidak
menyatakan keberpihakan. Merujuk kembali ke contoh di muka, berkenaan dengan kata
diberesi, misalnya, ternyata kata ini bisa termaknakan secara berbeda, tergantung dari konteks
ruang dan waktu serta kepentingan pewacananya yang berbeda-beda. Dari contoh di muka itu
nyata dan jelas bagaimana seorang subjek mendayagunakan semantik yang berbeda-beda,
tergantung dari kedayagunaannya untuk melindungi kepentingan dalam konteks yang berbeda-
beda pula. Tatkala sudah berada di ruang sidang pengadilan, si subjek itu memilih secara rasional
untuk memilih the linguistic coordinating system yang yuridis daripada the linguistic
coordinating system yang militeristis. Dengan mudah ia bergerak di aksis semantik untuk
menyelamatkan diri dari ancaman sanksi hukum.

Kata diberesi yang dalam situasi pertempuran dan ketentaraan bisa saja telah
tersepakati dan tergunakan bersama oleh siapa pun di situ, baik yang perwira maupun yang
bintara dan prajurit dalam artinya yang tidak lagi umum sebagaimana yang telah dibakukan
dalam kamus-kamus. Alih-alih, kata diberesi itu telah bermakna khusus sebagai suatu
speciality informal, yaitu sebagai suatu term khusus yang berlaku di kalangan tertentu, yang di
sini ini telah terlanjur biasa digunakan untuk mengganti kata ditiadakan, dibinasakan atau
lebih vulgarnya dibunuh. Akan tetapi ketika kata diberesi itu ditransfer sebagai istilah yang
relevan dengan kepentingan proses peradilan yang formal, nota bene dunia para profesional yang
beradab, seperti tiba-tiba saja kata itu lalu berwarna dan bermakna amat berbeda.

Dalam semiotika terungkap kenyataan bahwa bahasa yang digunakan oleh kalangan
tertentu akan membangun pemikiran tertentu di kalangan tertentu itu. Kata diberesi tersebut di
muka menyatakan hal itu. Kata diberesi yang berlaku di kalangan orang-orang militer (seperti
misalnya juga kata disikat) itu telah menstrukturkan pengertian dan pemikiran lain dari apa
yang terjadi di kalangan hukum sebagaimana ternyatakan di sidang pengadilan yang resmi
sebagaimana dicontohkan di muka. J elas di sini bahwasanya para pengguna bahasa (tatkala
menggunakan kosa kata berikut gramatikanya) itu selalu amat berkecenderungan untuk
mereaktualisasikan kembali apa yang pernah dijalani dan dialami dalam pengalaman komunikasi
dan/atau observasi-observasinya. Tatkala pengalaman para bintara di medan pertempuran
sungguh berbeda dari apa yang dialami para jaksa dan hakim yang berkuasa membuat amar
putusan, maka akan berbeda pulalah apa yang ingin direaktualisasikan oleh kedua pihak lewat
bahasa, gramatika dan/atau kosa kata yang terpakai.

Perhatikan pula misalnya contoh berikut ini, sekali lagi mengenai penggunaan kata
beres dalam suatu perilaku yang relevan dengan pengalaman dalam kehidupan hukum. Kali ini
para subjeknya adalah seorang klien dan seorang pengacara yang berwacana dalam suatu situasi
lain. Sang klien mendatangi seorang pengacara guna minta dibantu memenangkan perkara yang
akan segera disidangkan pada tingkat pertama. Setelah selesai menyatakan maksud dan
persoalannya, terjadilah wawanjawab yang berlangsung sebagai berikut:

Pengacara : Sudah disiapkan?
Klien : Ada Pak (sambil mengeluarkan amplop besar berwarna
coklat, lalu meletakkannya di meja di hadapan pengacara).
Pengacara : Berapa? (sambil meraih amplop itu, tetapi tidak membukanya).
Klien : Sepuluh em. Nanti Bapak hitung sendiri lagi. . Cukup?.
Pengacara : Sementara cukuplah. Ini perkara bisa lama dan mahal, lho!
Klien : Terserah Bapaklah. Pokoknya bisa Bapak beresi, dah!

Tak pelak lagi, kata beres dalam percakapan di kantor pengacara ini tidaklah
bersuasana sama dengan apa yang terjadi di suatu markas militer dan di suatu ruang sidang
pengadilan militer sebagaimana dikisahkan di awal tulisan ini. Sekalipun sama-sama
menggunakan kosakata beres, tidaklah kata beres di kantor pengacara ini hendak diartikan
sebagai padanan kata bunuh. Nyata kalau kata beres dalam suasana kontekstual yang
berbeda itu merujuk ke maksud reaktualisasi pengalaman yang berbeda pula. Namun, di kedua
suasana itu, para pelaku dapat saling menangkap pesan dan saling paham. Itu semua tak lain
berkat pengalaman yang sama, dan bukan sekali-kali karena memiliki kamus resmi yang sama
dengan leksikon yang sama pula.


Hukum sebagai Alam Kebahasaan yang Khusus dan Eksklusif di Tengah Kehidupan
Bermasyarakat yang Kian Majemuk dan Heterogen

Dalam pergaulan hidup yang nyata, di dalam maupun di luar konteks formalitas hukum, orang
memang akan berinteraksi dengan tanda-tanda bahasa dan isyarat-isyarat simbolis mereka
sendiri. Itulah speciality, bahasa eksklusif yang walaupun tak diakui dan tak dimengerti oleh
mereka yang berada di ranah hukum yang berbahasa formal ternyata efektif juga untuk
menuntaskan suatu transaksi yang akan berakibat cukup jauh dalam kehidupan hukum.
Pengalaman bersama dalam ihwal mendayagunakan tanda-tanda kebahasaan yang telah
mengendap sebagai memori kolektif dengan fungsinya sebagai partitur luar kepala ini
sesungguhnya berhakikat sebagai alam kebahasaan khusus setiap satuan pergaulan. Inilah alam
kebahasaan yang dikatakan akan bekerja mengkoordinasi dialog para pihak di situ, demikian
rupa sehingga apa yang diimbal-wacanakan di situ menjadi bermakna dan berfungsi dengan baik
sebagai media transaksional antar-pihak. Alam kebahasaan yang dipahami dan dirujuk bersama
yang dikatakan berfungsi bagaikan partitur luar kepala inilah yang di dalam istilah teknisnya
sebagaimana yang telah dikatakan di muka disebut the linguistic coordinate system.

Maka, merujuk kembali ke contoh di muka, nyata bahwa perbedaan arah pengertian kata
beres tatkala digunakan di markas militer dan ketika digunakan di kantor pengacara dan pula
ketika dicobapahamkan di sidang pengadilan tidaklah cuma bersebab dari perbedaan arti kata
menurut leksikonnya. Perbedaan dalam mengartikan itu bisa dijelaskan lebih jauh sebagai
perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan pengalaman dan alam kebahasaan yang disebut the
linguistic coordinate system itu. Dalam praktik akan diketahui nanti betapa banyaknya linguistic
coordinate system yang berlaku di dalam kehidupan yang kini kian lama kian kompleks. Seperti
telah dikatakan, linguistic coordinate system yang berjumlah banyak ini bisa saja ko-eksis, akan
tetapi acap pula bersaing untuk menghasilkan mana yang dominan dan mana yang terdominasi.

Dalam kehidupan hukum yang bersitegak atas dasar rasionalitas yang formal seperti
misalnya yang terjadi di ruang sidang mahkamah militer sebagaimana yang dirujuk pada awal
tulisan ini alam kebahasaan para yuris di situ (sekalipun mereka adalah juga orang-orang
militer) akan lebih dominan untuk mengkoordinasi seluruh percakapan sidang daripada apa
yang dapat diperankan oleh pengalaman kebahasaan para perajurit ketika masih berada di
lapangan. Tak pelak lagi, mereka yang dapat mendayagunakan alam kebahasaan yang
diposisikan dominan akan lebih diuntungkan daripada mereka yang alam kebahasaannya berada
dalam suatu posisi yang terdominasi, atau bahkan lebih celaka kalau sampai teringkari. Dalam
contoh di muka, sang perwira akan diuntungkan (secara hukum, sekalipun belum tentu demikian
halnya tatkala diwawas berdasarkan pertimbangan normatif yang lain) daripada si bintara yang
alam kebahasaannya tidak diakui dan bahkan telah diingkari.


Hukum dengan Teks-Teks yang Berfungsi sebagai Interpretant yang Dominan
untuk Mengefektifkan Kontrol oleh Kelas Sosial-Ekonomi Tertentu

Sekalipun berulang dikatakan bahwa sistem kebahasaan yang berfungsi mengkoordinasi seluruh
perbincangan agar bermakna itu terlahir lewat pengalaman, akan tetapi tidaklah berarti bahwa
proses penjadiannya berlangsung lewat proses-proses yang alami tanpa intervensi. Dalam
praktik, sistem itu bukan hanya sekali dua kali merupakan hasil ciptaan dan konstruksi yang
bersengaja. Sirkulasinya ke tengah khalayak pengguna pun tidak mustahil kalau direncanakan
dan/atau diupayakan oleh sejumlah oknum pendukung kepentingan guna merebut posisi yang
dominan dan diuntungkan. Mereka inilah perawat dan penjaga alam kebahasaan yang sudah
berhasil merebut posisi dominan untuk berfungsi tanpa halangan sebagai suatu linguistic
coordinate system dalam suatu forum tertentu. The juridic linguistic coordinate system,
misalnya, adalah suatu alam kebahasaan yang tercipta untuk mendominasi seluruh wacana yang
berlangsung dalam suatu forum yang dinamakan sidang-sidang pengadilan dan/atau proses
hukum lainnya. Mereka yang tak menguasai sistem pengkoordinasi kebahasaan yang khusus ini
tentu saja akan terkucil dari seluruh wacana di forum itu, sekalipun banyak kepentingan
pribadinya telah terlanjur dipertaruhkan di sini.

Dalam kajian-kajian legal semiotics yang berangkat dari paradigma strukturalisme
konflik dengan nuansanya yang Neo-Marxian, adanya kesengajaan kelas-kelas mapan untuk
mengembangkan suatu linguistic coordinate system yang mendominasi percaturan hukum
amatlah nyata diungkapkan dan dikiritik. Di sini hukum digambarkan sebagai teks-teks normatif
yang tersusun dalam berbagai linguistics signs yang teknis dan khas yang diakui atau tidak
sesungguhnya mengandung secara sembunyi-sembunyi berbagai pesan kepentingan para
pembuat dan pensirkulasinya (yang umumnya lebih tanggap pada kepentingan para pelobi
daripada kepentingan khalayak umum. Maka, pada akhirnya, teks-teks perundang-undangan
dengan posisinya yang dominan dalam percaturan hukum nasional itu sebagaimana diproduksi
oleh para politisi di badan-badan legislatif dan sebagaimana diinterpretasi menurut doktrin-
doktrin kaum positivis di badan-badan yudisial yang serba semantik lalu menjadikan khalayak
awam teralienasi dari segala bentuk proses pendayagunaan hukum yang mendambakan
interpretasi-interpretasi yang lebih substantif.
5


Di sini, the juridical linguistic coordinate system akan difungsikan sebagai sarana yang
utama dan satu-satunya untuk bisa mengkoordinasi komunikasi di forum-forum percaturan
hukum, baik yang di tengah maupun yang di luar penyelesaian perkara. Siapa pun yang akan
terjun untuk berperan ke dalam proses yang berlangsung di forum-forum ini mestilah
mempunyai keahlian profesional dan belajar keras untuk maksud itu agar dapat ikut
mengontrol the coordinate system itu demi kepentingannya. Maka, karena the popular non-
juridical linguistic coordinate system yang dikuasai khalayak ramai yang massa awam itu tak
dikenal dan tak terpakai di setiap ruang sidang pengadilan dan/atau tak pula dikenal di
lingkungan birokrasi pemerintahan maka akan amat sulitlah bagi mereka yang awam ini untuk
memperoleh akses guna ikut memperdengarkan suara dan kepentingan mereka bersaranakan
bahasa-bahasa awam yang mereka kuasai.

Kaum liberal yang meyakini kebenaran paham bahwa setiap orang itu memiliki
kesempatan yang sama untuk memilih atau tak memilih, dan mendayagunakan atau tak
mendayagunakan, tidak akan mau percaya bahwa ada dominasi oleh kelas sosial tertentu dalam
ihwal mendayagunakan hukum untuk melindungi hak dan kepentingan. Akan tetapi siapa pun
tahu bahwa dalam realitasnya hal itu tidaklah demikian. Hukum nyata-nyata menggunakan
tanda-tanda bahasa yang demikian teknis, canggih dan yang hanya dapat dipahami oleh mereka
yang profesional dan terdidik khusus untuk dapat mengenali dan mendayagunakan tanda-tanda
bahasa khusus yang membentuk teks-teks hukum itu. Mereka yang awam dan tidak terlatih
secara khusus untuk maksud itu dan oleh sebab itu pula tak akan mampu memahaminya apa
lagi mendayagunakannya akan serta merta terpinggirkan pada suatu posisi yang tidak
diuntungkan, atau malah terkucil dari kehidupan hukum. Kehidupan hukum untuk mereka yang
awam ini pun lalu serta merta merupakan sesuatu yang mewah, sulit diakses, dan jauh dari
kemungkinan bisa didayagunakan begitu saja.

Bagaimana mereka yang awam itu dapat berwacana berdasarkan pengalaman berbahasa
para elite profesional di bidang hukum itu kalau mereka hanya mengenal istilah sirik sebagai
tanda bahasa yang bermakna terbangunkannya rasa malu yang amat sangat, yang kemudian
daripada itu akan membenarkan dilakukannya tindakan untuk menghalalkan darah mereka yang
berani menghina kehormatan keluarga. Padahal, sementara itu, the linguistic coodinate system
yang harus difungsikan oleh para ahli dalam wacana hukum yang berdominasi di setiap forum
formal itu tidak pernah mengenal apa yang disebut sirik itu, apalagi konsekuensinya yang akan
berupa tertumpahnya darah. Yang mereka kenal adalah istilah penghinaan atau perbuatan
tidak menyenangkan yang pada hakikatnya merupakan pelanggaran pasal-pasal atau salah satu

5
Ikuti apa yang ditulis Cass R. Sunstein, Legal Reasoning and Political Conflict (New York: Oxford University
Press, 1996), hlm. 122-125.
pasal yang termuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang hanya akan
berkonsekuensi hukum tatkala si korban mengadu ke pejabat nasional yang berwenang. Contoh
lain mengenai persoalan macam ini masih banyak yang bisa disebutkan, salah satu di antaranya
adalah hal sulitnya apa yang disebut santhet yang amat hidup dalam alam kebahasaan
masyarakat awam, namun sulit memperoleh aksesnya ke dalam alam kebahasaan para elite
hukum, bahkan pula ke alam kebahasaan mereka yang ahli-ahli di bidang hukum pidana dan
kriminologi, yang konon pernah dan tengah sibuk melakukan pembaruan hukum pidana.

Di tengah kehidupan nasional dan transnasional yang kian kompleks dan penuh
komplikasi dewasa ini, yang tengah terjadi bukan hanya adanya fakta kemajemukan alam
kebahasaan antara yang dikuasai para elite yang dominan dan yang dipahami para awam yang
tersubordinasi. Di tengah kehidupan transisional yang telah mulai bersifat lintas perbatasan
baik yang fisik-geografis maupun yang sosial-kulutral segala perubahan dan perkembangan ini
telah pula mengundang terjadinya kompetisi dan kontes-kontes antar-puak, masing-masing
dengan alam dan pengalaman kebahasaannya sendiri, untuk memperebutkan posisi dominan di
forum-forum formal. Dalam hubungan ini dapatlah diingat, sebagai salah satu contoh, kasus
kematian seorang anggota Laskar J ihad di Maluku setahun-dua tahun yang lalu berkaitan dengan
tuduhan yang diakui olehnya dalam kasus perkosaan. Di sini dapat disimak dengan jelas
terjadinya dua alam kebahasaan yang sama-sama relevan dengan persoalan hukum, namun yang
jelas-jelas berseberangan, bahkan berlawan-lawanan. Memperebutkan posisi dominan dalam
suatu percaturan, Panglima J afar dari Laskar J ihad merujuk penghukuman mati ke pelaku
perkosaan sebagai tindak merajam berdasarkan (alam kebahasaan) hukum Islam, sedangkan
Kapolri pada waktu itu, J enderal Bimantoro menyebut penghukuman mati itu sebagai perbuatan
pidana melakukan pembunuhan yang dilarang (berdasarkan alam kebahasaan) suatu pasal dalam
perkara pembunuhan di KUHP.

Menarik pula untuk disimak dan diikuti ihwal pembaruan hukum yang berhakikat sebagai
permasalahan semiotika. Para aktivis pengkaji hukum dari perspektif perempuan khususnya
yang menggolongkan diri ke dalam penganut aliran feminist jurisprudence menuduh seluruh
sistem hukum perundang-undangan nasional itu amat male based dan male biased, dan kentara
sekali kalau dikonstruksi menurut alam kebahasaan kaum lelaki. Baik dalam hukum perdata
(khususnya yang berkaitan dengan perkara perkawinan) maupun dalam hukum pidana
(khususnya yang berkaitan dengan perkara perkosaan), nyata sekali kalau the juridical linguistic
coordinate system memudahkan tafsir-tafsir yang akan memberikan posisi dominan kepada para
lelaki dengan segenap kepentingan hidupnya, sedangkan sementara itu akan mendudukkan para
perempuan ke posisi-posisi layanan yang tersubordinasi. Bertolak dari premis hukum nasional
yang male biased inilah datangnya penjelasan mengapa usaha memasukkan istilah marital rape
sebagai tanda bahasa yang baru ke dalam kitab undang-undang hukum pidana yang tengah akan
diperbarui menjadi amat terhalang dan terancam gagal. Tak lain karena alam kebahasaan para
anggota badan legislatif yang selalu dihegemoni oleh alam kebahasaan para anggota yang
mayoritas lelaki tak pernah mengenal untuk bisa menerima marital rape sebagai tanda bahasa
yang baru, yang bermaknakan perkosaan terhadap perempuan siapa pun, apa pun status sosial
perempuan itu. Mereka yang lelaki dengan jumlahnya yang mayoritas dan posisinya yang
dominan itu hanya mengenal perbuatan pidana perkosaan sebagai perkosaan terhadap
perempuan sesiapapun, kecuali yang berstatus sebagai isteri.



Legal Semiotics atau Semiotic Jurisprudence:
Metode Analisis atau Aliran Teori Baru dalam Ilmu Hukum?

Banyak penyelesaian perkara-perkara hukum yang dewasa ini dipandang masih amat kurang
memuaskan oleh khalayak ramai. Dengan perasaan yang teramat kurang puas, mereka yang
awam ini gampang berprasangka akan adanya sesuatu yang koruptif sepanjang proses, tak lain
yaitu sebagai akibat ulah laku para hakim, jaksa dan pengacara yang menyalahi hukum yang
berlaku. Sementara itu para aktivis lebih berani menuduh bahwa segala ketidakadilan itu
bersumber dari tiadanya lagi kemampuan hukum formal yang dibangun berdasarkan falsafah
dan teori-teori positivisme dalam ilmu hukum untuk memenuhi fungsinya sebagai sarana
kontrol (yang sekaligus mestinya juga harus lebih bersifat fasilitatif
6
) dalam kehidupan
bermasyarakat yang telah kian bertumbuh dam berkembang ke bentuk struktural
organisatorisnya yang kian kompleks, majemuk dan heterogen. Dikatakan bahwa positivisme
sebagai dasar paradigma hukum modern telah mengalami krisisnya di tengah kehidupan yang
telah berubah pesat ini, khususnya amat terasa di Amerika Serikat yang para eksponennya
dengan pasti kian mengukuhi paham pragmatismenya yang klasik, namun yang juga jelas
memberikan preferensi yang tinggi pada realisme, tak ayal pula dalam kehidupan hukum.

Analisis dari perspektif semiotika adalah salah satu contoh realisme dalam pemikiran dan
analisis hukum, baik pada tataran paradigmatis-teoretis maupun pada tataran produk legislatif
dan kasus-kasus konkretnya di sidang-sidang pengadilan. Analisis-analisis semiotika memang
diprakarsai oleh para realis yang memulai aktivitasnya dalam bentuk gerakan-gerakan sosial-
politik untuk melakukan pembaruan dalam tatanan sosial dan tatanan hukum, dan baru kemudian
disusul oleh gerakan-gerakan yang lebih bersifat akademis dalam bentuk dekonstruksi-
rekonstruksi paham dan teori dalam percaturan ilmu hukum. Gerakan legal realism yang disusul
oleh maraknya the realist jurisprudence ini sebagai penerus usaha sociological jurisprudence
yang terlalu teoretis dan retoris sebagaimana dirintis oleh Roscoe Pound untuk mengkaunter
aliran legal mechanism yang sangat positivistis dari Langdell berlangsung pada sekitar tahun-
tahun 1940-1960-an, sebelum kemudian surut menjelang datangnya dasawarsa 70-an.
Revitalisasi kaum realist dalam bentuk gerakan kritik pada hukum perundang-undangan yang
ada baru tersimak sepanjang tahun-tahun awal 80-an, dan analisis-analisis mereka yang kritis
dari perspektif semiotika oleh salah satu fraksinya adalah model metodologinya yang signifikan.
7


Di Indonesia, sekalipun seruan untuk melakukan reformasi hukum amat kuat dan terlalu
sering dikumandangkan, hasil akhirnya tetaplah tak terlihat. Tak lain karena apa yang dikerjakan
dalam upaya pembaruan itu hanya berlangsung pada tataran norma-norma perundang-
undangannya yang positif belaka. Pembaruan tidak pernah menukik ke upaya untuk
medekonstruksi dan merekonstruksi seluruh sistem hukum nasional berdasarkan paradigma-

6
Mengenai hukum yang dikonsepkan lebih sebagai pemberi kemudahan berperilaku dalam masyarakat daripada
sebagai lembaga kontrol yang represif, dapat dibaca dalam Niklas Luhmann, A Sociological Theory of Law
(London: Routledge & Kegan Paul, 1985).
7
Perkembangan yang dipaparkan sepanjang paragraf ini dapat dibaca kembali dalam uraian yang sekalipun
ringkas namun lebih rinci dalam karya Dragan Milovanovic, A Primer in The Sociology of Law (New York:
Harrow and Heston, 1994), hlm. 84-118 tentang Between Legal Science and Sociology of Law dan
khususnya hlm. 141-184 tentang Semiotics and Critical Approaches in The Sociology of Law.
paradigma baru yang nonpositivistis dan nondoktrinal, yang harus diawalmulakan sebagai
gerakan sosial-politik guna melakukan dekonstruksi-dekonstruksi itu. Pembaruan hukum yang
dikerjakan atas dasar doktrin-doktrin klasik kaum positivis yang pada dasarnya juga beraliran
paham liberal yang lebih berpreferensi pada kepastian hukum undang-undang daripada
kemanfaatan segala amar putusan hukum untuk kemaslahatan umum tidaklah akan berhasil
mentransformasikan hukum ke konfigurasi dan fungsinya yang baru sebagai suatu pranata yang
berfungsi fasilitatif bagi kemaslahatan massa awam. Selama alam kebahasaan demikian kritik
dari perspektif semiotika tidak mengalami transformasi reformatifnya (yang hanya bisa
dianjurkan sebagai politik/kebijakan hukum yang baru lewat bantuan analisis-analisis semiotika),
selama itu pula reformasi hukum di negeri ini hanya merupakan dambaan yang hanya terealisasi
dalam bentuk retorika pada tatarannya yang normatif di ranahnya yang formal belaka. Tidak
kurang dan tak akan lebih.



12
TRANSPLANTASI HUKUM KE NEGARA-NEGARA
YANG TENGAH BERKEMBANG, KHUSUSNYA INDONESIA




Negara dan Karakteristik Hukum Negara

KITA sekalian dewasa ini hidup di suatu zaman yang terbilang mutakhir, dalam suatu
masyarakat yang dikelola dalam wujud sebagai organisasi negara, dengan pola-pola
kehidupan yang secara formal distrukturkan oleh seperangkat kaidah khusus (disebut
hukum negara), berupa seperangkat hukum tulis yang disistematikkan dan
dirasionalisasikan secara formal, dan ditegakkan oleh suatu aparat birokratik yang diberi
kewenangan memaksa. Patut diketahui dan diingat bahwa organisasi negara itu dan
karenanya juga apa yang disebut hukum negara itu sesungguhnya merupakan suatu
gejala baru dalam kehidupan manusia. Negara adalah suatu produk evolusi dalam sejarah
kehidupan manusia yang panjang, berawal dari bentuknya yang embrional dalam masa
prasejarah, berupa organisasi kerabat sedarah yang sekalipun lokal namun toh diikat oleh
perasaan solidaritas yang lebih ditentukan oleh perasaan berkesamaan darah dari pada
perasaan berkesamaan teritori. Perkembangan evolusioner dari satuan-satuan lokal
genealogis ke komunitas-komunitas tribal yang memadukan unsur genealogis dan
teritorial, dan seterusnya ke masyarakat-masyarakat bangsa yang disatukan oleh rasa
berkesamaan budaya dan teritori, dan/atau ke negara bangsa yang teritorial dan merasa
berkesamaan nasib dalam sejarah, amatlah panjangnya, dan sudah bermula pada masa
prasejarah.
1

Dalam evolusi kehidupan, kehidupan bernegara adalah suatu wujud performansi
kehidupan yang berada pada taraf yang relatif lanjut. Kehidupan bernegara adalah suatu
kehidupan yang hanya dimungkinkan manakala suatu sistem superorganisme dalam
proses perkembangannya telah mencapai kemampuan bereksistensi sebagai suatu sistem
kehidupan dengan energi tinggi. Negara adalah manifestasi kemampuan manusia dalam
tarafnya yang relatif tinggi untuk mengonsentrasikan dan mendayagunakan energi dalam
jumlah yang amat besar untuk mengontrol suatu jaringan kehidupan yang tak hanya
beruanglingkup luar akan tetapi juga kompleks
2
. Konsentrasi energi yang terkonversi
sebagai kekuatan politik ini, berada di tangan atau dikontrol secara langsung atau tidak
langsung oleh suatu badan administratif yang disebut pemerintah, akan meniadakan
setidak-tidaknya akan amat mengurangi otonomi-otonomi lokal, dan mengubah segmen-

1
Bacalah: Elman R. Service, Primitive Social Organization: An Evolutionaty Perspective (New York:
Random House 1962): R.L. Carneiro. A Theory of The origin of The State, Science Th. CLXIX
(1970), h. 733-738: Elman R. Service, Origins of The State And Civilization: The Process of Cultural
Evolution (New York: Norton, 1975); J Pfeiffer, The Emergence of Society (New York: McGraw; Hill
1977).
2
Fred Cottrell, Energy and Society (New York: McGraw, Hill 1955), h. 256 dst.
129
segmen lokal itu menjadi komponen-komponen fungsional yang tunduk pada rancangan-
rancangan rasional organisasi skala besar yang disebut negara itu. Perkembangannya
yang pasti akan menganut pola evolusi, ialah perkembangan progresif dari satuan-satuan
(komunitas) yang homogen namun independen ke satuan-satuan mutakhir yang heterogen
namun interdependen dalam wujud suatu satuan sistem yang terintegrasi.
3

Adalah Henry Maine, seorang antropolog Inggris denga karya pemikirannya yang
klasik, yang sudah pada tahun 1861 menteorikan bahwa masyarakat memang bergerak
secara evolusioner dari tipenya yang tradisional (yang dikonstruksikan sebagai satuan-
satuan kehidupan yang berupa keluarga-keluarga sedarah, dan kemudian feodal) ke
tipenya yang modern (yang lebih bersifat sekular dan teritorial). Sejalan dengan itu,
masyarakat yang semula terstruktur secara tegar menurut pola distribusi hak dan
kewajiban berdasarkan status-status yang telah tetap antar-warga berubah secara
berangsur menjadi suatu masyarakat yang terstruktur secara lebih luwes dan lebih
bervariasi menurut pola distribusi hak dan kewajiban berdasarkan kesepakatan-
kesepakatan kontraktual yang dibuat oleh para warga secara suka dan rela. Menurut
Maine, masyarakat yang telah berkembang kompleks, menjadi besar, dan penuh dengan
interdependensi ekonomi, tak terelakkan akan mengalami disorganisasi pada struktur-
strukturnya yang lama yang berorientasi ke status itu, dan seterusnya akan melahirkan
struktur-struktur baru yang bertumpu pada jalinan kontrak-kontrak.
4

Max Weber, seorang sosiolog J erman yang hidup selang satu generasi sesudah
Maine, dengan menggunakan data sejarah Eropa berkesimpulan bahwa masyarakat
modern yang dikonsepkan sebagai masyarakat kontrak oleh Maine adalah suatu
masyarakat yang mengalami rasionalisasi. Dalam masyarakat seperti ini hukum yang
berfungsi sebagai determinan struktur sosial akan direkonstruksi dari wujudnya yang
semula menekankan substansi (lengkap dengan kandungan etiknya) ke wujudnya yang
kemudian lebih menekankan bentuk-bentuknya yang formal. Maka, sejalan dengan
terwujudnya masyarakat-masyarakat baru yang diorganisasi ke dalam wujud negara
bangsa yang modern, disitu akan dijumpai proses-proses yang berjalan manuju ke
birokratisasi pemerintahan dan militer, dan ke rasionalitas hukum yang serba formal.
5

Proses seperti itu dengan ringkas bolehlah disebut sebagai proses ke arah terwujudnya
hukum yang otonom.
6
Atau proses positivisasi hukum
7
menuju kewujudnya sebagai
hukum yang beratribut formal, dimana konsep-konsepnya serba abstrak namun dengan
proposisi-proposisi normatif yang serba eksak dan dengan pelaksanaan-pelaksanaan yang
serba prosedural.
Positivisme hukum dan otonomisasi sistem penyelenggaraannya yang serba
formal, positif-rasional, dan prosedural itu dengan implikasinya terjadinya profesonalisasi

3
Cf: Emile Durkheim, The Division of Labor in Society (Giencoe. III: Free Press, 1964): (terjemahan
dari sumber aslinya De La Division Du Travail oleh George Simpson).
4
Henry S Maine, Ancient Law (New York: Dutton, 1960): terbit pertama kali pada tahum 1861.
5
Teori-teori Weber mengenai ihwal ini dapat diikuti dalam karyanya tentang Wirtschaft und
Gesellschaft yang telah disunting dalam bahasa Inggris oleh Max Rheinstein (ed.) Max Weber on Law
in Economy and Society (Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1954).
6
Lihat: Philippe Nonet dan Philipe Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law
(New York: Harper & Row, 1978)
7
Dikaji menurut versi seorang neo-evolusionis oleh Niklas Luhmann dalam Niklas Luhmann, A
Sociological Theory of Law (London: Routledge & Kegan Paul, 1985),h. 103-158; (terjemahan dari
sumber aselinya, Rechtssoziologie, oleh Elizabeth King-Utz dan Martin Albrow)
130
hukum membawa konsekuensi digantikannya cara-cara penyelesaian sengketa dalam
masyarakat, dan akan digantikannya pula rujuakn-rujukan normatif yang dipakai. Cara
negosiasi ke arah kompromi (musyawarah lewat proses-proses informal atau non formal),
demi kepastian hubungan yang diharapkan berlaku universal akan digantikan dengan
model penyelesaian adjudikatif (peradilan): atau, meminjam ungkapan Nader, cara give
a little, get a little akan digantikan dengan cara yang lebih adil menurut bunyi kaidah-
kaidah hukum positif (yang telah dibuat menurut tatacara yang telah disepakati), ialah
bahwa di sini yang berhak (menurut hukum yang berlaku) akan memperoleh semua objek
tuntutannya: the winner will take all!
8
. Namun ini tidak berarti bahwa yang adjudikatif
akan lebih represif; Durkheim mengatakan bahwa dalam suasana tradisional hukum
justru akan lebih bersifat represif, sedangkan dalam masyarakat-masyarakat yang telah
mencapai tahap perkembangan pembagian kerja yang lanjut, dengan solidaritas sosial
yang lebih bersifat organik daripada mekanik, hukum akan condong lebih bersifat
restitutif.
9



Asal Usul Kehendak Unifikasi Hukum

Konstruksi teori yang disusun oleh Maine, Durkheim, dan Weber mengenai
perkembangan struktur sosial dan perkembangan struktur normatif sebagaimana telah
dipaparkan di muka itu sesungguhnya diilhami oleh situasi-situasi nyata yang pada jaman
itu memang tengah berkembang di Eropa (tak ada teori yang berkembang dari ruang
hampa, bukan?) Teori-teori itu sesungguhnyalah merupakan refleksi dan abstraksi
sebuah transformasi besar yang tengah dialami Eropa, ialah transformasi yang kian
memantapkan proses kehidupan Eropa di bidang, ekonomi politik, sosial, dan budaya
menuju ke situasi-situasi baru yang lebih didominasi oleh kehidupan industri yang lugas
dan dinamik dan kehidupan birokrasi yang formal dan tersentralisasi. Teori-teori Maine
dan Durkheim mengesankan adanya gambaran sebuah progresi yang optimistik, dan
situasi Eropa yang mereka alami mereka abstraksikan sebagai suatu situasi ideal yang
terletak di ujung skala perkembangan yang lanjut. Situasi itu, kongkritnya, adalah situasi
masyarakat dan orgahnisasi yang telah mengembang dalam skala besar dan pada taraf
integrasi yang tinggi; Masyarakat lokal telah menjadi masyarakat bangsa. Organisasi
politik yang semula lokal di bawah patriarkh-patriarkh telah menjadi negara, dan adat
setempat yang implisit dan sakral telah menjadi hukum positif yang eksplisit, formal dan
sekular, namun menjamin kepastian.

8
Laura Nader, Styles of Court Procedure, To Make The Balance dalam Laura Nader (ed.) Law in
Culture and Society (Chicago: Aldine, 1969), h. 69-74.
9
Emile Durkheim, Op. Cit. Durkheim percaya bahwa rekonstruksinya itu akan dapat dibenarkan oleh
sebuah penelitianempirik. Penelitian Schwartz dan Miller yang dilaporkan dalam Richard D. Schwartz
dan J ames C Miller, Legal Evolution and Societal Complexity, American Journal of Sociology, th
LXX (1965) h. 159-169 memang menyatakan bahwa penelitian mereka itu reports preliminari
findings from cross-cultural research that show a rather starting consistency in the pattern of legal
evolution, sekalipun dengan penelitian itu hipothesis Durkheim demikian menurut Luhmann, Op, Cit,
h 14-292- has had to tolerate considerable critique and far-reaching modification tetapi Baxi
membela Durkheim dengan cara membantah keragu-raguan Schwartz dan Miller dalam sebuah tulisan
untuk mengomentari hasil penelitian Schwartz dan Miller itu: Upendea Baxi, Durkheim and Legal
Evolution: Some Problems of Disproof, Law and Society Review th, VII (1874), no 4, h. 645.
131
Seiring dengan perubahan dan perkembangan stuktur-struktur sosial seperti itu
berkembang pula suatu kesadaran baru,
10
ialah kesadaran akan makna manusia yang
hakiki dan makna teritori sebagai penyatu. Kesadaran inilah yang melahirkan konsep
humanisme, yang ketika terpadu dengan makna teritori lalu menjadi paham nasionalisme.
Dalam konsep baru yang berkembang ini, manusia dimengeri menurut hakekatnya in
abstracto, tanpa mementingkan ciri dan kondisinya in concreto, Kesamaan sebagai
manusia (dan kesamaan teritori) lalu menjadi tolok penyatu, sedangkan ciri-ciri
pembedaan antar manusia (seperti afiliasi, status pribadi, jenis kelamin atau tingkat usia)
lalu kehilangan arti, interrasi-integrasi sosial yang baru tak ayal mengambil tolok yang
humanistik ini, dan kesadaran nasional pun lalu menjadi penentu pula. Di sini apa yang
disebut the new system of teritorial law secara pasti menggantikan the old system of
personal law.
11

Pertumbuhan struktur sosial yang berasaskan teritorialisme dan perkembangan
kesadaran sosial yang berwarna humanisme merupakan kemudahan-kemudahan yang
mempercepat lahirnya negara-negara nasional dan hukum-hukum nasional di Eropa.
12

Dan itulah yang menjadi kenyataan di Eropa pada abad 18 dan 19. karakteristika final
hukum-hukum nasional Eropa Barat pada saat itu kian terlihat nyata, ialah (1) bahwa
hukum itu di lembagakan demikian rupa sehingga terbedakan secara nyata dari lembaga-
lembaga lainnya dalam masyarakat, misalnya dari lembaga politik; (2) bahwa hukum
dikelola (demi kepentingan praktis) dan dikaji serta dirawat (untuk kepentingan
akademik) oleh para profesional yang terbilang pakar dibidang masing-masing, dan
karena itu lalu bisa berkembang sebagai suatu sistem informasi dan/atau pengetahuan
yang terorganisasi logis, yang selanjutnya memungkinkan penggunaannya secara malar
dan konsisten; (3) bahwa karena itupun hukum dapat berfungsi sebagai suatu sistem
normatif yang mandiri, yang dapat dilepaskan dan dinetralkan dari kehendak subjektif
manusia-manusia pengelolanya. Dan dengan demikian juga dapat menjamin kepastian
dalam jangka panjang (disebut asas historicity yang menjamin kepastian hukum).
13
Inilah
proses pematangan praktek rule of law, yang dalam sejarah menjadi suatu sistem hukum
yang disebut oleh Nonet dan Selznick autonomous law dengan segala rasionalitasnya
yang formal
14
.

10
Studi-studi tentang perubahan sosial dengan menganalisis perubahan struktur dan perubahan alam
kesadaran masyarakat hampir selalu ditekankan dalam kajian ilmu-ilmu sosial, Durkheim, Op. Cit.
membicarakan perkembangan organisasi pembagian kerja dalam kaitan-kaitannya dengan perubahan
tipe solidaritasnya, Hebermas mengemukakan tesis bahwa intersaksi antara struktur normatif
(kesadaran moral dan kesadaran hukum ) dan struktur sosial akan menentukan tingkat integrasi
masyarakat. Lihat: Minhael Pusey, Jurgen Habermas (London: Routledge, 1988) Unger,
menggunakan model serupa untuk memperbincangkan the emergence of bureaucratic law, dalam
Roberto M Unger, Law in Modern Society (New York: The Free Press, 1976).h. 58 dst.
11
Harold J . Berman, Law and Revolution: The Formation of The Western Legal Tradision (Cambridge:
Mass: Harvard University Press: 1983).
12
Berman memerikan dengan cukup rinci dan jelas pertumbuhan organik kedua fenomena sejarah itu,
dengan berbagai variasinya dari negeri ke negeri yang berawal pada abad 12: baca: Harold: J . Berman,
Op. cit. h, 444-445, 464-467, 487-491.
13
Cf: Harold J Berman, Op.Cit, H. 7-9; dan juga Marc Galanter, The Modernization of Law, dalam
Myron Weiner (ed) Modernization: The Dynamics of Growth (New york: Basic Books, 1966). H. 168-
170.
14
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Op. Cit. h, 53-72.
132
Antusiasme untuk mentransformasikan sistem hukum ke arah sistem hukum yang
otonom berciri nasional-humanistik dan teritorial semasa revolusi Perancis tampak
bersejajar benar dengan elan perjuangan politik rakyat di negeri itu pada waktu itu yang
melantangkan tuntutan egalite, dan seperti menolak keragaman hukum yang didasarkan
keragaman agama, atau keragaman etnik dan kelas (seperti misalnya yang dijumpai pada
jaman kekuasaan Romawi, ketika iex romanum diberlakukan hanya untuk orang-orang
Romawi, sedangkal iex barbarum berlaku untuk bangsa-bangsa jajahannya). Sejalan
dengan kehendak itu, perkembangan politik hukum saat itu juga menjurus ke kehendak
untuk merealisasi unifikasi hukum dengan keyakinan bahwa hukum nasional tak
mungkin lain dari pada hukum unifikasi.


Unifikasi dan Perkembangan Hukum Nasional di Eropa Barat

Sesungguhnya soal unifikasi bukanlah soal baru dalam perkembangan sejarah hukum
Eropa Barat. Sudah pada awal abad 12 reformasi oleh Paus Gregorius melahirkan hukum
kanonik baru (iusnovum) yang bermaksud menyatukan komunitas Eropa di bawah satu
tertib hukum, ialah tertib hukum kristiani: reformatio ini berambisi mengatasi
keragaman hukum yang dikembangkan oleh apa yang disebut Berman (the) individual
spiritual comunities of bishooprics, local churchs, and monasteries subordinate to tribal
and territorial and feudal units as well as to kings and emperor.
15
Namun demikian,
unifikasi hukum yang dilandasi solidaritas nasional dari abad 19 mempunyai semangat
lain: laih-alih mengingkari pluralisme yang ada unifikasi kali ini bekerja untuk
menggarap berbagai sistem hukum yang ada itu ke dalam suatu sistem normatif yang
tunggal, berdasarkan substansi atau objek-objek yurisdiksinya, dan bukan berdasarkan
subjek-subjeknya. Kasus tipe apakah yang harus diadili menurut kaidah-kaidah (yang
berasal dari) hukum gereja? Kasus tipe apakah yang harus diadili menurut kaidah-kaidah
(yang berasal dari) hukum raja? Dan kasus macam apa pulakah yang harus diadili
menurut kaidah-kaidah (yang berasal dari) hukum feodal, manorial, atau merkantil?
Demikian selanjutnya. Maka, melalui unifikasi seperti ini, hukum nasional akan tetap
konsekuen pada asasnya sebagai territorial law, dan tak akan menghidupkan kembali
asas personal law, hadirnya pluralisme dalam hidup hukum masyarakat-masyarakat
bangsa di Eropa pada abad itu tidaklah sekali-kali mementingkan unifikasi, tetapi malah
memperkaya sistem hukum nasional yang tengah berkembang. Sebagaimana dikatakan
Berman, the very complexity of a common legal order contain diverse legal system
contributed to legal sophistication.
16

Perkembangan hukum-hukum nasional di Eropa Barat sebagaimana dimatangkan
oleh revolusi kaum liberal di Perancis itu penting dikaji, mengingat kenyataan bahwa
kebijakan-kebijakan sosial dan politik negara-negara dari peradaban Barat itu amat
mendominasi percaturan sejarah dunia hingga saat itu. Karena negara-negara itu
menguasai daerah-daerah jajahan yang amat luas di Asia dan Afrika, revolusi dan evolusi
menuju ke hukum teritorial atas dasar prinsip unifikasi hukum untuk seluruh penduduk

15
Harold J . Berman, Op. Cit. h. 69.
16
Ibid, h. 10, Cursif oleh saya. Dalam teks aselinya cursif diletakkan pada kata order dan systems
untuk menekankanarti bahwa sistem (hukum) yang beragam tak menghalangi terwujudnya tertib
(hukum) yang tunggal untuk kepentingan bersama.
133
negeri lalu tak hanya akan berhenti dalam batas-batas kawasan Eropa (dan kawasan
hunian baru orang-orang Eropa Barat di Amerika Utara dan Australia) saja. Humanisme
lain di dunia ini berwahanakan kekuasan politik kolonialisme.
17
Maka terjadilah
serangkaian upaya di negeri-negeri jajahan itu apa yang disebut Falanter dengan suatu
istilah yang mengandung celaan, the legal colonization.
18

Pada pertengahan abad 19, ketika pengaruh ide-ide yang dibawakan revolusi
Perancis mulai merata dan memperoleh akses pula dalam proses penetapan kebijakan
kolonial, kebijakan untuk menangani daerah jajahan mulai dirasakan oleh para politisi
kolonial di mana-mana sebagai bagian dari misi suci orang-orang kulit putih.
Keberhasilan (Eropa) Barat membangun negara-negara bangsa, dengan hukum nasional
yang terunifikasi dan tersistematisasi secara rasional dari postulat-postulat metayuridik
(atau ideologi humanisme), dicoba direalisasi juga di daerah-daerah jajahan oleh para
penguasa Eropa yang bertanah jajahan. Pada masa itulah dimulai bewuste rechtspolitiek
untuk melaksanakan unifikasi hukum (secara berangsur) untuk seluruh penduduk di
Hindia Belanda, dirintis oleh perencana-perencana seperti Hageman (1830-an) dan secara
lebih moderat juga oleh Scholten van Oud Haarlem (1840-an). Unifikasi ini mengandung
maksud hendak memperluas berlakunya hukum Eropa untuk seluruh penduduk,
berdasarkan suatu asas yang disebut eenheidsbeginsel.
19
Kebijakan serupa juga
dilaksanakan di daerah-daerah jajahan Perancis, Belgia, dan Inggris, baik yang terletak di
Afrika maupun yang terletak di Asia.
Unifikasi berdasarkan asas teritorial denga memberlakukan hukum Barat yang
positif, terkodifikasi secara sistematik dan terkelola secara profesional, dengan prosedur
dan pelaksanaan yang dimaksudkan untuk menjamin kepastian hak itu bahkan juga
terjadi di negara-negara yang tak terjajah secara politik. J epang, misalnya, meresepsi
hukum Barat itu semasa pemerintahan Meiji Tenno; Turki melakukannya semasa jaya-
jayanya kekuasaan Kemal Attaturk (suatu proses yang oleh Galanter disebut legal
colonization from within,
20
sekalipun kebijakan from within ini lebih didasarkan kepada
pamrih-pamrih yang lebih pragmatik daripada pertimbangan-pertimbangan yang
humanistik). Bahkan pada tahun 1950-an masih juga terjadi transplantasi hukum Eropa
semacam itu melalui serangkaian usaha kodifikasi dan perundang-undangan (ialah ke
Etiopia, suatu negeri yang praktis selama itu terisolasi dan hampir-hampir tak pernah
menjadi sasaran kolonialisme).
21

Tetapi menduplikasi keberhasilan Eropa di dan untuk daerah-daerah jajahannya
tidaklah mudah. Kiranya tak salah untuk menyatakan disini bahwa keberhasilan Eropa
adalahkeberhasilan suatu proses sejarah yang tak hanya alami akan tetapi
jugaberlangsung dalam suatu jangka waktuyang teramat panjang, melalui perubahan-

17
Politik kolonialisme itu tak selamanya mencerminkan pamrih eksploitai dan pragmatisme yang
serakah. Tefleksi humanisme dan juga motif-motif etis sesungguhnya tercatat juga dalam dokumen-
dokumen dan arsip-arsip kolonial. Khusus tentang Indonesia, kenyataan tentang ini dapat dikaji a.l.
dalam artiker-artikel yang dihimpun dalam C. Fasseur, Geld En Geweten (Den Haag: Martinus
Nijhoff. 1980), 2 jilid: dan juga J .S. Furnivall, Netrerlands India: A Study of Plural Economy
(Amsterdam: BM Israel, 1976).
18
Marc Galanter, Op. Cit, h, 173.
19
Baca: J . van Kan, Uit De Geschiedenis Onzer Codificatie (Batavia: De Unie, 1927) h. 4-55
20
Marc Galanter, Op. Cit, h 173.
21
J hon H. Beckstrom, Transplantation of Legal System: An Early Report on the Reception of Western
Laws in Ethiopia, The American Journal of Comparative Law, th XXI (1973). No 3,h, 557-583.
134
perubahan mendasar yang berulangkali, yang oleh Berman disebut revolusi.
22

Sementara itu apa yang tengah terjadi di daerah-daerah jajahan di Asia dan Afrika itu
bukanlah proses peristiwa yang historik, melainkan rentetan usaha manusia yang rasional
tetapi buru-buru, dalam jangka waktu yang direncanakan terlalu pendek, dan yang pada
saat itu lebih banyak dikuasai oleh imperativa-imterativa ideologi daripada oleh tuntutan
oleh pemahaman yang objektif dan kesadaran yang realistik. Rasionalitas para pemuncak
politik dan para pembuat kebijakan hukum di sini adalah rasionalitas formal yang tegar,
sejalan dengan rasionalitas yang dianut para positivis penganut ilmu hukum murni, dan
bukannya rasionalitas purposif sebagaimana dianut oleh mereka yang mendukung paham
aliran sosiologik dalam ilmu hukum.


Kebijakan Unifikasi di Wilayah Kolonial

Pengalaman transplantasi hukum barat yang dapat dipelajari dari sejarah kolonial
Indonesia.
23
Asas-asas humanitarian yang diintroduksikan dari Eropa mulai mengambil
peranan penting dalam pemerintahan kolonial sejak awal abad 19. Daendels dan Raffles
memperluas wilayah-wilayah di J awa yang dimasukkan ke dalam kontrol langsung
aparat-aparat pemerintahan kolonial, dan melakukan berbagai reformasi sekalipun
terpaksa berangsur berdasarkan asas-asas keadilan bangsa Eropa. Sekali dua kali
semangat dan usaha mempercepat proses eropanisasi sistem hukum kolonial (yang
mengarah ke penyatuan, berdasarkan asas konkordansi untuk memberlakukan hukum
yang berlaku di negeri Belanda untuk seluruh penduduk negeri di tanah jajahan) terjadi
juga. Tetapi berulangkali pula semangat dan usaha itu mereda atau terkekang, bukan
pertama-tama oleh kuatnya perlawanan politik para penentang, akan tetapi oleh karena
pertimbangan-pertimbangan realistik yang akhirnya diambil oleh para penguasa kolonial
mengenai soal konsekuensi pendanaannya.
24
Pada akhirnya, mereka yang mempelajari

22
Harold, J Berman, Op. Cit. Khususnya H. 18-25, ada enam revolusi yang disebut dan dikaji Berman,
ialah reformasi Gregorian (the Papal Revolution) dari abad 12, Reformasi Protestan (yang disebut juga
revolusi J erman) dari abad 16, Revolusi Inggris (yang berawal dari The Glorius Revolution) dari abad
17. Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis dari abad 18, dan Revolusi Rusia (Bolshevik) dari abad
20.
23
Dapat dipelajari a.l. dari sumber-sumber: J ohn Ball, Indonesian Legal History: 1602-1484 (Sydney:
Oughtershaw Press, 1982), Khususnya h, 166-255 dan 231-236; J , W B. Money, Java, or How to
Manage a Colony (London: Hurst & Blackett, 1861), khususnya h. 1-121 pada jilid II; J . van Kan,
Loc. Cit; J . S Furnival, Op, Cit, khususnya h, 257-302; J .F. Hollemn (ed), Van Vollenhoven on
Indonesia Adat Law (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981), Khususnya h xxxix-lxvii; dan R Supomo
dan R Djokosutono, Sejarah Politik Hukum Adat, 1848-1928 (J akarta (?): Djambatan, 1945,
khususnya h, 10-95.
24
Van der Vinne, seorang anggota Raad dan Stat yang berpengaruh, misalnya, sekalipun menyatakan
bahwa penerapan hukum Eropa untuk orang-orang pribumi itu akan merupakan eene ingrijping in de
rechten, gewoonten en zeden der niet-Ruropeesche bevolking, en eene losschroeving van zoovele naar
gelang van lonatiteit en personen verschillende inrichtingen, bepalingen en costumen in Indie,
namun demikian sesungguhnya keberatan dia menyetujui rencana penerapan hukum Eropa untuk
orang-orang pribumi terletak pada pertimbanganbahwa hal itu akan menambah beban pekerjaan
kehakiman pada pejabat-pejabat pemerintah dan karena itu akan menurunkan prestasi para pejabat itu
dalam tugas-tugas pokoknya lebih penting, ialah mengawasi pelaksanaan kulturstelsel: (Pernyataan
terkahir ini juga diucapkan oleh Gubernur J enderal Roshussen (1845-1851). Baca: J . van Kan, Op.
135
sejarah lahirnya Regeringsreglement 1854, khususnya tentang pasalnya yang ke-75, akan
mengetahui kebijakn kompromistis yang diambil, ialah (1) membiarkan (sementara)
berlakunya hukum pribumi sejauh tidak bertentangan dengan asas-asas umum (baca:
Eropa) mengenai kepatutan dan keadilan, untuk kemudian, sejauh diperlukan menurut
kebutuhan, (2) menerapkan hukum Eropa kepada seluruh penduduk negeri (secara
berangsur), melalui wewenang Gubernur J enderal untuk menyatakan berlakunya
ketentuan-ketentuan tertentu dalam perundang-undangan Eropa untuk penduduk pribumi,
atau melalui lembaga vrijwillige onderwerping yang diberikan kepada orang-orang
pribumi
25

Sekalipun kesulitan dana pemerintah diajukan sebagai alasan utama, lebih-lebih
setelah diundangkannya Compatabileitswett pada tahun 1864 (Ind. Stb. No. 104) yang
menyatakan bahwa anggaran untuk penyelenggaraan pemerintahan Hindia Belanda harus
ditanggung dari pendapatan Hindia Belanda sendiri, namun pada akhirnya yang
mempersulit tumbuh kembangnya hukum dan pelembagaan hukum Eropa di bumi
Indonesia itu bukanlah keterbatasan dana itu. Penyebab lain yang paling utama ialah
kenyataan bahwa di mana-mana budaya lokal yang asli dan belum berubah akan selalu
sulit menopang kelangsungan hidup suatu sistem asing yang ditansplantasikan.
Dasawarsa-dasawarsa selepas tahun diundangkannya Regeringsreglement 1854
menyaksikan betapa jarangnya lembaga vrijwillige onderwerping dipakai orang, yang
menandakan betapa sedikitnya orang bersedia menyeberang untuk memperluas yurisdiksi
hukum Eropa. Kenyataan ini menunjukkan berapa banyakny apenduduk di tanah jajahan
itutetap bertahan untuk memilih hukum dan kebiasaannya sendiri yang berakar pada
budaya suku dan yang hanya berlaku dalam kalangan masyarakat-masyarakat lokal
yang tersegmentasi.
Sementara itu, kabijakan unifikasi lewat penerapan secara berangsur bagian-
bagian tertentu hukum Eropa pada orang-orang pribumi pun tak selamanya mampu
menimbulkan efek seperti yang diharapkan. Dekrit-dekrit dan keputusan-keputusan tak
begitu saja mengubah kenyataan dan keadaan. Penerapan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (yang semula dirancang untuk negeri Belanda) untuk orang-orang pribumi semasa
masa jabatan Menteri Koloni Fransen van de Putte (1872-1874) tak serta merta
mengubah seluruh konsep penduduk pribumi mengenai apa yang jahat dan karenanya
harus dihukum dan apa pula yang tidak; disini, di dalam praktek peradilan, penafsiran
mengenai apa yang dimaksud wederrechtelijk yang disyaratkan sebagai unsur dalam
setiap perbuatan pidana pun selalu menimbulkan keputusan in concreto yang bervariasi,
sejalan dengan variasi budaya yang dianut para pelaku sebagaimana terpersepsi oleh

cit, h, 33, 43-44; juga A. J . Immink, De Regrerlijka Organisatie van Nederlandsch Indie (Batavia:
Stemberg, 1882)

25
Regeringsreglement 1854 adalah reglemen yang progresif menurut ukuran waktu itu. Kecuali memuat
pasal 75 yang berissi semangatuntuk memodernisasi hukum berdasar tolok-tolok Eropa, reglemen ini
juga memuat 3 pasal yang dengan jelas merefleksikan ide-ide liberal revolusi Perancis, ialah pasal 79
yang menyiratkan asas trias politika. Pasal 88 yang memerintahkan dilaksanakan asas legalitet dalam
setiap proses pemindanaan, dan pasal 89 yang melarang pemindanaan yang mengakibatkan kematian
seseorang secaraperdata. Dalam buku W.F Wertheim, Indonesia Society in Transition (The Hague:
van Hoeve, 1956), h. 58 dituliskan bahwa though the call for liberty, equality and franternity echoed
but faintly in the Indies, the political structure of the Dutch possesich there was strongly influenced
bay developments in Eropa.
136
hakim. Pengundangan Ind, Stb. 1863 no. 52 yang mengharuskan individuele contract
sluiting atas dasar prinsip kebebasan berkontrak pun tak serta merta mengubah pola
kebiasaan orang-orang pribumi untuk tak mengikat kerja denan cara menyerahkan
penutupan kontrak-kontrak itu kepada (agar dilakukan saja oleh) kepala-kepala mereka:
26

ketentuan-ketentuan hukum yang termuat dalam staatsblad itu pun tak serta merta
menyebabkan orang-orang pribumi segera memahami asas-asas moral yang terkandung
dalam adagium pacta sunt servanda yang selalu memperkuat daya ikat setiap kontrak itu.
Karena tak cukup ditopang oleh kesadaran hukum masyarakat pribumi setempat
yang resonan dengan hukum yang telah diundangkan, maka dapat dimengerti mengapa
hukum Eropa ini, manakala diberlakukan untuk orang-orang pribumi, selalu terpaksa
ditegakkan dengan paksaan-paksaan eksternal yang lebih keras. Misalnya
dipertahankannya pidana mati dalam hukum kolonial, tetap digunakannya hukuman dera
dengan rotan dimuka umum (sampai tahun 1870-an) dalam perkara-perkara rol, dan
poenale sanctie untuk setiap pelnggaran kontrak yang dilakukan oleh para pekerja
pribumi. Di sini terbukti kebenaran teori bahwa keefektifan kontrol untuk mengendalikan
organisasi-organisasi kehidupan yang berada pada taraf integrasi yang lanjut tidaklah
akan mungkin berhasil manakala perkembangan struktur sosial (d.h.i. organisasi
kenegaraan masyarakat kolonial) tak berseiring dengan perkembangan struktur
normatifnya (d.h.i. moral dan kesadaran hukum masyarakat kolonial).
27
Dalam hubungan
ini menarik juga untuk merujuk ke kesimpulan Seidman, yang diperolehnya dari kajian-
kajiannya mengenai masalah transplantasi hukum Inggris ke daerah-daerah jajahan di
Afrika yang dengan ringkas ia sebut The law of the Nontransferebility of law
28

Seidman tidak menyebut-nyebut hal budaya atau struktur normatif sebagai
variabel determinan dalam persoalan tak efektifnya hukum asing yang ditransplantasikan.
Ia berangkat dari asumsi dasar mengenai perilaku warga masyarakat, dengan mengatakan
bahwa perilaku hukum seseorang itu akan lebih banyak ditentukan oleh keputusan dan
pilihannya atas berbagai alternatif, dengan menimbang-nimbang mana dari sekian
alternatif itu yang paling menguntungkan atau yang paling sedikit menimbulkan
kerugian. Disini kaidah hukum hanyalah merupakan salah satu saja di antara sejumlah
determinan institusional lain yang akan mempengaruhi keputusannya.
29
Maka, manakala
hukum karena ditransplantasikan ke tengah masyarakat yang berbeda dari masyarakat
aselinya harus bekerja di tengah-tengah lingkung institusional yang berbeda, maka efek
atau pengaruh hukum terhadap pilihan seseorang (ketika harus memilih alternatif
perilaku) patut diduga akan berbeda pula. Maka disini orang dapat menyimpulkan bahwa
hukum yang ditransplantasikan itu tidaklah mungkin diharapkan akan dapat menerbitkan
efek yang sama dengan efek yang dapat ia terbitkan di tempat asal. Maka tersimpukanlah

26
Gov. Best. Tgl.18-10-1858 no. 3 Bibjl. no. 813 bahkan mengkaidahi bahwa kontrak-kontrak itu harus
selalu dalam bentuk tertulis dan didaftarkan ke kantor Residen, dengan ancaman, bahwa apabila hal itu
tidak dilakukan maka kontrak itu demi hukum akan tak sah: tetapi, de praktijk hield zich aan deze
bedoeling niet. Lihat: Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, J ilid II (1918) h. 360-366, pada entri
koeli.
27
Perhatikan kembali catatan kaki no. 9 yang merujuk ke pikiran Durkheim. Habermas, dan Unger.
28
Robert B. Seidman, The State, Law and Development (New York: St. Martins Press 1978). h.29-36.
29
Seidman menyebut determinan ini factor which affects.. decisions but over which (one) has no
control Ibid, h, 35, dengan bahasa psikologi, atau ilmu periaku, apa yang disebut determinan di sini
ini disebut dengan istilah reinforcement (factor) yang dasar-dasar teorinya diletakkan oleh Skinner
dalam B.F Skinner, Science and Human behavior (New York: MacMillan, 1953).
137
oleh Siedman bahwa hukum itu tidak dapat ditransfer dari bumi daya asing tanpa
membedol seluruh jaringan sistem institurional yang menjadi konteksnya
30
.
Seidman menyimpulkan The Law of The Nontransferebility of Lawnya itu dari
sebuah studi yang ia lakukan tentang transplantasi hukum administrasi Inggris ke daerah-
daerah jajahan di Afrika.
31
Hukum administrasi Inggris yang tumbuh kembang dalam
sejarah nasionalnya sebagai hukum yang bertumpu pada asas rule of law telah
ditransplantasikan ke daerah-daerah yang terbiasa diperintah dengan kekuasaan otokratik.
Pemerintah kolonial pun telah harus bekerja secara otokratik, memerintah dari
kedudukannya di pusat-pusat tertentu karena mengingat situasi luar yang belum dikenal
benar telah terpaksa menerapkan praktek pemerintahan tak langsung. Beroperasi di
kawasan yang kosong dengan institusi-institusi yang memungkinkan rule of law,
pemerintah kolonial menemukan kenyataan bahwa hukum administrasi Inggris kurang
dapat berfungsi secara berarti sebagimana ketika diterapkan di negeri Inggris sendiri,
maka, alih-alih mengupayakan keefektifan hukum administrasi yang resmi ini, pejabat
kolonial mengembangkan pranata dan pola-pola normatif baru yang informal. Pola
informal ini tampil dalam rupa sistem perekrutan pejabat-pejabat kolonial yang inovatif
tetapi yang tak secara sengaja direncanakan dan diatur secara formal: ialah bahwa para
pejabat kolonial itu secara diskriminatif hanya direkrut dari satu universitas elit tertentu
saja. Cara demikian itu melahirkan klik-klik kesejawatan informal yang bertumpu pada
budaya kelas atas Inggris, dan melahirkan pula kode-kode yang sekalipun tak pernah
terrumus sebagai hukum yang resmi namun dalam kenyataan selalu dimengerti dan
dijadikan pegangan bertindak oleh para pejabat yang seasal dan seperguruan itu. Institusi
informal ini menurut kenyataannya malah sangat fungsional untuk memutar roda
pemerintahan dalam lingkungan yang pernuh otokratisme itu.
Di sini juga Seidman ingin juga menunjukkan bahwa pemerintah kolonial Inggris
di tanah-tanah jajahannya di Afrika itu hanya dapat berfungsi dengan baik kalau tidak
lagi mengakui rule of law, melainkan rule of man, dan memang demikian kenyataannya
yang nonretorik, yang dalam kenyataannya telah diupayakan oleh The Colonial Service
bukanlah menegakkan the rule of (the English) law melainkan the rule of men. Maka
dapatlah dimengerti mengapa pemerintah kolonial Inggris ini mementingkan sistem
perekrutan dan pengembangan karakter para personilnya: tujuannya hanyalah
mengembangkan pemerintahan yang baik lewat upaya mengembangkan apa yang disebut
good man.
32
Yang dicari adalah tokoh-tokoh yang memiliki karakter sebagai seorang
English Gentleman, yang bisa dipercaya akan selalu dapat bertindak dan membuat
kebijakan-kebijakan situasional menurut keadaan setempat yang amat bervariasi, dan
yang sebagian besar mungkin malahan tak terduga.
33


30
Seidman mengembangkan suatu model untuk menggambarkan hubungan seluruh jaringan sistem
institutional itu dengan perilaku para pelaku hukum, baik yang berkedudukan sebagai pemegang peran
dalam masyarakat, maupun yang berkedudukan sebagai pembuat hukum dan sebagai hakim pembuat
keputusan. Keseluruhan jaringan itu ia sebut arena of choice atau juga field of social forces, lihat
:Robert B Seidman, Op, Cit, h, 69-79: atau, lebih terurai di Robert B Seidman, Law and
Development: A General Model, Law And Society Review, Th VI (1972) no, 1, h, 126-154.
31
Robert B. Seidman, Administrative Law and Legitimacy in Anglophonic Africa: A Problem in The
Reception of Foreign Law, Law and Society Riview , Th, IV (1970), no. 1h. 161-204.
32
Ibid, juga diuraikan ringkas dalam Robert B, Siedman, Op. Cit. (1978), h. 38-46..
33
Tentang masalah bekerjanya hukum formal yang telah baku dan semula dimaksudkan untuk
merealisasi kebijakan unifikasi di tengah-tengah situasi kolonial yang amat beragam, juga atas dasar
138


Kebijakan Hukum Hindia Belanda

Apa yang dijumpai pemerintah kolonial Inggris di Afrika sebagaimana dilaporkan
Seidman sesungguhnya dijumpai pula oleh pemerintah kolonial Belanda, yang pada saat
itu harus bekerja di bawah ketentuan-ketentuan Regeringsreglement 1854. Kesadaran
akan kenyataan adanya pluralisme budaya, dan kenyataan bahwa lingkungan institusional
pribumi sulit diubah untuk memudahkan resepsi hukum Eropa, untuk sementara telah
meredakan niat pendukung kebijakan universalis, bahwa hukum Eropa akan dapat
diterapkan dimana saja dengan efek yang sama baiknya dengan ketika diundangkan
untuk masyarakat Belanda di Eropa. Setelah gerakan pemisahan kekuasaan sesuai dengan
ide trias politika, mencapai hasilnya pada tahun 1870-an, dan peradilan negara untuk
orang-orang pribumi (Landraad) menurut ketentuan tak lagi akan dijalankan oleh para
pejabat pemerintahan, tampak tanda-tanda bahwa proses politik kolonial akan lebih
menekankan soal penyiapan good men dan good gevernment yang diharapkan dapat
membimbing dan mendidik orang-orang pribumi dari pada menekankan usaha-usaha
mencarikan good law (menurut tolok ukur Barat untuk dibebankan ke masyarakat
pribumi).
34
Proses ini menampak nyata pada dasawarsa-dasawarsa yang bersamaan
dengan dasawarsa surutnya pengaruh Fransen van de Putte, yang sebagai seorang
politikus liberal yang berpengaruh selalu mendesakkan kebijakan universalis untuk
segera memberlakukan hukum Eropa untuk semua golongan penduduk di daerah
jajahan.
35

Akhir abad ke 19 menyaksikan kebijakan politik kolonial yang hendak
menekankan terlebih dahulu upaya-upaya pembenahan birokrasi pemerintahan dan
peradilan: ini adalah suatu upaya unifikasi formal menuju ke suatu tertib pengendalian
yang tunggal dan sentral, sesuai dengan prinsip-prinsip kenegaraan modern.
36
Pada
beberapa dasawarsa berakhirnya abad 19 inilah terjadi penggiatan usaha pemerintah
kolonial untuk menjadikan apa yang dinamakan inlandse hooffden bisa fungsional di
dalam struktur sosial-politik dan moral pemerintahan Hindia Belanda: secara sistematis
para bupati dan bawahannya di J awa mulai digarap, dari wujudnya semula sebagai

pengalaman Afrika, dapatlah dirujuk: Max Rheinstein, Problems of Law in The New Nation of
Afrika, dalam Clifford Geertz, Old Societies And New States (New York: The Free Press, 1965), h.
220-246.
34
Pada tahun, 1878 tokoh anti-Revolutionaire Partij di Negeri Belanda, Abraham Kuyper.
Mengintroduksi ide ini dalam tulisannya yang berjudul Onze Program untuk program perjuangan
partainya. Seruannya: geen exploitatie noch kolonisatie, maar voogdij I baca selengkapnya dalam
C.Fasseur, Op. Cit, J ilid I, h, 184-185.
35
Pendirian van de Putte ini, dan perkembangannya, dapat disimak antara lain dalam Parlementaire
Redevoeringenvan I. D. van de Putte (Schiedam: Roelants. 1872), 2 jilid. Oposan kaum universalis ini
adalah kaum partikularis, seperti antara lain Barron van hoevell dari kelompok liberal humanitarian,
yang berpendapat bahwa hak-hak asasimanuia juga harus dijamin untuk orang-orang pribumi, dan
sesungguhnya hak-hak itu hanya dapat dijaga dan tetap terlindung kalau dibiarkan saja berada di adat
kebiasaan lokal: lihat Billie Mulherin, The Development of Dutch Adat Law Study with Relation to
Land Tenures: Nineteenth Century Java. (Tesis Master Belum dipublikasikan, University Queensland,
1976) h, 182.
36
Sumber bahan untuk kajianyanglebih mendalam: A.D.A de Kat Angelino, Staatkundig beleid en
Bestuurzorg in Nederlandsch-Indie (s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1931).
139
penguasa feodal yang bersetia kepada raja menjadi pengreh praja yang bisa bekerja untuk
kepentingan kolonial.
37
Mereka mulai digaji dari kas negara, dan pemasokan yang tidak
berdasarkan peraturan pemerintah (umumnya berupa pungutan in natura, sering berupa
rodi) mulai dipelajari dan ditinjau kembali.
38
Para pejabat Eropa yang direkrut untuk
mengisi jabatan-jabatan pemerintahan kolonial, baik kolonial, baik sebagai
bestuurambtenaar maupun sebagai rechtsambtenaar, harus pula dididik secara khusus
dan lebih baik. Pendidikan khusus untuk maksud itu didirikan di Lieden (1864, tak
beroperasi antara tahun 1891-1902), Delft (1892-1902), dan Utrecht (1925). Dalam masa
pendidikannya, pejabat-pejabat itu tidak hanya harus mempelajari hukum dan tata
pemerintahan akan tetapi juga harus mempelajari bahasa, adat kebiasaan, dan lembaga-
lembaga agama rakyat pribumi di daerah-daerah jajahan.
39

Dari ketiga pusat pendidikan itu, peranan Leiden tercatat paling besar, dan baru
kemudian lewat kontroversi yang panas disaingi oleh Utrecht.
40
Karena Rijksuniverstiteit
Leiden adalah pusat pemikiran liberal yang menganut garis politik etik dalam menangani
urusan koloni, maka tidak memberikan arah dan bentuk pada kebijakan-kebijakan
kolonial di bidang pemerintahan dan hukum. Akan tetapi, secara cukup mengejutkan,
Leiden ternyata tidak bisa sejalan dengan rencana orang-orang resmi di pemerintahan
untuk meneruskan politik unifikasi hukum substantif yang selama ini telah agak tertunda.
Orang-orang Leiden itulah (kususnya C. van Vollenhoven, dan kemudian juga B. ter
Haar Bzn) yang menggagalkan upaya-upaya untuk kolonial. Orang-orang Leiden
mempertahankan dualisme atau pluralisme, dan kodifikasi hukum yang akan
diberlakukan secara menyeluruh tanpa mempertimbangkan perbedaan kelembagaan, adat,
dan kepercayaan penduduk telah ditentangnya berulangkali.
41
Lewat tangan dan pikiran
orang-orang Leiden ini pulalah pertama kali Snouch Hurgronye, dan kemudian van
Vollenhoven suatu kenyataan diungkapkan bahwa orang-orang pribumi memiliki
hukumnya sendiri yang cukup penting untuk diperhatikan dan cukup potensial untuk

37
Uraian mengenai hal ini dapat diikuti dalam Heather Sutherland, The Making of A Bureaucratic Elite:
The Colonial Transformation of The Javanese Priyayi (Singapore: Heinemann, 1979).
38
Lihat laporan studi ini a.l. dalam : F. Fokkens, Eindresume van het bij Besluit van de Gouverneur-
General van Nederlandsch-indie van 24 Juli 1888 no. 8, Bevolen Onderzoek Naar de Verplichte
Diensten op Java en Madura (Batavia: 1901-1903). 2 jilid.
39
A.A.J . Warmenhoven, De Opleiding van Nederlandse Bestuurambtenaren in Indonesia dalam S.L.
vander wal (ed), Berturen Overzee (Franeker: Wever, 1977).h, 12-41.
40
Kontroversi antara Leiden dan Utrecht ini berlangsung antara tahun 1924-1932 ketika kelompok
konservatif, dengan tokohnya F.C. Gerretson, menyatakan tak puas denagn cara Lieden menyiapkan
para pejabat kolonial dan pendirian-pendirian politik yang dikembangkan. Sebagai tandingan
Gerretson mendirikan Fakultas Indolog di Utrecdht dengan bantuan biaya para usahawan minyak yang
beroperasi di Hindia Belanda, sehingga fakultas ini dikenal dengan nama Olie faculteit. Uraian lebih
lanjut dapat dibaca di Emile Henssen, Gerretson. Leidsche Ideologie En Indische Realiteit (Leiden:
brosur no 22 Vereniging voor Staatkundete Leiden, 1923).
41
Rencana-rencana unifikasi yang ditentang Vollenhoven dan pengikut-pengikutnya ini dibuat berturut-
turut oleh Kabinet Kuyper (1904) sebagaimana dikoreksi dengan amandemen Idsinga ( 1906). Oleh
Pleyte (1919, khususnya mengenai hal pemilikan tanah), dan oleh Cowan (1923). Perlawanan van
Vollenhoven dapat dibaca dalam karangan-karangannya Geen J uristenrecht voor den Inlander, Het
Adatrecht van Nederlandsch-Indie, jilid III (Lieden: E.J . Brill, 1918), h, 22-59, terbit pertama kali di
Xxe Eeuw (Maret 1905); De Indonesiers en zijn Grond (Leiden: E.J . Brill, 1919); dan juridisch
confectiewerk: Eenheidsprivaatrecht voor Indie, dalam Op. Cit. (1918), h. 719-744 terbit pertamakali
di Koloniale Studien Th. IX (1925), no 1.
140
dikembangkan, ialah hukum adat.
42
Peranan Leiden menjadi kian tak dapat diabaikan
ketika puluhan mahasiswa dari kalangan elit pribumi mulai memanfaatkan kesempatan
belajar ke negeri Belanda, dan banyak diantara mereka suka memilih Leiden sebagai
tempat belajar ilmu hukum, indologi, dan ilmu susastra. Umumnya mereka berasal dari
keluarga-keluarga ningrat atau priyayi/menak, memasuki pendidikan tinggi Belanda dan
tujuan merintis karier di bidang pemerintahan atau kehakiman, namun banyak di antara
mereka yang kemudianmenjadi tokoh-tokoh intelektual dalam pergerakan-pergerakan
nasional, yang tentu saja gampang berkecenderungan untuk memilih dipertahankannya
hukum adat untuk golongan pribumi dari pada meresepsi hukum asing yang
ditransplantasikan dari Eropa, (dengan ataupun tanpa modifikasi). Ketika
Rechtshogeschool (RHS) didirikan di J akarta (waktu itu bernama Batavia) pada tahun
1924, warna Leiden mendominasi sekolah tinggi ini, gagasan-gagasan yang diajarkan di
Verenigde Faculteiten der Geleerdheid en der Letteren en Wijsbegeerte Rijksuniversiteit
Leiden terbias juga di RHS, karena hampir semua guru besar yang mengendalikan
sekolah tinggi di Batavia ini adalah orang-orang Leiden.
43

Manakala van Vollenhoven dari belakang mimbarnya di Leiden berperanan besar
dalam menghidupkan ide tentang eksistensi dan potensi hukum adat untuk menjaga
kesejahteraan hidup bangsa-bangsa pribumi, ter Har yang turun kelapangan telah
berhasil mengoperasionalkan hukum adat lewat peradilan-peradilan negara yang
diselenggarakan khusus untuk memeriksa perkara-perkara orang-orang pribumi (disebut
Landraad). Pada tahun 1930-an, banyak landraad sudah mulai diketuai oleh hakim-
hakim banyak diantaranya pribumi yang tahu benar bagaimana menghargai hukum adat,
dan paham benar bagaimana menemukan asas-asas hukum adat yang hidup di masyarakat
untuk seterusnya diterapkan sebagai keputusan-keputusan yang mengikat. Lewat cara ini,
hukum adat memperolah bentuknya formal (sebagai hukum pengadilan negara), dan
seterusnya tersistematisasi lewat yurisprudensi, serta disiarkan secara luas lewat Indische
Tijdschrift van Het Recht. Ter Haar amat berjasa dalam proses ini, dan disadari atau tidak
ia telah mengembangkan dan merawat hukum adat lewat cara yang dikenal dalam sistem
commom law.
44
(dan tidak lewat cara kodifikasi menurut tradisi hukum kontinental yang
sebenarnya lebih disarankan vanVollenhoven).
45


42
Pengakuan umumnya diberikan kepada van Vollenhoven. Baca F.D.E, Prof, Mr. Cornelis van
Vollenhoven als ontdekker van Het Adatrech, Bijdragen tot De Taal, Land-en Volkenkunde van
Nederlandsch-Indie, Th. XC (1933) hlm. 1-41 Von Benda-Beckman menulis bahwa (atas jasa rintisan
van Volenhoven) selama 4 dasawarsa pertama di abad 20 ini tak ada negara dimanapun juga yang
mampu menyamai Belanda dalam hal keberhasilannyamenghimpun jumlah bahan etnografi hukum:
Frans von Benda-Beckman, :Rechtsantropologie in Nederland, Sociologische Gids, Th. XXVIII
(1981), h. 297-400.
43
Resink mencatat bahwa guru-guru Leiden dan RHS mempunyai pengaruh besar pada
pandanganpolitik nasionalis para mahasiswanya yang pribumi, dan banyak dari mahasiswa ini ternyata
berperanan besar dalam Konggres Pemuda pada tahun 1928; bukan barang kebetulan kalau Sumpah
Pemuda itu juga mengikrarkan pentingnya hukum adat untuk kehidupan dan kesatuan bangsa. Baca:
G.J . Resink, Rechtshoogeschool, J ongereneed, Stuwen Gestuwden, Bijdragen tot De Taal-Land-en
Volkenkunde van Nederlandsch-Indie Th. CXXX (1973) hlm 427-449. Banyak guru bersar dari RHS
juga menjadi anggota organisasi De Stuw yang menyokong ontvoogdij politiek, dan dengan demikian
berlawanan dengan menghadapi pergerakan politik orang-orang pribumi. Baca mengenai hal ini : E. B.
Locher Scholten, De Stuw, Tijdstekening en Teken Des Tijds, Tijdschrift voor Geschiedenis, Th.
LXXXIV (1971), H. 36-65.
44
Dinyatakan pertama kali oleh Prof. Mr Djokosoetono bekas murid ter Haar lewat komunikasi lisan
kepada salah seorang mahasiswanya, Mr. Soemarno P. Wirjanto; Mr, soemarno P Wirjanto
141


Tantangan Kebijakan Hukum Paska Kolonial

Demikianlah situasinya anno 1942, ketika pemerintah Hindia Belanda harus
mengakhiri kekuasaan politiknya di Indonesia, dan anno 1949 ketika pemerintahan
Belanda harus mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Hukum teritorial yang
berkembang sebagai suatu sistem tunggal dan siap pakai untuk rujukan seluruh nasion
belumlah terwujud. Van Vollenhoven dan ter Haar boleh dituduh sebagai biang
kegagalan unifikasi hukum; tetapi hingga eksponen-eksponen yang ikut mencegah
terjadinya legal colonization seperti apa yang terlanjur terjadi di negara-negara Afrika.
Tetapi apa yang menggembirakan pada masa kolonial tidaklah selamanya terasakan
demikian pada masa kemerdekaan. Hukum adat yang menjadi perlambang ketahanan
bangsa Indonesia menghadapi ofensi dan penetrasi hukum dan budaya Eropa kini mulai
dipertanyakan kemampuannya untuk berfungsi sebagai struktur normatif yang melandasi
struktur sosial-politiksuatu nasion baru yang berwatak pasca-suku.
Di tengah ter Haar dan murid-muridnya, hukum adat telah berhasil memenuhi
fungsinya sebagai hukum yang dapat dipakai di peradilan-peradilan negara yang modern.
Ter Haar dan murid-muridnya juga telah berhasil menjaga perkembangan dan
pertumbuhan institusi-institusi penunjang peradilan menurut hukum adat, seperti
misalnya dalam ihwal profesionalisasi pengadilan hukum adat, perawatan literatur dan
studi-studinya, metodologi penelitiannya, dan sebagainya. Selewat era ter Haar, pola
kerja yang tersusun menurut tradisi common law Anglo Saxon (yang diam-diam dipakai
ter Haar) tak banyak disadari dan diketahui orang. Lebih terlatih untuk bekerja dalam
pola civil law Continental, upaya mengangkat hukum adat yang berakar pada budaya
suku ke taraf nasional pasca-suku condong hendak dikerjakan orang lewat proses
perundang-undangan. Dan usaha demikian lebih sejalan dengan alur yang ditunjukkan
van vollenhoven tampaknya tak lebih mudah. Maka orang pun masih selalu saja berkutat
dengan kehendak dan cita-cita, dan tidak segera terjun ke proses-proses yang lebih
operasional.
Dalam konteks kehidupan nasional, dorongan kearah unifikasi hukum yang telah
bermula pada masa penjajahan memang telah memperolah kekuatan baru. Apabila pada
era kolonial unifikasi hendak dijalankan menurut hukum Eropa, (yang ditentang van
Vollenhoven dengan alasan bahwa serasa tak adil kalau hukum golongan minoritas
diterapkan untuk yang berjumlah mayoritas), maka kini hukum golongan mayoritas yang
akan dipakai modal untuk merealisasi unifikasi hukum. Tetapi hukum adat adalah hukum
lokal yang dalam bentuk awalnya lebih banyak mencerminkan perkara-perkara
masyarakat agraris daerah tropis. Mengkodifikasikan hukum adat untuk keperluan
nasional akan menghadapkan orang pada suatu kesulitan: di tengah masyarakat nasional
yang mengalami proses perubahan yang pesat, dan ruang lingkup operasional yang tak
hanya lokal tetapi juga global, mengidentifikasi dengan rasionalitas yang formal tentang
mana yang adat dan hukum adat, dan mana pula yang asing atau belum teradat, acapkali
tidaklah mudah. Malahan, keharusan untuk berulah demikian itu boleh dibilang sudah

mengatakan hal itu kepada saya dalam suatu pertemuan pribadi di Yogya pada tanggal 15-1-1975
sewaktu diselenggarakannya Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional.
45
C. van Vollenhoven, Een Adatwetboekje voor Heel Indie (Leiden: E.J . Brill, 1910).
142
tidak relevan lagi. Mengidentifikaasi kebutuhan hukum yang selalu berusaha secara
dinamik, sejalan dengan derap pembangunan dan perubahan-perubahan dalam struktur
sosial-ekonomi yang diakibatkannya, akan nyata lebih relevan. Sementara itu, seandainya
yang akan dikodifikasikan adalah hukum yang lebih statik, ialah bagian hukum yang
bersangkut paut dengan kehidupan moral masyarakat yang lebih mendasar (seperti yang
mengenai bidang hukum keluarga dan waris), unifikasi pun tidaklah mungkin akan segera
bisa dicapai. Rasionalitas formal dalam kebijakan menyusun hukum nasional memang
sudah waktunya digantikan dengan rasionalitas yang lebih purposif.
Hukum adat, sebagaimana hukum rakyat pada umumnya, sebenarnya memiliki
kekuatannya dalam wujud realitanya sebagai pola perilaku (pattern of actual behavior).
Pengkodifikasinya dan dengan demikian juga pengubahannya menjadi pola untuk
mengatur perilaku (pattern for behavior) akan menghilangkan kekuatan dinamiknya.
Sebenarnya ter Haar itulah orangnya yang telah berhasil memodernisasi hukum adat
hanya dalam ihwal forum dan fungsinya, namun tetap menyerahkan modernisasi (dalam
arti pemutakhiran nilai) substansinya pada pengalaman masyarakat sendiri. Tetapi, apa
yang telah dirintis ter Haar utnuk memfungsikan hukum adat dalam konteks kolonial
menurut aliran realisme sayang sekali! Kini tak lagi terjamah oleh tangan-tangan
profesional. Para yuris profesional sekarang ini tak bisa memahami kenyataan bahwa
hukum adat (dalam konteks nasional sekalipun) sebenarnya hanya akan menemukan
penakatnya kalau diperlakukan sebagai common law menurut konsep legal realism, dan
tidak sebagai hukum kodifiksi yang dirawat berdasarkan konsep analytical
jurisprudence.
46

Kodifikasi dan unifikasi memang dapat saja dilakukan, akan tetapi celah
perbedaan akan selalu terkuak lebar antara apa yang dikaidahkan dan apa yang terwujud
sebagai perilaku aktual. Pengalaman dengan upaya mengunifikasikan hukum tanah dan
hukum perkawinan telah membuktikan hal itu. Sehubungan dengan hal itu, akhir-akhir
ini banyak pemikiran dan kenyataan yang terungkap bahwa hukum tak selamanya
mampu memenuhi fungsinya sebagai penata kehidupan masyarakat. Akan gantinya, di
dalam masyarakat akan selalu didapati apa yang disebut self-regulating mechanism yang
bekerja secara informal namun otonom. Sekalipun informal, mekanisme-mekanisme ini
acapkali dapat juga berfungsi sebagai penyelesai-penyelesai sengketa, dan/atau sebagai
pemulih situasi tertib pada umumnya.
47
Dalam situasi yang masih diwarnai pluralisme,
hukum nasional yang lebih memberikan peluang mekanisme-mekanisme lokal untuk
berfungsi kiranya akan dapat dianjurkan. Situasi plural masyarakat kolonial masihlah
tetap berlanjut pada mayarakat nasional dewasa ini: kebijakan yang realistik dalam hal

46
Tiadanya tradisi peradilan yangdapat bekerja atas dasar konsep common law, dan kehendak untuk
selalu mengembangkan sistem hukum sebagai suatu sistem normatif yang logis dan terpositifkan
dalam wujud sistem perundang-undangan, dengan fungsi hakim sebagai penemu dan bukan sebagai
pencipta hukum, telah menimbulkan kesulitan ketika pada tahun 1960 Mahkaman Agung menerbitkan
surat edaran untuk menyatakan bahwa Burgerlijk Wetboek hanya berlaku sebagai pedoman. Surat
edaran yang sebenarnya memungkinkan hakim berinovasi dengan hukum-hukum baru dalam kerangka
disiplin pemikiran konseptual sistem common law telah menimbulkan kegelisahan dan ketidakpastian
pola, dan para hakim pun justru lalu mereaksinya secara negatif; lihat; Daniel S, Lev, The Lady an
The Banyan Tree: Civil Law Change in Indonesia, American Journal of Comparative Law, Th. XIV
(1965),h, 282-307.
47
Sally F. Moore, Law and Social Change: The Semi-Autonomous social Field as An Appropriate
Subject of Study, Law And Society Review, Th. VII (1973). No. 4. h. 719-746.
143
unifikasi hukum tentulah harus mempertimbangkan kenyataan mengapa unifikasi pada
masa kolonial tak pernah berhasil; dan kegagalan itu tak selalu bersebab pada kuatnya
pertimbangan politik-ideologik yang salah, akan tetapi juga acapkali karena sebab-sebab
yang lebih objektif.
48



48
Sementara pihak malah berpendapat bahwa hukum kolonial yang sering mendesakkan unifikasi itu tak
selalu dilandasi motif untukmemecah belah; sedangkanhukum nasional yang berlamban-lamban untuk
tak segera merealisai unifikasi tak selamanya mengganggu kesatuan-dan persatuan nasional, stabilitas
politik efesiensi pemerintahan, ataupun pertumbuhan ekonomi: J ohn Ball, The Struggle for Nationl
Law in Indonesia (Sydney: University of Sydney, 1986). h. 38.

14

PERKEMBANGAN HUKUM DAN PERKEMBANGAN BISNIS


Dari Status ke Contract
Dalam perkembangan kehidupan yang berlanjut-lanjut setakat -- dari realitanya
yang baru, ialah yang nasional dan modern-- tampak nyata bahwasanya hukum dan
bisnis berkembang secara berseiring dalam suatu hubungan yang komplementer. Hukum
telah berkembang sebagai suatu tatanan dan sistem, dari fungsinya yang sebatas untuk
memenuhi kebutuhan komunitas-komunitas lokal ke fungsinya yang baru sebagai
pengontrol ketertiban kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada skala-skalanya yang
nasional. Sementara itu apa yang disebut bisnis telah pula berkembang dari pola-pola
kegiatannya yang semula lokal (dalam pasar-pasar yang kongkrit) ke pola-pola
kegiatannya yang amat siap untuk berdinamika di kancah-kancah yang ruang lingkup
nasional, atau bahkan juga yang beruanglingkup global (dalam pasar-pasar yang kian
bersifat abstrak).
Perubahan kancah sosial yang mensyarati perubahan-perubahan kehidupan di
bidang hukum dan bisnis sebagaimana dikemukakan oleh Henry Maine hampir satu
setengah abad yang lalu. Menurut Maine, perubahan yang terjadi dalam kehidupan --dari
kehidupan yang lokal-agraris ke kehidupan yang nasional-industrial-- itu pada hakikatnya
adalah suatu perubahan besar yang membuyarkan organisasi kehidupan lama yang
tersusun berdasarkan askripsi status-status untuk digantikan dengan organisasi kehidupan
baru yang lebih tersusun berdasarkan kontrak-kontrak yang dibuat oleh dan untuk para
warga sendiri. Secara ringkas Maine menyebutkan perubahan transformatif seperti itu
dalam satu pernyataan from status to contracts. Perubahan yang demikian itu
memungkinkan para warga masyarakat di dalam organisasi kehidupannya yang kemudian
menentukan sendiri secara bebas posisi hak dan kewajibannya di hadapan warga-warga
yang lain dengan memastikannya lewat kontrak-kontrak; tidak lagi tertetapkan tanpa
dapat dicabar oleh askripsi-askripsi tradisi, yang konon-konon tak akan lekang di panas
dan tak bakalan lapuk di hujan.
Perubahan pola-pola hubungan antar-manusia dalam organisasi kehidupan
sebagaimana dipaparkan di muka itu pada hakikatnya adalah perubahan yang tertengarai
tak cuma sebagai perubahan sosial, akan tetapi juga sebagai perubahan sosial, akan tetapi
juga sebagai perubahan hukum. Organisasi-organisasi sosial lama yang berskala dan
berformat lokal tertata sempurna menurut hukum tradisi, sedangkan transformasinya
akan menjurus ke bentuk organisasi-organisasi kehidupan baru yang dalam skala dan
formatnya yang nasional akan terpola berkat aktivitas-aktivitas kontraktual para warga.
Terbebaskan dari pasungan tradisi yang selama ini mengusung para warga di dalam
status-status dan pola-pola interaksional antar-status yang secara normatif bersifat baku,
kini dalam organisasi kehidupan yang baru itu para warga menjadi berkebebasan untuk
mengikatkan diri secara kontraktual ke dalam berbagai hubungan, atau juga untuk
mengakhiri ikatan-ikatan itu.
Kebebasan seperti itulah yang dalam ilmu dan ajaran hukum disebut kebebasan
berkontrak. Ide atau ideologi berikut praktik kebebasan berkontrak tersebut itu tak
159
ayal lagi tentu saja memarakkan kehidupan bisnis industrial yang tengah berkembang di
dalam suasana ekonomi urban yang liberalistis-kapitalistis di Eropa Barat, di bawah
kontrol kaum kelas tengah pada masa itu. Kebebasan berkontrak memungkinkan ribuan
pelaku ekonomi, baik yang terbilang kaum elit maupun yang tergolong massa pekerja,
untuk melepaskan diri dari kontrol kaum feodal yang selama ini menguasai kehidupan
komunitas-komunitas pertanian. Kebebasan berkontrak memungkinkan massa pekerja
yang berasal dari kalangan para hamba dan para ulur di desa-desa meninggalkan tuan-
tuannya yang menguasai tanah-tanah pertanian, untuk kemudian mencari kerja dan
mengadu nasib ke kota-kota yang tengah diramaikan oleh pembangunan industri dan
bisnis-bisnis penunjangnya. Tak pelak lagi, kebebasan berkontrak telah memungkinkan
para usahawan yang bermodal dan bergerak di bidang-bidang bisnis nonpertanian dengan
gampangnya merekrut pekerja-pekerja yang semula --menurut hukum yang lama-- harus
berposisi sebagai abdi-abdi di bawah ayoman (baca: kontrol!) kaum feodal.
Tak jelas apakah dalam perkembangan sosial yang transformatif --dari yang lokal
ke yang nasional-- dari abad yang lalu itu tuntutan dunia bisnis industrial itulah yang
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan di dunia hukum (yang merefleksikan
perubahan struktural dari dunia normatif from status to contracts) itu, ataukah sebaliknya;
bahwa perubahan-perubahan dalam institusi-institusi hukum itulah yang memungkinkan
maraknya dunia bisnis. Akan tetapi, jelas atau tak jelas, yang pasti adalah bahwa institusi
bisnis dan institusi hukum berubah secara berbareng, berkembang dan dikembangkan
untuk saling menopang dan saling menunjang secara fungsional. Dalam perkembangan
itu, merespons dunia bisnis yang menghendaki terjaminnya kepastian-kepastian demi
terealisasinya rencana-rencana yang rasional, hukum di bawah pengelolaan kaum
profesionalnyapun tak ayal pula lalu mengembangkan dua doktin pokok. Ialah, yang
pertama, doktrin positivisme yang menetralkan hukum dari sembarang nilai keadilan
yang sangat relatif, dan yang kedua doktrin bahwa kontrak (hukum in concreto!) diakui
berkekuatan setara undang-undang (hukum in abstracto!) bagi para pihak.
Sistem hukum yang dikembangkan di seputar konsep kontrak dalam hubungan-
hubungan privat antar-warga (yang kini diharapkan akan bisa secara bebas bergerak di
dunia bisnis industri dan/atau niaga itu nyata sekali kalau mencenderungkan diri ke
paham dan kebijakan privatisasi atau individualisasi hukum. Sifat-sifat yang
publikrechtelijk menjadi kabur dan tereduksi sekali. Dalam sistem hukum yang demikian
itu --ialah yang nyata dikenali sebagai sistem hukum yang liberal-- peran pejabat-pejabat
pemerintah dan pejabat-pejabat publik lainnya tak akan lebih dari apa yang disebut
sebagai peran watchdog. Dalam peran peran seperti itu, tugas para pejabat yang berposisi
di ranah publik --tak akan lebih dan tak akan kurang-- hanyalah sebagai pengawal yang
bertugas menjaga lancarnya kerja mekanisme pasar secara alami, dan baru boleh turun
tangan guna melakukan intervensi-intervensi yang bersifat publikrechtelijk manakala
bekerjanya mekanisme pasar terbukti terganggu.
Hukum dan Sistem Ekonomi
Perubahan sosial from status to contracts dengan sistem hukumnya yang ikut
terubah menjadi amat kondisional bagi perkembangan bisnis liberal di Eropa Barat pada
zamannya Henry Maine sebagaimana dipaparkan di muka itu tentu saja tidak begitu saja
bisa berlaku untuk menjelaskan perkembangan-perkembangan di bagian-bagian benua
lain di abad yang lain. Perubahan-perubahan besar di abad 20, sekalipun tetap
memperlihatkan arah perkembangan from old communities (yang berskala lokal) ke new
160
state (yang berskala nasional), namun nyata terlihat dan tercatat betapa liberalisme di
dalam kehidupan bisnis yang terlalu memuliakan kebebasan berkontrak telah mengalami
kritik yang hebat dan modifikasi yang cukup mendasar. Di banyak negeri --khususnya di
negeri-negeri berkembang yang membangun dirinya di atas puing-puing kekuasaan
kolonial-- ekonomi nasional tidaklah dikembangkan menurut hukum keniscayaan
mekanisme pasar yang impersonal melainkan menurut hukum negara yang berfungsi
mengimplementasikan rencana-rencana pembangunan pemerintah. Di sini market
economy akan cenderung ditinggalkan, dan planned economy akan cenderung dipilih
sebagai gantinya.
Fungsi hukum di dalam sistem market economy jelas berbeda sekali dengan
fungsi hukum di dalam sistem planned economy itu. Kebebasan berkontrak tentu saja tak
akan dapat lagi dikukuhi penuh-penuh, sehingga aktivitas ekonomi dan aktivitas bisnis
pada dasarnya lalu tak lagi banyak dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum yang
privaatrechtelijk, melainkan yang publiekrechtelijk. Di sini hukum cenderung akan
dipakai sebagai pemberi kewenangan-kewenangan baru kepada pemerintah (dan segenap
aparatnya), atau juga sebagai pemberi legitimasi-legitimasi pada setiap tindakan
pemerintah (dan segenap aparatnya) itu.
Maka hukum itu kini tak lagi bisa memperlihatkan sikapnya yang murah hati
untuk selalu berkemampuan menjamin kebebasan individu-individu warga masyarakat
yang penuh prakarsa untuk membuat kontrak-kontrak guna menciptakan berbagai
hubungan baru atau pula untuk memodifikasinya. Kalaupun kebebasan itu toh masih
terakui ada, dalam praktik nanti hukum itu akan banyak lebih didayagunakan untuk
mambuat intervensi-intervensi guna mengubah arah atau efek kegiatan-kegiatan
individual itu. Intervensi begini ini bisa dilakukan di bidang apapun, baik yang bisnis
(seperti misalnya di ranah penanam modal) maupun yang nonbisnis (seperti misalnya di
ranah pembangunan keluarga sejahtera). Dapat dimengerti mengapa dalam kerangka
kebijakan dan program-program planned economy inilah mulai dikenalnya doktrin baru
dalam ilmu hukum dan ajaran hukum, ialah doktrin baru dalam ilmu hukum dan ajaran
hukum, ialah doktrin law as a tool of social engineering, sekalipun sebenarnya doktrin ini
berasal dari ide liberal Pound, yang mengajari para hakim agar peka pada perubahan-
perubahan yang perkembangan-perkembangan (bukan pengembangan-penganbangan
alias pembangunan!) sosial yang terjadi, dan mampu menyesuaikan keputusan-
keputusannya pada perkembangan-perkembangan sosial-ekonomi yang terjadi.
Diterimanya doktrin law as/is a tool of social engineering di negeri-negeri
berkembang yang menganut tradisi Civil Law (seperti Indonesia dewasa ini)
sesungguhnya akan bermakna secara implisit diterimanya ide sentralisasi kontrol
terhadap seluruh bidang kehidupan --baik yang bisnis maupun yang nonbisnis--
bersarakan hukum. Di sini regulasi akan berganda-ganda, sampaipun bercenderung ke
taraf terjadinya overregulation terhadap hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat
bangsa, sampai-sampai gampang timbul kesan bahwa hukum itu kini tidak lagi memiliki
kedudukan supremasi, melainkan sudah terdegradasi cuma sebagai instrumen kontrol di
tangan pemerintah (yang sudah terlalu terobsesi pada suksesnya pembangunan). Maka
asas rule of the tak lagi banyak dipahami dalam praktik, dan terdistorsi menjadi suatu
realita rule (of the ruler) by law.
Dari Old Status ke New Status
161
Dalam planned economy berikut segala konsekuensinya sebagaimana telah
dipaparkan di muka itu, para pelaku ekonomi tanpa ayal lagi akan terpersepsi dan
termaknakan dalam konsep-konsep tak lebih cumalah sebagai pelakon-pelakon belaka.
Para pelakon ini --baik yang konsumen maupun yang produsen-- haruslah bisa bermain
dan berperan secara loyal, menuruti apa yang telah diperintahkan oleh suatu skenario
besar (yang secara resmi dan sah telah diundangkan sebagai rencana pembangunan).
Para pelaku ekonomi itu kini ini bukanlah lagi individu-individu atau badan-badan swasta
yang --seperti pada masa liberalisme dulu itu-- secara bebas dan mandiri bisa dan boleh
membuat keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan ekonomi atas dasar
pertimbangannya sendiri yang rasional. Alih-alih demikian, para pelaku ekonomi itu kini
ini akan diorganisir dan dikontrol langsung oleh pemerintah (eksis sebagai BUMN-
BUMN), entah pula yang diprakarsai oleh warga masyarakat namun yang mau tak mau
harus dan akan ditaruh di bawah kontrol pemerintah (eksis sebagai koperasi-koperasi).
Maka dalam perkembangan seperti itu, yang terjadi bukanlah transformasi
kehidupan from status to contracts seperti yang ditunjukkan Maine, melainkan perubahan
format from old status (as ascribed by local traditions) to new status (as assigned by
national laws). Namun demikian, betapapun rasionalnya planned economy itu sebagai
suatu model, tidak banyaklah penguasa-penguasa di negeri-negeri yang sedang
berkembang itu sesungguhnya yang sanggup merealisasi dan mengimplementasi ideologi
planned economy itu secara konsekuen. Sekalipun melalui manuver-manuver politik
seluruh sistem pembuatan dan penegakan hukum dapat dikuasai, dan rulling by law tanpa
banyak kesulitan dapat dilaksanakan, akan tetapi langkanya sumberdaya (khususnya
modal dan informasi) yang dapat dikerahkan dari dalam negeri telah menghadapkan
pemerintah-pemerintah di negeri-negeri yang sedang berkembang ini kepada kenyataan-
kenyataan ekonomi dan idiom-idiom bisnis yang nyata sekali kalau liberal.
Tak pelak lagi, kompromi-kompromi mesti dilakukan dan sebagian dari regulasi-
regulasi --khususnya yang berkenaan dengan bisnis yang padat modal dan padat
informasi, dengan ketergantungan yang kuat pada kekuatan-kekuatan eksternal-- mulai
terpaksa dilonggarkan. Deregulasi-deregulasi mulai menyelingi regulasi-regulasi, dan
hukum pun kini tak lagi hanya difungsikan sebagai sarana kontrol melainkan juga --atas
dasar pertimbangan yang tak lagi ideologik melainkan pragmatik-- sebagai sarana untuk
mengendurkan kontrol. (Sementara itu, di bidang kehidupan sehari-hari yang nonbisnis,
di mana kompromi-kompromi dengan berbagai kekuatan luar tak sekali-kali terasa
diperlukan, regulasi-regulasi by law (atau mungkin saja juga by pseudo-law) tetap saja
berlangsung terus dengan amat bandelnya).
Tantangan Global:
Memasuki millenium ketiga Masehi, kehidupan bisnis diramalkan banyak orang
akan tak lagi beruang-lingkup cuma sebatas skala dan formatnya yang nasional. Banyak
ramalan memprakirakan bahwasanya kehidupan umat manusia di abad-abad mendatang
itu --di bidang apapun, khususnya di bidang bisnis pascaindustrial-- akan terus
mengembang dalam skala dan formatnya yang kian regional atau bahkan global. Modal
dan informasi, dan bahkan juga manusia-manusia pekerjanya, --seperti yang gampang
dikatakan oleh Appadurai-- akan kian tak lagi gampang dikurung dan dikontrol (dengan
regulasi-regulasi hukum nasional macam apapun!) dalam batas-batas suatu negara belaka.
Pelaku-pelaku ekonomi dan bisnis akan kian berwawasan profesional dan transnasional,
dan tidak lagi membatasi diri pada wawasannya yang nasional sebagai warga suatu
162
negara (yang dengan penuh afeksi harus selalu bersedia menaati apa saja yang telah
direncanakan dan diperintahkan oleh para pejabat politik, yang minta dikenali sebagai
pengemban kekuasaan negara).
Perkembangan transformatif dari yang nasional ke yang global --meneruskan
perkembangan yang bermula dari abad yang lalu, ialah perkembangan dari yang lokal ke
yang translokal-nasional-- diramalkan akan terus berlangsung, tidak hanya dengan
keniscayaannya yang tinggi namun juga dengan laju yang kian bersicepat. Dalam
kenyataan perkembangan eksplosif yang boleh dikiaskan sebagai big bang itu, bak
hendak mancabar perkembangan pada lingkup nasional yang cenderung implosif, banyak
ahli meramalkan bahwa hukum nasional akan tak banyak punya banyak daya lagi untuk
menjangkau dan mengontrol kehidupan bisnis yang sudah bersifat multinasional (dengan
operasi-operasinya yang bersifat transnasional) dan berskala global itu.
Dalam perkembangan yang kian banyak berlangsung di zone-zone netral yang
tengah lepas dari kontrol-kontrol pemerintah nasional --dan karena itu juga sedang
vakum tanpa ada kekuasaan supra macam manapun seperti itu-- tak pelak lagi
organisasi-organisasi kegiatan manusia yang tak hendak berafiliasi dengan kepentingan
nasional yang sempit (tak hanya yang bergerak di bidang bisnis dalam wujudnya sebagai
multinational atau transnational corporations, akan tetapi juga yang banyak bergerak di
bidang politik, sosial ataupun budaya sebagai nongovernment organizations) akan
berkesempatan untuk marak. Regulasi-regulasi menurut kaidah-kaidah hukum yang
diundangkan atas wibawa penguasa-penguasa sentral tak akan banyak bisa berfungsi lagi.
Akan gantinya, begitu menurut ramalannya, apa yang disebut Dezalay dengan lex
mercatoria (ialah hukum transnasional yang terwujud sebagai hasil hubungan
interaksional yang terwujud sebagai hasil hubungan interaksional antar-aktor dalam
aktivitas pasar global) akan terbukti lebih fungsiaonal.
Peran para konsultan hukum yang profesional, dengan kemampuannya sebagai
hired gun untuk membuat penyelesaian-penyelesaian yang kreatif dari kasus ke kasus,
diramalkan akan menggeser dan mengungguli peran para legislator dan para hakim yang
berkhidmat dalam sistem hukum nasional suatu negeri tertentu (yang karena itu acapkali
terbukti kurang dapat membebaskan diri dari kepentingan politik para pejabat yang
duduk dalam jajaran eksekutif). Proses-proses yang terjadi barangkali saja bersejajar
benar dengan apa yang pernah diobservasi oleh antropolog Sally Falk-Moore, sekalipun
antropolog wanita ini tak hendak merujuk ke kasus-kasus yang transnasional, melainkan
yang subnasional. Apakah hasil observasi Falk-Moore ini? Ialah, bahwa dalam setiap
situasi yang bisa terbebas atau terbebaskan dari sembarang kontrol kekuasaan hukum
nasional yang berlanjut-lanjut, selalulah muncul di situ terjadinya suatu self-regulating
mechanism yang otonom, yang sungguh fungsional juga sifatnya, dan tak sekali-kali
terbukti hanya akan menimbulkan peristiwa anarki, yang pada gilirannya hanya akan
mengundang kekacaubalauan belaka.


15
MASALAH PLURALISME DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL



Dari Old Societies, ke New State
Perkembangan hukum nasional di mana-mana berlangsung berseiring dengan
perkembangan kekuasaan negara-negara bangsa. Tak pelak lagi kenyataannya memang
demikian, karena apa yang disebut hukum nasional itu pada hakekatnya adalah hukum
yang kesahan pembentukan dan pelaksanaannya bersumber dari kekuasaan dan
kewibawaan negara. Tatkala kehidupan berkembang ke dalam skala-skala yang lebih
luas, dari lingkar-lingkar kehidupan komunitas lokal (old societies) ke lingkar-lingkar
besar yang bersifat translokal pada tataran kehidupan berbangsa yang diorganisasi
sebagai suatu komunitas politik yang disebut negara bangsa yang modern (new nation
state), kebutuhan akan suatu sistem hukum yang satu dan pasti (alias positif!) amatlah
terasanya. Maka gerakan ke arah unifikasi dan kodifikasi hukum terlihat marak disini,
seolah menjadi bagian inheren proses nasionalisasi dan negaranisasi serta modernisasi
yang amat berkesan mengingkari eksistensi apapun yang berbau lokal dan tradisional.
Namun apa yang disebut lokal dan tradisional itu sesungguhnya berumur lebih
tua, dan lebih mengakar dalam sejarah, dari pada apa yang nasional dan modern itu.
Hukum setempat sekalipun tak tertulis dan tak memiliki ciri-cirinya yang positif
adalah sesungguhnya hukum yang lebih memiliki makna sosial dari pada hukum yang
terwujud dan bersitegak atas wibawa kekuasaan-kekuasaan sentral pemerintah-
pemerintah nasional. Dibandingkan hukum nasional yang state law itu, hukum lokal yang
folklaw itu memang tak mempunyai struktur-strukturnya yang politik, namun kekuatan
dan kewibawaannya memang tidak tergantung dari struktur-struktur yang politik itu
melainkan imperativa-imperativanya yang moral dan kultural. Maka dalam bingkai-
bingkai kesatuan. Politik kenegaraan yang satu dan bersatu dalam konteks-konteksnya
yang nasional, tetap tertampakkanlah pluralitas dan keragaman yang kultural dalam
konteks-konteksnya yang lokal dan subnasional. Tak pelak lagi, di negeri-negeri yang
berkultur bhineka namun yang tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (lewat
berbagai ikrar dan pernyataan tekad!) eksistensi hukum nasional yang
memanifestasikan nasionalisme politik itu selalu menghadapi masalah pluralisme
hukum-hukum lokal yang memanifestasikan kesetiaan-kesetiaan dan kebutuhan-
kebutuhan lokal.



Folk Law versus State LawSesungguhnya institusi negara nasional itu merupakan
invensi dan sekaligus juga bagian dari pengalaman sejarah bangsa-bangsa Eropa.
Pengalaman ini terpelajari dan kemudian tertiru tatkala bangsa-bangsa Eropa itu tak
hanya bertindak sebagai penjajah-penjajah melainkan juga menampilkan diri sebagai
guru-guru berbagai bangsa di tanah-tanah jajahannya. Konsep negara bangsa yang tak
hanya bersifat translokal akan tetapi juga teritorial, dengan sarana penertibnya yang
disebut hukum nasional yang diunifikasikan dan dikodifikasikan, serta merta menjadi
tertiru dan dicoba direalisasi di negeri-negeri Timur ini tatkala bangsa-bangsa terjajah ini
165
pada suatu ketika menjadi merdeka dan menentukan nasibnya sendiri dalam suatu
kehidupan bernegara. Akan tetapi, adakah model negara-negara bangsa yang Eropa itu
dapat begitu saja ditiru dan diduplikasi untuk menyelenggarakan kehidupan berbangsa
dan bernegara di negeri-negeri Asia dan Afrika? Dapatkah model negara bangsa Eropa
yang bertumpu pada suatu kesatuan kultur yang homogen diduplikasi begitu saja untuk
membangun satuan kehidupan yang ternyata berkultur plural dan karena itu juga akan
mencuatkan masalah pluralitas dalam ihwal hukum-hukum subnasion yang kini harus
eksis di tengah cita-cita kesatuan itu?
Masalah pluralitas hukum sebagai akibat pluralitas kultur lokal yang subnasion
memang tak demikian terasa dalam pengalaman perkembangan nation state di Eropa
pada masa 1-2 abad yang lalu. Dalam pertumbuhan negara-negara nasional di Eropa
Barat, hukum yang dibuat dan diundangkan oleh organisasi negara sebagai hukum
nasional memang hukum yang pada substansinya dan pada esensinya sama atau tak jauh
berbeda dengan kaidah-kaidah lokal. Ketika Napoleon mengundangkan 3 kitab hukum
pada awal abad 19 di Perancis, misalnya, isi ketiga kodifikasi yang disiapkan oleh sebuah
Panitia Negara itu sebenarnya tak lain dari pada hasil perekaman kembali kaidah-kaidah
sosial yang secara de facto telah berlaku dan dianut oleh masyarakat-masyarakat lokal di
negeri itu. Dengan demikian, bagi rakyat menaati kaidah-kaidah hukum yang
diundangkan itu adalah sama saja dengan menaati kaidah-kaidah yang selama ini telah
diakui berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Di sini substansi kedua kategori kaidah itu
yang folklaw dan yang state law tidaklah banyak berbeda. Maka anggapan hukum
bahwa setiap orang dianggap mengetahui isi setiap undang-undang negara, dan bahwa
tak seorang pun boleh mengelak dari hukuman hanya dengan dalih bahwa ia tak
mengetahui hukumnya (igniratio juris), tidaklah akan menimbulkan keberatan apa-apa
di Perancis itu.
Halnya menjadi amat berbeda ketika hukum Perancis yang dikodifikasikan itu
akan diterapkan di J erman dan di Austria tatkala kekuasaan Napoleon berekspansi ke
seluruh penjuru benua Eropa dengan maksud ikut mengekspansikan hukum kodifikasinya
itu. J erman dan Austria memiliki tradisi kaidah hukum rakyatnya sendiri yang tumbuh
dan berkembang menurut sejarah dan yang tentu saja berbeda dari kaidah-kaidah sosial
dan kaidah adat masyarakat Perancis yang telah dikodifikasikan itu. Menerima kodifikasi
hukum Perancis yang asing itu dengan demikian akan berarti menerima kaidah-kaidah
yang bersumber dari kekuasaan negara (yang waktu itu berkehendak meresepsi hukum
Perancis), yang kandungan normatifnya ternyata berbeda dari kandungan normatif
kaidah-kaidah sosial yang dianut masyarakat setempat. Eugen Ehrlich, seorang sarjana
Austria pada masa itu, menyatakan bahwa pada waktu itu dapat disinyalir bahwa Hukum
Negara (yang diambil dari Perancis itu) amat berbeda dari hukum yang dianut rakyat di
pegunungan-pengunungan Austria dalam kehidupan sehari-hari. Hukum yang tertera di
kitab-kitab nyata berbeda dengan hukum yang hidup (the living law) yang dianut rakyat
dengan segala keyakinannya di tengah masyarakat. Pengalaman Austria itu telah
mendemonstrasikan bahwa sesegera ranah jurisdiksi hukum negara yang formal dan
positif itu memasuki ranah kultural yang berbeda, sesegera itu pula masalah pluralisme
kultural pada masyarakat-masyarakat setempat akan bermula.


166
Pengalaman Austria yang diutarakan di muka itu pernah pula dialami oleh
Indonesia (yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda, suatu daerah jajahan
Belanda). Ketika pada pertengahan abad 19 sampai awal abad 20 ini pemerintah Hindia
memutuskan untuk memberlakukan hukum perdata Belanda (yang telah dikodifikasikan
menurut model hukum kodifikasi Napoleon itu), reaksi-reaksi timbul dengan kerasnya
dari beberapa kalangan sarjana Belanda yang berwawasan sosiologik dan historik. Van
Vollenhoven mencanangkan pendiriannya yang berbunyi geen juristenrecht voor de
Inlanders (tidak akan ada hukum yang cuma dimengerti pakar-pakar hukum bisa
diterapkan untuk rakyat pribumi yang dalam kehidupannya sehari-hari telah memiliki
tatacara hukumnya sendiri). Lebih pantaslah kiranya apabila hukum rakyat (yang oleh
van Vollenhoven dan Snouk Hurgronje pendahulunya disebut hukum adat itu) direkam
dan dipelajari dulu untuk kemudian dikodifikasikan untuk memedomani tindakan-
tindakan hukum rakyat itu sendiri.
Penerus van Vollenhoven, ialah ter Haar dan para muridnya yang belajar di
Sekolah Tinggi Hukum di J akarta (yang pada waktu itu bernama Rechtshogeschool te
Batavia) mulai bekerja di lapangan untuk mencatat kaidah-kaidah sosial (adat)
komunitas-komunitas dengan sanksi-sanksi. Hasil-hasil kerja di lapangan itu dicatat dan
diterbitkan dalam buku-buku dan majalah-majalah hukum, dan acapkali (walaupun tidak
diresmikan sebagai kodifikasi) dipakai sebagai rujukan oleh hakim-hakim pengadilan
negeri yang mengadili perkara-perkara antara orang-orang pribumi. Berkat perjuangan
van Vollenhoven dan ter Haar serta para penerusnya itu, pada jaman Hindia Belanda itu
hukum negara yang diterapkan (oleh badan-badan yudisial pemerintah kolonial) menjadi
tidak atau tidak banyak menyimpang dari hukum yang hidup di tengah-tengah
masyarakat.
Dari uraian-uraian yang dipaparkan di muka itu terkesanlah bahwa hukum negara
yang tertulis di kitab-kitab dan dokumen-dokumen yang dulu disebut hukum kolonial
dan yang kini disebut hukum nasional itu tidak selamanya mencerminkan hukum rakyat
yang hidup dan dianut rakyat setempat di dalam kehidupan sehari-harinya. Tidak
dipahami hukum negara oleh rakyat yang berbagai-bagai itu terkadang bukan pula
disebabkan oleh ketidaksadarannya melainkan juga sering karena ketidaksediaannya.
Kenyataan seperti itu sesungguhnya mencerminkan pula telah terjadinya apa yang disebut
cultural gaps bahkan mungkin juga cultural conflict. Isi kaidah yang terkandung dalam
hukum negara dengan yang terkandung dalam hukum yang dianut rakyat tidak hanya tak
bersesuaian satu sama lain melainkan juga bahkan acapkali bertentangan.


Ambisi Unifikasi Hukum Nasional dan Konsekuensinya
Pengalaman mendamaikan isi kandungan hukum antara hukum yang diberi
sanksi negara dengan hukum rakyat (atau sebut saja kaidah-kaidah sosial yang
tersosialisasi dan diyakini oleh warga masyarakat-masyarakat lokal) sebagaimana
diperoleh pada jaman kolonial dan sedikit banyak boleh dibilang sukses -- itu ternyata
justru sulit dilaksanakan pada zaman kemerdekaan. Pluralitas hukum rakyat yang diakui
berlaku sebagai living law berdasarkan paham partikularisme pada zaman kolonial
tidaklah mudah diteruskan pada zaman kemerdekaan. Cita-cita nasional untuk
menyatukan Indonesia sebagai satu kesatuan politik dan pemerintahan telah
bercenderung untuk mengabaikan hukum rakyat yang plural dan lokal-lokal itu untuk
167
diganti dengan hukum nasional yang diunifikasikan dan tak pelak juga dikodifikasikan.
Kebijakan hukum nasional ditantang untuk merealisasi cita-cita menfungsikan kaidah-
kaidah sebagai kekuatan pembaharu, mendorong terjadinya perubahan dari wujud
masyarakat-masyarakat lokal yang berciri agraris dan berskala-skala lokal ke kehidupan-
kehidupan baru yang lebih berciri urban dan industrial dalam format dan skalanya yang
nasional (dan bahkan kini juga global).
Karena perubahan cita-cita itu acapkali bermula dari cita-cita para pemegang
kendali kebijakan pemerintah, sedangkan kesetiaan warga masyarakat pada umumnya
(khususnya dari lapisan bawah yang kurang terdidik secara formal) lebih terlanjut ke
nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang dikukuhi secara konservatif selama ini di dalam
komunitasnya, maka terjadilah tegangan yang terasa saling memaksa antara pemerintah
beserta para elit pendukungnya dengan lapis-lapis masyarakat awam. Pengendali
kebijakan negara mencita-citakan perubahan ke arah pola kehidupan yang baru, modern,
industrial dan berkesetiaan nasional; sedangkan masyarakat awam yang pada umumnya
cenderung konservatif untuk lebih banyak menyuarakan suara ragu akan manfaat dan
kebajikan perubahan itu. Kenyataan memang membuktikan bahwa (misalnya!) sesegera
kepemilikan tanah atau pengelolaan hutan tidak lagi diakui bertumpu pada legitimasi
hukum adat yang hukum rakyat, melainkan harus disumberkan kesahannya pada hukum
nasional, sesegera itu pula banyak warga masyarakat yang tahunya cuma hukumnya
sendiri yang lokal itu menjadi terancam kesulitan untuk kemudian kehilangan banyak
hak.
Banyak kebijakan yang tertuang dan dipositifkan ke dalam banyak perundang-
undangan nasional yang berbeda dengan kelaziman-kelaziman yang telah diadatkan
dalam hukum rakyat. Perhatikan juga misalnya di bidang pranata perkawinan tentang
kedudukan isteri terhadap suami. Menjelang era industrialisasi, pembangunan yang
dikembangkan pemerintah mengundang (atau mengharuskan?) pula partisipasi kaum
wanita. Tak pelak lagi kedudukan wanita dalam masyarakat harus diangkat terlebih
dahulu bersanksikan hukum perundang-undangan nasional agar dapat segera bersejajar
dengan kedudukan pria. Dilindungi oleh hak-hak yang dijamin oleh hukum negara, kini
wanita-wanita (misalnya!) tak akan mudah diceraikan begitu saja, tak mudah dimadu
begitu saja, dan tambahan lagi tak akan boleh dikawini atau dikawinkan dalam usia yang
masih terlalu muda (dan yang karena itu akan merampas kesempatan mereka untuk maju
lewat pendidikan). Hak dan kedudukan wanita yang baru sebagaimana diberikan oleh dan
di dalam hukum seperti yang resmi diciptakan oleh pemerintah itu nyata kalau tak akan di
dapati dalam hukum atau kaidah sosial yang dianut rakyat awam selama ini. Perundang-
undangan negara demikian mengundang alternatif baru, yang dengan sanksi hukum
negara malahan dipandang sebagai satu-satunya kaidah yang harus dituruti dan ditaati
semua warga masyarakat tanpa kecualinya. Akan tetapi adakah alternatif yang baru ini
selalu dapat memenuhi kebutuhan hukum rakyat setempat dan karena itu juga dapat
mengundang kesetiaan dan kesediaan untuk selalu menaatinya?



Hukum negara yang tak bersesuaian dengan hukum rakyat seperti itu tentu saja acapkali
condong untuk tak akan dipilih rakyat, atau kasarnya terkadang malah akan memperoleh
perlawanan dari bawah. Sekalipun hukum negara itu ditopang oleh sanksi yang
168
dilaksanakan secara terorganisasi oleh organisasi eksekutif, namun karena pada
umumnya hukum negara ini kurang dikenal atau dipandang kurang menguntungkan
masyarakat luas, maka hukum negara ini condong untuk terabaikan begitu saja. Dalam
prakteknya, misalnya dalam hal adanya undang-undang mengenai soal bagi hasil yang
menghakkan tidak lagi 2 untuk pemilik tanah dan 1 untuk penggarap, melainkan 1 untuk
pemilik tanah dan 1 untuk penggarap, warga masyarakat di desa-desa akan tetap saja
membagi hasil dengan cara 2 banding 1, dan para penggarap inipun sering tak hendak
mencoba protes dengan merujuk ke hukum negara (mungkin karena tak mengetahui hak-
hak baru ini, atau mungkin juga merasa asing dan tak tahu cara merealisasi hak-haknya
yang baru itu. Warga-warga masyarakat, sebagai misal lain, akan tetap memandang benar
bahwa pria harus tetap berkemudahan apabila terpaksa menceraikan istrinya seperti hari-
hari yang lalu sebagaimana yang telah diajarkan, atau untuk tetap bisa mengawini 2-3
wanita sesuai dengan kemungkinan yang telah diberikan oleh adat dan agamanya (asal
adil!) dan tak mau peduli dengan apa yang telah dibatas-bataskan oleh hukum negara,
atau juga untuk mengawinkan anak-anak perempuannya sekalipun sekalipun masih
berumur 12-13 tahun.
Menghadapi kenyataan seperti ini, sanksi hukum negara seakan-akan kehilangan
legitimasinya dan kehilangan pula daya keefektifannya. Persoalannya memang bukan lagi
berupa pelanggaran hukum oleh seorang dua orang yang tak berkesadaran hukum (yang
kalau saja demikian tentunya akan dikoreksi dengan penjatuhan sanksi terhadapnya.
Persoalannya yang paling mendasar adalah persoalan keyakinan dan kesadaran hukum
rakyat yang merujuk ke perangkat budaya yang berbeda dari postulat yang diambil
sebagai premisa kebijakan negara. Maka, pada hakekatnya yang tengah dihadapi ini
adalah persoalan konflik budaya dalam suatu masyarakat nasional yang berkeadaan plural
dalam soal budayanya, sekalipun satu dalam makna politik dan pemerintahannya.
Tak pelak lagi, masalah yang dihadapi oleh pemerintah di Indonesia dewasa ini
akan amat berbeda dengan apa yang pernah dihadapi oleh sarjana-sarjana yang
bersemangat nasionalisme pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, yang ketika itu
berserempak menjadi penganjur-penganjur dipertahankannya hukum adat yang berarti
juga mempertahankan kemajemukan untuk menghadapi hukum Belanda. Halnya juga
berbeda dari apa yang dialami Napoleon pada awal perkembangan unifikasi hukum
nasional di Perancis. Persoalannya justru lebih mirip persoalan konflik hukum di Austria
sebagaimana telah dilaporkan Ehrlich pada waktu yang lalu. Maka, persoalan demikian
itu jelas kalau memerlukan penyelesaian berstrategi jangka panjang: bukan
mengutamakan pemaksaan dengan penerapan sanksi-sanksi yang tegas, melainkan
mengutamakan usaha mensosialisasikan hukum baru yang nasional itu melalui
aktivitas-aktivitas berencana yang disebut penyuluhan. Aktivitas seperti ini tentulah
bertujuan tunggal, ialah terbangkitnya kesadaran hukum yang baru. Upaya seperti ini tak
pelak harus dipandang juga sebagai bagian dari aktivitas pendidikan politik dan
pembangunan budaya baru yang bertaraf nasional daripada yang berformat subnasional.


Tantangan Kini dan Masa Datang

Tetapi mungkinkah? Lagi pula, mudahkah? Bukankah mengajarkan sesuatu
pemahaman baru itu juga berarti mengajak orang melupakan ajaran yang lama, dan justru
169
belajar melupakan itu yang sebenarnya lebih sulit? Tidakkah akan lebih realistik dan arif
untuk membiarkan saja terwujudkannya kemajemukan pada tataran lokal --yang karena
itu lebih terintepretasi dan bergayung sambut dengan budaya hukum rakyat setempat--
sekalipun tetap mencita-citakan kesatuan pada tataran nasional? Tidakkah anjuran
kebijakan untuk to think nationally, but to act locally patut dipertimbangkan kembali di
sini?
Sesungguhnya penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
aparat pemerintah dewasa ini bertujuan tak hanya sekedar mengkhabarkan hukum-hukum
baru kepada masyarakat, melainkan lebih jauh dari pada itu. Ialah kaidah-kaidah baru itu
penting tidak cuma agar diketahui melainkan juga mesti diperhatikan agar seseorang
tidak mengalami kesulitan di tengah kehidupan bernegara yang diupayakan tertib pada
tataran nasional ini. Ditunjukkan dengan berbagai pengalaman bahwa hukum negara
memang bisa diabaikan dan tidak perlu diketahui atau diperhatikan selama seseorang tak
hendak terlibat dengan atau ke dalam kehidupan bernegara, atau tak hendak memerlukan
fasilitas bantuan jasa aparat pemerintah negara. Kewajiban yang diharuskan hukum
negara kepada setiap warga untuk mencatatkan kelahiran anak atau pernikahan yang
dijalani, misalnya, dapat saja diabaikan untuk sementara; akan tetapi begitu sang anak
sudah memerlukan sekolah, atau isteri memerlukan pengakuan sah guna memperoleh
(misalnya!) tunjangan, maka akan mulailah timbul kesulitan sebagai akibat
pengabaiannya pada ketentuan kaidah hukum negara selama ini.
Sekalipun dalam pengembangan hukum nasional dewasa ini pemerintah berposisi
ofensif, ditunjang oleh struktur dan personil pemerintahan atau organisasi eksekutif yang
kuat, namun upaya-upaya untuk menyadarkan rakyat agar segera meresepsi hukum
negara (untuk tidak secara berterusan bersikukuh secara konservatif pada hukum lokalnya
saja) bukannya akan serta-merta akan mudah. Merekayasa budaya dan mengubah
keyakinan serta perilaku sekelompok warga masyarakat memang merupakan tugas berat
dan berjangka panjang. Pada akhirnya semua upaya itu adalah juga upaya menumbuhkan
kesadaran berbangsa dalam suatu kehidupan bernegara bangsa dan untuk berkesetiaan
baru: tidak lagi mengutamakan masyarakat-masyarakat suku setempat akan tetapi
mengutamakan masyarakat baru yang disebut masyarakat nasional yang dari Sabang
sampai Merauke, dan dari pulau Miangas sampai ke pulau Rote itu. Sekali lagi harus
dikatakan di sini bahwa upaya seperti itu tidak akan mudah. Manakala dalam kehidupan
berbangsa dengan bersaranakan hukum nasional itu kepentingan dan kebutuhan hukum
masyarakat-masyarakat lokal justru kurang terpenuhi, sedangkan hukum-hukum lokal
yang tertulis terbukti selama ini tidak hanya murah akan tetapi juga terasa lebih
melindungi kepentingan-kepentingan setempat, maka selama itu kesadaran yang lama
itulah yang akan lebih kuat bertahan.
Yang masih juga harus diingat dan dipikirkan pada masa ini adalah kenyataan
bahwa kini berbeda dengan zaman awal pertumbuhan negara-negara nasional di Eropa
kehidupan pada tataran nasional bukanlah satu-satunya alternatif yang hendak
mengatasi kehidupan yang lokal itu. Kini kehidupan telah kian marak dalam format-
formatnya yang global, seolah menawarkan alternatif baru yang tak cuma hendak
mengatasi kehidupan yang lokal melainkan juga yang nasional. Dalam suasana
kehidupan yang kian terasa menuju ke suasana one world, different but not divided
dewasa ini, terjadilah suatu paradoks bahwa yang lokal tak akan kunjung terancam mati
(sebagaimana yang terkesan akan terjadi demikian dalam suasana yang nasional dan
170
modern (serta anti-tradisi itu dalam prakteknya), melainkan hidup kembali untuk koeksis
sebagai alternatif yang dapat pula dipilih dalam kehidupan ini. Tatkala terbukti bahwa
selama ini modernisme dan dengan demikian juga hukum nasional yang konon modern
itu tak mampu memecahkan seluruh persoalan kemanusiaan, tak hanya apa yang global
(dengan semangat postmodernismnya) melainkan juga yang lokal (dengan tema-tema
premodernismenya) berani bangkit untuk menawarkan alternatif dalam kehidupan
budaya, sosial, politik, ekonomi dan hukum kepada umat manusia.
Manakala dalam kehidupan berskala global ini yang akan pertama-tama terwujud
adalah suatu global society yang akan membebaskan jutaan manusia dari ikatan-ikatan
aturan hukum nasional yang berhakekat sebagai mekanisme kontrol di tangan penguasa-
penguasa negara, dan bukan suatu global state, maka otonomi-otonomi pengaturan pada
skala mikro untuk kalangan sendiri boleh diramalkan akan lebih banyak terjadi.
Adjudikasi-adjudikasi oleh badan-badan peradilan yang terikat untuk merujuk ke hukum
(negara) nasional diramalkan akan banyak mundur, untuk lebih sering tergantikan oleh
cara-cara penyelesaian yang lebih luwes. Hukum serba baku yang dibuat oleh kekuasaan-
kekuasaan sentral diramalkan --sekalipun dalam rentang waktu yang tak mudah
dikatakan-- akan kian berkurang, sedangkan kesepakatan-kesepakatan kontraktual de
novo akan lebih banyak dilakukan. Kalaupun ada pihak ketiga yang terpaksa diundang
untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari kontrak-kontrak itu, maka
badan-badan arbitrase akan cenderung lebih banyak dipilih daripada penyelesaian-
penyelesaian lewat badan-badan peradilan nasional.
Makin cepat berkembangnya the global society di satu pihak, dan makin cepat
pula surutnya kemampuan dan peran the nation state dalam hal ihwal penataan kehidupan
sosial-ekonomi yang menjamin kesejahteraan hidup di lain pihak, akan makin cepat pula
satuan-satuan parastatal di dunia yang telah mengglobal ini menemukan otonominya
untuk mengembangkan aturan-aturannya sendiri, untuk kalangan sendiri!. Sementara
itu, pada skala-skala kehidupan yang lebih lokal, pembebasan diri dari jangkauan hukum
nasional akan pula tetap berlangsung. Kalaupun tak hanya berupa resistensi-resistensi
kultural yang tak terorganisasi (sebagaimana telah dibentangkan dalam paragrap-paragrap
awal di muka), berbagai institusi lokal dengan fungsinya untuk menyelesaikan perkara-
perkara lokal dipraktikkan akan banyak pula terbentuk. Inilah ragam institusi-institusi
sosial yang oleh Sally Moore disebut the autonomous self regulating mechanism.


16

PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL, TANTANGAN BAGI
PEMIMPIN LOKAL



Hakekat Manusia sebagai Mahluk Sosial
Manusia adalah makhluk sosial; artinya, bahwa manusia itu agar dapat
mampertahankan kelestarian hidupnya harus hidup secara berkelompok dalam satuan-
satuan yang disebut masyarakat. Dalam alam kehidupan ini, manusia memang bukan
satu-satunya makhluk yang terbilang makhluk sosial. Semut dan lebah madu adalah pula
terbilang makhluk yang amat nyata sifat sosialnya. Akan tetapi, berbeda sekali dengan
semut dan lebah ini, masyarakat manusia hanya dapat beroperasi atas dasar tata cara
pergaulan yang dipelajari. Bukan atas dasar naluri-naluri kodrati.
Tata cara pergaulan dalam masyarakat manusia disebut aturan atau sering disebut
kaidah atau norma. Aturan bertingkah laku ini diperlukan agar manusia yang harus hidup
di tengah masyarakatnya itu mengetahui dengan tepat apa yang harus ia lakukan dalam
pergaulan dengan sesamanya. Dengan begitu ia pun tidak akan merugikan dan/atau
mencederai sesamanya. Malah sebaliknya; dengan berbuat sesuai dengan aturan yang
tepat sesuai dengan apa yang telah diketahui dan disepakati bersama, seseorang tak ayal
akan mudah mengembangkan kerjasama untuk berbagai tujuan dengan sesamanya.
Aturan atau norma itu berperan amat penting dalam kehidupan masyarakat manusia.
Setiap warga masyarakat tidaklah mungkin berikut serta dalam kehidupan bersama
apabila tak menguasai terlebih dahulu norma atau aturan permainan yang berlaku di
tempat itu. Itulah sebabnya mengapa setiap pendatang baru dalam masyarakat (seperti
anak-anak manusia atau orang-orang asing) selalu belajar dan diajar dahulu berbagai
santun pergaulan yang berlaku ditempat.
Kecuali disyarati oleh proses belajar-mengajar, tertib pergaulan dalam masyarakat
manusia yang ditopang oleh berlaku dan dijalani atau ditaatinya norma-norma itu akan
ikut disyarati pula oleh ancaman hukuman. Walhasil, tertib pergaulan terjadi karena
manusia-manusia yang menjadi warga pergaulan telah bersedia bertingkah laku tertib,
sesuai dengan aturannya. Mereka bisa dan bersedia berlaku (1) Karena telah mengetahui
lewat proses belajar-mengajar aturan apa yang harus ditaati dan dijalani; dan (2)
karena telah pula mengetahui juga lewat proses belajar-mengajar akibat nestapa apa
yang akan ditemui kalau aturan-aturan itu tidak dipatuhi dan dijalani. Keterangan di
muka inilah yang menjelaskan mengapa berbeda dari masyarakat semut dan lebah yang
bertatanan kodrati tertib masyarakat manusia mengandalkan dari pada upaya-upaya
pengajaran dan pendidikan, dan upaya-upaya pengawasan dan penindakan.



Di manapun kita bertemu dengan masyarakat manusia, di situ selalulah kita
bertemu dengan sejumlah tata aturan, upaya pendidikan dan upaya penegakan. Tak ada
masyarakat manusia di manapun didunia ini yang tak mengenal tata aturan, upaya
172
pengajaran dan usaha menegakkan kepatuhan dengan cara (mengancamkan)
penghukuman. Namun begitu, karena sifatnya yang bukan kodrati, aturan hidup,
pendidikan dan penegakan yang selalu ada pada masyarakat manusia dimanapun itu bisa
saja berbeda-beda dari tempat ke tempat atau dari bangsa ke bangsa dalam hal isinya (isi
aturan), dan pola caranya (cara dan praktek mendidik dan menegakkan ketaatan.
Perbedaan seperti itu memang tak dapat dielakkan karena masing-masing bangsa
mengalami perjalanan sejarah yang berbeda-beda, dan karena itu pula mewariskan dan
mewarisi tata bergaul dan cara menata ketertiban secara berbeda-beda pula. Pada
akhirnya terjadilah apa yang dikatakan orang lain padang lain belalang, lain lubuk lain
pula ikannya. Lain masyarakat lain pula isi aturannya, cara mengajarkan kaidah-kaidah
pergaulan dan cara mengupayakan ketaatan dan disiplin sosial.
Kecuali berbeda-beda dari tempat ke tempat, unsur tertib sosial bisa pula berbeda-
beda dari waktu ke waktu. Dulu begitu, sekarang begini. Inilah yang disebut perbedaan
antar-waktu, atau yang lebih populer disebut disebut perubahan. Dalam kehidupan
yang serba nisbi dan fana ini, tidaklah akan ada kesamaan antar-tempat dan antar-waktu
yang mutlak.
Perubahan-perubahan dalam kehidupan terjadi oleh banyak sebab. Pada umumnya
perubahan itu bisa dikembalikan pada sebab terjadinya peningkatan penggunaan energi
(dalam jenis dan jumlah) yang dipakai sebagai daya kerja, dan sehubungan dengan hal itu
juga dalam hal perubahan macam alat dan teknologi yang dipakai. Perubahan teknologi,
alat sarana, energi dan materi inilah yang mengubah pembagian kerja dalam masyarakat,
dan dalam garis besarnya mengubah masyarakat yang hidup dengan cara berburu ke
masyarakat pertanian, dan seterusnya dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri
(yang hidup dari membuat dan menjual barang/jasa). Perubahan kehidupan seperti ini tak
hanya menyebabkan satuan-satuan kehidupan menjadi membesar (dari desa ke kota, dan
dari kota ke negara bangsa) akan tetapi juga lebih penuh dengan pola-pola pergaulan
yang tak selamanya sederhana lagi.


Proses pergaulan dalam masyarakat yang kian membesar dan tak lagi sederhana itu,
tentulah membawa akibat-akibat khusus dalam upaya penegakan ketertiban. Pertama-
tama, isi aturan pergaulan akan menjadi kian bertambah-tambah jumlahnya sejalan
dengan berlipatnya jumlah dan macam pergaulan. Di sini aturan-aturan lama yang tak
tertulis, dipahami dalam ingatan dalam pokok-pokoknya saja, menjadi tak memadai lagi.
Aturan-aturan kian memerlukan penegasan-penegasan dan tafsir-tafsir yang jelas, tertulis
dan diarsipkan, tetapi juga dimaklumatkan agar diketahui dengan pasti. Dalam
perkembangannya yang lanjut, merekam dan menata serta mengembangkan tafsir untuk
mendalami maksud-maksudnya diperlukan. Di sinilah muncul ahli-ahli khusus yang yang
bekerja merawat dan menyantuni aturan-aturan itu.
Kedua, kecuali sekadar merekam dan menegaskan aturan-aturan pergaulan yang
telah ada dan teradat sebagai kenyataan sehari-hari, masyarakat yang berkembang
menjadi besar dan tak sederhana lagi (komplek) itu memerlukan aturan-aturan baru yang
harus dibuat terlebih dahulu. Aturan-aturan dengan demikian tak hanya akan bersumber
dari kebiasaan-kebiasaan lama saja akan tetapi juga dari kesepakatan-kesepakatan sosial
dan/atau keputusan-keputusan politik yang diproses secara sengaja. Aturan buatan
173
diperlukan karena masyarakat tak lagi hendak ditata untuk melanggengkan tata lama saja,
akan tetapi juga untuk mengatur tata hubungan-tata hubungan baru dari masa mendatang.
Ketiga, masyarakat-masyarakat yang lokal dan sederhana cukup mendidikkan
aturan-aturan pergaulan lewat jalur-jalur informal di lingkungan keluarga-keluarga dan
tetangga-tetangga; demikian juga halnya dengan pembebanan hukumannya (kalau ada
pelanggaran). Akan tetapi masyarakat-masyarakat yang besar dan komplek (seperti
misalnya masyarakat negara) tak dapat mengandalkan diri pada peranan keluarga-
keluarga semata untuk mendidikkan ketaatan dan untuk menegakkan aturan dan
ketertiban, masyarakat negara harus mengembangkan aparat-aparat khusus untuk
maksud-maksud itu.
Desa Mawa Cara, Negara Mawa TataPerkembangan sebagaimana dipaparkan di muka
secara ringkas dapat dikatakan sebagai perubahan dan perkembangan dari masyarakat
lokal/sederhana yang ditata berdasarkan adat kebiasaan rakyat yang tak tertulis ke
masyarakat negara/komplek yang ditata berdasarkan hukum negara yang tertulis. Adat
kebiasaan dipatuhi terutama karena kuatnya kesadaran rakyat mengenai apa yang
pentas/adil dan apa yang tak pantas/tak adil. Sementara itu hukum negara tegak dan
menuntut kepatuhan terutama karena kuat, berkuasa, dan berwibawanya aparat-aparat
pemerintahan pengadanya (disebut aparat legislatif), pelaksana dan penegaknya (disebut
aparat legislatif), dan penerapnya (yudisial).
Adat kebiasaan adalah hukumnya rakyat, dipatuhi (atau harus dipatuhi) untuk
tertibnya pergaulan masyarakat sipil. Hukum negara adalah tata aturan yang dibangun
dan direka oleh aparat negara dan dipatuhi (atau harus dipatuhi) demi tertibnya kehidupan
bernegara. Dalam kenyataan sejarah, sekalipun masyarakat lokal dapat saja berkembang
menjadi (bagian dari) masyarakat negara, sering terjadi bahwa hukum rakyat itu masih
juga bisa lestari dan bertahan untuk memenuhi kebutuhan lokal, tanpa diganggu atau
mengganggu (malah acapkali justru memperkaya) hukum negara. Di kawasan
negara/kerajaan J awa, misalnya, diakui bahwa desa itu mawa cara, sedangkan negara itu
mawa tata; yang berarti bahwa masyarakat lokal dan negara besar itu tegak berdasarkan
dan menurut aturan penertib masing-masing. Dulu di kerajaan J awa, cara desa itu dirawat
dan ditegakkan oleh pamong-pamong desa, yang kalau tak berhasil akan diteruskan ke
pengadilan yang dinamakan bale padu. Sedangkan tataning negara akan diurusi dan
ditegakkan oleh punggawa-punggawa raja (adyaksa) yang kalau tak selesai dengan hasil
baik akan diteruskan ke pengadilan yang disebut bale pradata.
Kembaran antara desa (yang mawa cara) dan negara (yang mawa tata) yang tak boleh
dibaur-baurkan melainkan harus dipandang sebagai dunia yang saling berbeda dan
terpilah begini ini disebut dualisme. Dualisme antara kehidupan kenegaraan di
seputar pemerintahan yang ditangani para priyayi agung dan kehidupan masyarakat
pedesaan yang ditangani para kawula alit seperti ini terlihat jelas berabad-abad lamanya,
sekalipun itu tidak berarti bahwa antara keduanya telah terjadi tindak kebijaksanaan
untuk saling mengucilkan. Alih-alih begitu, dalam kenyataan, keduanya selalu saja dilihat
sebagai dua hal yang sekalipun berbeda namun yang selalu bisa begitu saling melengkapi
dan mengisi secara tepat dan berserasi, kadya keris manjing ing warangka.
Pada masa kekuasaan kolonial Hindia Belanda, dualisme seperti ini tetap
diteruskan walaupun dengan alasan yang lain. Hanya saja, yang dipandang dua berbeda
ini bukan dunia priyayi agung yang dihadapkan ke dunia kawula alit, akan tetapi dunia
Eropa yang dihadapkan ke dunia pribumi. Tatanan Eropa adalah tatanan yang dipolakan
174
menurut model negara modern, dengan kerangka aturan-aturan menurut hukum tulis hasil
buatan badan-badan pembuat hukum, ditegakkan dan dijalankan oleh para administrator
eksekutif, dengan ketaatan-ketaatan yang dikendalikan oleh dan atas wibawa lembaga-
lembaga peradilan yang berkedudukan tak memihak. Sementara itu, tatanan pribumi
berlangsung menurut tatanan yang diatur oleh adat dan hukum adat tak tertulis,
sebagaimana yang berkembang di lapangan sebagai bagian dari budaya rakyat, dijaga dan
dirawat oleh dan atas wibawa para kepala keluarga, serta tokoh-tokoh dan pamong-
pamong desa.

Pembangunan Hukum Nasional
Dualisme seperti yang dipraktekkan pada masa lalu itu ternyata tak lagi dianut
ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Penegaraan kehidupan tak lagi
dibataskan pada masyarakat-masyarakat perkotaan dan lapisan-lapisan masyarakat
tertentu saja, akan tetapi dilaksanakan secara menyeluruh. Oleh karena itu, hukum negara
Indonesia (dikenal sejak waktu itu dengan sebutan hukum nasional dibuat, dibangun
dan dikembangkan guna menata kehidupan dan kemasyarakatan di seluruh Indonesia
tanpa kecualinya. Hukum nasional didayagunakan untuk merekayasa sendi-sendi
kehidupan rakyat yang dahulu tak pernah hendak disentuh oleh aturan-aturan hukum
negara, kecuali kalau ada alasan-alasan tertentu yang penting saja.
Pembangunan hukum yang diupayakan untuk menemukan sarana yang ampuh
untuk membangun masyarakat ini didasarkan pada pertimbangan bahwa hukum nasional
yang baik dalam hal kebenaran isinya maupun dalam hal kekuatan penegakannya itu
akan dapat memaksa warga masyarakat (yang kini juga berstatus warga negara!) untuk
bertingkahlaku seperti yang diperintahkan oleh hukum negara (undang-undang,
peraturan-peraturan pemerintah, keputusan-keputusan dan/atau instruksi-instruksi
eksekutif). Bukan hukum apabila hukum negara itu memiliki upaya-upaya dan aparat-
aparat penegak yang terorganisasi baik dan dapat memaksakan kuat-kuat ditaatinya
sesuatu aturan.


Cara pendayagunaan hukum untuk merekayasa masyarakat dan sebagai sarana
pembangunan, sekalipun dimaksudkan untuk tujuan-tujuan yang baik menurut
pertimbangan para pemimpin dan penguasa pengambil keputusan acapkali dirasakan dan
dinilai oleh masyarakat awam sebagai suatu tindakan yang sulit dimengerti dan tidak
selamanya dapat diterima. Pembangunan lebih-lebih pada masa awalnya lebih sering
dilaksanakan sebagai terobosan-terobosan lewat upaya-upaya baru yang harus ditaati dan
diikuti secara nasional. Penyatuan dan penyamaan azas, cara, dan aturan-aturan akan dan
telah banyak terjadi di sini. Semua ini adalah konsekuensi tekat untuk mengembangkan
hidup bernegara dan bermasyarakat nasional yang satu dan satu-satunya di atas dan
mengatasi hidup bermasyarakat lokal/daerah yang jelas sangat bhineka.
Dapatlah dimengerti mengapa pada situasi seperti ini hukum negara (alias hukum
nasional) yang didayagunakan sebagai sarana perekayasa dan sarana pembangunan lalu
tampak amat mendesak maju di mana-mana. Sementara itu hukum adat yang dianut
sebagai kebiasaan turun-temurun setempat (tak lagi dilindungi kebijakan dualisme)
menjadi terpaksa selalu bertahan dan bahkan surut pula di mana-mana, dan hanya dipakai
175
dalam kehidupan setempat (yang tak ada kaitannya dengan urusan pemerintahan dan
kenegaraan).
Dalam kenyataan, rakyat awam kian merasakan bahwa alam kehidupannya tak
lagi alam kehidupan kedaerahan setempat yang otonom. Suasana kehidupan nasional
merangsek dan merasuk di mana-mana. Urusan-urusan yang harus dikerjakan dan
diselesaikan kian banyak yang mau tak mau menghadapkan mereka yang awam ini ke
instansi-instansi pemerintah dan/atau mengharuskan mereka banyak berurusan dengan
para pejabat negara. Kian banyak urusan yang harus mereka selesaikan dengan
menggunakan bahasa resmi nasional daripada dengan menggunakan bahasa daerah.
Maka, inipun sesungguhnya berarti pula bahwa mereka yang awam ini mau tak mau
harus kian banyak pula menyelesaikan urusan-urusannya dengan merujuk ke aturan-
aturan penertib baru, ialah hukum nasional.

Tantangan Para Pemimpin Lokal
Perubahan-perubahan luas yang kian merata sebagaimana dipaparkan di muka telah
mengalihkan tatanan kehidupan di Indonesia ini dari wujudnya sebagai himpunan
sejumlah besar masyarakat-masyarakat tua menjadi/ke satu negara baru; dari yang jamak
dan lokal menjadi yang tunggal dan nasional. Namun peralihan dan pengalihan ini
tidaklah serta-merta dapat ditafsirkan sebagai peniadaan secara mutlak tatanan yang lokal
itu, sedangkan tatanan yang nasional saja yang akan hidup sebagai tatanan satu-satunya
yang diakui sah serta yang dalam kenyataannya akan/harus dianut. Dualisme akan tetap
ada dalam kenyataan, sekalipun tidak ada dalam kebijakan resminya.
Hal ini akan menempatkan para pemimpin lokal seperti misalnya para pamong
desa dalam suatu kedudukan dan peran yang sering terpaksa mendua. Mengukuhi peran
lamanya, pamong desa adalah pemimpin-pemimpin lokal yang diakui banyak memahami
perasaan dan keyakinan rakyat setempat. Namun dalam kedudukan dan perannya yang
baru sebagai kepanjangan aparat pemerintah, pamong desa adalah juga tokoh-tokoh yang
diharapkan mampu membawakan aspirasi dan kebijakan nasional ke tengah-tengah
rakyatnya. Posisi mendua seperti ini tidaklah usah dialami semasa kebijakan dualisme
secara resmi dianut oleh pemerintah (kerajaan dan kolonial). Akan tetapi, ketika politik
dualisme ditinggalkan dalam kebijakan nasional pada saat kehidupan menurut adat
lokal masih kuat dianut orang, padahal tatanan baru menurut kebijakan dan aturan
nasional terus saja mendesak agar segera diwujudkan secara tuntas di desa-desa
pamong desa lalu mendapatkan dirinya bagaikan orang yang harus mengayuh biduk di
antara dua karang.
Adalah sulit untuk menganjurkan agar para pamong desa dalam suasana
kehidupan nasional ini mengukuhi saja tradisi-tradisi lama semata, dan sehubungan
dengan itu berpihak kepada tolok-tolok norma adat yang mungkin masih berakar dalam-
dalam dalam sanubari keyakinan sebagian besar rakyat yang belum siap untuk segera
mengindonesia. Akan tetapi rasa-rasanya juga sama sekali tidak bijaksana apabila para
pamong desa berpihak sepenuhnya kepada kebijakan-kebijakan sentral, dan memaksa
terlalu keras tolok-tolok kebenaran dan keadilan sebagaimana dirumuskan secara sepihak
oleh dan menurut keyakinan para pejabat negara. Para pamong tentulah lebih
diseyogyakan untuk mengembangkan kemampuan untuk menerjemahkan kebijakan-
kebijakan pusat menurut kemungkinan-kemungkinan pelaksanaannya di tempat. Asal
tujuan-tujuan pembangunan itulah yang akan dipentingkan, dan bukan pertama-tama
176
keharusan-keharusannya menurut rumus hukum itu yang hendak didahulukan (apapun
juga konsekuensinya!), maka maksud perekayasaan pembangunan kira-kira saja akan
lebih mudah diwujudkan.
Di lain pihak, rasa-rasanya juga tidak bijaksana apabila para pamong desa
berpihak sepenuhnya kepada adat-adat dan keyakinan lokal yang tak lagi cocok untuk
dipakai sebagai pedoman dan petunjuk guna memasuki situasi kehidupan nasional yang
sudah banyak dipenuhi perubahan dan pembaharuan ini. Di sini para pamong hendaklah
mampu pula membikin rakyat di desa-desa melek hukum nasional, tidak hanya agar
rakyat itu bisa melihat kewajiban-kewajibannya (menurut hukum) di tengah-tengah hidup
kemasyarakatan dan kenegaraan akan tetapi juga hak-haknya (baik di hadapan sesama
warga maupun di hadapan para pejabat negara).
Dalam soal yang disebutkan akhir, ialah dalam hal penyadaran rakyat banyak akan hak-
haknya, para pamong desa akan bisa lebih bisa membantu timbulnya kesan di sanubari
rakyat bahwa terjun dan berpartisipasi dalam kehidupan nasional itu sesungguhnya
aman-aman saja. Dengan menyadari kuatnya hak-hak baru yang diberikan kepada
rakyat berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum nasional, rakyat akan merasa bahwa
memasuki kehidupan nasional mereka itu akan tetap saja memperoleh perlindungan, dan
bahkan akan terbekali dengan sumberdaya untuk meraih kesempatan. Apabila dalam
usaha menyuluhkan dan mempraktekkan hukum nasional para pamong hanya pandai
menyadarkan rakyatnya akan kewajiban-kewajibannya semata-mata, tanpa rakyat
mengetahui dengan sebenarnya di mana batas akhir kewajibannya dan di mana pula batas
awal hak-haknya, maka tak pelak lagi rakyat awam akan gampang terkesan bahwa hidup
dalam suasana hukum nasional itu sungguh lebih berat dan sungguh pula dipenuhi
kebijakan dan tindakan pemerintah yang sekali-kali tak pantas dan tak adil.

17

Pembaruan Hukum untuk Menggalang Kehidupan Masyarakat
Indonesia Baru yang Berprikemanusiaan dan Berkeadilan


Indonesia: Realitas atau Imajinasi?
Pernah dipertanyakan, apakah yang disebut Indonesia itu merupakan atau telah
merupakan suatu realitas sejarah? Ataukah masih saja merupakan suatu fenomena
dalam alam imajinasi belaka, yang nyatanya sampai saat ini tak juga kunjung dapat
diaktualisasikan secara purna. Tidaklah kiranya ada orang yang dapat mengingkari
bahwa fenomena Indonesia itu sebenarnya baru lahir sebagai cita-cita politik pada
dasawarsa kedua abad yang lalu. Itupun tatkala suprastrukturnya berhasil dibangun
sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia pada pertengahan abad, infrastrukturnya
yang secara social dan cultural tak juga kurang terbenahi, dan bahkan cenderung
terabaikan, untuk benar-benar dapat dikembangkan sebagai suatu satuan masyarakat
bangsa yang terintegrasi kuat.
Romantisme kaum nasionalis, yang semula berhasil dikendalikan untuk
menggapai saja persatuan Indonesia (atas dasar konsep Ernest Renan), seperti tiba-
tiba saja pada era pasca revolusi menjadi terkesan demikian kelewatan dan
menjadikan cita-cita kesatuan sebagai cita-cita yang amat lebih utama. Semangat
bhineka tunggal ika yang mestinya terbaca sebagai berbeda-beda itu (sekalipun)
satulah itu menjadi termaknakan sebagai (sekalipun) berbeda-bedalah itu (namun
satulah itu). Dalam romantisme yang dan semangat nasionalisme yang lebih
terobsesi oleh ide kesatuan Indonesia yang sentralistik daripada oleh ide persatuan
Indonesia yang federalistik seperti itu maka tak salah lagi terjadilah berbagai konflik
yang didasari berbagai motif antara kaun modernis di pusat-pusat pemerintahan yang
meyakini kebenaran yang meyakini kebenaran universalisme pada tataran nasional
dan kaum tradisionalis yang meyakini kebenaran partikularisme demi kepentingan
rakyat di komunitas-komunitas local yang otonom.
Kini, dalam era reformasi yang mestinya bisa dipenuhi kesediaan berotokritik,
kesempatan dialog sudahlah sepatutnya dibuka lebar-lebar guna menegaskan kembali
macam kehidupan bernegara dan berbangsa yang hendak diwujudkan. Betulkah
kecenderungan yang bergulir kini sudah lebih tertuntun untuk lebih mengarah ke arah
otonomisasi yang juga bermakna sebagai penguatan etno-lokalisme? Ataukah proses
itu sebenarnya hanya merupakan gambaran sementara saja dari hilangnya kekuatan
kontrol para elit sentralis, yang namun demikian toh tengah hendak dicoba dipulihkan
kembali oleh mereka itu dengan berbagai cara? Adakah seluruh dinamika politik
sosial-politik yang tengah terjadi ini akan berujung muara pada terwujudnya
Indonesia Baru yang tetap berhakikat sebagai organisasi kehidupan bernegara bangsa
yang sesungguhnya tetap yang dulu-dulu, namun kini telah berasesori dan
berkosmetika baru supaya tampak serba baru? Ataukah berkat tekad
mengupayakan suatu proses reformasi yang konsekuen tidak sekali-kali akan
demikian lagi?
Manakala tidak demikian, lalu sejauh mana proses dinamika sosial politik itu
akan berujung? Akankah berujung ke terwujudnya organisasi kehidupan bernegara
bangsa yang sudah terdekonstruksi menuju ke terwujudnya desentralisasi
178
pemerintahan yang cukup lanjut, yang barangkali saja malah tak muhal bisa
mendekati modelnya yang federalistik, dengan kekuasaan lokal yang ethno-
nationalistic centered sudah amat boleh (atau tak lagi bias ditolak, dan karena itu
terpaksa?) ditenggang? Ataukah malah masih berlanjut lagi keterjadinya proses
disintegrasi, kalaupun tidak berskala total tentulah parsial, menuju ke terjadinya
beberapa negara baru sebagai akibat tekad sementara daerah untuk memisahkan diri
dari negara kesatuan? Semua pertanyaan itu mestilah dijawab, tidak hanya
berdasarkan keinginan dan kebijakan para elit yang tengah memegang kendali
kekuasaan akan tetapi juga dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan yang tengah
terjadi dan tersimak di lapangan, yang terungkap sebagai aspirasi warga di daerah-
daerah.


Konsep dan Perspektif Keadilan dalam Hukum Nasional


Dalam era maraknya negara-negara nasional yang modern (yang acap pula
disebut negara bangsa sebagai terjemahan dari istilah dan konsep nation state yang
dikenal dalam kepustakaan asing), apa yang disebut hukum itu --secara terang-
terangan ataupun secara sembunyi-sembunyi-- secara pasti telah berkembang ke
dalam konsepnya yang baru sebagai hukum positif (dalam maknanya sebagai sesuatu
yang positif. Karena terkualifikasi sebagai sesuatu yang positif (dalam maknanya
sebagai sesuatu yang expressed definitely), hukum nasional yang telah terkonsepkan
demikian itu tentu saja lalu bersifat formal, lebih bersosok sebagai kaidah-kaidah
undang-undang yang terrumus eksplisit daripada sebagai asas-asas atau premis-premis
tak tertulis yang bersifat implisit. Dalam konsep dan sosoknya yang seperti itu, tak
pelak lagi apa yang disebut hukum nasional itu lalu muncul pula dalam fungsinya --
apa yang disebut oleh Redfield dan Black-- sebagai the government (coersive) social
control.

Dalam era yang telah berubah seperti ini tak pelak tidaklah akan ada materi
normatif macam apapun yang akan terakui dan dan ditegakkan sebagai hukum,
kecuali apabila materi itu telah mengalami positivisasi atau formalisasi dan
formulasisasi terlebih dahulu. Dalam politik kenegaraan yang mengikuti tradisi Eropa
Kontinental (antara lain juga Indonesia yang mewarisi tradisi itu dari Belanda yang
pernah menjajahnya), positivisasi itu pada dasarnya berlangsung melalui proses-
proses legislasi yang dituntun oleh ide-ide dan/atau kepentingan politik para politisi.
Sementara itu, dalam praktek pemerintahan yang mengikuti tradisi Eropa Anglo-
Saxon, positivisasi itu lebih sering berlangsung melalui proses-proses adjudikasi yang
berlangsung di bawah arahan hakim-hakim (lawyers!) profesional di sidang-sidang
pengadilan.

Menurut teorinya, positivisasi itu --lebih-lebih yang berlangsung melalui
proses legislasi yang sarat dengan benturan antar-kepentingan dan/atau antar-posisi
yang mencerminkan keberpihakan dalam percaturan politik-- tak akan terlalu peka
untuk mempersoalkan ihwal keadilan itu. Menurut teori kaum yuris-positivis (ialah
kaum yang selalu dapat kita temui di balik setiap penataan konstitusi dan sistem
hukum negara-negara nasional), setiap kaidah hukum yang dicipta oleh negara (atau
179
kongkritnya oleh badan atau salah satu badan pemerintahan yang berfungsi sebagai
pengemban kekuasaannya) itu harus dinyatakan telah berlaku dan wajib ditaati, bukan
karena kandungan normatif-etisnya (seperti a.l keadilan, misalnya!) melainkan
karena kebenaran-kebenaran prosedur formal pembuatan dan pembentukannya
menurut ketentuan-ketentuan konstitusional yang telah diikutinya. Maka, di sini
bukan esensi keadilan kandungannya itu yang akan merupakan suatu conditio sine
qua non yang akan menentukan apakah sesuatu kaidah hukum itu telah mempunyai
dasar pembenar untuk diakui berlaku atau tidak. Alih-alih begitu, yang akan menjadi
dasar pembenar berlaku-tidaknya sesuatu hukum (baca: undang-undang!) adalah
kesahannya secara formal-yuridis (yang pada gilirannya ditentukan oleh kepatuhan
para pembuat dan pembentuknya pada formalitas-formalitas konstitusional yang ada).

Semua itu tentu saja bukan berarti bahwa soal-soal nilai --seperti misalnya
keadilan, kemanusiaan, dan apalah lainnya lagi-- lalu tak bisa masuk ke dalam
percaturan hukum. Akan tetapi, selama nilai-nilai itu tidak atau belum dikongkritkan
ke dalam wujudnya yang positif dan/atau tertulis --dengan memenuhi syarat-syarat
formalnya-- sebagai kaidah (atau sebagai bagian dari kaidah) yang terumus in
behavioral term, tidaklah nilai-nilai itu boleh dianggap memiliki kekuatan berlaku
secara yuridis, dan karena itu juga boleh ditaati sebagai ius constitutum (alias lex atau
lege). Setakat itu, sejauh-jauhnya nilai-nilai tersebut hanyalah akan dan boleh terakui
berlakunya secara etis-filosofis sebagai ius constituendum.

Dalam percaturan hukum di forum-forum resmi, di mana kepentingan
pemerintah dan pemerintahan nyata-nyata terlibat di dalamnya, tentu saja ius
constitutum yang positif itulah yang selalu dirujuk oleh orang-orang pemerintah untuk
memberikan dasar pembenaran bagi sebarang langkah dan kebijakan yang dibuat.
Keabsahan secara yuridis --dan bukan kebenaran secara etis (yang diistilahi
keadilan)-- itulah yang selalu pertama-tama dijadikan dasar pembenar. Kalaupun
keadilan ikut dirujuk, itu tak lain karena norma etis itu telah ikut memperkuat
kekuatan berlaku hukum positif yang yuridis tersebut (dengan menyumbangkan
landasan filosofisnya); dan tidak akan dirujuk demikian kalau nanti ternyata malah
akan memperlemahnya.

Maka, di negara-negara nasional yang menganut paham positivisme dalam
kehidupan hukumnya ini, tak pelak lagi apa yang disebut keadilan itu lalu terreduksi
menjadi keadilan menurut makna yuridisnya. Keadilan dianggap telah ada dan telah
terrealisasi dengan penuh manakala setiap subjek hukum telah memperoleh hak-hak
ini tentu saja bukan hak-hak yang menurut kriteria etis-filosofisnya seharusnya ada di
dalam dan/atau akan diberikan oleh -- ius constituendumnya.

Di negeri-negeri yang menganut tradisi Anglo-Saxon, persoalan keadilan itu
tentu saja tidak pula ada kaitannya dengan hukum (perundangan) yang akan datang,
melainkan selalu pula dalam kaitannya dengan pembuatan hukum yang kini. Dalam
tradisi ini, sebagaimana kita ketahui, pembuatan itu berlangsung terutama dalam
proses-proses adjudikasi untuk menghukumi perkara-perkara tertentu yang diajukan
ke hadapan hakim. Dengan perkataan lain, di sini persoalan keadilan masuk ke dalam
proses-proses pembuatan keputusan hakim, in concreto, dan seterusnya dalam
pembuatan dan pengembangan judge-made-laws. Namun, karena sifatnya yang
180
kongkrit dan direlevansikan dengan sesuatu perkara tertentu, keadilan di sini pun
bukanlah keadilan dalam maknanya yang filosofis, akan tetapi yang berkait dengan
praksis-praksis pembuatan (keputusan) hukum yang baik. Maka, tegasnya di sini
keadilan akan lebih bermakna sebagai fairness dalam fair trial daripada sebagai moral
rightness dalam maknanya yang abstrak. Di sini apa yang disebut justice pun tak lagi
(semata-mata) dimafhumi dalam artinya yang lebih empirik sebagai fair handling atau
bahkan sebagai the administration and procedure of law.

Positivisasi hukum dalam negara-negara nasional yang modern itu dengan
demikian lalu gampang menodongkan bahaya rule by law yang represif,
menggantikan rule of law yang otonom. Mereka yang memiliki akses paling lapang
menuju ke pusat-pusat kekuasaan pembentukan hukum perundangan akan jelas-jelas
paling berdaya memanfaatkan hukum sebagai (governments) social control untuk
menguasai sistem guna mengamankan dan mengefektifkan kebijakan-kebijakan dan
kepentingan-kepentingannya. Di negeri-negeri di mana akses itu bisa dibuka sama
lebarnya bagi siapa saja tanpa kecualinya (berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi
yang sejati), positivisasi hukum dengan segala konsekuensinya sebagaimana telah
dibentangkan di muka tidaklah akan menimbulkan keberatan yang terlalu sangat.

Akan tetapi, manakala akses yang terbuka sama lebar untuk siapapun itu tidak
dapat diwujudkan, dan karena itu proses-proses legislasi dan pembuatan peraturan
perundangan yang lain hanya akan dikuasai sedikit banyak secara monopolistik oleh
elit-elit kekuasaan tertentu (yang umumnya juga telah bersarang tanpa dapat digugat-
gugat lagi di badan-badan eksekutif dan mengontrol pula badan-badan yudisial), maka
tak ayal lagi positivisasi hukum seperti itu tak ayal lagi akan berakhir dengan
otorianisme yang terselubung, yang tersembunyi dibalik legalitas-legalitas dan
legitimasi-legitimasi formal. Di sini kekuasaan-kekuasaan tanpa enggan dan segan
akan disahkan oleh dirinya sendiri, dan hukumpun tidaklah lagi berfungsi sebagai
pengontrol kekuasaan politik dan kekuasaan eksekutif sebagaimana dimaksudkan
semula dalam prinsip-prinsip negara hukum. Alih-alih begitu, hukum telah berfungsi
sebagai pembenar dan/atau penopang kekuasaan untuk mengontrol dan merekayasa
perilaku rakyat yang warga masyarakat, dan sehubungan dengan itu semua lalu juga
amat memaksakan ketaatan-ketaatan.

Dalam situasi seperti ini, pencanangan negara hukum tidak akan lagi
tertangkap dalam arti dan dalam maknanya sebagai negara yang tak berdasar
kekuasaan. Alih-alih begitu, konsep negara hukum akan bersalin rupa dalam arti dan
maknanya sebagai negara di mana semua warganya harus berperilaku mematuhi
hukum yang telah dibentuk dan diundangkan oleh pemerintah. Tak ayal lagi, dalam
situasi yang berbalik seperti itu, bukan lagi pemerintah nasional yang akan selalu
diingat-ingatkan rakyatnya untuk selalu menaati konstitusi dan ketentuan-ketentuan
hukum berikut asas-asasnya. Dalam situasi seperti itu, justru rakyat itulah yang akan
lebih acap diingat-ingatkan --dan dijadikan sasaran berbagai proyek penyuluhan
hukum-- yang terus-terusan oleh orang-orang pemerintah untuk selalu menaati
konstitusi dan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan secara eksplisit dalam
kaidah-kaidah hukum positif.

181
Dalam praktek, hukum positif yang telah terlanjur berkembang sebagai hasil
positivisasi dan legislasi --dengan fungsinya yang (sengaja atau tidak) cuma sebagai
pemberi dasar legalitas pada setiap tindakan kekuasaan-- sebagaimana telah
dipaparkan di muka itu tak ayal lagi lalu amat terkesan sebagai hukum yang lebih
bersifat represif daripada bersifat responsif. Hukum seperti ini, apabila kelak
ditegakkan oleh aparat-aparat pemerintah, tak pelak lagi lalu juga akan amat terkesan
lebih berhakekat sebagai pemaksaan-pemaksaan sepihak yang tak adil daripada
sebagai pengharusan-pengharusan yang memang telah tersepakati secara timbal-balik
antara pemerintah dan rakyat, melalui cara-cara yang boleh dinilai jujur dan dengan
kandungan materi normatif yang boleh pula dinilai adil. Dalam ihwal seperti itu tentu
saja tak adalah kesempatan yang diperoleh warga masyarakat untuk berbincang soal
adil tidaknya kandungan undang-undang itu. Yang ada hanyalah kesempatan dan
keleluasaan orang-orang pemerintah untuk menunjukkan legalitas dan telah
terpenuhinya syarat-syarat legitimasi undang-undang tersebut. Maka, tanpa
kompromi, undang-undang itu harus dipatuhi; bukan karena soal adil-tidaknya, akan
tetapi bertolak dari persoalan telah sah-tidaknya secara formal-yuridis.


Pembaruan Hukum: Legal Reform
Manakala hukum dikonsepkan sebagai suatu subsistem saja yang mesti
fungsional dalam suatu suprasistem yang disebut masyarakat, maka proses
perkembangan dan/atau pengembangan masyarakat menuju keterwujudnya suatu
masyarakat politik baru niscayalah berimbas pula pada upaya refungsionalisasi hukum
sebagai suatu institusi yang harus dipandang strategis dalam kehidupan sosial-politik.
Manakala proses menuju keterwujudnya Indonesia baru adalah suatu proses politik
yang disadari, proses pembaharuan hukum demi terwujudnya Indonesia Baru ini akan
pula -- tanpa bisa diingkari adalah pula akan merupakan bagian dari proses politik
yang progresif dan reformatif. Di sini hukum dapat difungsikan sebagai apa yang
dalam kepustakaan teori hukum disebut tool of social engineering entah yang
diefektifkan lewat proses-proses yudisial (Seperti yang dimaksudkan oleh Roosche
Pound) entah pula yang diefektifkan via prosesproses legislatif (seperti yang
diintroduksikan oleh Mochtar Kusumaatmadja untuk praktik pembangunan
Indonesia).
Dalam fungsinya yang reformatif sebagai tool of engineering itu, di negeri ini
pembaharuan hukum acap kali masih saja diperbincangkan dalam konsepnya yang
agak terbatas sebagai legal reform. Apa yang disebut sebagai legal reform ini secara
harfiah harus diartikan sebagai pembaharuan dalam sistem perundang-undangan
belaka.
1
) Dalam konsepnya seperti ini, pembaharuan hukum akan berlangsung sebagai
aktifitas legislatif yang umumnya hanya sempat melibatkan pemikiran-pemukiran
kaum politisi dan/atau sejauh-jauhnya juga pemikiran para elit profesional yang
memiliki akses lobi. Kalaupun berkehendak untuk memperlebar persoalan dalam
perbincangan, wacana pembaharuan hukum dalam alur strategiknya sebagai legal
reform ini umumnya tidak hendak membatasi perbincangan pada pembaruan norma-
norma positif perundang-undangannya saja. Berwacana lebih lanjut, logisnya

1
Katalegal itu berasal dari kata lege yang berarti undang-undang alias materi hukum yang secara
khusus telah dibentuk menjadi aturan-aturan yang telah dipastikan/dipositifkan sebagai aturan hukum
yang berlaku secara formal. Lege lazim juga disebut ius constitum atau hukum positif karena bentuk
rumusannya yang telah jelas dan pasti.
182
perbincangan ini akan menukik ke permasalahan doktrin-doktrin dan paradigma yang
menjadi dasar pembenar (alias norma-norma dasarnya yang filosofis) seluruh
bangunan perundang-undangan nasional, berikut (tentu saja) peninjauan ulang dan
wacana pembaruannya.
Dalam pengalaman Indonesia, pembaruan hukum dalam artian sebagai legal
reform, dan dalam realitas sejarahnya untuk menasionalisasi hukum perundang-
undangan kolonial, tidaklah pernah terbukti sebagai pembaruan yang sampai mengena
dasar-dasar paradigmatiknya. Reform macam ini tertengarai berkecenderungan untuk
membatasi diri pada pembaruan undang-undang atau sementara pasal dan ayat dalam
undang-undang yang telah ada saja, dan seperti berkesan tak hendak risau untuk
mempertanyakan paradigma ideologiknya. Diketahui bahwa bangunan perundang-
undangan hukum kolonial yang berangkat dari paradima liberalisme Eropa Barat
yang klasik itu amat menekankan kebenaran prinsip-prinsip kebebasan dan
kesetaraan individu, dan sehubungan dengan itu (demi kepastian!) mengharuskan
positivisasi norma-norma hukum dalam bentuk suatu corpus iuris (sistem perundang-
undangan) yang diideologikan berstatus supreme, sebagaimana dinyatakan oleh kaum
yurislegis sebagai ajaran the supreme state of law.
Dari perspektif kajian semiotika hukum, legal reform tidaklah akan bisa
mengikutkan keterlibatan khalayak ramai yang awam. Berada dalam suatu lingkungan
yang disyarati oleh pengalaman budaya dan pengalaman berbahasa yang amat
berbeda, khalayak ramai yang awam ini akan sulit kalaupun tak dipersulit
memasuki suatu wacana yang dikuasai apa yang disebut suatu linguistic dominating
system para elit politisasi dan elit profesional yang dengan itu mampu mendominasi
percaturan hukum formal. Dalam kenyataan seperti itu hukum perundang-undangan
nasional akan lebih gampang terdayagunakan untuk merespon kepentingan mereka
yang mapan dan berkekuasaan daripada berkepekaan pada kepentingan mereka yang
berkedudukan marjinal dan yang karena itu pula akan berkeadaan rawan. Dalam
kenyataan seperti itu pula hukum perundang-undangan nasional yang diberlakukan
diseluruh negeri atas dasar keyakinan akan kebenarannya yang universal akan tutup
mata pada realitas tetap dipatuhinya tradisi-tradisi tua yang hidup dalam kehidupan
komunitas-komunitas lokal.

Pembaruan Hukum: Law Reform

Hukum nasional yang dikembangkan berdasarkan modelnya yang
diperjuangkan sepanjang abad 18 di Eropa Barat, dengan keberhasilannya
mendestruksi model hukum lokal yang feodalistik dan hukum raja-raja yang selalu
mencoba mempertahankan hegemoninya yang sentral, memang dipandang mampu
memenuhi fungsinya untuk membebaskan jutaan manusia dari perhambaan dan
kemudian daripada itu untuk melindungi hak-hak asasi mereka sebagai warga negara.
Akan tetapi, sudah pada awal abad 20, di sementara negeri justru di negeri tempat
kelahirannya ide dan model hukum nasional yang berkonfigurasi liberal-demokratik
itu mengalami kritik dan dekonstruksinya yang korektif. Banyak teoritisi ilmu hukum
dan eksponen politik hukum menengarai konsep hukum yang liberal-demokratik
dengan doktrinnya yang positivistik serta fungsinya sebagai penjamin kepastian-
kepastian dalam setiap kesepakatan konstektual itu sebagai konsep dan doktrin yang
sesungguhnya tidak realistik.
183
Didakwakan bahwa kebebasan, kesetaraan, dan kesamaan dalam hal
memperoleh kesempatan sebagaimana dijanjikan oleh hukum itu hanyalah benar
demikian dalam norma-normanya yang abstrak dan dalam retorika-retorika
teoritiknya belaka. Dalam kenyatannya, in concreto, para pelaku dalam kehidupan
hukum itu tidaklah berkesetaraan dan berkesempatan sama untuk memperoleh akses
ke dalam sistem guna mengklaim hak-hak yang telah dijanjikan in abstracto. Kaum
realis yang di Amerika Serikat dirintis oleh teoritikus seperti Pound dan praktikus
seperti Holmes, yang kemudian direalisasi lewat gerakan-gerakan sosial oleh tokoh-
tokoh seperti Llewellyn dan Frank mengembangkan doktrin-doktrin baru dalam
ilmu dan praktek hukum yang berefek membandingi serta menandingi doktrin kaum
positivis (yang di Amerika dikenali sebagai aliran legal mechanism langdelian).
Pada asasnya, para pendukung paham sociological dan/atau realistic
juresprudence tersebut menolak doktrin tentang universalisme substansi hukum yang
berkonsekuensi pada tiadanya pengakuan pada hukum dan hak-hak mereka yang
terbilang kaum minoritas. Para penganut paham realisme ini pun menolak anggapan
kaum legis yang Langdelian itu, yang menyatakan bahwa hukum itu merupakan suatu
sistem normatif yang tertutup dan karena itu mempunyai logikanya sendiri (yang
deduktif) yang terlepas dari konteks-konteksnya yang politik, sosial maupun kultural.
Esensi doktrin kaum realis ini bisa terbaca secara gamblang dalam ucapan seorang
hakim bernama Oliver Wendell Holmes bahwa dalam kehidupan yang nyata ini law
has not been logic. It is experience. Hukum bukanlah sutu sistem teks normatif yang
tertutup. Menjaga kemurnian hukum dengan menutup diri dari pengaruh konteks-
konteksnya adalah suatu upaya yang tidak hanya sia-sia akan tetapi juga tidak
realistis.
Maka, menyadari realitas sebagaimana yang ditemui dalam kehidupan sehari-
hari, hukum harus diakui sebagai bagian fungsional saja dari suatu sistem kehidupan
yang lebih inklusif. Berkeadaan seperti itu, hukum dapatlah dipandang sebagai suatu
subsistem yang tanpa terelakkan akan terhimpit struktur dengan subsistem politik dan
pula dengan subsistem sosio-kultural. Hukum bukanlah suatu (sub)sistem substantif-
normatif semata akan tetapi juga berkomponenkan struktur alias organisasi yang
berbasis politik dan pula berkomponenkan kultur alias nilai-nilai dan norma-norma
sosial yang berbasis sosial kultur komunitas etnik/indigenous. Partikularisme dalam
kehidupan sosio-politik dan sosio kultural yang dinamik akan menjadikan hukum
dengan konsepnya yang baru sebagai sistem yang terbuka di tengah makrosistem yang
lebih inklusif itu justru boleh dipercaya akan lebih berpotensi memajukan demokrasi.
Konsep ini menjadikan hukum yang bersumber pada bahan perundang-undangan
berikut doktrin-doktrin konfiguratifnya tidak hanya menjadi bidang urusan para
juris dan/atau lawyers semata melainkan juga urusan publik pada umumnya.
Konsep hukum dan maknanya yang luas sebagai law (untuk menggantikan
istilah latin ius) dan bukan diartikan sempit-sempit sebagai undang-undang (alias ius
constitum, ialah norma hukum yang telah memperoleh bentuknya yang khusus dan
dinyatakan secara positif konfirmatif sebagai hukum dengan backups kekuatan yang
formal) akan memungkinkan proses desakralisasi hukum. Hukum sekalipun telah
dibentuk dalam wujudnya yang formal sebagai produk kebijakan suatu badan
pemerintahan negara yang terbilang tinggi bukanlah suatu yang sakral dan berstatus
di atas segala-galanya (the supreme lawstate, de hoogste rechtsstat). Alih-alih,
menurut konsepnya yang mutakhir ini, hukum pada hakikatnya adalah produk
aktivitas politik rakyat yang berdaulat, yang digerakkan oleh kepentingan-kepentingan
184
ekonomi mereka yang lugas entah pula yang ikut diilhami oleh dan/atau dirujukkan ke
norma-norma sosial dan/atau nilai-nilai ideal kultur mereka.
Dalam konsep kaum realis ini, hukum perundang-undangan yang diakui
berlaku namun tak lagi disakralkan ini dapatlah dijadikan obyek kritik sewaktu-waktu.
Kritik-kritik boleh dilancarkan tidak hanya atas dasar kriteria kesahan sehubungan
dengan prosedur pembentukan serta prosedur pelaksanaannya yang formal semata
melainkan juga atas dasar kebenaran substansi sosio-kulturalnya. Hukum perundang-
undangan nasional, berikut konkretisasinya dalam bentuk amar-amar putusan
pengadilan, dicitakan akan selalu terbuka untuk berbagai kajian dan berbagai kritik
dekonstruktif yang dilakukan lewat berbagai gerakan sosial peduli hukum, agar
hukum nasional yang berfungsi sebagai salah satu kekuatan penggalang kehidupan
masyarakat Indonesia Baru mampu bertindak responsif ke kepentingan publik.
Menuju ke kehidupan masyarakat Indonesia baru yang demokratik, pembaharuan
hukum nasional mestilah bertolak dari konsep-konsep dan doktrin-doktrin yang baru
dan diklaim lebih realistik ini. Bukanlah dalam pengalaman hidup di peralihan abad
ke 21 ini telah terbukti bahwa konsep dan doktrin hukum yang formal-positivistik
yang berbasiskan ideologi yang berkemuncak di peralihan abad 19 itu telah usang
dan nyatanya hanya fungsional untuk melindungi kepentingan the rulling elites
beserta kaum mapan yang telah menjadi kroni-kroninya?



PERKEMBANGAN PROFESI HUKUM DI INDONESIA



Apakah sesungguhnya Profesi dan Profesionalisasi itu?Profesi dan profesionalisme
banyak dibicarakan orang tak hanya terbatas pada soal pengertiannya, akan tetapi juga
telah meliputi soal fungsinya dalam perkembangan masyarakat indistrial yang modern.
Profesi, sebagai gejala sejarah, memang baru berkembang dalam dunia kerja manusia
dalam dua abad terakhir ini, sejalan dengan perkembangan kehidupan industrial modern;
kristalisasinya pun baru terjadi pada akhir abad 19 yang lalu di lingkungan peradaban
industri Barat.
1
Namun, segera pada abad 20, apa yang dinamakan profesi dan
profesionalisme ini nyata-nyata telah menjadi bahan kajian dan diskusi-diskusi yang
cukup dominan di kalangan para peneliti dan praktisi.
Dari hasil-hasil pengamatan para peneliti yang menekuni ihwal perubahan sosial
dapatlah disimpulkan bahwa dalam sejarah rupanya tak pernah ada proses industrialisasi
uang sukses tanpa diiringi oleh proses profesionalisasi berbagai jenis lapangan pekerjaan
(okupasi) tertentu.
2
Kemahiran-kemahiran tinggi dan kemampuan-kemampuan yang
mumpuni untuk menguasai teknologi canggih --yang sesungguhnya merupakan ciri sejati
seseorang yang berkualifikasi professional-- tak pelak menjadi syarat mutlak untuk
memungkinkan perkembangan industri. Maka, karena kemampuan-kemampuan dan
keahlian-keahlian khusus seperti itu memang disyaratkan bagi hampir setiap jabatan yang
ada dalam sistem kerja industrial, tak ayal proses profesionalisasi pun akan terpacu
sepanjang proses industrialisasi suatu masyarakat. Manakala proses industrialisasi di
akhir abad 20 ini tak lagi hanya terjadi di lingkungan peradaban ekonomi Barat saja,
melainkan juga telah menjadi fenomena global, maka tak ayal proses profesionalisasi
akan pula menjadi suatu fenomena global yang penting, tak hanya untuk dipahami akan
tetapi juga untuk dijalani.



Profesi pada hakekatnya adalah suatu lapangan pekerjaan (okupasi) yang
berkulifikasi yang menuntut syarat keahlian tinggi kepada para pengemban dan
pelaksananya. Pada dasarnya ada tiga kriteria utama untuk mengkualifikasi apakah suatu
okupasi itu boleh dibilang suatu profesi atau tidak.
Yang pertama ialah, bahwa profesi itu --berbeda dengan okupasi biasa-- akan
dilaksanakan atas dasar keahlian yang tinggi, dan karena itu hanya dapat dimasuki oleh
mereka yang telah menjalani pendidikan dan pelatihan teknis yang amat lanjut;
sehubungan dengan hal itu, setiap profesi pun selalu mengembangkan pranata dan

1
Talcott Parsons, Professions, entri dalam David L. Sill, ed., Encyclopedia of The Social Science, J ilid
XII ( New York : Mac Millan & Free Press, 1972 ), h. 526 ff.
2
Hansjuergen Daheim, Der Beruf Der Moderne Gesselschaft ( Koeln : Kiepenhemeir & Witsch, 1967,
khususnya hlm. 34-66 yang memuat uraian tentang Professionalisierung der Berufposition ).
183
lembaga untuk menetapkan standar keahlian yang diperlukan untuk mengefektifkan jasa
profesi, dan sekaligus juga menilai kemampuan individu-individu yang menjalani profesi
itu (untuk menjaga agar standar keahlian tetap terjaga). Kedua ialah, bahwa profesi itu
mensyaratkan agar keahlian yang dipakainya selalu berkembang secara nalar dan
dikembangkan dengan teratur seiring dengan kebutuhan masyarakat yang minta dilayani
oleh profesi yang menguasai keahlian profesional itu; dengan demikian standar keahlian
yang dituntut oleh profesi tidaklah akan statis dan konservatif, melainkan selalu dinamik
dan progesif, bersejalan dengan perkembangan masyarakat yang harus dilayani oleh
profesi tersebut. Ketiga, profesi itu selalu mengembangkan pranata dan lembaga untuk
mengontrol agar keahlian-keahlian profesional didayagunakan secara bertanggung jawab,
bertolak dari itikad pengabdian yang tulus dan tak berpamrih, dan semua itu dipikirkan
untuk kemaslahatan sesama.
3

Dari penegasan-penegasan tentang pengertian profesi sebagaimana disebutkan
dimuka tampaklah bahwa apa yang disebut profesi itu sesungguhnya bertumpu kuat-kuat
pada suatu paham atau ideologi. Inilah paham atau ideologi profesionalisme, yang --
sebagaimana selalu dapat kita simak-- berkomponen dua: komponen teknik (teknologi)
dan komponen etik (gnosis).
4
Kedua komponen ini sebenarnya merupakan unsur sine
gua non di dalam keseluruhan ide dan ideologi profesionalisme, sekalipun dalam praktek
(lebih-lebih pada masa akhir-akhir ini) matra tekniknya acapkali cenderung untuk lebih
ditonjolkan dan lebih dipentingkan ketimbang matra etiknya; padahal, menurut
konsepnya itu, tanpa komponen etik apa yang dinamakan profesi itu akan gampang
terperosok ke dalam praktek-praktek penyalahgunaan keahlian-keahlian yang tinggi itu;
ahli-ahli bekerja untuk merealisasi kebajikan-kebajikan yang dinilai tinggi oleh
masyarakat (dengan imbalan status dan kehormatan yang khusus), profesi akan
beroperasi dengan mendaya-gunakan keahlian-keahlian teknis tanpa kontrol apapun
untuk kepuasan-kepuasan pribadi kaum profesional yang elit itu saja.

Apabila komponen etik profesi sampai mengalami erosi yang parah maka apa
yang dinamakan profesi dan profesionalisme itu sesungguhnya boleh dituduh telah
mengingkari ikrarnya sendiri yang telah tercatat dalam sejarah. Ide dan konsep
profesionalisme lahir dan berkembang secara nyata untuk pertama kalinya di Eropa
Barat, ialah pada saat awal perkembangan industri di kawasan benua ini. Ia eksis dan
bertahan sekuat-kuatnya untuk mereaksi perkembangan industrialisasi yang terjadi di
Eropa Barat, yang proses-prosesnya telah mendegradasi jenis-jenis kegiatan kerja
manusia yang menjadi okupasi yang terbernilai apapun kecuali untuk mengupayakan
tegaknya kepenekatan fisik dan materi. Profesionalisme adalah suatu kekuatan antitesis
yang dianut sejumlah kelompok sosial yang berkeahlian yang mencoba bertahan untuk
menegakkan status dan kehormatan dirinya dalam masyarakat dengan menyatakan bahwa
keahlian yang mereka kuasai bukanlah komoditas jasa yang hendak diperjualbelikan
(demi nafkah) melainkan suatu kebajikan yang hendak diabdikan (demi kesejahteraan

3
Disadur dari Talcott Parsons, loc. Cit. Baca dan bandingkan juga dengan apa yang ditulis oleh Cogan
dan Greenwood dalam Moris L. Cogan, Toward a Definition of Profession,, Harvard Educational
Review, Th. XXIII ( 1953 ), hlm. 33-50; Ernest Greenwood, Atributes of a Profession,, Social Work,
Th. II ( 1957 ), no.3 hlm. 44-55.
4
Tentang hubungan kedua matra ini, sekalipun tak dikaitkan dengan permasalahan profesionalisme;
baca Soetandyo Wignyosoebroto, Teknologi dan Moral: Peranan Teknologi dan Teknokrasi dalam
Masyarakat Modern, Prisma Th. XIV ( 1985 ), No.6, hlm. 29-39.
184
sesama dalam masyarakat dan demi kehormatan diri). J asa yang dibaktikan kaum
profesional kepada sesama bukanlah dimaksudkan untuk mencari imbalan upah-upah
yang akan mendegradasi mereka menjadi orang-orang upahan yang hina, melainkan
untuk menegakkan kehormatan sehubungan dengan tekad dan itikadnya yang ikhlas
untuk mengamalkan kemampuan dan keahlian bagi kemaslahatan umum.


Profesi dan profesionalisme Hukum
Telah diutarakan bahwa profesionalisme berkembang secara nyata untuk
pertamakalinya di Eropa Barat, ialah pada saat awal perkembangan industri di kawasan
benua ini. Perkembangan masyarakat industri, yang mendegradasi jenis-jenis kegiatan
kerja manusia menjadi okupasi-okupasi yang tak ternilai apa-apa kecuali tegaknya
survival, fisik dan materiil, telah mendorong lahirnya suatu kekuatan antitesis yang
disebut profesionalisme ini. Demikianlah, profesionalisme hukum sebenarnya juga
terlahir pada masa itu ialah ketika hukum berubah secara konseptual menjadi apa yang
disebut oleh Austin hukum positif (the command of the souvereign) atau oleh Black the
government social control.
5

Hukum dalam wujudnya sebagai hukum positif memang amat didambakan pada
masa itu, tak hanya karena kemampuannya menjamin kepastian (yang amat diperlukan
untuk memungkinkan perencanaan-perencanaan perilaku menurut kebutuhan masyarakat
industri), akan tetapi juga karena kekuatannya yang koersif dengan bantuan kekuatan
politik yang sah dari aparat-aparat pemerintahan. Namun, hukum yang menjadi positif
secara demikian itu sekaligus juga pantas dikhawatirkan akan menjadi mendangkal,
dalam arti tak akan mengandung nilai falsafati apa-apa (misalnya keadilan dan
kebenaran) selain menjadi instrumen kepentingan industrial semata-mata. Dari
kenyataan inilah awal mulanya paham profesionalisme yang menegaskan bahwa apabila
hukum tak lagi bisa dikontrol dari ranah substantifnya, maka ia harus dikontrol dari ranah
strukturalnya. Maka struktur penegakan hukum pun lalu melahirkan profesional-
profesional baru, menggeser dan menggantikan pakar-pakar lama yang bergerak dalam
penegakan tatanan masyarakat lewat ajaran moral kebijakan individu.
Adalah kenyataan bahwa tatanan masyarakat industri yang komplek dan
berorientasi ke masa depan telah mengundang kebutuhan penegakan tatanan sosial ini.
Praktisi-praktisi dengan kemahiran-kemahiran baru, tak hanya yang cendekia dalam
pemikiran kan tetapi juga yang amat piawai dalam penguasaan kaidah-kaidah positif
yang telah dibakukan secara rasional, berikut penanganan-penanganan teknisnya untuk
melancarkan hubungan-hubungan ekonomi dan sosial dalam masyarakat, amatlah
diperlukan. Maka pendidikan hukum sejak saat itu tak lagi menjadi bagian dari falsafat
teologika atau falsafah moral dan etika, melainkan menjadi bagian dari ilmu hukum
positif yang sekular, yang dikembangkan dalam sistematika-sistematika yang rasional
berdasarkan logika.
Kemahiran baru ternyata mendatangkan kekuasaan baru. Apabila tatanan sosial
mulai diatur oleh hukum positif yang di Eropa Barat mulai dikodifikasikan,
disistematikakan, dan diformalkan, maka spesialis yang mampu merawat dan
mendayagunakan kaidah-kaidah positif semacam itu (mulai dari pengorganisasiannya
sampai ke hal penelusuran, penafsiran dan penerapannya) akan memperoleh posisi

5
Donald Black, The Behaviour of Law ( New York : Academi Press, 1976 ), hlm. 2.
185
penting yang diakui dan dihargai. Kemahiran ini kian memperkokoh kekuasaan kaum
spesialis baru ini, lebih-lebih karena alasan-alasan berikut ini :
(a) bahwa kemahiran yang dikembangkan itu menyebabkan khalayak mayoritas yang
awam menjadi terkucil dari pengakuan untuk bisa ikut menangani kaidah-kaidah
sosial yang kini telah diformalkan sebagai hukum positif itu; dan
(b) bahwa kemahiran ini berseiring dengan berkembangnya doktrin laissez-faire di
masyarakat industri Barat waktu itu mengembang menjadi kekuasaan yang
otonom, yang pendayagunaannya justru digunakan untuk mengendalikan
kekuasaan politik pemerintah dari kemungkinan penyalahgunaannya terhadap
kepentingan privat warga negara (dan tidak sebaliknya).

Berkembang dalam alur seperti itu, kemahiran profesional menjadi kekuasaan
yang sebenarnya secara praktis tak akan dapat dikendalikan dari luar, dan akan gantinya
hanya akan dapat dikendalikan dari dalam oleh itikad etis kelompok profesional itu
sendiri. Tak pelak pengembangan hukum dan ilmu hukum telah harus sejalan dengan
perkembangan dan pengembangan profesionalisme hukum itu sendiri.

Profesionalisme dan Peranan Pendidikan Tinggi untuk Mengembangkan
Profesionalisme
Profesionalisme berkembang sebagai bagian dari moral sosial suatu kelompok
masyarakat khusus, yang di Eropa pada waktu itu dikenali sebagai kelompok aristokrat.
Kaum aristokrat melihat jati dirinya sebagai elit-elit yang merasa terpanggil untuk
memenuhi kewajiban menjaga kesejahteraan rohani masyarakat luas dengan
mendedikasikan kedudukan, kewenangan dan segala kemampuan serta keahliannya.
Karena status aristokrat adalah status yang diwariskan secara temurun, maka segala
kemampuan dan keahlian profesional berikut nilai-nilai moral yang melandasi
kewajiban untuk mendedikasikannya kepada khalayak pun merupakan aset-aset budaya
yang diturun-temurunkan secara eksklusif. Terjadinya revolusi industri di Eropa telah
menyebabkan mundurnya kekuasaan, peranandan pengaruh kaum aristokrat dan para
padri elit; namun munculnya elit-elit baru yang kemudian dikenali sebagai kaum
profesional pewaris moral kaum elit angkatan sebelumnya (dan yang juga merasa berjati
diri sebagai pengabdi-pengabdi yang terpanggil untuk menjaga kesejahteraan umat)
tidaklah begitu saja melenyapkan kegiatan-kegiatan idiil dalam masyarakat.
Dalam hubungan ini, dalam sejarah profesionalisme, ada dua perkembangan yang
menarik untuk diperhatikan. Yang pertama, ialah terjadinya sekularisasi sebagian dari
keahlian-keahlian profesional; lewat proses perkembangan ini, tak semua keahlian itu
kini berinduk pada ilmu-ilmu wahyu yang pada saat itu banyak dikaji di balik tembok-
tembok biara (seperti misalnya keahlian dalam penguasaan moral sosial yang kini
dipositifkan dalam rupa hukum nasional, dan keahlian somatolgik tradisional yang kini
digantikan oleh ilmu ketabiban dan seni penyembuhan yang ilmiah. Perkembangan kedua
yang cukup bermakna untuk disimak ialah perkembangan yang terjadi sebagai akibat
tetap hendak dipertahankannya asas pewarisan yang eksklusif atas keahlian-keahlian
yang sudah tersekularisasi itu, sedangkan upaya mempertahankan perkauman dengan
status-status yang dimuliakan secara adat (ascribed) dalam proses industrialisasi yang
kapitalistis dan berorientasi pasar itu agaknya amat sulit. Tradisi selibat yang dianut di
biara-biara saja juga telah tidak memungkinkan pewarisan keahlian-keahlian secara
186
turun-temurun dan eksklusif dalam lingkungan trah-trah tertentu. Merespons
perkembangan seperti itu, muncul dan berkembanglah di Eropa pusat-pusat kajian
keahlian yang disebut universitas. Di negeri-negeri yang berpenduduk Protestan,
universitas-universitas tidak hanya mengembangkan ilmu-ilmu modern (yang kini lazim
disebut sains) akan tetapi juga teologi, yang di negeri-negeri Katolik tetap menjadi
yurisdiksi pembelajaran para biarawan di seminari-seminari.
Tumbuh kembang di tengah arus perkembangan seperti itu, universitas-
universitas Eropa (khususnya Eropa Daratan) dengan cepat berafiliasi dengan
kepentingan idiil para elit baru yang disebut kaum profesional itu. Universitas-
universitas menjadi ajang untuk menggladi rekrut-rekrut yang --mengikuti jejak kerabat
pendahulunya-- merasa terpanggil untuk memasuki dunia kaum profesional dengan
segala ikrarnya untuk menegakkan ide dan ideologi profesionalisme. Di kampus-kampus
universitas, mereka yang terseleksi ini mendisiplin diri untuk menguasai keahlian-
keahlian dan idealisme-idealisme professional yang diprasyaratkan secara institusional
untuk dapat diterima dan diakui sebagai anggota profesi. Sekalipun umumnya
universitas-universitas ini lebih menekankan aspek pembelajaran dan pengembangan
ilmunya, sedangkan organisasi-organisasi profesi lebih menekankan aspek praktek dan
kiat penerapannya, namun hubungan yang erat antara keduanya sangatlah nyata. Di
Eropa Daratan, berbeda dengan tradisi yang dikembangkan di Inggris dan kemudian juga
di Amerika, pengujian dan seleksi untuk menetapkan siapa yang boleh atau yang telah
bias diterima di lingkungan profesi bahkan cukup diserahkan kepada universitas-
universitas itu sendiri.
6
Latar sejarah inilah yang ikut menjelaskan mengapa fakultas-
fakultas --yang boleh dibilang sebagai representasi spesialis-spesialis professional-- di
universitas-universitas Eropa Daratan lebih berperan dalam perkembangan profesi-
profesi daripada apa yang disebut faculties atau colleges di Inggris dan Amerika.
7


Perkembangan Universitas di Indonesia Semasa Penjajahan
Universitas-universitas di Indonesia di bangun menurut model institusi-institusi
yang berkembang dalam sejarah Eropa Daratan, mengikuti ide dasar yang memberikan
peranan besar kepada fakultas-fakultas dalam ikhwal jurusan profesi dan profesionalisme.
Modifikasi kolonial menonjolkan fakultas-fakultas ini sebagai institusi-institusi yang
berafilisi erat dengan ptofesi-profesi tertentu, ialah kedokteran, kehukuman (khususnya
kehakiman), dan keinsinyuran, yang --menyesuaikan diri dengan situasi kolonial--
banyak bernaung di bawah patronase pemerintah (kolonial). Alih-alih melahirkan
professional-profesional yang berpreferensi mengembangkan praktek bebas, mereka yang
lulus dari ujian-ujian profesional yang diselenggarakan oleh fakultas-fakultas di negeri
Belanda (yang acapa kali diberi wewenang pula untuk menyelenggarakan ujian Negara)

6
Parsons Loc. Cit.
7
Colleges di negeri-negeri ini mengajarkan ilmu-ilmu dasar yang bersifat umum, sedangkan keahlian-
keahlian professional yang khusus dikembangkan dan diujikan oleh kelompok-kelompok professional
atau lembaga-lembaga penggladian yang mereka bentuk seperti societes bars, teaching hospitals atau
apa yang kemudian di Amerika dikenal sebagai professional schools; pengelolaan professional
schools ini memang banyak yang dititipkan ke universitas-universitas (disamping colleges yang
mengajarkan liberal sciences and arts), namun kontrol atas kurikulum dan standar keahlian yang
disyaratkan tetap dikontrol oleh organisasi-organisasi professional yang ada. Baca : Ricahard J. Storr,
The Beginning on Graduate Education in America ( Chicago : Univ. of Chicago Press, 1953 ).
187
--manakala akan merintis karier di daerah jajahan Hindia Belanda-- umumnya akan
memasuki jabatan-jabatan sebagai pegawai negeri (ambtenaren).
8

Ketika di Hindia Belanda dibangun sekolah-sekolah tinggi yang melaksanakan
pendidikan setara --dengan mengambil model-- fakultas-fakultas yang telah berdiri lama
di Eropa, maka sesungguhnya telah terjadi upaya transplantasi institusi secara lintas
budaya. Pemerintah Hindia Belanda mendirikan 3 sekolah tinggi pada tahun 1920-an
(masing-masing untuk bidang keinsinyuran, kehukuman dan kedokteran) setelah
melewati berbagai polemik dan mengatasi berbagai keberatan.
9
Keberatan-keberatan
yang diajukan umumnya bertolak dari keraguan, apakah kenyataan-kenyataan yang eksis
di daearah jajahan sanggup menopang kehadiran lembaga-lembaga pendidikan tinggi
yang pada hakekatnya merupakan produk peradaban Eropa dan berkomitmen pada ide
profesionalisme yang sesungguhnya juga merupakan produk peradaban Eropa. Adalah
suatu kesengajaan yang bertujuan selektif dan diskriminatif bahwasanya sekolah-sekolah
tinggi pada jaman colonial ini mensyaratkan secara mutlak penggunaan Bahasa Belanda
sebagai bahasa pengantar. Tak pelak, Bahasa Belanda --yang notabene adalah bahasa
kelompok minoritas
10
yang mengembangkan moralitas khusus dari peradaban yang
berkembang secara khusus di benua lain-- telah menjadi kreterium untuk menyaring
mereka yang hendak memasuki pendidikan tinggi (yang seterusnya juga hendak
memasuki dunia profesi yang bertumpu pada moral tradisi Eropa), lewat seleksi
penguasaan bahasa akan sekaligus terseleksi kadar pendedahan dan sosialisasi para calon
mahasiswa dalam hal budaya dan peradaban Eropa.
11

Tak pelak, pendidikan hukum di Indonesia memang juga berawal dari pendidikan
hokum menurut cita profesionalisme hokum Eropa Barat (baca: Belanda).
Profesionalisasi hukum, liberalisme ekonomi, dan demokrasi politik telah mewarnai
pekembangan hukum dan pendidikan hukum di Indonesia semasa jaman kolonial dulu.
Umumnya pendidikan itu lebih menekankan pada acara-acara pemberian kecakapan-
kecakapan teknis dalam hal menemukan hokum (baca: undang-undang),
menginterprestasinya, dan menggunakannya sebagai premise untuk mendeduksikan
hukum in concrete untuk menghukumi perkara-perkara tertentu. Dengan perkataan lain,

8
Mereka yang belajar di Universitas Kerajaan di Leiden diuji di Universitas tersebut oleh apa yang
disebut Staatscommissie Belast met Het Afneemen van Het Examen voor de Nederlandsch Indische
Administratief Dients, lihat album Studiosorum Der Rijks Universitaitte Leiden (Leiden : E.J . Brill,
Th.1922, 1923, dan 1924 ).
9
Keberatan yang sangat dikemukakan antara lain oleh Koch yang secara tegas menyatakan bahwa
masalah pendidikan tinggi di Indie adalah suatu vragstuk val aloemeen sociologischen aard dan
karena alasan-alasan itu de tijd voor stichting van aen Hoogeschool voor inlandsche bevolking van dit
land nog lang niet gekomen is. Baca : D.M.C Koch, Hooger Onderwills in Indie ? dalam Koloniale
Studies, Th. I ( 1917 ), no. 5 hal. 157-173.
10
Pada tahun 1937, jumlah orang yang cakap menggunakan Bahasa Belanda diperkirakan tak lebih dari
20.000 jiwa atau kira-kira 0,3 %d ari seluruh penduduk di Kepulauan Nusantara. Angka-angka ini
dapat dilihat dalam tulisan I.J . Brugmans, The spreed of The Ditch Language in The Netherlands
Indies, Bulletin of The Colonial Institute of Amsterdam, Th.I ( 1937 1938 ), hlm. 81-140.
11
Rechtshool yang didirikan pada tahun 1909 untuk mendidik hakim pengadilan tinggi sekalipun tidak
merupakan suatu lembaga pendidikan tinggi, dan baru setara dengan sekolah lanjutan atas toh jelas-
jelas mensyaratkan penguasaan Bahasa Belanda ini. Hanya anak-anak pribumi yang pernah bersekolah
di Farugese Lagere Schoolialah sekolah pengantar Bahasa Belanda sajalah yang dapat diterima di
Rechtschool ini.
188
hal profesionalisme hukum lebih banyak diajarkan pada segi-segi teknisnya saja,
sedangkan segi etisnya tak demikian dikedepankan.
Namun, rupanya pendidikan hukum yang demikian itu tak demikian
mendatangkan masalah. Pendidikan etik profesi memang tak dikembangkan di kelas-
kelas, tetapi dikembangkan dalam organisasi-organisasi profesi; dan organisasi-organisasi
profesi yang elitis tetapi baik telah membuktikan kemampuannya merawat dan
mensosialisasikan kode etiknya dari generasi ke generasi. Maka selama pendidikan teori
dan teknik hukum berkomplementer dengan kehidupan profesi hukum maka dalam
praktek tidaklah terlalu banyak permasalahan yang akan timbul. Seleksi mahasiswa, yang
umumnya banyak diambil dari kalangan elit yang telah terdedah pada peradaban Belanda,
telah pula memudahkan sosialisasi etika profesi Barat melalui jalur lain.

Perkembangan dalam Masa Pasca-Penjajahan
Sesungguhnya aktivitas tandem antara Universitas dan profesi (sebagaimana telah
berkembang pada awalnya dalam sejarah Eropa) tetap diharapkan agar dapat terus
berfungsi ditengah-tengah kehidupan masyarakat nasional yang di Indonesia akhir-akhir
ini memang menyatakan demikian; sesuai dengan harapan, universitas-universitas di
Indonesia tercatat tetap meluhurkan nilai-nilai yang dieksplisitkan kedalam darma-darma
pembelajaran (untuk menguasai keahlian-keahlian yang tinggi), pengembangan keahlian
(lewat penelitian-penelitian dan studi-studi) dan pengabdian untuk mengamalkan
kemahiran dan keahlian yang dikuasainya demi kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian secara ideal, universitas-universitas --yang kini dikelola, secara langsung atau
tidak, oleh pemerintah nasional-- tetap menopang profesi dan profesionalisme, dan
sesungguhnya juga berkehendak akan menjamin perkembangannya. Tetapi, berbeda
dengan situasi-situasi terdahulu universitas-universitas di Indonesia juga mengalami
kenyataan-kenyataan yan agaknya akan dapat meyorongkan kesulitan; ialah terjadinya
massalisasi pendidikan yang dapat mengaburkan tujuan-tujuan yang semula diutamakan
oleh profesionalisme.
Massalisasi pendidikan tinggi seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini dalam
wujud kecambahnya lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan meningkatnya jumlah
populasi mahasiswa yang harus ditangani lembaga-lembaga itu. Seleksi calon mahasiswa
atas dasar stanadar kemampuan dasar minimum yang harus dikuasai calon sebagai bekal
awal, dan pula atas dasar kepribadian atau itikat-itikat tulus untuk mendedikasikan
hidupnya bagi masyarakat atau umat, acapkali terabaikan dan bahkan terkesan tak pernah
dilaksanakan dengan bersungguh-sungguh. Pendidikan tinggi lebih cenderung
dikonsepkan sebagai bak penampung, atau klep penyelamat untuk meredakan tekanan
arus lulusan sekolah menengah yang tak mungkin ditampung di pasaran kerja, dari pada
sebagai ajang untuk hidup sebagai muklis-muklis (yang bersedia mengabdikan
keahliannya untuk kemaslahatan umum secara bertanggung jawab dan penuh ridho).

Apabila keahlian-keahlian toh sudah diberikan secara bertanggung jawab,
komponen etik --karena dilepaskan dari tujuan-tujuan professional-- acapkali kurang
diperhatikan dalam acara-acara pendidikan tinggi. Berhal demikian, universitas-
universitas di Indonesia akan mudah terancam degradasi menjadi institusi-institusi
industri atau bisnis yang terlalu lugas, untuk kemudian melupakan afiliasinya yang
ukhrawi dengan dunia profesi dan ide profesionalisme. Dari distorsi-distorsi dan
189
kemerangan-kemarangan konseptual itulah muncul pernyataan-pernyataan kecemasan
bahwa universitas hanya dapat menghasilkan penganggur-penganggur intelektual atau
bahwa universitas tak dapat menghasilkan lulusan-lulusan siap pakai. Konsep yang
terdistorsi seperti ini sungguh mengabaikan peranan universitas yang sebenarnya, ialah
peranannya sebagai pengembang karakter pengabdian di sanubari para pakar, dan bukan
sebagai pencetak secara kodian pekerja-pekerja berpengetahuan yang suka menunggu-
nunggu kesempatan untuk dipekerjakan.
Perkembangan yang keliru dan tak terkoreksi tentunya akan berpengaruh sekali
pada perkembangan profesionalisme dan juga khususnya dalam kehidupan hokum di
Indonesia. Ketika dualisme hukum di Indonesia dihapuskan, tradisi pengelolaan hukum
positif secara professional yang semula dilakukan secara konsekwen dan khusus untuk
kehidupan hukum golongan Eropa an yang dipersamakan ternyata tak mudah
dikembangkan dan diterapkan begitu saja untuk kehidupan hukum rakyat Indonesia pada
umumnya. Pendidikan hukum di Indonesia di satu pihak masih amat menekankan
pengajaran-pengajaran teknis atas bahan-bahan hukum, dan tetap tak merisaukan hal
mensosialisasikan makna profesionalisme, (suatu kenyataan yang pada jaman penjajahan
--karena sifat pendidikannya yang elitis dan tidak massal-- tidak terlalu menimbulkan
masalah), sedangkan di lain pihak perkembangan profesionalisme hukum menurut
konsep kehidupan hukum di masyarakat industri Barat yang liberal tak lagi tertunjang.
Akibatnya, pengelolaan hukum amat mementingkan segi-segi teknisnya kurang
mengacuhan segi-segi etis profesi yang bersanksi (kecuali untuk maksud-maksud lip
service semata-mata) dan terancam jatuh menjadi okupasi biasa belaka.
Sementara itu ada tiga hal lagi yang mempengaruhi pekembangan profesionalisasi
dan profesionalisme hukum di Indonesia. Pertama hukum tak lagi diutamakan fungsinya
sebagai penjamin kepastian-kepastian yang diperlukan untuk perencanaan-perencanaan
kaum industrialis dan usahawan melainkan diidealkan sebagai sarana perekayasaan sosial
dan reformasi struktural untuk kepentingan kaum miskin (yang menurut komitmen
nasional akan dijadikan target group pembangunan). Kedua, sehubungan dengan hal
tersebut diatas itu, hukum tak lagi dinetralkan dari pengaruh kekuasaan eksekutif --dan
karenanya diotonomkan sebagai kekuatan mandiri yang harus dikelola oleh the free
professionals-- melainkan benar-benar diefektifkan sebagai kekuatan eksekutif yang
benevolen untuk merealisasi kebijakan-kebijakan pembangunan nasional (yang tentu saja
tak selamanya hendak dimaksudkan untuk mengkonservasi tradisi-tradisi lokal).
Akhirnya, ketiga, kebutuhan praktis kian mengharuskan hukum untuk memperhatikan
variable-variabel sosial, kultural, dan psikologik (demi keefektifan hukum yang tak lagi
sepenuhnya bertolak dari tradisi budaya lokal), dan kenyataan ini tak pelak telah
memaksa para pengaji hukum dan para professional hukum di Indonesia untuk memulai
mempersoalkan apakah hukum dalam konteks perkembangan sosial dan politik dewasa
ini masih harus dikaji sebagai kaidah-kaidah positif semata, ataukah sudah harus
dipikirkan sebagai fakta sosial yang --seperti halnya variabel-variabel sosial yang lain--
ikut tunduk pada permainan kekuatan-kekuatan sosial yang riil.

Profesionalisme klasik mencitakan suatu kehidupan yang penuh solidaritas antara
para elit yang berkeahlian, yang berkekuasaan --karena kemampuan teknisnya-- untuk
mengontrol tatanan dalam masyarakat namun yang juga diimbangi oleh kemampuannya
mengendalikan diri atas dasar kesadaran, kehormatan, kejujuran dan tanggung jawab
190
etisnya sebagai manusia-manusia professional yang bebas. Berdasarkan alasan-alasan
yang telah dipaparkan di muka, agaknya profesionalisme hukum di Indonesia dewasa ini
--menurut versinya yang klasik, yang muncul sebagai adaptasinya dalam dunia kehidupan
ekonomi yang liberal-- tidaklah akan dapat berkembang dengan baik. Kecondongan yang
telah terjadi dan dapat diamati dalam kenyataan adalah kecondongan yang justru
menjurus ke terjadinya proses deprofesionalisasi. Hukum telah kian kehilangan artinya
sebagai kaidah-kaidah positif (yang pengorganisasian, penelusuran, penafsiran dan
penerapannya memerlukan kemahiran teknis yang amat terspesialisasi), dan dalam
praktek acapkali telah digantikan dengan penuh rasa tenggang oleh penggunaan kaidah-
kaidah sosial lain yang lebih memenuhi kreterium sebagai apa yang disebut discrection
(kebijaksanaan) dan atau pula yang disebut pertimbangan-pertimbangan politik.
Sementara itu, deprofesionalisasi di Indonesia rupanya telah terjadi bukan hanya
sebagai akibat melemahnya organisasi-organisasi profesi dan semangat serta solidaritas
profesionalisme dalam kehidupan hukum di negeri ini, akan tetapi juga oleh ulah
pendidikan hukum di negeri ini, pendidikan hukum di Indonesia amat jelas kalau tak
dikontrol oleh kebutuhan profesi dan organisasiprofesi; sebagaimana telah dikatakan,
pendidikan ini amat bersifat missal, kehilangan makna spesialisasi teknisnya, dan secara
sadar tak lagi melayani secara eksklusif kepentingan masyarakat professional melainkan
terkesan kalau lebih condong melayani kepentingan dinas pemerintah. Lulusan
pendidikan ini dalam jumlah ribuan dari tahun ke tahun tak pernah berkesempatan
berlatih praktek di lingkungan profesi secara cukup; mereka umumnya mencari kerja di
sembarang lapangan kerja, yang sebagian besar tak akan tergayung sambut dengan upaya
pengembangan profesionalisme hukum.
Deprofesionalisasi yang dikisahkan diatas sebenarnya dapat juga dilihat dari
perspektif yang lebih optimistik sebagai proses lahirnya profesionalisme baru; bukan
yang adaptif untuk melayani kepentingan masyarakat bisnis dan industri Eropa dalam era
liberalisme, melainkan yang lebih adaptif dan berperan untuk melayani masyarakat dunia
ketiga yang tengah membangun. Ini adalah suatu profesi --sebagaimana dapat dilihat
dalam kenyataan-- yang lebih condong bersolidaritas dalam ajang organisasi (alias dinas)
kekuasaan politik (dan bukan untuk mengontrolnya atas dasar kecurigaan demi
kepentingan kelas menengah yang berwiraswasta semata-mata), dan berkomitmen pada
tujuan-tujuan pembangunan untuk terdegradasi menjadi okupasi biasa, selama para
sejawat pendukungnya tetap memenuhi persyaratan yang berjumlah tiga, ialah
tertegaskannya kembali itikat pengabdiannya kepada suatu nilai luhur penguasaan atas
suatu kemahiran teknis yang bermutu tinggi dan kesediannya untuk terus mengejar
pengetahuan-pengetahuan mengenai kemahiran teknis itu, dan kesediaannya untuk
menundukkan diri pada control moral dank ode-kode etik yang dikembangkan antar
sejawatsesamanya. Adakah pendidikan hukum di Indonesia mampu merumuskan kembali
isi substantive yang lebih terinci dari ketiga persyaratan profesi itu dan menjadikannya
sebagai tujuan pendidikan hukum di Indonesia ?

Merosotnya Profesionalisme
Menumbuhkan konsep profesi dan ide profesionalisme di Negara-negara
berkembang sesungguhnya bukanlah suatu usaha yang sederhana. Usaha seperti itu pada
hakekatnya adalah suatu usaha akulturasi, atau suatu transplantasi budaya, dan manakala
lahan-lahan budaya setempat tidak cocok dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang
191
diakulturasikan itu maka berbagai kemerengan pasti akan terjadi. Sebagaimana yang
dapat dilihat dalam proses-proses inovasi atau invensi-invensi yang awal mulanya
berasal dari bumi asing, penerimaan-penerimaan unsur-unsur luar itu lebih sering
menimbulkan perubahan-perubahan lahiriah saja dan --karenanya tak mengena pada ide-
ide dasarnya-- karena itu lalu tak kunjung fungsional dalam totalitas sistem kehidupan
yang ada. Profesi, misalnya, tak dibedakan sama sekali dari kegiatan kerja macam
apapun, bahkan disamakan begitu saja dengan setiap jabatan karier, sementara itu
professional diartikan sebagai --dan/atau dikaitkan dengan-- setiap pekerjaan yang justru
dilawankan dari pekerjaan-pekerjaan yang sukarela dan ikhlas.. Kode-kode etik dibuat
dan ditiru-tiru, namun tak berkekuatan apa-apa kecuali kalau dibuatkan lembaga
penegaknya yang berkewenangan untuk melakukan pemaksaan fisik. Massalisasi
pendidikan pun dapat pula ikut dituding sebagai biang penyebab luruhnya
profesionalisme dari setiap materi yang diajarkan di perguruan-perguruan tinggi.

Kalau kontinuitas pertumbuhan lembaga-lembaga yang diintroduksikan pada
masa penjajahan tak dapat lagi diiringi oleh ide-ide yang mendasarinya (tentu saja dengan
berbagai kebijakan modifikasi guna mengadaptasikannya pada situasi-situasi baru), maka
tak pelak orangpun akan menghadapi berbagai kesulitan dalam ikhwal mengontrol tertib
kehidupan kekaryaan masyarakat-masyarakat pasca-kolonial.

19

Fungsi Paralegal dalam Tinjauan Sosio-Historis

Asal-usul Paralegal

Paralegal adalah sebuah konsep baru yang muncul dalam khasanah pemikiran dan
praktek pembangunan sosial dan pengembangan institusi hukum pada waktu akhir-akhir
ini saja. Tak pelak, tinjauan sosio-historis mengenai paralegal ini tidaklah akan berbicara
banyak mengenai paralegal-nya itu sendiri melainkan hanya akan lebih banyak
mengenai kebijakan-kebijakan sosio-politik dan konteks-konteks sosio-kultural yang
berkembang sebelumnya (atau tak memungkinkan) pertumbuhan institusi-institusi hukum
tertentu.
Sebelum istilah dan konsep paralegal dikenal orang, yang sebelumnya telah
dikenal terlebih dahulu adalah istilah para-profesional (sebuah ringkasan dari istilah para-
legal profesional); dan lama pula sebelum istilah para-legal profesional diciptakan dan
dipakai orang untuk menyebut personil-personil tertentu dalam acara-acara berperkara di
muka pengadilan, yang sudah dikenal dalam masa yang lebih awal adalah personil-
personil berkeahlian yang dibilang the legal professionals. Paralegal (PL) dan para-
professional (PP) adalah fenomena yang menampak dalam institusi hukum negara yang
berawal dari tradisi budaya hukum Eropa-Barat semasa institusi yang bertradisi Barat ini
coba ditransplantasikan ke lahan sosio-kultural baru yang bertradisi nonBarat. PL dan PP
adalah wujud-wujud yang terlahir sebagai resultante proses-proses adaptasi fungsi the
legal professionals (LP) yang sepanjang sejarah pemerintahan kolonialisme dan pasca-
kolonialisme harus beroperasi di ranah-ranah yang berkondisi sosio-kultural yang (masih)
berbeda dengan tradisi asalnya.
Fenomena LP ini sendiri sebenarnya juga baru muncul dalam sejarah hukum
menurut tradisi (Eropa)-barat semasa sekularisasi sistem hukum terjadi dengan pasti di
bagian benua ini, ditandai oleh pemositifan hukum menjadi hukum negara yang dalam
waktu singkat terlembagakan secara komplek. Dalam proses seperti ini, yang sejalan
dengan proses penjadian negara-negara nasional dengan pemerintahan sentral yang kuat,
rakyat dan masyarakat sipil akan teralienasi dari hukumnya sendiri yang teradat dan
berakar dalam budaya lokal. Dalam proses seperti itu seluruh warga bangsa secara
berangsur dan dengan cepat tergiring masuk ke suatu tatanan hukum baru yang seperti
dikatakan Berman terlengkapi dengan professional yudiciary, professionals class of
lawyers, and professional legal literature, dengan norma-norma hukum yang
consciously systematized, disembedded from the whole social matrix, sehingga
menjadi independent, integrated, developing body of legal principles and procedures
clearly differentiated from other process of social organization and consciously
articulatedby a corps of persons specially trained for the tasks.
1
Proses kompleksitas
yang dijiwai oleh profesionalisme seperti ini mencapai puncak perkembangannya pada
peralihan abad 18-19 ketika revolusi Perancis berhasil merealisasi pemisahan kekuasaan
yudisial sebagai kekuasaan mandiri yang netral dari kekuasaan pemerintahan yang lain.


1
Harold J . Berman, Law And Revolution: The Formation of Western Legal Tradition (Cambridge:
Mass., 1983), hlm. 49-50
183
Kebijakan Hukum Kolonial,
Peningkatan kekuasaan dan wewenang badan-badan peradilan dalam proses yang
kian mengunggulkan profesionalisme hukum yang berkhidmat kepada upaya melindungi
hak kebebasan rakyat dari kesewenang-wenangan eksekutif, dan kepada perlindungan
masyarakat sipil dari kekuasaan negara yang cenderung eksesif, berlangsung dengan
relatif cukup memuaskan di Eropa, baik di negeri-negeri yang melanjutkan
perkembangan menurut tradisi civil law maupun yang melanjutkan perkembangannya
menurut tradisi common law. Akan tetapi, sejaman dengan perkembangan-perkembangan
di negeri-negeri ini, penguasa-penguasa negara di negeri-negeri itu ternyata mengalami
dilema khusus ketika harus mencoba mentransfer perkembangan profesionalisme di
negeri induk ini ke dan untuk kepentingan peradilan di negeri-negeri jajahannya.
Intensifikasi dan sentralisasi kekuasaan pemerintah di tanah jajahan, mengikuti
model pengembangan kekuasaan di negeri induk yang mencita-citakan supremasi hukum,
ternyata tidak mudah mencapai keberhasilan yang setara. Perkembangan di negeri induk
ternyata tidak mungkin diduplikasikan begitu saja di negeri jajahan. Sekalipun kepada
India yang juga berbudaya bhineka itu Inggris sedikit banyak berhasil memberikan
(legal) justice as the East has never known before,
2
(entah berkat kebijakannya untuk
menerapkan direct rule, entah karena sifat common law dengan judge-made-laws-nya
yang secara realistik selalu berorientasi ke kasus-kasus kongkrit daripada ke norma-
norma abstrak), Belanda di tanah jajahannya Hindia Belanda merasa mengalami
halangan-halangan yang sulit teratasi.
Walhasil, sekalipun pemerintah kolonial Belanda sepanjang abad 19 mencoba
memoderasi tata hukum Hindia Belanda menurut model yang telah dicobakembangkan di
daratan Eropa, hasil yang sejauh-jauhnya dicapai barulah dalam formula-formula
kebijakan (dikenal sebagai bewuste rechtspolitiek dengan manifstasi konstitusionalnya
yang terjabar dalam pasal-pasal Regeringsreglement dari tahun 1854 saja. Yang berhasil
direalisasi di lapangan pada asasnya adalah suatu struktur dualistik yang bertumpu pada
kebijakan dasar indirect rule, dengan suprastruktur kenegaraan yang Eropa dan
infrastruktur kemasyarakatan yang pribumi. Tatanan hukum yang dikelola secara
profesional oleh/dengan banyak LPs hanya dominan untuk menopang tegaknya
suprastruktur, sedangkan infrastruktur pribumi tidak mudah bertransformasi begitu saja
menjadi bagian yang integral dari tatanan hukum kolonial yang modern dan berciri
universal.
Tatanan sosial-budaya pribumi yang berposisi sebagai infrastruktur tetaplah relatif
untuh, dikelola secara adat menurut tradisi-tadisi lokal oleh para tokoh adat dan/atau para
tetua desa. Upaya untuk menggantikan tatanan pribumu secara berangsur dengan tatanan
Eropa melalui wewenang toepaselijk verklaring atas berbagai produk perundangan Eropa
oleh Gubernur J enderal (seperti misalnya dalam persoalan tanah dan tenaga perburuhan)
ternyata hanya menimbulkan disrupsi-disrupsi sosial budaya yang tak terduga. Sementara
itu, upaya lain lewat lembaga vrijwillige orderwerping ternyata gagal menghasilkan
perubahan yang bermakna (karena tak pernah berefek terjadinya eksodus besar-besaran
dari yang pribumi tradisional ke yang Eropa kontemporer). Dualisme hukum dan

2
Kutipan diambil dari Penederal Moon, Strangers in India (London, 1944), hlm. 48. Tentang
keberhasilan Inggris di India ini baca lebih lanjut: Llyod I. Rudolph dan Susanne H Rudolph,
Barristers And Brahmans in India: Legal Cultures And Social Change, Comparative Studies in
Society And History, Th. VIII (1965) no. 1, hlm. 24-49.
184
peradilan yang terjadi di Hindia Belanda menjadi kian mantap ketika ide-ide liberal
universalistik yang mendambakan kodifikasi dan unifikasi hukum di tanah jajahan pada
peralihan abad 19-20 dikalahkan berkali-kali baik dalam polemik-polemik akademik
maupun dalam debat-debat parlemen oleh para pendukung partikularisme yang ditokohi
oleh van Vollenhoven.
Dalam suasana dualisme seperti itu, tak ayal LPs hanya berfungsi secara penuh
di badan-badan pengadilan yang diberi yurisdiksi khusus untuk melayani upaya-upaya
pencarian keadilan menurut hukum positif oleh dan untuk orang-orang Eropa (dan yang
dipersamakan dengannya), ialah Raden van Justitie dan Hogegerechtshoff. Dalam
lingkungan badan-badan peradilan untuk orang-orang pribumi yang sekalipun telah
dibenahi dengan konstruksi dan prosedur cara Eropa LPs masih bekerja dan masih
menampakkan sebagian dari sosok-sosoknya sebagai administrator-administrator (yang
oleh karena itu juga tak selalu diharapkan cuma pandai menemukan hukum guna
mengadili perkara dari sumber-sumber hukum yang formil semata).
3

Dalam hubungan ini bolehlah disaksikan bahwasanya hakim-hakim yang bekerja
pada badan-badan peradilan pribumi (kecuali pada Landraad) bukanlah lulusan-lulusan
pendidikan tinggi; sedangkan yang menjadi ketua Landraad tidak selalu lulus dari
fakultas-fakultas hukum yang menyajikan kurikulum hukum dan ilmu hukum yang
sepantasnya diterapkan di badan-badan pengadilan untuk orang-orang Eropa. Para
Meester van Nederlansch-Indisch Recht sekalipun lulus dari Rijksuniversitiet te Leiden
tidaklah dapat bekerja sebagai hakim atau advokat pada Raden van Justitie dan
Hogegerechtshof. Mereka adalah ahli-ahli yang belajar pada dan lulus dari suatu fakultas
khusus dan menempuh ujian negara untuk dapat diangkat sebagai grote ambtenaren pada
dinas-dinas pemerintahan dan pengadilan kolonial untuk orang-orang pribumi.
Berbicara soal dualisme dalam tatanan hukum kolonial Hindia Belanda, janganlah
orang membayangkan terbangunnya dua substruktur supra yang didominasi warna
pribumi bukanlah bangunan-bangunan institusional yang kedap pengaruh secara total.
Dalam kenyataan terjadilah banyak interpenetrasi dalam atau melalui ranah-ranah
perbatasan yang terbentuk, seperti misalnya kebutuhan golongan penduduk pribumi
untuk memperoleh pelayanan keadilan dalam perkara-perkara hukum di pengadilan-
pengadilan negara yang disediakan untuk mereka, namun yang menerapkan hukum yang
diputuskan berdasarkan substansi-substansi normatif yang hidup dan dianut di kalangan
mereka.
Peradilan-peradilan demikian ini sebenarnya berproses menurut acara yang
dipertahankan agar sederhana dan murah, namun bagaimanapun juga dalam kenyataan
dan prakteknya toh masih saja menuntut kemahiran khusus atau membutuhkan
pendamping khusus dipihak mereka yang menghendaki pelayanan badan-badan
pengadilan ini. Dalam banyak kejadian, berperkara di muka pengadilan-pengadilan
pemerintah yang disediakan untuk orang-orang pribumi (khususnya di Landraad),
bantuan dari mereka yang mempunyai pengalaman banyak dalam urusan-urusan
pengadilan seperti ini amatlah diperlukan, sekalipun pada dasarnya the administratif and

3
Karena kenyataan ini, pada tahun 1909 seorang pemuka Belanda mempertanyakan dalam suatu diskusi
apakah tak seyogyanya jabatan hakim dan badan-badan pengadilan untuk orang-orang pribumi
dirangkap atau disatukan kembali dengan jabatan administrator pemerintahan. Baca E. Moresco, Is
Het Wenschelijk de Beestuurdes-en Rechterskopsen in Nederlandsch-Indie te Vereenigen?, Verslag,
Indisch Genootschap Vergadering van 9 November 1909, hlm. 1-34
185
paternalistic conception of colonial governance extended to judicial affairs, and it was
deemed sufficient for judge to decide any issue between natives tanpa keikutsertaan
pengacara macam apapun.
4

Tokoh-tokoh yang bertaraf PP ini, sekalipun tak terdidik sebagai LP, namun
demikian umumnya diakui masyarakat sebagai tokoh-tokoh yang cukup berpengalaman
dalam urusan-urusan pengadilan, dan di lain pihak juga diakui banyak mengenal alam
kehidupan adat hukum dan kultur masyarakat lokal yang tengah terjejas kehidupan urban
kolonial yang modern. Posisi yang dapat berfungsi menjembatani dua dunia inilah yang
kemudian berevolusi dalam suatu proses gestasi untuk menumbuhkan institusi pokrol
bambu, atau pengacara praktek, dalam tatanan peradilan kolonial, dan terus berlanjut
pada masa kolonial. Hanya saja, pada masa pasca-kolonial ini, sekalipun resminya
dikuasai oleh kebijakan-kebijakan politik yang nasional sifatnya, perkembangan
kontekstualnya berlangsung sebagai perkembangan yang menuju di satu pihak ke
pembangunan tata hukum nasional yang menafikan dualisme, namun yang di lain pihak
memilih kebijakan untuk mengugrade substruktur infra yang berwarna pribumi itu
daripada menasionalisasi substruktur supra yang semula berwarna Eropa. Maka model
peradilan Landraad (yang berarti Majelis Negeri) itulah nyatanya kemudian terambil
untuk membangun pengadilan-pengadilan negara (disebut Pengadilan Negeri), dengan
acara berperkara yang tetap dibuat sederhana dan yang pada dasarnya tidak memerlukan
jasa bantuan advokat bagi pihak-pihak yang terbabit. Pun di sini hakim-hakim tetap
mengukuhi statusnya yang mula-mula, ialah lebih tampil pada sosoknya sebagai
rechtsambtenaren yang paternalistik daripada sebagai rechters yang benar-benar berdiri
di atas dan di luar kepentingan pihak-pihak yang tengah bersengketa dalam suatu perkara.
Di sini rupanya terjadi mobilitas secara vertikal di dalam struktur kekuasaan
pemerintahan, akan tetapi tanpa dibarengi dengan transformasi kultural yang secara
bermakna mengubah wawasan para hakim yang rechtsambtenareen itu menjadi LPs
yang tentunya akan lebih cenderung berwawasan profesionalisme, dengan kesetiaan yang
lebih tertuju kepada nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh profesi dari pada setakat
kepada organisasi yang dikelola atasan. Dalam perkembangan seperti itu, status dan
fungsi para pengacara pengadilan (di Pengadilan Negeri yang dulu Majelis Negeri, yang
secara tradisi bersetara dengan PP) tak terelakkan akan tetapi dipandang rendah seperti
pada jaman kolonial, ketika mereka umumnya banyak dicurigai dan disangsikan
itikatnya, ketika mereka umumnya banyak dicurigai dan disangsikan itikatnya, sehingga
in this viev native lawyers could only be trouble-makers who would use yhe judicial
system for their own purposes.
5

Konfigurasi perkembangan seperti ini tidaklah banyak berubah sampaipun
pembangunan hukum nasional Indonesia telah memasuki era Orde Baru di seputar tahun
1970-an. Unifikasi hukum materiilpun diupayakan sebagai bagian dari realisasi sebuah
cita-cita, sedangkan sentralisasi pemerintahan yang mengharapkan terciptanya suatu
pemerintahan nasional yang kuat telah pula bercenderung untuk mengontrol kebebasan
badan-badan pengadilan yang tradisi profesionalismenya tak pernah kuat. Dalam suasana
perkembangan hukum yang didayagunakan secara sadar untuk membangun kewenangan

4
Baca lebih lanjut Daniel S. Lev, Bush Lawyers in Indonesia: Stratifikation, Representation, and
Brokerage Working Paper From The Progress in Law And Society, 1, University of California,
Berkeley. Kutipan juga diambil dari sumber ini, hlm 6.
5
Ibid
186
rekayasa kekuasaan eksekutif (tidak dalam alur law as a tool of social engineering di
tangan kekuasaan yudisial seperti yang untuk pertama kalinya disugestikan oleh Rooscoe
Pound) seperti itu, fungsi hukum sebagai pengayom hak-hak masyarakat sipil menjadi
sangat kurang berjalan. Hukum di sini lebih benar-benar berfungsi sebagai bagian dari
apa yang disebut oleh Black a government social control
6
. Hakim, jaksa, dan
pengacara pun lalu tetap lebih tergiring sebagai rechtsambtenareen atau kepanjangan
tangan para pejabat negara yang umumnya mendambakan kee0fektifan upaya-upaya
mencapai target pembangunan daripada menjadi free professionals yang tak pernah
mempunyai pilihan lain selain mengabdikan diri pada kebenaran dan keadilan menurut
bunyi hukum yang berlaku.

Profesionalisasi Hukum dan Fungsi Paralegal
Dalam sistem dan kondisi seperti itu, proses profesionalisasi hukum tidak mudah
berkembang maju. Pengacara-pengacara di pengadilan-pengadilan negeri tak dapat
beranjak naik dari status-statusnya yang lama, sebagai atau diperlakukan sebagai PPs
walaupun kini secara berangsur mayoritas daripadanya adalah lulusan-lulusan perguruan
tinggi; sedangkan para hakim tak juga kunjung memperlakukan mereka dengan penuh
respek sebagai sejawat-sejawat seprofesi (sesama LPs). Maka, alih-alih terjadi proses
profesionalisasi yang merebak sehat, apa yang sering terjadi adalah proses sebaliknya,
ialah proses deprofesionalisasi, dengan forum-forum pencarian keadilan yang tak lagi
selalu berarah ke sidang-sidang litigasi pengadilan negara melainkan ke banyak forum di
luar institusi yudusual. Dan karena hukum dalam fungsinya sebagai sarana rekayasa
sosial kian tampil dalam sosoknya sebagai government social control untuk mengejar
tujuan-tujuan yang bermakna struktural, maka ruang lingkup yang terliput oleh sengketa-
sengketa hukum tak lagi terbatas pada perkara-perkara yang sekedar relevan menurut
hukum, akan tetapi juga relevan dalam jangka panjang menurut tolok-toloknya yang
politik dan sosial.
Sekalipun pembangunan yang sentralistis dan ditangani oleh pemerintah nasional
yang kuat dan mapan telah terbukti mampu menaikkan taraf kemakmuran dan
kesejahteraan lahiriah bangsa, akan tetapi kesenjangan yang kian melebar antara negara
(berikut aparat-aparatnya) yang kian berdaya dan masyarakat sipil (berikut warga-
warganya) yang sekalipun kian berketerpelajaran telah kian kurang berdaya telah
mengundang reaksi-reaksi korektif yang kuat. Reaksi-reaksi ini terekspresi antara lain
dalam bentuk gerakan-gerakan pro populo populus yang mengajarkan keswadayaan.
Inilah gerakan-gerakan bawah yang kemudian terorganisasi dalam bentuk apa yang
disebut non government organizations, dengan tujuan utamanya mengajak warga-warga
lokal berupaya ke arah kemandirian, kesiapan melepaskan diri dari sembarang bentuk
ketergantungan, dan kemudian darpada itu juga kepercayaan pada kemampuan sendiri,
dan berkeswadayaan. Dari perspektif para eksponen gerakan pro populus yang demikian
itu, tak pelak hukum tidaklah lagi akan terkonsepkan sebagai tool of social engineering
melainkan sebagai tool of social empowering and enabling.
Dalam konsep para eksponen yang demikian itu, hukum karena itu akan juga
terlihat sebagai sejumlah hak-hak sosial yang berkemampuan meningkatkan potensi
survival golongan masyarakat lemah di tengah-tengah masyarakat yang kain komplek
dan penuh antagonisme ini, dan tidak lebih terlihat sebagai kewajiban-kewajiban melulu

6
Donald Black, The Behavior of Law (New York: Academic Press, 1982), hlm. 6
187
yang harus ditaati setiap saat oleh setiap warga bangsa demi suksesnya pembangunan dan
demi tercapainya target-target pemerintah. Dalam konsep para eksponen ini, penegakkan
hak-hak pun diperkirakan tak akan menghasilkan apa-apa kalau penegakkan itu cuma
hendak digantungkan pada prakarsa, upaya, kemampuan dan/atau perjoangan kekuatan-
kekuatan sosial di luar masyarakat yang telah memperoleh hak-hak itu sendiri. Dalam
doktrin para eksponen ini, bukan pemerintah dan bukan hakim, bukan pengacara yang
profesional dan bukan pula pengacara yang para-profesional itu yang akan mampu
menegakkan hak-hak warga masyarakat.
Dipercaya dan dikatakan bahwa keberhasilan menegakkan hak-hak warga ini,
khususnya mereka yang terbilang miskin dan buta hukum, akan lebih terjamin manakala
warga masyarakat berkenaan itu sendiri yang untuk maksud itu mampu melahirkan
tokoh-tokohnya sendiri yang mampu menyadari fungsi hukum nasional yang berlaku dan
mengetahui pula cara-cara yang benar dan efektif untuk menegakkan hak-hak rakyat
dalam arena-arena yang non-litigatif. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya juga diharapkan
kemampuannya mengartikulasikan masalah-masalah yang berkenaan dengan kepentingan
rakyat, dan memformulasikan sebagai permasalahan-permasalahan hkum yang dapat
diselesaikan secara adil. Tokoh-tokoh pemuka masyarakat inilah yang kini hendak
dikembangkan agar berkemampuan merespons kebutuhan masyarakat bawah yang akan
datang, dalam fungsi dan kualifikasinya sebagai the paralegals.***)



BAGIAN KEEMPAT

ASPEK-ASPEK SOSIO-LEGAL KONSTITUSIONALISME,
SUPREMASI HUKUM, DAN HAK ASASI MANUSIA



Pengantar

Objek telaah ilmu sosial tentang hukum adalah ketentuan-ketentuan hukum dan konsep-
konsep yang menjadi anutan dan pedoman kerja lembaga-lembaga pemerintahan,
organisasi non-pemerintah, maupun kelompok-kelompok masyarakat. Apa yang
dipelajari mulai dari bagaimana pengetahuan itu dikonstruksikan, diobjektifikasi dan
kemudian disosialisasikan kembali, yang meluas ke bagaimana berbagai ketentuan
hukum itu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh dinamika sosial-politik yang
melingkupinya.
Bagian ini dimulai dengan sajian analisis tentang konstitusi sebagai suatu
dokumen yang vital bagi kehidupan bernegara dan konstitusionalisme sebagai suatu
paham yang selayaknya dianut dan dipakai oleh mereka yang bekerja dengan konstitusi
tersebut. Selanjutnya, disajikan pula hubungannya dengan ajaran hak asasi manusia yang
mengatur hubungan antara masyarakat dengan negara. Disajikankan pula, analisis tentang
konsep-konsep atau doktin-doktrin hukum seperti rule of law atau supremasi hukum,
dengan memberi perhatian pada fungsi doktrin-doktrin itu dalam konteks sosial-
politiknya.



20

KONSTITUSI DAN KONSTITUSIONALISME




Secara sederhana, konstitusi dapatlah didefinisikan sebagai sejumlah ketentuan hukum yang
disusun secara sistematis untuk menata dan mengatur pada pokok-pokoknya struktur dan fungsi
lembaga-lembaga pemerintahan, termasuk dalam ihwal kewenangan dan batas kewenangan
lembaga-lembaga itu. Dalam artinya yang lebih sempit, konstitusi bahkan cuma diartikan
sebagai dokumen yang memuat ketentuan-ketentuan hukum tersebut di muka ini.
Dalam praktik ketatanegaraan dan dalam polemik-polemik hukum tata negara, perhatian
orang acap kali hanya tertuju secara terbatas pada ihwal konstitusi itu saja, per se, baik dalam
makna substantifnya sebagai ketentuan-ketentuan hukum maupun dalam makna formilnya sebagai
rumusan-rumusan perundang-undangan, sebagaimana termuat dan terbaca (sebagai pasal-pasal)
dalam dokumen Undang-Undang Dasar, dan kurang mengajukan lebih dalam lagi. Sebenarnya
konstitusi itu cumalah raga atau wadah saja, dan bukanlah jiwa atau semangat; manifestasi yuridis
saja dan bukanlah makna kulturalnya. Untuk memahami makna konstitusi secara utuh dan
menyeluruh, orang haruslah mau membongkar dan menelaah seluruh isi blackbox, dan tidak
cukup kalau cuma menangkap cuatan-cuatan indikatifnya yang tampak di permukaan saja.


Konstitusionalisme

Dengan membongkar kotak hitam yang memuat informasi lengkap tentang sejarah
perjalanan dan perkembangan konstitusi dan fungsinya dalam kehidupan ketatanegaraan,
maklumlah kita bahwa makna hakiki konstitusi bermukim teguh-teguh di dalam ide
konstitusionalisme. Istilah konstitusionalisme itu sendiri sebenarnya tercipta pada peralihan
abad 18-19 untuk menegaskan doktrin Amerika tentang supremasi Undang-Undang Dasar
(konstitusi tertulis) di atas undang-undang yang diundangkan sebagai produk badan legislatif.
Akan tetapi, sebagai ide dan praksis modern dalam kehidupan kenegaraan modern, apa yang
dipahami sebagai konstitusionalisme ini dalam maksud sebenarnya telah bisa dijumpai dalam
kehidupan polis-polis (negara kota) di Eropa Barat pada abad 11 dan 12.

Pada abad-abad itu, sekalipun baru berdaya laku dalam lingkar kehidupan lokal urban
(karena belum berkembang kehidupan kenegaraan pada aras bangsa dan kebangsaan), berbagai
konstitusi sebagian sudah tertulis dalam dokumen-dokumen yang disebut chartula, charta atau
chartre (charter) dan sebagian lagi tidak telah dikenal orang. Tanpa menafikan variasinya, pada
asasnya ide konstitusionalisme yang mantap dalam konstitusi-konstitusi berbagai polis di Eropa
Barat itu mengakui kekuasaan pemerintah (misalnya untuk menarik pajak atau, membuat uang,
membentuk bala tentara, membuat perjanjian damai dengan atau menyatakan perang terhadap
polis lain); namun juga di lain pihak kekuasaan itu juga dibatasi oleh berbagai hak konstitusional
warga kota (misalnya untuk memilih pejabat kota, untuk mempersenjatai diri, untuk memperoleh
236
jaminan akan kebebasannya sebagai warga kota, dan untuk memperoleh perlindungan oleh proses
peradilan yang jujur dan adil).

Ide konstitusionalisme sebagaimana bertumbuh kembang di bumi aslinya, Eropa Barat,
dapat dipulangkan ke dua esensinya. Esensi pertama ialah konsep negara hukum (atau di
negeri-negeri yang terpengaruh oleh sistem hukum Anglo Saxon disebut rule of la) yang
menyatakan bahwa kewibawaan hukum secara universal mengatasi kekuasaan negara, dan
sehubungan dengan itu hukum akan mengontrol politik (dan tidak sebaliknya). Esensi kedua ialah
konsep hak-hak sipil warga negara yang menyatakan bahwa kebebasan warga negara dijamin oleh
konstitusi dan kekuasaan negara pun akan dibatasi oleh konstitusi, dan kekuasaan itu pun hanya
mungkin memperoleh legitimasinya dari konstitusi saja.


Sifat Kesejarahan

Sekalipun diklaim sebagai suatu ide universal, konstitusionalisme versi Eropa Barat itu
yang antesedensinya dan konsekuensinya tercatat lebih jauh daripada yang versi Amerika),
sesungguhnya tak pernah menafikan outentisitasnya yang bersifat kesejarahan. Dengan demikian
konstitusionalisme tak pernah gampang dicanangkan diperlakukan sebagai doktrin, melainkan
diterima sebatas fungsinya sebagai bagian dari sarana dan upaya manusia mengikuti kualitas hidup
dan kualitas pribadi. Konstitusionalisme adalah suatu kontinuitas dalam suatu proses tumbuh
kembang yang panjang.

Dalam perspektif paham konstitusionalisme yang begini ini, tidaklah konstitusi mana pun
beserta konsep-konsep negara hukum dan hak-hak sipil warga negara yang terkandung di
dalamnya dapat diimplementasikan secara wajar dan efektif (menjadi realitas dan praksis dalam
kehidupan) tatkala konstitusi itu cuma diartikan dan dimengerti sebagai preskripsi-preskripsi yang
kontemporer dan sesaat, yang berasal cuma dari kehendak-kehendak politik para penguasa
sekarang. Konstitusi, berikut konsep-konsep yang menjadi anasir esensialnya, haruslah disadari
dan dipahami sebagai bagian dari kekuasaan yang bersejarah panjang di dalam tradisi dan budaya
sesuatu bangsa. Konstitusi tidaklah akan mungkin dipahami secara utuh tatkala konteks
historisnya tak pula ikut dipahami. Konstitusi bukanlah sekadar dokumen; konstitusi adalah
hukum dengan makna-makna yang hidup dalam suatu konteks sejarah.


Permasalahan di Negeri-Negeri Berkembang

Permasalahan yang timbul dalam kehidupan kenegaraan di negeri-negeri berkembang
seperti misalnya Indonesia yang bisa dijadikan contoh berawal dari kenyataan bahwa
negara-negara di negeri-negeri bekas jajahan yang tengah berkembang ini bersedia menata
institusi-institusi ketatanegaraan berdasarkan konstitusi. Konstitusi yang mereka kenal dari
negara-negara bekas penjajah yang mewarisi tradisi hukum Barat itu, namun gagal mewarisi dan
menerima tanpa reserve ide dasar konstitusionalismenya mengenai supremasi hukum,
keterbatasan kekuasaan negara dan jaminan hak-hak sipil rakyat atas kebebasan asasinya. Di sini
yang terjadi bukanlah receptio in complexu melainkan penerimaan konsep negara dan hukum
237
ketatanegaraan barat secara terpenggal. Konstruksi-konstruksi dan norma-norma positifnya
dimengerti dan diterima, tapi ide dan makna dasarnya terlepas dan tak tertangkap.

Sesungguhnya konstitusi itu tatkala dimengerti sebagai bagian dari konfigurasi
konstitusionalisme yang total, pada hakekatnya adalah sebuah kontrak. Setiap kontrak itu
berfungsi menjamin hak-hak kedua belah pihak dalam ihwal sebagaimana telah mereka sepakati:
hak-hak dan kewenangan-kewenangan politik penyelenggara negara dan hak-hak kebebasan
warga masyarakat sipil. Kontrak itu pun selalu mengandung klausula tentang mekanisme serta
prosedur yang dapat ditempuh manakala salah satu pihak patut disangka mengabaikan
kewajibannya untuk menghormati hak-hak pihak lain, dan dengan demikian juga boleh disangka
telah melanggar hak-hak pihak lain itu. Kontrak pun di sini juga dalam kontrak-kontrak sosial
yang menjadi salah satu ide dasar konstitusionalisme selalu tegak dan dipatuhi, bukan saja oleh
antisipasi-antisipasi tentang pasti efektifnya mekanisme pemulihan hak, akan tetapi juga oleh
berlakunya asas moral pacta sunt servanda yang selayaknya diinsyafi dan dijunjung tinggi oleh
kedua belah pihak.

Tatkala konsep kehidupan bernegara menurut konsep peradaban Eropa Barat (yang
berprasyarat tak hanya harus berakyat tapi juga berteritori) dengan lembaga-lembaga pemerintah
berkekuasaan sebagaimana telah dikonstruksikan secara konstitusional hanya diduplikasi di
negara-negara dunia ketiga dalam maknanya yang dangkal sebagai konstruksi-konstruksi hukum
semata, sedangkan ide dasar falsafahnya yang mengacu ke keyakinan konstitusionalisme telah
terpenggal dan tertinggal di belakang, maka tak pelak di negara-negara dunia ketiga ini konstitusi
hanyalah akan berfungsi sebagai dasar pembenar kekuasaan negara yang normatif belaka.
Konstitusi lalu tak terpakai dan difungsikan sebagai dasar legitimasi kekuasaan negara yang
kontraktual sifatnya, dan limitatif pula sifatnya, di hadapan hak dan kebebasan para warga
masyarakat sipil (yang kini telah bersedia menjadi warga negara).


Proses Transplantasi Bukan Proses Tumbuh-Kembang

Terpenggal dan tertinggalnya ide konstitusionalisme di belakang, ketika negara-negara
baru bermodelkan negara-negara berkonstitusi produk peradaban Eropa Barat tumbuh
kembang di negeri-negeri bekas jajahan, mengesankan benar bahwa yang terjadi adalah proses
transplantasi institusi. Proses seperti ini berlangsung melalui pembentukan enklave-enklave
kolonial Eropa di negeri-negeri jajahan, berikut proses kooptasi yang setengah-setengah atas
anak-anak kaum elite pribumi ke dalam sistem kolonial, lewat pendidikan modern. Proses
kooptasi yang setengah-setengah lewat pendidikan modern ini telah menjerembabkan anak-anak
pelajar pribumi ke dalam proses modernisasi yang bersemangatkan nasionalisme pada
aras-arasnya politik, namun tak menyentuhkan sedikit pun proses Eropanisasi yang total pada
aras-aras yang sosial dan budaya.

Perkembangan konsep, ideologi, hukum dan praksis-praksis kenegaraan pada zaman
kolonial itu rupanya banyak terpraktikkan untuk membangun suatu suprastruktur kenegaraan yang
terpola Eropa, namun sementara itu infrastruktur sosial yang lama masih terus dipelihara untuk
tetap berfungsi sebagai rujukan kultural dan/atau ajang hidup yang relatif in taot buat orang-orang
pribumi dan para elitenya. Maka yang terjadi adalah terekonstruksikannya suatu suprastruktur
238
konstitutif kenegaraan yang terkesan ditransplantasikan dari Eropa, untuk ditumpangkan di atas
tanpa tertunjang sebagai hasil perkembangan infrastrukturnya yang pribumi. Dualisme
sosiopolitik seperti ini dalam ujud adanya kehidupan bernegara yang dipermodern berdasarkan
konstitusi, tertransplantasikan di atas suatu infrastruktur yang dalam riwayat sejarahnya tak
mengenal ide konstitusionalisme secara sungguh-sungguh bertahan lama sampai ketika saat
kekuasaan pemerintah kolonial berakhir.


Konstitusi Republik Indonesia: Jauh Panggang dari Api

Pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada tahun 1949 (atau penyerahan
kedaulatan menurut versi Belanda) sebenarnya tak banyak mengubah secara asasi dan seketika
struktur kekuasaan dan sistem administrasi pemerintahan yang ada. Konsep-konsep dasar
ketatanegaraan yang modern, berikut konstitusi-konstitusi hukumnya yang merujuk ke
kaidah-kaidah positif yang selama ini banyak dipraktikkan oleh negara-negara dan
pemerintahan-pemerintahan pewaris peradaban Barat, tetap saja dipakai. Akan tetapi tercatatlah
kemudian bahwa perubahan-perubahan yang lebih membawa konsekuensi secara
substantif-materiil (dan tidak sekadar yang formal-formal di permukaan) adalah bermula dari
terjadinya banyak pergantian personil (dari yang Eropa oleh yang pribumi) sehubungan dengan
banyaknya jabatan-jabatan dalam struktur supra yang lowong, menyusul terambil-alihnya
kekuasaan kolonial oleh kekuasaan nasional. Terjadilah arus mobilitas vertikal dalam skala cukup
besar oleh personil-personil administrator pribumi (berwawasan moral-kultural pribumi yang
inheren pada struktur infra) ke ranah struktur supra (yang selama ini dibangun dan dioperasikan
berdasarkan kaidah-kaidah dan wawasan-wawasan serta imperatif-imperatif sejarah dan
peradaban Eropa).

Pergantian awak personil dalam sistem administrasi dan struktur politik dari yang kolonial
ke yang nasional itu dengan begitu membawa serta pula pergantian wawasan ideologis dan
orientasi budaya (yang tentu membawa banyak konsekuensi dalam praktik-praktik pemerintahan,
pelaksanaan administrasi negara, dan/atau upaya-upaya penegakan dan penerapan hukum). Boleh
dibilang di sini, tatanan panggung memang tak banyak berubah. Akan tetapi skenario permainan
sebagaimana tertafsir berdasarkan imajinasi kultural-simbolis para pemainnya yang baru nyatanya
sudah mulai berlainan. Di sinilah mungkin letak penjelasannya mengapa seorang pakar pendiri
Republik seperti Soepomo bisa mengidealisasikan suatu negara hukum (yang sesungguhnya
terpulang sebagai ide Eropa) namun sekaligus juga merekonstruksikannya sebagai manifestasi ide
kekeluargaan yang menenggang ketotaliteran (yang merujuk ke ide pribumi), dan bukannya
menegaskan maknanya sebagai suatu kontrak sosial yang lugas antara penguasa yang memerlukan
kekuasaan dan wewenang untuk menegakkan eksistensinya dan rakyat yang memerlukan hak dan
kebebasan untuk menegakkan hidupnya yang manusiawi.


Enigma dan Dilema

Kehidupan berbangsa dan bernegara adalah sebuah fenomenon sejarah Eropa Barat yang
muncul seiring dengan perkembangan masyarakat industri yang mampu menopang perkembangan
dan maraknya suatu kekuasaan politik sentral yang disebut negara. Semangat kebangsaan yang
239
manifes dalam bentuk perjuangan-perjuangan mereka mencapai kejayaannya bersaranakan
organisasi politik berkekuasaan sentral yang disebut negara memang telah mengilhami banyak
pelajar pribumi di tanah-tanah jajahan yang mempelajari sejarah Eropa itu untuk mengupayakan
kejayaan bangsanya sendiri. Upaya ini tentu saja harus dilakukan dengan melepaskan diri dari
belenggu penjajahan, untuk kemudian mengerahkan seluruh potensi bangsa secara terorganisasi
ke dalam suatu institusi politik (negara!) yang dipercaya akan mampu mengefektifkan perjuangan.

Tetapi nasionalisme Eropa yang dikagumi dan mengilhami itu adalah sesungguhnya
nasionalisme yang dilandasi oleh kesadaran akan adanya kesamaan asal moyang, etnisitas,
sebagaimana juga ditengarai oleh kesamaan bahasa dan budaya. Kesadaran inilah yang
mendorong kehendak bersama untuk juga berkesamaan dalam suatu kesatuan politik yang
beryurisdiksi di dalam batas-batas suatu teritori. Kesatuan politik seperti inilah yang kemudian
dikenali sebagai suatu struktur supra, dibangun berdasarkan akan tetapi juga dikontrol oleh
konstitusinya yang benar-benar amat bermakna secara kultural dan moral, (dan tidak sebaliknya,
bahwa kultur dan moral bangsa itulah yang dikontrol dan direkayasa oleh negara).

Namun, yang nyatanya tampak dalam perkembangan-perkembangan pasca-kolonial, juga
di Indonesia, sangatlah enigmatis. Konsep negara sebagaimana dipahamkan dan dipakai dari
perspektif kaum nasionalis muda yang melepaskan bangsanya dari belenggu penjajahan tidaklah
seperti makna asalnya. Beranjak dari premis-premis kultural mereka sendiri yang non-Eropa,
konsep negara di kalangan nasionalis-nasionalis muda ini lalu lebih gayut ke etatisme daripada ke
konstitusionalisme. Hal ini dapatlah dijelaskan dan dimengerti, mengingat kenyataannya bahwa
nasionalisme yang tertransplantasikan ke negeri-negeri terjajah seperti yang dikenali antara
lain juga di Hindia Belanda di kalangan para nasionalis perintis kemerdekaan adalah
nasionalisme kaum elite yang cenderung bersikap paternalistik, yang kemudian mencoba
menularkannya ke massa bawah yang sesungguhnya (pada waktu itu!) tak berkesadaran sejarah.

Dapat pula dimengerti, bahwasanya nasionalisme dan strukturisasinya ke dalam ujud
negara di Indonesia ini dengan begitu lalu amat nyata kalau bersosok sebagi suatu organisasi
kekuasaan politik sentral yang tergambar secara amat legalistis, yang sekalipun semula diambil
dari pengalaman sosial dan peradaban Eropa Barat namun dalam keadaan terpenggal, minus
konteks sosial budayanya. Maka dapatlah dimengerti pula mengapa kekuasaan negara di
negeri-negeri berkembang bekas tanah jajahan (seperti di Indonesia ini) sekalipun konon
kemudian selalu dicarikan dasar pembenar kultural yang digali dari bumi budaya masyarakatnya
sendiri, tetapi karena memang tidak terkembang dari bawah, dari bumi budaya masyarakatnya
sendiri itu umumnya lalu condong berdominasi tanpa terimbangi secara berarti oleh kekuatan
dan keberdayaan yang hidup di lingkungan masyarakat sipil (dan masyarakat usaha).


Konsekuensi dan Prospek

Di tengah-tengah semangat nasionalisme yang menghasilkan state centrism dalam
gerakan-gerakan perjuangan baik yang dikonsepkan sebagai revolusi maupun yang dikonsepkan
sebagai pembangunan tak pelak sistem pemerintahan yang terkembang adalah sistem
pemerintahan dengan penguasa-penguasa politik dan birokrat-birokrat yang secara loyal cuma
mau dan tahu mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan politik negara semata. Orang-orang
240
pemerintah dan birokrat, lalu banyak tampil dan menampak di mana-mana sebagai bagian dari
kekuasaan negara, dan terindoktrinasi untuk cuma mau berkhidmat pada keputusan-keputusan
politik para pejabat eksekutif saja, tanpa perlu mencoba mempertajam kepekaan guna menangkap
cita-cita dan aspirasi politik warga masyarakat sipil. Kekuasaan dan kewenangan negara lalu
berkembang mark di mana-mana, jauh lebih marak daripada ekspresi hak dan kebebasan
warga-warga masyarakat sipilnya.

Semasa perjuangan nasional tengah tertuju ke upaya memenangkan revolusi dan kemudian
juga ke upaya memakmurkan bangsa lewat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasilnya,
peran negara dan para abdinya yang bersebutan administrator itu tentu saja amat dibenarkan
kalau berulah laku dominan. Pembenaran ini sesungguhnya tak hanya bersebab dari kedaruratan
situasi, akan tetapi juga karena memang ide kenegaran di negeri ini sejak awal mulanya
memberikan pembenaran yang demikian itu. Dalam situasi darurat ataupun tidak, selama negara
tetap diidealisasikan sebagai suatu keluarga writ at large, dengan kepala keluarga yang dibenarkan
memiliki kewenangan mutlak yang jauh melebihi hak-hak dan kebebasan warga-warganya (tak
soal apakah dengan begitu akan disebut totaliter atau distorsi semantiknya totalitas), selama itu
pula etatisme dan birokratisme akan tetap saja marak di negeri-negeri Dunia Ketiga yang
mengenal model hidup kenegaraan dari peradaban bekas tuan-tuannya yang Eropa Barat itu,
namun yang kurang mengenali idealisasi normatifnya.

Tahap yang agak kritis barangkali tahap pembangunan akhir-akhir ini yang menuntut
dimulainya pendekatan-pendekatan yang lebih manusiawi dalam pembangunan bangsa, dengan
kemungkinan yang harus dibuka luas-luas guna meningkatkan kualitas manusia dan mempertinggi
keberdayan masyarakatnya. Tuntutan seperti ini kini sudah merupakan suatu isu global, marak
dalam kehidupan transnasional yang tak lagi mementingkan state centrism. Perkembangan seperti
ini mestilah terus diantisipasi, dan cepat atau lambat mengharuskan para penyelenggara negara
dan para administrator untuk merspons pergeseran-pergeseran peran yang tengah dan/atau akan
terjadi, dengan sikap yang lebih positif, realistik, adaptif, dan tentu saja juga arif.

Disukai atau tidak, disangkal atau tidak, peran negara dalam pembangunan di waktu-waktu
yang akan datang akan terus surut, berseiring dengan kian berkembangnya keberdayaan
masyarakat sipil yang otonom (dalam maknanya yang moral, budaya, sosial, politik dan ekonomi),
dan berseiring pula dengan kian meningkatnya tuntutan agar warga masyarakat sipil boleh
merebut peluang sebagai bagian dari hak-hak asasinya untuk berpartisipasi. Keberdayaan
masyarakat sipil ini tertengarai tidak hanya akan berlangsung pada arasnya yang lokal saja, akan
tetapi juga yang translokal-nasional, dan bahkan juga pada aras-aras yang transnasional-global.

Apabila memang demikian jalan dan arah perkembangannya, debirokratisasi pastilah akan
pula terjadi, dengan konsekuensi bahwa kegiatan-kegiatan yang ditata negara dan/atau oleh para
abdi negara akan berubah: dari pelaksanaan-pelaksanaan yang amat sentral ke upaya-upaya
menunjang aktivitas gerakan bawah saja, atau mungkin malah tereduksi ke upaya-upaya sejauh
penyantunan-penyantunan belaka. Bagaimanapun juga, adalah hak asasi warga masyarakat untuk
melakukan kegiatan-kegiatan dan untuk memilih secara bebas kegiatan-kegiatannya (sebagai
bagian dari ekspresi-ekspresinya yang manusiawi berkenaan dengan hak-hak dan kebebasannya).
20
Membangun Budaya Hukum dalam Pembangunan Hukum

Terbentuknya Legal Gaps
Pembangunan hukum adalah suatu pekerjaan yang sama tuanya dengan
pekerjaan pembangunan negara bangsa. Sejak tumbuhkembangnya kehidupan
berbangsa dalam suatu komunitas politik yang disebut negaranota bene suatu
kehidupan yang sebenar-benarnya memisahkan konsep negara dan agama serta negara
dan masyarakathukum negara dibangun dalam suatu kitab-kitab yang disusun
secara sistematis untuk menggantikan hukum tradisi yang tak tertulis dan/atau hukum
agama. Di negeri-negeri yang berbudaya homogen, seperti di negeri-negeri Eropa
Barat tempat berkecambahnya model kehidupan bernegara bangsa yang mula-mula
(menggantikan model kehidupan imperium), sekalipun demikian konflik antara
hukum negara dan hukum tradisi taktertulis dan/atau hukum agama tidaklah terjadi.
Mengapa demikian? Tak lain karena hukum negara yang tertulis dan disistematisasi
dalam kitab-kitab pada masa itu adalah hasil pengitaban saja dari hukum tradisi
dan/atau hukum agama itu. Kodifikasi Napoleon dari Perancis dan kodifikasi
Witchers dari negeri Belanda adalah dua dari sekian banyak contoh kodifikasi Eropa
itu.
Tidak demikianlah kenyataannya di negeri-negeri bekas daerah jajahan yang
pada umumnya sejak awalnya dikembangkan tidak sebagai negara bangsa melainkan
sebagai suatu imperium yang dikuasai oleh suatu bangsa Yang dipertuan, dengan
membawahkan sekian banyak (suku) bangsa yang dikalahkan. Imperium kolonial
seperti ini sudah barang tentu akan berinfrastruktur masyarakat yang berbudaya
majemuk, sehingga upaya untuk merekonstruksi imperium kolonial ke dalam wujud
suatu negara bangsa yang merdeka, dengan tatanan atas dasar satu hukum negara yang
tunggal(lewat unifikasi dalam kodifikasi yang disebut hukum nasional!) menjadi
tidak demikian mudah. Lebih-lebih manakala negara-negara nasional yang baru ini
(seperti misalnya Indonesia) mencoba memfungsikan hukum tidak untuk melestarikan
tatanan tradisi masyarakat-masyarakat lokal yang lama dengan cara mengakomodasi
tradisi dan hukum lokal itu ke dalamdan dengan menuliskannya sebagai bagian dari
kodifikasi-kodifikasi; melainkan untuk mendekonstrusksi serta merekonstruksi
tatanan-tatanan institusional yang adaatau bahkan untuk menggantikannya sama
sekali dengan yang barudalam rangka memodernkan kehidupan(suatu upaya politis
yang lazim disebut pembangunan).


Di sinilah awal masalah yang acap tertemui dalam praktek penegakan hukum,
yang dalam bahasa teoritiknya disebut masalah legal gaps, terjadi dicelah selisih
kepahaman dan/atau keyakinan antara apa yang dikehendaki oleh para pengemban
kekuasaan negara (yang berobsesi pembangunan) agar dipatuhi dengan apa yang
masih diyakini dan dipatuhi dalam praktik, sebagai tradisi sehari-hari, oleh warga
masyarakat setempat. Legal gaps inilah yang menjadi dasar alasan utama para
penanggungjawab pembangunan untuk mengambil kebijakan dan tindakan guna
meniadakan (atau setidak-tidaknya mengurangi) gaps itu dengan cara mengupayakan
teralihnya kesetiaan warga masyarakat dari kesetiaannya mematuhi tradisi dan hukum
200
lokal kekesetiaannya yang baru untuk lebih mematuhi ketentuan-ketentuan hukum
nasional. Inilah kebijakan dan tindakan yang dalam bahasa sehari-hari amat dikenali
sebagai penyuluhan hukum.

Penyuluhan Hukum: Upaya Memasyarakatkan Hukum Nasional

Tak pelak, masalah yang dihadapi oleh pemerintah nasional manapun tak
terkecualinya juga yang di Indonesia dewasa ini akan amat berbeda denganpa yang
dihadapi oleh pendahulu-pendahulu mereka pada masa penjajahan, yang
sesungguhnya juga sama-sama berpaham dan bersemangatkan nasionalisme. Pada
jaman pemerintahan kolonial para yirus nasionalis pada umumnya berserempak
menjadi pengajur-penganjur dipertahankannya hukum rakyat untuk menghadapi
hukum yang dianut kaum penjajahnya. Di Indonesia tercatat bagaimana yuris-yuris
Bumiputera seperti misalnya Soepomo dan djojodigoeno bertahan pada hukum adat
untuk menolak hukum Eropa diberlakukan untuk orang-orang Bumiputera. Tetapi apa
yang terjadi kemudian di zaman pascakolonial? Mochtar Koesoemaatmadja,
misalnya, justru ingin mendayagunakan hukum nasional yang modern sebagai sarana
untuk mengubah dan merekayasa kehiupan masyarakat. Kebijakan (state) law as a
tool of social engineering seperti ini bertolak dari suatu kebijakan dasar yang justru
berbeda kalaupun takboleh disebut berlawanan dengan kebijakan yang dianut para
yuris nasionalis pada era kekuasaankolonial. Maka persoalan yang dialami dan
dihadapi oleh para yuris Napoleon tatkala melaksanakan unifikasi dan kodifikasi
hukum nasional Perancis. Yuris-yuris Napoleon ini tidak hendak mendayagunakan
hukum as a tool of social engineering melainkan Cuma hendak merekam dan
megegaskan (alias mempositifkan) saja apa yang tengah berlaku sebaai kaidah-kaidah
sosial yang riil dalam masyarakat.

Persialan yang dihadapi para yuris nasioal pasca-proklamasi, lebih-lebih pada
era pemerintahan Orde Baru yang memaklumkan diri sebagai Orde Pembangunan
yang dikenal otokratik dalamhal pendayagunaan hukum bersanksi (sebagai tool of
social engineering!) nyata kalau lebih mirip persoalan konflik hukum di Austria
sebagaimana telah pernah diamati dan dilaporkan oleh Eugen Ehrlich pada
pertengahan abad 19. Itulah kenyataan bahwa ada perbedaan besar antara hukum
resmi yang diterapkan di pengadilan-pengadilan negara dan hukum yang sekalipun
tak dianggap resmi namun amat diikuti oleh rakyat di daerah-daerah. Maka, persoalan
adanya selisih perbedaan demikian itu jelas kalau tak akan selesai manakala hukum
hendak diefektifkan dengan cuma mengandalkan kekuatan sanksi-sanksi formal yang
fisik semata. Persoalan seperti itu memerlukan penyelesaian berstrategi jangka
panjang: bukan mengutamakan pemaksaan dengan penerapan sanki-sanksi yang tegas,
melainkan mengutamakan usaha mensosialisasi hukum Baru (baca hukum negara
yang dipopulerkan dengan sebutan hukum nasional) melalui aktivitas-aktivitas
berencana yang disebut penyuluhan. Aktivitas seperti ini tentulah bertujuan tuggal,
ialah terbangkitnya kesadaran hukum yang baru; Penyuluhan-penyuluhan yang
dilakukan dewasa ini, tidak Cuma oleh aparat-aparat pemerintah saja, sudah
semestinya kalau dilakukan tidak Cuma dengan kesan hanya hendak mengkhabarkan
telah diundangkannya hukum-hukum baru kepada masyarakat, yang oleh sebab itu
harus ditaati Penyuluhan harus menjangkau tujuan-tujuan yang lebih dari itu.

201
Lebih dari itu, melalui penyuluhan haruslah bisa disosialisasikan kepada
khalayak bahwasanya kaidah-kaidah baru memang penting untuk diperhatikan agar
seseorang tidak mengalami kesulitan di tengah kehidupan baru yang tertib, yang
disebut kehidupan bernegara ini. Harus bisa ditunjukkan bahwa penyuluhan itu
dilaksanakan demi kepentingan masyarakat itu sendiri, dan tidak pertama-tama untuk
kepentingan pemerintah. Harus bisa ditunjukkan dengan contoh berbagai pengalaman
bahwa hukum negara itu kalaupun bisa saja diabaikan selama seseorang tak hendak
terlibat dengan atau ke dalam kehidupan bernegara akan segera diperlukan manakala
seseorang warga memelukan fasilitas bantuan dan jasa aparat pemerintahan negara.
Kewajiban yang diharuskan hukum negara agar setiap warga mencatatkan kelahiran
anak atau pernikahan yang dijalani, misalnya, bisa saja diabaikan untuk sementara.
Akan tetapi,begitu nanti sang anak sudah memerlukan sekolah, atau isteri
memerlukan pengakuan kesahan anak guna memperoleh (misalnya!) tunjangan,
mulailah timbul kesulitan apabila ketentuan kaidah hukum negara terlanjur diabaikan
selama ini. Maka sosialisasi hukum dalam bingkai semangat seperti itu bolehlah
disebut sebagai penyuluhan hukum untuk menyuluh atau menerangi masyarakat
bahwa ada hak-hak yang bisa diperoleh setiap warga masyarakat manakala ia nanti
terpaksa atau tidak terpaksa telah mulai harus memasuki kehidupan bernegara.

Sekalipun dalam pengembangan hukum nasional dewasa ini pemerintah
berposisi ofensif, ditunjang oleh struktur pemerintahan atau organisasi eksekutif yang
kuat, namun upaya-upaya untuk menyadarkan rakyat agas segera meresepssi hukum
negara (dan tidak terus bersikukuh secara konservatif pada keyakinan normatif atau
hukum lokalnya saja) tetap saja bukannya akan serta merta mudah. Merekayasa
masyarakat dan mengubah keyanikan serta perilaku sekelompok warga masyarakat
memang merupakan tugas berat dan berjangka panjang. Djojodigoeno yang pakar
hukum adat itupun sampai-sampai pernah berani menyatakan bahwa you cannot
change social condition by changging the law. Pada akhirnya semua upaya itu adalah
juga upaya menumbuhkan kesadaran bernegara dan kesetiaan baru, untuk tidaklagi
mengutamakan masyarakat-masyarakat suku setempat akan tetapi mengutamakan
masyarakat baru yang disebut masyarakat nasional dari Sabang sampai ke Merauke),
dari pulau Miangas sampai ke pulau Rote. Tetapi, yang menjadi pertanyaan,
mungkinkah itu?.

Rasa-rasanya tidak akan semudah itu karena nasionalisme dan kehidupan
nasional nyata sudah kalau pada masa peralihan millenium dewasa ini bukan lagi
segala-galanya! Bagaimana akan bisa dikatakan mudah manakala dalam praktik
akhirnya hukum nasional itu terbukti lebih banyak dan lebih sering membebani rakyat
dengan kewajiban-kewajiban daripada lebih menjamin mereka dengan hak-hak.
Bagaimana akan bisa dikatakan mudah kalau hukum nasional itu akan lebih
didayagunakan untuk mengeksploitasi daerah-daerah untuk kepentingan pusat
daripada termanfaatkan oleh warga-warga daerah untuk memperoleh jasa layanan dari
para punggawa pemerintah pusat yang nasional?



Hakekat Penyuluhan Hukum: Learning dan Dislearning
202
Penyuluhan pada hakekatnya adalah suatu proses learning dan dislearning.
Pada tahapan learning, orang harus belajar memahami norma-norma baru dan
sekaligus membangun kesadaran (hukum) yang baru; sedangkan pada tahapan
dislearning, orang harus berusaha melupakan norma-norma lama hasil ajaran yang
lalu dan sekaligus memadamkan api kesadarannya (kesadaran hukum) yang lama.
Dalam persoalan strategik, dalam kancah teoritik orang masih memperdebatkan
permasalahan, manakah sesungguhnya yang akan lebih efektif: Mendahulukan proses
learning ataukah mendahulukan proses dislearning? Adakah orang mesti mempelajari
ihwal yang baru dulu sebelum dapat memutuskan untuk melupakan yang lama,
ataukah orang itu mesti bersedia meninggalkan dan melupakan yang lama dulu
sebelum bisa memulai mempelajari yang baru.
Dalam praktik penyuluhan hukum, permasalahan teoritik sebagaimana
terpapar di muka ini rupanya tak pernah dihiraukan. Pada umumnya para penyuluh
secara serta merta saja melaksanakan proses penyuluhan sebagai proses learning,
tanpa memikirkan kenyataan bahwa di dalam proses ini para subyek yang disuluh itu
harus entah selang beberapa lama kemudian, entah pada saat itu juga -- harus
menjalani proses dislearning. Patut diketahui bahwa karena dalam persoalan hukum
dan penyuluhan hukum ini yang tengah diperbincangkan sepanjang proses bukanlah
sebatas persoalan teknis yang berada di ranah kognisi melainkan persoalan budaya
(hukum) dan tradisi yang berada di ranah afeksi, maka sesunguhnya yang paling
berkendala dalam proses penyuluhan ini adalah proses dislearningnya itu. Sekalipun
demikian, justru pada sisi atau tahapan dislearning inilah para subyek yang disuluh itu
kurang terbantu. Tak urung, sekalipun sudah memperoleh penyuluhan dan demikian
juga informasi baru tentang apa yang dalam kehidupan nasional akan diakui sebagai
hak dan dibebankan sebagai kewajiban para subyek yang disuluh itu tetap saja
mengukuhi kaidah-kaidah dan tradisi -- tradisi lokal itu, setidaknya guna difungsikan
sebagai referensi normatif dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam keadaan demikian, selama orang masih bisa menyadari adanya ranah
kehidupan yang ganda dan berbeda di negeri ini(yang masing-masing memiliki
tatanan dan tertib normatifnya sendiri), ialah antara apa yang harus diidentifikasi
sebagai kehidupan bermasyarakat lokal di lain pihak, maka selama itu pulalah proses
learning sebagai bagian dari proses penyuluhan yang tanpa dibarengi dengan proses
dislearningnya tidaklah akan banyak bermasalah. Persoalan baru akan timbul
manakala orang merancukan kedua ranah kehidupan itu, dan/atau sulit
mengidentifikasi suatu nuansa kehidupan (apakah terbilang nasional dan relevan
dengan ihwal ketatanegaraan dan/atau tata pemerintahan, ataukah lebih terbilang
urusan kemasyarakatan yang lokal dan etnik). Maka di sini akan terjadi konflik dalam
soal memilih rujukan normatif, mana gerangan yang akan dipakai; apakah ketentuan-
ketentuan perundang-undangan nasional itu yang akan dipakai, ataukah postulat-
postulat normatif tradisi itu saja yang akan dipakai.
Dalam situasi konflik seperti itu, sesungguhnya tak hanya pertimbangan-
pertimbangan yang pragmatik-rasional saja yang akan menentukan pilihan. Tak
jarang-jarangnya dan tak kurang-kurangnya pilihan itu akan banyak pula ditentukan
oleh kecenderungan dan intensitas afeksi sang subyek. Selama kehidupan akrab
dilingkungan komunitas-komunitas lokal etnik masih lebih dirasakan sebagai
kehidupan yang penuh pengalaman afektif dan secara psikologik menerbitkan rasa
aman dan rasa tersapa, maka selama itu pula ketentuan-ketentuan hukum nasional
yang disuluhkan melalui forum-forum yangs ering terlalu formal tak akan
203
didahulukan untuk dipilih. Permasalahannya menjadi lebih serius manakala yang
disangka dalam nuansa itu sebenarnya nyata-nyata kalau tergolong bersangkutan
erat dengan kepentingan nasional. Dapat dibayangkan apa jadinya apabila kehidupan
yang relevan dengan urusan dan kepentingan nasional akan direspon secara reaktif
ataupun secara proaktif -- dengan prilaku yang tidak pertama-tama merujuk ke
ketentuan perundang-undangan nasional melainkan ke tradisi-tradisi lokal yang
selama ini dikenali sebagai bagian dari budaya etnik stempat.
Maka, tak ayal lagi, menyadari kemungkinan terjadinya permasalahan seperti
yang dibentangkan di muka ini, penyuluhan yang hanya akan menekankan proses
learning tanpa memberikan perhatian yang khusus kepada perlunya langkah
menggarap aspek dislearningnya akan benar-benar berbuntut masalah. Namun
demikian, itu tidaklah kemudian serta merta berarti bahwa proses dislearningnya
seyogyanya dituntaskan setuntas-tuntasnya sehingga para subyek benar-benar secara
total dislearned dari budaya tradisinya yang setempat. Sekalipun menyuluh dalam
artinya sebagai pelaksanaan proses learningyang berefek menasionalisasi budaya
hukum masyarakat setempat itu boleh juga diakui dan dipuji sebagai proses
emanispasi yang akan membebaskan jutaan warga dari rengkuhan tradisi yang acap
terlalu amat protektif (namun juga konservatif!), yang demikian juga akan
menyebabkan para warga itu tertatar dengan kemampuan untuk tidak ketinggalan
memasuki kehidupan yang tak lagi berskala sempit dalam suasana nonurban, akan
tetapi proses dislearning itu sesungguhnya merupakan proses perampasan dan
pengingkaran potensi-potensi lokal. Dalam keadaan dislearned, banyak subyek dalam
kehidupan lokal akan kehilangan kemampuan dan keberdayaannya untuk menata dan
menjaga ketertiban masyarakatnya sendiri secara otonom, yang pada akhirnya akan
memberatkan beban kerja para pejabat nasional di pusat-pusat pemerintahan.
Apabila dalam pelaksanaan penyuluhan dalam rangka menupayakan
terbangunnya budaya hukum yang baru proses dislearning itu harus juga
dikerjakan seiring dengan proses learning itu sendiri, maka yang harus diingat oleh
para penyuluh itu adalah to dislearn rujukan-rujukan lama manakala para subyek
menyadari bahwa urusan hukumnya sudah berada di ranah yang bernuansa yurisdiksi
nasional. Dalam urusan-urusan yang secara nyata-nyata melibatkan tindakan-tindakan
pemerintahan oleh fungsionaris yang berkewenangan dalam aparat pemerintahan,
setiap subyek harus mengutamakan rujukan-rujukan normatifnya yang lama, dan
harus segera tahu setelah tahu berkat program penyuluhan -- untuk menggantikan
rujukan-rujukan normatif yang sebunyi dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Maka di sini penyuluhan hukum itu tak cuma harus mentransfer pengetahuan
tentang hukum apa yang berlaku, in vacuo, melainkan juga mengabarkan informasi
yang benar tentang bila serta di mana hukum (nasional) itu harus diakui berlakunya,
dan bila serta di mana pula adat dan tradisi masyarakat itu yang boleh diakui berlaku.
Nyata dari uraian-uraian di muka bahwasanya kerja penyuluhan hukum itu tak
cuma mensyaratkan penguasaan sang penyuluh dalam ihwal substansi hukum
nasionalyang akan disampaikan sebagai pesan lewat komunikasinyaitu saja.
Penguasaan ilmu psikologi dan sosial budaya guna mengafektifkan proses transfer
oleh para penyuluh itu sendiri jelas kalau amat diperlukan pula. Maka dari itu, sudah
waktunya dipikirkan apakah penyuluhan hukum itu tak seyogyanya dikerjakan dengan
melibatkan pula para ahli di bidang psikologi, ilmu komunikasi dan antropologi dan
tak semata-mata merupakan garapan eksklusif para ahli hukum dan mereka yang
berkhidmat di Departemen Kehakiman saja.
204


Kesadaran Hukum sebagai Determinan Tegaknya Hukum

Ketaatan pada perintah hukum, dan dengan demikian juga tegaknya hukum
yang dipositifkan oleh kekuasaan negara telah banyak diketahui dan diakui bahwa
tidak selamanya dapat dipastikan hanya berdasarkan kekuatan sanksi-sanksinya saja.
Kesediaan warga untuk secara tanpa dipaksa-paksa mau menaati hukum ternyata juga
merupakan suatu prasyarat. Tanpa bangkitnya kesediaan untuk secara suka dan rela
mengikuti apa yang diperintahkan atau dilarang oleh hukum tidaklah akan ada sanksi
sekeras apapun bisa mengontrol sepenuhnya perilaku subjek. Selalu saja ada celah
dan kesempatan, sekecil apapun, yang akan dicoba dimanfaatkan oleh seseorang
subjek untuk menghindarkan diri (dengan segala risiko yang diperhitungkannya) dari
kontrol hukum. Kesediaan menaati hukum itu sememangnya ikut pula menjadi
determinan berlakunya hukum secara sosiologik, yang kemudian menjadi pertanyaan
ialah: apa atau apa sajakah kemudian yang akan menentukan terbangkit-tidaknya
kesediaan seseorang untuk menaati hukum itu?
Menurut teorinya, ada-tidaknya kesediaan seseorang subjek untuk menaati
hukum itu ditentukan oleh kesadarannya, ialah apa yang di dalam kepustakaan
sosiologi hukum disebut kesadaran hukum. Adapun yang dimaksudkan dengan
kesadaran hukum disini ini ialah kondisi mental seseorang subjek tatkala harus
menghadapi suatu imperativa normatif untuk menentukan pilihan perilakunya, yang
lengkapnya berdimensi dua. Dimensi yang pertama adalah dimensi kognitifnya, ialah
pengetahuannya bahwa sememangnya dan hukum yang mengatur perilaku tertentu
yang tengah ia lakukan (entah melarang, entah memerintahkan dilakukannya).
Sementara itu yang disebut sebagai dimensinya yang kedua ialah dimensi afektifnya,
ialah keinsyafannya bahwa hukum yang diketahuinya itu memang sebenar-benarnya
harus diturut.


Sesungguhnya istilah kesadaran hukum disini semula adalah hasil
penerjemahan dari asal istilah asingnya, ialah the legal awareness yang di dalam
kepustakaan Inggris acapkali kata aware ini lebih diasosiasikan dengan kata knowing
atau get to know, yang dengan demikian hanya merujuk ke dimensinya yang kognitif
saja. Barangkali inilah yang menjadi penyebab mengapa di dalam agenda penelitian
tentang kesadaran hukum ini banyak kajian terkesan lebih berfokus kepada
permasalahan legal knowledge saja, ialah suatu seri penelitian yang disebut penelitian
KOL (Knowledge On Law), atau yang akhir-akhir ini juga dikenal sebagai kajian
khusus yang dinamakan LLS (legal literacy study). Kajian-kajian termaksud ini acap
boleh disesalkan karena keduanya terkesan tidak banyak memerbincangkan aspek
afektif sang pelaku hukum. Padahal di dalam kamus istilah Inggris, kata aware atau
becoming aware ini bisa pula diartikan conscious yang kemudin daripada itu lalu juga
bersinonim dengan katathoughtful atau mindful. Istilah-istilah tersebut pada galibnya
digunakan untuk menggambarkan adanya kondisi mental yang tending towards
appreciation, yang sesungguhnya harus dikatakan berada diranah afektif. Bahwa
istilah aware di dalam bahasa Inggris ini pun tidak boleh diartikan hanya terbatas
pada masalah kognitif saja dapatlah kiranya lebih dijelaskan manakala kata
substansiva awareness itu bersinonim juga dengan kata consciousness yang di dalam
205
bahasa Indoensia acap pula diterjemahkan dengan kata kesadaran, dalam artinya
yang sangat afektif sebagai keniscayaan.

Penegasan mengenai arti kesadaran atau awareness yang sampai perlu
dibentang-bentangkan agak panjang lebar ini bukannya tanpa maksud. Kalau
kesadaran itu Cuma dibataskan pada permasalahan kognitif saja, maka
konsekuensinya ialah, bahwa ketaatan yang akan dibangkitkan dari kesadaran
semacam itu akan tak lebih daripada kesediaan subjek untuk to comply atau to
conform saja. Ialah untuk menyesuaikan perilakunya secara formal, atau dalam
wujudnya yang lahirirah saja, kepada apa yang telah dikaidahkan, lain halnya apabila
definisi kesadaran itu dituntaskan sampai meliputi aspeknya yang afektif. Ketaatan
yang timbul secara asosiatif dengan kesadaran yang berpangkal dari afeksi sang
subjek seperti itu akan melahirkan kesediaan untuk taat yang labih lanjut dari pada
sekedar to comply atau to conform tersebut. Ialah suatu kesediaan untuk taat atas dasar
adanya kemantapan hati utnuk mematuhi apa yang telah diperintahkan oleh hukum.
Inilah yang di dalam bahasa Inggris disebut to obey.


Membangun Kesadaran Hukum

Kesadaran (dalam arti yang sempit: menjadi tahu) itu terjadi karena proses
pengkhabaran, pemberitahuan, dan pengajaran. Lewat proses-proses ini orang menjadi
tahu isi normatif yang terkandung di dalam kaidah-kaidah hukum, dan sehubungan
dengan itu ia akan segera menyesuaikan segala perilakunya ke tuntutan-tuntutan
kaidah. Proses pengkhabaran dan pengajaran secamam ini acapkali berlanjut dalam
rupa proses pendidikan, ialah proses pembangkitan rasa patuh dan setia. Pendidikan
tidak hanya hendak menanamkan pengetahuan baru (kognis) saja, akan tetapi juga
hendak menggugah perasaan (afeksi) dan membentuk sikap positif. Adalah harapan
bahwa lewat proses lenjutan ini akan dapat dibangkitkan rasa taat yang ikhlas warga
masyarakat kepada hukum. Adalah pula harapan bahwa apabila kepatuhan yang ikhlas
ini dapat terwujud maka hukum pun akan dapat bekerja dengan efektif tanpa perlu
memboros-boroskan kerja menerapkan sanksi, yang di dalam berbagai
pelaksanaannya ternyata acapkali berbiaya sungguh mahal.

Adalah dambaan setiap pejabat pemerintah di negeri manapun, bahwasanya
hukum itu selalu dapat dididikan smapai tertanam dalam-dalam di dalam lubuk afeksi
warga masyarakat. Kalau hukum itu hanya sekedar diketahui saja (dalam arti baru
menyentuh permukaan kognisi manusia saja), kemungkinan akan terjadi bahwa orang
dengan berbagai usaha, dalih, dan muslihat masih berkehendak saja untuk melanggar
atau menyimpangi hukum itu. Maka, apabila itu yang masih banyak terjadi, tak ayal
tegaknya hukumpun lalu harus selalu banyak menggerakkan mekanisme sanksi,
sedangkan semua mengetahui bahwa sanksi itu karena bekerja sebagai kekuatan lahir
yang harus bekerja mengontrol perilaku manusia dari luar kemampuannya sungguh
terbatas lagi pula pada akhirnya berbiaya tinggi. Pada akhirnya upaya mendidik dan
mengajarkan isi substantif dan prosedur bekerjanya hukum merupakan upaya yang
mau takmau harus dilakukan.

206
Proses pengajaran dan pendidikan kaidah-kaidah sosial disebut dalam jargon
sosiologi dengan istilah sosialisasi. Disebut begitu karena proses demikian itu
dipercaya akan dapat mentransformasi seseorang individu dari seorang makhluk non
sosial (atau mungkin malah anti-sosial) menajdi makhluk sosial yang mau tahu
memperhatikan kepentingan orang lain. Proses sosialisasi anak manusia bermula di
rumahtangga-rumahtangga, ialah semasa individu-individu masih berada dalam
keadaan bocah mentah, dan akan berlanjut di sekolah-sekolah dan/atau ditengah
pergaulan masyarakat luar pada umumnya. Harap dicatat baik-baik bahwa karena
bayi-bayi itu keluarga-keluarga selalu berkesempatan mendahulu. Sebelum lembaga-
lembaga lain mengontrol pendidikan anak, keluarga-keluarga telah beranjak paling
awal untuk menggarap anak-anak manusia itu. Lalu apakah yang disosialisasikan oleh
keluarga-keluarga untuk anak-anaknya itu? Apakah kaidah-kaidah hukum-hukum
yang dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintahan? Ternyata bukan! Keluarga-
keluarga tidak mensosialisasikan produk-produk legislatif, peraturan-peratturan
eksekutif, ataupun keputusan-keputusan yudisial: mengkhabarkan kaidah-kaidah
itupun tidak.

Yang pertama-tama disosialisasikan oleh keluarga-keluarga tentulah kaidah-
kaidah yang dilazimkan oleh masyarakat setempat untuk melancarkan pergaulan di
dalam keluarga diantara anggota keluarga sendiri. Anak-anak dididik untuk mematuhi
kewajiban-kewajiban terhadap ibu, bapak, saudara-saudara, anggota keluarga yang
lain. Sementara itu iapundididik untuk memahami dan menerima perlakuan-perlakuan
yang dapat ia harapkan (atau dak dapat ia harapkan) dari ibu, bapak, dan saudara-
saudaranya serta orang-orang lain, tua-muda dilingkungan kehidupannya. Tidak
hanya itu, karena terhadap bapaknya dan terhadap saudara-saudaranya, vise versa.
Sementara itu, karena pergaulan keluarga ini dikembangkan dalam suasana yang
banyak mendemonstrasikan cinta dan kasih sayang, atau mungkin saja cetusan-
cetusanemosi lain yang justru tidak merefleksikan rasa kasih sayang, maka tak pelak
kaidah-kaidah itu tersosialisasi dengan muatan afeksi danemosi yang terkadang amat
sarat, denga segala efeknya. Dalam jangka pendek ataupun dalam jangka panjang.

Berikutnya, anak-anak itu akan disosialisasi pula dengan kaidah-kaidah yang
akan ia perlukan untuk melancarkan pergaulan antar-tetangg dalam komunitasnya.
Bertambah dewasa ia harus secara berangsur mematuhi kaidah-kaidah pergaulan
antara keluarga-keluarga sekomunitas. Moral pergaulan, adat setempat, dan
keyakinan-keyanikan masyarakat disekitarnya akan tersosialisasi secara intensif dari
hari ke hari lewat pertemuan-pertemuan tatap muka, sekalipun banyak diantaranya
yang bersifat informal, di dalam keluarga maupun diluar keluarga (antar-warga
sekomunitas). Nyata dari paparan di muka ini bahwa kesempatan untuk memahami isi
kaidah-kaidah hukum negara ialah hukum hasil produk legislatif baru datang
kemudian manakala anak-anak sudah mulai berumur, atau umumnya setelah mereka
menjelang dewasa. Sementara itu,pada kesempatan yang amat lebih kemudian itupun
kaidah-kaidah itu hanya dikomunikasikan pada taraf pengkhabaran saja, dan jarang
sempat dididikkan secara intensif kepada warga masyarakat.

Maka oleh karena kenyataan-kenyataan seprti itulah kerja sosialisasi hukum
produk badan legislatif akan tetap saja sulit memperoleh hasil-hasilnya yang
maksimum maupun optimum. Sekalipun sosialisasi hukum ini toh bisa juga pada
207
suatu waktu pada suatu kesempatan diusahakan intensitasnya lewat pendidikan yang
terencana, menurut jalur formal ataupun yang nonformal, proses internalisasinya
masih harus berebut ruang denga kaidah-kaidah sosial yang sudah terlebih dahulu
bermukin di ranah kognisi dan afeksi di dalam sanubari warga masyarakat. Bukankah
ruang kognisi dan ruang afeksi para warga sudah terlanjur terlebih dahulu diduduki
secara hegemonik oleh kaidah-kaidah moral keluarga, adat masyarakat setempat, dan
keyakinan-keyakinan yang dikembangkan oleh komunitas-komunitas lokal? Tak ayal,
berhal demikian, hukumpun disosialisasikan keluarga dan komunitas-komunitas lokal.
Dari kenyataan inilah datangnya upaya terprogram oleh para elit nasional untuk
mendayagunakan saja tokoh-tokoh lokal dalam berbagai kerja mengikomunikasikan
hukum-hukum formal dengan sekalian mencarikan legitimasinya yang harus
diambilkan dari kaidah-kaidah sosil lokal yang ada, yang adat ataupun yang ayat demi
terealisasinya signifikansi sosial atas kaidah-kaidah hukum nasional yang telah
diundangkan.


J adi, masalah peningkatan hukum para warga masyarakat adalah masalah
modernisasi. Ketika kehidupan rakyat berkembang dan dikembangkan dari kehidupan
komunitas-komunitas lokal (yang berakar ke-dalam tradisi suku) ke kehidupan
bernegara (yang serba modern, rasional, dan beruanglingkup nasional) masalah
kesadaran hukum tanpa terelakkan lagi muncul ke depan untuk menuntut
penyelesaian. Mengapa masalah kesadaran hukum baru muncul di tengah proses
modernisasi negara-negara nasional, dan tidak sedikitpun dikenal di tengah kehidupan
komuniats-komunitas tradisional yang bergatra kecil serta tatap muka? Apakah
sesungguhnya yang dimaksud kesadaran hukum dalam hubungannya dengan
pembicaraan di sini ini?
Kesadaran hukum adalah seluruh kompleks kesediaan warga masyarakat
untuk berprilaku sesuai dengan keharusan yang telah ditetapkan oleh hukum. Karena
di dalam masyarakat tradisional itu ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku
setempat itu tumbuh dari bawah dan bertumpu pada keyakinan moral rakyat, maka
kesdaran hukum rakyat hampir selalu mengarah pula kepada kesadaran moral.
Prilaku-prilaku yang sesuai dengan kesadaran hukum tidak jarang menampak
sekaligus sebagai prilaku-prilaku yang berkesesuaian dengan keharusan moral rakyat.
Bahkan kaidah-kaidah sosial yang dikategorikan sebagai kaidah hukum sering pula
hanya mungkin dibedakan dengan kaidah sosial non-hukum atas dasar kriteria
lembaga penegaknya saja, dan tidak atas dasar kriteria substantifnya. Artinya, bahwa
sesegera setelah suatu kaidah sosial non-hukum dirumuskan dan digunakan secara
eksplisit oleh sesuatu organisasi kekuasaan setempat untuk mengkaidahi prilaku
tertentu (baik in abstracto untuk prilaku-prilaku sosial pada umumnya, maupun in
concreto untuk prilaku sosial individu tertentu) barulah sesegera itu pula kaidah-
kaidah sosial tersebut memiliki pemilahan kategoriknya sebagai kaidah umum.
Keadaan rupanya segera berubah apabila hukum itu tak lagi seluruhnya
tumbuh dan/atau diangkat dari bawah. Tumbuhnya negara-negara nasional yang
modern --khususnya yang dibebani tanggungjawab pembaharuan dan pengembangan
kehidupan rakyat yang sebagian besar masih berakar pada bumi tradisional lokal--
telah mendorong lahir dan berkembangnya jenis hukum yang lain, ialah hukum
perundang-undangan, yang pertama-tama tak bermaksud hendak merefleksikan cita
moral masyarakat lokal melainkan hendak memanifestasikan kehendak negara yang
208
tengah mencita-citakan pembaharuan. Perlu kita maklumi bahwa cita pembaharuan itu
tidak selamanya bersesuaian dengan cita moral (yang tradisional maupun yang tak
tradisonal) yang hidup di tengah masyarakat. Maka, apabila demikian halnya, hukum
--atau tepatnya sebagian dari hukum, ialah hukum negara yang bermaksud meng-
engineer masyarakat itu akan sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi
rakyat, atau salah-salah malahan bisa berkonflik dengannya. Pada taraf dan situasi
seperti ini, kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu sama
dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat.
Hukum yang dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-
negara nasional pun karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak
selamanya dapat dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada
selama ini. Hukum-hukum ekonomi, lalu lintas, dan tata kota yang mendasarkan diri
pada maksud-maksud pragmatik, misalnya, jelaslah kalau terlepas dari sandaran moral
tradisional. Akan gantinya, hukum-hukum seperti ini harus bertumpu pada kesadaran
moral baru yang berkait erat pada cita bernegara dan pada kehendak bersama untuk
menegakkan disiplin nasional.
Hal kedua yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan permasalahan
kesadaran hukum ini ialah kenyataan bahwa kehendak negara yang
memanifestasikan diri ke dalam hukum (nasional) itu pun bukanlah sesuatu kehendak
yang selalu terpadu bulat. Kehendak negara ini tidak hanya sulit untuk melulu
bertumpu pada dasar-dasar moral masyarakat (yang kini tak lagi monolitik, akan
tetapi pluralistik dan anomi itu) akan tetapi juga sulit untuk merefleksikan suatu
kehendak yang berasal dari kata sepakat yang berkemufakatan bulat. Masyarakat
nasional adalah masyarakat yang besar dan heterogen, yang oleh karena itu pula selalu
mengandung konflik-konflik nilai (potensial, laten, maupun terbuka). Oleh karena itu,
apa yang disebut kehendak negara itu --baik yang dimanifestasikan ke dalam bentuk
keputusan-keputusan legislatif maupun yang dimanifestasikan ke dalam bentuk
keputusan-keputusan eksekutif-- selalu terbentuk melalui suatu proses politik yang
seringkali panjang dan penuh liku-liku. Kehendak negara adalah suatu resultante
kompromistis antara kekuatan-kekuatan politik yang berbenturan. Sementara itu,
realisasi pelaksanaannya oleh berbagai organisasi eksekutif dan yudisiil pun masih
tetap saja terbuka dari tekanan-tekanan politik yang memihak.
Maka, apabila memang demikian hal dan keadannya, hukum negara-negara
nasional yang modern itu per definitionem tidaklah akan pernah secara bulat didukung
oleh dan, seperti kita telah ketahui di muka, juga tak akan pernah secara penuh
bertumpu pada dasar-dasar moral rakyat yang tinggal ditengah masyarakat-
masyarakat lokal lagi pula tradisional. Tidaklah mengherankan apabila hukum
nasional yang dikonsepsikans sebagai manifestasi kehendak negara itu selalu tanpa
putus menghadapi maslah ketaatan. Masalah yang timbul adalah masalah untuk
menumbuhkan serta meningkatkan kewibawaan hukum nasional itu agar ditaati atau
lebih ditaati oleh para warga masyarakat itu sebenar-benarnya sadar bahwa moral
yang diyakini olehnya secara pribadi itu tidak sepenuhnya menjiwai hukum nasional
yang tengah dihadapinya itu, dan sekalipun para warga ini juga sadar bahwa hukum
yang tengah dihadapi olehnya itu adalah suatu produk proses politik yang sebagai ide
(bukan sebagai hukum positif) tidak didukungnya. Itulah maslahnya! Dan
bagaimanakah kira-kira langkah pemecahannya?
209

Ketaatan pada Hukum

Ketaatan sesungguhnya ada dua: Ketaatan lahirian dan ketaatan yang meresap
sampai batin. Ketaatan kepada hukum bolehlah dikatakan (minimal) sebagai ketaatan
yang lahiriah, sekalipun tentunya akan memuaskan sekali apabila ketaatan itu juga
dilandasi oleh ketaatan dasar yang benar-benar bersifat batiniah. Namun, karena
hukum nasional masyarakat-masyarakat modern adalah hukum yang tidak bertumpu
secara penuh pada moral lokal melainkan pada cita nasional (sekalipun antara
keduanya tidak selalu terjadi pertentangan secara diametrikal), maka ketaatan
kepadanya yang diusahakan di sini agak sulitlah kalau dimaksudkan untuk menuju ke
titik ketaatan yang penuh-penuh sebagai ketaatan batiniah.
Karena ketaatan yang (minimal) dituntut adanya ketaatan lahiriah, maka tak
terelakkan lagi kalau usaha untuk menjamin ketaatan hukum itu selalu didahului oleh
usaha mengembangkan organisasi penegakkan hukum yang tak hanya bersifat
institusional akan tetapi juga formal. Penegakkan hukum nasional --dan barangkali
agak berbeda dengan strategi penegakkan hukum rakyat yang tak tertulis dan yang
tumbuh serta bertumpu pada keyakinan moral masyarakat tradisional setempat--
sangat nyata kalau pertama-tama lebih dekat pada usaha-usaha yang bersifat koersif
daripada pada usaha-usaha yang bernafaskan himbauan. Tidak dapat mengandaikan
diri kepada ketaatan yang rela dari warga masyarakat yang karena heterogenitasnya
mungkin mempunyai keyakinan moral, cita-politik, dan kepentingan ekonomik yang
berbeda-beda, hukum nasional yang memanifestasikan kehendak negara ini mau tak
mau harus mengandalkan diri pada hasil daya upaya organ penegak hukum yang
berkedudukan formal. Memang tidak akan mungkin disangkal kalau dikatakan bahwa
penegakkan hukum atas dasar saran koersif fisik semata-mata (untuk menjamin
ketaatan lahiriah) itu tidak akan menjamin ketaatan yang penuh dan mantap dalam
suatu jangka waktu yang panjang. Akan tetapi ini pun tidak akan berarti pula bahwa
penegakkan hukum nasional --produk organisasi politik yang modern itu-- dapat pula
dilakukan secara alih-alih atas dasar rasionalisasi dan persuasi semata-mata. J auhlah
dari itu!
Bagaimanapun juga, ketaatan kepada hukum diperlukan sebagai suatu
keharusan yang sangat mendesak demi tegaknya ketertiban sosial, sehingga di dalam
jangka waktu yang pendek adanya ketaatan lahiriah saja sudahlah dirasakan memadai.
Ketaatan batiniah kepada hukum memang diperlukan juga, akan tetapi untuk
keperluan jangka panjang, dan selalu diusahakan sebagai upaya penambah (bukan
upaya pengganti) dalam kerangka usaha penegakkan hukum.

Mengembangkan Kesadaran Hukum Warga Masyarakat


Ketaatan lahiriah kepada hukum dapat dijamin untuk kepentingan jangka
pendek melalui usaha penerapan sanksi yang sepadan dengan berat ringannya
kerugian (yang tak selalu harus diartikan kerugian materiil) akibat ketidaktaatan. Dan
upaya ini akan lebif efektif lagi apabila pengenaan sanksi itu dapat berlangsung
dengan segera; artinya bahwa jarak waktu antara saat pelanggaran dan saat pengenaan
sanksi tidaklah terpisah oleh suatu tenggang waktu yang terlampau lama. Upaya
begini tentu saja memerlukan kesempurnaan organisasi aparat penegakkan hukum,
210
demikian rupa sehingga organisasi ini akan dapat bekerja dengan koordinasi yang
baik serta efisien. Karena di dalam jangka panjang hukum itu tidak akan mungkin
tegak apabila mendasarkan diri kepada keampuhan sanksi koersif itu saja (yang
psychological cost serta economical cost-nya ternyata juga tidak dapat dikatakan
rendah), maka hukum negara pun harus ditegakkan melalui usaha menanamkan dan
seterusnya meningkatkan kesadaran hukum di dalam sanubari masyarakat.
Kesadaran hukum akan memotivasi warga masyarakat untuk secara sukarela
menyesuaikan segala prilakunya kepada ketentuan-ketentuan hukum perundang-
undangan negara yang berlaku. Timbulnya kesadaran hukum di dalam sanubari rakyat
selalu dipandang penting guna penegakkan hukum dalam jangka panjang. Lebih jauh
lagi dari pendayagunaan sanksi yang bersifat fisik-koersif, yang apabila segala
persyaratannya terpenuhi hanya akan menghasilkan konformitas lahir sesaat saja,
(itu pun terbatas pada individu-individu tertentu yang terkena, atau pada mereka yang
psikologiknya menyebabkan mereka mudah was-was dan mudah cemas ketakuatan),
penanaman kesadaran hukum akan mengarah ke suatu konformitas prilaku yang
bertahan lebih lama daripada sekedar sesaat. Apabila upaya penggarapan mekanisme
sanksi pada hakekatnya merupakan upaya pengembangan mekanisme kontrole atas
prilaku rakyat yang akan bekerja dari luar, upaya penanaman kesadaran pada
hakekatnya merupakan upaya untuk mengembangkan mekanisme kontrol perilaku
yang akan tumbuh serta bekerja di/dari dalam. Akan ganti mengandalkan suatu
meknanisme social control yang bekerja skin-out, penegakkan hukum melalui suatu
usaha penanaman kesdaran akan cenderung mengandalkan diri pada suatu mekanisme
self-control (yang tentu saja dikerjakan oleh para individu warga masyarakat itu
sendiri) yang jelas kalau bersifat skin-in.
Usaha menanamkan kesadaran hukum di sanubari rakyat itu tentu saja tidak
selamanya berlangsung mudah. Suatu kenyataan harus diingat dan dipertimbangkan,
ialah bahwa hukum negara itu karena tidak sepenuhnya tumbuh dari bawah
melainkan diundangkan dari atas tidak akan begitu saja diintegrasikan ke dalam
sistem noetik masyarakat. Tambahan pula, usaha penanaman kesadaran itu mau tak
mau akan merupakan suatu usaha yang beruanglingkup luas, jauh lebih luas dari
sekedar usaha penegakkan hukum melalui pendayagunaan sarana sanksi koersif. Di
sini, sekian banyak lembaga dan aparat akan terlibat, dan sekian banyak pranata harus
ikut dikerahkan dan digiatkan.
Berdasarkan macam prilaku ketaatan yang dituju sebagai sasaran, usaha
penanaman kesadaran hukum itu sebenarnya dapat dibedakan menjadi. Yang pertama
adalah usaha menanamkan kesadaran hukum dengan tujuan untuk mengefekkan
ketaatan hukum secara lahiriah saja, dan yang kedua adalah usaha menanamkan
kesadaran hukum dengan tujuan unrtuk mengefekkan ketaatan hukum secara batiniah
(juga!). Menunjuk kembali uraian dan pernyataan di atas, dapatlah diketahui dengan
jelas bahwa ketaatan lahir kepada hukum itu sesungguhnya kecuali diakibatkan oleh
usaha-usaha koersif yang eksternal dapat pula diefekkan (secara relatif lebih
permanen) oleh usaha penanaman kesadaran hukum. Konformitas lahiriah akibat
paksaan sanksi koersif yang eksternal itu ekstrimnya tentu saja akan beriring dengan
perubahan kondisi psikologik apapun di dalam diri individu warga masyarakat yang
bersangkutan. Konformitas macam ini lazim disebut konformitas eksternal begitu
saja, dan sedikitpun tak hendak menggambarkan adanya ketaatan yang disadari.
Dalam hal konformitas itu diiringi oleh suatu kehendak yang sadar untuk taat, setidak-
tidaknya untuk taat di dalam perbuatan-perbuatan yang lahir dan dapat diamati ini,
211
maka dalam kejadian seperti ini barulah orang dapat mengatakan bahwa konformitas
yang ada itu bukanlah konformitas sekedar konformitas melainkan suatu
konformitas lahir yang terlahir dari suatu rasa ketaatan. Yang ada bukanlah lagi
konformitas tindakan yang sepenuhnya eksternal, melainkan sesuatu prilaku bermotif
yang di dalam bahasa asing disebut compliance.
Ketaatan yang disadari ini, seperti apa yang telah kita ketahui dari pernyataan-
pernyataan tersebut pada beberapa alinea di atas, dapat menjorok lebih jauh lagi
sampai ke titik ketaatan yang bersifat batiniah. Di sini sesungguhnya orang tidak
hanya akan mengusahakan konformitas perilaku lahirnya dengan ketentuan-ketentuan
hukum positif yang ada, melainkan juga telah tiba pada suatu titik konformitas yang
mempertemukan keyakinan pribadinya dengan moral atau nilai dasar yang menjiwai
isi hukum yang berlaku. Dalam situasi yang demikian ini, orang tidak lagi dapat
dikatakan hanya berada di dalam situasi compliance dengan hukum, akan tetapi
(lebih jauh lagi!) benar-benar telah berada di dalam situasi obidience. Tak usaha
dikatakan lagi bahwa hukum itu (nasionalis ataupun tradisional)hanya akan dapat
tegak dengan kukuh apabila ia tidak hanya sekedar dijamin oleh suatu konformitas
eksternal yang bersifat sesaat, melainkan juga oleh suatu compliance yang baik,
atau lebih-lebih lagi oleh suatu sikap dan prilaku obedience yang benar-benar tulus.
Tak pelak, kecuali mengandalkan diri pada hasil kerja aparat-aparat penerap sanksi
koersif untuk keperluan sesaat yang mendesak, usaha-usaha penegakkan hukum juga
berkembang dan bergerak ke arah usaha-usaha penanaman kesadaran hukum di
kalangan rakyat guna memperoleh obedience yang tinggi , atau setidak-tidaknya
memperoleh compliance yang cukup.
Usaha merealisasi obedience rakyat yang baru saja terlepas dari suasana
tradisonal dan parokhial kepada hukum nasional yang baru saja ditumbuhkan oleh
suatu welfare state bukanlah sekali-kali merupakan suatu usaha yang gampang.
Usaha demikian ini adalah suatu usaha yang mungkin agak terlampau ideal. Namun,
apabila usaha demikian ini toh berhasil juga, suatu perubahan pada konstelasi
keyakinan serta sikap warga massyarakat akan terjadi. Sikap warga masyarakat akan
berubah dari kesetiaannya kepada moral tradisonal, atau kepada keyakinan serta
kepentingan segolongan, ke suatu kesetiaan baru yang tertuju kepada cita-cita
pembaharuan sebagaimana yang telah diobyektifkan sebagai cita-cita nasional. Usaha
pengubahan sikap demikian ini pada hakekatnya adalah suatu usaha pembudayaan di
dalam artinya yang luas, dan jelas akan bersifat lebih jauh daripada sekedar suatu
usaha mengumumkan berlakunya sesuatu hukum perundang-undangan tertentu.
Usaha pembudayaan seperti ini tak hanya akan menyangkut pendidikan hukum secara
informal kepada khalayak luas, akan tetapi juga akan meliputi pendidikan berpolitik
dan bernegara, yang akan mengubah perasaan identitas warga masyarakat, dari
perasannya sebagai warga (apa yang disebut oleh Myrdal) an old society ke
perasaan yang baru sebagai warga a new state.
Penanaman kesadaran hukum dengan maksud untuk mengefekkan ketaatan
lahiriah (dalam arti compliance) barangkali juga merupakan usaha yang pada waktu
ini lebih dapat dinilai realistik, dan karenanya akan lebih sering dikehendaki,
dibicarakan, dan ditempuh. Dalam hubungan ini, sekian banyak usaha akan dikerjakan
untuk mengkomunikasikan hukum. Komunikasi dilaksanakan sedemikian rupa
sehingga rakyat yang berposisi sebagai pihak penerima pesan yang dikomunikasikan
itu lalu menjadi sadar bahwa dia harus berprilaku seperti apa yang telah dikaidahkan
oleh hukum, terlepas dari persoalan apakah secara pribadi dia bisa menyetujui isi
212
(moral maupun rasional) dan maksud hukum itu ataukah tidak. Melalui komunikasi-
komunikasi hukum diharapkan agar suatu kesadaran dapat tertanam di sanubari warga
masyarakat, bahwa hukum itu sekalipun mungkin tak dapat diterima sebagai suatu
asas kebenaran yang ideal mau tak mau harus dipatuhi juga sebagai ketentuan-
ketentuan normatif yang selalu diperlukan demi keberlangsungan interaksi-interaksi
sosial di dalam suatu masyarakat yang beruanglingkup nasional.


Komunikasi Hukum: Sebuah Upaya Penanaman Kesadaran Hukum
Seperti apa yang telah diungkapkan di atas, usaha penanaman kesadaran
hukum dengan tujuan terbangkitnya compliance itu pada hakekatnya adalah suatu
usaha komunikasi. Usaha demikian ini tentu saja tak akan bergerak sejauh usaha
sosialisasi, edukasi, atau enkulturasi yang menjangkau jauh-jauh ke lubuk sanubari
warga masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, komunikasi hukum itu hanya
mengarah ke ketaatan yang lahiriah, dan tidak sampai ke ketaatan lahir-batin seperti
yang diarah oleh usaha edukasi atau enkulturasi (pembudayaan) hukum.
Komunikasi hukum untuk menanamkan kesadaran hukum yang kemudian
diharapkan dapat mengefekkan ketaatan lahiriah perlu diawali dengan
penyebarluasan berita mengenai isi hukum yang tengah diusahakan berlakunya dan
ditegakkan itu. Berbeda hal dengan hukum rakyat di masyarakat tradisional yang
memang tumbuh dari bawah dan karenanya sudah tersiosialisasi secara intensif sejak
awal mula, hukum nasional yang modern harus diundangkan secara luas agar dapat
diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa kecualinya. Asumsinya adalah,
bahwa dengan mengetahui berlakunya hukum yang diundangkan itu para warga
masyarakat akan menjadi sadar bahwa ketaatannya kepada hukum itu (sekurang-
kurangnya secara lahiriah) akan sangat diharapkan.
Pengundangan secara formal saja tentu saja harus dipandang kurang cukup,
dan perkiraan bahwa setiap orang harus dianggap mengetahui bunyi undang-undang
adalah benar-benar suatu fiksi yang keterlaluan, dan yang sedikitpun tidak akan
mampu membantu usaha peningkatan kesadaran hukum. Maka, menyadari problema
ini, dewasa ini di samping pengundangan formal banyak pula dikembangkan usaha
penyebarluasan informasi mengenai hukum, mengenai isi normatif sesuatu hukum,
dan bahkan juga mengenai ide-ide pembenarnya, melalui jalur-jalur formal dan non
formal. Karena tegaknya hukum itu sesungguhnya tidak seyogyannya semata-mata
dibebankan kepada para pejabat penegak hukum yang berkedudukan formal, akan
tetapi juga akan efektif kalau didesakkan oleh para pemegang hak, maka komunikasi
hukum yang terselenggara dengan baik tidak hanya akan menyadarkan mereka yang
mendukung kewajiban akan keharusannya untuk menaati ketentuan-ketentuan hukum,
akan tetapi juga menyadarkan pula para warga masyarakat yang lain akan tersedianya
hak baru yang diberikan oleh hukum. Pengkomunikasian undang-undang baru
mengenai pertanahan, misalnya, apabila dapat terselenggara dengan baik tidak hanya
akan menyadarkan para pemilik tanah akan kewajiban-kewajibannya yang baru di
bidang pendayagunaan tanah, akan tetapi sekaligus juga akan menyadarkan para
petani penggarap akan hak-haknya yang baru dalam soal pengerjaan tanah.
Uraian di dalam alinea terakhir ini bermaksud untuk menunjukkan
bahwasanya kesadaran untuk menaati hukum itu harus ditumbuhkan tidak hanya di
dalam konteks suatu interaksi yang bersifat vertikal (antara warga masyarakat dan
para pejabat negara) dab formal saja, akan tetapi juga bisa ditumbuhkan di dalam
213
konteks interaksi yang bersifat horisontal dan informal (antara sesama warga
masyarakat, tegasnya antara mereka yang memperoleh hak baru menurut hukum
nasional dan mereka yang dibebani kewajiban baru menurut hukum nasional itu.
Komunikasi yang mengarah ke arah kesadaran seperti ini tentu saja harus merangkum
pula usaha-usaha untuk menguraikan dan menjelaskan isi materi hukum sehingga
mudah ditangkap dan difahami khalayak luas. Makin mudah isi materi hukum
difahami orang, dan makin luas pula kalangan di dalam masyarakat yang memahami
isi aturan-aturannya, akan makin meningkat pulalah kesadaran para warga masyarakat
bahwa hukum yang telah diundangkan dan tengah dikomunikasikan itu benar-benar
harus ditaati.
Komunikasi hukum seperti itu tentu saja tidak akan mungkin lagi dipandang
sebagai tugas eksklusif aparat-aparat penegak hukum. Kebanyakan kali tugas ini
terambil-alih oleh lembaga-lembaga komunikasi massa yang telah berkembang secara
berseiring dengan perkembangan negara-negara nasional. Di Amerika Serikat tugas
mengkomunikasikan hukum ini telah pula diambil oleh korps pengacara yang ternyata
banyak berkontak dan dikontak rakyat awam dalam rangka penyelesaian perkara-
perkara hukum, dan yang di dalam kesempatan itu telah selalu memberikan nasehat-
nasehat serta sekaligus juga mengkomunikasikan hukum. Di Indonesia lembaga pers
dan komunikasi massa rupanya telah berkembang lebih pesat, dan karenanya juga
lebih siap daripada lembaga kepengacaraan ini. Maka, apabila penanaman kesadaran
hukum ke hati rakyat memang hendak diprogramkan dan dilaksanakan secara
sungguh-sungguh, kampanye yang bertujuan menghimbau rakyat agar menaati hukum
nasional sudah selayaknyalah kalau ditempuh melalui pendayagunaan fasilitas-
fasilitas media massa ini. Program ini tentu saja hanya mungkin berjalan apabila para
ahli dibidang komunikasi massa menguasai juga materi dan cita hukum nasional,
dan/atau apabila para ahli hukum menyadari pula peranan dan arti pentingnya media
komunikasi massa untuk upaya menegakkan hukum serta untuk meningkatkan
kesadaran hukum di dalam sanubari rakyat banyak.
Saluran tradisonal yang biasanya tak berstruktur yang dikenal dan lazim
digunakan rakyat untuk mentransfer ide serta norma budayawi antar-generasi tentu
saja dapat pula digunakan untuk mengkomunikasikan hukum. Akan tetapi saluran ini
hampir dapat dipastikan kalau selalu dikuasai oleh para pendukung moral tradisional
yang kurang menunjuk kepada cita nasional. Oleh karena itu, wajarlah kalau saluran
sosialisasi milik tradisi ini tidak dipandang sebagai sarana alternatif, melainkan
sejauh-jauhnya sebagai sarana penambah atau pelengkap saja.
Kesulitan tentu saja akan timbul mengingat kenyataan bahwa komunikasi
hukum itu tidak bergerak di suatu lapangan kosong tanpa rival. Ide dan kaidah
tradisional, serta pula ide politik yang tak terakomodasikan ke dalam hukum yang
tengah diundangkan dan ditegakkan, tetap saja tersosialisasi melalui berbagai saluran
yang informal dan non-formal, dan dengan begitu tidak membiarkan
pengkomunikasian hukum berjalan tanpa saingan. Karena komunikasi hukum
perundang-undangan nasional yang berlangsung top-down itu selalu bersaing dengan
sosialisasi ide dan norma-norma sosial (yang tidak seluruhnya sudah terangkat
menjadi ide dan norma hukum nasional), sedangkan jalur-jalur non-formal seperti
misalnya keluarga-keluarga -- telah sejak semula dikuasai oleh usaha-usaha
sosialisasi ide serta norma rakyat yang tumbuh dan berkembang di bawah, maka
jalurjalur lain harus diusahakan dan dikembangkan. Kampanye untuk
mengkomunikasikan ide dan norma prilaku berkeluarga secara terencana (KB)
214
kiranya dapat ditengok sebagai teladan bagaimana jalur-jalur komunikasi baru yang
massal dan efektif dapat ditemukan dan digunakan. Mengkampanyekan ide dan norma
baru, program keluarga berencana telah banyak mendayagunakan media komunikasi
massa tertulis di daerah-daerah yang banyak mengenal budaya baca tulis, dan
mendayagunakan kontak-kontak langsung secara lisan akan tetapi intensif serta tetap
cukup ekstensif di daerah-daerah yang belum banyak mengenal kebiasaan baca-tulis.
Peranan kepala desa, pemuda, pelajar, dan juga apa yang disebut opinion leader
amatlah penting, tidak hanya untuk memulai pengembangan jalur-jalur
inkonvensional, akan tetapi juga untuk merebut jalur-jalur sosialisasi tradisional untuk
kepentingan pembaharuan.

Membangun Kesadaran Hukum sebagai Gerakan Pemberantasan Buta Hak
Dalam perkembangan akhir-akhir ini, upaya membangun kesadaran hukum di
kalangan warga masyarakat telah beralih ke paradigmanya yang baru sebagai upaya
penyadaran hak. Dicatat bahwa selama bertahun-tahun upaya membangun kesadaran
hukum lewat penyuluhan-penyuluhan telah disalahgunakan berdasarkan kebijakan
pemerintah yang cenderung berlaku otoriter untuk hanya menyadarkan para warga
masyarakat akan kewajiban-kewajibannya melulu. Kebijakan seperti tersebut akhir
ini lalu boleh dibilang dan boleh dituduh sebagai kebijakan yang tak lebih hanya
hendak menjadikan warga masyarakat sebagai objek-objek -- dan bukan subjek-
subjek -- penegakan hukum semata. Maka, dalam situasi-situasi reformatif dengan
gerakan-gerajkan yang menghendaki perubahan ke arah kehidupan yang lebih
demokratis, upaya meningkatkan kesadaran rakyat untuk ikut terlibat dan
berpartisipasi dalam segenap aspek kehidupan akan meliputi juga upaya
meningkatkan kesadaran mereka di bidang hukum, tidak hanya berkenaan dengan
kewajiban-kewajibannya saja akan tetapi juga yang berkenaan dengan hak-haknya.
Sebagaimana gerakan untuk mengkritiki setiap kenetralan hukum perundang-
undangan dari segala bentuk kepentingan politik yang melahirkan apa yang disebut
the critical legal study (CLS) dalam ilmu hukum, demikian pulalah gerakan
penyadaran hak ini telah melahirkan pula kajian-kajian akademiknya yang dikenal
sebagai the legal literacy study (LLS) di kalangan para pengkaji ilmu hukum. LLS
adalah suatu kajian tentang aktivitas kerja penyadaran warga akan hak-hak mereka,
yang dilakukan baik oleh badan-badan pemerintahan maupun oleh organisasi-
organisasi nonpemerintah (ORNOP yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama
singkatan LSM), dalam rangka usaha bersama untuk memberdayakan warga
masyarakat yang sejauh ini dinyatakan berstatus rawan. Pada asasnya, LLS adalah
suatu studi mengenai aktivitas kerja pemberantasan buta hukum dan khususnya buta
hak yang dialami oleh mereka yang berada dalam posisi terpinggirkan (marginalized)
dan terdiskriminasi, dan karena itu amat tidak diuntungkan (disadvantaged).
Manakala dikatakan bahwa LLS adalah suatu kajian tentang aktivitas kerja
yang dilaksanakan berbagai organisasi dalam masyarakat dengan tujuan menyadarkan
warga akan hak-hak mereka dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bangsa,
maka pada hakikatnya kerja penyadaran seperti ini adalah suatu rangakaian kerja
pemberantasan buta hak. Tujuannya telah jelas, ialah agar warga masyarakat
menyadari hak-hak yang mereka punyai menurut ketentuan-ketentuan hukum
nasional, dan pula agar mereka yang warga ini dapat dibangunkan kepercayaan
dirinya untuk kemudian sanggup bergerak secara perorangan ataupun secara
215
kolektif untuk mengubah keadaan dengan memajukan taraf kesejahteraan hidupnya
atas dasar kebenaran hak-hak yang telah mereka sadari itu.
Di negeri-negeri yang bertradisi feodalisme dan/atau bapakisme, dengan
segala bentuk struktur hierarkik-patriarkiknya, mereka yang minoritas dan
terpinggirkan -- dalam artian sosial dan ekonomiknya -- umumnya bercenderung
menyikapi dirinya sebagai insan-insan duafa yang harus menerima nasib dengan cara
menggantungkan kesejahteraan hidup mereka kepada para bapak yang bersedia
menzakati mereka (dengan imbalan kesetiaan). Gerakan melek hak yang ditunjang
secara teoretik-akdemik oleh para eksponen LLS bermaksud untuk menyadarkan
rakyat bahwa alih-alih menggantungkan nasib kepada budi baik penguasa
pemerintahan, mereka yang terpuruk dalam posisi duafa itu haruslah sadar bahwa
keadaan mereka yang kurang diuntungkan itu sebenarnya bersebab dari pengingkaran
yang sistematis atas hak-hak mereka yang asasi untuk memperoleh kesejahteraan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam kehidupan nasional yang dibangun di bawah kebijakan sentralisme,
berikut paradigma developmentalismnya (sebagaimana dilaksanakan di bawah kontrol
suatu sistem birokrasi sipil maupun militer yang ketat), program dan aktivitas
pemberantasan buta hukum -- yang dulu pernah diperkenalkan dengan sebutan
penyuluhan hukum dalam rangka menggugah kesadaran hukum (sadarkum)
nyata kalau lebih dimaksudkan sebagai program untuk menyadarkan rakyat akan
segala kewajibannya. Itulah kewajiban-kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan
dalam undang-undang yang harus dipatuhi demi suksesnya pembangunan nasional.
Kini, dalam era reformasi menuju ke terwujudnya masyarakat warga (the civil
society), kegiatan sadarkum akan lebih ditujukan ke terbangunnya kesadaran para
warga akan hak-haknya. Kesadaran warga akan hak-haknya harus dipandang penting
karena hanya apabila warga-warga menyadari hak-hak dan batas hak-haknya sajalah
infrastruktur kehidupan demokratik -- dengan penyelenggaraan pemerintahan yang
accountable, participative, transparant, dan predictable (suatu penyelenggaraan
pemerintahan yang memenuhi kualifikasi sebagai good governance) akan dapat
diwujudkan.
Kesadaran warga akan hak-hak dan batas hak-haknya dikatakan penting
sebagai salah satu syarat terwujudnya pelembagaan apa yang disebut good
governance atas dasar asumsi-asumsi berikut ini. Ialah bahwa kesadaran warga akan
hak-haknya, juga khususnya akan hak-hak konstitusionalnya, akan menyebabkan
warga negara terhindar dari sembarang bentuk perlakuan diskriminatif di hadapan
hukum dan kekuasaan. Kemudian daripada itu, juga apabila para warga lebih lanjut
lagi mengetahui prosedur-prosedur yang diperlukan untuk menegakkan hak-haknya,
tidaklah akan banyak lagi hambatan bagi para warga itu untuk mendesakkan tuntutan
dengan cara yang benar agar para pengemban kekuasaan -- dengan penuh rasa
tanggungjawab dan secara transparan pula -- menghormati dan melindungi hak-hak
warga.
Dalam kehidupan mutakhir yang harus dituntun oleh suatu sistem
kepenguasaan yang terbilang good governance, LLS juga akan berguna untuk
kepentingan pelaksanaan pemerintahan yang lebih demokratik dan partisipatif. LLS
tidak hanya akan mempelajari aktivitas kerja pemberantasan buta hak akan tetapi juga
mempelajari dampak yang tersimak sebagai akibat terbangkitkan dan
tertingkatkannya kesadaran akan hak di kalangan warga, untuk kemudian
diumpanbalikkan ke para pejabat pembuat kebijakan mengenai ihwal berikut ini.
216
Ialah apakah kesadaran hak di kalangan warga masyarakat akan benar-benar secara
riil membangunkan keberdayaan dan kemampuan masyarakat tatkala harus membuka
akses-akses kelembagaan yang diperlukan untuk kemudian (1) dalam jangka pendek
atau menengah mempengaruhi proses pengambilan keputusan para pejabat, yang pada
gilirannya akan berpengaruh pada setiap usaha warga untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya; dan (2) dalam jangka menengah atau panjang secara
sinergik dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada -- mempengaruhi proses
pengambilan keputusan dan kebijakan pada tingkat legislatif untuk terjadinya suatu
perubahan perundang-undangan (legal reform)?
Sebagai penunjang kegiatan gerakan pemberantasan buta hak, LLS tentu saja
juga bisa diketengahkan untuk memperoleh sebanyak mungkin informasi yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan/kegagalan kegiatan advokasi
pemberdayaan warga masyarakat yang terbilang lemah danatau rawan, dan
seterusnya mengoreksi program-programnya. Dengan LLS ini pula faktor-faktor
kemudahan/kesulitan yang dijumpai dalam praktik advokasi dapat dideteksi untuk
diumpanbalikkan dalam rangka upaya melakukan reevaluasi dan koreksi atas
program-program yang telah ada. Semua itu (sekali lagi dikatakan di sini!) demi
terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan suatu good governance yang (tak usah dikatakan lagi!) selalu
memerlukan partisipasi seluruh warga tanpa kecualinya.
Lewat kajian-kajian dan penelitian-penelitiannya LLS pertama-tama akan
menghimpun informasi yang benar mengenai badan-badan dan/atau organisasi-
organisasi mana sajakah yang menyelenggarakan program penyuluhan hukum dan
sebangsanya, baik sebagai program khusus satu-satunya maupun sebagai sebagai
salah satu subprogram yang didudukkan sebagai komponen dalam program lain yang
lebih berjangkau luas. Organisasi-organisasi kerja ini mungkin saja merupakan
badan-badan pemerintah, atau mungkin pula organisasi-organisasi nonpemerintah dan
organisasi-organisasi profesi, termasuk universitas-universitas dan fakultas-
fakultasnya.
Lebih lanjut LLS akan juga bekerja dalam bidang-bidang pengembangan
masyarakat yang khusus, yang pelaksanaannya memperjumpakan banyak aktivitas
interaktif antara pejabat-pejabat pemerintah di lini-lini operasi dan warga masyarakat
luas yang di atas kertas mempunyai hak untuk diperansertakan dalam pembangunan
(baik dalam hal perencanaan fisik maupun dalam hal penetapan kebijakan) dan
kemudian daripada itu juga mempunyai hak untuk ikut menikmati hasil pembangunan
itu secara nyata dan langsung. Bidang-bidang ini misalnya saja bidang yang
berkenaan dengan pembangunan pengairan dan persawahan, atau yang berkenaan
dengan reboisasi serta pemanfaatan lahan-lahan kehutanan, atau yang berkenaan
dengan usaha perikanan oleh para nelayan, atau yang berkenaan dengan
pengembangan industri kecil dan menengah, atau apapun lainnya lagi yang dapat
dipilih secara purposive.
Dalam aktivitasnya yang lebih lanjut, LLS berikut tindaklanjutnya dalam
bentuk gerakan penyadaran hak -- ada berbagai macam aktivitas kerja pemberantasan
buta hukum/hak yang dapat diidentifikasi berikut dampaknya. Ada aktivitas yang
dilaksanakan dengan memanfaatkan media massa dengan kelompok sasaran yang tak
teridentifikasi secara khusus, dengan dampak yang tak pula dapat dikirakirakan dan
diketahui (assessed) secara pasti. Sementara itu ada pula aktivitas yang dilaksanakan
secara lebih terprogram dengan kelompok sasaran yang khusus pula, dengan dampak
217
yang dikehendaki agar dapat lebih ditaksir diprakirakan. Tersebut akhir ini antara lain
aktivitas pendampingan yang dilakukan secara langsung untuk meningkatkan
kemampuan setiap usaha yang berbasis komunitas setempat, atau pula secara tak
langsung lewat pelatihan-pelatihan semacam pelatihan paralegals dan pelatihan untuk
para pelatih (Training Of Trainers, TOT), atau pula pengintensifan komunikasi
interaktif dengan para pejabat pemerintahan yang progresif demi tertumbuhkannya
kepekaan dan perubahan sikap dan perilaku para pejabat tatkala harus melayani
kepentingan publik.


Pembenahan Tata Perilaku Aparat Penegak Hukum

Di samping upaya komunikasi, tentunya tak mungkin tidak diperlukan juga
usaha membenahi tata perilaku aparat penegak hukum itu sendiri. Usaha-usaha yang
konsekwen akan tatapi jujur untuk mengancamkan dan menerapkan sanksi nestapa
kepada/terhadap para warga masyarakat yang bersalah memang mungkin sekali akan
efektif untuk membangkitkan kembali rasa ketaatan kepada hukum. Akan tetapi,
bagaimanapun juga masih tetap harus diingat bahwa ketaatan yang timbul sebagai
akibat ketaatan akan beratnya ancaman sanksi demikian itu tidak dapat dikualifikasi
sebagai suatu ketaatan yang sadar. Yang lebih dianjurkan adalah usaha untuk
menumbuhkan image di kalangan masyarakat bahwa aparat-aparat yang cekatan,
efektif, responsif, jujur, dan selalu merasa terlibat di dalam setiap usaha penegakkan
hak setiap warga masyarakat yang telah diberikan menurut ketentuan-ketentuan
hukum nasional yang tengah merintiskan pembaruan. Image yang ditumbuhkan
adalah image suatu aparat yang lebih bergerak ke arah penegakkan hak-hak rakyat
daripada bergerak untuk kepentingan ketertiban negara apalagi kepentingan
penguasa semata-mata. Image demikian ini jelas akan membantu usaha
peningkatan kesadaran rakyat bahwa ketaatan kepada hukum nasional yang tengah
dikampanyekan dan dituntut dari mereka itu bukanlah sekali-kali suatu pemerasan
moral atau suatu perkosaan kebebasan serta keyakinan, melainkan suatu kewajiban
sosial, yang pada akhirnya akan bermanfaat untuk kehidupan mereka sendiri di dalam
masyarakat yang tengah berubah pesat ini.

21

HAK-HAK ASASI MANUSIA KONSTITUSIONALISME:
HUBUNGAN ANTARA MASYARAKAT DAN NEGARA





SECARA formal, menurut sumber resminya yang sah berdasarkan rumusan peraturan
perundang-undangan yang positif (legal), dan/atau yang berdasarkan moral hukumnya (lawful),
lukisan tentang hubungan antara negara dan masyarakat di negeri mana pun selalulah dapat
disimak balik dari bunyi konstitusinya. Bukanlah menurut idenya (yang dinamakan
konstitusionalisme), apa yang disebut konstitusi selalu dimaksudkan untuk mengatur hubungan
yang fungsional antara "kekuasaan" (yang dipercayakan ke tangan para pejabat penyelenggara
negara) dan "kebebasan" (yang tetap diakui sebagai bagian dari eksistensi kodrati
manusia-manusia warga negara). Itu berarti bahwa besar-kecilnya kekuasaan yang akan
dipercayakan ke tangan para pejabat penyelenggara negeri itu amat ditentukan oleh
luas-sempitnya ranah kebebasan yang tetap dikukuhkan pada dan karena itu juga tetap dikukuhi
di tangan para warga.

Menurut idiom konstitusionalisme, setiap wujud kekuasaan yang mempunyai dasar
pembenarannya menurut hukum itu disebut "kewenangan". Maka setiap ekspresi kekuasaan yang
tak ada dasar konstitusionalnya (not lawful) atau tidak ada dasar hukumnya dalam
perundang-undangan (not legal) haruslah dibilangkan sebagai "kesewenang-wenangan".
Sementara itu, menurut idiom konstitusionalisme pula, setiap wujud kebebasan manusia warga
negara itu kecuali apabila secara tegas-tegas dinafikan oleh konsitusi atau oleh hukum
perundang-undangan adalah sungguh-sungguh hak. Tatkala kebebasan itu dipandang secara
universal sebagai sesuatu yang bernilai asasi bagi kelestarian manusia, maka sesungguhnya
menurut ide konstitusionalisme ini tidaklah kewenangan-kewenangan untuk memerintah itu
merupakan sesuatu yang secara universal harus disebut bersifat asasi. Sesungguhnyalah
kewenangan itu merupakan fungsi kebebasan; artinya, bahwa besar-kecilnya kewenangan itu akan
ditentukan oleh luas-sempitnya batas kebebasan, dan tidak sebaliknya.

Hukum yang kita kenali kini sebagai hukum perundang-undangan yang positif
sesungguhnya adalah produk upaya adaptif pengelolanya untuk tetap dapat memfungsikan hukum
di tengah suatu kehidupan yang tengah berubah. Hukum perundang-undangan yang kita kenali
kini ini sesungguhnya adalah juga hasil reformasi rekonseptualisasi dan restrukturasi untuk
merespon tuntutan zamannya. Hukum perundang-undang terinstitusikan untuk merespon
kebutuhan negara-negara bangsa yang bertumbuh kembang sebagai negara-negara demokratis di
negeri-negeri Barat sejak abad 18, yang mendambakan kepastian-kepastian hak bagi setiap warga
negara. Hukum perundang-undangan memastikan alias mempositifkan mana kebebasan asli warga
yang akan dibenarkan dan diakui menurut hukum sebagai hak yang asasi dan mana pula yang akan
dikecualikan untuk tidak lagi dibenarkan sebagai kebebasan. Sementara itu, di lain pihak, hukum
perundang-undangan akan memastikan mana-mana pula kekuasan para penguasa yang dalam
243
jumlah terbatas boleh dibenarkan menurut hukum sebagai kewenangan mereka yang didudukan
sebagai pejabat-pejabat pemerintahan. Positivisasi mengenai hubungan tarik-ulur antara hak
kebebasan warga dan kewenangan aparat pemerintahan tersebut ini dapatlah diingati-ingati
kembali dalam suatu asas atau paradigma konstitusional yang selalu diajar-ajarkan dalam
kehidupan negara hukum, yaitu asas legalitas, nullum delictum, nulla poena sine praevia lege
poenali!

Paradigma hukum perundang-undangan sebagai penjamin kebebasan dan hak yaitu
dengan cara membatasi secara tegas dan jelas mana kekuasaan yang terbilang kewenangan (dan
mana pula yang apabila tidak demikian harus dibilang sebagai kesewenang-wenangan) inilah
yang di dalam konsep moral dan metayuridisnya disebut "konstitusionalisme", dan yang di dalam
bahasa politiknya disebut "demokrasi". Inilah paradigma yang harusnya menjiwai seluruh sistem
hukum, baik pada wujudnya sebagai peraturan-peraturan maupun pada tahap proses pelaksanan
dan aplikasinya yang kemudian sebagai keputusan-keputusan hukum. Namun demikian, bukan
mustahil pula apabila dalam praktik nanti ternyata hukum itu secara berlawanan dengan ide
konstitusionalisme acap kali dapat pula digunakan pertama-tama sebagai pembenaran eksistensi
kekuasaan yang pada asasnya tak boleh dibatasi, (baik dalam hal jumlah maupun dalam hal
ragam-macamnya). Akan tetapi, ditilik dari ide konstitusionalisme ini, kekuasan yang berwatak
demikian itu (setinggi apa pun derajat kesahihannya) harus dinyatakan telah kehilangan jiwa atau
moral konstitusional(-isme-)nya. Dikatakan bahwa kekuasaan seperti itu memang mempunyai
dasar legalitasnya yang normal, akan tetapi jelas telah kehilangan legitimitasnya yang materiil.
Kekuasan seperti itu akan nyata-nyata lebih berfungsi dalam wataknya sebagai instrumen
kepentingan, dengan sifatnya yang seperti telah dikatakan akan serba formal dan legalistis, dan
tidak sekali-sekali dapat memperlihatkan wataknya yang merefleksikan kebenaran moral
kepatutan dan keadilan.

Hukum yang menyalahi moral konstitusionalismenya adalah hukum yang represif, yang
serasa mempercayakan pengelolaannya ke tangan para pejabat pemerintah akan menjadikan
hukum berhakikat sebagai instrumen-instrumen legal guna menjamin keutuhan dan keefektifan
kekuasaan berdasarkan sanksi-sanksi pemaksa. Hukum yang sekalipun mempunyai rujukannya
yang positif di konstitusi akan tetapi tak dijiwai oleh moral konstitusionalisme seperti itu tentu
saja tidaklah dapat diharapkan, dalam kadarnya yang berarti, guna menjamin terlindunginya
kebebasan dan hak warga dari sembarang kebijakan pemerintah untuk menguranginya
sewaktu-waktu. Dalam kenyataan seperti itu, yaitu situasi tatkala hukum lebih termanfaatkan
untuk menjamin kekuasaan daripada untuk menjamin kebebasan, tertengarailah bahwa para
pejabat pengemban kekuasan itulah yang lebih sering menyerukan agar siapa pun selalu menaati
hukum dan untuk selalu bertindak sesuai konstitusi. Itu tak lain karena sang penguasa ini
mengetahui bahwa menaati hukum dan konstitusi itu pada hakikatnya adalah menaati
kekuasannya yang besar dan tak gampang dibatasi itu. Di sini penyuluhan hukum amat digalakkan
untuk membangkitkan kesadaran hukum rakyat, bukan serta merta dimaksudkan untuk
membangun kesadaran rakyat akan hak dan batas-batasan mereka melainkan untuk membangun
kesadaran rakyat akan kewajiban-kewajibannya.

Tidak demikianlah halnya apabila suasana kehidupan hukum di suatu negeri itu adalah
suasana yang bernuansa konstitusionalisme. Dalam kehidupan di mana hukum dibangun dengan
dijiwai oleh moral konstitusionalisme di mana setiap kata di dalam setiap rumusan hukum
244
perundang-undangan itu akan terbaca sebagai keharusan untuk pertama-tama dan pada asasnya
menjamin kebebasan dan hak warga, dan bukan pertama-tama sebagai pengukuh kekuasaan yang
pada asasnya tak bisa dibatasi justeru para pengemban kekuasaan pemerintah itulah yang
tertengarai selalu diingat-ingat agar senantiasa menanti hukum dan kaidah-kaidah konstitusi. Tak
lain karena di sini ini menaati hukum dan menaati konstitusi pada hakikatnya adalah menaati
imperatif yang terkandung sebagai substansi maknawi di dalamnya. Maksudnya imperatif
kebebasan sebagai hak-hak warga yang asasi (civil rights) harus dihormati dan ditegakkan oleh
pengemban kekuasaan negara di mana pun dan kapan pun, juga tatkala warga ini menggunakan
kebebasannya itu untuk ikut serta dalam atau untuk ikut mempengaruhi jalannya proses
pembuatan kebijakan-kebijakan publik dalam kehidupan bernegara bangsa (political rights).

Membicarakan konstitusionalisme adalah sesungguhnya membicarakan sebuah ajaran
metayuridis tentang berlakunya sebuah asas aksiomatis yang harus selalu diperhatikan tatkala
orang harus membangun sebuah sistem hukum yang memenuhi syarat demi terealisasi kehidupan
bernegara bangsa yang demokratis, yaitu bahwa setiap kekuasaan yang diakui sebagai
kewenangan pemerintahan itu adalah sesungguhnya fungsi kebebasan dan hak warga. Ini berarti
bahwa besar-kecil atau luas-sempitnya kewenangan akan selalu tergantung dari kesediaan warga
untuk secara volunter mengurangkan sebagian dari kebebasannya agar dimungkinkan
terwujudnya sejumlah kekuasaan yang dengan demikian berarti juga adanya kesediaan warga
untuk "menidurkan" sebagian dari hak-haknya agar dimungkinkan untuk sementara, sejauh
diperlukan terciptanya tambahan kekuasaan pengatur di tangan pemerintah. Inilah volunterisme
yang erat kaitannya secara logis dengan asas kebebasan berkontrak, juga dalam ihwal
pembentukan undang-undang yang pada hakikatnya merupakan kontrak-kontrak publik
sebagaimana yang ditulis oleh J ean J acque Rousseau dalam bukunya Du Contract Sociale.

Tak ayal dan tak salah lagi, dihubung-hubungkan dengan persoalan volunter-volunter ini,
konstitusionalisme secara implisit namun logis mengisyaratkan bahwa oleh sebab itu setiap
kekuasaan yang ada di tangan pemerintah hanya bisa dibenarkan dan dinyatakan sah sebagai
kewenangan tatkala didasari oleh persetujuan eksplisit warga negara (yang dalam kehidupan
demokratis umumnya gampang disimak sebagai pendapat umum lewat media, atau lewat proses
yang lebih formal yang disebut referendum. Kalaupun persetujuan ini tak selalu dapat diberikan
secara langsung, persetujuan itu mestilah diberikan lewat wakil-wakilnya yang dipilih melalui
suatu proses pemilihan umum yang langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil (yang resminya dapat
disimak dalam wujud terbentuknya undang-undang). Hanya lewat cara itu sajalah setiap anggapan
mengenai adanya kesediaan warga negara untuk melepaskan sebagian dari kebebasannya demi
dimungkinkannya penciptaan tambahan kekuasaan yang boleh diamanatkan dan dimandatkan
kepada sang pejabat kekuasan itu dapat dinyatakan benar dan mempunyai dasar konstitusional.

Dari situlah asal mulanya pembenaran atas anggapan konseptual bahwa sesungguhnya
kekuasasaan dengan kewenangan itu dihasilan oleh suatu proses kontraktual. Ini adalah suatu
proses interaktif yang terbuka dan yang tak boleh diganggu itikad-itikad culas. Ini adalah suatu
proses yang didasari konsep konstitusionalisme untuk mempertemukan kemauan dan kesediaan
warga mengenai perimbangan ulang yang dipandang lebih proporsional antara kekuasaan dan
kebebasan; dan/atau antara kewenangan (kewenangan para warga yang dipercaya menjadi
pejabat) dan hak-hak (hak-hak warga) yang secara volunter tak berkehendak mendudukan diri ke
dalamnya.
245


22

HAK-HAK ASASI MANUSIA DAN PERSOALAN
HAK-HAK KEBEBASAN WARGA NEGARA




HINGGA saat ini, tatkala skala dan format kehidupan manusia telah membesar dan meluas pada
tataran global dengan perbatasan-perbatasan negara bangsa (baik yang fisik-teritorial maupun
yang normatif-soverenitas) telah menjadi kian relatif, wacana-wacana untuk memperoleh
kesepahaman mengenai apa yang harus didefinisikan sebagai hak-hak asasi manusia (HAM) telah
menjadi hangat kembali. Di satu pihak ada sekelompok pewacana yang berkeyakinan bahwa
HAM itu merupakan sesuatu hasil temuan yang bernilai universal dalam sejarah peradaban
manusia, dan oleh sebab itu pantaslah kalau ide-ide normatif dan kaidah-kaidah positif HAM itu
difungsikan dalam kehidupan antar-manusia yang menyeluruh, tanpa kecualinya, pada tataran
global. Sementara itu ada sekelompok pewacana lain yang berkeyakinan bahwa itu mestilah
didefinisikan secara partikularistis untuk pertama-tama difungsikan dalam kehidupan-kehidupan
antara-manusia yang sudah seharusnya mendahulukan kepentingan nasional.

Perbedaan visi antara mereka yang berpandangan universalisme dan berpandangan
pertikularisme itu pada akhirnya (tentu saja!) juga berimbas pada ihwal batasannya, mana yang
harus dibilang sebagai hak manusia yang asasi
*
dan mana pula yang bukan hak yang asasi. Apakah
(misalnya!) hak untuk memilih hidup dalam perkawinan dan beranak pinak atau sebaliknya
untuk hidup membujang dan tak perlu meneruskan keturunan itu hak yang asasi ataukah tidak?
Apakah (misalnya lagi!) hak untuk memilih jenis pekerjaan dan sehubungan dengan itu memilih
daerah tempat tinggalnya itu terbilang hak yang asasi ataukah tidak? Apakah (masih satu misal
lagi!) hak untuk mengeluarkan pendapat dan berserikat agar berkekuatan mendesakkan
pendapatnya secara sinergis ke lokus-lokus pemerintahan terbilang asasi ataukan tidak, yang oleh
sebab itu dapat diatur dan bahkan dicabut secara sepihak oleh para penguasa rezim tanpa perlu
mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pada pengemban hak tersebut. Akhirnya, (masih
satu misal lagi!) apakah hak untuk menganut sesuatu agama dan untuk melaksanakan segala
tatacara ibadah menurut keyakinan agama yang dipilih untuk dipeluknya itu terbilang hak yang
asasi pula, ataukah tidak?

Visi universalisme dalam permasalah HAM ini sebenarnya beriwayat lama, bermula dari
abad dan budaya politik yang berkembang di negeri-negeri Barat sepanjang era transformasi, yaitu
transformasi yang mengalihkan kehidupan dari yang lokal-feodal ke yang nasional-industrial.

*
Hak manusia yang asasi adalah hak yang melekat secara kodrati pada setiap makhluk yang dilahirkan dengan
sosok biologis manusia, yang memberikan jaminan moral dan menikmati kebebasan dari segala bentuk perlakuan
yang menyebabkan manusia itu tak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan Allah, yang oleh
sebab itu tak mungkin dialihkan kepada apalagi dirampas oleh sesiapapun, kepada/oleh para pengemban
kekuasaan negara sekalipun, kecuali untuk dikurangkan atas dasar persetujuan para penyandang hak itu lewat
proses-proses legislatif yang benar-benar representatif demi tertegakkannya hak-hak asasi manusia lain sesama
dalam kehidupan masyarakat.
264
Sebagai ide dan konsep, HAM lahir dan berkembang marak tatkala sejumlah pemikir Barat yang
berpikir cerah di sepanjang era transformasi beberapa abad yang lalu itu mulai mempertanyakan
keabsahan wawasan dan tradisi yang amat diskrimnatif di negeri-negeri mereka pasa saat itu.
Mereka mencabar tradisi sosial dan politik yang secara askriptif amat memilah-milah secara
diskriminatif antara mereka yang terbilang a class of the higher order dengan segala hak-hak
istimewanya dan mereka yang terbilang a class of the lower order yang secara askriptif lebih
didudukkan sebagai objek daripada penyandang hak. Akan gantinya, mereka mencoba
menyiarkan dan mensiarkan gagasan-gagasan tentang perlunya dibangun komunitas baru yang
lebih egalitarian, terdiri dari warga-warga yang berkebebasan dan bukan terdiri dari ulur-ulur yang
sepanjang umur dan secara turun temurun hidup dalam status perhambaan.

TAtkala di negeri-negeri Barat secara suksesif akan tetapi juga berdaya akumulatif
gagasan-gagasan baru itu mulai berpengaruh luas, gerakan revolusioner untuk merealisasi cita-cita
kebebasan dan egalitarianisme (demi ketahanan dan kemakmuran bangsa!) menjadi tak dapat
ditahan-tahan lagi. Komunitas-komunitas warga sebangsa, diorganisasi dalam wujud institusi
politik baru yang memproklamasikan diri sebagai negara demokrasi, lahir secara berturut-turut di
benua Amerika (Negara Federal Amerika Serikat, 1776) dan benua Eropa (Negara Republik
Perancis, 1786!). Itulah dua negara yang kemudian dijadikan model negara merdeka yang berhasil
dibangun di atas infrastruktur suatu komunitas warga (civil society), suatu komunitas yang
menolak diskriminasi antar-warga, dan akan gantinya mengumandangkan kebebasan dan
kesetaraan. Itu lah dua negara yang kemudian dengan segala kelebihan dan kekurangannya
dijadikan model negara modern berkonstitusi, yang mengkonsepkan konstitusi sebagai suatu
kontra sosial. Itulah konsep dalam kehidupan komunitas politik baru yang modern, yang segera
dikenali dengan istilah konstitusionalisme.

Kontrak sosial menurut konsep ini adalah suatu perjanjian luhur antar-manusia sesama
warga, yaitu antara warga yang berdaulat sebagai rakyat penduduk negeri (yang oleh sebab itu
pada asasnya akan tetap berkebebasan dalam segala hal, kecuali apabila ditentukan lain menurut
hukum perundang-undangan) dan warga yang bersedia memperoleh mandat untuk menjabat
dalam sistem pemerintahan (dengan kewenangan yang diberikan secara limitatif oleh warga yang
berkedudukan sebagai rakyat atas dasar kesepakatan yang dituangkan dalam undang-undang).
Apapun bunyi isi kontrak yang perjanjian luhur (alias konstitusi yang dalam wujud
kaidah-kaidah positifnya yang di dalam Bahasa Indonesia disebut undang-undang dasar) itu
tidaklah akan ada pasal atau ayat apapun di dalamnya yang boleh ditafsirkan sebagai adanya
kewenangan pihak yang memperoleh mandat menduduki jabatan pemerintah untuk mengingkari,
mengambil-alih atau apalagi merampas hak-hak warga yang asasi.

Terwujudnya komunitas warga yang egalitarian, terealisasinya konstitusi dan ditaatinya
konstitusionalisme, serta terjamin hak-hak warga (warga negara!) yang asasi untuk pada asasnya
bisa hidup dalam suasana kebebasan, juga untuk berpolitik adalah suatu kompleks konsep yang
saling bersangkut-sangkutan, yang secara total dikenal sebagai konsep kehidupan yang
demokratis. Tidaklah mungkin ada kehidupan demokrasi di suatu negeri apabila insfrastruktur
sosial suatu komunitas politik (negara!) itu bukan masyarakat warga, melainkan masyarakat
hamba yang harus hidup tanpa hak-hak asasi yang dijamin oleh suatu konstitusi dan oleh hukum
yang dihormati oleh semua pihak, khususnya oleh para pengemban kekuasaan negara. Tak pelak
lagi, menurut konsep tentang kehidupan demokrasi sebagaimana berkembang dalam sejarah
265
politik dan ketatanegaraan Barat yang mutakhir ini, hak-hak manusia yang asasi (yang boleh
dibatasi namun tak boleh dialihkan apalagi dirampas) adalah suatu unsur yang sungguh esensial
dan menentukan, sine quo non, bagi kehidupan manusia sebagai warga dalam kehidupan
bernegara.

HAM yang mensyarati kehidupan bernegara demokratis sebagaimana berkembang dalam
sejarah negeri-negeri Barat seperti yang dibentangkan di muka) ini adalah sesungguhnya HAM
yang diperjuangkan demi perlindungan hak-hak manusia warga dalam kapasitasnya sebagai
individu dari kemungkinan perlakuan sewenang-wenang para penguasa nasional. Makna HAM
seperti itu tertafsir berubah ketika konsep HAM ini mulai dikenal dan mulai merebak pula ke
negeri-negeri jajahan. Di negeri-negeri jajahan ini, melalui proses dekonstruksi dalam
gagasan-gagasan para nasionalis perintis kemerdekaan, HAM memperoleh tafsir maknanya yang
baru, Yaitu bahwa eksponen-eksponen HAM dalam kehidupan kolonial haruslah mengartikan
manusia tidak sebagai manusia-manusia individu yang tengah merisaukan kekuasaan
pemerintahnya sendiri, melainkan ssebagaimana sebangsa yang tengah merisaukan kekuasaan
asing. Di sini serta merta HAM tidak lagi dikmaknakan dari perspektif individualisme dan
liberalisme yang diklaim berlaku universal, melainkan dimaknakan secara partikular dari
perspektif kolektivisme dan nasionalisme negeri-negeri Timur yang terjajah. Maka di sini pula
orang tidak lagi bicara soal kebebasan individu melainkan soal kemerdekaan adalah hak segala
bangsa. Bukan lagi soal freedom melainkan soal independence.

Paham yang mengkonsepkan HAM sebagai hak-hak asasi manusia individu sering disebut
oleh para pengkritiknya sebagai paham liberal yang terlalu membela kepentingan individu
manusia-manusia dalam kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Para nasionalis perintis
kemerdekaan di bumi-bumi kolonial, dan kemudian juga para pemimpin serta penguasa
pemerintahan di negeri-negeri berkembang, umumnya cenderung pula mengesan bahwa
kepentingan-kepentingan individual seperti itu akan gampang miring ke atau malah identik
dengan egosentrisme dan yang oleh sebab itu dikhawatirkan akan gampang memarakkan
sikap-sikap anti-sosial. Berangkat dari prasangka seperti itu, para penguasa pemerintahan di
negeri-negeri berkembang bekas negeri jajahan tanpa henti selalu mencoba mendesakkan arti
makna HAM menurut versinya yang lebih pas untuk kepentingan negeri-negeri yang tengah
berkembang. Maksudnya adalah bahwa HAM sebagai hak-hak asasi manusia harus lebih
mementingkan kepentingan manusia sebagai suatu kolektiva atau suprakolektiva (bangsa)
daripada kepentingan manusia sabagai individu.

Dimanakah posisi pendirian para pemuka dan penguasa politik Indonesia di tengah
kontroversi individualisme versus kolektivisme dalam soal HAM ini. Pertanyaan pertanyaan para
pemuka politik dan/atau para pengemban kekuasaan negara di Indonesia umumnya mengesankan
kerisauan mereka pada paham keuniversalan HAM dalam konsepnya yang klasik sebagai hak-hak
manusia individu yang tak mungkin dialihkan (inalienable). Itulah hak-hak yang bertolak dari
paradigma kebebasan manusia demi kelestarian eksistensi individual manusia warga (civil rights)
dan demi pelaksanaan peran mereka yang bebas dalam setiap aktivitas politik yang menyangkut
kepentingan publik, pemerintahan dan/atau negara (political rights). Sekalipun ide-ide tentang
kebebasan bersamaan dengan paham liberalisme dan nasionalisme bukan tak dikennal di
negeri-negeri negara baru seperti Indonesia ini, namun ide kebebasan dan pembebasan di
negeri-negeri ini tetaplah pertama-tama hendak dimengerti bukan sebagai ide kebebasan individu
266
yang warga negara di hadapan kekuasaan negara yang cenderung semena-mena, melainakn
kebebasan (dalam arti kemerdekaan) suatu bangsa dari ancaman bahaya kekuasaan bangsa lain.
Inilah kebebasan yang dinamakan kemerdekaan yang secara univesal dituntut agar diakui
sebagai hak segala bangsa.

Nyatalah dengan begitu sebagai pengalaman sejarah, bahwa apabila dari krisis ke krisis
dalam sejarah kehidupan dunia Barat para eksponen merisaukan betapa semena-mena dan tidak
adilnya penguasa-penguasa otokrat memperlakukan manusia-manusia sesamanya yang telah
berstatus kurang berdaya, para eksponen negeri-negeri jajahan dan bekas jajahan telah lebih
merisaukan betapa hak-hak kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah banyak diingkari bangsa-bangsa
lain yang berindustri maju. Maka dapat dimengerti pula mengapa di tengah krisis kemanusiaan
pada tahun 1940-an para pemuka di neeri-negeri Barat berkehandak menegasakan kembali
kepercayaan pada hak-hak fundamental manusia, martabat dan nilai-nilai pribadi dan insani
(sebagaimana ternyatakan dalam Mukadimah Piagam PBB, 1945), dan sehubungan dengan hal itu
juga berkehendak meneruskan perjuangan guna memajukan perlindungan hak-hak asasi setiap
manusia atas hidup, kebebasan dan keamanan pribadinya (sebagaimana bunyi pasal 3 Deklarasi
Hak-Hak Manusia, 1948), para pemimpin bangsa-bangsa baru ini lebih bergerak untuk
melantangkan seruan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan (sebagaimana yang bisa dibaca dalam Pembukaan
UUD RI 1945).

Dari premis pemikiran yang berbeda seperti itu terbedakanlah pula konsep dasar mengenai
makna fungsi negara, dan sehubungan dengan itu pula tentang makna hubungan hak dan
kewajiban antara negara dan manusia-manusia rakyatnya antara apa yang dianut di dunia Barat
yang kian mendominasi percaturan politik antara bangsa dan apa yang dianut dikalangan para
penguasa bangsa-bangsa baru, antara lain juga yang di Indonesia. Apabila mengingat pengalaman
sejarahnya bangsa-bangsa yang bertradisi Eropa Barat gampang mencurigai kekuasaan negara
sebagai pengancam kebebasan para warga yang amat potensial (dan oleh karena itu harus selalu
diwaspadai secara konstitusional agar tidak memperkosa hak-hak asasi manusia-manusia yang
berstatus sebagai warga negara), di kalangan bangsa-bangsa Asia dan Afrika rupanya lebih
dimarakkan paham bahwa negara itu justeru diharap-harapkan hadir untuk (misalnya menurut
versi Indonesia, sebagaimana terbaca dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945)
melindungi segenap bangsa dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Pernyataan di dalam UUD yang diundangkan pada tahun 1945 tentang kewajiban negara
untuk (antara lain) . Memajukan kesejahteraan umum dihubungkan dengan pasal 33-nya
tentang asas kekeluargaan dalam sistem perekonomian nasional, berikut pemberian kepercayaan
yang besar kepada negara untuk menguasai kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang
penting nyata kalau (boleh) dirujuk sebagai dasar pembenar konstitusional oleh pemerintah di
Indonesia untuk melancarkan seluruh program pembangunan, dengan memberikan kekuasaan
mendahulu kepada negara dan para pengemban kekuasaannya. Ketika pemerintah Orde Baru
memulai dan memprioritaskan secara amat sadar aktivitas pembangunannya pada akhir dasawarsa
1960-an dan/atau awal dasawarsa 1970-an, yang oleh karena itu pemerintah ketika itu juga
memaklumkan diri sebagai Pemerintah Orde Pembangunan, berbagai upaya dikerjakan untuk
267
mendahulukan misi negara dan pemerintah guna memajukan apa yang disebut kesejahteraan
umum ini, mengatasi misi-misi lain. Tanpa sadar, HAM dengan demikian acapkali dari
perspektif kepentingan para pengemban kekuasaan negara, yaitu pemerintah lalu gampang
tertafsir sebagai hak asasi manusia yang telah dimandatkan (dialihkan!) ke tangan aparat
pemerintah berikut para pejabatnya.

Pemahaman HAM yang tertafsir dan terimplementasi sebagai hak segala bangsa dan
bukan hak yang asasi bagi individu-individu warganya memang sungguh berfungsi sebagai
kekuatan untuk memerdekakan bangsa-bangsa terjajah dari penjajahan bangsa-bangsa asing.
Namun, konsep yang demikian itu, dalam perkembangan dan dalam kenyataan, pada akhirnya
hanya akan memperkuat hegemoni negara. Negara dalam hubungan ini lalu acapkali menjadi
terkonsepkan sebagai suatu organisme yang merepresentasikan kepentingan manusia-manusia
penyandang hak juga. Kalaupun tidak dalam sosoknya yang organik-biologis, negara tak
jarang-jarangnya digambarkan dalam sosoknya yang supraorganik, bahkan sebagai suatu sosok
yang lebih sempurna daripada kodrat oknum-oknum individualnya. Dalam konsep seperti itu tentu
saja orang tak lagi bisa bicara mengenai HAM sebagai hak-hak manusia warga (warga negara !).

Perkembangan menjadi kian kurang menguntungkan manakala lebih jauh lagi negara tak
lagi cuma dimaknakan sebagai komunitas politik yang pada esensinya merupakan totalitas
kehendak para warga, melainkan sudah menjadi disamasebangunkan dengan sosok pribadi para
(atau mungkin malah sang) tokoh penguasa puncak yang sentral yang selalu dianggap
berwenang melakukan tindakan macam apapun atas nama negara dan bangsa. Sosok sentral inilah
yang kemudian diperlakukan dan memperlakukan dirinya tidak cuma sebagai simbol eksisnya
sebuah negara bangsa melainkan sudah dipujikan dan memuji diri dalam kenyataan (kalaupun
tidak terkesan retoris-retorikanya) sebagai sosok negara itu sendiri. Dalam proses distorsi
konseptual seperti itu, HAM sebagai hak-hak asasi manusia individual lalu benar-benar menjadi
alienable dan bahkan juga violable sewaktu-waktu, karena kini sang sosok sentral yang
berkedudukan di puncak itu telah mempunyai legitimiasi untuk bertindak atas nama rakyat.
Apalagi kalau sampai keyakinan kuno yang feodalistis tentang manunggaling kawula marang
Gusti itu berhasil diimbuhkan sebagai dasar legitimasi untuk memutlakkan kewenangan dan
kekuasaan pemerintah berikut para pejabatnya.

Perbedaan visi tentang universal atau partikularitasnya HAM sebagai mana dibentangkan
di muka itu tak ayal lagi terbawa-bawa ke tengah polemik mengenai luas-sempitnya batas
kebebasan yang tersirat dalam berbagai hak asasi manusia warga, tak ayal juga dalam ihwal
hak-haknya yang asasi dalam kehidupan beragama. Kaum partikularis selalu berpendapat bahwa
stiap bangsa (yang dalam hal ini boleh dipersonifikasikan dalam wujud tokoh-tooh pemua-pemuka
politiknya yang tengah berkuasa) selalu memiliki hak dan kewenangan untuk menetapkan
standar-standarnya sendiri mengenai apa yang harus dibilang asasi (berikut batas-batas kebebasan
pelaksanaannya) dan mana pula yang harus dibilang bukan yang asasi. Adakah kebebasan
beragama itu merupakan suatu hak berkebebasan yang asasi setiap manusia, nota bene manusai
yang kini telah berstatus warga (dan bukan lagi kawula), yang oleh sebab itu mana mungkin boleh
dicabut dan diambil untuk dialihkan begitu saja oleh sesiapapun yang mengklaim dirinya sebagai
penguasa negara? Ataukah dalam soal kehidupan beragama itu hak-hak yang asasi (untuk
mengatur dan mengontrolnya) berada di tangan para pejabat pemerintah yang beranggapan
mempunyai kewenangan konstitusional dalam soal itu atas nama bangsa dan negara (dan
268
mungkin juga atas nama agama itu sendiri?); sedangkan dalam ihwal ini para warga tak lebih
hanyalah penyandang kewajiban-kewajiban saja yang asasi.

Berbicara tentang persoalan dan HAM, ada dua hal yang sebenarnya perlu diperhatikan
dan sisepakatkan terlebih dahulu guna mencegah kesalahpahaman. Yang pertama ialah, apakah
yang dimaksudkan dengan agama dalam perbincangan ini? Yang kedua ialah, mengapa
perbincangan untuk mempertanyakan peran agama dalam usaha-usaha menegakkan hak-hak
manusia yang asasi (HAM) baru muncul belakangan ini saja, ialah semasa tumbuhkembang dan
maraknya negara-negara bangsa yang modern baik di negeri-negeri Barat maupun di
negeri-negeri Timur yang justeru sering tertengarai cenderung sekular namun demokratis?
Mengapa tidak dulu-dulu semasa jaya-jayanya kekusaan kekuasaan imperium teokratis yang
acapkali justeru menggunakan agama sebagai dasar pelegetimasi kekuasaan?

Sesungguhnya agama itu adalah ajaran dengan baik-buruk yang menurut agama-agama
samawi diwahyukan oleh Allah kepada manusia melalui nabinya tentang apa yang harus
diperbuat dan diperlakukan ini ada dua macam; yaitu, yang pertama, ajaran berperilaku yang harus
dipatuhi manusia dalam hubungannya yang vertikal dengan Sang Penciptanya dan, yang kedua,
ajaran berperilaku yang harus dipatuhi manusia dalam hubungannya yang horisontal dengan
sesamanya. Berbicara dari perspektif agama tentang manusia dan hak-haknya khususnya
hak-haknya yang terbilang asasi yang menurut konsep dasarnya merupakan hak-hak yang tak
dapat dirampas dan ditiadakan oleh sesiapapun tentulah harus digolongkan ke dalam jenis
perbicangan tentang hak-hak manusia di hadapan sesamanya yang sama-sama warga (dalam garis
hubungan yang horisontal) itu, dan tidak sekali-kali boleh dimaksudkan sebagai hak manusia di
hadapan Allah (dalam garis hubungan yang vertikal) itu.

Agama sebagai wahyu Allah ini tak pelak lagi harus diyakini sebagai suatu kabar yang
berkebenaran mutlak. Namun, dalam kehidupan manusia yang fana ini, apa yang berkebenaran
mutlak itu sesungguhnya tak pernah bisa sampai secara sempurna ke dalam relung-relung
kepahaman manusia yang senantiasa serba berkekurangan itu. Maka berbicara soal agama dalam
stiap isu yang bersangkutan dengan kehidupan dan pengalaman manusia, yang akan dimaksudkan
dengan agama dalam setiap perbincangan itu haruslah bukan agama dalam makna esensialnya
sebagai ajaran yang berkebenaran mutlak, melainkan harus dibataskan hanya sejauh kepahaman
manusia yang relatif dengan isi ajaran itu. Dari sinilah awal mulanya, mengapa perjuangan warga
masyarakat untuk memperoleh pengakuan atas hak-haknya yang asasi di hadapan para pengusa
pengemban kekuasaan negara itu baru sempat marak akhir-akhir ini saja; yaitu baru setelah
pergulatan pemikiran manusia sampai pada suatu kepahaman bahwa seperti yang dirumuskan di
negeri-negeri Kristiani pada era awal tumbuh kembangnya kehidupan berbangsa dan bernegara
vox pupuli, vox Dei. Suara Tuhan tidaklah terdengar melalui suara nurani manusia-manusia
pejabat yang elit, melainkan melaui nurani manusia yang warga.

Sesungguhnya yang dengan tengah terjadi dalam persoalan usaha memperjuangkan
dihormati dan ditegakkannya hak-hak asasi manusia itu adalah pergulatan pemikiran manusia
modern tentang ruang kebebasan manusia (sebagai bagian dari hak-haknya yang asasi berkat
eksistensinya yang kodrati sebagai manusia) yang harus dihormati oleh sesiapapun yang
berkekuasaan. Pergulatan pemikiran ini tak selamanya berlangsung dalam ranah-ranah yang
sekular, karena bagaimanapun perbicangan tentang sesuatu yang bersubstansi normatif dan/atau
269
bertolak dari premis-premis moral guna memperoleh dasar-dasar pembenaran yang bermakna
esensial akan memasuki juga ranah-ranah ajaran, tak cuma yang ideologis dan falsawati akan
tetapi acap pula memasuki yang religius.

Di sinilah para pemuka dan para eksponen dalam dunia pemikiran terpanggil untuk ikut
berbicara, entah dari titik pendiriannya yang konservatif entah pula yang titik pendirannya yang
progresif; entah yang hendak berkutat diseputar interpretasi-interpretasinya yang tekstual, entah
pula yang siap berpikir ulang untuk mendekonstruksi konsep usang guna memungkinkan
rekonstruksinya yang mutakhir secara kontekstual; entah yang berpihak pada pendapat bahwa
manusia pada hakekatnya adalah kawula dalam suatu kehidupan bernegara dengan
penguasa-penguasanya yang berlegitimasi teokratis (yang karena itu manusia yang terbilang
rakyat harus tahu mendahlulukan kewajiban daripada hak), entah pula yang berpihak pada
pendapat bahwa manusia itu tanpa kecualinya adalah warga dalam setiap kehidupan
bermasyarakat dan bernegara di bawah kepemimpinan pemuka-pemuka yang berlegitimasi
demokratis (yang oleh karena itu manusia arif yang terbilang orang pemerintahan harus tahu
mndahulukan hak rakyat daripada kewenangannya yang sesungguhnya bermakna amanah).

Di Indonesia, pergulatan pemikiran seperti inipun tengah berlangsung, dan
tampak-tampaknya belum akan segera selesai. Karena konteks-konteks kehidupan yang dengan
cepat telah berubah from old ethnic local societies to modern nation states yang berlanjut ke
global society: one world, different but not divided progresisme tampaknya akan melindih
konservatisme. Ditengah-tengah perubahan yang tak lagi dapat dielakkan ini, humanisme dan
nasionalisme yang humanistis yang mengakui setiap manusia (yang disapa dalam seluruh kitab
al-Quran dengan sebutan al-insan) sebagai kalifatullah yang harus mendahulukan kewajiban di
hadapan Allah namun berhak menuntut diakui dan dihormatinya hak-haknya yang asasi di
hadapan sesamanya, di negeri manapun dipermukaan bumi ini sang manusia ini berada boleh
diramal akan melindih otorianisme dan nasionalisme yang berpandangan sempit. Kinilah saatnya
setiap cendekiawan pemikir meninjau ulang posisi pemikirannya.

Tak pelak lagi, di bidang pemikiran agama pun para mujtahid tak dapat mengelakkan diri
untuk terus melakukan reposisi secara progresif, memutakhirkan kepahaman-kepahaman mereka
tentang apa yng telah dijarkan oleh Allah, beriring dengan setiap gerak perubahan yang terjadi
dalam setiap konteks kehidupan di bumi dan fana ini. Itu semua adalah komitmen setiap manusia
warga yang tengah terus mencari kebenaran Illahi yang hakiki, dan bukan sekali-kali urusan
negara dan para pejabatnya yang umumnya selalu saja merasa berwenang mendiktekan segala
macam wawasannya sendiri (yang justeru jarang boleh didialogkan) kepada para warga yang
dipandangnya secara salah cuma sebagai massa mukalid belaka.


23
DOKTRIN SUPREMASI HUKUM
Sebuah Tinjauan Kritis dari Perspektif Historis Mengenai
Perkembangan Hukum Barat




Pendahuluan

SUPREMASI hukum doktrin sentral yang menjadi reason of existence hukum
Barat adalah suatu doktrin hukum yang sudah bermula dan berkembang sejak lama di
negeri-negeri Eropa (kawasan Katolik ) Barat. Dalam bentuk embrionalnya, doktrin ini
sudah mulai berkembang sejak dimaklumatkannya Dictatus Papae oleh Paus Gregorius
VII pada tahun 1075, pada suatu abad tatkala dunia Nasrani terancam merosot ke titik
nadir setelah terpukul kekalahan berulang dalam perang salib. Mereaksi kenyataan seperti
itu, dengan maklumatnya itu Paus Gregorius VII mencoba mengorganisasi kembali
kehidupan umat di kawasan Barat. Manifesto Paus ini berisi tak kurang dari 27 butir yang
disusun dan dimaklumatkan sepihak, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Paus yang
juga Uskup di Roma itulah satu-satunya pemegang kekuasaan hukum yang tertinggi dan
universal atas segala urusan (baik yang rohani maupun yang duniawi) di kawasan
imperium Barat atas orang-orang Nasrani dan atas para padri, dan pula atas para
penguasa dunia, baik yang raja maupun yang kaisar. Sebagai pemegang kekuasaan
hukum tertinggi yang universal, Paus menyatakan bahwa dirinyalah satu-satunya
penguasa yang tak akan terikat pada ucapan dan keputusannya sendiri.

Pernyataan Paus yang mencitakan terwujudnya reformatio totius orbis (reformasi
atas seluruh tatanan dunia) ini segera saja mencetuskan konflik antara Paus dan Kaisar
Heinrich IV dari Sachsen, yang berlanjut dalam suatu peperangan yang terkenal sebagai
apa yang dalam kepustakaan berbahasa Inggris disebut Wars of Investiture. Perang yang
memprebutkan simbol kekuasaan tertinggi dalam kehidupan manusia antara Kaisar (yang
dibantu raja-raja berserta uskup-uskup setempat) dan Paus (yang juga dibantu oleh raja-
raja berserta uskup-uskup yang setia kepadanya) yang hendak mengintegrasikan kekuatan
rohani di satu kekuasaan sentral ini berlangsung 40 tahun lamanya. Perdamaian dicapai
dengan suatu persetujuan di Worms pada tahun 1122 tatkala kedua belah pihak
menyadari bahwa klaim mereka masing-masing tak lagi mungkin dipertahankan.
Concordatum dari Worms ini pada akhirnya memang menghasilkan pengakuan hukum
bahwa Paus adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas para uskup dan para awam. Akan
tetapi, sementara itu, secara tersirat persetujuan Worms ini menegaskan sekali lagi
kenyataan dan sekaligus suatu pengakuan yang penting tentang bertahannya secara
terpisah dua yurisdiksi, yaitu yurisdiksi Gereja di bawah kontrol Paus (dengan para
Uskupnya di satu pihak) dan yurisdiksi Negara Dunia di bawah kekuasaan Kaisar
(dengan para Raja dan Pangeran di lain pihak).

247
Dalam perkembangan seperti ini, Gereja sesungguhnya mengalami perubahan
konfigurasi dan paradigma yang amat bermakna. Gereja kini sudah bukan lagi suatu
komunitas spiritual yang teologis sifatnya, yang dikatakan oleh Agustinus di peralihan
abad 4 Masehi sebagai suatu civitas Dei dengan berbagai ragam strukturnya yang
hierarkis dan terkonsolidasi. Lebih lanjut lagi, struktur seperti itu kian harus diperteguh
demi kelestarian eksistensinya di hadapan struktur lain yang beryurisdiksi juga, yaitu
Negara Dunia, yang sekalipun ko-eksis namun tanpa ada hentinya selalu menantangkan
suatu interaksi persaingan dan konflik yang terus-menerus. Adanya dualitas yurisdiksi
dalam kenyataan sejarah dan pengakuan mengenai kemungkinan adanya lebih dari satu
yurusdiksi yang harus sama-sama diterima (dengan rela ataupun dengan rasa terpaksa!)
inilah yang kemudian mewarnai tradisi hukum Barat (tepatnya: di negeri-negeri dalam
kawasan wilayah Katolik Barat yang berpusat di Roma).

Pemilahan yurisdiksi berikut segala tegangan tarik-menariknya yang
memutakhirkan ragam bentuknya yang dualitas seperti itu kian menjadi nyata dan jelas
hampir seabad kemudian tatkala Raja J ohn dari Inggris memaklumatkan Magna Charta
pada tahun 1245 untuk mengkahiri perselisihannya dengan Paus Innoventius III. Dalam
Magna Charta itu raja mendeklarasikan pengakuan bahwa ecclesia Anglicana libera sit
(bahwa Gereja Inggris diakui bebas), yang harus diartikan bahwa gereja bebas dari
kontrol yurisdiksi raja dan para baron. Namun demikian, raja tetap mempertahankan
yurisdiksinya dalam soal prosedur pemeriksaan dan pengadilan terhadap sesiapapun
sampai selesai, sebelum kemudian menetapkan apakah seseorang yang diadili itu terbukti
terbilang orang Gereja atau bukan. Baru tatkala proses peradilannya selesai dan
kejahatannya di bawah yurisdiksi pengadian raja telah terbukti, si terpidana boleh
mengklain dan membuktikan statusnya sebagai seseorang padri dan karena itu bisa
memohon agar perkaranya diteruskan ke bawah yurisdiksi Gereja. Sementara itu, seperti
juga halnya di Perancis, dalam kasus-kasus sekular yang nonkepadrian dan merupakan
kejahatan yang serius seperti misalnya pembunuhan berencana, penyiksaan, perampasan
yurisdiksi kerajaan tetap berlaku bagi siapa pun, tak soal apakah sang tertuduh itu orang
biasa ataukah terbilang ke dalam ordo kepadrian. Magna Charta dari tahun 1245 ini
menegaskan sekali lagi adanya dualitas yurisdiksi, yang juga bermakna sebagai
penegasan tiadanya pengakuan akan adanya kekuasaan hukum yang tunggal, yang
hendak mengklaim yurisdiksinya sebagai satu-satunya yurisdiksi yang universal.

Pemilahan yang tak dapat ditiadakan dan yang kemudian daripada itu
menghasilkan dualitas yurisdiksi antara yang Gereja dan yang Kerajaan yang disebut
Negara Dunia itu pada akhirnya mendorong dengan segera terjadinya pembenahan
kelembagaan dalam wilayah hukum masing-masing. Sepanjang konflik kian
tertegaskanlah bahwa yurisdiksi Gereja bukanlah satu-satunya yurisdiksi hukum di dunia
ini. Sepanjang konflik tersebut kian tertegaskanlah garis ide dan realitas status-status
(state) yurisdiksi baik yang mesti ditata atas dasar hukumnya sendiri. Inilah status
kehidupan rohaniah atau duniawi yang mesti ditata berdasarkan the rule of law. Ide
rechtsstaat yang di Indonesia secara salah kaprah terlanjur diterjemahkan negara
hukum ini tersimak dalam realitas sejarah Eropa Barat pada masa itu dalam wujud
kenyataan, bahwa para penguasa dari dan dalam kawasan yurisdiksi masing-masing itu
harus membangun dan mengelola sistem hukum mereka masing-masing. Negara Dunia
248
yang dipimpin Kaisar mengembangkan ahli-ahlinya sendiri yang membangun sistem
hukum berdasarkan asas-asas hukum Romawi, sedangkan Gereja di bawah
kepemimpinan Paus mengembangkan sistem hukumnya sendiri atas dasar ajaran Kristus,
yang kemudian terkenal benar sebagai hukum kanonik. Pengakuan akan peran hukum
sebagai dasar kehidupan bernegara lalu serta merta menjadi amat bermakna di sini.

Di sini, menurut ide dan realitasnya yang mentradisi, norma-norma hukum
dirumuskan dan diundangkan, sistem peradilan dibina, lembaga-lembaga dibentuk dan
ditata berdasarkan aturan-aturan hukum. Gereja lalu bukan lagi terkonsepkan sebagai
suatu kesatuan spiritual melainkan, sama-sama seperti dan Negara Dunia, lalu
mewujudkan diri sebagai suatu korporasi yang berstruktur birokratis, hierarkis dan
berparadigma politik. Di sini pula para penguasa terikat oleh aturan-aturan hukum yang
dibentuk, dinyatakan dan diundangkannya sendiri karena hanya dengan mematuhi prinsip
dan konsep ideal rule of law yang berhakikat pula sebagai ide supremasi hukum ini
sajalah para penguasa Gereja di satu pihak dan penguasa Kerajaan di lain pihak dengan
segala kepastian akan dapat mengenali batas yurisdiksi pihak lain dan batas yurisdiksinya
sendiri. Ide seperti ini memberikan kedudukan objektif kepada hukum dan menjadikan
hukum suatu fenomena yang memanifestasikan adanya otoritas tersendiri dan
independen, lepas dan berada di luar otoritas manusia-manusia pembentuk dan
pengundangnya. Asasnya adalah The Rule of Law, dan bukan lagi The Rule of Men,
seperti yang terjadi sebelum dimaklumatkannya Dictatus Papae Paus Gregorius VII dan
konflik-konflik bersenjata yang kemudian menyusul. Pada wkatu itu yang disebut hukum
adalah yang terutama bersumber dari nurani subjek-subjek atau kehendak-kehendak
normatif (bahkan selera estetis dan etis) orang per orang.


Perkembangan Lebih Lanjut Konsep The Rule of Law

Sungguh menarik untuk dsimak bahwa ide supremasi hukum yang berkembang
dalam wujudnya yang demikian itu sebenarnya dapat dikembalikan pada akar idealnya
yang lebih awal lagi, yaitu konsep bahwa segala norma-norma hukum yang mengatur
kehidupan manusia ini sebenarnya merupakah hasil pernjanjian manusia dengan
Tuhannya. Perjanjian Lama antara umat Yahudi (untuk menaati perintah Tuhan) dengan
Tuhan (yang akan menjanjikan balasan pahalanya) dan Perjanjian Baru antara umat
Nasrani dengan Tuhan, kini secara diam-diam telah berkembang dalam wujudnya sebagai
perjanjian antara dua penguasa untuk sama-sama menaati hukum Tuhan menurut tafsir
dan batas yurisdiksi mereka masing-masing yang (bagaimanapun juga!) mestilah
berkepastian. Pacta sunt servanda. Ide rule of law yang terlahir dari peristiwa sejarah
yang terjadi sepanjang era pasca-maklumat Gregorius VII namun yang dapat
dikembalikan ke ide supremasi hukum Tuhan sebagaimana dikisahkan di muka itu
tetaplah bertahan sepanjang abad-abad berikutnya, dan tidaklah surut walaupun otoritas
Gereja tercatat mundur secara pasti pada abad-abad 13-14.

Otoritas Gereja mundur karena ketergantungannya yang kian besar pada
penguasa-penguasa dunia yang harus menyediakan bantuan bala tentara dan dana-dana
dengan memperoleh imbalan berbagai konsesi sepanjang berlangsungnya Perang Salib
249
dua abad lamanya (tahun 1095-1291) untuk memperebutkan Tanah Suci, khususnya
Darussalam (Yerusalem), yang nyatanya sia-sia. Mundurnya otoritas Gereja dalam
percaturan politik kian bertambah tatkala Martin Luther (1483-1546), seorang teolog
J erman (yang diakui sebagai salah seorang reformis pembaru ajaran agama yang
melahirkan apa yang kemudian oleh Max Weber disebut Protestantisme) menyerukan
pentingnya segera melakukan rekonstitusi dalam kehidupan dan ajaran Kristiani.
Reformasi Lutheran yang kemudian menyebabkan terjadinya perpisahan Gereja antara
yang Protestan dan yang Katolik ini mengajarkan keharusan untuk segera melakukan
proses depolitisasi Gereja, agar Gereja bisa lebih berkonsentrasi pada urusan-urusan yang
sepenuhnya eklesiastikal, dan dengan demikian juga menyegerakan terealisasinya proses
sekularisasi negara-negara nasional berikut hukum-hukumnya. Adalah keyakinan
Lutheran bahwa sentralisasi dalam segala urusan (tidak hanya yang akhirat tetapi juga
yang duniawi) yang masih saja mesti dipulangkan ke tangan Paus di Roma hanya akan
menyebabkan krisis-krisis dalam kehidupan berbangsa dan beragama di berbagai negeri
yang tengah mengalami suatu kehidupan baru atas dasar kapitalisme yang tidak kunjung
teratasi.

Namun demikian, ide rule of law dalam situasi yang menempatkan hukum pada
statusnya yang tertinggi (the supreme state of law) tidaklah ikut mundur begitu saja. Tak
lain karena ide menempatkan hukum pada statusnya yang tertinggi itu tidak tergantung
pertama-tama pada hadir-tidaknya kekuasaan Gereja melainkan pada fakta dan
pengakuan atas fakta adanya dualitas atau bahkan pluralitas tertib dan sistem hukum
dalam kenyataan sejarah, dengan kewenangan masing-masing penguasa yurisdiksi untuk
membentuk (bukan membuat) hukum dari sumbernya yang Illahi. Adagium lama cuius
regio eius religio yang bermakna agama (dan tafsir-tafsirnya yang menjadikannya
hukum dunia) yang dianut rakyat di suatu daerah akan ditentukan oleh siapa pun yang
tengah menjadi penguasa yurisdiksi di situ tetap berlaku. Adagium seperti inilah yang
kemudian menyebabkan pluralitas sistem hukum di seantero negeri menjadi tetap terjaga
dan terpertahankan, sekalipun konflik dan perang saudara antara para Pangeran di J erman
yang beragama Katolik dan yang beragama Protestan untuk berebut dominasi dan
hegemoni terus saja berlangsung dengan amat sengitnya sepanjang masa-masa itu.

Pluralitas sistem hukum yang menjadi dasar paradigmatis eksistensi ide rule of
law seperti ini menjadi kian marak lagi pada abad-abad berikutnya tatkala kesadaran
kebangsaan telah kian menyurutkan wibawa Gereja dan para Pangeran serta penguasa-
penguasa lokal, dan akan gantinya menumbuhkembangkan satuan-satuan nasional
dengan penguasa-penguasa kerajaan yang sentral. Ide rule of law tetap bertahan untuk
memberikan kepastian mengenai hukum apa yang sebenarnya tengah berlaku di
lingkungan yurisdiksi berbagai satuan baru yang terbentuk dalam format bangsa. Kali ini
ide itu juga terfungsikan demi terjaminnya kepastian dalam hubungan antar-bangsa (baik
dalam suasana damai maupun dalam suasana perang). Dalam perkembangan ini kian
nyata betapa ide rule of law berfungsi pertama-tama demi kepentingan hubungan antar-
yurisdiksi lebih-lebih sesudah tercapainya perdamaian di Westphalia pada tahun 1648
yang mengakhiri perang 30 tahun antara para Pangeran Katolik dan Protestan dan kali ini
yang dimaksudkan hubungan antar-yurisdiksi itu tak lain (utamanya) adalah hubungan
antar-yurisdiksi negara-negara bangsa. Kesadaran berbangsa telah menjadikan Eropa
250
Barat memasuki era baru, suatu era yang mengakhiri proses the making of Europe
sebagai The making of Kings (oleh atau atas wibawa Gereja). Peta politik Eropa kini
(ikut) dibentuk oleh proses perkembangan kesadaran berbangsa, sekalipun konsep bangsa
seperti yang terwujud di J erman dan Perancis bisa berkembang berbeda dengan hasil
yang berlain-lainan.

Sejak awal abad 17 sejarah Eropa memang menyaksikan maraknya
perkembangan negara-negara bangsa yang kian sekular, yang menjadikan kitab suci
bukan satu-satunya sumber hukum. Inilah negara-negara bangsa yang kian nyata bersifat
antroposentris (harap ingat dalam hubungan ini adanya kepercayaan bahwa vox populi,
vox Dei) yang mengakhiri masa teosentrisme (yang percaya akan adanya hukum alam
yang berlaku universal secara kodrati di luar kuasa rasionalitas manusia-manusia).
Sementara itu, dalam perkembangan situasi seperti itu, muncul dan berkembanglah pula
peran puak ketiga dengan tuntutannya untuk memperoleh pengakuan atas eksistensi
hukumnya sendiri yang terbebas dari imperatif hukum Gereja ataupun hukum Kerajaan.
Mereka yang termasuk puak ketiga ini adalah para saudagar yang tidak hendak bersetia
kepada siapa pun yang tengah bersengketa kecuali kepada pasar yang netral. Di tengah
peperangan yang melanda seluruh negeri, mereka menuntut jaminan kenetralan untuk
tidak ditundukkan ke yurisdiksi Gereja maupun Kaisar dalam suatu hubungan yang
hierarkis. Berkat kesediannya membayar pajak dan upeti, mereka berada pada suatu
posisi untuk memperkuat tuntutan agar diakui kebebasan mereka untuk bergerak
melintasi perbatasan-perbatasan negeri tanpa diganggu.

Di tengah perubahan kondisi sosial-ekonomi sepanjang abad sejak usainya wars of
investiture dan Perang Salib, peran para saudagar yang berkubu di kota-kota mulai kian
marak. Pada abad pertengahan, kota-kota (cite, bourge, Burg) seperti itu dan bukan biara-
biara dan bukan pula puri-puri berkembang sebagai pusat-pusat kegiatan baru dengan
hegemoni paham mereka yang baru pula (yang disebut industrialisme, urbanisme,
kapitalisme dan sekularisme) dalam rangka mengejar keselamatan dunia, yang lebih
didahulukan sebelum mengejar keselamatan akhirat. Dalam perkembangan seperti itu
manusia-manusia cite (citesein: citi+en) alias manusia-manusia bourge (bourgeoise) alias
pula manusia-manusia Burg (burger) memperoleh jati dirinya yang juga baru. Mereka
adalah individu-individu yang terbebas dari berbagai afiliasi lama untuk setia kepada
kolektiva-kolektivanya yang semula, yang primordial dan/atau patrimonial sifatnya.
Inilah jati diri yang lebih universalistis, berkesetaraan di antara sesamanya, suatu model
homo aequalis yang karena itu selalu saling memandang kesamaan kedudukan di
hadapan hukum dan dalam setiap proses hukum dalam suatu kancah kehidupan baru yang
nasional-translokal, terbuka, inklusif, dan tidak lagi mendasarkan diri pada prinsip
domestisitas yang tertutup dan ekslusif (dengan suasananyayang serba privat dan
personal serta pula hierarkis).


Konsep Rule of Law dalam Kehidupan Civil Society

Kian mengedepannya peran dan pengaruh kaum baru yang berkubu di kota-kota
dalam perkembangan politik dan hukum di Barat sebagaimana telah dipaparkan di muka
251
itu telah menambahkan warna-warna baru dalam perkembangan ide rule of law dalam
suasana law state yang kian tergambar jelas dan tegas. Karena tidak tersubordinasi di
bawah yurisdiksi siapa pun kecuali di bawah yurisdiksi hukumnya sendiri yang bersifat
lintas-negeri, maka dalam posisinya yang netral demikian itu mereka yang kemudian
dikenali sebagai kaum citesein atau bougeouise yang tuntutannya adalah untuk
berkebebasan membuat hukumnya sendiri dan berkewenangan mengadili kaumnya
sendiri berdasarkan hukumnya sendiri. Tuntutan seperti ini sebenarnya merujuk saja ke
tradisi lama para baron tatkala mereka berhasil menolak berlakunya hukum dan peradilan
Raja atau Gereja, yaitu tradisi iudicium pares. Ini adalah tradisi untuk menetapkan bahwa
seseorang anggota kaum hanya bisa diadili oleh sesamanya dalam proses peradilan yang
mendasarkan diri pada hukumnya sendiri yang dimaklumatkan sebagai law of the
country).

Berkubu di kota-kota perdikan yang bebas dari campur tangan kekuasaan luar
mana pun, pengaruh kaum bourgeoise yang berkapital ini dalam percaturan sosial-politik
Eropa Barat secara berangsur tetapi pasti menjadi kian amat bermakna, lebih-lebih tatkala
peran modal-modal mereka yang harus ikut menyokong industrialisasi dan usaha
meningkatkan pendapatan nasional masa itu. Berbasis di kota-kota yang otonom,
dilindungi oleh berbagai charters atau chartula, mereka mewujudkan diri sebagai suatu
sovietas civilis (civil, civis =warga) alias masyarakat warga yang eksis dan berfungsi
sebagai satuan-satuan yang tak lagi berbasis hubungan patron-klien antara Gusti dan para
kawulanya. Masyarakat ini terorganisasi sebagai satuan-satuan transdomestik dengan
berbagai kegiatan produktif manufaktural di kota-kota yang otonom dengan hak untuk
mengurus rumah-tangganya sendiri dan untuk mengatur berbagai hubungan internal
antara mereka sendiri. Maka, berihwal dan bermodel seperti itu, masyarakat-masyarakat
warga membuktikan diri sungguh berkemampuan menciptakan dan menguasai bersama
suatu ruang publik (public sphere) yang netral di luar ruang privat-domestik mereka
masing-masing. Inilah ruang yang dapat memberikan kebebasan gerak kepada para warga
secara individual untuk mengatur hubungan antar-mereka sendiri yang sosial dan
kontraktual sifatnya, di luar status mereka masing-masing yang terbilang domestik dan
privat.

Mempelajari tatanan normatif masyarakat kota yang otonom, dapatlah diungkap
prinsip dasarnya, bahwa bangunan normatif (alias kostitusi) masyarakat yang satu ini
sungguh-sungguh bersumber dari dalam sendiri, terbangun dan berbasiskan kesepakatan-
kesepakatan kehendak para subjek warga yang dituangkan dalam wujud charter. Tak
salah lagi, hubungan-hubungan antar-warga yang privat alias nonpublik itu pun dibangun
atas dasar asas yang sama; yaitu dasar kesepakatan internal antar-subjek yang warga itu,
tertuang dalam wujud perjanjian atau apa yang kini dikenali sebagai kontrak-kontrak.
Tatanan normatif yang terwujud baik dalam ranah privat (kontrak) maupun dalam ranah
publik (constitutional charters) seperti itu nyata kalau memungkinkan terwujudnya
satuan-satuan kehidupan inklusif yang netral dan sekular, dan tidak lagi merupakan suatu
kehidupan eksklusif yang berbasiskan religi, sebagaimana yang selama itu dipraktikan
untuk menegakkan kehidupan masyarakat feodal dan negara Gereja dan monarki yang
teokratis). Dalam hubungan ini, charters dan kontrak-kontrak masing-masing jelas telah
252
mampu memandang dirinya sebagai makhluk yang rasional dan terbebas dari berbagai
imperatif tradisi dan askripsi.

Kemungkinan untuk memahami dan menteorikan charters dan kontrak-kontrak
privat sebagai materi-materi yang memungkinkan terbangunnya internal legal order
masyarakat warga yang otonom itu hanyalah dapat dikerjakan apabila orang bersedia
memberangkatkan pemikirannya dari dua asumsi dasar: pertama bahwa manusia itu
menurut kodratnya adalah makhluk yang bebas dan mampu berkehendak bebas untuk
membuat pilihan-pilihannya sendiri secara rasional; dan kedua, bahwa kebebasan ini
terkodratkan pada siapa pun yang manusia, tanpa kecualinya, sehingga setiap manusia
harus dipandang berkedudukan sama. Asas kebebasan merujuk ke pembenaran adanya
kemampuan manusia untuk mengekspresikan kehendak-kehendaknya yang subjektif;
sedangkan asas kesamaan kedudukan merujuk ke pembenaran adanya kemungkinan
manusia-manusia untuk membuat kesepakatan-kesepakatan kontraktual. Kesepakatan
adalah refleksi intersubjektif individu-individu warga, dan terpandang sebagai pangkal
awal terjadinya proses positivisasi dan objektivisasi yang menghasilkan charters atau
hukum undang-undang yang dalam teori juga dikonsepkan sebagai kontrak (kontrak
sosial!). Lewat proses kontraktual seperti itu terciptalah suatu ruang publik di antara
sesama yang berkesetaraan.

Asumsi dan konsep dasar mengenai manusia individu bebas dengan kedudukan
yang bersederajat antar-sesamanya untuk membuat perjanjian bermasyarakat dan
mencapai kesepakatan publik sebagaimana realitasnya tersimak dalam kehidupan
masyarakat warga di kota-kota ini direkonstruksi, writ at large, oleh Rousseau (1712-
1778) untuk merasionalisasikan model negara bangsa yang modern. Itulah sebabnya
Rousseau tetap menggunakan istilan societe civile untuk menyebut negara bangsa.
Karena cuma merupakan model hasil suatu rasionalisasi, notasi Rousseau mengenai
adanya kesepakatan warga yang berkontrak sosial untuk membentuk suatu kehidupan
bermasyarakat negara ini tidaklah dimaksudkan sebagai pengungkapan suatu kejadian
faktual dalam sejarah. Kesepakatan kontraktual antar-manusia warga yang dimaksudkan
ini, sekalipun bukan fakta dan fakta historis, akan tetapi amatlah berfungsi sebagai suatu
konstruk abstrak dalam teori dan ajaran ketatanegaraan atas dasar prinsip demokrasi.
Inilah doktrin atau teori yang akan menjelaskan secara normatif bagaimana suatu modus
harus ditempuh agar suatu otoritas politik dengan segenap kawasan yurisdiksinya dapat
dibentuk dan serta merta memperoleh dasar legitimasinya yang publik dan tidak privat
(privilege).

Konstruksi kontrak sosial Rousseau mengetengahkan suatu moral politik baru,
bahwa kedaulatan yang kemudian dikenali sebagai kedaulatan rakyat itu sebenar-
benarnya berasal dari kedaulatan individu (yang bebas dan antar-sesamanya didoktrinkan
sebagai berkesamaan derajat), dan dalam kehidupan nasional tidak sekali-kali bermula
dari kedaulatan para penguasa, baikyang Kerajaan maupun yang Gereja. Kalaupun teori
perjanjian yang klasik itu tetap dipakai di sini, perjanjian itu tidak lagi berarah vertikal
(antara manusia dengan Tuhannya yang di atas sana) melainkan berarah horizontal
antara manusia dengan sesama manusia yang sama-sama ada di dunia ini. Maka
sekularisasi (atau tepatnya positivisasi) hukum telah terjadi, yang sekaligus menyatakan
253
pengakuan legitimasi hukum yang internal, yuridis, temporal serta partikular, dan tidak
sekali-kali eksternal, metayuridis, abadi dan universal. Maka pula, dasar legitimasi
seluruh bangunan hukum nasional itu kini bukanlah lagi hukum Tuhan yang harus
ditelusur ke sumbernya berupa Kitab ataupun alam, melainkan ke Grundnorm yang telah
mengalami positivisasi itu, yang secara umum diistilahkan konstitusi atau yang di
Indonesia diistilahkan undang-undang dasar (sebagai terjemahan dari grondwet)



Rule of Law, Konsitusionalisme dan Perlindungan Hak-Hak Asasi Warga

Kini konstitusi suatu istilah baru yang mulai populer penggunaannya (untuk
menggantikah istilah Charta atau chartula) sejak Amerika Serikat pada tahun 1787
menggunakan istilah The Constitution untuk menggantikan apa yang semula lebih
dikenal dengan istilah charter lebih tegas dan jelas lagi tidak cuma dipahamkan sebagai
dokumen. Malah, lebih lanjut lagi, konstitusi bukanlah pula cuma dimengerti sebagai
keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang secara fundamental mengkaidahi sifat,
fungsi dan batas-batas kekuasaan atau kewenangan pemerintah. Konstitusi adalah juga
suatu ajaran suatu isme, konstitusionalisme yang mengajarkan keyakinan bahwa
kekuasaan itu hanyalah fungsi kebebasan, dan bahwa kewenangan itu hanyalah fungsi
hak-hak manusia warga negara. Luas-sempitnya kewenangan para penguasa
pemerintahan akan ditentukan oleh kesediaan manusia-manusia warga untuk melepaskan
(sementara!) sebagian dari hak-haknya yang kodrati dan asasi.

Menuruti konsepnya yang formal, konstitusi memang dapat didefinisikan sejumlah
ketentuan perundang-undangan yang disusun secara sistematis untuk menata dan
mengatur pada pokok-pokoknya (dalam bahasa deklaratif) struktur dan fungsi berbagai
institusi pemerintah termasuk ihwal kewenangan dan batas kewenangannya yang
diperlukan demi berlangsungnya kehidupan suatu komunitas politik dalam formatnya
yang nasional. Dalam artinya yang lebih sempit, konstitusi bahkan cuma diartikan
sebagai charter atau dokumen yang memuat ketentuan-ketentuan tersebut. Padahal,
sebenarnya konstitusi dalam artinya sebagai sejumlah ketentuan pasal dan ayat
perundang-undangan itu cumalah gambaran tentang wadah atau raganya saja, dan bukan
jiwa atau semangatnya. Dikatakan bahwa undang-undang itu dalam tarafnya sebagai
undang-undang dasar sekalipun ternyata wujudnya hanyalah merupakan wujud
manifestasi yuridisnya saja dan bukan hakikat nilai adabnya. Tak pelak lagi, untuk
memahami makna-maknanya, orang harus bersedia dan mampu membongkar seluruh isi
kandungan yang tersirat, dan tidak cuma yang tersurat, yaitu apa yang telah disebut di
muka; konstitusionalisme.

Sebagaimana istilah konstitusi itu sendiri yang muncul sebagai pengalaman
kesejarahan pada suatu masa dalam kehidupan hukum dan politik orang-orang Barat,
demikian pula istilah konstitusionalisme ini. Sekali lagi dikatakan dan diingatkan di
sini bahwa esensi ajarannya bisa ditelusur balik ke awal perkembangannya dahulu pada
masa-masa terjadinya berbagai reformatio dan/atau revolusi di benua Eropa Barat. Pada
akhirnya, ide konstitusionalisme yang dijadikan tumpuan kehidupan bernegara dan
254
kehidupan berhukum di negeri-negeri demokrasi dapatlah dipulangkan ke esensinya yang
berjumlah dua. Yang pertama tentu saja konsep rule of law yang klasik, yang
mengajarkan bahwa otoritas hukum itu universal mengatasi otoritas politik, (dan tidak
sebaliknya), yang sekaligus juga menyiratkan kemenangan pluralisme atas monisme.
Yang kedua ialah konsep yang muncul pada era yang lebih mutakhir, yaitu kebebasan
sebagai hak manusia yang kodrati, yang tetap tak bisa diambil-alih kapan pun oleh
kekuasaan di mana pun dalam kehidupan bernegara (inalienable), serta pula yang harus
dijaga dan dipertahankan eksistensinya agar tetap intact, utuh dan tak tercacat cela karena
terjadinya pelanggaran-pelanggaran atasnya (inviolable).

Sekalipun secara analitis elemennya dapat diidentifikasi dalam dua esensi, namun,
sebagai ide, apa yang dinamakan konstitusionaliame ini harus dipahami secara
komprehensif dan holistik. Ide tentang kebebasan manusia yang kodrati dan yang tetap
intact, sekalipun manusia-manusia ini sudah meninggalkan situasinya yang kodrati untuk
hidup sebagai warga di dalam suatu komunitas politik, pada asasnya adalah juga ide
tentang supremasi hukum, yang memberikan pembenaran bahwa dalam kehidupan publik
yang berlaku adalah the rule of law dan bukan the rule of the politician man. Adalah
suatu imperative bahwa setiap kekuasaan itu tak terkecuali kekuasaan penguasa
pemerintahan, demi terjaminnya hak-hak manusia warga akan kebebasannya yang kodrati
itu selalu harus terus dikontrol oleh hukum yang mempunyai kedudukan tertinggi (the
supreme state of the law). Doktrin supremasi hukum yang terkandung dalam ide
constitutionalism ini tidaklah mempunyai maksud lain kecuali untuk menjamin
kebebasan warga dari tindakan para pejabat pemerintahan pengemban kekuasaan politik
yang mungkin saja disalahgunakan. Ini adalah ide tentang legitimasi internal, yang hanya
terwujud kalau ada kemampuan pemerintah untuk menjamin dilindungainya hak-hak
manusia individu akan kebebasan kodratinya.

Berseiring dengan perkembangan ide demokratis sejak akhir abad 18 itu amat
bermakna pulalah ide rule of law yang didekonstruksi ke arah idenya sebagai imperatif
pembebasan manusia dari sembarang bentuk kekuasaan yang datang dari luar dirinya,
yang nota bene otoritarian pula sifatnya. Manusia adalah makhluk yang pada asasnya
bebas, yang hanya dapat diikat dalam berbagai komitmen atas dasar kemauannya sendiri
yang bebas pula, melalui atau tidak melalui wakil, baik dalam ihwal perikatan-perikatan
yang berlaku di ranah publik (yang menghasilkan produk-produk legislalif) maupun
dalam hal perikatan-perikatan yang hanya berlaku khusus di ranah privat untuk para
pihak sendiri (dalam wujud kontrak-kontrak). Hak kodrati yang asasi yang hanya dapat
dibatasi oleh kehendaknya sendiri yang bebas pula, dan tidak oleh titah penguasa
manapun juga itulah yang di dalam konstitusi dijamin sebagai hak-hak warga (civil
rights, droits civil), sementara itu, karena pembatasan sesungguhnya merupakan suatu
proses politik, maka tak pelak lagi demi terlindunginya hak-hak asasi yang disebut civil
rights itu diperlakukanlah pengakuan atas kelengkapannya, yaitu hak-hak asasi manusia
warga negara untuk ikut berpolitik (political rights, droits politique).

J elas dapat diikuti dari uraian-uraian di muka bahwasanya ide kehidupan
bernegara nasional yang konstitusional dengan mengedepankan supremasi hukum (demi
terlindunginya hak-hak manusia yang kodrati dan asasi) beranjak dari ide masyarakat
255
warga, sekularisme dan humanisme itu bukanlah hasil rencara tersengaja semata,
melainkan juga mengandung outentisitas yang bersifat kesejarahan. Dengan demikian
semua ide itu tidaklah pernah dicanangkan cuma sebagai doktrin melainkan diterima
sebatas fungsinya sebagai bagian dari sarana dan upaya manusia yang temporal di dunia
yang fana ini untuk mempertinggi kualitas hidup dan kualitas pribadi. Ide-ide itu adalah
produk-produk suatu kontinuitas dalam suatu proses tumbuh-kembang yang panjang, dan
dipercaya mempunyai mekanisme internal yang selalu kritis dan progresif guna
memperbarui diri sepanjang perjalanan sejarah. Krisis-krisis telah mengundang reformasi
dan revolusi, yang pada gilirannya kemudian juga mengundang terjadinya dekonstruksi
dan modifikasi konsep-konsep dan doktrin. Semua itu meneguhkan pernyataan bahwa
doktrin-doktrin yang tengah kita perbincangkan ini adalah benar-benar merupakan
cerminan kebenaran asas outentisitas kesejarahannya.


Epilog: Doktrin Supremasi Hukum untuk Kehidupan Manusia Sejagad
Kontemporer

Dari seluruh uraian di muka diketahuilah bahwa sesungguhnya konsep dan
doktrin law state yang berhakikat sebagai rule of law itu berawal dan berakar dalam-
dalam di dalam sejarah peradaban dan tradisi hukum kawasan Eropa yang berada di
bawah pengaruh aktivitas politik raja-raja dan Gereja Katolik Barat. Sepanjang
perkembangannya telah terjadi berbagai modifikasi dan mungkin juga distorsi oleh
berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di luar kuasa manusia sendiri. Tatkala konsep dan
doktrin ini pada suatu penggalan masa dalam perkembangan sejarah terlimpah pula ke
luar kawasan Eropa, maka modifikasi dan distorsi akan pula terjadi. Modifikasi dan
distorsi kali ini terjadi karena suatu proses yang tidak lagi bersifat transformatif
melainkan transplantatif. Artinya, konsep dan doktrin law state alias Rechtstaat yang
menekankan arti pentingnya rule of the supreme law itu tidak bermula dari bukti
peradaban bangsa-bangsa di luar kawasan Barat itu sendiri melainkan diintroduksikan ke
kawasan dengan bumi peradaban yang berbeda.

Dalam kasus ketatanegaraan dan ketatahukuman Indonesia, kalaupun doktrin
rechtsstaat ini juga dikenal di negeri ini, sebagaimana tersirat dalam UUD 45 dan tersurat
dalam Penjelasannya, sesungguhnya doktrin tersebut masuk ke negeri ini sudah satu
setengah abad yang lalu, yaitu tatkala negeri Nusantara ini masih lebih dikenal dengan
nama De Nederlands-Oost-Indie. Diundangkannya Reglement Op Het Beleid der
Regering van Nederlands-Indie dari tahun 1854, berikut positivisasi asas nullum delictum
(nulla poena sine praevia lege poenali) sebagai mana tertuliskan di dalam pasal 1
Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders dari tahun 1872 membuktikan kenyataan itu.
Pada masa itu konsep dan doktrin rechtstaat itu memang tidak lagi dipahamkan dalam
maknanya yang klasik dari era pra-reformasi melainkan telah diartikan dalam konteks
suasana liberalisme yang diperjuangkan oleh Revolusi Kerakyatan Perancis untuk
mendasari kehidupan negara bangsa Perancis. Itulah konsep mutakhir dari masa itu yang
diakui berwarna liberalisme yang klasik dari kaum penganut aliran laissez-faire, yang
mendambakan rule of law sebagai pengaturan yang dimutlakkan sebagai penjamin
terwujudnya kepastian hukum melalui upaya positivisasi hukum yang mengubah wujud
256
hukum sebagai asas-asas normatif semisal asas-asas moral atau asas-asas keadilan (ius)
menjadi hukum dalam wujudnya yang lebih terumus dan tertegaskan dalam bentuk-
bentuknya yang positif (ius consitutum alias lege).

Sementara itu doktrin mengenai hukum yang harus didudukan dalam statusnya
yang supreme ini tidaklah berhenti begitu saja tatkala sejarah peradaban manusia tidak
lagi cuma diartikan sebagai sejarah peradaban Eropa Barat. Doktrin ini mengalami
reinterpretasi dan redefinisi tatkala sejarah peradaban manusia telah berformat sebagai
peradaban manusia sejagad. Pada peralihan abad dari yang ke-20 ke yang ke-21 ini,
doktrin ini telah pula mengalami dekonstruksi dan rekonstruksi, sejalan dengan
kebutuhan dan pengalaman bangsa-bangsa manusia di dunia yang fana ini. Di Amerika
yang tersimak sebagai negeri yang kuat menganut paham pragmatisme, munculnya aliran
realisme dalam sejarah hukum konsep rule of law telah terpahamkan dengan warna-
warna yang utilitarian dan mengejar kemanfaatan umum. Dekonstruksi mengenai peran
hukum yang punya legitimasi sebagai norma penjamin ketertiban dalam statusnya yang
tertinggi ini dari penjamin kepastian ke penjamin kemaslahatan umum telah kian nyata
lagi tatkala seusai Perang Dunia II banyak negara bangsa di dunia ini berkepentingan
dengan terwujudnya welfare state. Dalam perkembangan seperti ini kecurigaan dan/atau
kecemburuan yang berlebihan kepada peran negara dalam penyelenggaraan tertib
kehidupan tidaklah lagi sebesar apa yang tersimak pada era revolusi-revolusi kerakyatan
dari akhir abad ke 18.

Bertolak dari paradigma yang sedikit banyak berlawanan dengan proposisi kaum
positivis, pada akhir abad 20 ini kian banyaklah keraguan di banyak kalangan apakah
doktrin supremasi hukum itu memang dapat dilaksanakan secara konsekuen dengan efek
menguntungkan semua warga masyarakat tanpa kecualinya? Ataukah doktrin seperti itu
sekalipun senantiasa mengimajinasikan adanya persamaan kedudukan warga di hadapan
hukum dalam kenyataan pelaksanaannya justru hanya akan mendiskriminasi mereka yang
berposisi di pinggiran dan terbilang lemah serta rawan dalam jumlah massal, dengan efek
hanya menambah-nambah kesenjangan saja dalam kehidupan yang riil? Apakah doktrin
yang telah beriwayat lama dan tersaji dalam berbagai konstruk interpretatifnya itu dapat
dan sempat pula mendatangkan keadilan dan kesejahteraan yang merata untuk setiap
manusia tanpa kecualinya? Dengan perkataan lain, apakah asas the rule of law dan asas
persamaan derajat serta hak di antara warga dan karena itu juga persamaan dalam ihwal
memperoleh akses hukum itu dapat dilaksanakan secara bersamaan?

Maka maraklah kemudian pikiran-pikiran bahwa tatkala hukum memang
diinginkan agar tetap fungsional dalam kehidupan nasional yang modern, dengan
mencegah terjadinya segala bentuk kesenjangan dan konflik, hukum itu se-supreme apa
pun statusnya, haruslah dapat dikritiki dan dikoreksi secara realistis sepanjang proses
implementasi pelaksanaannya. Di sini hukum dalam arti keseluruhan peraturan
perundang-undangan berikut doktrin-doktrin yang mengkonfigurasinya hanya akan dapat
dikritiki dan dikoreksi (kalaupun tidak dalam rumusan-rumusan bakunya tentulah dalam
interpretasi-interpretasinya) tatkala didekonstruksi dan dikonsepsikan ulang terlebih
dahulu sebagai produk dan manifestasi kepentingan politik; dan tidak dimitoskan sebagai
ekspresi keadilan komunitatif yang berkedudukan supremasi, dan yang oleh sebab itu lalu
257
tak terbantah. Dikonsepkan secara realistis sebagai unsur suatu agenda politik yang
tersembunyi, tidak cuma tatkala tengah diproses dalam perdebatan legislatif melainkan
juga sepanjang proses menuju ke realisasinya sebagai fakta sosial yang signifikan.
Hukum sepanjang perjalanannya di ranah eksekutif dan yudisial akan tetaplah dilihat
sebagai institusi yang tak pernah lepas dari intervensi para subjek yang punya
kepentingan.

Berkenyataan seperti itu, hukum dinyatakan bukan sebagai sesuatu yang objektif
dan netral, dan yang oleh sebab itu boleh didudukan dalam posisi yang supreme, yang
oleh sebab itu pula boleh ditabukkan untuk tidak diganggu-ganggu dan tidak diintervensi
dengan motif-motif politik. Sepanjang proses alasan itu pula, hukum seperti antara lain
yang ditesiskan oleh puak yang menamakan dirinya penganjur critical legal studies
dalam setiap wacana nasional nyatanya selalu bisa saja diintervensi oleh berbagai
kebijakan, yang bermotivasi politik sekalipun. Di sini adagium lama ius contra legem
yang telah terlanjur dimatikan pada era positivisme tampaknya akan hidup dan
dihidupkan kembali. Tatkala demikian halnya, orang dari pandangannya yang ideal
memang akan serta merta bersegera saja mempertanyakan lalu di manakah letak
kedudukan supremasinya hukum? Di lain pihak, namun demikian, banyak orang yang
akan pula bisa menjawab, memangnya dalam kenyataannya hukum itu pernah terlaksana
begitu saja secara murni sebagai sesuatu yang supreme?). Di tengah perubahan dan masa-
masa krisis, polemik semacam ini antara hukum dan politik akan selalu saja marak.
Sebenarnya sejak dahulu dalam sejarah baik sejarah yang di sana maupun sejarah yang di
sini, baik yang terjadi pada masa lalu (semasa maraknya perkembangan negara-negara
bangsa) maupun yang terjadi pada masa kini (tatkala banyak pengamat mulai menengarai
terjadinya the end of nation states) polemik dan bahkan konflik antara yang hukum dan
yang politik dalam situasi-situasi krisis yang tak berketentuan selalu saja terjadi.


24

HUKUM DI BAWAH KUASA PARADIGMA LIBERALISME




HUKUM nasional yang dibangun atas dasar paham aliran filsafat positivisme
menghendaki penegasan (demi kepastian) mana yang harus didefinisikan dan
dikategorikan sebagai hukum, dan mana pula yang harus didefinisikan dan dikategorikan
sebagai norma-norma sosial biasa yang kepatuhan kepadanya atau pelanggaran
terhadapnya tidak akan menimbulkan akibat hukum apa pun. Walhasil, hukum nasional
yang menganut ajaran positivisme yang marak di Barat dan mengalami puncak
keberhasilannya pada akhir abad 18, kemudian daripada itu akan dikenali sebagai hukum
positif, dan tampil dalam rupa hukum perundang-undangan (lege, lex, atau ius
constitutum yang berarti "hukum yang sudah terbentuk"). Walhasil, hukum yang sudah
dipositifkan sebagai hukum nasional ini tidaklah lagi akan hanya berupa asas-asas umum
yang tidak eksplisit (melainkan implisit-implisit saja!) mengenai apa yang harus dan
boleh dilakukan dan mana pula yang terlarang (disebut ius) untuk dilakukan.

Positivisasi yang dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dan dengan
demikian juga kepastian hak-hak manusia warga negara ini sesungguhnya merupakan
bagian saja dari suatu tuntutan politik yang menghendaki pembebasan setiap individu
manusia dari sembarang bentuk perhambaan, dan kemudian daripada itu juga
mengendaki dapatnya hukum terdayagunakan untuk menjamin dihormatinya kebebasan
yang telah diperoleh tersebut oleh siapa pun. Inilah tuntutan yang berangkat dari suatu
paham yang di dalam wacana-wacana politik disebut paham liberalisme. Tak salah
lagi, tuntutan positivisasi hukum demi tertatanya kehidupan bernegara modern yang
dapat menjamin secara berkepastian kebebasan manusia-manusia individu warga negara
itu memang sebenar-benarnyalah merupakan konsekuensi logis dari paham liberalisme
itu. Dari paham inilah lahir paradigma yang menjadi dasar pembenar dalam maknanya
yang moral maupun yang logikal bangunan seluruh bangunan teoretis hukum nasional
yang modern. Seluruh bangunan teoretis hukum (yang di dalam bahasa Inggris
dinamakan Jurisprudence) ini, baik yang berkenaan dengan pelafalan norma-normanya
yang positif maupun yang berkenaan dengan konsep-konsep serta doktrin-doktrinnya
yang diperlukan untuk menuntun interpretasi-interpretasinya, demi konsistensi
konfigurasinya mestilah dikembalikan ke paradigma kaum liberalis ini.

Norma-norma dalam konstitusi tertulis berikut ajaran yang mendasarinya yang
disebut konstitusionalisme, misalnya, haruslah dimaknakan dan dimengerti
berdasarkan paradigmanya, yaitu yang disebut liberalisme itu. Konstitusionalisme yang
disyarati oleh paradigma liberalisme jelas akan mengarah ke pembenaran akan sifat
enumeratifnya kebebasan warga di satu pihak, dan sifat limitatifnya kekuasaan para
pengemban kekuasaan negara dipihak lain. Ini akan berkonsekuensi secara logis-yuridis
259
pada suatu simpulan bahwa kekuasaan pemerintahan itu sesungguhnya adalah fungsi
kebebasan. Artinya, bahwa besar-kecilnya kekuasaan pemerintah di tangan para
pengemban kekuasaan negara akan ditentukan oleh keputusan konstitusional mengenai
hal seberapa besar atau seberapa kecil kebebasan warga negara berdasarkan kesepakatan
legislatif para wakil yang mereka percaya akan dilepaskan. Bagaimanapun juga, liberal
atau tak liberal, sampai batas tertentu kebebasan harus bisa dikurangkan guna
memungkinkan terwujudnya kewenangan-kewenangan menyelenggarakan ketertiban
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Konsep "keadilan" yang dituntut agar selalu hadir menjiwai seluruh norma hukum
positif yang telah ada, sebagai misal yang lain adalah juga (tentu saja) keadilan yang bisa
diterima berdasarkan paradigma liberalisme. Memberikan titik tekan sekali lagi pada arti
pentingnya individu sebagai manusia yang berdasarkan kodrat kelahirannya merupakan
makhluk yang berkebebasan, konsep keadilan di bawah kuasa paradigma liberalisme
inipun tak pelak lagi adalah keadilan yang komutatif, dan bukan yang distributif.
Keadilan komutatif bermakna bahwa keadilan itu merupakan hasil suatu proses
pertukaran (co + mutation) antar-individu, untuk saling memberikan konsesi atas dasar
kesepakatan yang berlangsung secara suka dan rela. Maka, di bawah kuasa paradigma
liberalisme ini nilai keadilan yang harus menjiwai setiap norma hukum, baik yang
berlaku di ranah publik menurut kesepakatan legislatif maupun yang berlaku di ranah
privat menurut kesepakatan kontraktual, mestilah nilai keadilan yang komunikatif itu.
Keadilan yang dimaksud ini bukanlah sekali-kali keadilan yang distributif alias keadilan
yang diberikan atas dasar pembagian sumber daya menurut keputusan sang penguasa
yang kepala suku (tribunus).

Kecuali doktrin mengenai persoalan bagaimana materi hukum yang normatif itu
mesti dimaknakan (sebagaimana telah diuraikan di muka), di bawah paradigma ini
pulalah berlakunya doktrin-doktrin yang selama ini kita ketahui tentang persoalan
bagaimana kekuasaan pemerintah demi tetap terjaganya kebebasan individu yang asali
dan kodrati itu harus diwaspadai dan di kontrol secara institusional. Doktrin trias politica
dan seterusnya juga doktrin yang berkenaan dengan fair trial haruslah dapat dimengerti
dari asas dasar paradigma liberalisme ini. Kekuasaan pemerintahan harus dipecah dan
dibagi demikian rupa sehingga tidak menggumpal di satu tangan yang salah-salah akan
bisa mengakibatkan runtuhnya kedaulatan rakyat untuk digantikan oleh kedaulatan
negara yang absolut. Maka, kekuasaan eksekutif haruslah dibatasi sampai kewenangan
hanya untuk melaksanakan tegaknya hukum undang-undang yang dibentuk oleh badan
legislatif (yang berhakikat sebagai lembaga perwakilan rakyat) saja. Sementara itu badan
yudisial haruslah tak lebih dari mulut yang membunyikan kalimat-kalimat undang-
undang belaka.

Contoh-contoh ilustratif masihlah dapat dicari dan ditambah-tambahkan di sini,
semua akan mengarah ke teori normologis, yaitu ajaran dan/atau konsep yang
bahwasanya hukum nasional yang positif itu demi kepastian terwujudnya jaminan akan
terlindunginya kepentingan manusia-manusia warga negara mestilah bertolak dari
paradigma "harus tetap diakuinya dan dihormatinya kebebasan yang melekat secara
kodrati pada diri manusia-manusia individu, sekalipun mereka ini kemudian telah
260
bersalin rupa dari wujud semulanya yang makhluk alami ke wujudnya yang baru sebagai
manusia warga suatu negara". Paradigma ini terrealisasinya dalam praktik-praktik
kehidupan hukum dan berbagai negara nasional nanti, namun demikian tidaklah tersimak
seragam di mana pun dankapan pun. Dalam kenyataan sejarah, sekalipun bertolak dari
paradigma yang pada asasnya tidak berbeda, realisasi deduktif teoretiknya itu tidak selalu
dan selamanya menghasilkan resultante yang sama. Berbagai varian selalu ada. Setidak-
tidaknya dapat ditunjuk adanya 3 varian. Yang pertama adalah varian Laissez-faire
menurut model Prancis yang bermula dari alam pemikiran tokoh-tokoh bangsa ini dari
akhir abad 18, sedangkan varian kedua adalah varian liberalisme yang menuruti model
Amerika yang berawal dari akhir abad 18 juga, dan varian ketiga adalah varian welfare-
state yang berkembang menuruti model yang lebih kontemporer dari akhir abad 20.

Varian Prancis boleh dibilang merupakan varian yang paling ekstrem dalam hal
tiadanya kepercayaan pada sembarang bentuk kekuasaan pemerintahan. Ekstremitas ini
boleh dijelaskan dari kenyataan telah terlalu mutlaknya kekuasaan nasional di tangan
raja-raja Prancis pada masa yang lalu, yang kemudian membangkitkan perlawanan
intelektual maupun fisik dan yang berujung pada terjadinya revolusi amat berdarah dan
penuh terreur (teror) pada tahun 1789. Tumbangnya kekuasaan ancient regime
melahirkan konstitusi ketatanegaraan baru yang mengambil model antitesisnya, yaitu
bentuk demokrasi liberal yang tidak tanggung-tanggung dalam hal hendak menghadapi
dan membatasi kekuasaan pemerintahan. Dalam model antitesisnya yang ekstrem ini
tampaknya tercermin betapa besar kecurigaan atau ketidakpercayaan rakyat pada
eksistensi kekuasaan, demikian rupa sehingga dalam konstitusi Prancis versi pasca
revolusi ini kekuasaan pemerintahan menjadi memberat ke tangan parlemen, dan tidak ke
tangan eksekutif. Walhasil, menurut konstitusi Prancis ini perilaku politik kekuasaan
eksekutif di tangan Perdana Menteri dan Kabinetnya akan selalu dikontrol, diselidik dan
dinilai oleh Parlemen secara terus-menerus. Begitu diketahui ada detournement de
pouvoir dilakukan oleh eksekutif, lalu Parlemen dengan suara mayoritas mengajukan
mosi tak percaya, maka tanpa ayal lagi dengan serta merta pemerintahan akan jatuh.
Karena datangnya mosi tak percaya bisa sewaktu-waktu, tak pelak pula jatuhnya sebuah
kabinet bisa pula terjadi sewaktu-waktu

Lain Prancis, lain pula Amerika. Sekalipun kedua-duanya menganut prinsip
liberalisme, liberalisme menurut versi Amerika yang penganutnya acap kali lebih sering
dikenali dengan sebutan "kaum libertan" daripada "kaum liberalis" tertengarai lebih
bersedia memperlihatkan sikap toleran pada hadirnya kekuasaan daripada apa yang
diperlihatkan dalam praktik ketatanegaraan Prancis. Sejak awal perkembangannya
liberalisme Amerika yang terpadu dengan pragmatisme dan realisme sebagaimana secara
umum dianut di negeri ini bersedia menerima hadirnya kekuasaan (yang tentu saja tetap
harus dikontrol demi kebebasan individu) sebagai sesuatu yang di dalam kata-kata
pernyataan Thomas Paine, dikatakan evil akan tetap necessary. Itulah penjelasannya
mengapa Amerika, yang berbeda dari sistem parlementer yang dianut Prancis, lebih suka
menganut sistem pemerintahan presidensiil yang memberikan kesempatan kepada the
Chief Executive untuk bercokol selama 5 tahun sebelum bisa dinilai ulang untuk
dilengserkan atau tidak dilengserkan lewat pemilihan umum yang langsung. Dalam
sistem Amerika ini pulalah pembentukan norma-norma hukum positif tidak dikuasakan
261
melulu kepada parlemen, yang karenanya kewibawaan produk-produknya dijaga
berdasarkan ajaran hierarki perundang-undangan yang menyatakan bahwa lex superiori
derogat lex inferiori.

Dalam praktik sistem presidensiil Amerika itu tersimak betapa pentingnya peran
regulatory laws yang dibuat oleh Presiden untuk merespon kebutuhan hukum yang
berkembang cepat, dan betapa pula arti pentingnya the judge-made laws, dengan
peneguhannya berdasarkan doktrin "asas preseden", yang konon akan mampu
memutakhirkan hukum sesuai dengan fungsinya sebagai tool of social engineering.

Dikaji dengan jalan memperbandingkan apa yang dikonstitusikan di Prancis dan
apa pula yang telah dikonstitusikan di Amerika, bolehlah dikesan bahwa paradigma
liberalisme itu bukan lagi suatu prinsip dasar yang bersifat aksiomatis, melainkan suatu
konstruksi rasional dengan hasil yang bisa bervariasi menurut nuansanya dalam suatu
garis kontinuum. Varian ditentukan oleh ide realitas sejauh mana kebebasan individu
bolehdan selaiknya dioptimalkan dan sehubungan dengan itu sejauh mana pula kekuasaan
boleh dan selaiknya ditenggang. Dalam perkembangan yang lebih kemudian, tatkala
krisis-krisis ekonomi dan politik yang serius melanda berbagai negeri di berbagai
kawasan dunia, orang pun mulai merasa harus mempertimbangkan kembali peran yang
dapat dimainkan negara (bentuk pengemban kekuasaannya yang disebut pemerintah)
dalam variannya yang baru untuk mengatasi krisis-krisis semacam itu.

Dalam situasi seperti itu, paham liberalisme klasik apalagi yang berslogankan
individualisme Laissez-nous faire et passer dari masa revolusi Prancis 1789 menjadi
tidak lagi populer untuk dapat dipandang sebagai satu-satunya yang paling ideal.
Sekalipun tidak sejauh apa yang dikatakan dalam pembukaan UUD 45 Republik
Indonesia, yang memberikan legitimasi yuridis kepada negara dan pemerintah untuk
bertindak secara relatif leluasa guna melaksanakan berbagai misi kebangsaan, negara-
negara liberal Barat yang dalam perkembangannya di akhir abad 20 ini mulai
mengidentifikasi diri sebagai welfare state itu pun mulai menengang terjadinya apa yang
disindirkan sebagai the creeping socialism. Di bawah modifikasi paradigma liberalisme
inilah terbentuknya perundang-undangan sosial yang jelas-jelas telah mengingkari
doktrin hukum di bawah paradigma liberalisme klasik bahwa negara itu hanyalah
berfungsi sebagai watchdog saja.

Apa pun kisah tentang variannya, namun demikian satu telah pasti, yaitu bahwa
paradigma liberalisme dalam konfigurasi sistem hukum nasional yang positif ini adalah
asumsinya yang bertolak dari ide dan ideologi lama mengenai the rule of law, bahwa
hukum dan badan peradilan itu menurut sifatnya yang hakiki adalah suatu institusi yang
netral. Hukum yang telah mengalami positivisasi adalah reluctance kehendak-kehendak
yang semula normatif dan subjektif namun yang kemudian telah menjadi suatu fenomena
yang objektif, yang tidak lagi berada di dalam ranah subjektivitas individu-individu yang
berpihak dalam pergulatan kepentingan itu. Maka hukum yang dikatakan demikian itu
adalah tak lain daripada a set of objectified subjectivity, yang kemudian daripada itu
mempunyai eksistensinya sendiri, terlepas dari manusia-manusia subjektif penciptanya.
Rule of Law adalah sebenar-benarnya rule of law dan bukan rule of men. Dari sini pula
262
lahirnya ide dan ideologi paradigmatis mengenai the (supremacy) state of law alias
rechtstaat (hukum yang memiliki status khusus, yaitu status supremasi, yang di dalam
bahasa Indonesia secara salah kaprah telah diterjemahkan ke dalam istilah "negara
hukum"). Inilah idiologi atau doktrin yang hendak menegaskan bahwa hukum itu
mempunyai statusnya sendiri yang mengatasi kekuatan normatif lainnya, yang karena itu
tidak akan pernah bisa ditundukkan di bawah sembarang kepentingan politik dan nafsu
kehendak kekuasaan manusia siapa pun.

Cabaran antitesis yang mengingkari kenetralan hukum akan datang dari aliran lain
dalam ilmu hukum yang tidak lagi berparadigma liberalisme dengan anggapannya bahwa
hukum dan hakim yang menjadi personifikasinya itu selalu berposisi netral. Adapun
aliran lain ini adalah aliran kritis dalam ilmu hukum Amerika yang mulai dikenal pada
akhir tahun 1970-an dengan memaklumkan diri sebagai aliran pendukung pengkajian
hukum secara kritis, yang dinamakan the critical legal studies. Pendukung aliran ini
mengembangkan pemikirannya dengan bertolak dari sudut keprihatinan melihat
kenyataan bahwa banyak problema sosial-politik dan hukum di Amerika yang disebabkan
oleh kontroversi-kontroversi dalam pengambilan keputusan oleh para eksekutif
pengontrol kebijakan politik yang tidak mudah lagi dikontrol oleh hukum yang ada pada
saat itu. Aliran ini, dengan merujuk ke teori-teori neo-Marxian menyarankan perlunya
mengkaji permasalahan hukum sebagai permasalahan yang sarat dengan persoalan
politik, dan bahwa hukum dalam praktik itu tidaklah netral seperti yang diprasangkakan
oleh paradigma-paradigma dan teori alias doktrin hukum yang ada sebelumnya
sebagaimana diyakini oleh kaum positivis yang juga liberalis itu.

Sekalipun tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa prinsip rule of law dan
supremasi hukum itu sebagai suatu yang omong kosong, aliran yang berakronim CLS
ini tetap secara konsisten mengetengahkan pendapat bahwa setiap permasalahan hukum
tidak akan menemukan pemecahannya yang realistis tatkala tidak dianalisis terlebih
dahulu sebagai permasalahan sosial dan budaya, khususnya lagi permasalahan politik.
Sekalipun pula tidak hendak menggolongkan diri ke dalamkajian non-yuridis yang
scientific dan tetap bertahan dalam kubu kajian jurisprudence untuk menyempurnakan
seni dan moral aplikatifnya di ranah profesi hukum, para eksponen ini mulai banyak
melakukan (mengajak melakukan) upaya pemanfaatan hasil-hasil kajian ilmu
pengetahuan sosial tentang hukum. Langkah kebijakan aksiologis seperti ini sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dianjurkan terlebih dahulu oleh para
pengkritik aliran positive jurisprudence; seperti misalnya oleh hakim Oliver Wendell
Holmes yang merintiskan paham realisme dalam ilmu hukum, atau oleh Roscoe Pound
yang menganjurkan pemfungsionalan hukum khususnya keputusan-keputusan hukum
secara positif oleh para hakim sebagai tool of social engineering dan yang dengan
demikian merintiskan aliran functional atau sociological jurisprudence. Namun
demikian, segera menjadi nyata bahwa aliran kritis ini menonjolkan sifatnya yang lebih
kritis dan analitis dan bahkan mungkin cenderung skeptis pada setiap produk hukum,
notabene produk kerja manusia yang nyatanya selalu berkepentingan dan
memperjuangkan kepentingan lewat berbagai cara yang tidak selamanya jujur.

25

DOKTRIN APAKAH SESUNGGUHNYA YANG TERKANDUNG
DALAM ISTILAH NEGARA HUKUM?



Dalam penjelasan UUD 45 (yang dijadikan bahan penataran P4 pada masa yang lalu), apa
yang disebut negara hukum disebutkan di situ secara lebih lengkap dalam suatu
rangkaian kata-kata: negara yang berdasarkan hukum. Sebenarnya istilah ini, entah
dituliskan pendek-pendek entah pula dituliskan agak panjang sebagai suatu frase, adalah
hasil terjemahan dari istilah hukum berbahasa Belanda rechtstaat, atau yang di dalam
bahasa J erman dituliskan Rechtstaat atau pula yang di dalam Bahasa Inggris dituliskan
the lawstate atau the state of law.

Ada dua kata dari istilah aslinya yang perlu kita cermati lebih dahulu maknanya
agar kita dapat mengartikan secara betul dan benar substansi yang terkandung dalam
ajaran atau doktrin hukum rechtstaat itu. Pertama-tama tentang istilah staat yang dalam
bahasa Indonesia terterjemahkan ke dalam kata istilah negara; dan yang kedua adalah
istilah recht yang di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan memungut bahasa
Arab hukum, pertama-tama konon oleh Snouck Hurgronje.



Harus Diartikan Apakah Staat dalam Istilah Rechtstaat Itu?

Tidaklah boleh dikatakan keliru apabila salah seorang penyusun UUD 45 (konon Prof.
Dr. Soepomo) menyarankan penggunaan terjemahan negara hukum untuk
menerjemahkan kata istilah Belanda rechtstaat. Staat (atau state di dalam bahasa Inggris
dan etat dalam bahasa Prancis) memang menunjuk ke pengertian suatu organisasi politik
suatu bangsa, yang para pecipta istilah dalam bahasa Indonesia menggunakan kata
negara untuk maksud yang sama. Tetapi, tidaklah salah pula kalau penerjemahan yang
demikian itu adalah penerjemahan yang harafiah saja, dan tidak sekali-kali bisa dibilang
sebagai penerjemahan yang lebih bersifat konseptual dan/atau sintagmatis.

Akan tetapi, tidaklah boleh dilupakan bahwasanya istilah staat itu juga bisa
berarti status. Dengan demikian istilah rechtstaat di dalam bahasa Belanda (atau
lawstate di dalam ahasa Inggris) itu dapatlah pula tanpa halangan diartikan sebagai
status hukum. Maksudnya ialah status yang tertinggi dalam hierarki norma-norma
ketertiban di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat; atau, yang di dalam bahasa
Inggris dikatakan the supremacy state of law. Dengan perkataan lain, hukum itulah yang
harus dirujuk pertama-tama, dengan mengatasi norma-norma apa pun lainnya, demi
terwujudnya kehidupan bersama di dalam organisasi negara nasional.

Dua versi terjemahan kata staat ini memang tidak menghasilkan pengertian akhir
yang berlawanan, bahkan bisa saja malah saling menegaskan. Dapatlah diperoleh
kejelasan dan ketegasan bahwa di dalam kehidupan bernegara bangsa yang berdasarkan
hukum, tak pelak lagi hukum itu selalu beroleh status yang tertinggi, dan oleh sebab itu
akan mengatasi berlakunya norma-norma sosial yang lain. Hanya saja, tatkala kata
istilah rechtstaat diterjemahkan negara hukum, maka arti yang dibawakan oleh
terjemahan itu hanya hendak sebatas mengatakan bahwa dalam kehidupan bernegara itu
perilaku setiap orang harus punya dasar pembenaran hukum. Sementara itu, tatkala kata
istilah rechtstaat diterjemahkan dan diartikan sebagai status hukum yang tertinggi,
mengatasi norma-norma sosial yang lain, maka titik tekan permasalahannya tidak lagi
pada ihwal kehidupan bernegara (yang harus mendasarkan diri pada pembenaran hukum).
Alih-alih, titik tekannya berpindah ke ihwal kedudukan hukum (yang super di dalam
kehidupan bernegara).



Harus Diartikan Apakah Recht dalam Istilah Rechtstaat Itu?
Konsep Kaum Positivis

Tatkala titik tekan dalam permasalahan rechtstaat ini diletakkan pada ihwal hukumnya,
maka akan menjadi crucial atau pelik/rawan di sini soal apa yang dimaksudkan dengan
hukum (yang diberi posisi superior) di sini ini. Di sini akan terjadi polemik seru antara
berbagai aliran pemikiran doktrinal dalam ilmu hukum, khususnya antara para yuris legis
yang berpikiran posivistis dan para yuris yang realis dan berpikiran kritis. Polemik seperti
ini tidak sampai terjadi tatkala orang menerjemahkan dan mengartikan kata rechtstaat
sebatas sebagai negara hukum, dan tidak sampai mempersoalkan ihwal hakikat dan
status hukumnya itu sendiri.

Para legis yang juga disebut yuris dari kelompok kaum positivis mengajarkan
bahwa yang namanya hukum itu tak lain daripada apa yang didefinisikan berikut ini.
Hukum adalah norma-norma keadilan (ius) yang telah dibentuk (constitutum, constituted)
menjadi aturan-aturan hidup oleh suatu badan legislatif melalui berbagai prosedur yang
formal, dan yang kemudian daripada itu diumumkan (diundangkan) sebagai hukum yang
berlaku secara pasti (diiyakan, dipositifkan) dalam suatu wilayah negara tertentu, yang
oleh karena itu pula akan mengikat seluruh warga negara tanpa kecualinya. Itulah hukum
positif, yang juga disebut hukum undang-undang (lege, lex, ius constitutum), yang oleh
sebab sifat prosedurnya juga disebut hukum formal, yang kemudian daripada itu sering
juga disebut hukum negara, diundangkan sebagai produk badan legislatif.

Maka, dengan definisi yang membataskan hukum sebagai hukum undang-undang
seperti itu, para yuris positivis akan mendoktrinkan rechtstaat (negara hukum) kurang
dan lebihnya sebagai berikut. Negara hukum adalah negara yang menata seluruh
kehidupan di dalamnya berdasarkan atas aturan-aturan hidup yang telah dipositifkan
secara formal sebagai undang-undang, yang oleh sebab itu telah berkepastian sebagai
satu-satunya hukum yang berlaku di suatu wilayah negeri. Bertolak dari definisi negara
hukum seperti itu, tak pelak lagi doktrin supremasi hukum akan terbataskan sebagai
supremasi undang-undang. Maka, bertolak dari definisi seperti ini pula, pengetahuan
tentang isi undang-undang dan tentang bagaimana menangkap makna-maknanya, lalu
menjadi aset penting bagi seseorang yang hendak melibatkan diri ke dalam percaturan
hukum secara benar dan memenangkan suatu perkara hukum dengan cara yang akan
dipandang benar pula.



Harus Diartikan Apakah Recht dalam Istilah Rechtstaat Itu?
Konsep Kaum Realis

Konsep negara hukum yang bertandem dengan konsep supremasi hukum
sebagaimana didefiniskan oleh kaum positivis di muka, yang mengidentikkan hukum
dengan undang-undang, nyata kemudian kalau berkonsekuensi ke terjadinya praktik
percaturan hukum yang hanya bisa diikutsertai dan diperansertai oleh kaum elite saja.
Pemahaman hukum perundang-undangan yang memerlukan kemahiran kebahasaan untuk
mengartikannya dan kemahiran teknis untuk menggunakannya telah mengucilkan
khalayak ramai dari kemungkinan melibatkan diri ke dalam percaturan hukum.
Pengucilan ini tetap saja terjadi sekalipun percaturan itu akan amat bersangkutpaut
dengan kepentingan hidup para awam ini. Tidak terdidik dalam liku-liku keilmuan dan
keahlian hukum, pendapat para warga awam yang hanya dapat menanggapi setiap
permasalahan dan perkara hukum berdasarkan kepekaan cita rasanya saja mengenai apa
yang harus dipandang adil dan apa pula yang harus dinilai tak adil boleh dikatakan
tidak pernah digubris para elite hukum yang profesional itu.

Perlawanan teoretis (tetapi kemudian juga politis) terhadap konsep kaum positivis
yang berpikiran elitis dan yang telah mendominasi praktik dan pemikiran hukum
sepanjang abad 19 datang sejak awal abad 20 dari para ahli hukum Amerika yang mau
berorientasi sosial/sosiologis. Kaum realis dalam kajian hukum dari tahun 1940an
menggugat kebenaran pikiran kaum positivis yang menyatakan bahwa hukum positif
produk legislatif nasional itulah yang harus diakui sebagai satu-satunya hukum yang
berlaku secara universal di seluruh negeri. Kaum realis berpendapat bahwa dominasi
pemikiran positivistis seperti itu akan berefek teringkarinya tata normatif yang berlaku
secara partikular sebagai tradisi atau hukum tak tertulis di kalangan para awam dalam
kehidupan mereka sehari-hari.

Menurut kaum realis yang berorientasi populis ini, pemberlakuan hukum positif
ke seluruh negeri tanpa kecualinya itu memang tidak ada salahnya. Akan tetapi, demikian
menurut kaum realis itu lebih lanjut, di dalam penerapannya nanti untuk menyelesaikan
suatu perkara in concreto, bukan hanya bunyi teks-teks hukum undang-undang saja yang
harus menjadi dasar putusan perkara melainkan juga tafsir-tafsir kontekstualnya yang
sosial dan kultural. Doktrin kaum realis menolak cara penafsiran hukum yang terlampau
tekstual, dan yang cuma dilakukan berdasarkan silogisme deduksi demi terjaga dan
terlestarikannya konfigurasi hukum perundang-undangan semata. Cara seperti ini hanya
akan memberikan kesempatan yang terlampau besar kepada produk pemikiran kaum elite
baik yang politisi di parlemen berikut klien-klien pelobinya maupun yang yuris-
profesional yang berperan sebagai hakim alias mulut yang hanya akan mengucapkan
bunyi undang-undang untuk berperan mengarahkan hasil putusan hukum.


Harus Diartikan Apakah Recht dalam Istilah Rechtstaat Itu?
Konsep Para Yuris dari Aliran Kritik

Bertolak dari dan melanjutkan apa yang telah dimulai oleh kaum realis, pada belahan
akhir tahun 1970-an berhimpunlah sejumlah yuris dalam garis tradisi realisme yang,
melalui kajian dan diskusi-diskusinya, tiba pada suatu kesimpulan yang lebih jauh lagi
bahwa setiap hukum perundang-undangan hasil kerja para elite yang politisi ataupun
yang birokrat itu secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi selalu memihak ke
kepentingan para klien mereka. Inilah klien-klien dari kalangan kaum mapan yang
mampu melakukan lobi-lobi politik, yang jarang dapat dilakukan oleh klien-klien dari
kaum pinggiran yang rawan. Tidaklah ada hukum yang dengan demikian bisa dikatakan
netral dan tak memihak, dan kalaupun memihak itu harus dipandang wajar tidaklah
hukum perundang-undangan yang diproses para elite itu akan memihak kepentingan
mereka yang lemah dan rawan.

Berangkat dari simpulannya yang cenderung hendak mencurigai itikad baik
para pembentuk undang-undang berikut para pelaksananya, dapatlah dimengerti mengapa
kaum kritisi dalam ilmu dan praktik hukum ini sangat bersemangat reformatif. Menurut
kaum ini, setiap produk perundang-undangan dan amar-amar putusan yudisial haruslah
selalu bisa secara terus-menerus dicermati, dikaji kembali lewat peninjauan ulang yang
kritis (reviewed), dan tatkala dipandang perlu produk itu diperbarui (reformed) demi
kepentingan khalayak ramai. Kian banyak dikaji dan dikritik untuk memperbarui isi dan
semangat pemihakannya, seluruh proses review dan reform itu akan kian terkikislah
karakter elitisme dan kecenderungan represif undang-undang itu, untuk digantikan oleh
karakternya yang populis dan kecenderungannya untuk bersikap responsif ke kebutuhan
hukum kaum pinggiran.

Doktrin kaum kritisi ini menganjurkan (bahkan memperjuangkan) terbukanya
kesempatan yang luas kepada siapa pun (tanpa kecualinya) untuk ikut mendapatkan akses
ke forum tempat hukum diperbincangkan dan dimaknakan. Dikatakan di sini bahwa
hukum bukanlah hanya merupakan urusan para elite-profesional (yang mendukung
dan/atau didukung oleh elite-elite politik, ekonomi, sosial, budaya atau elite-elite macam
lainnya) saja. Hukum lebih-lebih tatkala dikatakan berkedudukan tertinggi di dalam
kehidupan negara, mengatasi kaidah-kaidah sosial lainnya bukanlah hasil interpretasi
sepihak mereka yang secara tak adil sering memperoleh akses lebih luas untuk berbicara
mengenai soal bagaimana hukum harus dibuat, dimengerti dan digunakan.

Dikatakan bahwa hukum dan pemanfaatannya dalam kehidupan bernegara ini
adalah urusan semua orang. Hukum mestilah dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum,
dan dalam masyarakat yang sebenar-benarnya majemuk, dengan komunitas-komunitas
yang berbagai-bagai haruslah diakui bahwa hukum itu, sebagai realitas dalam
kehidupan ini akan terinterpretasi secara beragam pula, customized menurut tempat dan
waktu serta menurut subjek atau para subjek yang hendak memanfaatkannya. Sekalipun
undang-undangnya satu, tetapi penafsirannya bisa berbeda-beda dari pengguna ke
pengguna dan dari kesepakatan yang dicapai oleh para pengguna dari para pengguna
yang satu ke para pengguna yang lain. Di sini berlakulah seperti yang pernah dikatakan
oleh Marc Galanter, bahwa dalam kehidupan ini tak terhindarilah adanya kenyataan akan
adanya many laws in many rooms. Yang penting di sini bukanlah kepastian hukum
melainkan kemaslahatan hukum. Tegas dan jelasnya, kemaslahatan itu adalah
kemaslahatan bagi mayoritas yang umumnya terbilang miskin, lemah, dan belum
beruntung dalam kehidupan ini.



Ilustrasi Mengenai Konsekuensi Perbedaan Pemaknaan Arti Hukum: Memaknakan
Arti Kepentingan Umum.

Dalam suatu kasus yang diangkat sebagai perkara korupsi dengan terdakwa Winfred
Simatupang, pengacara terdakwa mohon ke majelis agar terdakwa dibebaskan karena
tidak terbukti merugikan keuangan negara. Bukankah uang sebesar 40 milyar itu
setelah disembunyikan di bawah bantal dua tahun lamanya telah bisa ditunjukkan
masih dalam keadaan utuh dan akan bisadikembalikan kepada negara dalam keadaan tak
akan kurang barang satu sen pun? Maka, apabila demikian halnya, bukankah unsur
merugikan keuangan negara dalam perbuatan pidana yang dituduhkan jaksa lalu
menjadi tidak terbukti? Dan terdakwa yang bernama Winfred Simatupang itu lalu serta
merta harus dinyatakan tidak bersalah dan oleh sebab itu juga harus dibebaskan dari
segala tuntutan hukum?

Debat atau polemik mengenai perkara yang terpapar di muka itu, andai kata dikaji
melulu secara yuridis-positivistis saja, tentu saja hanya berkutat di seputar pengertian
keuangan negara dan pengertian merugikan keuangan negara. Akan tetapi, dari
perspektif pandangan kaum realis dan kritisi yang populis itu, yang akan dipersoalkan di
sini tidaklah sekali-kali persoalan negara dengan segenap kepentingannya. Yang harus
dipersoalkan di sini, juga oleh hukum pidana yang terbilang hukum publik untuk
melindungi kepentingan publik itu, tak pelak lagi tentulah kepentingan mereka yang
dibilangkan sebagai publik; dan apa yang dinamakan publik itu tak lain daripada
khalayak ramai. Bukankah kata publik itu berasal dari kata Latin publicus, yang
sebenarnya berasal dari katapoplicus dan populus yang berarti the people, yang di dalam
Bahasa Indonesia akan diartikan penduduk atau orang ramai atau pula khalayak
umum.

Besarlah kecurigaan kaum realis dan (lebih-lebih lagi) kaum kritisi tatkala istilah
public oleh para ahli hukum yang administrator dalam jajaran eksekutif ataupun yang
hakim dalam jajaran yudisial lalu diartikan begitu saja sebagai negara. Tatkala
demikian halnya, maka seluruh kata public interest dalam hukum perundang-undangan
itu (juga hukum perundang-undangan tentang keuangan negara) lalu diartikan sebagai
kepentingan negara dan bukan kepentingan khalayak/masyarakat umum. Kalau demikian
itu pemaknaannya, maka seluruh uang 40 milyar yang disimpan Winfred Simatupang
memang akan diartikan sebagai tidak merugikan keuangan negara. Akan tetapi
tidakkah di sini telah terjadi perbuatan (pidana) yang telah merugikan kepentingan
khalayak ramai (karena tidak jadi memperoleh sembako seharga 40 milyar yang amat
diperlukan pada masa krisis yang lalu)?

Maka, demikianlah dalam setiap usahanya menafsirkan isi pasal-pasal dan ayat-
ayat perundang-undangan, kaum realis dan kaum kritisi selalu berprakarsa untuk setiap
saat melawan setiap hukum perundang-undangan berikut tafsir-tafsirnya dalam amar-
amar putusan hakim yang selalu hendak cenderung merujuk saja secara menyebelah ke
kepentingan negara dan pejabat-pejabat penyelenggaranya saja. Posisi pemihakan kaum
realis/kritisi sudah jelas kalau akan condong ke kepentingan masyarakat umum. Di sini
kaum realis/kritisi akan mempertanyakan apakah yang sebenarnya dimaksud dengan
kepentingan negara itu. Itu kepentingan negara ataukah kepentingan publik.



Ilustrasi Mengenai Konsekuensi Perbedaan Pemaknaan Arti Hukum:
Memaknakan Arti Praduga Tak Bersalah

Doktrin hukum positif mengajarkan bahwa, demi terlindunginya hak-hak asasi manusia
individu warga negara, setiap orang di hadapan para pejabat negara dan khususnya juga
di hadapan hakim harus dipradugakan tidak berbuat kesalahan karena melanggar
ketentuan-ketentuan hukum. Asas legalitas mengatakan bahwa nullum delictum, nulla
poena lege poenali. Akan tetapi, dalam hal ini bukannya tidak ada perkecualian. Atas
dasar alasan tertentu, berdasarkan hukum perundang-undangan mengenai acara
berperkara, atas nama publik dalam arti khalayak ramai (yang tak boleh diartikan
sebagai kepentingan individu) polisi dan jaksa (dan juga pengacara dalam perkara
perdata) diwenangkan untuk menduga seseorang telah berbuat salah. Atas dasar asas
praduga bersalah inilah polisi berkewenangan untuk menangkap dan jaksa pun
berkewenangan untuk menyeret ke hadapan sidang pengadilan seseorang yang diduga
bersalah karena melanggar ketentuan hukum.

Di sidang pengadilan itulah seseorang yang ditangkap dan ditahan (dan kemudian
diadili) itu harus diduga tak bersalah. Tetapi diduga tak bersalah oleh siapa? Ya, hanya
oleh siapa lagi kalau bukan oleh hakim. Sedangkan oleh jaksa (dan oleh sebagian dari
khalayak ramai yang merasa telah dirugikan) boleh-boleh saja kalau si terdakwa tetap
diyakini telah bersalah, yang karena itu mesti dituntut dan dimohonkan pemidanaannya
kepada hakim, (sekalipun di lain pihak para pengacara terdakwa dan para sanak kerabat
serta para sahabat si terdakwa yakin bahwa si terdakwa sama sekali tak bersalah). Tatkala
kemudian pada akhir sidang pengadilan sang hakim dengan segenap keyakinannya (tentu
saja berdasarkan bukti-bukti yang ada) bersimpulan bahwa terdakwa bersalah maka
jatuhlah putusannya untuk menghukum. Pada tahap ini, hakim pemutus perkara itu
tidaklah lagi terikat pada asas praduga tak bersalah.

Pada tahap banding, praduga bersalah oleh jaksa demi dan atas nama
kepentingan khalayak umum tetaplah berlaku. Di sini, dengan tetap menghormati hak
terdakwa untuk mohon banding, jaksa pun harus pula ikut mohon banding. J aksa tetap
bekerja demi kemaslahatan khlayak ramai. Kepentingan umum haruslah tetap ia
dahulukan daripada kepentingan warga individu yang tengah didakwa (sekalipun
individu itu bernama Akbar Tanjung). Tindakan jaksa dalam perkara ini tidak hanya
berdasarkan prinsip utilitarianisme, akan tetapi juga berdasarkan pembenaran yang telah
diberikan menurut ajaran realisme dan ajaran kritisisme dalam ilmu dan praktik ilmu
hukum. Asas praduga tak bersalah hanya berlaku bagi para hakim pada tingkat banding,
dan tidak berlaku pada khalayak ramai yang dirugikan atau merasa dirugikan, beserta
sang jaksa yang selalu bertindak sebagai pengacara atas nama publik (public attorney,
bukan state attorney).

Maka, demikianlah penjelasannya, juga dalam setiap usaha menafsirkan suatu
asas dalam ajaran hukum, kaum realis dan kaum kritisi selalu berprakarsa untuk
senantiasa melawan setiap pemaknaan hukum berikut asas-asas ajarannya yang maunya
hendak merujuk ke kepentingan negara dan pejabat-pejabat penyelenggaranya saja. Posisi
pemihakan kaum realis/kritisi sudah jelas kalau akan condong untuk selalu
mendayagunakan hukum yang formil ataupun yang materiil ke kepentingan
masyarakat umum.

Tatkala jalan pemikiran doktrinal kaum realis dan khususnya kaum kritisi itu
dirujuk untuk menjelaskan perkara Akbar Tanjung yang belum juga selesai sampai saat
ini maka jelas sudah kalau Akbar Tanjung itu harus dipraduga telah bersalah. Demi
kepentingan khalayak umum, dan bukan demi kepentingan suatu institusi politik tertentu,
Akbar Tanjung harus sudah bisa diduga bersalah, kecuali pada saatnya nanti tatkala
hakim pada tingkat banding meyakini bahwa ia tak bersalah. Mudah-mudahan saja hakim
pada tingkat banding telah pernah terdedah pada doktrin kaum realis dan kaum kritisi,
mampu memahaminya dengan baik, dan karena itu lalu tidak terus berkutat saja pada
doktrin-doktrin klasik dari abad yang lalu.



BAGIAN LIMA

MASYARAKAT WARGA, KEBANGSAAN, DEMOKRASI
DAN PENEGASAN KEMBALI REFORMASI




Hukum yang dimaknakan sebagai pengatur tingkah laku manusia, sehingga hukum dapat
didudukkan sebagai variabel yang berpengaruh pada dinamika sosial-politik. Di pihak
lain, sebaliknya, dinamika sosial-politik ternyata juga berpengaruh pada bagaimana
hukum dimaknakan, dipergunakan dan disosialisasikan. Lebih dari itu, bahkan dinamika
sosial politik berpengaruh pada bagaimana pembuatan atau perubahan isi hukum.
Tulisan-tulisan yang dimuat pada bagian ini menyajikan analisis berbagai
dinamika sosial-politik yang berpengaruh terhadap eksistensi hukum. Analisis yang
disajikan berpusatkan pada masyarakat warga, kewarganegaraan,
kebangsaan/nasionalisme, demokrasi, kemajemukan budaya, pembangunan dan
reformasi. Dalam bagian ini, berbagai analisis yang terpisah-pisah seakan-akan
dimuarakan ke visi mengenai perkembangan yang dicita-citakan terwujudnya di bidang
hukum.


26

DARI MASYARAKAT KAWULA-GUSTI DALAM OLD SOCIETY
KE MASYARAKAT WARGA DALAM NEW STATE



MASYARAKAT WARGA (atau yang di dalam bahasa asingnya disebut civil society,
atau yang di Malaysia diistilahkan masyarakat madani) adalah suatu bentuk masyarakat
ideal di mana di dalamnya tidak dikenal adanya diskriminasi antara mereka yang
berstatus yang dipertuan dengan segala hak-hak istimewanya dan mereka yang
berstatus yang diperhamba dengan segala macam beban kewajibannya. Masyarakat
warga adalah suatu masyarakat ideal yang di dalamnya hidup manusia-manusia yang di
dalam hablul min anasnya diakui berkedudukan sama dalam soal pembagian hak dan
kewajiban. Mereka ini adalah warga-warga yang berkesetaraan, musawah, sama-sama
berkebebasan dan berkeberdayaan.
Pada masanya yang pramodern, masyarakat warga seperti ini hanya dijumpai
dalam kehidupan komunitas-komunitas otonom yang mampu membebaskan diri dan
bertahan dari kontrol kekuasaan penguasa-penguasa feodal. Di negeri-negeri Barat pada
masa itu, masyarakat-masyarakat warga seperti itu didapati hidup dan mengorganisasi
diri di dalam enklave-enklave bertembok yang disebut city. Itulah sebabnya para anggota
masyarakat tersebut di negeri-negeri itu sejak saat itu disebut citizen (warga kota) atau
civilian (dari kata civis yang berarti warga) begitu saja. Berbeda dari mereka yang
harus hidup sebagai hamba-hamba di bawah kekuasaan para penguasa feodal yang setiap
saat dapat direkrut sebagai anggota balatentara sang penguasa itu, mereka yang civilian
itu akan tetap berstatus sipil alias preman atau freeman alias orang merdeka yang tak
dapat diperintah begitu saja oleh para penguasa apabila tanpa perjanjian guna
menyepakatkan kehendak terlebih dahulu.
Warga kota memang orang merdeka. Mereka sungguh terbebas dari segala bentuk
per-ulur-an dan perhambaan di bawah duli para penguasa feodal yang lokal itu. Tidak
seperti para hamba dan para ulur, mereka tidak terikat secara askriptif oleh berbagai
macam nisbat untuk terus setia dalam status pengabdian kepada para penguasa lokal itu.
Para ulur dan para hamba akan berkewajiban mengabdi selama hidup, baik pada masa
perang (sebagai serdadu-serdadu, dengan para penguasa feodal sebagai perwiranya)
maupun pada masa damai (sebagai pekerja-pekerja ladang dengan para penguasa feodal
sebagai tuan-tuan tanahnya).
Pada mulanya, di tengah-tengah kehidupan old societies yang umumnya masih
didominasi oleh stelsel ekonomi yang feodalistis itu, masyarakat warga sebagai suatu
satuan sosial yang khusus dan istimewa karena statusnya yang perdikan adalah suatu
masyarakat khusus yang berfungsi sebagai satuan-satuan produksi yang tak lagi berbasis
keluarga di bawah kontrol keluarga para ningrat. City dan citizens terorganisasi dalam
wujud gilde-gilde yang punya kegiatan usaha produksi sekunder, manufaktural, di kota-
kota yang otonom dan merdeka untuk mengatur serta mengurus kehidupannya sendiri.
Dalam skalanya yang relatif kecil dan formatnya yang relatif sederhana, partisipasi warga
dalam berbagai kegiatan hidup tak cuma yang ekonomis akan tetapi juga yang politik
273
dapatlah dilaksanakan secara langsung, seperti yang dahulu terjadi di berbagai polis pada
zaman Yunani kuno atau pula yang berlangsung di buroughs pada era feodalisme Eropa.
Dalam perkembangan yang lebih kemudian, tatkala bersamaan dengan
berakhirnya kekuasaan mutlak para Gusti yang feodal (sebagai akibat revolusi-revolusi
kerakyatan) kehidupan berkembang ke skala dan formatnya yang lebih besar, melampaui
batas-batas kota ke arah terjadinya negara bangsa yang berhakikat sebagai negara
teritorial, apa yang disebut masyarakat warga pun lalu tak lagi cuma bermakna sebagai
masyarakat warga suatu kota, melainkan sebagai masyarakat warga suatu negara. Istilah
citizen, denizen, citoyn, Burger, atau burgeouis yang semula diartikan sebagai warga
kota, kini tanpa perubahan dipakai untuk menyebut warga negara. Pengakuan
status sebagai warga dalam suatu kehidupan bernegara yang berskala nasional itu
mengisyaratkan bahwa segala bentuk perbedaan sebagai akibat perbedaan latar
belakang sosial dan/atau kultural menjadi tidak relevan lagi, dan bahkan juga sama
sekali tidak fungsional.
Warga bukanlah kawula atau oknum yang karena kedudukan sosial dan/atau
afiliasi kulturalnya yang berbeda dari yang tengah berkuasa lalu boleh diperlakukan
dengan sewenang-wenang. Warga adalah pengemban hak sebagian malah diyakini
bersifat kodrati dan asasi dan yang oleh sebab itu tak lagi boleh diperlakukan secara
semena-mena sebagai hamba-hamba oleh siapa pun. Sementara hamba-hamba ialah
mereka yang cuma tahu menanggung beban kewajiban tanpa pernah merasakan
nikmatnya hak yang memberikan rasa kesejahteraan. Kalaupun warga itu pada suatu
ketika harus juga menanggung beban kewajiban, kewajibannya yang asasi itu tak akan
lain daripada kewajiban untuk menghormati dan untuk ikut menegakkan hak-hak sesama
warga. Kewajiban warga harus boleh dipastikan terlahir dari hak sesama warga, dan tidak
sekali-kali terlahir dari kesewenang-wenangan sang penguasa. Bagaimanapun juga setiap
warga negara itu harus dipandang berkedudukan sama di hadapan hukum; maka oleh
sebab itu mereka itu pun juga akan memperoleh bagian hak dan bagian kewajiban dalam
jumlah dan macam yang pada asasnya sama, tak lagi terbeda-bedakan secara
diskriminatif. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu terlahir dari kesediaan
masing-masing pihak yang dinyatakan secara bebas, tanpa paksaan, untuk berbagi hak
dan/atau kewajiban, melalui akad-akad atau perjanjian-perjanjian yang berkesepakatan,
yang melahirkan hubungan-hubungan serba kontraktual.
Baik di negeri-negeri Barat pada abad 18 maupun di negeri-negeri Timur pada
abad 20, proses berkembangnya ide dan paham tentang manusia sebagai pengemban hak
(yang sebagian bahkan bernilai asasi agar manusia dapat memperoleh secara optimal
kesejahteraan dan martabatnya yang mulia) terkisah dalam sejarah sebagai peristiwa yang
terjadi bersamaan dengan marak dan berkembangnya ide untuk membangun suatu negara
bangsa yang demokratis dan berinfrastruktur masyarakat warga yang menolak
diskriminasi. Di dalamnya tak lagi dikenal diskriminasi yang memilah masyarakat ke
dalam golongan mereka yang harus dipertuan dan golongan mereka yang harus
diperhamba. Masyarakat baru yang disebut masyarakat warga (dengan suprastrukturnya
yang disebut negara bangsa yang berkedaulatan rakyat) itu demikian menurut model
idealnya adalah suatu masyarakat baru yang terorganisasi dalam negara baru yang
berasaskan kebebasan. Kesejahteraan dan kemuliaan pada asasnya hanya akan dapat
ditemukan dan diperoleh apabila para warga dapat hidup dan bergerak dalam suasana
berkebebasan.
274
Kebebasan tentu saja akan diharamkan apabila dalam pelaksanaannya sampai
mengancam kebebasan sesama warga yang juga sesama manusia itu. Maka kebebasan itu
demi kepentingan dan kemaslahatan bersama dapatlah setiap waktu dikurangi atau
dibatasi. Namun, kebebasan itu hanya boleh dikurangi atas dasar kesepakatan yang
dicapai tanpa rasa keterpaksaan dan/atau terkecoh oleh para warga itu sendiri (atau oleh
wakil atau kuasanya), yang kemudian harus dipositifkan dalam wujud kontrak (dalam
kehidupan privat) atau undang-undang (dalam kehidupan publik). Maka hak-hak dan
kewajiban-kewajiban para warga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu
juga hak-hak mereka yang asasi berikut pengurangannya dalam wujud kewajiban-
kewajiban mestilah berawal pula dari kesepakatan yang jujur dan ikhlas, tanpa rasa
keterpaksaan dan rasa dikecoh atau disesatkan. Hak dan kewajiban yang menjadi dasar
dari seluruh tertib hukum di dalam kehidupan bernegara bangsa dan di dalam kehidupan
masyarakat warga tidaklah sekali-kali boleh bermula dari kehendak yang dipaksakan
sepihak: dipaksakan oleh dia yang tengah punya kekuatan dan kekuasaan kepada dia
yang tengah berada dalam posisi lemah dan kurang berdaya.
Sebagus itu model idealnya, namun dalam kenyataan tidaklah sebagus dan
semulus itu realisasinya. Dalam pengalaman bangsa-bangsa Barat, realisasi membangun
masyarakat warga dengan komunitas politik yang demokratis serta yang dibangun
berdasarkan hukum (nota bene hukum yang merupakan manifestasi kesepakatan bersama
para warga) sebagai suprastrukturnya selalu berlangsung melalui revolusi-revolusi
berdarah. Itulah revolusi-revolusi yang diperlukan untuk menumbangkan terlebih dahulu
kekuasaan para Gusti sebelum suatu masyarakat baru yang didasarkan kedaulatan rakyat
(para warga) dapat dibangun. Revolusi kemerdekaan Amerika (1776) dan revolusi
Prancis (1789) adalah dua contohnya yang terkenal di dalam sejarah dunia.
Bahwa kedua revolusi tersebut benar-benar merupakan revolusi yang diilhami
cita-cita menuju ke terbentuknya masyarakat baru dengan warga yang terbebaskan dari
segala bentuk perhambaan, dan kemudian dalam kedudukannya yang bebas itu juga
berkedudukan setara di antara sesamanya tanpa diskriminasi macam apa pun, nyata dari
slogan dan ikrar yang dicanangkan pada masa revolusi itu. Ialah liberty, equality (and
pursuit of happiness) di Amerika dan libert, egalit (et fraternit) di Prancis. Diikrarkan
di sini bahwa sesungguhnya setiap manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
bangsa itu adalah warga yang pada asasnya berkebebasan dan berkesetaraan dan
berkesamaan derajat dan martabat. Ikrar ini menjadi bernilai sebagai hukum dasar yang
positif tatkala juga dielaborasi lebih lanjut sebagai suatu proklamasi atau deklarasi, ialah
Declaration of Independence di Amerika dan Declaration des Droit de lHomme et du
Citoyen di Prancis.
Memaklumkan secara terbuka persamaan derajat para warga tanpa mengenal
lagi pemisahan yang diskriminatif antara para Gusti yang boleh dibenarkan untuk selalu
dipertuan dan para hamba yang sudah semestinya diperbudak untuk selalu patuh pada
perintah tak pelak lagi deklarasi itu pun menyuratkan hak-hak asasi manusia di dalam
kedudukan mereka yang baru sebagai warga negara yang sebangsa. Inilah sejumlah hak
yang diyakini dan harus diakui sebagai hak yang melekat secara kodrati pada setiap
makhluk yang bersosok manusia, karena tanpa jaminan hak yang asasi seperti itu
keselamatan dan kesejahteraan hidup sesama manusia akan sulitlah dipastikan. Itulah
sejumlah hak yang dipunyai karena sifat kodrati manusia sebagai manusia, dan bukan
sekali-kali hak yang datang sebagai hasil pemberian para Gusti, penguasa duniawi yang
275
sekalipun sudah disembah namun tak urung acap pula tetap berulah lalim. Itulah hak-hak
manusia yang karena bersifat asasi dan kodrati tidaklah akan dapat dicabut atau boleh
dirampas oleh siapa pun sesama manusia. Hanya Allah sematalah yang dapat
menghentikan berlakunya hak-hak itu.
Kalaupun cita-cita untuk membangun kehidupan bermasyarakat warga dalam
suasana kehidupan bernegara bangsa atas dasar asas kedaulatan para warga (yang secara
kolektif disebut rakyat) itu acap kali dikisahkan sebagai bagian dari sejarah bangsa-
bangsa Barat, itu tidak serta merta berarti bahwa pengalaman manusia-manusia Barat itu
boleh diabaikan sebagai pengalaman yang sia-sia, yang oleh sebab itu bolehlah dilupakan
atau diabaikan. Kini, pada akhir abad 20 Masehi, banyak bangsa di berbagai belahan
bumi ini tengah bergulat baik dalam pemikiran maupun dalam berbagai ikhtiar nyata
untuk membangun suatu kehidupan baru yang penuh kemaslahatan. Tak pelak lagi,
dalam pergulatan banyak orang yang mulai juga menilai bahwasanya pengalaman
bangsa-bangsa Barat dalam pergulatan mereka merealisasi terwujudnya masyarakat yang
penuh kemaslahatan bagi warga dan rakyatnya (yang dalam bahasa asingnya disebut
masyarakat res publica =republik) amatlah berguna untuk dipelajari dan dimanfaatkan
kalaupun tidak untuk ditiru sepenuhnya dalam suatu rentang waktu yang singkat
sebagai bahan pelajaran yang berharga.
Kini kita memasuki suatu era baru yang ditengarai oleh suatu proses perubahan
cepat ke arah kehidupan global yang tak lagi mungkin dielakkan. Dalam kehidupan
global ini, dunia terkesan kian menyatu, tidak hanya sebagai akibat kemajuan teknologi
transportasi yang menisbikan jarak-jarak akan tetapi juga sebagai akibat revolusi
teknologi komunikasi yang menisbikan waktu. Dalam era global, perbatasan-perbatasan
nasional menjadi kian tak riil karena sudah menjadi demikian gampangnya dilintasi
jutaan manusia berikut dana kekayaan dan/atau ide-idenya. Dalam suasana seperti itu,
kehidupan bangsa yang satu tanpa dapat dielakkan dengan segala akibatnya, yang
positif maupun yang negatif akan tak mungkin dikecualikan dan dikucilkan dari
kehidupan bangsa yang lain.
Kini bangsa-bangsa mana pun di dunia ini tengah menemukan dirinya berada di
suatu ambang transformatif menuju ke model kehidupan sebagai new nation states, dan
dalam model kehidupannya yang baru itu harus lebih banyak mengembangkan kerja
sama antarbangsa dalam konteks kehidupan global yang menyatu, yang mungkin amat
berkeragaman namun yang tak mungkin lagi dipisah-pisahkan. Etnosentrisme,
sektarianisme dan nasionalisme yang picik mau tak mau harus mulai ditinggalkan untuk
digantikan dengan paham-paham kebangsaan yang lebih berperikemanusiaan
(kemanusiaan yang adil dan beradab) dengan menghormati sesama manusia sebagai
warga umat. Kemanusiaan akan lebih mendekatkan bangsa-bangsa ke arah kerja sama
daripada ke nafsu mengobarkan peperangan-peperangan secara tak berkeputusan. Semua
itu diupayakan guna menemukan kesejahteraan bersama, demi kelangsungan hidup
manusia sebagai satu kesatuan umat. Dalam suasana seperti itu sudah sepatutnya bangsa
yang satu belajar dari pengalaman dan kearifan bangsa yang lain. Kalaupun tidak untuk
ditiru sepenuhnya dan seutuhnya, sekurang-kurangnya dapatlah semua pengalaman luar
itu dikaji dan dipelajari sebagai bahan bandingan yang bermanfaat. Tak pelak, apabila tak
dihambati konservatisme kuno, masyarakat warga akan terwujud, tak hanya dalam
lingkup kehidupan new nation state melainkan juga di dalam lingkup the global society.


27

KONSEP KEWARGANEGARAAN DALAM KEHIDUPAN
BERNEGARA BANGSA: SEBUAH PENJELASAN RINGKAS




Kewarganegaraan adalah suatu konsep yang sebenarnya belum berumur lama. Konsep
ini dalam versinya yang modern berkembang secara berangsur dalam praktik, wacana
dan pemikiran serta esai-esai bersamaan waktu dengan tumbuh-kembangnya negara-
negara bangsa dan pencarian format hukum nasional yang lebih berkepastian, positivistis
dan sekular di Eropa Barat sejak abad 18-an. Konsep ini kemudian memperoleh
rumusannya yang lebih pasti pada akhir abad 19 dengan terbentuknya dua negara
Republik lewat dua revolusi, yaitu Revolusi Kemerdekaan Amerika (1776) dan Revolusi
Kerakyatan Prancis (1789).
Memang benar tatkala dikatakan bahwa sejarah kehidupan bernegara itu dan
karena itu juga pengertian yang mendefinisikan siapa saja para warga yang boleh
berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik di ranah-ranah yang non-domestik dan
privat telah beriwayat lama. Akan tetapi pada masa yang telah berlalu lama itu
kehidupan bernegara yang menjadi konteks permasalahan kewargaan itu bukanlah
kehidupan bernegara modern yang beruang lingkup satuan bangsa (nation) pada
tatarannya yang lebih abstrak, melainkan yang beruang lingkup satuan kota (polis, cite,
bourg) pada tatarannya yang lebih konkret. Maka menjadi warga dalam kehidupan
bernegara pada masa itu sebenarnya cumalah menjadi warga dari suatu kota
(bourgeouise) dan bukan warga dari suatu negara yang mencakup warga sebangsa
(citoyen, citizen).

Karakteristik yang Melekat pada Pengertian Warga dalam Kehidupan Bernegara
Bangsa

Namun demikian, sekalipun berbeda dalam skala dan tataran, namun ada karakteristik
yang bertahan dalam konsep kewargaan, dari konsepnya yang klasik sebagai citesein atau
bourgeouise (dalam kehidupan negara kota abad pertengahan) ke konsepnya yang baru
sebagai citoyen atau citizen (dalam kehidupan negara bangsa yang modern dan lebih
inklusif). Pertama adalah bahwa para warga itu merupakan manusia-manusia bebas,
dalam arti tidak terikat oleh peraturan hidup yang datang dari luar kolektivanya sendiri
yang otonom, melainkan oleh kehendak bebasnya sendiri, yang boleh dibatasi hanya atas
dasar kesepakatan-kesepakatan dengan sesamanya. Kedua adalah bahwa para warga itu
mengaku dan saling mengakui kesamaan derajat dan kesamaan martabat sesama warga
yang juga sesama manusia itu dalam setiap kegiatan bermasyarakat di ranah publik dan
dalam setiap kegiatan dalam kehidupan bernegara yang dikenali sebagai kegiatan politik,
bersejalan dengan hak-hak warga yang tanpa ayal dibilangkan sebagai hak-hak manusia
yang asasi.

278
Karakteristik-karakteristik itulah yang kemudian kita kenali sebagai substansi
yang kemudian tatkala dipositifkan dikenali orang sebagai unsur hak-hak manusia yang
asasi, yaitu the civil rights (hak-hak sipil) dan the political rights (hak-hak politik).
Tersebut pertama, yaitu the civil rights, adalah seperangkat hak warga akan
kebebasannya untuk tidak dikungkung oleh aturan-aturan hidup di luar kemauan dan
kesepakatannya sendiri. Hak-hak warga ini adalah hak-hak yang harus dipandang tidak
hanya asasi tetapi juga kodrati, yang akan menjamin eksistensi setiap warga secara
individual sebagai manusia-manusia bebas yang oleh sebab itu berkedudukan otonom,
alias wenang membuat aturan (nomos)-nya sendiri (auto) secara bebas, tanpa dapat
didikte oleh kekuatan luar mana pun, entah itu kekuatan yang bersumber dari kekuasaan
sang raja atau para Gusti lainnya (yang acap kali mengaku sebagai representasi
kekuasaan supranatural), entah itu kekuatan yang berasal dari sumber-sumber kekuasaan
asing yang eksploitatif.

Kebebasan warga sebagai hak warga yang asasi ini jelas kalau bersambung
dengan haknya untuk ikut membuat keputusan-keputusan politik dalam kehidupan
bernegara mengenai apa yang harus diambil dan/atau dihasilkan sebagai kesepakatan,
misalnya kesepakatan legislatif. Membebaskan diri dari pasungan-pasungan askriptif
kekuasaan normatif yang eksternal sebagaimana dikatakan di muka, para warga harus
mampu membuat kesepakatan-kesepakatan, dalam posisi masing-masing yang otonom,
mengenai apa yang harus disepakatkan secara jelas dan tegas (positif) sebagai hukum
yang harus berlaku di antara mereka. Inilah hukum perundang-undangan (entah yang
terbilang sebagai undang-undang dasar, entah pula yang terbilang undang-undang
organik yang berkedudukan di bawahnya), yang dihasilkan oleh para warga sendiri
berdasarkan kesepakatan yang bertolak dari kehendak bebas masing-masing.

Dua karakteristik yang terefleksi sebagai hak-hak manusia warga yang asasi
tersebut di muka inilah yang sesungguhnya mewarnai dan mensyarati kehidupan
bernegara (sejak yang klasik sampai ke yang modern) yang dilandaskan pada prinsip-
prinsip kewargaan. Tanpa hadirnya karakteristik kebebasan dan kesamaan derajat seperti
itu, yang ditemui orang dalam pengalaman bernegara tidaklah lain daripada kehidupan
bernegara yang otokratik, yang berhakikat pula sebagai kehidupan yang berdasarkan
asas-asas kekeluargaan yang patriarkal, dengan raja atau penguasa sebagai patriarkh yang
berkuasa mutlak di puncak. Revolusi-revolusi di akhir abad 18 di Amerika dan Prancis
adalah revolusi-revolusi yang mengakhiri kekuasaan patriarkh-patriarkh semacam itu,
berikut sistemnya yang amat hierarkis, dan menggantikan dengan kehidupan baru yang
berdasarkan asas kebebasan (liberty, liberte) dan asas kesamaan derajat (equality,
egalite), dan dalam revolusi Prancis juga dicanangkan asas persaudaraan (fraternite) yang
dimaksudkan sebagai perlawanan dan simbol perlawanan untuk melepaskan setiap
manusia dari kungkungan askripsi sistem hierarki yang dibela kaum patriarkh.
Yang masih menjadi permasalahan di sini yaitu, apakah kewargaan dalam
kehidupan bernegara modern itu sekaligus juga bermakna atau harus dimaknakan sebagai
kewargaan dalam kehidupan berbangsa? Apakah kehidupan bernegara modern (dengan
konsep kewargaan dalam interpretasinya yang modern) itu mesti juga berarti
berkehidupan dalam negara bangsa, Lalu, apakah yang dimaksudkan dengan bangsa di
sini ini? Apakah dalam artinya yang klasik dan harafiah sebagai sekelompok orang yang
279
seketurunan (alias sewangsa) atau tunggal-asal-kelahiran dari moyang yang sama
(nation natus nasci =dilahirkan)? Ataukah dalam artinya yang lebih mutakhir untuk
mengakomodasi perkembangan kontemporer, sebagaimana dikatakan oleh Ernest Renan
pada tahun 1870-an, tatkala ia membantah klaim penguasa J erman bahwa daerah Alsace
adalah bagian dari Imperium J erman hanya karena alasan bahwa penduduk di daerah itu
adalah keturunan J erman dan berbahasa J erman. Menjawab pertanyaannya sendiri qui
est-ce que une nation, Renan menyatakan dengan tegas bahwa sesungguhnya une nation
cest un groupe des gens qui possdent la dsire dtre ensemble.


Warga Negara dalam Artinya sebagai Warga Bangsa

Dengan menyatakan bahwa apa yang disebut bangsa dalam pengertian negara bangsa
yang modern itu tidaklah ditentukan oleh garis keturunan, melainkan oleh pilihan
kehendaknya yang bebas untuk menyatu (la dsire dtre ensemble ) dalam suatu
kehidupan bernegara, Renan pada dasarnya telah memajukan tolok baru untuk
mendefinisikan siapa yang harus dibilang sebagai warga suatu negara. Di sini bukan
paham nasionalisme dalam artiannya yang sempit yang sebenarnya dipakai, melainkan
paham kebangsaan dalam artinya yang luas, dengan mendefinisikan bangsa sebagai
satuan warga yang dibangun atas dasar pilihan dan kesediaan yang berangkat dari rasa
keikhlasan. Yang menentukan bukan kesatuannya (kesatuan moyang berikut tradisinya)
melainkan persatuannya (kebersatuan atau dasar kehendak dan pilihannya).

Maka, bangsa menurut Renan ini akan tetap ada selama manusia-manusia di
dalamnya tidak perlu secara terbuka, dapat pula secara diam-diam tetap menyatakan
keinginannya untuk tetap bertahan menjadi warga. Dikatakan di bagian lain oleh Renan,
bahwa lexistence dune nation est ... plbiscite de tous les jours. Maka di sini eksistensi
suatu negara bangsa sebagai negara yang dibangun dan dipertahankan oleh bangsanya
akan ditentukan tidak oleh ada tidaknya kelanjutan dan kehadiran identitas suatu etnisitas
di situ, melainkan akan amat ditentukan oleh kehadiran manusia-manusia yang tetap
ingin menyatu di situ dengan identitas kewargaan yang dipilihnya, tak soal asal muasal
keturunannya.

Dalam kehidupan masyarakat yang majemuk, seperti yang kita saksikan dalam
satuan-satuan negeri bekas daerah jajahan dan pula dalam kehidupan global dewasa ini,
tolok kebangsaan atas dasar kewargaan yang berkebebasan itulah yang harus dipandang
paling tepat dan realistis. Berbeda dengan apa yang berkembang pada masa pra-industri,
tatkala kehidupan di bumi ini masih belum dikocok sampai terbaur-baur oleh
banyaknya arus mobilitas penduduk antar-teritori, kini sudah sulitlah dijumpai teritori-
teritori berperbatasan sebagai satuan negara yang dihuni dan dikelola oleh orang-orang
seasal keturunan, seetnis, apalagi yang berasal dari suatu ras yang sama. Kewargaan
dalam suatu kehidupan bernegara, kalaupun toh boleh pula disebut sebagai suatu
kehidupan berbangsa, umumnya merujuk saja ke definisi bangsa seperti yang pernah
dikemukakan oah Ernest Renan. Inilah konsep kebangsaan yang dikemukakan untuk
menandingi lebih dari sekadar menyandingi dan membandingi konsep etno-
280
nasionalisme J erman yang cenderung berkesan diwarnai paham rasialisme atau setidak-
tidaknya sukuisme.

Konsep yang dikemukakan Ernest Renan pada tahun 1870-an itu sebenarnya
merupakan rumusan ulang saja namun dengan tekanan yang hendak lebih menegaskan
konsep kewarganegaraan yang lebih beresensikan identitas kewargaan daripada
kebangsaan. Inilah konsep kewarganegaraan yang kini dikenali dengan istilah civil
citizenship. Inilah konsep kewarganegaraan yang memberikan arti pentingnya hak-hak
manusia yang asasi, yang karena itu harus dijamin tetap tegaknya tatkala manusia-
manusia meninggalkan statusnya sebagai makhluk alami untuk kemudian memasuki
status (etat, state) mereka yang baru sebagai warga suatu organisasi kehidupan yang
disebut negara. Inilah hak-hak yang dalam banyak wacana disebut hak-hak warga (civil
rights, droit civil atau droit du citoyen), seperti misalnya hak-hak asasi untuk memiliki
harta kekayaan, untuk memperoleh perlindungan atas kebebasan pribadi atau pula untuk
memperoleh perlakuan yang adil menurut undang-undang.

Berbeda dengan konsep etno-nasionalisme suatu konsep yang bertumpu pada
romantisme para penganut paham kesejarahan yang bertahan cukup lama di J erman
konsep kebangsaan yang diidentikkan dan disamasebangunkan dengan konsep kewargaan
tersebut di muka ini oleh beberapa penulis, seperti misalnya oleh van Steenbergen,
dibilangkan ke dalam tipe civil citizenship. Inilah model kewarganegaraan yang
mensyaratkan terwujudnya hak-hak para individu warga negara yang harus dijamin oleh
para pengemban kekuasaan negara. Inilah model kewarganegaraan yang berkembang
dari/dalam realitas perubahan-perubahan besar yang disebut revolusi pada abad 18 di
negeri-negeri orang Eropa Barat. Maka tatkala perubahan-perubahan besar berlanjut-
lanjut terus pada abad 19 dan 20, terjadilah upaya untuk memutakhirkan lebih lanjut
konsep kewarganegaraan itu, lebih-lebih tatkala proses dekolonialisasi dan globalisasi
berlangsung di berbagai bidang kehidupan. Sepanjang masa itu, lebih lanjut dari batasan
konsep kewarganegaraan sebagai civil citizenship, berkembang pula konsep-konsep
kewarganegaraan yang lain, yang (kembali seperti dikatakan van Steenbergen)
dibilangkan ke dalam tipe political citizenship dan social citizenship.

Apa yang disebut political citizenship ini menekankan arti pentingnya persyaratan
terwujudnya eksistensi para warga sebagai insan-insan politik, yang tak hanya
memperoleh jaminan perlindungan hak akan tetapi juga jaminan termanfaatkan hak-hak
para warga, terakui sebagai hak-hak mereka yang asasi, untuk berperanserta dalam setiap
kegiatan politik. Tatkala dalam konsep civil citizenship itu setiap warga negara tak
peduli apa pun latar belakang asal usul kelahirannya berhak unuk sepenuhnya
menikmati hak, dalam konsep political citizenship ini tersirat adanya juga tanggungjawab
moral para warga untuk tidak menyia-nyiakan hak asasinya. Hak tidaklah semestinya
dibiarkan menganggur tanpa termanfaatkan. Demi kepentingan bersama yang disebut
kepentingan publik, setiap warga negara selalu ditunggu kesediaannya untuk
memanfaatkan secara bertanggung jawab hak-haknya itu untuk ikut berperan serta
secara langsung ataupun tidak langsung dalam setiap aktivitas penyelenggaraan
dan/atau pelestarian kehidupan bernegara. Hak-hak politik seperti itu, yang dihakkan
kepada setiap warga dalam kerangka model political citizenship dengan
281
mengimplikasikan adanya tanggung jawab yang melekat, antara lain ( sebagai contoh )
adalah hak untuk memberikan suara dalam pemilihan umum, dan hak untuk ikut
melakukan pembelaan negara.

Social citizenship adalah konsep mutakhir yang mulai banyak dikenal dalam
perkembangan abad 20 ini, bersamaan masa dengan perkembangan konsep welfare state.
Dalam konsep ini, warga negara berhak atas jaminan-jaminan sosial-ekonomi yang
bermakna sebagai jaminan akan terselenggaranya kehidupan yang sejahtera. Tatkala pada
realisasi konsep civil citizenship setiap warga akan menemukan dirinya beridentitas
sebagai makhluk liberal yang hidup dalam suasana berkebebasan guna mengembangkan
kepribadiannya, sedangkan dalam kehidupan yang berkonfigurasi political citizenship
orang menemukan dirinya dalam identitasnya yang baru sebagai warga yang secara
politik berdaulat dalam suatu kehidupan demokratis, menuruti konsep social citizenship
setiap warga akan menemukan dirinya dalam identitasnya yang lain. Menuruti imperativa
social citizenship, setiap warga adalah warga yang terjamin hak-hak sosial-ekonominya
demi terjaganya kemampuan mereka yang tinggi untuk berpartisipasi secara optimal
dalam setiap kehidupan bernegara dan bermasyarakat.


Epilog: Konsep Kewargaan dalam Kehidupan Global

Ketika konsep kewargaan muncul dan terwujud secara berangsur sebagai bagian dari
pengalaman dalam kehidupan masyarakat perkotaan dan/atau negara kota, konsep itu
bermotifkan penolakan atas pembedaan diskriminatif antara mereka yang didudukkan
sebagai Gusti yang selalu didewa-dewakan dan mereka yang didudukkan sebagai hamba
yang selalu diperkuda. Konsep citizen ini sekalipun sebagai istilah, yang berarti orang
kota (cite + sein), tidak pernah berubah mengalami perkembangan sehubungan dengan
perubahan fungsinya di tengah lingkungan sosial-politik yang juga berubah. Perubahan
lingkungan berlangsung dari model lingkungan kota yang klasik ke lingkungan negara
bangsa yang modern, dan dari lingkungan bangsa modern yang dimaknakan sebagai
satuan etnisitas ke lingkungan bangsa yang dimaknakan sebagai satuan manusia yang
menyatu berdasarkan kehendak bebasnya. Dalam maknanya yang disebutkan akhir ini
pun terjadi perubahan, kalaupun tidak dalam ihwal skala dan formatnya toh dalam ihwal
model hubungan yang diharapkan antara pengemban kekuasaan negara dan warga,
khususnya dalam hal ruang lingkup dan kewajiban warga vis a vis pengemban kekuasaan
negara.

Perubahan tidak berhenti di situ. Kini pengertian kewargaan sekalipun masih
disebut dengan istilah citizenship, yang arti harafiahnya sebenarnya tetap tak berubah,
yaitu hal orang kota sudah menjurus pula ke pengertian umat manusia. Hidup di
tengah kehidupan global, tatkala perbatasan-perbatasan dan yurisdiksi negara-negara
nasional sudah luruh di mana-mana, tatkala nasionalisme sudah juga surut untuk
ditumpangi humanisme, pengertian kewargaan dan kewarganegaraan tentu saja akan
memperoleh makna subtantifnya yang baru. Citizenship yang dulu berkonotasi ke
kehidupan kota, lalu berkonotasi secara konseptual ke kehidupan berbangsa (apa pun juga
interpretasi pengertian atas apa yang dimaksud dengan bangsa itu), kini mesti mulai
282
dipikirkan dan diwacanakan sebagai dan/atau dalam konotasinya pada kehidupan umat
manusia sejagad. Kalau ada beberapa pihak sudah mulai menengarai munculnya realitas
world citizen, dan tatkala hak dan kewajiban asasi manusia di bumi ini tidak lagi
diangkat-angkat sebagai bagian dari wacana nasional mengenai hubungan antara
kewenangan dan kebebasan melainkan sebagai bagian dari wacana moral mengenai hak
dan kewajiban manusia dalam hubungan dengan sesamanya, tahulah kita bahwa kita
sudah tiba pada suatu titik akhir yang dikatakan T.H Marshall sebagai the end of the
history of citizenship. Kecuali, tentu saja, apabila kita berani mengatakan bahwa
citizenship tidaklah ada hubungannya dengan kehidupan bernegara, seperti dulu tatkala
J ean J . Rousseau mengatakan bahwa tidaklah ada hubungan antara citizenship dengan
kehidupan perkotaan.


Bacaan

Friedman, J onathan. 1995. Cultural Identity and Global Process. London: Sage

J ames, Paul. 1996. Nation Formation: Towards A Theory of Abstract Community.
London: Sage.

Van Steenbergen, Bart, ed. 1994. The Condition of Citizenship. London: Sage

Turner, Bryan S., ed. 1993. Citizenship and Social Theory. London: Sage




28

ASPIRASI WARGA MASYARAKAT
DALAM KEHIDUPAN BERNEGARA




Aspirasi (diserap dari bahasa Inggris, aspiration, yang berasal dari bahasa Latin,
aspirare) yang semula berarti bernafas kuat-kuat, atau mendengus, kini telah lazim
diartikan pula sebagai keinginan keras untuk menggapai maksud. Akhir-akhir ini kata
aspirasi banyak diucapkan dan ditulis orang, tentu saja tidak dalam artinya yang
mendengus itu, melainkan dalam artinya yang berkeinginan keras tersebut. Itu pun
umumnya tidak dihubung-hubungkan dengan keinginan yang individual sifatnya,
melainkan yang kolektif. Maksud keinginan kolektif adalah keinginan sejumlah warga
masyarakat, yang di dalam praktiknya acap kali diungkapkan secara sangat asentif,
nadanya keras dan terkesan galak, sampai mendengus-dengus.

Dalam kehidupan bermasyarakat yang dicita-citakan sebagai kehidupan
masyarakat warga (civil society) yang dikatakan madaniah sifatnya (alias berperadaban,
characterized civility), dan/atau pula dalam kehidupan bernegara yang dicita-citakan
sebagai kehidupan dalam suatu komunitas politik yang demokratis, maraknya ekspresi
aspirasi rakyat atau warga masyarakat adalah sesuatu yang tak terelakkan. Dalam
kehidupan masyarakat warga yang terorganisasi sebagai komunitas politik yang
demokratis, seluruh kebijakan pemerintah (casu quo kebijakan negara) adalah memang
hasil artikulasi aspirasi rakyat yang warga negara itu.

Patut diingat bahwa kehidupan demokrasi adalah kehidupan yang mementingkan
kepentingan orang banyak (publik), dan bukan kepentingan orang per orang, lebih-lebih
lagi bukan kepentingan seseorang atau sejumlah kecil orang yang karena posisinya
yang elite mengklaim dirinya (tanpa mau disangkal) sebagai representasi kepentingan
masyarakat. Kepentingan publik dalam kehidupan demokratis itu hanya akan bisa
diketahui bunyinya tatkala semua warga secara individual (demi haknya) memperoleh
kesempatan yang sama untuk secara bebas mengutarakan aspirasinya, yang kemudian
daripada itu tersalur dan terserap pada suatu lokus; yaitu lokus tempat pendapat-
pendapat itu disimpulkan dan rumusan kebijakan publik yang didasarkan pada
pendapat-pendapat tersebut dirumuskan.

Harus diakui bahwa sedemokratis apa pun kehidupan bermasyarakat dan
bernegara itu tidaklah aspirasi seluruh warga itu bisa selamanya seragam, sehingga
pengumpulan pendapat dan aspirasi itu akan selalu berakhir dengan kesimpulan dan/atau
keputusan yang aklamatif. Maka tak pelak lagi, dan bukanlah suatu praktik yang salah,
tatkala nanti ada pendapat dan/atau aspirasi yang sekalipun telah tertampung dan tersalur
akan kalah suara dan tak terserap dan termasukkan ke dalam kebijakan publik; yaitu
284
kebijakan yang menurut dalil dan dalihnya harus diambil demi kepentingan khalayak
ramai (publik).

Bertolak dari kenyataan seperti itu dalam kehidupan demokratis yang umumnya
justru heterogen dan majemuk itu yang akan dipentingkan bukannya terjadinya
keseragaman pikiran dan pendapat serta aspirasi, serta terealisasinya semua aspirasi yang
ada (tanpa kecualinya) demi kepuasan semua pihak. Alih-alih begitu, yang lebih
dipentingkan yaitu tiadanya diskriminasi dan/atau perilaku curang untuk tidak
menampung dan tidak menyalurkan aspirasi yang hidup dalam masyarakat, betapapun
juga minoritasnya posisi mereka yang tengah mengemukakan aspirasinya itu. Kalah-
menang adalah persoalan nanti, asal sepanjang proses penampungan dan penyaluran
aspirasi itu tidak ada perlakuan-perlakuan yang diskriminatif. Kalau prosesnya seperti itu,
dan tidak terjadi cara menang-menangan, maka yang kalah akan bisa belajar dari
pengalaman kekalahannya yang berharga itu, sedangkan yang menang akan tetap sadar
bahwa kemenangan yang diperolehnya bukanlah segala-galanya dan tidak akan berlaku
selama-lamanya.

Apabila aturan permainan seperti ini tidak diterima, dan karena itu orang pun tak
hendak mau menerima kekalahan dalam hal adu pendapat dan adu aspirasi yang sehat,
dan maunya hanya mendesakkan kemauannya sendiri tanpa mengacuhkan ada-tidaknya
kesempatan yang harus sama-sama diberikan pada sesama warga yang lain, maka
tidaklah kehidupan bermasyarakat warga dan kehidupan bernegara demokrasi dapat
terwujud. Itulah sebabnya mengapa dalam kehidupan bermasyarakat warga dan bernegara
bangsa yang demokratis, forum-forum diperlukan untuk menyandingkan dan
membandingkan serta mempertandingkan pendapat dan aspirasi secara terbuka,
berdasarkan prosedur berwacana yang sama-sama disepakati. Tak ada harga mati di sini.
Kalaupun tak mesti harus berakhir dengan keputusan kalah atau menang, keputusan lain
dapat pula diupayakan. Misalnya melalui negosiasi, kompromi, saling memberi dan
menerima, ke arah apa yang disebut win win solution.

Forum seperti itu terlembagakan dalam banyak bentuk. Badan legislatif adalah
lembaga yang paling dikenal dalam suatu kehidupan demokratis, dengan proses-
prosesnya yang kian dewasa kian cakap mengupayakan the win win solution itu. Mau
menangnya sendiri dengan sikap dan ulah-laku yang keras, kalaupun itu dimaksudkan
untuk mengekspresikan aspirasi, tatkala bernuansa mau menangnya sendiri, tentulah
tidaklah menguntungkan kehidupan demokrasi. Forum tempat bermainnya wacana
demokrasi tentu saja harus pula diisi oleh aktor-aktor baik yang bersosok individu
maupun yang bersosok organisasi yang tahu bermain cantik untuk memperoleh hasil
akhir yang tak mesti memenangkan aspirasinya sendiri secara egosentrik. Aktor-aktor
yang berwujud organisasi ini bisa berwujud organisasi yang langsung hendak bermain
politik praktis (disebut partai politik) dengan secara langsung memobilisasi dan
mensinergikan aspirasi warga masyarakat pengikutnya, atau pula berupa organisasi
sipil/warga yang tujuannya hendak mempengaruhi jalannya proses politik dengan cara
menampung dan menyalurkan aspirasi-aspirasi warga masyarakat ke lokus-lokus yang
satu, yaitu bangsa Indonesia. Sedangkan mereka yang semula berjati diri sebagai satu
wangsa tiba-tiba saja di negeri Republik ini hanya bisa diakui sebagai sukubangsa saja.
285

Perbedaan antara apa yang dicita-citakan penuh romantisme oleh kaum
kebangsaan yang elite dan kenyataan kehidupan sehari-hari yang dialami rakyat itu tak
pelak lagi sejak awal telah menyebabkan terjadinya suatu dikotomi yang melambangkan
lebarnya celah antara apa yang dicita-citakan (yang harus serba satu dalam satu kesatuan)
dan apa yang terlihat dalam kenyataan (yaitu kemajemukan). Alih-alih mengembangkan
pengakuan, akan kuatnya fakta kemajemukan, dan kemudian daripada itu mengajarkan
paham yang lebih realistis mengenai moral dan hikmah kemajemukan itu, para pemuka
politik di negeri ini tetap juga mengidealkan wujud yang serba harus satu, kesatuan dan
persatuan. Alih-alih mengembangkan paham pluralisme yang realistis, para pemuka
politik di negeri ini tetap saja mengukuhi paham unisme yang acap kali tak gampang
bersesuai dengan dan/atau bisa merefleksikan apa yang ada dalam kenyataan.

Walhasil, betapapun juga kuatnya kenyataan, kebijakan-kebijakan politik dan
implementasinya dalam program-program pembangunan nasional di negeri ini tetap saja
dengan kepanggahannya yang tinggi cenderung untuk terus saja merujuk ke apa yang
selama ini telah dicita-citakan. Cita-cita itu adalah cita-cita kebangsaan yang beresensi
persatuan dan kesatuan. Realitas keragaman dan pluralitas suku yang lokal tidak harus
dipandang penting, dan karena itu harus ditundukkan ke bawah cita-cita kesatuan bangsa.
Unisme dan unitarianisme itulah yang harus dimenangkan, dan pluralisme itulah yang
harus disingkirkan dari segala macam ragam pemikiran. Kemungkinan kekuatan lokal
untuk mempertahankan eksistensi dirinya berikut segala keragamannya, yang seolah-
olah membenarkan pernyataan lain ladang harus lain belalangnya dan lain lubuk harus
lain ikannya diperkecil demi tak terhalanginya proses menuju ke realitas baru, yaitu
realitas serba satunya bangsa dalam suatu kesatuan yang monolitik.

Maka idiom politik yang amat mengidealkan kesatuan dan persatuan berdasarkan
semangat kebangsaan yang diyakini tanpa reserve ini dalam praktik lalu menjadi nyata
sekali kalau kehilangan visi dan orientasinya yang realistis, bahkan cenderung untuk kian
utopik. Pada akhirnya semua itu hanya melahirkan paham-paham etatisme, kebijakan-
kebijakan developmentalism, dan praktik-praktik pemerintahan yang menganut ajaran
sentralisme yang berlebihan. Pada gilirannya, implementasi berbagai isme yang
ekstrim ini hanya akan menghasilkan monopoli kekuasaan dan kontrol di tangan suatu
rezim dengan aparat birokratiknya (sipil ataupun militer) yang sungguh otoritarian,
dengan akibat-akibatnya yang justru amat counter-productive. Otoritarianisme sentral
yang maunya hendak mendominasi dan berhegemoni saja, dengan mengabaikan
perbedaan dan kemajemukan lokal yang ada di dalam realitas.

Sentralisasi di negeri ini, di bawah kendali kekuasaan sentral yang otokratik,
merasa harus selalu mencurigai dengan tiba-tiba saja datangnya resistensi yang
bernafaskan primordialisme lokal. Tak lain, karena (dari perspektif politik) etatisme dan
sentralisme seperti itu sekalipun diklaim berkarakter nasional tetap saja termaknakan
sebagai suatu upaya sistematis rezim di pusat untuk memarjinalisasikan potensi dan peran
lokal dalam percaturan nasional. Kalaupun tak hendak dimarjinalisasikan, praktik
sentralisme hanya akan mengkooptasi dan/atau mengasimilasikan kekuatan-kekuatan
lokal ke dalam kepentingan sentral. Maka, tiba-tiba saja segala potensi dan peran lokal
286
hanya boleh ditenggang dan dipertahankan tatkala diabdikan kepada kepentingan
J akarta, atau bahkan lebih lanjut lagi untuk kepentingan J awa. Dalam wacananya
yang dilandasi syak wasangka, kata J akarta dan lebih-lebih J awa itu lalu tak jarang-
jarangnya tak lagi terkonotasikan ke maknanya yang geografis, melainkan ke maknanya
yang politis (J akarta) dan bahkan pula ke maknanya yang etnis-lokal dengan
primordialismenya yang baru (J awa7). Konotasi seperti itu tiba-tiba saja terkesan dan
serasa dialami oleh orang-orang daerah (khususnya yang dari luar J awa) sebagai suatu
proses penjadian suatu imperium baru di negeri ini, melalui suatu kebijakan untuk
mengasimilasikan semua saja yang berada di periferi dan/atau berada di status minoritas
ke idiom-idiom sentral mereka yang tengah mendominasi dan amat berpeluang untuk
melakukan hegemoni. Tiba-tiba saja menjadi nyata terkesan telah terjadinya proses-
proses yang bertengara sebagai suatu internal colonialism yang amat mengabaikan
kepentingan dan otonomi lokal.

Sentralisasi kekuasaan yang berangkat dari paham sentralisme, etatisme dan
developmentalisme dengan keyakinan agar proses-prosesnya harus dilaksanakan oleh
suatu authoritarian bureaucracy yang gampang mencurigai sembarang wujud ekspresi
perbedaan justru telah menyebabkan terjadinya efek paradosal, yaitu disintegrasi. Alih-
alih berhasil mengintegrasikan bangsa-bangsa tua di Kepulauan Nusantara ini ke dalam
suatu kesatuan bangsa baru (apa pun juga socio-political costnya) telah mengundang
datangnya bahaya disintegrasi, dengan upaya-upaya penyelesaiannya yang sering
mengabaikan soal-soal kemanusiaan yang adil dan beradab. Pengalaman rupanya hendak
mengajarkan kepada kita bahwa bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan
(tunggal ika) itu yang paling potensial akan melahirkan kesatuan dan persatuan yang
kuat, melainkan pengakuan akan adanya pluralitas (bhinneka = bhinna ika) dan
kesediaan untuk menghormati kemajemukan itulah yang akan menjamin persatuan dalam
rentang waktu yang lebih panjang.

Di negeri yang dalam kenyataan penuh dengan kemajemukan dewasa ini
sesungguhnya bukan semboyan bhinneka tunggal ika itu yang harus diingat-ingat dan
dilanggengkan sebagai rujukan setiap kebijakan nasional. Di tengah arus reformasi
dewasa ini, idiom yang harus lebih diingat-ingat dan dijadikan referensi setiap kebijakan
adalah tunggal ika, bhinneka. Maksudnya, sekalipun satu tidaklah boleh dilupakan bahwa
sesungguhnya kita ini bhinna: berbeda-beda dalam suatu kemajemukan. Lagi pula,
berbeda-beda itu bukan suatu dosa melainkan suatu rahmat Tuhan yang Mahakuasa
jugalah adanya.


29

WAWASAN KEBANGSAAN DALAM KEHIDUPAN
BERNEGARA: SEBUAH KERANGKA PEMIKIRAN TEORETIS





Sebuah wawasan demikian juga yang mengenai soal kebangsaan (yang sungguh
relevan dan oleh sebab itu akan ikut menentukan arah proses pembuatan kebijakan)
lazimnya berangkat terlebih dahulu dari suatu kepahaman konseptual mengenai apa yang
dimaksud dengan bangsa itu. Memahami kebangsaan dalam konsepnya sebagai
kesatuan manusia yang berketunggalan moyang, bahasa, tradisi dan bermacam simbol
kultural lainnya, elite-elite nasional akan cenderung berarah ke pembuatan kebijakan-
kebijakan yang sifatnya sentralistis. Sementara itu, memahami kebangsaan dalam
konsepnya sebagai persatuan kelompok-kelompok manusia yang berbeda-beda asal dan
tradisi, kebijakan-kebijakan nasional akan cenderung terproses sebagai hasil diskursus-
diskursus dan kesepakatan berbagai pihak.

Kehidupan kebangsaan yang dibangun di atas fakta (atau fiksi?) kesatuan dapatlah
disimak dalam pengalaman sejarah J erman. Dalam model kebangsaan J erman ini, pada
asasnya semua ras Arya yang secara asli menduduki wilayah von dem Maas am dem
Memmel itulah yang harus diidentifikasi sebagai bangsa J erman modern. Sementara itu,
yang lain adalah pendatang-pendatang yang merupakan unsur baru saja, yang
kehadirannya cuma akan mengganggu kemurnian bangsa Arya (yang merupakan unsur
utama bangsa J erman). Mementingkan kesatuan identitas, otokratisme mayoritas berikut
praktik diskriminasinya bahkan ekstremnya sampai ke praktik ethnic cleansing
terhadap kelompok-kelompok minoritas pendatang akan menjadi mudah terjadi dan juga
serta merta dibenarkan.

Berbeda dengan pengalaman kehidupan kebangsaan J erman, pengalaman
kebangsaan Prancis tidaklah bertolak dari kepahaman dan wawasan kesatuan melainkan
persatuan. Definisi mengenai apa yang disebut bangsa menurut Ernest Renan
memberikan penegasan tentang paradigma persatuan dalam kehidupan kebangsaan itu.
Dikatakan olehnya bahwa pada pokoknya une nation est un population groupe quest
obsde par la dsire dtre ensemble. Maka apa yang disebut bangsa itu tentulah tidak
mungkin akan ada tatkala tak ada hasrat yang ternyatakan di kalangan suatu kelompok
penduduk untuk bersatu itu, misalnya antara lain melalui plebisit, sebagaimana
dicontohkan dalam kasus bergabungnya rakyat Alsace yang sekalipun mayoritas
berdarah J erman menyatakan keinginannya untuk menjadi bagian dari bangsa Prancis.
Pernyataan keinginan itu tidak selalu harus dieksplisitkan secara terus menerus dari hari
ke hari. Menurut Renan, eksistensi suatu bangsa itu ditentukan oleh adanya plebisit diam-
diam dari hari ke hari (un plbiscite muet tout le jour).

288
Model kebangsaan Prancis ini yang mendasarkan diri pada paradigma persatuan
(dan bukan kesatuan) boleh dikatakan bertolak dari kesadaran yang realistis mengenai
adanya pluralitas sosial-budaya (bukan pertama-tama oleh sebab adanya heterogenitas
dalam kehidupan ekonomi). Model berparadigma persatuan dalam kehidupan kebangsaan
ini memungkinkan terkawalnya pengakuan akan adanya dan bertahannya keragaman
sosial-budaya (yang di Indonesia secara salah kaprah disebut kebhinekaan) di kalangan
berbagai unsur pembentuk kehidupan berbangsa. Itulah sebabnya mengapa pendiri
Republik Indonesia yang menyadari kenyataan yang tak terbantah mengenai pluralitas
yang terdapat di negeri ini lebih tergerak untuk mengikuti model kebangsaan Prancis
(yang karena itu ucapan Renan acap dikutip dalam berbagai pidato pada tahun 1945an),
dan mempositifkan pilihan ini pada sila ketiga pancasila: Persatuan (dan bukan Kesatuan)
Indonesia.

Sesungguhnya problema besar yang dihadapi para perintis kemerdekaan dan
pendiri Republik di negeri ini pada waktu itu ialah, bagaimana membangun suatu
kehidupan berbangsa di atas landasan keberagaman sosial-budaya yang berakar tunjang
dalam-dalam di suatu substruktur yang disebut suku, suku bangsa, atau satuan kolektiva
lain macam apa pun yang kultural atau religius-kultural sifatnya (yang pada hakikatnya
memiliki unsur-unsur tradisi yang tua)? Mungkinkah kehidupan berbangsa modern itu
dapat bertahan lama hanya atas dasar tekad-tekad dan ikrar-ikrar politik yang harus
disegarkan lewat seremoni-seremoni dari tahun ke tahun? Bagaimanapun juga, sampai
pada peralihan abad 20 Masehi sekarang ini, kenyataan di negeri ini tetap menunjukkan
dengan jelas bahwa keanekaragaman infrastruktur sosial-budaya yang bertahan di daerah-
daerah (betapapun tradisionalnya) tetap saja dengan kepanggahan yang tinggi merupakan
predeterminan politik berikut ide dan ideologinya.

Maka, kalau memang benar substruktur sosial-budaya yang bertegak di daerah-
daerah tetap merupakan determinan suatu konstruksi politik nasional suatu bangsa baru
yang dicoba dibangun di atas puing-puing kolonialisme, paradigma persatuan dalam
kehidupan kebangsaan itulah yang mesti memperoleh perhatian utama. Setiap upaya
untuk mengingkari keragaman latar sosial-budaya (apalagi latar sosial-religius) yang ada
di berbagai kelompok dan daerah, terlebih-lebih lagi tatkala model sosial-budaya yang
dianut suku suatu daerah atau model normatif sosial-religius kelompok mayoritas tertentu
hendak dipaksakan sebagai standar nasional (secara terang-terangan ataupun secara
sembunyi-sembunyi), maka peralihan dari paradigma persatuan ke paradigma
kesatuan dalam wawasan kebangsaan seperti ini akan gampang mengundang
permasalahan besar. Pengalaman Sri Lanka di Asia Selatan, Yugoslavia dan Rusia di
Eropa Timur, dan Kanada di Amerika Utara, adalah beberapa saja dari sekian jumlah
contoh yang pantas diperhatikan dan dipelajari bersama dengan sungguh-sungguh.

Di tangan kekuasaan para nasionalis yang lebih menekankan asas paradigmatik
kesatuan daripada asas persatuan dalam segala segi kehidupan, dengan seakan-akan
secara sengaja melupakan imperativa sila ketiga Pancasila, sentralisasi kebijakan politik
lewat proses-proses formal legislasi akan lebih dipentingkan daripada mengkaji
perbedaan-perbedaan antar-daerah, antar-suku dan/atau antar-kelompok religi. Di sini
prinsip bhineka tunggal ika lalu dipakai untuk lebih membenarkan cita-cita
289
berketunggalan daripada untuk lebih mendahulukan perlunya mengapresiasi keragaman
dalam ihwal berbudaya dan bertradisi. Sudah sejak awalnya memang terdapat sejumlah
eksponen nasionalis dengan semangat modernisasinya mengkhawatirkan akan
terjadinya disrupsi-disrupsi apabila kesetiaan-kesetiaan tradisional yang lokal dan
sektarian ini terlalu ditenggang, untuk kemudian daripada itu lalu mengganggu kesatuan
nasional. Akan tetapi, di lain pihak, nyatalah kemudian bahwa pementingan upaya
membangun suprastruktur politik nasional dengan mengabaikan peran infrastruktur
budaya yang ada hanya akan memperbanyak jumlah langkah-langkah perekayasaan yang
cenderung semena-mena dan bersifat otokratis.

Sudahlah kiranya tiba waktunya untuk menyadari dan mulai merenungi kenyataan
dan kemungkinan bahwa kini bukan lagi peran pemuka-pemuka elite yang berkuasa
untuk membuat rekayasa-rekayasa dan melakukan kontrol-kontrol koersif terpusat itu
semata yang harus diutamakan. Peran massa awam non-elite (yang mampu bertransaksi
lintas kultural secara riil dan otonom dari hari ke hari, dan yang karena itu dalam
kenyataannya juga mampu mengakomodasi perbedaan-perbedaan antar-etnis), itulah
sebenarnya yang harus (juga) lebih dipentingkan. Sudah waktunya semua insan
menyadari bahwa umat manusia kini ini kian hidup di dalam suatu dunia dalam ranah
nasional ataupun dalam ranah global yang satu, penuh perbedaan namun pantang
dipecah-pecah dan terbagi-bagi. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini,
semboyan bhineka tunggal ika tetaplah relevan untuk diingat dan dianut. Hanya saja titik
berat bacaannya saja yang mestinya berubah. Bukan lagi (sekalipun) berbeda-beda itu,
satulah itu melainkan (sekalipun) satulah itu, (sesungguhnya) berbeda-bedalah itu.

Bagaimanapun juga, adalah hak manusia secara individu ataupun secara
kolektif, sebagai bagian dari their social and cultural rights yang asasi untuk berbeda.
Dan bukankah pula bahwasanya perbedaan itu seperti yang pernah dikatakan Nabi
Muhammad adalah sesungguhnya sebuah rahmat?



30

DEMOKRASI, DEMOKRATISASI, DAN USAHA
MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT DI HADAPAN KEKUASAAN
NEGARA




SEPERTI yang dinyatakan dalam judul di atas, uraian berikut ini akan berkenaan dengan
tiga ihwal pokok; yaitu demokrasi, demokratisasi, dan usaha memberdayakan dan/atau
proses meningkatnya keberdayaan masyarakat sipil di hadapan kekuasaan negara (dan
para pengemban kekuasaannya). Perbincangan mengenai ketiga ihwal itu tak hanya akan
berkisar di seputar pengertian-pengertian teoretisnya saja, akan tetapi juga akan terus
berlanjut ke kenyataan-kenyataan empirisnya, baik yang tercatat sebagai bagian dari
pengalaman kesejarahan maupun yang teramati dan terpersepsi sebagai permasalahan
kontemporer dalam kehidupan nasional kita sendiri dewasa ini.


Demokrasi: Konsep dan Praktik

Menurut arti harafiahnya, apa yang dimaksudkan dengan demokrasi itu tak lain daripada
kekuasaan (kratein) rakyat (demos). Tak pelak lagi, demokrasi itu menyiratkan arti
kekuasaan (politik atau pemerintahan) dari/oleh/untuk rakyat (yaitu warga masyarakat
yang telah terkonsepkan juga sebagai warga negara). Sekalipun sejelas itu arti istilah
demokrasi itu menurut bunyi kata-kata asalnya, akan tetapi dalam praktik masih ada
dua ihwal yang sering muncul menjadi permasalahan. Yang pertama adalah masalah apa
atau siapa saja yang dimaksud dengan rakyat itu? Dan yang kedua adalah masalah
bagaimana kekuasaan dari/oleh/untuk rakyat itu diimplementasi dan direalisasi sehingga
efektif dalam praktik dan dalam kenyataan.

Dalam konsep maupun dalam praktik, apa yang disebut rakyat (dalam kata
demos) itu ternyata tidak identik dengan apa yang disebut seluruh warga masyarakat yang
bermukim di suatu teritori negara tertentu sebagai penduduk (populo). Dalam konsep
maupun dalam praktik, demos ternyata mengandung siratan makna yang diskriminatif.
Demos adalah bagian dari populo tertentu; yaitu mereka yang berdasarkan tradisi, atau
berdasarkan kesepakatan formal para pengontrol akses-akses ke sumber-sumber
kekuasaan negara diakui atau bisa mengklim memiliki hak-hak prerogatif untuk
mengambil bagian dalam proses-proses pengambilan kebijakan dan/atau dalam
pembuatan keputusan yang menyangkut urusan-urusan publik atau pemerintahan.

Populasi usia muda yang terbilang belum dewasa, misalnya, di mana pun tak
pernah diakui dan dikualifikasi sebagai warga kelompok demos yang mempunyai hak
prerogatif untuk mengambil bagian dalam urusan-urusan kepemerintahan dan
kenegaraan. Sampai pada awal abad ini, di banyak negeri penganut tradisi politik Eropa
Comment [E1]:
295
Barat, mereka yang berjenis kelamin wanita tidak atau belum pula dibilangkan sebagai
bagian dari warga kelompok demos. Di negeri-negeri ini pun pada mulanya hanya
mereka yang sanggup membayar pajak saja yang boleh ikut serta kegiatan-kegiatan
politik dan pemerintahan. Di negara-negara kota (polis) Yunani kuno, dari mana istilah
dan praktik demokrasi konon bermula, hanya patriarkh-patriarkh aristokrat saja yang
diakui secara eksklusif boleh berperan serta dalam pengelolaan riil kekuasaan-kekuasaan
politik.

Dalam kehidupan bernegara yang berkembang marak pada skala translokal alias
nasional di Eropa Barat pada abad-abad 17-18, format-format kehidupan yang membesar
pada waktu itu telah menyebabkan pembatasan-pembatasan diskriminatif sebagaimana
dibentangkan di muka terkesan kian berlanjut lagi. Dalam perkembangan kehidupan
bernegara yang berskala besar ini, jauh melampaui skala-skala kehidupan bermasyarakat
yang berformat lokal, tidak semua yang sudah terbilang kelompok demos alias rakyat ini
ternyata berkesempatan secara langsung untuk tersertakan dalam aktivitas-aktivitas
kenegaraan. Berbeda dengan apa yang mungkin dikerjakan di polis-polis Yunani kuno, di
Eropa Barat ini, dengan kehidupan bernegara yang telah berskala nasional, demokrasi
tidaklah mungkin lagi direalisasi dalam wujud partisipasi secara langsung oleh semua
yang terbilang rakyat. Yang dimungkinkan hanyalah partisipasi secara tak langsung lewat
lembaga perwakilan.


Institusi Perwakilan: Legitimasi Elitisme

Sebagaimana telah diisyaratkan di muka, sesungguhnya demokrasi dengan lembaga
perwakilan ini sampai batas tertentu mengakibatkan atau mengesankan adanya
diskriminasi juga. Karena tidak semua warga masyarakat dapat secara langsung
melibatkan diri ke dalam proses-proses politik untuk merebut posisi yang dapat
didayagunakan untuk mempengaruhi proses-proses pembuatan kebijakan-kebijakan
politik dan publik, dan hanya mereka yang karena sesuatu sebab bisa lebih
berkemampuan untuk mendesak ke depan untuk memperoleh akses-akses politik guna
membangun pengaruh, maka suatu diskriminasi baru antara mereka yang elite politik
dan mereka yang massa awam jelata biasa telah terjadi.

Sekalipun di sini secara formal semua saja yang terbilang rakyat memperoleh
hak-hak politik tanpa terkecualinya, akan tetapi dalam kenyataan nyatanya tidak semua
warga akan sama-sama berkesempatan mengefektifkan hak-hak itu sebagai bagian dari
aktivitas mereka sehari-hari. Cuma sebagian kecil yang terseleksi sajalah yaitu para
elite politik yang disebut politisi yang pada akhirnya dapat merealisasi dan
mengefektifkan hak-hak itu, sedangkan sebagian besar yang lain merasa telah cukup puas
apabila kepentingan dan pilihan-pilihannya bisa ikut terwakili dalam dan oleh kegiatan
para elite politisi itu. Sebagian lagi, dalam jumlah yang cukup besar juga, malah mungkin
lebih suka diam saja dan merasa tak usah banyak peduli, dan membiarkan (atau
meyerahkan?) segala perkara politik kepada para elite itu.

296
Dalam kehidupan nasional yang berskala besar, tidak dimungkinkannya intervensi
langsung oleh rakyat terhadap para pengemban kekuasaan negara seperti yang mungkin
terjadi di zaman Yunani kuno itu memang dapat dimaklumi. Akan ganti demokrasi
langsung ini terkonstitusikanlah demokrasi tak langsung, berdasarkan sistem perwakilan,
dengan kesan akan termungkinnya diskriminasi lagi antara mereka yang elite dan dekat
dengan akses dan mereka yang awam kebanyakan yang jauh dari lorong-lorong akses.
Namun demikian, dalam kehidupan demokrasi modern ini, terjadinya diskriminasi
antara yang elite dan yang awam kebanyakan ini (yang karena sering diam tak peduli
dengan banyak perkara politik itu lalu dinamakan the silent majority) bukanlah bersebab
pada alasan-alasan yang sesungguh-sungguhnya normatif sehubungan dengan status-
status askriptif seseorang oknum populo, melainkan bersebab pada faktor-faktor yang
teknis sifatnya.


Demokratisasi: Peningkatan Partisipasi Rakyat dalam Proses-Proses Perumusan
Kebijakan-Kebijakan dan Pembuatan Keputusan-Keputusan Politik

Demokratisasi suatu proses (bermula dari suatu upaya) untuk merealisasi
dan/atau menyempurnakan kehidupan demokrasi muncul sebagai kebutuhan dan
masalah apabila kehidupan bernegara yang dicita-citakan sebagai kehidupan bernegara
yang demokratis ternyata belum terwujud sebagaimana yang diharapkan. Tentu saja
demokratisasi ini, baik dalam artinya sebagai upaya maupun dalam artinya sebagai
proses, pertama-tama harus diartikan sebagai upaya dan proses yang hendak mengatasi
batasan-batasan diskriminatif, demikian rupa sehingga kian banyak warga dan golongan
atau lapisan masyarakat tanpa dihalangi oleh status dan/atau askripsi-askripsi sosialnya
yang lain akan dapat terpartisipasikan ke dalam urusan-urusan publik dan
pemerintahan.

Kalau semula yang boleh dan bisa bersuara hanya para pembayar pajak saja,
misalnya, usaha dan proses yang dikembangkan untuk memperluas hak bersuara
mengutarakan pendapat (guna mempengaruhi kebijakan dan keputusan) agar juga
diperoleh dan dapat diefektifkan oleh warga masyarakat yang lain dapatlah disebut
sebagai proses demokratisasi. Apabila semula yang bisa dan boleh menyandang hak
untuk tampil dalam urusan-urusan kekuasaan publik dan pemerintahan hanya para
patriarkh saja, misalnya, maka perluasan hak dan kewajiban kepada warga lain dengan
status askriptif lain agar juga boleh dan bisa tampil dalam urusan-urusan pemerintahan itu
adalah juga terbilang demokratisasi.

Semua bentuk emansipasi sebenarnya berhakikat sebagai proses demokratisasi.
Emansipasi budak (dari kekuasaan tuan-tuannya), emansipasi wanita (dari kungkungan
para patriarkh), emansipasi anak-anak muda (dari pembatasan-pembatasan yang
mengucilkan anak-anak itu dari prerogasi-prerogasi yang selama ini cuma dinikmati
secara eksklusif oleh mereka yang tua-tua saja), emansipasi massa awam (dari alam
kebodohan yang diakibatkan oleh kekurangan informasi dan pengetahuan yang benar),
haruslah bisa dilihat sebagai bagian dari proses demokratisasi. Demokratisasi pada
dasarnya adalah suatu proses untuk meniadakan kesenjangan; tegasnya kesenjangan
297
antara mereka yang terlalu berkekuasaan dan berprerogasi dan mereka yang terlalu
kurang berkeberdayaan.

Pada abad 20 ini, demokratisasi dalam hakikatnya sebagai upaya dan proses untuk
mengemansipasikan golongan rakyat yang tak berdaya setidak-tidaknya secara formal-
yuridis telah banyak berlangsung dan mencapai kemajuan. Hak-hak politik ini, sekali
lagi setidak-tidaknya secara formal-yuridis, memang sudah tidak lagi termonopoli di
tangan golongan rakyat tertentu, melainkan telah diratakan ke segenap lapisan
masyarakat. Yang masih menjadi permasalahan ialah, apakah hak-hak formal yang
dijamin ipso jure dalam konstitusi dan oleh undang-undang itu dalam kenyataannya yang
konkret (de facto) memang telah dapat diefektifkan, demikian rupa sehingga tak lagi ada
legal gaps antara apa yang dihukumkan dan apa yang diperilakukan orang dalam
kenyataan.

Dalam kehidupan bernegara nasional modern, khususnya di negeri-negeri
berkembang yang dibangun di atas puing-puing reruntuhan kekuasaan kolonial yang
umumnya tak pula pernah memiliki tradisi demokrasi, proses demokratisasi itu lazimnya
cuma cepat berlangsung pada ranah-ranahnya yang formal-yuridis itu saja, namun tak
mudah direalisasi dalam kenyataan-kenyataannya yang konkret sebagai praksis-praksis
yang menata hubungan antara negara dan rakyat. Permasalahan yang serius tertemukan
tidak dalam soal hak apa untuk siapa (saja) in abstracto, melainkan siapa (saja) gerangan
yang dalam kenyataan nanti in concreto bisa lebih memperoleh akses ke sumber-sumber
kekuasaan guna mendesakkan kepentingannya sendiri, namun dengan kemungkinan yang
sulit dicek dan dikontrol betapapun hipokritnya untuk bisa berbicara secara proaktif
dengan mengatasnamakan the silent majority.


Demokratisasi dan Pemberdayaan Masyarakat di Hadapan Kekuasaan Negara

Di negeri-negeri yang tengah berkembang, yang dibangun sebagai negara-negara
nasional modern di atas reruntuhan negara-negara kolonial, esensi konsep kenegaraan
yang dimafhumi oleh para elite politik di negara-negara nasional pasca-kolonial ini pada
dasarnya yang paling substansial bukan sebatas takrif-takrifnya yang formal-yuridis
saja adalah lebih kuat bercenderung ke paham etatisme (dan di Indonesia juga yang
integralistis). Tidak ada kecenderungan sedikit pun ke arah paham konstitusionalisme
yang sebenarnya bertumpu pada dasar rasionalitas kontrak sosial (yang mengasumsikan
kedudukan para pihak yang penguasa dan yang rakyat yang setara) sebagaimana
dianut dalam falsafah ketatanegaraan Eropa Barat.

Pada paham etatisme yang integralistis, pengemban kekuasaan itu (apakah itu
ayah dalam keluarga, atau sang raja di suatu kerajaan) adalah personifikasi seluruh
kepentingan kolektiva, sehingga sang penguasa itu selalu dianggap selalu mafhum akan
kepentingan seluruh kolektiva berikut kebutuhan oknum-oknum komponennya. Di dalam
dirinya, sang penguasa adalah sekaligus sosok super dan supra yang tak pelak lagi akan
dibenarkan untuk selalu bertindak secara proaktif sebagai wakil kepentingan seluruh
kolektiva. Tak pelak pula, dikonfigurasi oleh konsep dasar seperti itu, maka demokrasi
Comment [E2]:
298
dengan sistem perwakilan di negara-negara nasional pasca-kolonial ini pada hakikatnya
adalah tak lain daripada suatu konstruksi paternalistis yang klasik, namun yang
ditampilkan dengan bungkus busana demokrasi. Demokrasi yang seolah-olah ini lalu
nyata kalau lebih bersifat government centered dan government lead (ingat demokrasi
terpimpin?), dan tidak akan terkonsepkan sebagai suatu hubungan kekuasaan yang people
centered. (Dalam konteks di Indonesia, demokrasi yang seolah-olah yang
dikembangkan oleh rezim orde baru kemudian dilanjutkan dengan demokrasi yang
bersifat legislatif centered di era reformasi. ed.)

Maka dapatlah dimengerti pula mengapa kekuasaan negara di negeri-negeri
berkembang eks-tanah jajahan (seperti misalnya juga di Indonesia ini) sekalipun konon
kemudian selalu berusaha menemukan dasar pembenar kultural yang digali dari bumi
budaya masyarakatnya sendiri, namun karena tak pernah terkembang dari bawah
umumnya lalu condong terdominasi peran negara, tanpa diimbangi secara berarti oleh
kekuatan dan keberdayaan masyarakat sipil. Di tengah-tengah semangat nasionalisme
yang menghasilkan state centrism dalam gerakan-gerakan perjuangan baik yang
dikonsepkan sebagai revolusi maupun yang hendak dikonsepkan sebagai pembangunan
tak pelak sistem pemerintahan yang terkembang adalah sistem pemerintahan dengan para
pengemban kekuasaan yang secara loyal cuma tahu dan mau mengabdikan diri kepada
tujuan-tujuan politik semata.

Di sini sistem pemerintahan lalu menjadi suatu sistem yang cuma diperintah oleh
pejabat-pejabat yang terindoktrinasi sebagai abdi negara, dan bukan sebagai pelayan
masyarakat. Administrasi dan birokrasi yang terkembang sebagai bagian dari organisasi
negara pun tak ayal lalu tampil dan menampakkan diri di mana-mana sebagai bagian saja
dari kekuasaan yang terbina untuk cuma bisa berkhidmat kepada keputusan-keputusan
politik para pejabat eksekutif, tanpa perlu mencoba mempertajam kepekaan guna
menangkap cita-cita dan aspirasi politik warga masyarakat sipil. Realisasi kekuasaan dan
kewenangan negara lebih marak di mana-mana daripada ekspresi hak dan kebebasan
warga-warga masyarakat sipilnya.

Semasa perjuangan nasional tengah tertuju ke upaya memenangkan revolusi dan
kemudian juga ke upaya-upaya memakmurkan bangsa lewat pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan hasil-hasilnya, negara dan para pengemban kekuasaannya itu tentu saja
merasa amat dibenarkan kalau berlaku-laku dominan. Pembenaran ini sesungguhnya tak
hanya berpangkal dari persepsinya mengenai kedaruratan situasi, akan tetapi juga karena
memang ide kenegaraan di negeri ini sejak awal mulanya tak pernah ragu untuk
memberikan pembenaran yang demikian itu. Dalam situasi darurat maupun tidak, selama
negara tetap diidealisasikan sebagai suatu keluarga writ at large, dengan kepala keluarga
yang dibenarkan memiliki kewenangan mutlak yang jauh melebihi hak-hak dan
kebebasan warga-warganya (tak soal apakah dengan begitu akan disebut totaliter atau
distorsi semantiknya totalitas), selama itu pula etatisme dalam pemerintahan yang tak
demokratis akan tetap saja marak di negeri-negeri Dunia Ketiga.

Tahap yang paling kritis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri kita
barangkali saja adalah tahap akhir-akhir ini yang menuntut dimulainya pendekatan-
299
pendekatan yang lebih manusiawi dalam pembangunan bangsa, dengan kemungkinan
yang harus dibuka luas-luas guna meningkatkan kualitas manusia dan mempertinggi
keberdayaan masyarakatnya. Tuntutan seperti ini kini sudah merupakan suatu isu global,
marak sekali dalam kehidupan transnasional yang tak lagi mementingkan state centrism
dengan kewenangan-kewenangan konstitusional dan kekuasaan yang terpusat di tangan
para penguasa tanpa diimbangi hak-hak asasi para warga. Perkembangan seperti ini
mestilah terus diantisipasi, dan cepat atau lambat mengharuskan para penyelenggara
kekuasaan negara dan para administratornya untuk merespon pergeseran-pergeseran
peran yang tengah dan/atau akan terjadi, dengan sikap yang lebih positif, realistis,
adaptif, dan tentu saja juga arif.

Disukai atau tidak, disangkal atau tidak, peran negara dalam pembangunan di
waktu-waktu yang akan datang akan dituntut agar terus dibatasi, berseiring dengan kian
berkembangnya keterpelajaran masyarakat sipil yang akan menjurus ke terwujudnya
keberdayaan mereka yang otonom (dalam maknanya yang moral, budaya, sosial, politik
dan ekonomi). Berseiring dengan itu, akan kian meningkat pula tuntutan agar warga
masyarakat memperoleh peluang-peluang yang lebih besar sebagai bagian dari hak-hak
mereka yang asasi dan terlindungi sebagaimana mestinya dalam negara hukum (yang
tidak sekali-kali berdasarkan kekuasaan) untuk berpartisipasi secara terorganisasi
(organisasi yang otonom) dalam setiap proses pembuatan keputusan-keputusan yang
menyangkut kebijakan pemerintahan dan pembangunan.

Apabila memang demikian jalan dan arah perkembangannya, demokratisasi
dalam berbagai bidang kehidupan khususnya dalam bidang kehidupan politik atau yang
akan banyak dipengaruhi politik dapatlah diduga kalau akan dituntut pula agar segera
dimulai. Konsekuensinya apabila tuntutan itu (terpaksa) dipenuhi yaitu bahwa
kegiatan-kegiatan yang semula selalu dikontrol, diintervensi, atau disponsori negara
dan/atau aparat pemerintahannya akan tidak akan banyak demikian lagi. Perubahan
terjadi dari pelaksanaan-pelaksanaan program yang terkontrol sentral dan otokratis ke
gerakan-gerakan dan upaya-upaya terorganisasi yang telah lebih mementingkan aktivitas
dari bawah.

Bagaimanapun juga, sesungguhnya telah merupakan hak yang asasi bagi setiap
warga masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan secara mandiri dan untuk memilih
sampai batas-batas tertentu secara bebas kegiatan-kegiatannya. Semua itu merupakan
bagian dari ekspresi-ekspresi mereka yang manusiawi. Setiap kegiatan yang akan
dikhidmatkan untuk kepentingan nusa dan bangsa akan dikerjakan dengan sungguh-
sungguh, bukan karena sebab adanya pemaksaan-pemaksaan yang eksternal dan datang
dari atas yang state centered, melainkan atas dasar kerelaan dan pilihan sendiri baik
secara individual maupun secara kolektif dalam organisasi sebagai bagian dari
manifestasi kemandirian para warga masyarakat (yang juga warga bangsa) yang bebas
dan bertanggungjawab.



31

PERKEMBANGAN DEMOKRASI DALAM KEHIDUPAN
BERBANGSA DI TENGAH PERKEMBANGAN
KEHIDUPAN GLOBAL


Asal Usul Demokrasi

PERKEMBANGAN demokrasi yang semarak bermula sejak bergejolaknya revolusi
kemerdekaan Amerika dan revolusi Prancis yang berhasil menamatkan rezim-rezim
otokratis pada akhir abad 18. Demokrasi yang pada zaman Yunani dibilangkan sebagai
model pemerintahan yang buruk (karena bentuk aristokrasi yang mempercayakan
kekuasaan pemerintahan kepada para filosof itulah yang harus dipandang terbaik) sejak
akhir abad 18 itu telah diterima dan kemudian dicoba-praktikkan sebagai model
pemerintahan yang paling baik untuk mengorganisasi kehidupan berbangsa dan
bernegara modern.

Demokrasi yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat inilah yang melalui
dua revolusi di Amerika dan di Prancis itu telah dipilih untuk menggantikan bentuk
pemerintahan sebelumnya, ialah bentuk pemerintahan monarki dengan kekuasaan
absolut. Realisasi ide dan model demokrasi inilah yang meruntuhkan rezim yang ada
sebelumnya, ialah ancient regime yang dalam praktik amat memuliakan secara
diskriminatif status para gusti (dengan segala hak-hak istimewanya) di satu pihak dan
merendahkan status para kawula (dengan segala beban kewajibannya) di lain pihak. Di
atas puing-puing ancient regime itulah para eksponen demokrasi membangun suatu
komunitas politik baru dengan rakyat di dalamnya yang masing-masing diakui sebagai
manusia bebas yang berkesetaraan dalam status mereka yang baru sebagai warga (warga
negara, dan bukan lagi kawula negara).

Sekalipun bermula dan memperoleh pamornya dari dua revolusi kerakyatan yang
terjadi di dua negeri Barat, demokrasi (baik sebagai ide maupun sebagai praktik), seperti
melupakan asalnya yang dari Barat, pada abad 20 ini nyata kalau menyebar dan
menemukan tempat berakarnya yang baru di luar negeri-negeri Barat. Inilah negeri-
negeri bekas jajahan yang sekalipun semula melawan dan menolak kekuasaan politik
penjajahnya namun yang kemudian terbukti pula kalau telah tak dapat melepaskan diri
dari ide dan model kehidupan bernegara yang dibangun dan berkembang di Barat sejak
dua revolusi yang telah disebutkan di muka itu. Ide dan berbagai konsep berikut ini
menjadi tak asing lagi dalam khazanah bahasa partisipan politik di negeri-negeri bekas
jajahan itu: republik, konstitusi, yurisdiksi teritorial, kabinet, presiden dan/atau perdana
menteri, hukum perundang-undangan, parlemen, hak inisiatif, badan yudisial yang tak
memihak, berbagai protokol dan konvensi ketatanegaraan lainnya, kewarganegaraan, dan
... dan tak ayal pula demokrasi. Demokrasi!

301
Namun demikian demokrasi yang tumbuh-kembang di negeri-negeri bekas
jajahan ini ternyata terproses di tengah-tengah kehidupan suatu bangsa baru yang nyata-
nyata kalau bersifat multikultural dan terbukti lebih akrab dengan praktik feodalisme-
otokratisme daripada dengan ide serta praktik demokrasi. Demokrasi menurut konstruk
rasional Barat itu, dalam kenyataannya harus tumbuh kembang di atas bumi budaya yang
menurut tradisinya amat lebih mengenal diskriminasi status antara gusti dan kawula
daripada mengenal asas kesetaraan sebagai sama-sama warga antara sesama manusia
sebangsa. Revolusi-revolusi memang terjadi dengan garangnya di negeri-negeri ini,
namun berbeda dengan apa yang terjadi sebelumnya di negeri-negeri Barat. Revolusi-
revolusi di negeri-negeri bekas jajahan ini hanya berhakikat sebagai gerakan
merubuhkan kekuasaan politik asing, dan tidak serta merta merupakan suatu revolusi
pemikiran. Maka ide demokrasi yang harus dibangun di atas bumi kultural yang
demikian, dengan uletnya mencoba tetap bertahan pada konfigurasinya yang patrimonial
dan otokratis (walaupun acap pula penuh kemurahan hati kepada mereka yang setia).

Maka di negeri-negeri ini demokrasi hanya tertransfer dan diterima sebagai
bagian dari upaya penataan kehidupan bernegara dalam maknanya yang normatif, akan
tetapi ide itu tak juga kunjung terwujud sebagai realitas kehidupan sehari-hari. Adanya
selisih antara ide dan realitas inilah yang melahirkan tegangan yang tak gampang diatasi,
yang pada gilirannya juga akan melahirkan ketidakpastian-ketidakpastian. Di negeri ini
demokrasi lalu gampang ditawar di dalam praktik, khususnya oleh mereka yang sedang
berkekuasaan, untuk dirasionalisasi ke dalam konsep dan pengertian, yang luas-
sempitnya gampang berubah, demi terakomodasikannya kepentingan yang tengah dibela.
Di sini, demi kepentingan tertentu yang sesaat, demokrasi dapat ditafsir dan dikonsepkan
berulangkali, bisa berubah-ubah tergantung kebutuhan.
Maka demokrasi dapat didefinisikan luas-luas sebagai upaya liberalisasi (alias
pembebasan) manusia-manusia warga dari berbagai perangkap kekuasaan yang
memasung dan mengerdilkan, akan tetapi tak mustahil pula kalau pada suatu saat demi
terpertahankannya kekuasaan politik yang telah mapan dan menghendaki status quo
boleh didefinisikan sempit-sempit saja. Tatkala para penguasa yang berdisposisi otokratis
menghendaki terpertahankannya kekuasaan yang tengah tergenggam di tangannya
dengan mantap, demokrasi tetap pula tanpa banyak kesulitan didefinisikan (dengan
bantuan para pakar tukang) ke dalam batasan-batasan yang sempit. Pendefinisian yang
sempit-sempit ini berhakikat sebagai upaya untuk memanunggalkan para kawula ke
kebijakan para gusti demi terciptakannya suatu hegemoni, demikian rupa sehingga
apabila berhasil para gusti itu akan dengan amannya dapat mengklaim dirinya sebagai
representasi kepentingan bangsa yang tak perlu diragukan lagi.


Fungsi Demokrasi di Negeri Berkembang-Bekas Jajahan

Sesungguhnya persoalan yang bernilai strategis sebagaimana dipaparkan di muka
itu tidak akan berhenti hanya sebatas persoalan definisi tentang demokrasi itu saja.
Persoalan yang akan lebih mengundang polemik adalah persoalan fungsi; ialah fungsi
demokrasi itu sendiri. Dipersoalkan di sini apakah sesungguhnya fungsi demokrasi di
dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara itu? Seberapa besar arti pentingnya
302
fungsi itu sehingga dapat memotivasi orang untuk mendefinisikannya luas-luas pada
suatu saat dan mendefinisikannya sempit-sempit pada suatu saat yang lain? Apakah luas-
sempitnya pendefinisian itu merupakan fungsi kekuasaan, dan amat ditentukan oleh
ideologi yang tengah dikukuhi pemerintah nasional; ataukah luas-sempitnya batasan
demokrasi itu sebenarnya akan lebih merupakan fungsi perubahan, dan amat lebih
ditentukan oleh perkembangan terkini yang mentransformasikan model kehidupan yang
nasional ke yang global?

Di negeri-negeri berkembang bekas daerah jajahan, demokrasi memang
cenderung lebih didefinisikan dalam maknanya yang sempit agar dapat diwujudkan
kekuasaan nasional yang kuat dengan kebijakan-kebijakan sentralnya yang tak akan
terlalu banyak dan terlalu sering dicabar (ditawar, ed.). Dengan definisi yang sengaja
dibuat sempit-sempit seperti itu, pemerintah nasional berharap akan dapat
memaksimalkan keleluasaannya tatkala mengaplikasikan kewenangan dan kekuasaannya,
tanpa banyak terhalang oleh berbagai aktualisasi hak-hak rakyat yang asasi untuk
mengontrol bebagai tindakan politik pemerintah. Dengan memaksimalkan
keleluasaannya mengefektifkan kewenangan dan kekuasaannya itu, pemerintah-
pemerintah nasional di negeri-negeri bekas jajahan ini berharap akan dapat segera
mensukseskan pembangunan nasional. Pada gilirannya nanti, suksesnya pembangunan itu
akan dapat dipakai sebagai legitimasi diteruskannya kekuasaan mereka itu, nota bene
kekuasaan yang dikonfigurasikan di dalam ide demokrasi yang didefinisikan sempit-
sempit itu.

Selama kehidupan manusia masih terorganisasi di dalam bingkai-bingkai
imperativa yang nasional, dengan pemahaman dan kesepakatan bersama bahwa
keterbelakangan dan kemiskinan yang menjejas bangsa (yang didakwakan sebagai akibat
penjajahan asing) memang merupakan kenyataan darurat yang hanya dapat diatasi
dengan membangun suatu pemerintahan sentral yang kuat, maka menawar pelaksanaan
demokrasi menurut definisinya yang sempit itu tiadalah banyak halangannya. Pada
asasnya rakyat bersedia lebih-lebih tatkala tingkat pendidikan umumnya belum tinggi
untuk menenggang terkuranginya hak-hak dengan kompensasi yang adil bekenaan
dengan tertingkatkannya kemakmuran dan kesejahteraan mereka.

Syahdan, toleransi seperti itu dapat diduga kalau akan segera berkurang dan
hilang tatkala besarnya kekuasaan sentral itu ternyata tak kunjung dengan segera
menambah (secara proporsional dan adil) kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Di
tengah kenyataan yang demikian itu, tuntutan demokrasi dan otonomi yang memaksa
pemerintah pusat untuk merealisasi berbagai kebijakan deregulasi akan kian terdengar
lantang disuarakan orang di mana-mana. Tuntutan-tuntutan seperti ini dapat
terekspresikan secara verbal dalam ucapan-ucapan yang santun, akan tetapi tak jarang
mencetus dalam wujud ekspresi-ekspresi fisik yang lebih keras, radikal, tak segan dengan
mengerahkan massa, dan bahkan destruktif atau gampang diprovokasi untuk berbuat
destruktif.

Sementara itu kondisi-kondisi objektifpun tak jarang dengan kuatnya ikut
mendorong pendulum perubahan ke arah pilihan demokrasi yang lebih bernuansa liberal.
303
Perkembangan teknologi transportasi yang merelatifkan jarak ruang dan perkembangan
teknologi komunikasi yang merelatifkan jarak waktu telah menyebabkan lahirnya realitas
kehidupan one world yang different but never divided. Kenyataan objektif seperti ini
disukai atau tidak, disadari atau tidak, diakui atau tidak tak pelak lagi akan
mengedepankan situasi kehidupan global. Itulah situasi global yang melalulalangkan
manusia dalam jumlah massal secara bebasnya melintasi berbagai perbatasan negeri,
dalam kapasitas mereka masing-masing sebagai pribadi-pribadi individual. Itulah situasi
kehidupan yang menyandingi dan bahkan yang juga menyaingi arti pentingnya kehidupan
nasional (yang selama ini dikuasai dan dikelola oleh penguasa-penguasa nasional).

Mobilitas massal lintas perbatasan telah membebaskan jutaan manusia dari status-
status askriptif mereka yang semula di berbagai institusi nasional, lebih-lebih tatkala
mobilitas demografis ini berseiring pula denga mobilitas informasi lintas negeri. Dalam
kebebasannya di tengah dataran yang kian berskala global itu, manusia-manusia akan
bebas pula untuk mengikatkan diri (atau untuk tak mengikatkan diri) ke dalam berbagai
perikatan-perikatan baru yang ia pilih sendiri, secara rela, tanpa paksaan, sekalipun
perikatan-perikatan baru itu tak lagi selalu terbilang nasional atau relevan dengan
kepentingan nasional. Sementara itu, di tengah kebebasannya untuk menolak keterikatan
atau untuk menyetujui keterikatan (yang disebut kebebasan berkontrak) itu, orang pun
akan segera sadar bahwa ia pun tak akan dapat memaksakan kehendak untuk mengikat
manusia-manusia sesama ke dalam perikatan-perikatan.

Perubahan yang memperluas ufuk kehidupan tak pelak lagi akan kian
menyadarkan setiap insan akan arti pentingnya kebebasan, tidak hanya bagi dirinya
sendiri akan tetapi juga bagi manusia-manusia lain sesamanya. Itulah manusia-manusia
lain sesama dari berbagai bangsa yang tak dapat begitu saja diikat dan dikuasai, namun
juga tidak perlu secara serta merta ditunduki dan dipertuan. Dalam situasi global yang
lebih bernuansa interaktif antarindividu (dalam suasana kebebasan dan pula
berkesetaraan) daripada terstruktur hierarkis antarbangsa (dengan bangsa yang satu
menjajah bangsa yang lain) tak pelak demokrasi dalam definisinya yang luas akan lebih
nyata dapat berkembang.

Dalam kehidupan global nyata kalau global state tak akan mudah terwujud untuk
menggantikan the nation states atau the global society yang cepat berkembang
(khususnya dalam kehidupan bisnis dan ekonomi). Tiadanya state (s), baik yang nasional
maupun yang global, akan mempercepat proses-proses liberalisasi atau emansipasi
individu-individu, yang pada gilirannya akan cepat memarakkan mobilitas dan berbagai
interaksi kontraktual mereka. Struktur-struktur kekuasaan yang hanya dapat bertahan
tatkala kebebasan inividu dibatasi (antara lain dengan mendefinisikan konsep demokrasi
sempit-sempit) akan tererosi dengan maraknya mobilitas dan liberalisasi interaktif
manusia-manusia individu. Maka dalam situasi global itu tatkala nasionalisme harus
mengalah kepada globalisme, dan chauvenisme harus pupus untuk digantikan oleh
humanisme demokrasi akan memperoleh maknanya yang universal. Di sini demokrasi
akan memperoleh kembali maknanya yang hakiki, ialah sebagai kehidupan umat yang
benar-benar bertatasusila kemanusiaan yang adil dan beradab.

304

Pertumbuhan Infrastruktur Demokrasi

Perkembangan kehidupan dari yang berskala dan berformat nasional ke yang
global sebagaimana dibentangkan di muka ini bukan mustahil kalau akan menimbulkan
berbagai permasalahan dalam kehidupan manusia sebumi. Perubahan yang berlangsung
relatif cepat di ranah empiris yang objektif itu tidak jarang problematis kalau gagal
diimbangi oleh perubahan visi, orientasi dan jati diri jutaan manusia di bumi ini.
Perubahan dari yang lokal-nasional ke yang global-transnasional, dari yang partikular
ke yang universal, dari yang serba-eksklusif ke yang serba-inklusif adalah perubahan-
perubahan transformatif (atau malahan harus dikatakan reformatif) menuju ke alam
kesadaran baru. Ialah kesadaran perikemanusiaan yang adil dan beradab. Inilah kesadaran
yang bertolak dari pengakuan akan adanya perbedaan-perbedaan, namun dengan
keyakinan bahwasanya perbedaan-perbedaan itu tidaklah sekali-kali boleh dijadikan
alasan untuk melakukan diskriminasi-diskriminasi.

Kesadaran berjati diri baru, tidak hanya sebagai bagian dari suatu sistem
kehidupan bernegara bangsa akan tetapi juga sebagai bagian dari kehidupan manusia
sebumi ini, memang tidak akan terwujud dengan mudah begitu saja. Transformasi jati diri
dan sense of belonging seperti itu dari yang primer dan eksklusif menjadi sekunder
inklusif sesungguhnya memerlukan gerakan volunter dari bawah. Ada celah yang lebar
antara kesadaran lama yang nasionalistis dan inner directed dengan kesadarn baru yang
humanistis dan outer directed; suatu celah yang harus segera di atasi dengan suatu proses
transformatif sosio-psikologis, yang tentu saja harus diupayakan dengan segala asa dan
pikiran.

Menurut pengalaman, transformasi seperti itu tidaklah akan banyak berhasil
apabila cuma berlangsung melalui proses-proses yang diprogram dengan penuh rekayasa
dari dan oleh pusat-pusat kekuasaan. Untuk menjembatani celah lebar itu diperlukanlah
apa yang oleh Berger dan Neuhaus disebut mediating structures; ialah sejumlah institusi
sosial yang berfungsi sebagai pelantar dan pengantar, yang secara elegan dapat
mengurangkan elemen fanatisme yang nasionalistis (yang karena itu juga cenderung
mengembangkan sikap-sikap eksklusivisme yang tak demokratis) untuk menebalkan akan
gantinya elemen toleransi yang humanistis (yang diharapkan dapat lebih
mengembangkan sikap-sikap inklusivisme yang lebih demokratis).

Di tengah kehidupan bernegara bangsa dengan para pengemban kekuasaan negara
yang lebih meyakini pentingnya peran birokrasi (sipil ataupun militer) daripada peran
masyarakat warga dan warga yang berjumlah massal, esistensi dan peran mediating
structures seperti itu cenderung terabaikan, dan serta merta tak memperoleh kesempatan
untuk berkembang. Pada akhirnya mediating structures seperti itu akan menjadi tak
berkeberdayaan, kecuali kalau kemudian dapat dan bersedia dikooptasi untuk difungsikan
sebagai pelaksana program-program pemerintah yang dikontrol secara sentral. Dalam
keadaan seperti itu, mediating structures yang ada seperti misalnya antara lain
komunitas-komunitas lokal, satuan-satuan keluarga dan kerabat, organisasi-organisasi
keagamaan, lembaga-lembaga pendidikan dan olahraga, asosiasi-asosiasi profesi serta
305
berbagai asosiasi volunter lainnya (termasuk ormas-ormas dan orpol-orpol) akan
banyak kehilangan perannya yang bebas untuk mencoba ikut mengantar para warganya
ke dalam kehidupan yang berformat baru.

Dalam kondisi seperti itu, yang akan lebih marak tak pelak lagi adalah proses-
proses mobilisasi yang terkesan serba dipaksakan, dengan nuansa-nuansanya yang
koersif, atau setidak-tidaknya yang hanya bisa tergerak oleh iming-iming harta dan tahta.
Yang akan marak bukanlah proses-proses volunter yang penuh partisipasi, berangkat dari
sense of belonging para warga yang tak dibuat-buat. Yang masih menjadi pertanyaan
yang oleh sebab itu juga masih harus dijawab adalah hal-hal berikut ini. Adakah masih
tersisa institusi-institusi kemasyarakatan di negeri ini yang masih dapat berfungsi sebagai
mediating structures sebagaimana dimaksudkan di muka? Ataukah institusi-institusi
nonpemerintah di negeri ini, semua saja tanpa kecualinya, sudah lama terkooptasi
menjadi bagian dari kekuatan dan kekuasaan pengemban kekuasaan negara yang koersif,
yang mengingkari peran dan arti pentingnya masyarakat warga dalam kehidupan
bernegara bagi kepentingan survival di dalam rentang waktu sejarah yang panjang, di
tengah kehidupan yang kian mengglobal? Dapatkah kita mengenali institusi-institusi di
dalam kehidupan bermasyarakat yang masih berkebebasan, berkemandirian, dan
berkeberdayaan untuk membangun suatu kehidupan yang egalitarian dan penuh
konsensus, yang akan dapat berfungsi sebagai infrastruktur yang fundamental bagi suatu
kehidupan baru? Kehidupan baru itu adalah kehidupan bernegara bangsa yang
demokratis, yang kini terbukti tak akan mungkin mengelakan diri dari takdirnya untuk
akan eksis cuma sebagai unsur saja dalam suatu kehidupan yang global, universal dan
tak mungkin boleh mengingkari kebenaran sila kemanusiaan yang adil dan beradab.





32

PAHAM KEBANGSAAN DALAM SUATU MASYARAKAT YANG
MAJEMUK DAN PERANNYA SEBAGAI KEKUATAN
PENGINTEGRASI




Asal Usul Paham Kebangsaan

Paham kebangsaan yang dikembangkan atas dasar semangat kebangsaan, yang pada
gilirannya berawal mula dari hadirnya kesadaran berbangsa sesungguhnya adalah suatu
fenomena baru dalam sejarah kehidupan manusia. Kesadaran akan adanya kesamaan
bahasa ini (yang kemudian daripada itu juga dimaknakan sebagai kesamaan asal usul dari
satu moyang yang sama), tatkala berkembang bersamaan dengan perkembangan ide dan
proses teritorialisasi dalam penataan kehidupan masyarakat, telah melahirkan keyakinan
bahwa komunitas politik yang dapat diharapkan kemampuannya untuk menjamin
kesejahteraan dan keselamatan serta kepenakatan (survival) manusia di dunia (yang
penuh persaingan ini) hanyalah suatu komunitas politik yang dapat tegak dan berhasil
mengintegrasikan satuan-satuan lokal yang beridentitas sama. Adapun kesamaan identitas
ini dicari dari dan ditengarai oleh adanya kesamaan bahasa (yang bermakna sebagai
kesamaan seketurunan, sewangsa, alias sebangsa) itu.

Merujuk ke penjelasan yang dikatakan di muka ini, mudahlah dimengerti
mengapa obsesi integrasi selalu tertemui dalam setiap paham kebangsaan, apa pun juga
kadar dan versinya. Upaya integrasi ini dilakukan pertama-tama dengan menegaskan
perbatasan-perbatasan fisik kawasan teritorial yang melambangkan adanya yurisdiksi dan
kedaulatan yang harus diakui oleh siapa pun, yang kemudian daripada itu harus
dipertahankan dengan dan oleh kekuasaan sentral yang kuat. Demi terpertahankannya
dalam jangka panjang, integrasi itu harus diupayakan dengan mengefektifkan kekuasaan
sentral itu untuk mempertinggi taraf kemakmuran bangsa dengan upaya-upaya yang
eksploitatif tapi juga produktif, intra-teritorial maupun ekstra-teritorial. Dari awal
imperatif kebijakan inilah datangnya berbagai upaya modernisasi dan birokratisasi aparat
pemerintahan maupun militer, dan etatisme dalam aktivitas-aktivitas ekonomis.

Obsesi paham kebangsaan untuk selalu tanpa kompromi mempertahankan dan
meningkatkan integrasi nasional seperti itu berkonsekuensi pada terjadinya ekses
otokratisme sentral pada gerak dinamisnya yang internal di satu pihak, dan terjadinya
ekses imperialisme pada sisi gerak dinamisnya yang eksternal dan ekspansif di lain pihak.
Paham kebangsaan yang berkonduksi ke arah terjadinya otokratisme dan imperialisme
yang demikian itulah yang menyebabkan terjadinya penjelajahan-penjelajahan bumi,
akan tetapi juga peperangan-peperangan antara negara-negara bangsa Eropa Barat pada
abad-abad 16-17. Cabaran terhadap otokratisme yang berawal-mula dari obsesi untuk
memperoleh kejayaan nasional seperti itu memperoleh cabaran pertamanya pada masa-
307
masa di sekitar tahun 1776 dengan terjadinya revolusi kemerdekaan di Amerika Utara
dan pada masa-masa di sekitar tahun 1789 dengan terjadinya revolusi kerakyatan di
Prancis. Kedua revolusi ini membebaskan rakyat dari himpitan otokratisme sentral yang
berlebihan, dan sekaligus juga mereformasi paham dan praksis paham kebangsaan yang
elitis dan eksploitatif itu menjadi paham baru yang tak hanya lebih bernuansa demokratis
akan tetapi sesungguhnya juga kian bertengara humanistis.

Maka paham kebangsaan yang telah tereformasi seperti itulah yang pada beberapa
dasawarsa kemudian memasuki alam kebijakan para penguasa kolonial yang tengah
mengelola imperium-imperium. Sekalipun kebenaran kolonialisme dan eksistensi
imperium-imperium kolonial belum juga dipertanyakan, dan oleh sebab itu boleh
dibilang kecuali apa yang terjadi di Amerika Utara masih cukup kuat bertahan sampai
datangnya abad 20, namun kebijakan dan praktik pemerintahan kolonial yang eksploitatif
pada asasnya tidaklah lagi diteruskan. Kebijakan-kebijakan kolonial yang lebih bernuansa
demokratis dan humanistis mulai dapat ditengarai di daerah-daerah jajahan. Perubahan
seperti itu, kalau saja orang mau jujur dalam sejarah, dapatlah juga disimak dalam sejarah
kolonial di Indonesia (yang pada waktu itu disebut Hindia-Belanda).

Perluasan Paham Kebangsaan ke Wilayah Jajahan

Tercatat dalam sejarah bahwa bangkitnya kesadaran kebangsaan yang bersiterus
ke paham kebangsaan yang dengan kuatnya menjadi motif politik bangsa-bangsa Barat
untuk membangun negara bangsa itu pada awalnya telah menyebabkan terjadinya
pemisahan antara Gereja (sebagai representasi agama dan apa yang disebut Civitas Dei)
dan negara (sebagai representasi kepenguasaan dunia yang berbasis teritorialitas dan
disebut Civitas Terrena). Namun demikian, nyatalah dalam sejarah itu pula bahwa
imperialisme yang lahir sebagai anak paham kebangsaan di negeri-negeri Barat itu toh
diwarnai juga oleh konsep keagamaan kaum Unversalis. Maka terbangunnya imperium-
imperium bangsa-bangsa Barat ini selalu saja berseiring dengan terbangunnya dunia
Nasrani di negeri-negeri jajahan. Dikatakan bahwa salib mengikuti pedang.

Sekalipun kebenaran tesis salib mengikuti pedang ini tak sampai sepenuhnya
gugur, namun selepas terjadinya revolusi Prancis pada akhir abad 18, dan lebih nyata lagi
setelah jalannya sejarah memasuki belahan kedua abad 20, ada dua model yang mulai
jelas tersimak dalam kebijakan pembangunan imperium oleh kekuasaan-kekuasaan
nasional Barat berkenaan dengan perlakuan mereka terhadapa anak-anak negeri di
daerah-daerah jajahan mereka itu. Yang pertama adalah model asimilatif sebagaimana
dilaksanakan oleh bangsa-bangsa Spanyol dan Portugis dari Eropa Barat sebelah Selatan
yang didominasi oleh Katolisisme, sedangkan yang kedua adalah model integratif
sebagaimana dipraktikkan antara lain oleh bangsa-bangsa Belanda, Inggris dan J erman
dari Eropa Barat sebelah Utara yang didominasi oleh Protestantisme.

Mengikuti kebijakan penjajahan model asimilatif, penguasa-penguasa imperial-
kolonial bangsa-bangsa Portugis atau Spanyol selalu bekerja untuk mengefektifkan
proses portugisisasi atau spanyolisasi anak-anak pribumi di negeri-negeri jajahan.
Melalui proses asimilatif seperti inilah hegemoni Portugis atau Spanyol dikukuhkan,
308
idealnya secara total, demikian rupa sehingga anak-anak negeri pribumi di tanah-tanah
jajahan ini tak lagi mempunyai pilihan lain kecuali mengadopsi agama, bahasa, hukum
dan boleh dibilang seluruh tatalaku (sampaipun dalam hal penggunaan nama dan sebutan)
milik tuan-tuan penjajahnya. Tidak demikianlah halnya dengan kebijakan penggunaan
model integratif yang dipraktikkan oleh penguasa-penguasa imperial-kolonial bangsa-
bangsa Eropa Barat sebelah Utara, antara lain juga oleh penguasa-penguasa imperial
bangsa Belanda.

Menyatukan daerah-daerah jajahan sebagai bagian dari usaha
menginkorporasikan daerah-daerah jajahan ke dalam satu kesatuan imperium, para
penguasa non-Portugis non-Spanyol ini tetap membiarkan anak-anak negeri yang pribumi
itu bertahan dalam lingkungan identitas sosial-budayanya sendiri. Tak ayal, bangsa-
bangsa pribumi ini (dengan beberapa perkecualian yang acap terjadi cuma pada tataran
kelompok kecil atau individu) dikatakan dari perspektif sosial-budaya tidaklah
terasimilasi ke dalam lingkungan bangsa-bangsa penjajahnya. Yang terjadi hanyalah
proses-proses integrasi ke dalam satuan sistem politik yang tunggal, namun beralaskan
keyakinan-keyakinan sosial-kultural yang amat beragam. Maka, apabila identitas
kebangsaan yang mungkin ada efeknya juga pada paham kebangsaan pada bangsa-
bangsa terjajah di kawasan imperium-imperium Portugis dan Spanyol terkesan lebih
dekat dengan identitas kebangsaan bangsa-bangsa penjajahnya, tidak demikianlah halnya
dengan apa yang terjadi di imperium-imperium yang dibangun antara lain oleh bangsa
Belanda. Di kawasan imperium yang dibangun antara lain oleh bangsa Belanda ini,
bangsa-bangsa pribumi memperoleh peluang untuk mempertahankan dan/atau
mengembangkan identitas kebangsaannya sendiri. Dalam dan sepanjang perkembangan-
perkembangannya yang terakhir, identitas kebangsaan bangsa-bangsa terjajah ini terbukti
tak hanya secara terus-menerus membedakan diri dari identitas kebangsaan bangsa
penjajahnya melainkan juga tanpa sempat diperkirakan terlebih dahulu lalu berperan
sebagai kekuatan untuk menolak dan melawannya.

Paham Kebangsaan versus Masyarakat yang Majemuk

Membangun sebuah imperium melalui model apa pun, yang asimilatif ataupun yang
integratif, sesungguhnya berhakikat sebagai suatu upaya membangun suatu kesatuan
kehidupan yang wujudnya akan bertaraf lebih lanjut daripada sebatas eksistensinya
sebagai suatu kesatuan atau suatu produk penyatuan yang ekonomis dan yang politik
atas dasar paham kebangsaan. Problema yang mengedepan di sini tak pelak lagi adalah
problema yang berada di ranah sosial-budaya, bahkan mungkin juga yang akan punya
relevansi dengan masalah akan tetap langgeng atau akan segera pupusnya sebuah
peradaban bangsa. Pada hakikatnya, ini adalah masalah pengupayaan hegemoni yang
imperialistis dengan pilihan: melalui proses enkulturasi dalam kerangka kebijakan
asimilatif, ataukah melalui proses akulturasi dalam kerangka kebijakan integratif.

Sesungguhnya semua itu merupakan permasalahan baru dalam pengalaman
bangsa-bangsa Barat, mengingat kenyataan bahwa eksperimentasi mereka dalam
pembentukan negara-negara bangsa sebelum berekspansi menjadi negara dunia yang
cenderung imperialistis itu boleh dikata tidak pernah terbentur masalah keragaman
309
tatanan sosial dan budaya. Bagaimanapun juga, kesadaran sebangsa dan kesadaran
berbangsa di negeri-negeri bangsa Barat ini pada umumnya selalu bertolak dari kesadaran
akan adanya kesamaan bahasa dan tradisi orang semoyang. Di sini tidaklah ada masalah
kemajemukan atau keragaman bahasa, tradisi dan berbagai aspek budaya lain yang harus
diatasi, entah melalui kebijakan dan proses asimilasi entah pula melalui kebijakan dan
proses integrasi.

Masalah keragaman sosial-budaya seperti ini mestinya tak perlu terjadi,
seandainya saja proses dekolonialisasi bangsa-bangsa terjajah pada akhirnya
menghasilkan sejumlah satuan bangsa yang tunggal, masing-masing berkesamaan bahasa
serta pula berkesamaan tradisi sejak dari awalnya dan dari sananya, (yang bukan
sekali-kali sebagai hasil ikrar-ikrar atau tekad-tekad yang diikrarkan). Akan tetapi
kenyataan tidaklah menunjukkan gambaran yang demikian. Imperium-imperium yang
dibangun bangsa-bangsa penjajah dari Barat secara ekspansif melampaui perbatasan-
perbatasan nasionalnya sendiri, baik yang geografis maupun yang kultural, telah lebih
acap daripada tidak menerjangi perbatasan-perbatasan permukiman suku-suku,
sukubangsa sukubangsa, dan/atau bangsa-bangsa terjajah. Ekspansi negara-negara
bangsa bangsa-bangsa Barat telah menghasilkan imperium-imperium yang amat
majemuk, yang usaha untuk mengelola dan mempertahankan kesatuannya dalam suatu
rentang waktu yang panjang pada akhirnya gagal. Imperium-imperium yang dibangun
atas dasar paham kebangsaan Barat yang klasik namun tak jarang vulgar itu pada
akhirnya terdisintegrasi ke dalam berpuluh-puluh satuan komunitas politik yang masing-
masing memaklumkan diri sebagi negara-negara bangsa baru yang merdeka, ada yang
besar-besar dan ada pula yang kecil-kecil.

Tersimak sebagai kenyataan yang sulit diingkari, betapa proses disintegrasi
imperium-imperium kolonial itu setakat saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan
sudah selesai. Sekalipun imperialisme dan kolonialisme Barat sudah lama berakhir, dan
berbagai negara bangsa yang baru, dengan berbagai paham kebangsaannya, telah
bermunculan sebagai gantinya, proses disintegrasi masih tampak akan berlanjut. Secara
berlanjut proses ini terlihat mengancamkan disintegrasi kepada negara-negara bangsa
baru yang baru saja terlepas dari penjajahan bangsa-bangsa Barat, namun yang
sekalipun menyadari kemajemukan tatanan sosial-budayanya tertengarai akan
mengulang kesalahan bangsa-bangsa Barat tatkala kebijakan asimilatif dan (lebih-lebih
lagi) kebijakan integratif mereka terbukti tak mampu mempertahankan satuan
imperiumnya. Kegagalan bangsa-bangsa Barat bukanlah bersebab dari paham
kebangsaannya yang salah (betapapun ekspansifnya). Kegagalan itu sesungguhnya
bermula dari suatu prasangka, bahwa dalam kehidupan yang majemuk ini ada agama,
kekayaan budaya, dan/atau tradisi ras, bangsa atau suku bangsa tertentu yang lebih
superior daripada yang lain, yang oleh sebab itu terkadang bahkan boleh dibenarkan
kalau dijadikan idiom sentral guna menundukkan atau bahkan untuk meniadakan
eksistensi ( alias menggenosid ) ras, bangsa atau suku bangsa lain yang secara amat
diskriminatif dan bertentangan dengan sila kemanusiaan dipandang bertaraf inferior di
dalam suatu negeri.

310
Paham Kebangsaan di Tangan Penguasa Otoriter

Adalah merupakan masalah besar yang secara potensial akan mengancamkan terjadinya
proses disintegrasi apabila kenyataan sosial-budaya dalam sejarah kebangsaan di
Indonesia yaitu kenyataan kuatnya pluralitas sosial-budaya di negeri ini banyak
dikesampingkan dan bahkan diingkari dalam wacana politik para elite. Sekalipun dalam
kenyataan orang gampang menyimak bahwa Indonesia ini adalah masyarakat yang
bhineka (=berbeda-beda), tetapi siapa pun yang hidup sebagai warga negara di negeri ini
selalu saja diingatkan dan diperingatkan untuk tetap bertahan dalam cita-cita bahwa
sesungguhnya kita ini satu (tunggal ika).

Celah perbedaan yang lebar antara apa yang dialami rakyat sebagai realitas
kehidupan dan apa yang dicita-citakan para elite kebangsaan tersebut benar-benar telah
merupakan suatu dikotomi yang tak pernah terjembatani dalam berbagai kebijakan di
negeri ini. Alih-alih bersetuju untuk mengembangkan pengakuan akan kuatnya
kemajemukan, dan kemudian daripada itu mengajarkan paham yang realistis mengenai
moral kemajemukan itu, para pemuka politik di negeri ini tetap saja mengidealkan wujud
yang harus serba satu, kesatuan dan persatuan, yang bahkan menjurus ke kebijakan untuk
serba seragam. Alih-alih mengembangkan paham pluralisme yang realistis, para pemuka
politik di negeri ini tetap saja mengukuhi paham unisme yang tak bersesuai dan/atau tak
merefleksikan tuntutan kenyataan.

Konsekuensi paham yang demikian itu ialah, bahwa realitas keragaman dan
pluralitas suku dan kedaerahan yang lokal tidak harus dipandang penting. Semua harus
tetap tunduk dan ditundukkan ke bawah cita-cita kesatuan bangsa yang besar, Unisme
dan unitarianisme itulah yang harus dimenangkan, dan pluralisme itulah yang harus
disingkirkan dari segala pemikiran dan niat-niat. Kemungkinan setiap kekuatan lokal
untuk mempertahankan eksistensi dan identitas dirinya menjadi diperkecil demi tak
terhalanginya proses ( yang sering agak koersif ) menuju ke realitas baru, yaitu realitas
serba satunya bangsa dalam suatu kesatuan yang monolitik.

Dalam praktik, idiom politik yang amat mengidealkan kesatuan dan persatuan
berdasarkan semangat supranasionalisme yang diyakini tanpa reserve ini lalu menjadi
nyata sekali kalau kehilangan visi dan orientasinya yang realistis, bahkan lalu cenderung
menjadi utopis. Pada akhirnya, semua itu hanya melahirkan paham-paham etatisme,
kebijakan developmentalism, dan praktik-praktik pemerintahan yang menganut ajaran
sentralisme yang berlebihan. Pada akhirnya, yang terjadi adalah monopoli kekuasaan dan
kewenangan kontrol di tangan suatu rezim dengan aparat birokratisnya (sipil ataupun
militer) yang sungguh otoritarian, dengan segala akibatnya yang justru amat
counterproductive.

Walhasil, otoritarianisme sentral seperti itu pada akhirnya justru hanya akan
melahirkan reaksi-reaksi perlawanan, berupa penolakan (laten ataupun manifes) terhadap
segala bentuk ekspresi kekuasaan sentral yang maunya cuma hendak mendominasi dan
berhegemoni saja, serta hanya hendak mengabaikan perbedaan dan kemajemukan yang
ada di dalam realitas itu. Sentralisasi otoritarian ternyata hanya akan mengundang
311
datangnya resistensi yang bernafaskan primordialisme lokal; tak lain karena (dari
perspektif politik) etatisme dan sentralisme seperti itu sekalipun diklaim berkarakter
nasional tetap saja termaknakan sebagai suatu upaya sistematis rezim yang bercokol di
pusat untuk memarjinalisasikan potensi dan peran lokal dalam percaturan nasional.
Kalaupun tak hendak memarjinalisasikan, praktik sentralisme hanya akan mengkooptasi
dan/atau mengasimilasikan kekuatan-kekuatan lokal ke dalam kepentingan sentral.

Maka, di sini tiba-tiba saja terkesan dan serasa dialami orang-orang daerah
(khususnya yang dari luar J awa) telah terjadinya suatu proses penjadian suatu imperium
baru di negeri ini, melalui suatu proses yang ditengarai sebagai suatu internal colonialism
yang amat mengabaikan otonomi lokal dan hak mereka yang di daerah untuk menentukan
nasib mereka sendiri. Sentralisasi kekuasaan yang berangkat dari paham sentralisme,
etatisme dan developmentalism dengan keyakinan agar seluruh implementasinya
dilaksanakan oleh suatu authoritarian bureaucracy pada akhirnya justru telah
menyebabkan terjadinya efek paradoksal, yaitu disintegrasi. Dalam kasus Indonesia, alih-
alih berhasil mengintegrasikan bangsa-bangsa etnis tua di Kepulauan Nusantara ini ke
dalam suatu kesatuan kebangsaan baru (yaitu bangsa Indonesia), upaya yang terobsesi
untuk merealisasi cita-cita kesatuan telah mengundang datangnya bahaya disintegrasi.

Pengalaman rupanya hendak mengajarkan kepada kita bahwa bukan semangat
kemanunggalan atau ketunggalan itu yang paling potensial untuk melahirkan kesatuan
dan persatuan yang kuat. Pengakuan akan adanya pluralitas dan kesediaan untuk
menghormati perbedaan dalam kemajemukan itulah yang justru akan menjamin persatuan
dalam suatu rentang waktu yang lebih panjang. Di suatu negeri yang dalam kenyataan
dipenuhi fakta kemajemukan seperti Indonesia dewasa ini, sesungguhnya bukan slogan
bhineka tunggal ika itu yang harus diingat-ingat dan diabadikan sebagai rujukan setiap
kebijakan nasional. Di tengah arus reformasi dewasa ini, idiom yang akan lebih diingat-
ingat dan dijadikan referensi setiap kebijakan adalah tunggal ika bhineka, yaitu bahwa
sekalipun kita ini satu tidaklan boleh dilupakan bahwa sesungguhnya kita ini secara
hakiki memang bhinna: berbeda-beda dalam suatu kemajemukan. Lagi pula, berbeda-
beda itu bukanlah suatu dosa, melainkan suatu rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa jugalah
adanya.

33

DILEMA NASIONALISME PADA PERALIHAN MILENIUM
Reaktualisasi Nilai-Nilai Budaya demi Integritas Bangsa, Kasus
Indonesia





KEHIDUPAN kebangsaan di banyak negeri bekas jajahan antara lain juga di Indonesia
adalah fenomena dan realitas abad 20. Model kehidupan seperti ini mulai dikenal di
negeri-negeri jajahan dan bekas jajahan tatkala para tuan kolonial mulai
memperkenalkannya kepada elite-elite terpelajar di negeri-negeri jajahannya itu. Di
Indonesia, misalnya, konsep kebangsaan pun baru dikenal pada dasawarsa-dasawarsa
pertama abad 20. Sebelum itu tidak pernah ada dan tidak pernah dikenallah apa yang
disebut bangsa atau nasion Indonesia itu. Bahkan nama dan kata Indonesia itu saja
tidak dikenal secara umum pada satu dua dasawarsa pertama abad 20 itu, kira-kira 40
tahun semenjak Adolf Bastian memperkenalkan istilah itu untuk menyebut Kepulauan
India (= Indus + Nesos) di dalam bahasa Latin.

Benarlah apa yang dikatakan oleh banyak teoretisi seperti misalnya Geller dan
Smiths bahwa apa yang disebut bangsa atau nation itu bukan sekali-kali suatu
objektivitas dalam sejarah, melainkan suatu objektivitas yang menurut Geller jelas-jelas
merupakan fenomena sosio-psikologis. Lahir dan terjadinya bangsa ditentukan oleh lahir
dan maraknya subjetivitas itu. Maka tidaklah salah kalau dalam hubungan ini banyak
pakar mengatakan bahwa apa yang disebut bangsa itu sebenar-benarnya adalah suatu
realitas yang hadir pertama-tama dalam alam kesadaran manusia yang subjektif, untuk
kemudian mengembang menjadi suatu solidaritas yang inter-subjektif, dan yang akhirnya
manifes dalam wujud ikrar-ikrar atau sumpah-sumpah bersama. Di Indonesia, kesadaran
berbangsa seperti itu baru lahir dan berkecambah pada sekitar tahun 1910-1920an, tidak
sebelumnya, untuk baru terekspresi kemudian dalam wujud suatu ikrar pengakuan
berbangsa yang satu (bangsa Indonesia) oleh sejumlah anak-anak pelajar elite pada tahun
1928.

Maka pula, tak pelak lagi, menurut teori dan merujuk ke peristiwa sejarah itu,
lahirnya suatu bangsa dalam pengalaman kehidupan manusia itu harus dikatakan selalu
dipersyarati pertama-tama oleh lahir dan berkecambahnya kesadaran dalam suatu
kolektiva akan adanya kesamaan tolok yang menyatukan. Dengan perkataan lain,
subjektivitas kesadaran berbangsa itulah yang sesungguhnya melahirkan suatu
objektivitas (tegasnya objectivied subjectivities) mengenai hadirnya suatu kehidupan
berbangsa. Dan bukan sebaliknya, bahwa kehidupan berbangsa itulah yang telah
menggugah-gugah kesadaran orang kolektif untuk berbangsa (subjectivied objectivity).
Seseorang pakar seperti Ben Anderson, misalnya, bahkan memprovokasi banyak
pemikiran orang bahwa suatu bangsa itu hanya tercipta dan tercitakan di alam imajinasi
313
para warganya semata, dan bukan sesuatu fenomen yang empiris. Berkenyataan demikian
suatu bangsa hanya akan eksis dan tetap eksis sebagai suatu realitas selama bangsa itu
sepanjang masanya eksis dan tetap eksis di alam cipta dan alam cita para warga
pendukungnya.

Halnya berbeda dengan kehidupan bersuku (tribal life) atau mungkin juga
kehidupan bersuku bangsa (ethnic life). Menjadi warga suku atau menjadi warga
sukubangsa adalah suatu pengalaman kultural yang kongkrit, empiris dan objektif. Itu
adalah suatu kehidupan dan pengalaman yang tak perlu mensyarati adanya kesadaran dan
ikrar, dan tak pula sekali-kali berdasarkan pilihan dan pemihakan yang subjektif dan
individual. Itu sungguh berbeda dengan kehidupan berbangsa yang dikatakan oleh
Ernest Renan lebih merupakan hasil kehendak bersama yang disadari untuk bersatu dan
menyatu dalam suatu kehidupan bersama. Dikatakan olehnya bahwa une nation cest un
groupe des gens qui possdent la dsire dtre ensemble, dan bahwa tetap hadirnya suatu
bangsa itu tak lain karena adanya suatu plebisit diam-diam namun berterusan dari hari
ke hari.


Nasionalisme Itu Juga Kesadaran Berbangsa

Hal kedua yang dapat disimak dalam sejarah dan yang lalu ditulis begitu dalam teori
adalah fakta bahwa kesadaran berbangsa itu pada hakikatnya merupakan kesadaran
politik yang normatif. Inilah kesadaran yang merupakan janin suatu ideologi yang disebut
nasionalisme. Nasionalisme, tak pelak lagi, adalah suatu paham yang meyakini kebenaran
pikiran bahwa setiap bangsa itu demi kejayaannya seharusnya bersatu bulat dalam
satu kehidupan bernegara. Dari nasionalisme inilah lahirnya ide dan usaha perjuangan
untuk merealisasi negara bangsa. Di Indonesia, ide dan usaha seperti ini berkembang kuat
pada tahun-tahun 1930an, dan memuncak pada tahun-tahun 1940-an. Namun, yang masih
akan menjadi problema besar di sini ialah, apakah tegaknya suatu nasion yang pada
hakikatnya merupakan suatu produk kesadaran politik bernegara itu dapat dilakukan
tanpa landasan kultur? Dengan perkataan lain, apakah munculnya realitas bangsa itu
dapat berlangsung secara spontan tanpa perlu berawal terlebih dahulu dari atau berakar
tunjang pada suatu substruktur yang disebut suku, suku bangsa, atau satuan kolektiva
lain macam apa pun yang kultural atau religius-kultural sifatnya ?

Kenyataan memperlihatkan bahwa ada keragaman konstruksi kehidupan negara
bangsa yang bermula dari adanya keanekaragaman struktur kultural. Tak ayal budaya itu
memang acap kali berfungsi sebagai predeterminan politik kehidupan bernegara bangsa.
Nasionalisme Prancis dan nasionalisme J erman, misalnya, jelas terlihat berbeda
sehubungan dengan perbedaan tradisi dan konsep kultural tentang makna kekuasaan yang
hidup dalam kehidupan kedua bangsa yang sekalipun sama-sama Eropa itu. Nasionalisme
Prancis, misalnya, nyata kalau lebih demokratis (atas dasar asas persatuan yang hendak
mengatasi fakta kemajemukan dalam kehidupan) daripada, misalnya, nasionalisme
J erman (yang bertumpu pada asas ketunggalan berkat kuatnya kesadaran kesejarahan
akan kesatuan asal moyang, berikut tradisi yang menyatukan). Perbedaan konstruksi
kehidupan berbangsa ini akan kian nyata lagi tatkala orang membandingkan model
314
Prancis ini dengan nasionalisme Cina atau J epang (yang kulturnya mengkonsepkan
legitimasi kekuasaan negara itu sebagai sesuatu yang jelas-jelas berasal dari yang di atas
sana, dan bukan dari yang di bawah sini).

Kalau memang benar substruktur kultur suatu kelompok etnis berfungsi sebagai
determinan konstruksi-konstruksi politik nasional suatu bangsa, maka konsep yang
partikularistis demikian ini akan menimbulkan tambahan problem yang besar di negeri-
negeri yang tidak mengenal adanya homogenitas kultural. Kalau memang benar
kelompok (-kelompok) etnis dan struktur budayanya merupakan unsur inti sesuatu bangsa
serta konstruksi politik nasionalnya, maka adanya pluralitas dan/atau terjadinya
pluralisasi budaya (yang diabaikan, ed.) boleh diduga entah cepat, entah lambat akan
menyurutkan kekuatan nasionalisme, dan dengan demikian juga akan gampang
menggoyahkan sendi-sendi politik di negara bangsa yang bersangkutan.

Maka, demi fungsinya dalam jangka panjang, nasionalisme sebagai kekuatan
pengintegrasi itu akan memerlukan kekuatan penopang yang lebih riil namun inspiratif,
yaitu kekuatan budaya yang mempunyai akar tradisinya dalam kehidupan kelompok-
kelompok etnis setempat. Legitimitas setiap penggunaan kekuasaan politik, misalnya,
tidaklah cukup kalau cuma mendasarkan diri pada produk-produk legislatif yang tidak
hanya formal saja sifatnya, akan tetapi yang juga termonopoli di tangan para pejabat
pengemban kekuasaan negara. Produk-produk legislatif seperti itu jelas kalau akan sulit
menghasilkan apa yang disebut signifikansi sosial; yaitu bahwa norma-norma positif
dalam produk perundang-undangan itu tidak akan gampang berpengaruh pada terjadinya
perubahan pada pola perilaku warga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Masalah Pluralitas Budaya

Namun, kalaupun faktor sosial-budaya dipandang amat bermakna dalam dan untuk
kehidupan berbangsa dan bernegara, pluralitas budaya di suatu negeri rupanya tidaklah
memudahkan kalaupun tidak akan amat menyulitkan upaya pencarian kekuatan
penopang yang akan dapat dimobilisasi sebagai bagian dari kultur politik nasional itu. Di
dalam suatau negara bangsa yang berbudaya majemuk, seperti Indonesia saat ini, setiap
langkah pengembangan kultur politik selalu saja menghadapkan orang kepada
keterpaksaan untuk membuat pilihan-pilihan atau pemihakan-pemihakan yang sungguh
rumit. Terjadilah dilema yang sungguh memusingkan.

Pada awalnya, eksponen-eksponen nasionalis hendak mencoba mengabaikan
fungsi budaya-budaya etnis itu, atau malah terkesan mereka ini dengan semangat
modernisasinya mengkhawatirkan akan terjadinya disrupsi-disrupsi apabila kesetiaan-
kesetiaan tradisional pada segala sesuatu yang bersifat etnis itu terlalu ditenggang dan
terangkat ke permukaan, untuk kemudian mengintervensi kehidupan bernegara dan
seterusnya secara berlanjut mengganggu kehidupan nasional. Perkembangan yang
berkesan anti-tradisi seperti ini tidak hanya dapat disimak pada tahap-tahap awal tatkala
para nasionalis mulai tergugah kesadarannya untuk berbangsa dan bertanah air, akan
315
tetapi juga sampai pada tahap implementasi tatkala kehidupan nasional hendak
disempurnakan lewat usaha-usaha pembangunan.

Akan tetapi, nyatalah kemudian bahwa pementingan upaya membangun
suprastruktur politik nasional dengan mengabaikan peran infrastruktur budaya yang ada
hanya akan memperbanyak jumlah langkah-langkah perekayasaan yang cenderung
semena-mena dan bersifat otokratis. Modernisasi dan terwujudnya negara bangsa yang
kuat, yang selama ini menjadi bagian utama dari cita-cita setiap nasionalis, lalu lebih
banyak terekspresi serta termaknakan sebagai proses transplantasi (dari negeri sana yang
maju ke negeri sini yang kurang maju) daripada sebagai proses transformasi (dari yang
etnis-lokal ke yang nasional).

Dalam proses transplantasi seperti itu, kontrol-kontrol sentral dan tekanan-
tekanan yang sering tak sabaran dari atas akan berganda-ganda. Ketergantungan
masyarakat kepada negara lalu menjadi meninggi, dan para nasionalis yang
mengendalikan seluruh sistem kehidupan nasional pun serta merta lalu tampak lebih
bercitra dengan segala perilakunya sebagai elite-elite baru daripada sebagai tokoh-
tokoh yang bersemangat populis. Terlanjur berobsesi untuk menuruti cita-cita demokrasi
(yang diperjuangkan para nasionalis Prancis pada akhir abad 18, namun yang selama ini
selalu diklaim bersifat universal), para nasionalis yang menganut garis kebijakan
modernisasi kehidupan berbangsa lewat upaya transplantasi yang akultural kalaupun
tidak antikultural lalu menjadi tidak realistis lagi.

Di negeri yang berbudaya amat majemuk seperti Indonesia, dengan kemajemukan
yang jauh melebihi apa yang pernah dialami bangsa-bangsa Eropa tatkala mereka
mengembangkan kehidupan nasional mereka, usaha untuk membangun budaya politik
nasional lewat cara transformasi pun bukannya tanpa masalah. Masalah pokoknya adalah
masalah menentukan pilihan. Sangatlah tidak mudah menggariskan strategi untuk
memilih yang pada hakikatnya juga bermakna memihak dan memenangkan salah satu
satuan dari sekian yang ada dalam kemajemukan, untuk kemudian digunakan sebagai
pangkalan bermulanya proses transformasi, namun juga dengan upaya untuk tidak
menimpakan rasa derita terdiskriminasi di sanubari pihak yang lain. Mendahulukan dan
memenangkan yang mayoritas dalam pilihan ini, sekalipun yang dimenangkan ini
terbilang yang mayoritas, sedangkan yang lain itu terbilang yang minoritas, belum tentu
boleh dipandang sebagai langkah yang bijak. Mendahulukan tradisi J awa yang
didukung penduduk mayoritas di negeri ini sebagai modal pengintegrasian persatuan
dan/atau kesatuan nasional, misalnya, belum tentu dapat dipandang sebagai langkah yang
bijak.

Dalam kehidupan yang kian mengglobal, dengan kegiatan lintas batas yang kian
berganda-ganda pula, menentukan mana yang mayoritas dan mana yang minoritas juga
tak lagi mudah, karena yang mayoritas dalam percaturan nasional sering terpaksa pula
harus diperhitungkan sebagai yang minoritas dalam percaturan transnasional, dan
demikian sebaliknya. Dalam situasi di mana nasionalisme sudah mulai harus
berdampingan dengan kesadaran baru yang disebut globalisme yang dalam teori
maupun dalam praktek acap kali justru sudah kurang menaruh respek pada perbatasan-
316
perbatasan teritorial dan/atau batas-batas yurisdiksi nasional tak ada jalan lain bagi para
eksponen yang nasionalis untuk membangun budaya nasional (demi sehatnya kehidupan
bernegara) lewat proses-proses yang bermula dari bawah. Bukan lagi peran pemuka-
pemuka elite yang berkuasa membuat rekayasa-rekayasa dan melakukan kontrol-kontrol
koersif terpusat itu yang harus diutamakan. Kini peran massa awam non-elite yang
mampu bertransaksi lintas kultural secara riil dari hari ke hari, dan yang karena itu dalam
kenyataannya juga mampu mengakomodasi perbedaan- perbedaan antar-etnis (sekalipun
dalam format dan lingkungan-lingkungan yang terbatas namun otonom) itulah
sebenarnya yang harus lebih dipentingkan.

34

REFORMASI KEHIDUPAN BERBANGSA DEMI
TERSELENGGARANYA PEMBANGUNAN YANG LEBIH
BERWAWASAN KERAKYATAN DAN KEMANUSIAAN



DALAM suasana yang dipenuhi tuntutan dan aktivitas reformasi dewasa ini, maraklah
pemikiran dan perbincangan (seperti antara lain yang kita lakukan kali ini) untuk
pertama-tama mendefinisikan ulang apa yang sebenarnya dimaksud dengan
pembangunan itu, dan demi siapa dan oleh siapa pembangunan itu terutama
dilaksanakan. Mengingat kenyataan bahwasanya selama kekuasaan pemerintahan Orde
Baru pembangunan itu amat bersifat state centered dengan peran birokrasi sipil maupun
militer yang di-Golkar-kan) amat nyatanya, maka pemikiran dan perbincangan tak
pelak lagi pada akhirnya mestilah pula berperhatian kepada persoalan reformasi birokrasi
di negeri ini.


Mendefinisikan Ulang Pembangunan

Pembangunan adalah istilah di dalam bahasa Indonesia yang semula dimaksudkan
untuk menerjemahkan istilah dari bahasa Inggris development. Akan tetapi tatkala di
dalam bahasa Inggris istilah development itu bisa berarti pula perkembangan, di dalam
bahasa Indonesia istilah development itu lebih acap diartikan sebagai pembangunan
daripada perkembangan.

Antara kedua istilah pembangunan dan perkembangan itu sebenarnya ada
konotasi pemahaman yang berbeda. Pembangunan adalah seluruh upaya terencana untuk
merealisasi perubahan menuju ke statusnya yang baru dan bernilai lebih; sedangkan
perkembangan adalah perubahan yang berproses secara alami menuruti hukum-
hukumnya sendiri yang di luar rencana siapa pun. Di negeri-negeri berkembang seperti
juga misalnya Indonesia development lebih sering dimaknakan sebagai pembangunan
itu daripada perkembangan yang berlangsung di luar rencana manusia itu.
Persoalannya hanyalah, siapa yang harus ditunjuk dan diakui sebagai yang
berkewenangan untuk melaksanakan perencanaan berikut pelaksanannya itu.

Di negeri-negeri dengan pemerintahan yang cenderung otokratis, diimbuhi
ketiadaan kepercayan pengemban kekuasaan negara pada kemampuan rakyat dalm
persoalan penyelenggaraan negara, pembangunan pun senantiasa berlangsung menurut
rencana-rencana sentral, dan dilaksanakan dengan sokongan tindakan-tindakan yang
terkesan represif. Halnya berbeda dengan apa yang terjadi di negeri-negeri berkembang
dengan pemerintahan yang mulai belajar bekerja atas dasar prinsip-prinsip demokrasi. Di
negeri-negeri ini pembangunan akan dicoba lebih banyak berlangsung menurut rencana-
rencana yang terdesentralisasi ke berbagai lokasi dan organisasi kemasyarakatan baik
318
yang community based maupun yang berfungsi sebagai mediating intermediaries yang di
indonesia acapkali dikenali dengan nama LSM atau Ornop) dengan aktivitas mereka
masing-masing yang otonom namun yang bersinergi dalam suatu jaringan aktivitas.

Pada awal-awal masa kemerdekaan seusai tersempurnakannya proses
dekolonisasi, kebijakan untuk melaksanakan pembangunan yang tersentralisasi di tangan
penguasa sentral itulah yang cenderung dominan. Adalah keyakinan elite-elite nasional
yang (merasa) berjasa memerdekakan negeri bahwasanya kemakmuran hanya bisa
diperoleh dengan cepat lewat aktivitas di atas, yang akan segera bisa didistribusikan
berkat proses yang secara wajar segera menyusul, yaitu proses yang disebut trickle down
effects. Akan tetapi, nyatalah kemudian bahwa banyak bukti menunjukkan bagaimana
efek seperti itu tak pernah terjadi. Banyak elite nasional, terutama dari generasi kedua
yang tak selalu terlibat dalam proses dekoloniasasi, yang melupakan misi mereka yang
seharusnya tetap bernuansa kerakyatan dan kemanusiaan. Maka, berbagai kesenjangan
yang dirasakan amat tidak adil akan mulai menampak di mana-mana.

Adalah suatu wacana yang penuh polemik di negeri-negeri berkembang yang
telah mencapai tahap perkembangan tertentu, apakah aktivitas pembangunan lalu harus
tetap dan terus dilaksanakan berdasarkan rencana dan koordinasi otoritas sentral?
Ataukah aktivitas itu harus segera dipercayakan saja lewat suatu proses otonomi yang
terkelola dengan baik kepada prakarsa-prakarsa warga masyarakat pada tataran yang
lebih terdesentralisasi dan yang lebih terbebas dari intervensi birokrat-birokrat
pemerintah yang berlebihan. Persoalan pokoknya adalah, apakah pembangunan itu harus
lebih mementingkan pencapaian hasil-hasilnya dengan segera (lewat kebijakan top down
yang elitis)? Ataukah harus mulai lebih mementingkan proses-prosesnya yang
menyertakan partisipasi (bukan mobilisasi) publik, lewat kebijakan bottom up yang
populis, dengan menyadari hak-hak manusia warga negara yang asasi untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pula untuk ikut menikmati hasil-hasilnya.


Partisipasi Rakyat dalam Pembangunan, dan Peran Organisasi Warga

Maka, pada tahapan yang telah mulai memperlihatkan tanda-tanda krisis dan yang
serta merta mulai banyak mengundang cabaran seperti itu, pilihan kebijakan
pembangunan yang bernuansa reformatif yaitu untuk melaksanakan pembangunan
lewat partisipasi yang populis itulah yang segera saja terpandang sebagai pilihan yang
lebih tepat. Akan tetapi, sebijak apa pun pilihan, realisasinya tidaklah sesederhana
pembangkitan niat dan semangatnya. Kebijakan pembangunan lewat gerakan-gerakan
partisipasi yang populis adalah pada dasarnya merupakan suatu kebijakan untuk
mengupayakan terlebih dahulu penguatan infrastruktur sosial, berhakikat sebagai upaya
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat warga di dalam kehidupan bernegara.
Dengan perkataan lain, civil society (yang di Indonesia acapkali diterjemahkan yang tak
selalu dapat dianggap tepat dengan istilah yang semula populer di Malaysia:
masyarakat madani) harus dicoba dikembangkan dulu sampai mempunyai wujud dan
dapat berfungsi sebagai infrastruktur yang berkeberdayaan, tidak selalu dalam maknanya
yang ekonomis akan tetapi juga yang politik. Upaya mengembangkan infrastruktur sosial
319
seperti ini bukannya mudah, khususnya di negeri-negeri berkembang seperti di Indonesia
ini, yang pada dasarnya lebih bertradisi otoritarianisme dan feodalisme daripada
bertradisi demokrasi dengan kehidupan yang egalitarian

Maka, tatkala reformasi juga harus dilakukan di bidang pembangunan dari yang
elitis ke yang populis, dari yang mendahulukan suprastruktur politik lagi pula sentralistis
ke yang lebih memprioritaskan infrastruktur sosial serta pula otonomis maka upaya
harus ikut memperhatikan proses reformatif sebagai proses transformatif. Bukan proses
yang transplantatif. Proses transformatif adalah proses yang menggerakkan perubahan
dan perkembangan internal dari tatanan sosial yang berkonfigurasi ketergantungan
menuruti model hubungan vertikal Kawula Gusti ke tatanan baru yang berkonfigurasi
kesetaraan antar-warga. Transformasi seperti ini memerlukan institusi-institusi lokal yang
bergerak aktif dan progresif dari dalam, yaitu dari lingkungan masyarakat-masyarakat
lokal itu sendiri. Inilah institusi-institusi yang oleh Berger dan Neuhaus disebut mediating
structures.

Mediating structures adalah sejumlah institusi yang berfungsi sebagai pengantar
yang mendekatkan kehidupan privat-domestik para warga ke kehidupan publik yang
lebih luas. Dikatakan lebih luas karena kehidupan ini harus terbuka dan terdedah dalam
konteks kehidupan bernegara bangsa yang berskala besar. Upaya dilaksanakan lewat
suatu proses pendidikan yang mengantar setiap insan ke kehidupan sebagai warga suatu
negara bangsa (dan tak lagi cuma bisa berpikir dan bersikap ekslusif sebagai warga
komunitas lokal yang berwawasan sempit). Ditengah-tengah kehidupan bernegara dengan
para pengemban kekuasaan negara yang telah terlanjur lebih meyakini pentingnya peran
kader dan elite daripada peran masyarakat warga beserta para warganya yang berperan di
tataran akar rumput dan berjumlah massal, mediating structures sebagai hasil aktivitas
arus bawah memang semula cenderung terabaikan, dan karena itu juga sering tak
berkesempatan untuk berkembang. Dalam kenyatan seperti itu, mediating structures telah
menjadi tak berkeberdayaan, kecuali kalau kemudian dapat dan bersedia dikooptasi,
untuk kemudian difungsikan sebagai pelaksana saja program-program pemerintah (yang
dikontrol secara sentral) saja.

Dalam keadaan seperti itu, mediating structures yang ada seperti misalnya
antara lain komunitas-komunitas lokal, satuan-satuan keluarga dan kerabat, organisasi-
organisasi keagamaan, lembaga-lembaga pendidikan dan olahraga, asosiasi-asosiasi
profesi serta berbagai asosiasi volunter lainnya (termasuk ormas-ormas dan orpol-orpol)
justru akan banyak kehilangan perannya yang bebas untuk mencoba ikut mengantar
para warganya ke dalam kehidupan yang berformat baru. Dalam kondisi seperti itu, yang
akan lebih marak tak pelak lagi adalah proses-proses yang serba dipaksakan dengan
nuansa-nuansanya yang koersif, penuh rekayasa untuk melakukan mobilisasi, atau
setidak-tidaknya suatu penggerakkan yang hanya bisa berlangsung kalau ada iming-iming
harta dan tahta. Maka yang akan marak di sini bukanlah sekali-kali proses-proses
volunter yang penuh partisipasi, berangkat dari sense of belonging para warga yang tak
dibuat-buat, melainkan upaya-upaya yang acap semu, cuma kaya retorika yang kurang
jujur, dan akan bersifat seremonial daripada profesional untuk mengefektifkan hasil.

320
Apa pun juga masalah yang secara tak terelakkan mesti ditemui dalam situasi
yang transisional, institusi-institusi yang dibangun atas prakarsa warga secara volunter
dan otonom itu mesti diupayakan. Lembaga-lembaga pendidikan yang dibangun secara
mandiri oleh para warga untuk meningkatkan keberdayaannya, dan sampai juga
organisasi-organisasi kepartaian politik dalam fungsinya sebagai ajang pendidikan politik
rakyat guna memarakkan kehidupan yang demokratis dan antidiskriminasi, haruslah
dapat difungsikan sebagai mediating structures sebagimana dimaksudkan di muka.
Institusi-institusi yang berfungsi sebagai mediating intermediaries haruslah dapat
dibangun dan dikembangkan sendiri secara volunter oleh para warga dan para
pemimpinnya dalam masyarakat dan difungsikan dengan baik untuk mengembangkan
kesadaran baru. Kesadaran baru yang dimaksudkan itu adalah kesadaran bahwa berpolitik
dan berpartai politik itu sesungguhnya merupakan suatu keterlibatan penuh komitmen
untuk ikut mempengaruhi jalannya proses pembentukan kebijakan publik demi tegaknya
suatu prinsip dalam kehidupan bernegara.

A contrario, tatkala institusi yang eksis sebagai mediating structures itu sampai
terkooptasi dan terintegrasikan ke dalam sistem status quo yang selama ini terkontrol
secara sentral, dan tak sempat berotonomi secara pantas, tidaklah akan dapat dielakkan
lagi bahwa institusi-institusi tersebut hanyalah akan terus eksis sebagai bagian
subordinatif belaka dari kekuatan dan kekuasaan pengemban kekuasaan negara yang
koersif, yang selama ini tetap ngotot hendak bercokol. Dalam keadaan seperti itu, peran
dan arti pentingnya masyarakat warga beserta individu-individu warganya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara akan benar-benar teringkari secara semena-mena.
Terjadinya pengingkaran partisipasi para warga secara volunter dalam suatu kehidupan
bernegara seperti itu akan mendegradasi warga dalam jumlah massal tak lebih tak kurang
hanya untuk menjadi oknum-oknum perhambaan yang egosentris belaka. Itukah hamba-
hamba yang amat berpamrih untuk memperoleh imbalan-imbalan entah yang dalam
wujud jabatan-jabatan administratif atau politik, entah pula yang dalam wujud
kemudahan-kemudahan tatkala ingin mengembangkan usaha-usaha bisnis keluarga.


Reformasi Birokrasi Pemerintahan:
Apa yang Pernah Dicoba-lakukan pada Era Kolonial

Reformasi pada tataran infrastruktur seperti yang diutarakan di muka tentu saja
tak akan menghasilkan efek yang optimal tatkala orang melupakan keharusan untuk juga
memformat ulang struktur-struktur yang ada pada tataran supra, yaitu birokrasi
pemerintahan. Reformasi suprastruktural seperti itu tentu saja tidaklah akan mungkin
dilaksanakan untuk serta merta melikuidasi birokrasi secara total, melainkan untuk
mendekonstruksi dan merekonstruksinya sedapat-dapatnya agar birokrasi dapat lebih
berfungsi sesuai dengan tuntutan zaman. Proses reformasi seperti ini dari yang serba
sakral-feodal ke yang serba teknis-profesional sebenarnya pernah berlangsung di zaman
pemerintahan kolonial, sekalipun dengan hasil yang boleh dibilang masih setengah-
setengah. Proses ini pernah dideskripsikan secara rinci, lewat suatu studi yang kemudian
diangkat sebagai disertasi, oleh Heather Sutherland yang kemudian dipublikasikan
dengan judul The Making Bureaucratic Elites.
321

Sutherland berbicara tentang soal bagaimana para priyayi (di daerah-daerah yang
telah jatuh di bawah kekuasaan dan pemerintahan Hindia-Belanda) digarap menjadi
pegawai-pegawai gubernemen dan karena itu mesti bekerja dalam suatu organisasi
pemerintahan yang berkonfigurasi baru. Ada proses transformasi di sini, dari model
birokrasi feodal yang primordial dan disakralkan di seputar wibawa pribadi elite-elite
feodal yang mendudukkan diri ke dalam bilangan kelas ksatria yang militeristis ke
model birokrasi kolonial yang formal dan lebih rasional berdasarkan sistem yang non-
askriptif.

Sekalipun di dalam publikasinya itu Sutherland menggunakan istilah
bureaucratic elites, namun pada zaman kolonial itu istilah yang lebih acap dipakai dan
dikenal adalah priyayi atau ambtenaar. Istilah birokrasi dalam pengertiannya
sebagai suatu institusi politik yang menyelenggarakan administrasi dalam kehidupan
bernegara ini sekalipun boleh dikatakan sudah beriwayat cukup lama dalam sejarah
kehidupan bernegara bangsa di negeri-negeri Barat, namun baru pada tahun 1940an
banyak dikenal dan dipakai orang. Birokrasi berasal dari kata Perancis bureaucratie,
yang diartikan sebagai kekuasaan para pejabat (pouvoir des bureaucrates), dan sudah
mulai banyak ditemukan dalam berbagai kepustakaan Perancis dari abad 18. Perhatian
khusus dalam permasalahan birokrasi ini pun sudah dapat dibaca dalam tulisan-tulisan
Karl Marx dan de Tocqueville yang terbit pada pertengahan abad yang lalu. Akan tetapi
dari tangan Max Weber yang melahirkan tulisannya pada peralihan abad, akan tetapi
yang baru populer setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1940an
perbincangan tentang birokrasi menjadi cepat mendunia.

Mengenai birokrasi ini Weber terkenal dengan penulisannya tentang model-model
konstruksi atau tipe-tipe ideal birokrasi, yang ia bedakan menjadi tiga. Pembedaan ini ia
dasarkan suatu kriteria yang berbicara tentang ragam macam otoritas, yaitu otoritas
subjek yang tengah mengendalikan tertib organisasi administrasi yang disebut birokratis
itu. Ada tiga macam otoritas, yaitu yang tradisional, yang karismatis, dan yang legal-
rasional. Menurut Weber, otoritas yang legal-rasional inilah yang marak penuh dalam
komunitas-komunitas politik mutakhir yang disebut negara modern, dan pula dalam
kehidupan ekonomi yang telah ditengarai oleh adanya lembaga-lembaga kapitalisme
yang telah lanjut. Model birokrasi yang dibangun dengan konfigurasi otoritas yang legal-
rasional inilah yang selalu dipikirkan sebagai model yang harus direalisasi dalam
kehidupan negara-negara kolonial dan/atau negara-negara nasional yang modern.

Akan tetapi, merealisasi terwujudnya birokrasi dengan kekuatan pengintegrasinya
yang legal-rasional seperti itu tidaklah selamanya mudah, khususnya di negeri-negeri
jajahan dan oleh karena itu selanjutnya juga di berbagai negeri yang dibangun di atas
puing-puing negara kolonial. Pada umumnya, seperti yang pernah dikatakan oleh Ralph
Brabanti (dimuat dalam buku Modernization: The Dynamics of Growth), semua itu
disebabkan oleh kenyataan bahwa pada masa penjajahan, kekuasaan kolonial di negeri-
negeri itu harus membangun suatu sistem administrasi yang diperlukan untuk
melaksanakan (boleh dibilang) seluruh aktivitas infrastruktural, demikian besar keperluan
itu sampai-sampai seluruh aktivitas itu termonopoli sebagai kegiatan pemerintah,
322
sehingga negara kolonial seperti itu acap dikenali juga sebagai beambten staat (negara
amtenaar). Sehubungan dengan kenyataan ini, para amtenar dalam jajaran birokrasi
yang merupakan kader-kader terpelajar di suatu negeri yang dihuni massa yang miskin
dan tak tahu baca tulis itu pun lalu akan gampang terpandang sebagai elite-elite yang
berkarisma dan mereduksi rasionalitas yang dicoba dikembangkan di dalam sistem.
Ditambah dengan kenyataan bahwa jabatan dan kedudukan dalam birokrasi merupakan
yang jabatan karier yang permanen, status elite para punggawa yang birokrat itu kian
bertambah-tambah meninggi lagi.

Perkembangan seperti itu, khusus sebagai pengalaman Indonesia (khususnya lagi
sebagai pengalaman pemerintah kolonial di J awa), karena sebab sejumlah faktor telah
menyebabkan proses transformasi ke arah terjadinya birokrasi yang benar-benar legal-
rasional sebagaimana diperikan dalam model Weberian menjadi kian tidak mudah
lagi. Sartono Kartodirdjo dkk. Dalam buku Perkembangan Peradaban Priyayi (1987)
mengetengahkan kenyataan betapa kebijakan untuk memodernkan birokrasi
pemerintahan kolonial, yang berbarengan dengan kebijakan indirect rule, telah
menyebabkan terjadinya konsekuensi paradoksal. Dikatakan, bahwa sekalipun sistem
pemerintahan kolonial dikembangkan menuju ke model birokrasi yang berkarakter legal-
rasional, namun kebijakan indirect rule telah menyebabkan banyak terbebaskannya para
elite birokrasi pribumi yang tetap saja mengandalkan kekuatan tradisi primordial
dengan karisma feodal mereka yang disakralkan untuk menjaga status dan
kewibawaannya itu dari pengawasan pemerintah kolonial. Maka rencana modernisasi
kekuasaan kolonial untuk mengintroduksikan terwujudkannya suatu sistem pemerintahan
modern yang legal-rasional menjadi amat terhambat dan lambat, bahkan mungkin saja
menjelang terlikuidasinya kekuasaan kolonial itu rencana tersebut belum juga kunjung
kesampaian.

Maka ditengah kenyataan seperti itu, terjadinya transfer kekuasaan dari yang
kolonial ke yang nasional tidak begitu saja secara serta merta berarti telah tereformasi
dan/atau tertransformasikannya birokrasi pemerintahan di negeri ini dari yang tradisional
(dengan segala aura kesakralannya) ke yang modern (dengan segala aura keformalan dan
legal-rasionalnya). Terusirnya penguasa-penguasa kolonial boleh diartikan sebagai
terhentinya rencana untuk melaksanakan rasionalisasi dalam tubuh birokrasi
pemerintahan, dan setiap upaya untuk mengimplementasi lebih lanjut rencana-rencana itu
selalu tertumbuk perlawanan atas dasar idiom-idiom lama yang telah lama berakar pada
tradisi yang ada; yaitu idiom-idiom yang lebih mendahulukan pemberian imbalan kepada
mereka yang setia dan/atau mereka yang masih terbilang nepote daripada mendahulukan
pemberian penghargaan kepada mereka yang kreatif dan kritis. Idiom-idiom yang
demikian itu jelas bermula dari bertahannya secara bandel spoil system yang terbiasakan
dalam kehidupan feodal, yang tak kunjung hendak mengenal dan tak kunjung hendak
beralih ke merit nondiscriminstive system yang harus dibiasakan dalam kehidupan
bernegara bangsa yang demokratis.


Reformasi Birokrasi Pemerintahan:
Apa yang Harus Dicoba-lakukan Sekarang Ini
323

Sesungguhnya formalisasi, rasionalisasi, dan pula demokratisasi bukannya tak
pernah dicoba pada tahun-tahun pertamanya berdirinya Republik di negeri ini. Peniadaan
jabatan-jabatan kepamongprajaan dalam sistem pemerintahan untuk digantikan dengan
berbagai jabatan yang politik ataupun yang karier dalam lembaga-lembaga
pemerintahan daerah adalah salah satu contohnya. Akan tetapi, tiadanya kemungkinan
untuk mengadakan personil-personil baru yang mestinya tak hanya mesti terbilang
nasionalis saja, akan tetapi juga harus modernis dan cultural reformist, telah
menyebabkan birokrasi pemerintahan di Indonesia pascakolonial itu tetap saja cenderung
berkarakter elitis, tradisional dan mengandalkan kekuatan karismatik tokoh-tokoh
birokratnya (yang karena itu harus selalu berupaya untuk bisa tetap dan terus menjadi
panutan agar memperoleh banyak-banyak pengikut yang suka manut). Kecenderungan
seperti itu bertambah-tambah kuat lagi oleh sebab kuatnya kehendak dan keputusan-
keputusan politik di negeri ini untuk mempertahankan sentralisasi pemerintahan dengan
misi developmentalism-nya (yang pada hakikatnya disadari atau tidak, seperti dikatakan
oleh MacMichael dalam bukunya Development and Social Change (1996)
sesungguhnya merupakan kelanjutan saja dari welvaart politiek para penguasa kolonial
yang lama).

Tatkala pada era Republik, lebih-lebih lagi dalam rentang waktu antara tahun-
tahun 1965-1998, sentralisasi pemerintahan demi suksesnya pembangunan terus
dipertahankan, diimbuhi praanggapan bahwa model-model birokrasi yang formal-rasional
dan serba legalistis adalah amat berbau Barat dan bercela kolonial serta menyalahi
kepribadian nasional, maka birokrasi yang fungsional untuk penyelenggaraan kehidupan
bernegara bangsa yang modern dan demokratis tidaklah akan segera terwujud. Elitisme
dan sentralisme tidak hanya meneruskan tradisi Indonesia sebagai negara ambtenaar
dengan punggawa-punggawa pemerintah yang akan mengurusi segala-galanya, akan
tetapi juga kian menjadikan para birokrat Indonesia tetap panggah sebagai abdi-abdi
negara, dan tak kunjung tampak citranya sebagai pelayan-pelayan publik. Alih-alih
terkembang menjadi birokrasi yang rasional, birokrasi di negeri ini sebagaimana yang
juga terjadi di negeri-negeri berkembang lainnya justru tertengarai akan terus
berkembang menuju ke bentuk yang menggolongkannya ke dalam bilangan apa yang
disebut bureaucratic-authoritarian industrializing regimes (BAIR) yang sifatnya amat
paternalistis dan yang kecenderungannya tak sekali-kali hendak percaya bahwa
demokrasi akan mensukseskan pembangunan.

Akan tetapi, kini, memasuki era reformasi menjelang datangnya abad 21, orang
dengan rasa optimisme yang tinggi mulai mengembangkan kembali harapan bahwa
birokrasi pemerintahan akan dapat ditransformasikan ke struktur dan fungsinya yang
lebih responsif kepada kepentingan umum. Namun, kini ini pula, sekalipun reformasi
birokrasi dari yang feodal-primordial dengan berbagai tipe otoritasnya yang karismatis
dan disakralkan ke yang legal-formal menurut kriteria Weberian yang memang benar-
benar diharapkan, orang mulai mempertanyakan apakah model birokrasi Weberian
memang benar-benar pernah diharapkan, orang mulai mempertanyakan apakah model
birokrasi Weberian di masa peralihan millenium ini masih akan fungsional? Bukankah
zaman telah berubah, dari era developmentalism kaum ultranasionalis (yang selalu
324
berorientasi sentralisme dan legisme, serta berkecenderungan untuk selalu melihat
pembangunan sebagai bagian dari ideologinya) ke era globalism pasca nasionalisme yang
dianut kaum nasionalis humanis dan yang sekaligus juga populis (yang lebih suka melihat
kegiatan pembangunan sebagai bagian dari proses global)? Apabila model birokrasi
Weberian itu dimaksudkan untuk menegakkan wibawa kekuasaan nasional, tidakkah kini
orang harus segera menyadari bahwa sesungguhnya yang diperlukan untuk merespons
masa depan suatu masa yang diramalkan akan menyaksikan the end of nation states
bukanlah tipe birokrasi Weberian, melainkan yang pasca Weberian, atau bahkan yang
mungkin saja pasca-birokratis (seperti yang dicoba diulas oleh sejumlah sarjana dan
disunting oleh Charles Heckscher dan Anne Donnellon dalam buku The Post-
Bureaucratic Organization: New Perspectives on Organizational Change, 1994).

Lalu apakah gerangan yang dimaksud dengan organisasi pemerintahan (atau
bisnis) yang pasca-birokratis ini? Heckscher dan Donellon mengemukakan karakteristik
organisasi pasca-birokratis ini sebagai suatu organisasi yang lebih menekankan
pentingnya proses kolaborasi (antara mereka yang berkewenangan dengan mereka yang
berkebebasan) daripada yang lebih menekankan pentingnya kekuatan komando yang
militeristis oleh penguasa-penguasa formal untuk menggerakkan proses. Namun harus
diketahui bahwa terlaksananya proses kolaborasi ini memprasyaratkan adanya suatu
otoritas yang lebih konsensual daripada yang hierarkis, dan ketersediaan informasi yang
lebih terbuka bagi pengetahuan publik daripada yang terlalu tertutup dan tersegmentasi.
Pada tahun-tahun 1999 2000, prasyarat seperti ini amat dikenali sebagai prasyarat
terciptanya apa yang disebut good governance, yaitu suatu praktik pengelolaan
kekuasaan dalam ihwal penyelenggaraan pemerintahan negara yang mendasarkan diri
pada berlakunya prinsip the rule of law yang karena itu juga akan bersifat predictable,
accountable, transparent, dan participatory.

Birokrasi baru yang belajar menyelenggarakan pembangunan atas dasar kiat good
governance akan bersedia melakukan kajian-kajian to learn from the people to reveal the
peoples real interest, dan tak mengulang kesalahan lama untuk cuma to learn about the
people from the elites perspective of interest. Tak ayal lagi, to learn from the people ini
memang merupakan kunci untuk mengidentifikasi dengan benar the peoples real interest
itu, karena hanya dengan mengenali apa yang menjadi kepentingan dan minat masyarakat
ramai itu sajalah setiap usaha pembangunan yang dilaksanakan akan terdukung oleh
partisipasi khalayak bawah. Alih-alih berbenturan, perubahan-perubahan yang terjadi
sebagai akibat pelaksanaan pembangunan akan dapat berselaras dengan segenap
kepentingan masyarakat bawah itu, atau setidak-tidaknya para perencana pembangunan
akan dapat membantu masyarakat untuk beradaptasi ke perubahan-perubahan yang
terjadi tanpa dijejas perasaan dirugikan sedikit pun; (syukur kalau malah merasa
diuntungkan). walhasil, setiap pembangunan yang dilaksanakan dalam alur strategis learn
from the people seperti itu akan mudah mengundang partisipasi masyarakat ramai.

Bagaimanapun juga partisipasi masyarakat sebagai bagian dari prasyarat
terselenggaranya good governance itu amatlah diperlukan demi suksesnya pelaksanan
pembangunan. Partisipasi masyarakat haruslah diartikan sebagai kesediaan dan/atau
perilaku para warga di masyarakat untuk turut mengambil bagian dalam suatu program
325
aktivitas yang besar. Partisipasi tak akan mungkin dikembangkan dengan baik apabila
setiap pelaksanaan pembangunan fisik ataupun nonfisik menerbitkan dampak yang
dirasakan tidak pernah menguntungkan mereka di lapisan akar rumput yang secara
langsung atau tidak diharapkan partisipasinya, dan alih-alih begitu hanya
menguntungkan mereka yang bertengger di tataran hierarki kekuasaan di atas.
Bagaimanapun juga, partisipasi itu selalu lahir dari adanya kebebasan seseorang untuk
membuat pilihan yang rasional dan bertumpu pada voluntarisme yang internal.

Walhasil, akhirulkalam, reformasi struktural yang berhasil adalah reformasi yang
sanggup meniadakan sembarang bentuk mobilisasi massa atas dasar kekuatan kontrol-
kontrol yang eksternal dalam setiap kerja pembangunan, untuk kemudian
menggantikannya dengan aktivitas-aktivitas volunter yang terekspresikan sebagai bagian
dari aspirasi kehidupan para warga masyarakat itu sendiri. Hanya dengan keberhasilan
reformatif seperti itu sajalah pembangunan yang berwawasan kerakyatan dan
kemanusiaan akan dapat direalisasi, dan akan berlangsung dalam citranya yang
demokratis, dan bahkan (lebih lanjut dari batas itu) juga humanistis.



35

REFORMASI SEBAGAI PROSES PEMAKNAAN
ULANG FUNGSI KONSTITUSI
(Dari Fungsi Pelegitimasi Kekuasaan Negara
ke Fungsi Pelegitimasi Hak-Hak Asasi Manusia Warga Negara)



MEMBUKA wacana dalam topik diskusi kali ini, siapa pun yang akan ikut ambil bagian
dalam diskusi haruslah bisa memperoleh pengertian yang jelas terlebih dahulu mengenai
soal, pertama, apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan reformasi dan reformasi
hukum itu? Kedua, mengapa pula harus ada reformasi dan untuk tujuan apakah reformasi
itu? Menurut arti harafiahnya, reformasi yang berasal dari bahasa Latin re +formare
(forma = bentuk, sedangkan formare berarti membentuk ed.), dapatlah
didefinisikan sebagai usaha untuk membentuk ulang. Tetapi dalam perkembangannya
yang lebih kemudian, selepas terjadinya rekonstitusi dalam kehidupan dan ajaran
Kristiani di Eropa Barat pada abad XVI (yang menyebabkan terjadi perpisahan gereja
antara yang Protestan dan yang Katolik), istilah reformasi mengimplikasikan suatu
unsur dan makna baru di dalamnya, yaitu unsur koreksi. Kata reformasi tidak lagi
sebatas artinya sebagai upaya untuk membentuk ulang (memformat ulang) suatu
struktur, yang dilakukan lewat serangkaian tindakan korektif.

Redefinisi reformasi sebagai tindakan korektif seperti yang dibentangkan di
muka ini dengan demikian, pada gilirannya akan mengasumsikan bahwa telah terdapat
banyak kesalahan pada masa lalu dalam kerja-kerja pengelolaan sistem atau struktur
kehidupan. Tak pelak lagi, setiap itikad atau tekad untuk melakukan reformasi entah
karena prakarsa yang volunter entah pula karena keterpaksaan menghadapi tuntutan yang
tak dapat ditolak itu selalu bermula dari hadirnya kesadaran atau pengakuan bahwa ada
sesuatu yang salah pada struktur kehidupan yang ada; bahwa ada sesuatu yang salah,
yang oleh sebab itu memerlukan koreksi-koreksi yang diharapkan akan dapat
memperbaiki kinerja sistem.

Kesediaan dan tindakan untuk mengkoreksi kesalahan dalam rangka memformat
(format, serapan dari formatus = bentuk lampau dari verba formare yang berarti
membentuk) ulang tatanan dalam struktur kehidupan bermasyarakat dan bernegara
sebagaimana telah dipaparkan di muka itu tentu saja mensyaratkan dan mengisyaratkan
pula kesediaan orang untuk mendeteksi dulu macam dan atau lokasi kesalahan itu di
dalam struktur. Adakah kesalahan itu terjadi di sekujur tubuh struktur? Ataukah
kesalahan itu cuma bersifat lokal dan dapat dilokalisir; yaitu hanya mengenai suatu
komponen tertentu saja di dalam sistem yang tak sekali-kali akan menimbulkan
komplikasi? Atau, mungkinkah kesalahan itu memang benar cuma manifes sebagai
masalah dibilangan substruktur yang ada dipermukaan saja (misalnya sebagai masalah
moneter atau masalah ekonomi di sektor riil), akan tetapi sesungguhnya kesalahan itu
327
lebih mendasar lagi, tersembunyi dalam-dalam di substruktur-substruktur yang terletak di
bawah permukaan (sebagai permasalahan politik, atau bahkan juga sebagai permasalahan
moral dan etika pemerintahan dalam masalah hubungan kekuasaan antara pejabat
pengemban kekuasaan negara dan manusia-manusia warga negara).

Hasil pendeteksian kesalahan mengenai macam dan lokasinya, yang diperoleh
entah sebagai simpulan analisis yang objektif, entah pula sebagai kesan-kesan awam yang
banyak didistorsi oleh motif-motif politik yang subjektif itu akan banyak menentukan
arah ruang lingkup atau skala reformasi itu. Berdasarkan hasil deteksi-deteksi seperti itu,
reformasi bisa saja cuma hendak dibataskan pada hal-hal yang lebih teknis dan atau
prosedural saja sifatnya. Akan tetapi bukannya mahal pula, berdasarkan pendeteksian
yang jujur, reformasi akan bisa berlangsung di ranah-ranah yang lebih ke dalam lagi (to
the inner most) sampai mengenai komponennya yang paling esensial, yaitu moral: moral
kekuasaan. Inilah komponen infrastruktur yang menentukan konfigurasi sistem, yang
sekaligus berfungsi sebagai pengontrol sistem dengan kekuatannya yang ukhrowi.

Akhir-akhir ini makin marak perbincangan tentang keharusan melakukan
reformasi di dalam kehidupan bernegara bangsa, dan dalam konteksnya yang lebih
makro dalam rangka pembangunan bangsa. Reformasi dalam rangka pembangunan
bangsa? Ada kesalahan apakah dalam pembangunan bangsa ini, sehingga diperlukan
suatu reformasi? Kesalahan dalam ihwal pembuatan dan pelaksanaan kebijakan-
kebijakan strategis yang mengakibatkan terbangunnya struktur-struktur institusional yang
rapuh karena tak punya back up moral yang kukuh? Ataukah kesalahan-kesalahan itu tak
lebih cuma dalam ikhwal pengambilan langkah-langkah operasional yang mengakibatkan
terjadinya kinerja-kinerja yang kurang memuaskan, sebagai akibat belum lengkap
tersusun dan terujinya juklak-juklak dan juknis-juknis yang ada?

Maka, haruskah reformasi itu bersifat total sampai ke upaya menyingkirkan
praktik-praktik yang amoral (kalaupun tidak antimoral) dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa yang tengah dibangun ini, semisal praktik-praktik yang diakronimkan sebagai
KKN, atau (lebih serius lagi yang berkenaan dengan pelanggaran kaidah-kaidah moral
kemanusiaan? Ataukah reformasi itu bisa dicukupkan saja pada upaya pembenahan
mekanisme dan prosedur saja, yang karena itu pantaslah kalau disarankan agar
dilokalisasi saja pada sektor-sektor yang terbilang paling luar (the outer most) dan
duniawi, yaitu ekonomi dan sejauh-jauhnya sebatas aturan-aturan main dalam ihwal
berpolitik?

Di negeri-negeri berkembang, lebih-lebih lagi yang pernah mengalami penjajahan
Barat, para pemuka nasionalis dan generasi tua umumnya gampang bercenderung untuk
pertama-tama mempersepsi kompleks permasalahan nasional sebagai permasalahan
kemiskinan dalam maknanya yang ekonomis, dengan sumber penyebabnya yang harus
dicari pada kesewenang-wenangan eksploitasi asing. Tidaklah ada sedikit pun pikiran di
antara mereka yang rata-rata selalu memandang dirinya sebagai pejuang pahlawan
pelawan kekuatan dan konspirasi asing, atau yang dibiayai asing, yang subversif dan anti-
nasional itu untuk melihat dan mengakui bahwa segala kemiskinan dan rendahnya
martabat bangsa itu bersebab pertama-tama dari praktik dan moral koruptif yang
328
terkandung dalam model pemerintahan pribumi sendiri. Yang dimaksudkan adalah moral
dan model pemerintahan yang feodalistis, yang sekalipun mungkin bernuansa berevolusi
namun tetap saja otokratis, dan tetap saja mempertahankan segregasi yang diskriminatif
untuk menghasilkan dikotomi yang tak mudah diingkari, antara yang Gusti dan yang
Kawula, antara yang Ksatria dan yang Sudra (dan mungkin malahan yang Paria), yang
antar-keduanya itu mana mungkin se-level dalam hal keterpanggilannya.

Maka, di dalam suasana pemikiran konseptual di kalangan mereka yang tengah
berada di dalam sistem kekuasaan seperti itu setiap kegagalan yang mengundang
tindakan korektif reformasi tak ayal lagi tidaklah akan diidentifikasi sebagai
permasalahan yang inheren pada model pemerintahan dan atau struktur politik yang
beridiom pribumi. Alih-alih begitu, permasalahan yang ada tentu harus dicari pada
proses-proses ekonomis atau politik yang penuh dengan subversi dan konspirasi kekuatan
anti-nasional, yang koreksi dan reformasinya bolehlah dicukupkan dan haruslah
dikonsentrasikan pada upaya penguatan struktur ekonomi dan pemerintahan nasional
yang ada. Saran-saran untuk melanjutkan reformasi sampai ke maknanya yang lebih total
dan mendasar tentulah sulit diterima logika yang berangkat dari paradigma yang tak
cuma tertengarai berciri amanat nasionalistis (bahkan chauvanistis) tetapi juga feodalistis
itu.

Memperhatikan segala wacana mengenai reformasi akhir-akhir ini di negeri ini,
reformasi yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh massa awam di luar sistem kekuasan
pemerintahan dewasa ini adalah reformasi yang juga menjejas ranah yang lebih
mendasar, yaitu moral politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi yang
dicitakan adalah reformasi untuk menggerakkan perubahan yang secara strategis
mendekonstruksi format lama dalam kehidupan bernegara yang cenderung otokratis ke
wujud rekonstruktifnya yang baru, yang lebih demokratis. Inilah reformasi yang
menggerakkan perubahan dari model kehidupan bernegara dengan kedaulatan yang
cenderung dipusatkan di tangan penguasa tunggal yang bersemayam di pusat, ke model
kehidupan bernegara dengan kedaulatan yang lebih didistribusikan secara adil ke tangan
rakyat (yang masing-masing harus diakui sebagai warga yang berkedudukan sama di
hadapan hukum, tanpa kecualinya).

Reformasi politik yang dicita-citakan seperti itu pada ujung-ujungnya tentulah
akan menyangkut juga persoalan reformasi hukum, khususnya hukum konstitusi.
Kalaupun bukan persoalan rumusan-rumusan formilnya, reformasi korektif itu tentulah
berkenaan dengan pemaknaan interpretatifnya, dan sehubungan dengan hal itu,
selanjutnya juga berkenaan dengan dengan pelaksanaannya. Ini berarti bahwa urgensi
reformasi hukum itu tak akan cuma terasa pada proses perumusan ulang isi pasal dan
ayatnya, akan tetapi juga pada proses pelaksanaannya, yang tak hanya akan berkenaan
dengan keharusan membenahi ulang organisasi atau lembaga penegakkannya akan tetapi
juga berkenaan dengan keharusan untuk melakukan resosialisasi guna tumbuh
kembangnya kesadaran dan kemafhuman bahwa hukum dan konstitusi itu sesungguhnya
dan pada asasnya punya fungsi sebagai pelegitimasi dan penjamin kebebasan asasi
manusia-manusia warga negara, dan tidak pertama-tama berfungsi sebagai pelegitimasi
kewenang-wenangan para pejabat yang boleh disenaraikan secara enumeratif.
329

Sudah terlalu lama dalam kehidupan di negara ini hukum nasional, khususnya
yang terbilang hukum publik, dipandang dari perspektif kekuasaan sebagai instrumen
kontrol. Sudah telalu lama dalam kehidupan di negara ini hukum nasional khususnya
yang terbilang hukum publik, baik yang berupa UUD maupun yang berupa undang-
undang organik kehilangan jati diri dan kepribadiannya sebagai kekuatan pelindung
hak-hak rakyat, baik yang asasi maupun yang sekunder, dan yang demikian juga menjadi
simbol terjadinya kebebasan rakyat di hadapan sembarang bentuk kekuasaan. Padahal,
menilik riwayatnya, hukum dalam maknanya yang modern yaitu yang telah mengalami
positivisasi sebagai hukum perundang-undangan itu adalah hukum yang tercipta pada
era pasca revolusi dengan konsep dasar yang amat inventif untuk melindungi hak
manusia yang asasi dari kemungkinan penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan
pemerintah oleh pejabat pemerintah.

Hukum nasional itu diperbarui ataupun tak diperbarui sesungguhnya akan
kehilangan hakikatnya sebagai pelindung hak-hak asasi warga negara untuk memperoleh
kebebasannya manakala asas konstitusionalnya ditiadakan. Asas konstitusional ini, yang
lebih dikenal dengan nama konstitusionalisme, adalah unsur sine qua non bagi
eksistensi hukum nasional yang tak hanya populis akan tetapi juga humanistis. Tanpa
asas ini hukum nasional akan menyebabkan kekuasaan pemerintah di hadapan kebebasan
kodrati manusia-manusia warga negara menjadi tak lagi limitatif, melainkan enumeratif.
Tanpa asas ini suatu negara bangsa tak lagi akan terkualifikasi sebgai rechtstaat,
melainkan serta merta sebagai machstaat, dimana kekuasaan Kepolisian (atau bahkan
juga kekuasaan Militer) akan segera pula menjadi tak punya batas jelas. Tak perlu lagi,
hukum nasional difungsikan di dalam kehidupan bernegara yang demokratis haruslah
tetap (atau bahkan kian) mampu mendefinisikan secara legitimasi mana-mana saja
kekuasaan polisionil pemerintahan yang boleh memperoleh legitimasi (sehingga boleh
dibenarkan sebagai kewenangan) dan mana-mana pula kebebasan manusia warga negara
yang secara enumeratif boleh memperoleh legitimasinya (sehingga terakui sebagai hak-
hak asasi yang harus dilindungi).

Kesimpulan dari argumentasi yang dibentangkan di muka bahwa yang menjadi
persoalan pokok di sini sesungguhnya bukanlah cuma perlu dan urgensinya reformasi
hukum dalam kerangka reformasi politik. Akan tetapi juga menjadi persoalan utama di
sini ialah penegasan kembali misi moral politik hukum nasional dengan dasar-dasar
konstitusional dan moral konstitusionalnya demi terlaksananya reformasi politik. Ini
adalah proses yang (sekali lagi) harus lebih diurgensikan dan diutamakan agar
berlangsung di ranah struktural (pembenahan organisasi dan fungsi pembuatan serta
penegakan hukum yang dikehendaki kepentingan umum), dan lebih utama lagi agar
berlangsung di ranah kultural (berkenaan dengan pemahaman moral hukum dan moral
kebebasan manusia yang sesungguhnya), daripada berlangsung di ranah materi untuk
memperbarui pasal-pasal dan ayat-ayat. Bagaimanapun juga, semua saja yang peduli
yang elit maupun yang awam harus segera menyegarkan kembali ingatan, pengetahuan
dan kearifan bahwa hukum nasional itu pada hakikatnya adalah manifestasi in concreto
hukum konstitusi yang mendasari kebenaran kehidupan bernegara dan berbangsa dengan
330
kedaulatan yang benar-benar di tangan rakyat, dan tidak di tangan suatu dinasti yang
eksklusif.

Back Cover Text Buku I


Serva ordinem et ordo servabit te. Ini adalah pepatah Latin kuno yang secara harfiah
berarti layanilah peraturan maka peraturan pun akan melayanimu. Itu berarti ada
internalisasi nilai-nilai yang termaktub dalam peraturan dalam berbagai bentuknya.
Persoalannya, dari manakah asalnya nilai-nilai itu? Dari alam ide atau dari realitas
empiris? Yang mana yang diakui sebagai benar, yang berasal dari dunia ide entah
berentah ataukah yang berasal dari dunia real-empiris? Mengapa sebuah nilai diakui
sebagai norma yang mengikat dan mengapa yang lain tidak? Itulah beberapa di antara
berbagai masalah yang menggelisahkan ilmu hukum yang anehnya tak bisa dicarikan
jawabannya oleh ilmu hukum itu sendiri. Ia membutuhkan ilmu dan perspektif lain
untuk mendapatkan jawabannya, semisal sosiologi dan filsafat bahkan logika dan
psikologi.

Nah, berbagai kumpulan tulisan dalam buku ini yang kemudian terkesan bukan lagi
sebuah antologi, karena dijalin dengan begitu apik oleh tim editor termasuk penulisnya
sendiri mencoba menawarkan bukan jawaban final atas berbagai permasalahan hukum
dan masyarakat di mana dan untuk apa hukum itu ada, melainkan terutama sebuah cara
menjawab. Kita toh mengerti betul mengikuti Plato yang mementingkan cara bertanya
yang baik dan benar untuk melahirkan pengetahuan yang sejati bahwa cara menjawab
yang salah dengan sendirinya akan melahirkan jawaban yang salah pula. Artinya, di sini
yang berperan adalah soal perspektif, metode, paradigma, dan logikanya. Sebagai
seorang intelektual kritis tanpa harus kiri, Profesor Soetandyo Wignjosoebroto
mengajak Anda untuk bertamasya ke alam rasio yang serius tetapi mengasyikkan
karena dari sana Anda bisa menyaksikan dunia dengan lebih cerah dan penuh optimis.
Lectori salutem!

Anda mungkin juga menyukai